PRODUK-PRODUK PEMBIAYAAN
DAN MEKANISMENYA – part 2
PJJ Pertemuan ke 6
21 Oktober 2020
v
= jumlah transaksi dalam satu periode).
Dengan demikian, nisbah bagi hasil dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut:
3%
Nisbah bank = -------- x 100% =
42,86%
7%
Nisbah nasabah = 100% - 42,86% = 57,14%
Rasio (nisbah) bagi hasil antara bank dan nasabah adalah 42,86%
: 57,14%
Setelah perhitungan nisbah ditemukan, maka pihak bank akan
melakukan tawar-menawar nisbah dengan nasabah pembiayaan.
Jika nisbah tersebut disepakati, maka pembiayaan mudharabah
yang akan dijalankan diikat dengan nisbah pembagian
keuntungan bisnis aktual dengan porsi nisbah antara bank dan
nasabah adalah 42,86% banding 57,14%.
2. Nisbah Bagi Hasil Pembiayaan
Mudharabah Muqayyadah
Bank Syariah
Penjualan Cicilan
Satu nasabah
Bank Syariah Penyewaan Cicilan
investor
Kerjasama Usaha
Skema-Skema Mudharabah
Skema Mudharabah Muqayyadah On Balance Sheet
Penjualan 1
Pertanian Penjualan 2
Penjualan n
Nasabah 1 Penyewaan 1
Nasabah 2
Nasabah 3 Penyewaan 2
Bank Syariah Sewa
-
- Penyewaan n
Nasabah n
Kerjasama 1
Kerjasama 2
Kerjasama Usaha
Kerjasama n
a. Teknik Perhitungan Bagi Hasil
Kasus:
Bapak Ahmad membuka deposito sebesar Rp
10.000.000 jangka waktu satu bulan (tanggal 1
Mei sampai dengan 1 Juni 2008). Nisbah bagi
hasil antara nasabah dan bank 57:43. Jika
keuntungan bank yang diperoleh untuk deposito
satu bulan per 31 Mei 2007 adalah Rp
20.000.000 dan rata-rata deposito jangka
waktu
satu bulan adalah Rp 950.000.000, berapa
keuntungan yang diperoleh Bapak
Ahmad?
Jawab:
Bagi hasil yang diperoleh bapak Ahmad
adalah:
(Rp 10 juta/Rp 950 juta) x Rp 20 juta x 57% =
Rp120.000
b. Faktor Penentu Bagi Hasil dan Bunga
Mark-up Pricing
Target-Return Pricing
Perceived-Value Pricing
Value Pricing
1. Mark-up
Pricing
Penentuan tingkat harga dengan me-
markup biaya produksi komoditas yang
bersangkutan.
H
agra d
aY awati
kr
2). Target –Return Pricing
a g
n aY a
g H k r
a ti d
rn a
wa
3. Perceived-Value Pricing
Penghitungannya:
Nisbah bank = epr/expected return bisnis
yang dibiayai*100%
Aktual return bank = nisbah bank +actual
return bisnis.
D. Sistem Pembiayaan Jual
Beli (Sale & Purchase) dan
Sewa
Pembiayaan yang diberikan kepada nasabah tidak hanya
diselesaikan dengan cara mudharabah dan musyarakah (bagi
hasil). Namun, Islamic Banking dapat juga menjalankan
pembiayaan dengan akad jual beli dan sewa. Pada akad jual beli
dan sewa, Islamic Banking akan memeroleh pendapatan secara
pasti. Hal ini sesuai dengan konsep dasar teori pertukaran.
Teori pertukaran, sering disebut sebagai natural certainty
contracts, adalah kontrak dalam bisnis yang memberikan
kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah maupun waktu.
Dalam bentuk ini: (1) Cash flow-nya pasti atau sudah disepakati
pada awal kontrak; (2) Objek pertukarannya juga pasti secara
jumlah, mutu, waktu, maupun harga.
Kontrak bisnis yang masuk dalam kategori ini, adalah kontrak
bisnis tijarah dan ijarah. Oleh karena itu, ketentuan yang
berlaku dalam kontrak jual beli (bai’u) berlaku juga dalam
kontrak sewa (ijarah). Demikian mayoritas ulama mengatakan,
“Syarat-syarat yang berlaku bagi harga jual berlaku juga bagi
harga sewa.” (Al-Dardir, 4: 59; al-Ramli, 5:322; Ibnu
Qudamah).
1.
Murabahah
a. Pengertian dan Hukum Murabahah
Murabahah adalah akad jual beli atas suatu barang,
dengan harga yang disepakati antara penjual dan
pembeli, setelah sebelumnya penjual menyebutkan
dengan sebenarnya harga perolehan atas barang tersebut
dan besarnya keuntungan yang diperolehnya.
Al-Qur’an tidak pernah secara langsung membicarakan
murabahah meski di sana ada sejumlah acuan
tentang jual beli, laba, rugi, dan perdagangan.
