Anda di halaman 1dari 7

Saat Aku Beranjak Dewasa

Oleh : Muhammad Umar Tsaqib (XI IPA 7)

Minggu lalu, aku dan teman-teman kelasku ditugasi oleh guru Bahasa
Indonesiaku untuk menuliskan keinginan kami di masa depan. Hal itu membuatku
teringat oleh kata-kata yang pernah diucapkan oleh kedua orang tuaku. Mereka
mengatakan akan selalu mendukungku di setiap langkah yang kutempuh demi
menggapai cita-citaku.

-------

Namaku Alex. Anak jakarta berusia 16 tahun, dan sedang bingung karena
belum menemukan hal yang aku minati, atau mampu aku lakukan dengan baik.

“Alex!” terdengar suara Jeremy, teman kelas sekaligus tetanggaku. Hari ini
aku berencana untuk ikut dalam acara bulanan car free day bersamanya.

“Tunggu sebentar, Jer!” jawabku kepada Jeremy sambil bersiap-siap


memakai sepatu lariku.

Tak beberapa lama, aku segera menghampiri Jeremy yang sedang menunggu
di motornya.

"Ayo! Mana motor lu?” kata Jeremy menatapku ragu.

“Yaelah cuy, udah ga jaman lagi kali pake motor ke tempat CFD. Jalan aja,
kali. Sehat! Lagipula cuma 4 km. 10 menit sampai!” aku mencoba membujuk Jeremy
karena sejujurnya aku malas mengeluarkan motorku.

“Apa kata lu?! Cuma 4 km? Cuma?! Itu jauh banget, hey! Lu kesambet apa si
Lex jadi aneh begini?” Jeremy menatapku dengan semakin heran.

“Ya udah kalau ga mau jalan kaki. Gua balik ke dalem rumah aja nih, ya?”
kataku mengancam Jeremy.

“Ah! Ga asik nih Alex. Mainnya ancam-ancaman. Ya udah, lah. Nih, gua titip
motor di rumah lu, ya.” Kata Jeremy yang akhirnya menurut padaku.

“Nah, gitu dong! Boleh banget. Sini, sini,” Kataku sambil memarkirkan motor
Jeremy di garasi rumahku yang lumayan luas. “Yuk, berangkat!” kataku sambil
segara berjalan menjauhi rumah.
Sejujurnya, selain karena malas mengeluarkan motorku, alasan lain bagiku
untuk memilih berjalan kaki adalah akhir-akhir ini udara di wilayah tempat ku tinggal
sangat berpolusi. Selain itu, alasan lainnya adalah hari ini merupakan car free day,
masa pakai kendaraan bermotor? Menurutku itu adalah hal yang konyol, mengingat
tujuan dari acara bulanan ini adalah untuk mengurangi kemacetan dan polusi udara.

Di tengah perjalananku menuju titik kumpul CFD, aku dan Jeremy melihat
seorang bapak tua penjual ketoprak sedang mendorong gerobaknya. Sebenarnya,
aku sudah sarapan tadi pagi. Namun, rasa ibaku kepada bapak itu membuatku
tergerak untuk membeli ketopraknya.

“Jer, sarapan dulu yuk lah! Ada ketoprak, tuh,” kataku mengajak Jeremy.

“Yaelah, belum juga olahraga, udah kelaperan aja, lu!” kata Jeremy padaku
dengan nada menyindir.

“Gua yang bayar,” aku mencoba membujuk Jeremy. Tak membutuhkan


waktu lama, ia langsung menjawab.

“Sip! Mantap! Mari makan!” kata Jeremy dengan semangat.

“Kan. Gua udah tau, nih, karakter lu yang maunya dibayarin mulu,” sindirku
pada Jeremy, yang lalu dibalas oleh tawa cengengesan dari Jeremy.

Kami pun akhirnya memanggil bapak penjual ketoprak itu. Terlihat di raut
wajahnya kesenangan yang mungkin tercipta karena akhirnya ia menemukan
pelanggan. Hal sesederhana itu bisa membuatku bahagia.

Sambil makan, aku dan Jeremy berbincang mengenai beberapa hal. Aku
membuka topik pembicaraan.

