Anda di halaman 1dari 144

ISLAMIC FINANCIAL MANAGEMENT

PRODUK-PRODUK PEMBIAYAAN
DAN MEKANISMENYA – part 2
PJJ Pertemuan ke 6
21 Oktober 2020

Prof.Dr.H. Veitzhal Rivai, M.B.A.


Andria Permata Veitzhal. B.Acct., M.B.A.
e. Mudharabah dalam Teknis Perbankan

1. Pengertian (dalam Konteks Pembiayaan)


a. Keuntungan usaha dibagi berdasarkan perbandingan
nisbah yang telah disepakati dan pada akhir periode kerja
sama nasabah harus mengembalikan semua modal
usaha lembaga keuangan.

b. Dalam hal terjadi kerugian, akan menjadi tanggungan


lembaga keuangan, kecuali bila diakibatkan oleh kelalaian
nasabah. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya
kerugian, lembaga keuangan harus memahami
karakteristik risiko usaha tersebut dan kerja sama dengan
nasabah untuk mengatasi berbagai masalah.
2. Aplikasi (dalam Konteks Pembiayaan)

a. Pembiayaan modal kerja; modal bagi


perusahaan yang bergerak dalam bidang
industri, perdagangan, dan jasa.
b. Pembiayaan investasi; untuk pengadaan barang-
barang modal, aktiva tetap, dan sebagainya.
c. Pembiayaan investasi khusus; bank bertindak
dan memosisikan diri sebagai arranger yang
mempertemukan kepentingan pemilik dana,
seperti yayasan dan lembaga keuangan
nonbank, dengan pengusaha yang memerlukan.
3. Praktik Pembiayaan
Mudharabah
 Penempatan dana dapat dilakukan dalam bentuk
pembiayaan berakad jual beli maupun syirkah atau kerja
sama bagi hasil. Jika pembiayaan berakad jual beli (bai’u
bi tsaman ajil dan murabahah), maka bank akan
mendapatkan margin keuntungan. Pembagiannya tidak
begitu rumit. Namun, jika pembiayaan berkaitan dengan
akad syirkah (musyarakah dan mudharabah), maka
pembiayaan ini membutuhkan perhitungan-perhitungan
yang cukup “njlimet”.
 Dalam pembiayaan mudharabah (bagi hasil), ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh kedua belah
pihak, yaitu: (1) nisbah bagi hasil yang disepakati; (2)
tingkat keuntungan bisnis aktual yang didapat. Oleh
karena itu, bank sebagai pihak yang memiliki dana akan
melakukan perhitungan nisbah yang akan dijadikan
kesepakatan pembagian pendapatan.
f. Cara Menentukan Nisbah

 Nisbah merupakan faktor penting dalam menentukan bagi


hasil. Sebab, nisbah merupakan aspek yang disepakati
bersama antara kedua belah pihak yang melakukan
transaksi.
 Untuk menentukan nisbah bagi hasil, perlu diperhatikan
aspek-aspek:
a. Data usaha,
b. Kemampuan angsuran,
c. Hasil usaha yang dijalankan atau tingkat return aktual
bisnis,
d. Tingkat return yang diharapkan,
e. Nisbah pembiayaan,
f. Distribusi pembagian hasil.
 Penentuan nisbah bagi hasil dibuat
sesuai dengan jenis pembiayaan
mudharabah yang dipilih. Ada dua jenis
pembiayaan mudharabah, yaitu: (1)
mudharabah muthlaqah dan (2)
mudharabah muqayyadah.
1. Nisbah Bagi Hasil
Pembiayaan Mudharabah Mutlaqah
 Nisbah Bagi Hasil Pembiayaan Mudharabah Muthlaqah
 Pembiayaan mudharabah muthlaqah adalah pembiayaan
yang pemilik dana tidak meminta syarat, kecuali syarat
baku, untuk berlakunya kontrak mudharabah. Untuk ini,
nisbah dibuat berdasarkan metode expected profit rate
(EPR). EPR diperoleh berdasarkan: (1) tingkat
keuntungan rata-rata pada industri sejenis; (2)
pertumbuhan ekonomi; (3) dihitung dari nilai required
profit rate (RPR)[1] yang berlaku di bank yang
bersangkutan.