Demikian pula, tampaknya tidak ada hadis yang
memiliki rujukan langsung kepada murabahah.
Para ulama generasi awal, semisal Malik dan Syafi’i yang
secara khusus mengatakan bahwa jual beli murabahah
adalah halal, tidak memperkuat pendapat mereka dengan
satu hadis pun. Al-Kaff (tt), seorang kritikus murabahah
kontemporer, menyimpulkan bahwa murabahah adalah
“salah satu jenis jual beli yang tidak dikenal pada zaman
Nabi atau para sahabatnya.”
b. Landasan Hukum Murabahah
a. Al-Qur’an Surah Al-Baqarah [2]: 275
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Al- Qur’an Surah Al-Nisaa’ [4]: 29
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
dan janganlah kamu membunuh dirimu [larangan
membunuh diri sendiri mencakup juga larangan
membunuh orang lain, sebab membunuh orang
lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat
merupakan suatu kesatuan]; Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.
Hadis riwayat Tirmidzi
“Pedagang yang jujur dan terpercaya,
maka dia bersama nabi, orang-orang yang
jujur, dan para syuhada.”
c. Syarat dan Rukun
Murabahah
1) Rukun Murabahah
Ba’iu (penjual).
Musytari (pembeli).
Mabi’ (barang yang diperjualbelikan).
Tsaman (harga barang).
Ijab qabul (pernyataan serah terima).
2) Syarat
Murabahah
Syarat yang berakad (ba’iu dan musytari) cakap
hukum dan tidak dalam keadaan terpaksa.
Barang yang diperjualbelikan (mabi’) tidak
termasuk barang yang haram dan jenis maupun
jumlahnya jelas.
Harga barang (tsaman) harus dinyatakan secara
transparan (harga pokok dan komponen
keuntungan) dan cara pembayarannya
disebutkan dengan jelas.
Pernyataan serah terima (ijab qabul) harus jelas
dengan menyebutkan secara spesifik pihak-pihak
yang berakad.
Skema
Murabahah:
Negosiasi
(1 (1
) )
(2 (2
) )
Akad
Murabahah
Bayar
(4)
Kewajiban
Penju Pemb
al eli
Kirim barang & Terima barang &
dokumen Barang dokumen
(3 (3a
) )
d. Murabahah dalam Teknis Perbankan
1) Pengertian
Murabahah adalah akad jual-beli antara lembaga keuangan dan
nasabah atas suatu jenis barang tertentu dengan harga yang
disepakati bersama. Lembaga keuangan akan mengadakan
barang yang dibutuhkan dan menjualnya kepada nasabah
dengan harga setelah ditambah keuntungan yang disepakati.
Guna memastikan keseriusannya untuk membeli, bank dapat
mensyaratkan nasabah agar terlebih dahulu membayar uang
muka.
Nasabah membayar kepada bank atas harga barang tersebut
(setelah dikurangi uang muka) secara angsuran selama jangka
waktu yang disepakati, dengan memerhatikan kemampuan
mengangsur ataupun arus kas usahanya. Pembayaran secara
angsuran ini dikenal dengan istilah bai’u bitsaman ajil (BBA).
Baik harga jual maupun besar angsuran yang telah disepakati
tidak berubah hingga akad pembiayaan berakhir.
Tidak ada denda atas keterlambatan pembayaran angsuran
(penalty overdue).
Skema Murabahah: Contoh Aplikasi
Perbankan
Negosia
(1 si (1
) )
(2 (2
) Akad Murabahah )
Bayar uang muka Rp 120
Juta (3
)
Bayar
(6)
Angsuran
Serahkan surat –surat
(7)
ruko CV Bina
Bank Syariah
Amanah
“Q”
Beli ruko Rp 400 Jual ruko Rp 420
Juta (4
Juta
) (5
Ruk )
o
2) Praktik Murabahah dalam Islamic
Banking
Umumnya murabahah diadopsi untuk memberikan pembiayaan
jangka pendek kepada para nasabah guna pembelian barang
meskipun mungkin si nasabah tidak memiliki uang untuk
membayar. Murabahah, sebagaimana yang digunakan dalam
perbankan syariah, prinsipnya didasarkan pada dua elemen
pokok: harga beli serta biaya yang terkait, dan kesepakatan
atas mark-up (laba). Ciri dasar kontrak murabahah (sebagai jual
beli dengan pembayaran tunda) adalah: (i) pembeli harus
memiliki pengetahuan tentang biaya-biaya terkait dan harga asli
barang; batas laba (mark-up) harus ditetapkan dalam bentuk
persentase dari total harga plus biaya-biayanya; (ii) apa yang
dijual adalah barang atau komoditas, dan dibayar dengan uang;
(iii) apa yang diperjualbelikan harus ada dan dimiliki oleh
penjual, dan penjual harus mampu menyerahkan barang itu
kepada pembeli; dan (iv) pembayarannya ditangguhkan.
Murabahah seperti yang dipahami di sini, digunakan dalam
setiap pembiayaan di mana ada barang yang bisa diidentifikasi
untuk dijual.