“Akhir-akhir ini Jakarta panasnya ga ketulungan. Belum lagi asapnya nusuk


banget ke hidung, bikin sesak nafas. Gila, ya, Jer?” aku mengeluhkan keadaan kotaku
yang makin hari kian memburuk.

“Iya banget, Lex! Gua sih enak, bisa naik motor sambil pake masker kalau
buru-buru. Kalau lagi santai, tinggal pinjem mobil bokap gua deh. Yah, walaupun
kalau naik mobil biasanya kejebak macet, sih.”
“Itu sih bukan lu yang kejebak macet, Jer, tapi lu yang bikin macet! Udah
tahu macet, malah nambah-nambahin mobil ke jalan aja, lu,” kataku kepada Jeremy
dengan nada menceramahi.

“Iya, pak guru,” kata Jeremy berusaha menurutiku dengan terpaksa. “Tapi lu
tuh aneh banget deh, Lex. Mobil? Punya. Motor? Ada, yang mahal pula. Tapi sehari-
hari kerjaan lu jalan kaki, mentok-mentok juga pesan ojek online. Aneh!” kata
Jeremy sambil menatapku heran.

“Mobil sama motor itu kan bukan gua yang pengen beli, Jer. Itu mah bokap
gua aja kali yang bingung mau ngabisin duit buat apa. Jadinya beliin gua mobil sama
motor, deh. Padahal mah gua ga suka pake kendaraan pribadi. Menuh-menuhin
jalan!” aku mencoba mengutarakan pendapatku kepada Jeremy. “BTW, lu udah
ngerjain tugasnya Bu Marina belum, Jer? Yang nulis tentang impian gitu,” tanyaku
pada Jeremy setelah tiba-tiba teringat tugas Bahasa Indonesiaku.

“Ooh, tugas itu. Gua sih pengen jadi orang kaya, Lex. Tapi, gua udah kaya,
sih. Jadi bingung juga, Lex. Mentok-mentok gua ngelanjutin bisnis bokap gua.
Pokoknya yang penting ga miskin deh, Lex. Kalau kaya, kan enak, apa aja jadi
gampang. Banyak jalannya!” Kata Jeremy kepadaku. Dia terdengar sangat nyaman
dengan posisinya saat ini yang merupakan anak pebisnis kaya.

“Tapi apa ga bosen, Jer, jadi terlalu kaya? Kalau gua terlalu kaya, kayaknya
bakal bingung mau ngapain. Kayak bokap gua, dia sampai ngebuang uangnya ke gua.
Jadinya bingung juga gua mau ngabisin uang buat apa. Itu juga jadi salah satu alasan
gua ikut CFD. Siapa tahu aja, gua bisa ngasih ke banyak orang hari ini. Entah
pengamen, atau mungkin penjual makanan,” ujarku pada Jeremy.

“Buset! Udah kayak malaikat aja lu, Lex. Kece juga lu. Tapi iya juga, sih. Kalau
terlalu kaya juga, jadi ga kebiasa hidup susah, takutnya nantinya susah sendiri,”
balas Jeremy yang lumayan setuju dengan pendapatku.

Tak lama setelah itu, kami selesai menyantap sarapan kami. Setelah selesai
menyantap ketoprak, kami berdua segera membayar, lalu melanjutkan perjalanan
kami ke CFD.

Dugaanku benar. Di acara ini, aku menemui beberapa pekerja seni, dan
pedagang jajanan yang sedang mencari rezeki. Setelah selesai jogging, aku
memutuskan untuk menghampiri untuk menonton pengamen yang sedang tampil.
Sedangkan Jeremy, ia mencari jajanan ringan untuk kami makan.

“Jer, gua mau nonton itu, ya. Kayaknya bagus, tuh. Ada pemain biolanya,”
ujarku pada Jeremy.

“Ya udah. Gua cari jajanan yang ga sehat dulu, ya. Biasanya yang ga sehat itu
enak. Hehehehe,” balas Jeremy kepadaku dibarengi gurauan yang tidak terlalu
penting.

Setiap melihat pengamen, ataupun pedagang dalam acara seperti ini, hatiku
selalu terketuk melihat perjuangan mereka. Membayangkan apa saja yang telah
mereka persiapkan agar bisa mencari uang. Itu juga membuatku bersyukur karena
telah dilahirkan di keluarga yang berkecukupan, sehingga aku bisa membantu
mereka dengan sedikit hartaku.

