Anda di halaman 1dari 9

Anak-anak Alam Semesta

Karlina Supelli

Orang mempunyai bintang yang berbeda-beda. Bagi mereka yang berlayar, bintang adalah
pemandu. Bagi yang lain, mereka hanya lampu-lampu kecil. Bagi yang lain, para ilmuwan,
mereka adalah persoalan. Bagi pengusahaku, mereka adalah emas. Tetapi semua bintang
membisu. Kamu akan mempunyai bintang-bintang yang berbeda dengan bintang orang lain
… bagimu seolah-olah semua bintang tertawa. Kamu seorang akan mempunyai bintang-
bintang yang pandai tertawa! (Le Petit Prince, Antoine de Saint-Exupéry, 1943)

Dengan petikan tentang keragaman makna itu saya ingin memulai Kuliah Umum
tentang upaya manusia menafsir alam semesta. Seseorang bisa percaya atau tidak percaya
akan adanya tuhan, atau tuhan-tuhan, atau pencipta alam semesta. Namun, sulit
membayangkan ia tidak percaya adanya alam semesta. Ia bisa saja tidak percaya alam
semesta big bang, atau jagat ganda-berganda (multiverse), atau bahwa Bumi ini bundar.
Dengan berbagai ragam argumen dia bisa mengatakan bahwa semua itu adalah tafsir, dan
tafsir senantiasa relatif. Serelatif arti bintang dalam petikan di atas.
Permasalahan tafsir tentu tidak sesederhana itu. Si Pangeran Kecil pun mengerti.
Terlebih-lebih, ia mengerti bahwa kadang-kadang diperlukan cara pandang anak kecil untuk
memahami perkara rumit itu. Tepatnya, orang dewasa yang dulu pernah anak-anak—kepada
siapa Exupery menujukan bukunya.
Pangeran Cilik tinggal sendirian di sebuah planet yang hanya sedikit lebih besar
daripada tubuhnya. Pada suatu hari, di antara gulma yang setiap hari perlu ia bersihkan,
tumbuh setangkai tunas yang mekar menjadi sekuntum mawar merah. Pangeran Cilik
terkesima dan merawat mawar itu sampai tidak seberapa lama dia kesal. Sang mawar banyak
menggerutu. Pangeran kecil pun pergi bertualang ke berbagai planet meninggalkan mawar itu
di bawah sungkup kaca. Bertemulah ia dengan pilot yang terdampar sendirian di gurun planet
Bumi. Sesudah pengalaman dan percakapan yang kaya, sesudah Pangeran Cilik pamit pulang
dan menghilang, terjadilah sesuatu yang luar biasa pada si pilot,

Aku senang mendengarkan bintang-bintang pada malam hari. Seperti lima ratus juta
kelenengan… Tetapi, terjadilah sesuatu yang luar biasa … Aku jadi bertanya-tanya: Apa
yang terjadi di planet itu? Mungkin saja si domba sudah memakan bunga itu … Kadang-
kadang aku berfikir: “Pasti tidak! Pangeran Cilik menyelubungi bunganya dengan sungkup
kaca setiap malam, dan domba diawasinya baik-baik …” Maka aku merasa bahagia. Dan
semua bintang tertawa dengan lembutnya. Kadang- kadang aku berpikir: … Ia melupakan
sungkup satu malam, atau dombanya diam-diam lepas di tengah malam …” Maka semua
kelenengan menjadi air mata …

Itulah suatu misteri besar. Bagi kalian yang juga mencintai Pangeran Cilik, seperti bagiku,
alam semesta sama sekali lain kalau di suatu tempat, entah di mana, seekor domba yang
tidak kita kenal, sudah atau belum memakan setangkai bunga mawar (hlm. 112).
***
Seirama dengan alam semesta Pangeran Kecil, ada yang partikular dan universal
dalam pengalaman manusia akan alam semesta. Ada yang dapat ditafsir seturut konteks dan
terasa asing dalam konteks lainnya. Ada yang berlaku bagi semua sehingga menggarisbawahi
persamaan universal pengalaman manusia akan alam semesta.
Sehari-hari, oleh batas jelajah penglihatannya, manusia mengalami alam semesta
seturut lengkung langit dan hamparan datar bumi sejauh mata memandang. Dalam bahasa-