Pada umumnya murabahah telah digunakan sebagai metode pembiayaan yang
utama, meliputi kira-kira tujuh puluh lima persen dari total kekayaan. Angka
persentase ini kira-kira cocok dengan banyak Islamic Banking. Begitu pula dengan
sistem perbankan, baik di Pakistan maupun di Iran. Semenjak awal 1984, di
Pakistan, pembiayaan jenis murabahah mencapai sekitar delapan puluh tujuh persen
dari total pembiayaan dalam investasi deposito PLS. Dalam kasus Dubai Islamic
Bank, Islamic Banking terawal di sektor swasta, pembiayaan murabahah mencapai
delapan puluh dua persen dari total pembiayaan selama tahun 1989 (IDB, 1989).
Bahkan, bagi Islamic Development Bank (IDB), selama lebih dari sepuluh tahun
periode pembiayaan, tujuh puluh tiga persen dari seluruh pembiayaannya adalah
murabahah, yaitu dalam pembiayaan dagang luar negeri (IDB, 1989).
Sejumlah alasan diajukan untuk menjelaskan popularitas murabahah dalam operasi
investasi perbankan Islam: (i) murabahah adalah suatu mekanisme investasi jangka
pendek dan, dibandingkan dengan sistem profit and loss sharing (PLS), cukup
memudahkan; (ii) mark-up dalam murabahah dapat ditetapkan sedemikian rupa
sehingga memastikan bahwa bank dapat memeroleh keuntungan yang sebanding
dengan keuntungan bank-bank berbasis bunga yang menjadi saingan Islamic
Banking; (iii) murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapatan
dari bisnis-bisnis dengan sistem PLS (Ahmad, 1998); dan (iv) murabahah tidak
memungkinkan Islamic Banking untuk mencampuri manajemen bisnis, karena bank
bukanlah mitra nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah adalah
hubungan antara kreditur dan debitur.
e. Perbandingan antara Pembiayaan Berbasis
Murabahah dan Bunga Tetap
Tujuan perbandingan ringkas di sini adalah untuk melihat
apakah ada perbedaan yang signifikan antara pembiayaan
dengan murabahah dengan pembiayaan lewat bunga
tetap untuk tujuan-tujuan yang sama. Perbandingan
difokuskan pada aspek-aspek berikut: harga pembiayaan,
risiko dalam pembiayaan murabahah, keamanan,
hubungan antara bank dan pembeli, dan penyelesaian
utang.
1. Biaya untuk Pembiayaan
2. Murabahah:Bebas Risiko atau Berbagi Risiko
a. Risiko yang terkait dengan barang
b. Risiko yang terkait dengan Nasabah
c. Risiko yang terkait dengan pembayaran
3) Jaminan untuk Pembiayaan
Murabahah
Meminta jaminan atas uang pada dasarnya bukanlah sesuatu
yang tercela, demikian menurut Al-Qur’an dan Sunnah. Al-Qur’an
memerintahkan umat Islam untuk menulis tagihan utang mereka,
dan jika perlu, meminta jaminan atas utang itu.
Dalam sejumlah kesempatan, Nabi memberikan jaminannya
kepada krediturnya atas utang beliau. Jaminan adalah satu cara
untuk memastikan bahwa hak-hak kreditur tidak akan
dihilangkan, dan untuk menghindarkan diri dari “memakan harta
orang dengan cara batil”.
Namun demikian, karena meminta jaminan dipandang oleh para
pendukung perbankan Islam sebagai suatu penghambat dalam
aliran dana bank untuk para pengusaha kecil, Islamic Banking
cenderung mengkritik bank-bank konvensional sebagai terlalu
‘berorientasi jaminan’ (security oriented). Dalam kalimat
International Islamic Bank for Investment and Development
(IIBID), “Jaminan-jaminan adalah ‘unsur terpenting’ dalam
keputusan memberikan pinjaman oleh bank konvensional.” Secara
tidak langsung ini menyatakan bahwa bagi Islamic Banking
jaminan bukan soal penting dalam keputusan pembiayaan.
Peran Jaminan pada Bank
Konvensional
Dalam konteks pemberian pinjaman bank konvensional, jaminan
memainkan peran penting untuk memastikan pengembalian pinjaman
ketika jatuh tempo. Namun, jaminan bukanlah faktor terpenting untuk
menentukan apakah uang muka perlu dikenakan atau tidak terhadap
nasabah. Pitcher, seorang bankir konvensional, mengatakan, “Kebanyakan
kami, selama dalam pelatihan, belajar bahwa [jaminan] adalah salah satu
aspek yang kurang penting dalam usulan pinjaman, tetapi bagi
kebanyakan nasabah kami, jaminan sering tampak menjadi faktor utama
di depan benak kami ketika kami melihat permintaan mereka dan menjadi
prasyarat bagi setiap pembahasan yang berarti. Saya dapat mengingat
dengan baik seorang manajer tua memberitahuku segera setelah saya
bergabung dengan bank, ‘Jangan biarkan jaminan memengaruhi
keputusan peminjaman. Saya tidak pernah meminjamkan uang dengan
jaminan yang saya juga tidak meminjamkannya bila tidak ada jaminan” ….