[1]Nilai required profit rate diperoleh dengan rumus: rpr
= n. v (n = tingkat keuntungan dalam transaksi tunai;

v
= jumlah transaksi dalam satu periode).
 Dengan demikian, nisbah bagi hasil dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut:

Expected Profit Rate (EPR)


Nisbah Bank= ------------------------- x 100%
Expected
Return Bisnis yang dibiayai
 Nisbah Nasabah(ERB) = 100% - Nisbah Bank
 Aktual return bank = nisbah bank + aktual return
bisnis
 Contoh:
 Diketahui data ekonomi sebagai berikut:
tingkat return bisnis jual beli sepeda
motor adalah sebesar 7%. Dari tingkat
return bisnis tersebut, Islamic Banking
menargetkan keuntungannya sebesar 3%.
Dengan demikian, nisbah bank dan
nisbah untuk nasabah dapat dicari
dengan cara, sebagai berikut:
EPR
Nisbah bank = ------- x 100%, jadi
ERB

3%
Nisbah bank = -------- x 100% =
42,86%
7%
 Nisbah nasabah = 100% - 42,86% = 57,14%
 Rasio (nisbah) bagi hasil antara bank dan nasabah adalah 42,86%
: 57,14%
 Setelah perhitungan nisbah ditemukan, maka pihak bank akan
melakukan tawar-menawar nisbah dengan nasabah pembiayaan.
Jika nisbah tersebut disepakati, maka pembiayaan mudharabah
yang akan dijalankan diikat dengan nisbah pembagian
keuntungan bisnis aktual dengan porsi nisbah antara bank dan
nasabah adalah 42,86% banding 57,14%.
2. Nisbah Bagi Hasil Pembiayaan
Mudharabah Muqayyadah

 Suatu ketika Islamic business mendapatkan


nasabah yang menghendaki pembiayaan
mudharabah muqayyadah. Pada pembiayaan
jenis ini, biasanya nasabah menuntut adanya
nisbah yang sebanding dengan situasi bisnis
tertentu. Dengan kata lain, pada kontrak
pembiayaan mudharabah muqayyadah, pemilik
dana menambah syarat di luar syarat kebiasaan
kontrak mudharabah.
Nisbah bagi hasil pada pembiayaan mudharabah
muqayyadah dapat dihitung, seperti pada kasus berikut.
Contoh:
Seseorang atau lembaga keuangan memiliki modal sebesar
Rp 125.000.000. Modal tersebut akan dibiayakan kepada
nasabah penjual kacang kedelai. Data-data yang terkait
dengan jual beli kacang kedelai adalah sebagai berikut:
a. Harga jual kacang kedelai = Rp 2.150/kg
b. Harga jual kepada nasabah = setara 16%
p.a (return yang diminta oleh pemilik dana
c. muqayyadah)
Volume penjualan kedelai per bulan = 65.000 kg
d. Nilai penjualan (65.000 x Rp 2.150) = Rp 139.750.000
e. Harga pokok pembelian = Rp 125.000.000
f. Laba bersih penjualan kedelai = Rp 14.750.000
Berapa Nisbah Bagi Hasilnya? Perhitungan Nisbah:

 Volume penjualan = 65.000 kg


 Profit margin (Rp 14.750.000/139.750.000)x 100% = 10,55%
 Lama piutang (data 31-07-2003) = 65 hari
 Lama persediaan (data 31-08-2003) = 2 hari
 Lama hutang dagang (pembayaran ke supplier dan carry) =0
 Cash to cash period = 360/(DI+DR-DP)= 360/(65+2+0) = 5,4
Dengan demikian:

 Profit margin per tahun = 5,4 x 10,55 = 57%


 Nisbah: (16%)/(57%)x100% = 28%
 Nisbah untuk nasabah: 100% - 28% = 72%

Rasio (nisbah) bagi hasil antara bank dan nasabah adalah:


bank = 28%, dan nasabah = 72%.
3. Contoh Perhitungan Bagi Hasil
Dalam Pembiayaan Mudharabah