1
bahasa kuno hampir-hampir tidak kita temukan istilah alam semesta. Cosmos, kata Yunani
yang bermakna normatif untuk melukiskan keselarasan dan ketertiban keseluruhan alam,
baru digunakan pada abad ke-5 SM oleh Pythagoras dan para pengikutnya. Kebanyakan
narasi tua tentang asal usul dunia memakai ungkapan “langit dan bumi,” seperti dapat kita
baca dalam mitos tertua Enūma Eliš dari Babilonia atau Kitab Kejadian dalam Alkitab dan
Kitab Taurat.
Alam semesta yang akan dikemukakan dalam kuliah ini jauh lebih luas, yakni alam
semesta dalam bingkai kosmologi. Kosmologi memiliki beberapa arti, tetapi saya
membatasinya pada kosmologi sebagai cabang sains kealaman. Kosmologi mempelajari alam
semesta sebagai suatu keseluruhan, baik yang terjangkau oleh penglihatan manusia yang
didukung aneka perangkat pengamatan, maupun perluasannya yang masih dapat dibayangkan
berdasarkan teori-teori fisika yang berkembang sejauh ini. Kosmologi menelaah keseluruhan
struktur ruang-waktu dan evolusinya.
Dalam upayanya merekonstruksi sejarah Alam Semesta, pertanyaan-pertanyaan
kosmologis bersinggungan dengan beberapa diskursus dalam teologi yang juga memberi
keterangan tentang asal mula segala sesuatu. Singgungan itu bisa melebar karena kosmologi
menelaah juga syarat-syarat fisika yang memungkinkan kita, makhluk berkesadaran, ada di
sini. Bedanya, teologi memandang alam semesta sebagai ciptaan. Teologi bertolak dari
kepercayaan akan adanya pencipta. Sebaliknya dengan kosmologi. Ada atau tidak ada
pencipta tidak menjadi bagian dari pembahasan ilmiahnya.
Persinggungan itu bukan satu-satunya implikasi teologis dan filosofis kosmologi.
Oleh perkembangan astronomi dan fisika, kosmologi justru dibawa kembali ke kerinduan
purba manusia. Kerinduan untuk mengerti dari mana ia datang, ke mana ia akan pergi, dan
mengapa semua ini demikian.
***
Gejala astronomis yang memicu pertanyaan-pertanyaan kosmologis sama sekali tidak
terjangkau oleh sentuhan manusia. Sebelum wahana antariksa Luna 3 milik Uni Soviet
memotret wajah belakang Bulan (1959), bagian itu hanya dapat dibayangkan. Meski begitu,
benda-benda di kejauhan itu sudah sejak dahulu kala menjadi bagian dari pengalamannya
sehari-hari, dan bahkan menuntun berbagai macam kegiatannya sehari-hari. Matahari terbit
dan tenggelam menurut jadwalnya. Bulan setia menerangi malam dengan mahkotanya yang
berubah-ubah sehingga bisa dijadikan penanda waktu. Keteraturan itu membuatnya merasa
tenteram, betah di tengah-tengah lingkungan yang sesekali terasa asing oleh kejutan-kejutan
yang memecah irama yang ajek itu. Terkadang kejutan itu menjadikan ia takut dan mersa
terancam; terkadang membuatnya terpana dan penuh rasa girang.
Langit para leluhur bukan kawasan yang lengang. Ada amarah yang menggeledek,
ada tetes air mata dan gemuruh tawa. Seakan-akan, segala kebaikan dan kedegilan di bawah
sini merupakan salinan saja dari semua yang terjadi di atas sana. Apa gerangan yang ada di
bintang-bintang? Apa yang leluhur kita bayangkan setiap kali matahari menghilang di balik
cakrawala?
Rasa takjub melahirkan filsafat, kata Aristoteles. Jauh sebelum itu, rasa takut
menciptakan tuhan-tuhan di dunia, kata Publius Papinius Stasius, pujangga Romawi yang
hidup pada abad pertama masehi. Itulah kala mata petir yang jatuh ke bumi tidak lagi semata-
mata menghanguskan tetumbuhan dan membinasakan hewan-hewan, tetapi melahirkan puisi
teologis yang pertama. Demikian keyakinan Giambattista Vico (1668–1744). Dalam Scienza
nuova (Sains Baru, 1725), Vico membayangkan kelahiran itu amat dramatis kala
sekerumunan makhluk-berjalan-tegak mulai berpikir sebagai manusia,

Mereka ketakutan dan terkesima oleh gejala luar biasa yang penyebabnya tidak mereka
ketahui. Mereka mengarahkan mata ke atas dan menyadari ada langit … mereka melukiskan

2
langit bagai tubuh akbar yang hidup dan memanggilnya Jove, dewa pertama bangsa-bangsa
bahari. Dewa yang mau menyampaikan sesuatu kepada mereka melalui ledakan halilintar dan
hentakan guntur (Sn §377, 382).

