Dalam tata surya tempat kita berada, sangat wajar jika kita
mempertanyakan bagaimana perbedaan antara terangnya siang dan gelapnya
malam bisa terjadi. Saat siang hari, seolah-olah semuanya bisa terlihat, bahkan
terkadang menyilaukan mata. Sinar yang dipancarkan matahari terpantul oleh
benda-benda yang ada di permukaan bumi ini. Sedangkan saat malam hari, sinar
matahari tidak membanjiri atmosfir bumi, yang menyebabkan seluruh permukaan
di muka bumi ini gelap gulita. Hanya bulan dan bintang-bintang yang bisa kita
lihat pada malam hari. Itupun tak selalu bisa kita amati. Kegelapan inilah yang
juga terjadi di luar atmosfir bumi. Iya, di luar angkasa menembus atmosfir bumi,
bukan kecerahan seperti siang hari yang akan kita temui, melainkan gelap nan
gulita.
Kegelapan alam semesta ini telah disinggung dalam Alquran 14 abad yang
lalu. Seperti yang tertulis dalam Surah An-Naziat ayat 29, "Apakah kamu lebih
sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membinanya. Dia meninggikan
bangunannya lalu menyempurnakannya, dan Dia menjadikan malamnya gelap
gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang,". Ayat-ayat Alquran
mengisyaratkan bahwa langit sangat gelap. Sebagian besar mufasir terdahulu,
seperti Ibnu Katsir dan Ath-Thabari, meyakini bahwa yang dimaksud dengan
zhulumat (gelap) dan nur (terang) ialah malam dan siang.
Teka-teki ini yang telah diisyaratkan oleh Alquran 14 abad yang lalu ini,
baru berhasil dipecahkan oleh para ilmuwan 2—3 abad yang lalu. Teka-teki yang
mengantarkan pembuktian dan penjelasan tentang kegelapan alam semesta ini
dikenal dengan sebutan Paradoks Olbers. Paradoks Olbers ini berawal
dengan mempertanyakan mengapa langit malam itu hitam. Astronom-
astronom awal seperti Johannes Kepler menyadari bahwa bila alam semesta itu
seragam dan tak terhingga, maka ke manapun kita memandang, kita akan
melihat cahaya dari bintang-bintang dalam jumlah tak terhingga. Saat menatap
pada titik tertentu di langit malam, pandangan kita pada akhirnya akan
mendapati bintang yang tak terhitung sehingga menerima cahaya bintang dalam
jumlah tak terhingga. Jadi, langit malam semestinya menyala-nyala. Fakta
bahwa langit malam itu hitam, bukan putih, telah menjadi paradoks kosmik
yang halus namun mendalam selama berabad-abad.
Sebenarnya, yang dapat kita lihat dengan mata kepala kita sekarang
hanyalah cahaya tampak. Jika mata kita bisa melihat radiasi gelombang mikro,
kita akan melihat radiasi dari big bang itu sendiri yang membanjiri langit malam.
Selain itu, ada pemahaman yang lebih mudah. Pertama, tidak ada atmosfir untuk
memantulkan cahaya. Seperti di bulan, pada siang hari langit tetap terlihat hitam
karena tidak ada atmosfir. Kedua, jumlah molekul yang dapat memantulkan
cahaya di luar angkasa layaknya cermin sangat sedikit, tidak seperti di Bumi.
Ketiga, bintang-bintang diluar angkasa hanya menyusun 4% dari materi alam
semesta. Seperti yang sudah dijelaskan pada artikel sebelumnya, 74% penyusun
materi alam semesta adalah Dark Matter dan Dark Energy, sisanya 22% adalah
gas. Keempat, alam semesta itu tidak terbatas. Bayangkan kita di suatu aula yang
besar tanpa listrik dan menyalakan lampu 2 watt dengan baterai, apakah aula
tersebut akan terang?
Gelapnya langit malam yang telah diisyaratkan oleh kitab umat Muslim,
Alquran, dapat dibuktikan kebenarannya oleh fakta-fakta ilmiah dari para
ilmuwan dan astronom selama berabad-abad. Sederhananya, birunya langit terjadi
karena atmosfir, juga gas-gas yang terkandung di bumi, yang membuat spektrum
cahaya matahari terbaur. Sedangkan gelapnya malam terjadi karena memang 74%
alam semesta ini tersusun oleh benda gelap dan energy gelap. Sangat besar
perbedaannya dibandingkan dengan bintang-bintang yang hanya 4%.
Sumber Referensi :