Memberikan pinjaman dengan jaminan material ada tempatnya, tetapi
memberikan pinjaman karena jaminan saja pasti secara tidak adil akan
membatasi kucuran dana bank bagi usaha-usaha yang terkontrol dengan
baik yang dapat meminjam uang dengan sukses kalau saja mereka
memiliki harta yang diperlukan untuk menopang janjinya sebagai
jaminan.” (Pitcher, 1990: 11).
Jaminan Pihak ke-3 dalam
Pembiayaan Murabahah
Kontrak-kontrak murabahah Islamic Banking dan cabang-cabang syariah bank
konvensional berisi klausul-klausul yang menekankan pentingnya jaminan. Dalam
kontrak Faisal Islamic Bank of Egypt (FIBE), Jordan Islamic Bank (JIB), International
Islamic Bank of Investment and Development (IIBID), Egyptian Gulf Bank (EGB),
Bank of Credit and Commerce (BCCI), dan Banque Misr, misalnya, garansi dan
jaminan dimintakan dari nasabah.
Jaminan-jaminan itu dapat berupa benda bergerak, maupun tidak bergerak, barang-
barang murabahah sendiri bilamana dipandang pantas untuk dijadikan jaminan,
garansi pihak ketiga, pembayaran uang muka, dan surat-surat komersial. Menurut
kontrak, bank memilih hak untuk meminta jaminan tambahan kepada nasabah yang
jaminan itu dapat diterima oleh bank dalam hal bank berpikir bahwa jaminan yang
telah diberikan sebelumnya tidak mencukupi. Jika diminta, maka nasabah harus
memberikan jaminan itu tanpa bantahan atau penundaan.
Umumnya, jaminan pihak ketiga adalah mutlak. Kontrak murabahah, misalnya,
mengatakan, Pihak ketiga memberikan jaminan mutlak atas tanggung jawab dan
kewajiban nasabah yang timbul akibat kontrak ini. Pihak ketiga setuju bahwa
jaminannya adalah suatu jaminan tambahan. Jaminan ini tidak dapat memengaruhi
atau dipengaruhi oleh jaminan yang lain yang mungkin telah diberikan sebelumnya
oleh nasabah, atau jaminan yang mungkin diperoleh bank darinya dimasa yang akan
datang. Pihak ketiga menganggap dirinya terikat oleh jaminan ini sebagai suatu
asuransi yang berlangsung terus.
Hak-hak bank sangat terlindungi di dalam kontrak. Semua barang
bergerak dan tidak bergerak milik nasabah dan penjaminnya dapat
digunakan untuk memenuhi kewajiban yang timbul akibat kontrak
murabahah. Menurut kontrak murabahah Jordan Islamic Bank (JIB),
“Nasabah dan penjamin setuju bahwa bank memiliki hak untuk
menerapkan segala hukuman dan keputusan yang dikeluarkan terhadap
mereka, secara bersama-sama, pribadi-pribadi, maupun terhadap semua
harta mereka atau harta salah seorang dari mereka, baik harta bergerak
maupun tidak bergerak.”
Di samping semua itu, nasabah harus, saat memohon dana, menaruh cek
pada bank untuk tiap-tiap angsuran yang diberi tanggal sesuai dengan
jatuh temponya. Bank memiliki hak untuk mencairkan cek guna penagihan
pada tanggal jatuh tempo jika nasabah tidak membayar angsurannya saat
jatuh tempo. Semua ini tentu menjamin, hampir pasti, pelunasan hutang
murabahah. Sikap bank yang semacam ini terhadap jaminan tidak
membenarkan kritik mereka terhadap kebijakan bank konvensional
mengenai jaminan. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa jika demikian
adanya perhatian Islamic Banking terhadap jaminan, maka praktik mereka
jelas tidak lebih baik daripada praktik jaminan bank konvensional.
BAB
4
LANJUTAN
Diriwayatkan dengan sahih bahwa Zubair bin Awwam pernah membeli sebuah tanah
hutan, yakni sebidang tanah luas di daerah tinggi di kota Madinah dengan harga
seratur tujuh puluh ribu dinar. Namun, kemudian ia menjualnya dengan harga satu
juta dinar, yakni menjualnya dengan harga berlipat-lipat kali lebih mahal.
Hal yang perlu dicermati di sini bahwa semua kejadian itu tidak
mengandung unsur penipuan, manipulasi, monopoli,
memanfaatkan keluguan pembeli, ketidaktahuannya, kondisinya
yang terpepet atau sedang membutuhkan, lalu harga ditinggikan.
Di sisi lain, semua kejadian ini tidaklah menggambarkan kaidah
umum dalam mengukur keuntungan. Justru sikap memberi
kemudahan, sikap santun dan puas dengan keuntungan yang
sedikit itu lebih sesuai dengan petunjuk para ulama dan spirit
kehidupan syariah.