Dalam petikan di atas, kesadaran akan langit melahirkan dua wilayah yang berbeda
tetapi tidak terputus: bumi dan langit, yang manusiawi dan yang ilahi, yang jasadi dan yang
gaib. Yang satu dengan berbagai keterbatasannya, yang lain dengan kekuatan tak tertandingi.
Jove dalam kalimat Vico itu mewakili wujud ilahi yang muncul pertama-tama dalam
masyarakat bahari. Di Yunani dia bernama Zeus. Di Mesir: Ammon. Di Sumeria: Ur. Di
India: Indra. Di China: Leishein. Para filsuf dan sarjana menyebutnya mitos; umumnya
dengan nada peyoratif. Vico menyebutnya tuturan sejati (vera narratio) bangsa-bangsa bahari
yang mengandung kebenaran (Sn §401, §814). Benar bukan dalam arti kesesuaian antara kata
dan fakta, melainkan benar dalam menyingkap dinamika pengalaman, rasa perasaan dan
kebutuhan masyarakat penutur untuk memaparkan realitas yang terlalu pelik bagi kosa kata
yang terbatas.
Dalam mitos kita dapati penceritaan tentang ihwal metakosmis, makrokosmis,
mikrokosmis. Semuanya terjalin melalui kemampuan manusia mengimajinasikan realitas
yang melampaui kesementaraan dunia. Narasi-narasi tradisional kosmogoni merupakan
upaya manusia paling dini untuk menafsir asal usul kehadirannya di dunia, hubungannya
dengan alam dan kekuatan-kekuatan di luar kendalinya, sikap batin terhadap yang gaib, serta
keyakinan bahwa yang ilahi memandu segala sesuatu yang mereka alami.
Dalam narasi-narasai leluhur itu, wilayah ilahi tidak sekadar membayang-bayangi,
tetapi mengikat apa yang terjadi di wilayah manusiawi. Bahwa hidup manusia di dunia
demikian adanya adalah karena kuasa yang mengawali segala sesuatu; bahwa takdirnya
demikian adalah akibat langsung dari penetapan-penetapan pada suatu kala kosmogonis.
Mitos berisi tuturan tentang misteri hubungan-hubungan yang tidak pernah dapat diterangkan
secara memadai.
Pemuliaan Urang Sunda Buhun terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Asri, contohnya,
mengacu ke hubungan-hubungan itu. Salah satu versi kisahnya dapat kita baca dalam Pantun
Sulanjana (transkripsi Ajip Rosidi, juru pantun Li Atjeng Tamadipura, 1970) dan dengan
bagus ditafsirkan oleh Jakob Sumardjo (2015). Mitos ini tidak semata-mata mengisahkan asal
mula tetumbuhan. Nyi Pohaci adalah indung kuring, ibu kita, pemberi hidup. Ritual
menghormati Nyi Pohaci di setiap permulaan musim panen mengacu ke keyakinan akan
keterpaduan kosmis (langit-bumi-manusia) dan bahwa kesuburan bumi bersifat keramat.
Dari kisah yang kejam tetapi logis itu, manusia diajak bersikap takzim terhadap alam
dan sumbernya. Yang ilahi ada di pepohonan, rerumputan, hutan-hutan dan gunung-gunung.
Tidak berarti bahwa yang ilahi sama dengan wujud-wujud yang menjadi objek ritus muja;
tetapi bahwa objek itu—apa pun wujudnya—bersumber dari yang ilahi. Bukan objek pada
dirinya yang dipuja, melainkan daya-daya gaib yang menghadirkannya. Tentu ada berhala-
berhala yang dianggap bertuah pada dirinya. Akan tetapi, memukul rata arti mitos hanya akan
melahirkan sikap yang meremehkan upaya-upaya leluhur memberi makna pada
eksistensinya.
***
Kepercayaan bahwa wujud/gejala alam merupakan pancaran ilahiah atau bahkan yang
ilahi itu sendiri tidak mudah pupus, juga di kalangan masyarakat yang telah meniadakan
dewa-dewi dalam sistem kepercayaannya. Pergeseran ontologi keilahian yang cukup kentara
mulai terlihat dalam kosmologi Yunani era Prasokrates. Tidak ada lagi wujud/gejala alam
yang mewakili dewa atau dewi tertentu. Akan tetapi, kosmologi filosofis berbeda dengan
kosmologi mitologis bukan terutama karena Bulan tidak lagi dipribadikan sebagai Dewi
Selena atau Matahari sebagai Dewa Helios.