Setelah cukup lama kemudian, Jeremy datang dengan plastik bermacam


jajanan di masing-masing tangannya. Sayangnya, pengamen yang barusan aku lihat
sudah pergi.

“Kemana aja sih lu, Jer? Gua tungguin, nih. Tuh, lihat, pengamennya aja
sampai udah bubar!” kataku pada Jeremy mengeluh setengah bercanda.

“Hehehe. Sorry, Lex. Tadi agak khilaf, gua jajan buat gue sendiri, terus lupa
beliin punya lu, jadi lama, deh, hehe,” jelas Jeremy kepadaku.

“Dasar, kebiasaan ga baik itu Jer, ckckckck,” kataku menasihati Jeremy. Tak
lama kemudian, kami pun menghabiskan jajanan yang baru saja dibelikan oleh
Jeremy.

Setelah memakan jajanan kami, aku melihat banyak sampah plastik bekas
jajanan yang berserakan sepanjang jalan area CFD. Hal ini membuatku ingin
mengajak Jeremy untuk memungut, dan membuangnya ke tempat yang seharusnya.

“Eh Jer, lihat, deh. Ini banyak banget sampahnya. Padahal tinggalnya di kota
besar, tapi untuk membuang sampah pada tempatnya saja, orang-orang ini tidak
bisa. Sia-sia pendidikan mereka. Ayo lah kita buangin!” ajakku pada Jeremy.

“Udah lah, Lex. Itu kan sampah orang. Bukan tanggung jawab kita. Biarin aja!
Lagipula, kalau kita bantuin, nanti tukang kebersihan di kota ini kerja apa dong?”
jawab Jeremy dengan nada yang menyebalkan.
“Ya udah. Kalau lu ga mau ikut gua bersihin ini, tinggalin gua aja,” kataku
yang sudah terlalu kesal dengan pendapatnya. Tanpa menunggunya, aku segera
mengumpulkan sampah-sampah itu di satu tempat, lalu membuangnya ke tempat
yang seharusnya. Sesekali kulihat wajah Jeremy juga sepertinya agak kesal, namun
pasrah melihatku. Tanpa menunggu terlalu lama, akhirnya Jeremy bergabung
bersamaku untuk membersihkan sampah-sampah yang berserakan−walaupun, dari
raut mukanya aku bisa melihat sedikit keterpaksaan. Tapi, walaupun awalnya
terpaksa, secara perlahan, kita bisa jadi terbiasa hidup bersih, kan?

Tak sedikit aku menyadari tatapan merendahkan dari orang-orang yang


melewatiku dan Jeremy yang sedang membersihkan sampah-sampah yang mereka
buang. Namun, aku dan Jeremy berusaha mengabaikannya. Bagiku, pekerjaan
seperti ini tidak menurunkan harga diriku sedikitpun. Malahan, aku merasa lebih
senang karena setidaknya bisa menciptakan lingkungan yang lebih bersih.

Di sisi lain, aku melihat wajah-wajah para petugas kebersihan di sekitarku


tersenyum lebar karena senang melihatku dan Jeremy membantu mereka.

“Lex, kayaknya gua ga nyesel deh bersihin sampah kayak tadi. Setelah lihat
muka para petugas kebersihan, gua jadi ikutan senang. Senang rasanya bisa berguna
buat orang. Bisa jadi orang yang bermanfaat, walaupun manfaat itu ga banyak,”
ucap Jeremy padaku.

“Itu dia!” teriakku secara tiba-tiba, yang sontak membuat Jeremy terkejut.

“Kenapa sih, Lex? Bikin kaget aja!” ujar Jeremy kepadaku dengan sedikit
kesal.

“Akhirnya gua sadar, Jer, cita-cita gua,” kataku pada Jeremy dengan nada
semangat.

“Emangnya mau jadi apa?” tanya Jeremy padaku dengan sedikit ragu.

“Jadi orang yang berguna,” kataku dengan singkat, padat, namun tidak
terlalu jelas.