Orang yang puas dengan keuntungan sedikit pasti usahanya akan
penuh dengan berkah. Ali bin Abi Thalib biasa keliling pasar Kufah
dengan membawa tongkat sambil berkata, “Hai para pedagang,
ambillah hak kalian, kalian akan selamat. Jangan kalian tolak
keuntungan yang sedikit, karena kalian bisa dihalangi
mendapatkan keuntungan besar....” (Abdullah al-Mushlih dan
Shalah al-Shawi, 2001: 80)
g. Metode Penentuan Harga
Jual dan Profit Margin
1) Metode Penentuan Profit Margin
Ada empat metode penentuan profit margin
yang diterapkan pada bisnis/bank konvensional,
yaitu: (1) mark-up pricing; (2) target-return
pricing; (3) perceived-value pricing; dan (4)
value pricing. Keempat metode penentuan
harga jual barang ini dapat diuraikan secara
ringkas sebagai berikut:
a) Mark-up Pricing
Penentuan tingkat harga dengan me-markup
biaya produksi komoditas yang
bersangkutan
Contoh:
PT Arif memproduksi barang A. Dalam
menentukan tingkat harga dan biaya
produksinya, perusahaan tersebut
mempertimbangkan biaya-biaya sebagai
berikut:
Biaya variabel per unit = Rp 10
Biaya tetap = Rp 100.000
Jumlah unit yang diharapkan terjual,
sebanyak 10.000 unit.
Dengan demikian, biaya produksi
perusahaan untuk memproduksi barang
A adalah sebagai berikut:
Biaya tetap
Biaya per unit = Biaya variabel + ------------------
umlah
penjualan
R
p 100.000
=
Rp 10 + ----------------- = Rp 20
10.000
Diasumsikan perusahaan menetapkan keuntungan sebesar
10% dari penjualan, maka mark-up price untuk setiap
unit adalah sebagai berikut:
Biaya per unit Harga Mark-up
=----------------------------------------
(1 – pendapatan penjualan yang diharapkan)
Rp 20
= ----------------- = Rp 22,22
(1 – 0.10)
0,20 x Rp 1.000.000
= Rp 20 + ----------------------------- = Rp 40
10.000
Rp 40 merupakan harga yang telah ditargetkan dari
banyaknya modal yang diinvestasikan. Harga tersebut yang
dijadikan sebagai harga dasar penawaran penjualan
kepada calon nasabah yang akan membeli barang A
tersebut. Jika calon nasabah menyepakati harga tersebut
maka akan terjadi kontrak jual beli.
c) Perceived-Value Pricing
Penentuan harga dengan tidak menggunakan variabel
harga sebagai dasar harga jual. Harga jual didasarkan
pada harga produk pesaing di mana perusahaan
melakukan penambahan atau perbaikan unit untuk
meningkatkan kepuasan pembeli.
Contoh:
Seseorang lebih suka menabung di Islamic Banking
Berkah daripada di Islamic Banking Permai walaupun
tingkat bagi hasil di Islamic Banking Permai lebih tinggi.
Nasabah merasa puas karena di Islamic Banking Berkah
pelayanannya lebih baik dibandingkan dengan pelayanan
yang diberikan oleh Islamic Banking Permai.
d) Value Pricing
Kebijakan harga yang kompetitif atas barang yang berkualitas tinggi.
Dengan ungkapan: ono rego ono rupo. Artinya, barang yang baik pasti
harganya mahal. Namun, perusahaan yang sukses adalah perusahaan
yang mampu menghasilkan barang yang berkualitas dengan biaya yang
efisien, sehingga perusahaan tersebut dapat dengan leluasa menentukan
tingkat harga di bawah harga kompetitor.
2) Hitung mark-up
Hitung Markup= 10% x pembiyaan
Markup = 10% x Rp 120 juta
= Rp 12.000.000
3) Hitung harga jual bank
(2 (2
) )
Akad Salam
Bayar Harga
Barang
(3
Produsen/Penjua ) Pemb
l eli
Produksi Kirim
barang Barang barang
(4 (5
) )
d. Salam Pararel dalam Teknis Perbankan
Pengertian:
Salam Paralel merupakan transaksi pembelian atas
barang tertentu yang dilakukan oleh bank dari pihak
produsen atau pihak ketiga lainnya dengan pembayaran
di muka, untuk kemudian dijual kembali kepada nasabah
dengan waktu penyerahan yang disepakati.
Pembayaran oleh nasabah kepada bank dapat dilakukan
di muka pada saat ditandatanganinya akad salam atau
secara tunai pada saat penyerahan barang (salam wal
bai’u muthlaqah) atau dengan cara mengangsur (salam
wal murabahah).
Apabila pembayaran oleh nasabah dilakukan secara tunai
atau dengan cara mengangsur, biasanya bank
mensyaratkan agar nasabah terlebih dahulu membayar
sejumlah uang muka yang diperlukan.