3
Dalam kosmologi filosofis, alam semesta menjelma menjadi kosmos: kawasan yang
dapat dimengerti oleh akal budi manusia karena kinerjanya tidak lagi bergantung kepada
motif dan dorongan impulsif dalam diri dewa-dewi yang saling bertentangan, tidak
teramalkan, dan sulit dimengerti. Keteraturan dan keilahian melekat pada asas inti, phusis,
pangkal segenap yang ada sekaligus penyangga struktur dan dinamikanya. Para filsuf Yunani
percaya bahwa phusis (yang melahirkan kata fisika) bersifat baka: tidak diciptakan, tidak
dapat dihancurkan, tidak mati dan tidak termusnahkan. Melalui konsep abstrak itu, tuturan
tentang asal mula dewa-dewi (teogoni) beralih menjadi pencarian akan unsur atau asas
terdalam yang tidak berubah, yang memulai alam semesta ini dan segala isinya.
Jika mengacu ke Aristoteles, itulah saat Thales dari Miletos (624–546 SM)
mengatakan, “phusis itu adalah air” (Metaphysics 1.3, 983b6–22; On Heavens 2.13, 294a28–
31). Filsafat Aristoteles sendiri tidak lagi membutuhkan teogoni dan kosmogoni. Akan tetapi,
kosmologinya masih memerlukan keilahian langit agar terbangun argumen untuk menopang
gagasan akan gerak abadi (sempiternal) bola langit.
Agama-agama Abrahami mengubah hubungan manusia dengan alam dan yang ilahi.
Alam semesta adalah ciptaan dan bukan bagian dari penciptanya. Akan tetapi, Tuhan yang
transenden dan sepenuhnya berbeda dengan ciptaan itu dapat ditemukan kehadirannya yang
imanen di dunia. Tentu ada banyak variasi dalam memahami hubungan antara yang imanen
dan yang transenden ini seturut isme-isme yang berkembang (panteisme, deisme,
penenteisme). Kalaupun ada titik temu, tampaknya berupa pengandaian bahwa alam ini
teratur dan akal budi manusia dapat memahami cara kerjanya.
***
Untuk mendapat gambaran singkat bagaimana tafsir atas hubungan-hubungan itu
berubah sesudah sains berkembang, kita perlu melompat ke akhir Zaman Renaisans (akhir
abad ke-16). Scientia sudah tumbuh pesat waktu itu, tetapi pengertiannya tidak sama dengan
science yang sekarang kita kenal. Dalam penelusurannya akan hubungan antara sains dan
agama, sejarawan Peter Harrison (2015) menemukan kesejajaran fungsi scientia dengan
religio sepanjang Abad Pertengahan. Keduanya sama-sama merupakan jalan kontemplatif
menuju Yang Kudus melalui pembentukan habitus bagi keutamaan.
Bagi Thomas Aquinas, contohnya, religio melatih kebajikan moral yang
menyempurnakan kualitas pribadi melalui laku doa dan kesalehan; scientia melatih kebajikan
intelektual melalui pembacaan atas simbol-simbol Ilahi yang tertanam dalam ciptaan (Summa
theologiae, 1a2ae, 1, 49; 58,3). Kita menemukan refleksi yang serupa di kalangan pemikir
Muslim, antara lain dalam karya-karya al-Farabi. Bagi al-Farabi, ilmu tercapai hanya sesudah
akal mendapatkan kebiasaan akan pengetahuan (Kitab al-Jam § 50). Cukup jelas pengaruh
Aristoteles dalam pandangan kedua pemikir besar itu.
Hubungan kontemplatif itu mengalami perubahan sesudah Francis Bacon (1561–
1626) mendesak dengan gigih agar orang tidak berpuas diri dengan melulu merenungkan
alam. Alam perlu dibongkar, dikenali dan dipatuhi kaidah-kaidahnya, ditempa dan
didayagunakan. Hanya dengan cara itu alam yang membangkang sebagai konsekuensi
keberdosaan Adam dan Hawa “menyerah kembali … kepada kebutuhan manusia” (Novum
Organum, LII). Melalui Bacon, scientia sebagai habitus intelektual mendapatkan isi
instrumental dalam scientia operativa (sains terapan) dan ars (ilmu teknik/rekayasa).
Lazimnya para pemikir zaman itu, Bacon meminjam majas “Dua Kitab” dari para
teologiwan Kristiani awal untuk menekankan pentingnya Kitab Alam sebagai petunjuk bagi
kekuasaan Tuhan. Sedangkan Kitab Suci menyampaikan kehendak-Nya (Valerius Terminus,
3: 221; Advancement 3: 300–301). Galileo Galilei (1564–1642) juga memanfaatkan metafora
itu. Dalam surat (1615) kepada Cristina di Lorena, Granduchessa di Toscana, secara tersirat
Galileo menyampaikan penafsirannya: manusia tidak dapat mengandaikan bahwa firman
Tuhan hanya disampaikan melalui kode-kode verbal-tekstual. Tuhan juga memakai kode

