UST. AFFANDI
CIES (ONLINE)
Hybrid contract
Kalau kita lihat dari segi pengertian. Kata-kata aqdun secara etimologinya
mengadakan/melakukan perjanjian. Secara terminologi, satu ikatan dengan
mengungkapkan ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariat dan mengakibatkan
adanya hukum pada objek yang diperikatkan. Menurut imam syafi;i, akad adalah
sesuatu yang dikerjaka seseorang berdasarkan keinginannya sendiri tanpa ada
paksaan yang pada ujungnya membentuk satu keinginan antara 2 orang untuk
melakukan jual beli atau membentuk ikatan.
Ahdun dan aqdun punya makna yang kadang sama tapi kadang dibedakan.
Secara bahasa, akad adalah akad, wa’d adalah janji, wa’dun adalah janji juga.
Perbedaan antar wa’d dan ahd adalah ahd lebih banyak orangnya.
Ulama yang mengatakan wa’d itu adalah yang mengikat, beratrti karakternya sama
dengan aqdun. Karen akad juga mengikat. Maka kalau seandainya ghairu mulzim,
maka itu adalah janji yang tidak mengikat. Ini pengertian dasar, yang perlu
dipahami, karena akan berdampak pada pemahaman kepada transaksi yang
menerapkan wa’d.
Secara maknawi, artinya adalah sesuatu yang merefleksikan multi. Karena kalau
disebut multi ulama sepakat melarangnya. Ada 2 pendapat terkait hybrid contract.
Pertama mengenai larangan penggunaan multi akad. Yang melarang berdasarkan
kepada hadis bai’ salaf, bai’atani fil bai’ah, dan shafqataini fi shafqah. Dengan
munculnya hadits tersebut, wajar muncul pertanyaan apakah hybrid contract sudah
memenuhi aspek syariah atau belum.
Artinya akad yang bersyarat atau bergantung atau secara bahasa akad yang saling
berhadapan. Sesuatu yang dikatakan berhaadpan, ketika sesuatu tersebut saling
berhadapan.
Pendapat imam malik mengenai akad ini adalah ada semacam kebergantungan
antara kedua belah pihak atau ada semacam proses timbal balik dari kedua akad.
Jadi akad a dan b saling bergantung. Model akad seperti ini biasanya terjadi di akad
al mu’awadah (akad pertukaran dan akan tabarru’). Ulama banyak mengatakan
maksud dari mazhab maliki ini disebut dengan akad bersyarat dengan syarat
Akad yang berkumpul jadi satu atau multi akad. Contoh terhimpunnya 2 akad yang
memiliki hukum yang berbeda. Jadi ada 2 akad tapi memiliki hukum yang berbeda
kemudia transaksinya jadi 1. Contoh A menjual motor kepada B, sekaligus
menyewakannya. Bisa disebut dengan al ijarah tsummal bai’. Di indonesia tidak ada,
tapi di Malaysia ada disebut dengan AITAB
Akad yang berlawanan. Dalam istilah lain yang dimaksud dengan akad yang
berlawanan adalah al uqud almutanaqidoh, wal mutadho’ah, al mutanafi’ah.
Walaupun dia satu, tapi memiliki istlah yang berbeda. Mutanaqidoh artinya
berlawanan. Artinya kalau kita mengucapkan sesuatu, kemudian kita mengatakan
sesuatu lainnya yang tidak sama. Biasanya al mutanaqidoh tidak dipake.
Akad yang berbeda. Yang dimaksud dengan akad ini adalah terhimpunnya 2 akad
yang mempunyai pebedaaan masing-masing bisa jadi lebih dari 2. 3 maksimal. Ini
yang banyak kita bahas. Contoh akad jual beli dengan sewa. Ijaroh dengan salam.
Harganya tidak harus diserahkan pada saat akad.
Akad yang dikumpulkan jadi satu dan masih berada dalam satu turunan akad.
Contoh akad jual beli turunannya ada nurabahah, ada istishba’ dll.
Apa permasalahannya?
Kenapa multi akad menjadi sebuah polemik. Secara nash, multi akad dilarang.
Menurut para ulama, ibn qayyim berpendapat nabi melarang dalam akad pinjaman
(salaf )dan jual beli untuk menghindari unsur riba’.
Dalam perkembangan transakisi keuangan, meskipun dilarng tapi ada celah untuk
membolehkannya, dengan syarat tidak ada syarat, dan tidak ada qard yang
menambah manfaat di dalamnya.
Kedua
Nyatanya hilah ribawi dalam qard karena objeknya semu. Artinya hanya sekedar
formalitas. Dia tidak benar-benar transaksi jual beli. Kalau jual beli yang benar
adalah adanya peralihan kepemilikan. Bai’ inah tidak demikian.
Ketiga
Contoh; seorang menjual 2 kg mangga 20.000 dengan syarat, harga yang sama 20.000
harus membeli dari pembeli yang dimana harganya sama, tapi beratnya beda yaitu 3
kg. Ini riba’ in quantity bukan in quality.
Dari kalangan ulama imam malik dengan jelas melarang karena ada ketentuan
hukum yang berlawanan dan bertolak belakang.
Status hukum multi akad belum sama. Misalnya contoh akad bai’ wa salaf. Itu sudah
jelas dilarang. Harus dilihat dari akad yang membangunnya.
Mayoritas ulama imam hanafi menyimpulkan multi akad ini adalah sah. Apa
alaannya. Dengan adanya akad baru, tidak otomatis membatalkan akad sebelumnya.
Al aslu fil mu’amalah al ibahah. Dengan syarat adanya al ‘uqud al mustaqillah. Akad
tersebut independen dan tidak terpengaruh dan kaitan dengan yang lain. Setiap
akad dilakukan sendiri-sendiri.