Skema Salam: Contoh Aplikasi
Perbankan
Negosiasi
(1 (1
) )
(2 ) (2
) )
Akad Salam
Bayar uang muka
(4)
Rp 300 Juta
(8)
Bank Syariah “XYZ” Bayar Angsuran PT.
Anugrah
Akad salam (2a) Sentosa
Negosiasi (1a) Produksi jagung Kirim
Bank garansi (3) KUD jagung
Jagung
Lestari (6)
Bayar Rp 1.,5 M (5)
(7)
Kirim faktur (7a)
3. Bai’ Istishna’
a. Syarat Istishna’
Produsen dan pemesan (shani’ dan mustashni’)
cakap hukum, tidak dalam keadaan terpaksa,
dan tidak ingkar janji.
Produsen (shani’) memiliki kapasitas dan
kesanggupan untuk membuat/mengadakan
barang yang dipesan.
Barang yang dipesan (mashnu’) harus jelas
spesifikasinya dan tidak termasuk yang dilarang
syariah, sedangkan waktu penyerahannya
sesuai kesepakatan.
Harga barang (tsaman) harus dinyatakan secara
jelas dan pembayarannya dilakukan sesuai
dengan kesepakatan
Skema
Istishna’:
Pesan barang
(1)
Akad Istishna’
(2)
Bayar Harga
Barang
(5
Produsen ) Pembeli
(Shani’) (Mustashni’)
Proyek ruko
Bank Syariah
b. Aplikasi Istishna’ Paralel
dalam Teknis
Perbankan
Pembiayaan modal kerja; misalnya,
untuk modal kerja industri barang-barang
konsumsi, termasuk garmen, sepatu,
dan sebagainya.
Pembiayaan investasi; misalnya, untuk
pengadakan barang-barang modal seperti
mesin-mesin.
Pembiayaan konstruksi (construction
financing).
4. Ijarah dan Ijarah Wa Iqtina
a. Prinsip Sewa (Ijarah)
Transaksi ijarah dilandasi dengan adanya perpindahan manfaat
(hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi,
pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli.
Perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Pada jual beli,
objek transaksinya barang, sedangkan pada ijarah, objek
transaksinya adalah barang maupun jasa.
Ijarah didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan
barang/jasa dengan membayar imbalan tertentu (Sarkhasi, al-
Mabshut, 15:74; Al-Umm, 3:250). Menurut fatwa Dewan
Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna
(manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu
melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri (2001). Dengan
demikian, dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan,
tetapi hanya perpindahan hak guna dari yang menyewakan
kepada penyewa.
Skema Ijarah Wa
PenyerahanIqtina:
Kepemilikan Penyerahan Kepemilikan
(5) (5)
OBJEK SEWA
Penyerahan Pemanfaatan
(Ma’jur)
Hak Hak
Penggunaan (3) Penggunaan (3)
1) Pengertian
Ijarah wa Iqtina (Ijarah Muntahia Bit tamlik) adalah akad
sewa-menyewa atas barang tertentu antara bank
sebagai pemilik barang (mu’jir) dan nasabah selaku
penyewa (musta’jir) untuk suatu jangka waktu dan
dengan harga yang disepakati. Pada akhir masa sewa,
bank memberikan opsi kepada nasabah untuk membeli
barang tersebut dengan harga yang disepakati pula.
2) Aplikasi
Pembiayaan investasi; seperti untuk pembiayaan barang-
barang modal, seperti mesin-mesin.
Pembiayaan konsumer; seperti untuk pembelian mobil,
rumah, dan sebagainya.
3) Pembiayaan Ijarah dan IMBT di Islamic Banking
Pembiayaan ijarah dan ijarah muntahia bit tamlik (IMBT)
memiliki kesamaan perlakuan dengan pembiayaan murabahah.
Sampai saat ini, mayoritas produk pembiayaan Islamic Banking
masih terfokus pada produk-produk murabahah (prinsip jual-
beli). Kesamaan keduanya bahwa pembiayaan tersebut
termasuk dalam kategori natural certainty contract, dan pada
dasarnya adalah kontrak jual beli. Perbedaan kedua jenis
pembiayaan (ijarah/IMBT dengan murabahah) hanyahlah objek
transaksi yang diperjualbelikan tersebut. Dalam pembiayaan
murabahah, objek transaksi adalah barang seperti rumah dan
mobil, sedangkan dalam pembiayaan ijarah, objek transaksinya
adalah jasa, baik manfaat atas barang maupun manfaat atas
tenaga kerja. Dengan pembiayaan murabahah, Islamic Banking
hanya dapat melayani kebutuhan nasabah untuk memiliki
barang, sedangkan nasabah yang membutuhkan jasa tidak
dapat dilayani. Dengan skim ijarah, Islamic Banking dapat pula
melayani nasabah yang hanya membutuhkan jasa.
f. Ijarah dan Leasing
Karena ijarah adalah akad yang mengatur pemanfaatan
hak guna tanpa terjadi pemindahan kepemilikan, maka
banyak orang yang menyamakan ijarah ini dengan
leasing. Ini terjadi karena kedua istilah tersebut sama-
sama mengacu kepada hal sewa-menyewa. Menyamakan
ijarah dengan leasing tidak sepenuhnya salah, tapi tidak
sepenuhnya benar pula. Pada dasarnya, walaupun
terdapat kesamaan antara ijarah dan leasing, ada
beberapa karakteristik yang membedakannya. Pada
bagian ini, perbedaan dan persamaan antara keduanya
akan kita bahas.