4
non-verbal. Kitab Alam ditulis dengan bahasa matematika (Assayer, 183–184) dan manusia
perlu menguasai bahasa itu kalau tidak mau berputar-putar dalam labirin gelap.
Alam semesta yang tersingkap sebagai hubungan-hubungan terukur itulah yang
melandasi perkembangan sains modern. Sains bukan lagi semata-mata sikap batin untuk
mencapai keutamaan dengan mengkontemplasikan alam. Sains mengemuka sebagai
himpunan pengetahuan sistematik dan teruji secara empiris-logis. Sains juga adalah metode.
Versi inilah yang kiranya menjelmakan mimpi Bacon. Sains yang menafsirkan alam sebagai
mesin yang tidak sekadar berputar, tetapi berputar untuk berproduksi dan membuahkan
manfaat.
Lalu, di manakah manusia? Apakah dia? Mesin tidak mengenal manusia. Padahal,
sepanjang sejarah kehadirannya ia bergulat keras untuk memahami eksistensinya. Ia
merasakan kehangatan kosmis sejauh alam dibayangkan sebagai tubuh hidup yang menyapa
melalui aneka gejala dan daya; atau sebagai wujud kerinduan Tuhan yang ingin menyaksikan
keindahan diri-Nya melalui cermin alam semesta—seperti dalam tafsir Ibnu ‘Arabi (1165–
1240).
Tidak seperti alam mitis dan religius yang mengajak manusia berpartisipasi melalui
ritual-ritualnya, mesin kosmis tidak peduli terhadap manusia. Mesin itu membuat manusia
merasa terkucil, sementara Tuhan-nya pun tersembunyi. Blaise Pascal (1623–1662)
membeku ketakutan ketika merenungkan betapa raksasanya mesin yang membiarkan
manusia seperti tersesat di sudutnya yang gelap, tanpa tahu siapa yang membawanya ke sana.
***
Dalam sains, manusia adalah pengamat. Kesadaran manusia sebagai sang aku
(subjek) yang mengamati dunia (objek) adalah penemuan besar dalam sejarah filsafat.
Sebagai pengamat, ia tidak takut kepada yang asing. Petir yang membelah langit ia teliti;
puting beliung ia ukur kecepatannya; gunung-gunung yang meletus ia selidiki.
Berbeda dengan kesadaran filosofis yang bersumber dalam perenungan akan cogito
(aku yang berpikir), kepengamatan dalam kosmologi (dan sains kealaman) merupakan fungsi
keteraturan, keterukuran dan objektivitas hukum-hukum alam. Hukum-hukum fisika bekerja
sepanjang waktu di berbagai bagian alam semesta, ada atau tidak ada yang mengamati.
Ciri objektif pengamatan ini bermula dari Galileo ketika ia merumuskan corak
empiris objek penelitian fisika dengan cara memilah sifat primer (terukur) dan sekunder
(tidak terukur) gejala fisika di sekitarnya. Fisika Newton bertumpu ke corak objektif ini.
Kosmologi big bang bertolak dari corak itu. Model ini merekonstruksi pemuaian dan
pendinginan alam semesta dari suatu keadaan fisika yang menggabungkan dua bilangan
ekstrim: nol dan ananta. Sementara ruang-waktu mendekati nol, tekanan dan temperatur
menuju ananta. Fisikawan menyebut keadaan 13,7 milyar tahun lalu itu singularitas.
Peran epistemik pengamat dalam sains berubah ketika beberapa fisikawan dan
kosmologiwan merasa terganggu dengan sejumlah aspek alam yang sulit dijelaskan. Untuk
meringkas sejarah penemuan sepanjang abad ke-20 itu, saya kutip saja kalimat Frank
Wilczek, penerima Nobel Fisika 2004. Terdapat “konspirasi antar-parameter fundamental
alam” yang kelihatannya perlu untuk memastikan hidup ini ada (2007, 4). “Konspirasi”
karena parameter-parameter yang dimaksud besarnya sedemikian pas dengan persyaratan
biologis kehadiran kita.
Mengapa massa elektron 9,10938356×10−31 kg? Mengapa tetapan kosmologis yang
berhubungan dengan pemuaian alam semesta, sedemikian kecil nilainya? Nilai itu tidak
sesuai dengan kewajaran yang diharapkan dari teori, tetapi cocok dengan fakta bahwa ada
hidup. Model standar fisika partikel meramalkan angka sekitar 10120 kali lebih besar daripada
nilai wajar tersebut. Kosmologiwan Steven Weinberg pernah menunjukkan situasi menarik:
seandainya nilai tetapan itu sesuai dengan skala kewajaran, alam semesta justru ambruk atau
tercerai berai hanya dalam hitungan detik sesudah big bang (1997).