“Hah? Maksudnya gimana? Memangnya ada pekerjaan yang namanya


“orang berguna”?” Jeremy masih bingung dengan maksudku.

“Ga gitu. Gua bisa aja ngelanjutin usaha ayah gua saat dewasa nanti. Tapi
tujuan gua hidup bukan untuk itu. Gua mau, selagi gua mencapai tujuan gua itu, gua
bisa membagikan manfaat diri gua kepada orang lain. Entah dengan kecerdasan,
tenaga, waktu, atau dengan harta gua. Apapun, asal gua bisa ngasih manfaat buat
orang lain,” jelasku pada Jeremy

“Anjaaay! Keren banget emang teman gua ini. Boleh juga tuh Lex. Gua juga
jadi pengen ngasih manfaat ke orang lain jadinya. Tapi, pasti banyak orang yang ga
suka. Contohnya, orang-orang yang mandang kita rendah waktu lagi bersih-bersih
tadi. Ga tau aja mereka kalau kita bisa beliin mereka mobil. Hahaha,” kata Jeremy
sambil menyombongkan dirinya.

“Ga boleh gitu, hey! Ngasih manfaat boleh, tapi jangan sombong juga. Nanti
malah sia-sia, loh,” ucapku pada Jeremy.

“Hehehe. Iya, maaf, Lex. Bener juga, ya. Gua juga sering lihat orang-orang
yang suka nyumbang, terus diekspos, mukanya dikenal di mana-mana, tampangnya
sombong gitu, ga enak juga dilihatnya. Kayaknya yang diem-diem aja tuh lebih adem
lihatnya. Kayak lu,” ujar Jeremy kepadaku diakhiri dengan memujiku.

“Ah, sa ae lu (bisa aja, kamu) Jer! Gua aminin aja, deh. Mudah-mudahan kita
bisa ngasih manfaat bagi orang-orang, walau sesedikit apapun,” kataku pada
Jeremy.

Setelah sekian lama berbincang-bincang, kami pun kembali ke rumahku.


Setelahnya, Jeremy langsung mengambil motornya, lalu langsung kembali ke
rumahnya.

-----

Aku jadi tidak sabar untuk memberikan tugasku kepada Bu Marina. Setelah
perjalananku dan Jeremy di acara CFD tadi pagi, aku telah mendapatkan menyadari
banyak hal, yang juga menjadi inspirasi bagiku untuk tugas Bahasa Indonesiaku.
Salah satunya adalah alasan aku, kamu, dan semua manusia di dunia ini diciptakan,
yaitu untuk memberi manfaat bagi yang lainnya. Mulai dari pemimpin perusahaan,
sampai petugas kebersihan, punya peranan masing-masing, dan kita semua
bertanggung jawab atas peran yang kita ambil. Saat ini, peranku adalah sebagai
pelajar. Maka aku bertanggung jawab penuh atas diriku untuk mencari ilmu-ilmu
yang nantinya bisa kugunakan agar bisa menjadi manfaat bagi masyarakat di
sekitarku, di negeri ini, bahkan mungkin masyarakat dunia. Yang paling penting
adalah bagaimana aku berusaha sebaik mungkin di hari ini.
------

Sejak hari itu, dengan konsisten aku terus berusaha melakukan hal-hal yang
kurasa bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Aku berusaha mulai dari
lingkungan yang paling dekat, yaitu keluargaku. Sebisa mungkin, aku menawarkan
bantuan kepada ibuku selama dia butuh, memberikan segelas air minum pada
ayahku sepulang kerja, dan berusaha menjadi pendengar yang baik bagi adikku saat
sedang memiliki masalah. Awalnya memang tidak mudah untuk tetap melakukan hal
itu secara terus menerus. Namun, saat aku sudah terbiasa, semuanya terasa
menenangkan hati. Setelah keluarga, aku mencoba berbagi manfaat dengan
temanku, lalu barulah aku memberi manfaat pada orang lainnya.

Aku berpikir, memulai kebaikan harus dibarengi dengan rasa ikhlas. Karena
tanpa rasa ikhlas itu, semuanya akan terasa berat. Sambil belajar berbuat kebaikan,
ada baiknya kita juga belajar untuk ikhlas dan melupakan kebaikan kita sendiri.

Anda mungkin juga menyukai