Tabel berikut ini memberikan ikhtisar perbedaan dan
kesamaan antara ijarah dan leasing. Sedikitnya ada lima
aspek yang dapat kita cermati, yakni objek, metode
pembayaran, perpindahan kepemilikan, lease purchase,
dan sale and lease back.
Ta b e l 1.
Ijarah dan Leasing:
Perbedaan dan
Ijarah
Persamaannya
Leasin
g
Objek: Manfaat barang dan jasa Objek: Manfaat barang saja
3. A k a d P e m b i a y a a n Ij a r a h
1. P e r m o h o n a n P e m b i a y a a n
C. Suplier/Penjual/Pemilik
D. Obj ek Ijarah
Keterangan
:
1. Nasabah mengajukan pembiayaan ijarah ke Islamic Banking
2. Islamic Banking memberi/menyewa barang yang diinginkan oleh
nasabah, sebagai objek ijarah, dari supplier/penjual/pemilik.
3. Setelah dicapai kesepakatan antara nasabah dengan bank
mengenai barang objek ijarah, tarif ijarah, periode ijarah, dan
biaya pemeliharaannya, maka akad ijarah ditandatangani.
Nasabah diwajibkan menyerahkan jaminan yang dimiliki.
4. Bank menyerahkan objek ijarah kepada nasabah sesuai akad yang
disepakati. Setelah periode ijarah berakhir, nasabah
mengembalikan objek ijarah tersebut kepada bank.
5. Bila bank membeli objek ijarah tersebut (al-bai’u wal ijarah)
setelah periode ijarah berakhir, objek ijarah tersebut disimpan
oleh bank sebagai aset yang dapat disewakan kembali.
6. Bila bank menyewa objek ijarah tersebut (al-ijarah wal ijarah,
atau ijarah paralel) setelah periode ijarah berakhir, objek ijarah
tersebut dikembalikan oleh bank kepada supplier/penjual/pemilik.
2) Jenis Barang/Jasa yang Dapat Disewakan
Barang
modal: aset tetap, seperti
bangunan, gedung, kantor, dan ruko.
Barang produksi: mesin, alat-alat berat, dan
lain-lain.
Barang kendaraan transportasi: darat, laut, dan
udara.
Jasa untuk membayar ongkos: uang
sekolah/kuliah, tenaga kerja, hotel,
angkutan/transportasi, dan sebagainya.
3. Pola-pola Pembiayaan Ijarah
1) Ijarah Murni
a. Ijarah bil Ijarah, bayar dengan cicilan
Bapak Ahmad hendak menyewakan sebuah ruang
perkantoran di sebuah gedung selama satu tahun mulai
dari tanggal 1 Mei 2007 sampai 1 Mei 2008. Pemilik
gedung menginginkan pembayaran sewa secara tunai di
muka sebesar Rp 240.000.000,-. Dengan pola
pembayaran tersebut, kemampuan keuangan Ahmad
tidak memungkinkan. Ahmad hanya dapat membayar
sewa secara angsuran per bulan. Untuk memecahkan
masalah ini, Ahmad datang untuk meminta pembiayaan,
dengan memaparkan kondisi kebutuhan dan
keuangannya. Analisis dilakukan dengan
memperhitungkan kebutuhan dan kemampuan keuangan
nasabah serta required rate of profit bank (sebesar 20%):
Harga sewa 1 tahun (tunai di muka) : Rp 240.000.000
Required rate of profit bank (20%) : Rp 48.000.000
Harga sewa kepada nasabah : Rp 288.000.000
Periode pembiayaan : 12 bulan (= 360 hari)
Besarnya
: Rp 24.000.000
angsuran nasabah per bulan
Ilustrasi Kasus
Transaksi Bank membeli barang dari pemilik barang dengan pembayaran tunai. Dengan kondisi ini, maka:
Bank mengeluarkan uang (cash out) sebesar Rp 3,5 milyar (1/8/02) sebagai pembayaran tunai atas
ruko.
Bank telah dapat menyewakan ruko tersebut selama 12 bulan.
Akad II: Ijarah Muntahia Bit Bank bertindak sebagai pemberi sewa dan penjual pada akhir masa sewa.
tamlik Nasabah bertindak sebagai penyewa dan pada akhir masa sewa menjadi pemilik.