5
Mengapa? Mengapa hukum-hukum fisika cocok bagi kehidupan? Belum ada
penjelasan teoretis yang pas selain menerima fakta itu sebagai kebetulan. Cara lain adalah
memakai pertimbangan intuitif bahwa tetapan-tetapan itu berhubungan dengan fakta bahwa
kita. Pertimbangan inilah yang muncul tahun 1970-an dan mendapat sebutan penalaran
antropik (Yunani ánthrōpos: manusia). Penalaran itu lalu melahirkan asas antropik. Penalaran
antropik menghubungkan corak mendasar alam semesta dengan kemungkinan hadirnya
mahluk intelektual yang mampu mengamati alam semesta (tidak perlu manusia) di salah satu
tahap evolusinya.
Pertimbangan intuitif itu memperlihatkan perubahan epistemik yang menarik. Dari
sekadar pengamat, makhluk itu sekarang menentukan seleksi atas interaksi fisika yang
mungkin dan tidak mungkin, serta bagaimana interaksi itu menghasilkan aneka wujud dan
kejadian di sekitar kita, termasuk kita sendiri. Pertimbangan yang memaanfaatkan metode
retrospektif itu cukup berterima dalam sains, kendati orang bisa keliru saat menarik
kesimpulan. Jangan-jangan kita menyimpulkan bahwa parameter itu demikian karena kita
perlu ada.
***
Cukup wajar bila banyak ilmuwan dan filsuf yang tidak senang dengan penalaran itu.
Alasannya, pertimbangan antropik “memasukkan ke dalam kosmologi pendekatan filosofis
aneh-aneh yang tidak ada hubungannya dengan fisika.” Demikian George F. R. Ellis
mencatat keberatan (2011) yang menonjol dalam konferensi ‘Anthropic Arguments in
Fundamental Physics and Cosmology’ di Cambridge (2001). Akibatnya, Wilczek
menggambarkan para pendukung penalaran antropik seperti orang yang berteriak-teriak di
gurun. Tak ada yang menyahut.
Seperti sudah disebut di atas, ada atau tidak ada makhluk intelektual tidak penad bagi
proses-proses fisika. Who do you think you are? Kok bisa-bisanya menganggap diri sebegitu
penting, sampai-sampai menjadi faktor penentu dalam menggerakkan evolusi kosmik.
Situasi berubah dalam konferensi Cambridge berikutnya (2005). Para ilmuwan di
garda terdepan fisika malah ikut berderap bersama para nabi di padang gurun itu, kata
Wilczek. Semangat menyala-nyala itu rupanya karena ada mimpi tentang teori yang oleh
Stephen Hawking disebut Teori Segalanya. Teori itu diharapkan dapat menjelaskan semua
fenomena alam melalui interaksi tunggal fisika.
Boleh dibilang asas antropik naik daun sejak itu. Barangkali pada mulanya karena
terpaksa. Kosmologi dan fisika teoretis agak mandeg dalam upayanya menemukan asas
pertama yang dapat menurunkan besaran tetapan-tetapan itu.
Terpaksa atau tidak, dari segi metodologis tampak bahwa fakta ada hidup tidak lagi
diperlakukan sebagai informasi tambahan yang tidak terlalu penad bagi teori-teori kosmologi.
Untuk tidak masuk ke spekulasi di luar sains, cukuplah dikatakan bahwa fakta itu sekarang
diterima sebagai syarat batas yang sahih bagi model kosmologi yang berterima. Fakta itu
bukan lagi sekadar informasi latar. Kosmologiwan tidak bisa menawarkan model-model
kosmologis berdasarkan kriteria estetis melulu. Model itu perlu menyuguhkan interaksi fisika
yang sesuai dengan prasayarat bagi kehadiran kehidupan.
Fakta bahwa kita ada lalu mendapat bingkai penjelasan yang baru. Sebelumnya,
penjelasan bagi fakta biologis di Bumi cukup mengacu ke teori evolusi bagi lingkungan
lokal. Sekarang lingkungan lokal itu perlu dimengerti dalam konteks evolusi kosmis.
***
Perubahan sikap epistemik itu sejalan dengan munculnya skenario jagat berlipat
ganda (multiverse; selanjutnya multijagat). Skenario itu tidak sengaja dibangun dan
merupakan ‘efek samping’ dari hipotesis yang dikembangkan untuk mengatasi permasalahan
big bang yang msih tersisa. Kendati pada mulanya skenario itu tidak ada urusannya dengan

6
asas antropik, segeralah terlihat kaitannya. Penghubungnya adalah permasalahan kontingensi
alam semesta.
Mengapa hukum fisika ini yang ada dan bukan yang lainnya? Mengapa alam semesta
ini bercorak antropik—cocok bagi makhluk hidup berkesadaran seperti kita? Secara hipotetis
bisa saja hukum fisika itu dan bukan yang ini; secara hipotetis bisa saja alam semesta ini
tidak ada. Singularitas big bang secara ontologis bisa ditafsirkan sebagai permulaan alam
semesta. Artinya, alam semesta ini pernah tidak ada, keberadaannya ini tidaklah niscaya.
Alam semesta ini kontinjen: bisa ada dan bisa tidak ada.
Kontingensi antropik mengandaikan hanya ada satu alam semesta. Seluruh problem
sejati kosmologi sebetulnya terkait dengan fakta hanya ada satu alam semesta dan kita ada di
dalamnya. Kita tidak dapat melanglang ke luar untuk menelaah alam semesta.
Skenario multijagat mengubah gelanggang pergulatan manusia dalam menafsir alam
dan keberadaannya sebagai makhluk berakal-budi. Skenario itu menanggapi persoalan
kontingensi dengan meniadakan keunikan alam semesta ini. Pertanyaan ‘mengapa alam
semesta begini?’ tidak lagi bermakna. Jika ada berlaksa-laksa jagat dengan aneka konfigurasi
fisika, bukan hal yang mustahil bahwa salah satu di antaranya menghasilkan alam semesta
hunian kita ini. Kehadiran kita bak hasil lontaran dadu belaka.
Karena skenario itu terlihat sebagai jalan keluar untuk menghindar dari permasalahan
kecilnya peluang untuk menghadirkan alam semesta ini, Bernard Carr mengutip Mail Mason
yang menyindir skenario itu sebagai pelabuhan terakhir para ateis yang putus asa (2007, 16).
Bagaimanapun, tersisa persoalan metodologis yang serius dengan berbagai skenario
multijagat. Sains menuntut teori-teori ilmiah menyediakan ramalan yang, minimal secara
prinsip, dapat diuji secara empiris. Skenario itu menunjukkan konsistensi dan koherensi
matematis. Sejauh bertumpu ke kriteria matematis, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa
jagat-jagat yang luar biasa banyak itu tidak ada. Hukum fisika tidak melarangnya. Akan
tetapi, dalam sains seperti kosmologi, memadaikah kriteria matematis mengganti sepenuhnya
prediksi empiris?
Tiba-tiba saya ingat. Empat ratus tahun yang lalu, pastor Dominican Giordano Bruno
(1548-1600) dibakar hidup-hidup oleh Inkuisisi Gereja Katolik. Bruno mati bukan sebagai
martir copernicanisme. Melampaui Copernicus, ia menawarkan spekulasi kosmologis yang
sangat berani pada zamannya, antara lain, skenario dunia-banyak. Alih-alih cemas bahwa
skenario itu akan meniadakan peran Tuhan dalam menciptakan alam semesta, Bruno justru
percaya bahwa Tuhan yang Maha Sempurna semakin istimewa apabila kekuasaan-Nya
terejawantahkan dalam alam semesta yang ananta luasnya, dan ananta pula jumlah dunia
yang dipenuhi oleh umat-Nya. Bagi Bruno, tidak ada alasan teologis yang cukup untuk
membatasi jumlah dan perbentangan alam semesta karena Tuhan yang menjadikannya juga
tidak terbatas. Argumennya tidak sistematis dan eklektik, tetapi pokok yang menarik adalah
premisnya: apa pun yang tak punya alasan cukup untuk tidak ada, niscaya ada. Tidakkah ini
mirip-mirip dengan logika para pendukung multijagat minus teismenya?
***
Kosmologi abad ke-20 seakan-akan ditarik oleh dua kaki yang mau berderap ke arah
berlawanan. Satu kaki menapak di kawasan empiris sains modern dengan kaidah-kaidah
metodologis yang cukup ketat. Satu kaki lagi menarik-narik tubuhnya ke hasrat purba akan
kisah asal usul, sekaligus pengharapan akan masa depan.
Memasuki kosmologi adalah memasuki wilayah keseluruhan ruang-waktu dan materi-
energi yang perhinggaan terjauhnya sukar dibayangkan saking besarnya. Batas itu terus
menjauh karena alam semesta memuai dan pemuaiannya pun mengalami percepatan. Jika
pemuaian yang dipercepat terus berlanjut akibat dominasi sebentuk energi yang belum
dikenal, nun jauh di masa depan, bagian-bagian alam semesta akan tercabik-cabik dan galaksi