Pelaku Bank membeli barang dari pemilik barang dengan pembayaran tunai. Dengan kondisi ini:
Transak oBank mengeluarkan uang (cash out) sebesar Rp 3,5 milyar (1/8/07) sebagai pembayaran tunai atas ruko.
si oBank telah dapat menyewakan ruko tersebut selama 12 bulan kepada nasabah (1/8/07).
oBank menerima pembayaran sewa (cash in) sebesar Rp 300 juta setiap bulan selama 12 bulan periode yang disepakati dari nasabah.
oPada akhir masa sewa, bank menerima uang pembelian barang dari nasabah sebesar Rp 0,6 milyar (31/7/08), sehingga terjadi perpindahan
kepemilikan barang dan sejak saat itu nasabah sebagai pemilik barang (31/7/08).
Sumber Karena bank menerima pemasukan (cash in) setiap bulan, maka pembiayaan ini dapat didanai dengan penggunakan unrestricted investment
Pendanaan account (URIA) sehingga bank dapat membayarkan bagi hasil setiap bulannya kepada pemegang URIA.
Ilustrasi:
Bapak Ahmad hendak menyewakan sebuah ruang perkantoran di sebuah gedung selama satu tahun mulai tanggal 1 Mei 2007 sampai 1 Mei 2008. Pemilik gedung menginginkan pembayaran sewa secara tunai di muka
sebesar Rp 240.000.000,-. Dengan pola pembayaran ini, kemampuan keuangan Bapak Ahmad tidak memungkinkan. Bapak Ahmad hanya dapat membayar sewa secara angsuran per bulan. Untuk memecahkan masalah ini,
Bapak Ahmad mendatangi Islamic Banking untuk meminta pembiayaan, dengan memaparkan kondisi kebutuhan dan keuangannya. Analisis Islamic Banking dilakukan dengan memperhitungkan kebutuhan dan kemampuan
keuangan nasabah serta required rate of profit bank (sebesar 20%):
Harga sewa 1 tahun (tunai di : Rp
muka) 240.000.000
Required rate of profit bank (20%) : Rp 48.000.000
Harga sewa kepada nasabah : Rp : 12 bulan (= 360
Besarnya angsuran nasabah per bulan
Periode pembiayaan : Rp 24.000.000
288.000.000 hari)
Dengan analisis tersebut, maka bentuk pembiayaan yang diberikan oleh bank kepada Bapak Ahmad adalah:
Pembiayaan ijarah, harga sewa Rp 288.000.000, selama 12 bulan (360 hari) dengan angsuran Rp
24.000.000/bulan
Pendanaan diambil dari URIA
E. Sistem Pembiayaan Lain (Other Financing)
1. Hawalah
a. Rukun Hawalah:
Pihak yang berhutang (muhil)
Pihak yang berpiutang (muhal)
Pihak yang menerima pengalihan hutang-
piutang (muhal ’alaih)
Sighat (ijab qabul)
b. Hawalah dalam Teknis Perbankan
Pengertian:
Hawalah adalah akad pengalihan piutang nasabah
(muhal) kepada bank (muhal ’alaih). Nasabah meminta
bantuan bank agar membayarkan terlebih dahulu
piutangnya atas transaksi yang halal dengan pihak yang
berhutang (muhil). Selanjutnya bank akan menagih
kepada pihak yang berhutang tersebut.
Atas bantuannya membayarkan terlebih dahulu piutang
nasabah, bank dapat membebankan fee jasa penagihan.
Penetapannya dilakukan dengan memerhatikan besar-
kecilnya risiko tidak tertagihnya piutang.
Skema Hawalah: Contoh Aplikasi
Perbankan Penunjukan supplier
(1)
Invoice (3)
PT Carefour PT Nyiur
Ind. Melambai
(Pembeli/Muhil) (Supplier/Muhal)
Akad Hawalah
Tagih/Invoice (4)
(7) Invoice
Bayar (5)
Bayar
(8) (6)
a. Rukun Rahn
Pihak yang menggadaikan (rahin)
Pihak yang menerima gadai (murtahin)
Barang yang digadaikan (marhun.
Hutang/pinjaman (marhun bih)
Sighat (Ijab qabul)
b. Syarat Rahn
Pihak yang menggadaikan (rahin) dan pihak yang
menerima gadai (murtahin) cakap hukum serta
sama-sama ikhlas
Pihak yang menggadaikan (rahin) memunyai
kemampuan untuk mengembalikan pinjaman.
Barang yang digadaikan (marhun) benar-benar
milik rahin dan bebas dari ikatan atau syarat apa
pun.
Jumlah hutang (marhun bih) disebutkan dengan
jelas.
c. Rahn dalam Teknis Perbankan
(1 Akad (1
) Qardhdana
Pinjaman )
(Qardh)
(2)
Pengelola Modal
an (3) Usaha
(2)
Nasabah Bank
Usah (Muqrid
Syariah
(Muqtarid a
h) h)
(4
)
100% Modal + Keuntungan Pengembalian
keuntungan
(5a Modal (5
) )