7
kita akan terisolasi. Kecuali pengamat masa depan memiliki kemampuan mengembara ke
seluruh jagat, ia akan terkucil. Bagi pengamat itu, bukti-bukti big bang, sudah lenyap.
Apa reaksi pengamat itu seandainya ia menemukan catatan-catatan ilmuwan masa
kini tentang big bang, atau berkas-berkas para teolog mengenai kalam cosmology (bentuk
kontemporer dari argumen kosmologis Abad Pertengahan)? Jangan-jangan mereka akan
menggolongkannya sebagai mitos sejenis Enūma Eliš (Babilonia) dan sebagainya.
Beruntunglah kita hidup di periode kosmis yang masih memiliki jejak masa lalu, betapapun
terbatasnya tafsir kita sejauh ini atas jejak itu.
Sedikitnya, jejak itu membuat saya tidak merasa terdampar ke ruang gelap yang
membuat Pascal tenggelam dalam rasa sepi yang pedih. Kalau memakai bahasa
perumpamaan: jejak itu membuat saya terpana. Bayang-bayang kehadiran kita menyeruak
dari kedalaman ruang-waktu kosmogonis sejak belasan milyar tahun yang lalu. Kita
terhubung ke alam semesta bukan semata-mata melalui harapan imajinatif-mitis leluhur kita.
Setiap zarah yang membentuk gumpalan protein di dalam tubuh kita terlahir di pusat-pusat
bintang, tersimpan berjuta-juta tahun di sana sampai terlontar ke ruang senyap antarbintang
oleh ledakan si bintang. Dari sana mereka melanglang ke sana dan ke mari, ikut bersama
putaran awan cikal bakal tata surya.
Setiap bintang, mengutip Pangeran Cilik, berbeda bagi setiap orang. Setiap jengkal
ruang-waktu di atas sana dapat ditafsirkan menurut sudut pandang yang berbeda-beda.
Keseluruhan alam semesta dapat saja dialami tidak bermakna dan hadir dari peristiwa
kebetulan. Namun, inilah misteri besar—lagi-lagi mengutip Pangeran Kecil. Alam semesta
sama sekali lain kalau di suatu tempat, entah di bintang yang mana, kita tahu pernah terlahir
butir-butir materi yang kini menjadi pembentuk tubuh kita.
Di tengah-tengah keseharian hidup yang berubah-ubah, di antara beragam-ragam
tafsir yang saling bertarung untuk memaknai eksistensi, di antara manusia yang tercerai berai
oleh rasa asing satu sama lain akibat pertarungan ide dan sistem kepercayaan, saya
menemukan seutas benang tipis yang mengikat kita semua. Kita adalah anak-anak sejati alam
semesta.
Sambil mendekap salinan naskah Nyi Pohaci Sanghyang Asri, saya bertanya-tanya.
Apakah semua ini kebetulan belaka?

Kepustakaan:
Aristotle. The Complete Works of Aristotle. The Revised Oxford Translation. Disunting oleh Jonathan Barnes,
vol. 2 dalam 2 volume. Princeton, NJ: Princeton University Press, 1984.
Bacon, Francis. The Advancement and Proficiency of Learning. Dalam The Works of Francis Bacon, vol. 1
dalam 7 volume. Disunting oleh James Spedding, Robert Leslie Ellis & Douglas Denon Heath.
London: Longman, Green, Longman and Roberts, 1859-1864.
_______. Valerius Terminus: Of the Interpretation of Nature. Dalam The Works of Francis Bacon, vol. 3 dalam
7 volume. Disunting oleh James Spedding, Robert Leslie Ellis & Douglas Denon Heath. London:
Longman, Green, Longman and Roberts, 1859-1864.
Galileo Galilei. “The Assayer.” Dalam The Controversy on the Comets of 1618. Diterjemahkan oleh Stillman
Drake & C.D. O'Malley. University of Pennsylvania Press: Philadelphia, 1961.
_______. “Galileo's Letter to the Grand Duchess Christina.” Dalam A. Finocchiaro (ed.), The Galileo Affair: A
Documentary History of Science. Berkeley: University of California Press, 1989.
Harrison, Peter. The Territories of Science and Religion. Chicago: University of Chicago Press, 2015.
Pais, Abraham. Niels Bohr’s Times: in Physics, Philosophy, and Polity. Oxford: Clarendon Press, 1991.
Pascal, Blaise. Pensées. Diterjemahkan dan disunting oleh A. J. Krailsheimer. Oxford: Oxfford University
Press, 1980 [1669].
Saint-Exupéry, Antoine de. Le Petit Prince. Pangeran Kecil. Diterjemahkan oleh H. Chambert-Loir. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2011 [1943].
Shapere, Dudley. “Testability and Empiricism.” Dalam Evandro Agazzi & Massimo Pauri (ed.). The Reality of
the Unobservable. Dordrecht: Springer Science, 2000.
Sumardjo, Jakob. Sunda Pola Rasionalitas Budaya. Bandung: Kelir, 2015.

8
Vico, Giambattista. The New Science of Giambattista Vico, Unabridged Translation of the Third Edition (1744)
with addition of “Practice of the New Science”. Diterjemahkan oleh Thomas G. Bergin & Max H.
Fisch. Ithaca, N.Y. & London: Cornel University Press, 1984.
Weinberg, Steven. “Theories of the Cosmological Constant.” Dalam Critical Dialogues in Cosmology,
disunting oleh Neil Turok. Singapore: World Scientific, 1997.
Wilczek, Frank. “Enlightenment, Knowledge, Ignorance, Temptation.” Dalam Bernard Carr, (ed.), Universe or
Multiverse? Cambridge: Cambridge University Press, 2007.

Anda mungkin juga menyukai