 Seorang nasabah mengajukan


pembiayaan untuk modal kerja dagang
sebesar Rp 100.000.000 selama satu
tahun. Jika situasi ekonomi mampu
memberikan return bisnis aktual sebesar
8% dan return bisnis yang diharapkan
Islamic business sebagai penyandang
dana sebesar 3%. Setelah bisnis
dijalankan, nasabah mampu mencetak
keuntungan bisnisnya selama satu tahun
sebagai berikut:
Bulan Pendapatan Usaha
1 6.000.000
2 7.000.000
3 4.000.000
4 4.500.000
5 5.000.000
6 5.500.000
7 6.000.000
8 5.400.000
9 9.000.000
10 5.700.000
11 4.700.000
12 3.500.000
 Pertanyaan:
1.Berapa nisbah yang harus disepakati
antara lembaga keuangan dengan
nasabah?
2.Bagaimana distribusi bagi hasil
pendapatan antara Islamic business
dengan nasabah berdasarkan data
tersebut di atas?
Penyelesaian

 Langkah-langkah untuk menyelesaikan kasus di


atas dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Menentukan nisbah untuk kedua belah pihak
yang melakukan kontrak pembiayaan,
yaitu:
a. Nisbah Islamic business = 3,2%/8% x 100% =
40%
b. Nisbah nasabah = 100% - 40% = 60%
c. Rasio (nisbah) antara Islamic business
dan nasabah adalah = 40% banding 60%.
2. Menghitung distribusi bagi hasil untuk bank dan
nasabah sesuai dengan nisbah dan pendapatan
aktual usaha, sebagai berikut:
Tabel pembantu penyelesaian
Bulan Laba Usaha Bagian lembaga Bagian Nasabah Cicilan Pokok Setoran
keuangan 40% 60%

1 6.000.000 2.400.000 3.600.000 2.400.000


2 7.000.000 2.800.000 4.200.000 2.800.000
3 4.000.000 1.600.000 2.400.000 1.600.000
4 4.500.000 1.800.000 2.700.000 1.800.000
5 5.000.000 2.000.000 3.000.000 2.000.000
6 5.500.000 2.200.000 3.300.000 2.200.000
7 6.000.000 2.400.000 3.600.000 2.400.000
8 5.400.000 2.160.000 3.240.000 2.160.000
9 9.000.000 3.600.000 5.400.000 3.600.000
10 5.700.000 2.280.000 3,420.000 2.280.000
11 4.700.000 1.880.000 2.820.000 1.880.000
12 3.500.000 1.400.000 2.100.000 100.000.000 1.400.000
Total 66.300.000 26.520.000 39.780.000 100.000.000 126.520.000
% dari Hasil Usaha 0,40 0,60

% dari Modal 26,52 39.78


Catatan:

 Jika dalam pembiayaan mudharabah ternyata


mengalami kerugian, maka kedua belah
pihak akan berbagai rugi. Pembagian rugi
dilakukan setelah diketahui dari mana
sumber kerugian tersebut timbul.
1. Jika kerugian diakibatkan risiko bisnis, maka
kerugian atas modal ditanggung oleh pemilik
modal, ementara nasabah menderita kerugian
dalam hal tenaga, waktu, dan biaya.
2. Jika kerugian diakibatkan risiko karakter nasabah
(moral hazard), maka nasabah menanggung
kerugiannya.
g. Permasalahan-Permasalahan
dalam Pembiayaan Mudharabah
 Menurut beberapa pengamatan Saeed (2003), hal ini terjadi
karena beberapa alasan, di antaranya:
1. Standar Moral
 Terdapat anggapan bahwa standar moral yang berkembang di
kebanyakan komunitas muslim tidak memberi kebebasan
penggunaan bagi hasil sebagai mekanisme investasi. Hal ini
berdasarkan argumentasi yang mendorong bank untuk
mengadakan pemantauan lebih intensif terhadap setiap investasi
yang diberikan. Hal itu membuat operasional perbankan berjalan
tidak ekonomis dan tidak efisien. Berdasarkan alasan ini, Islamic
business menggunakan pembiayaan bagi hasil yang diberikan
setelah melakukan pemantauan yang mendalam terhadap bisnis
yang akan dijalankan. Dana hanya akan diberikan kepada rekanan
(mitra) yang efisien dalam mengelola bisnis, jujur dalam
melakukan transaksi, proyek usaha yang dijalankan profitable,
serta pembiayaan usaha tersebut umumnya untuk jangka pendek.
2. Ketidakefektifan Model Pembiayaan Bagi Hasil
 Pembiayaan bagi hasil (mudharabah) tidak menyediakan
berbagai macam kebutuhan pembiayaan dari ekonomi
kontemporer. Walaupun demikian, pembiayaan bagi hasil
yang diterapkan dalam bentuk mudharabah maupun
musyarakah merupakan alat yang terbaik untuk
menghapus bunga dalam berbagai macam transaksi dan
pembiayaan jangka pendek. Namun, kemungkinan untuk
dilaksanakan ke dalam pembiayaan institusional menjadi
terhambat. Berbagai masalah yang berkaitan dengan
aplikasinya membuat prinsip mudharabah dan
musyarakah pada tingkat pembiayaan institusional benar-
benar tidak dapat diterapkan. Di antara alasannya adalah
meningkatnya permintaan pinjaman pemerintah untuk
anggaran belanjanya. Dengan demikian, permintaan
pemakaian pembiayaan dengan sistem bagi hasil menjadi
tidak terpenuhi.
3. Berkaitan dengan Para Pengusaha
 Keterkaitan lembaga keuangan dengan pembiayaan,
sistem bagi hasil untuk membantu perkembangan usaha
lebih banyak melibatkan pengusaha secara langsung
daripada sistem lainnya pada bank konvensional.
Lembaga keuangan memerlukan informasi yang lebih rinci
tentang aktivitas bisnis yang dibiayai dan besar
kemungkinan pihak lembaga keuangan turut
memengaruhi setiap pengambilan keputusan bisnis
mitranya. Pada sisi lain, keterlibatan yang tinggi ini akan
mengecilkan naluri pengusaha yang sebenarnya lebih
menuntut kebebasan yang luas daripada campur tangan
dalam penggunaan dana yang dipinjamkan.
4. Dari Segi Biaya
 Pemberian pinjaman berdasarkan sistem bagi hasil memerlukan
kewaspadaan yang lebih tinggi dari pihak lembaga keuangan.
Lembaga keuangan kemungkinan besar meningkatkan kualitas
pegawainya dengan cara mempekerjakan para teknisi dan ahli
manajemen untuk mengevaluasi proyek usaha yang dipinjami
untuk mencermati lebih teliti dan lebih jeli daripada teknis
peminjaman pada bank konvensional. Hal ini akan
meningkatkan biaya yang dikeluarkan oleh para pebisnis dalam
menjaga efisiensi kinerja banknya yang secara langsung akan
berimbas terhadap pengembalian dana pinjaman. Otomatis ini
akan menimbulkan beban yang lebih besar terhadap pemakai
dana. Tambahan biaya yang dikeluarkan oleh para pebisnis yang
digunakan untuk menjaga efektivitas operasional perbankan
syariah kemungkinan akan menghasilkan biaya ekstra yang
ditanggung oleh mitra ketika mengembalikan dana pinjaman
bagi hasil.
5. Segi Teknis
 Problem teknis menyangkut penggunaan sistem bagi hasil tampaknya
berkaitan dengan pihak lembaga keuangan, nasabah, perhitungan
keuntungan. Pada satu sisi dari bank sendiri, profesionalitas pegawai
pada saat ini kurang memadai dari segi keahlian dan pengetahuan dalam
menjalankan mekanisme bagi hasil. Di sisi lain, dengan menggunakan
sistem bagi hasil, lembaga keuangan membutuhkan pengetahuan yang
luas mengenai perilaku aktivitas ekonomi yang berguna untuk
memprediksi keuntungan yang akan diperoleh pada tiap-tiap jaringan
serta mengetahui secara menyeluruh tentang keadaan keuangan
investor dan komitmennya dalam menjalankan proyek usaha.
 Dari sisi nasabah, buta huruf masih menyelimuti masyarakat dunia
muslim. Hal itu akan menyulitkan dalam pembuatan catatan akuntansi
secara rinci. Padahal, ini sangat penting untuk transaksi bagi hasil.
Perhitungan keuntungan dalam sistem bagi hasil juga mengalami
kesulitan untuk diterapkan, karena perhitungan keuntungan sistem bagi
hasil harus mengikuti apa yang terjadi secara aktual dalam bisnis.
6. Kurang Menariknya Sistem Bagi Hasil dalam Aktivitas Bisnis
 Dalam dunia bisnis dan industri, biaya yang dikeluarkan
dari dana-dana yang diperoleh berdasarkan sistem bagi
hasil tidak diketahui secara jelas dan pasti. Hal ini akan
menimbulkan terbongkarnya rahasia keuangan
pengusaha oleh pihak lembaga keuangan dan juga
intervensi bank terhadap urusan manajemen pengusaha.
Keadaan ini sangat berbeda dengan sistem pembiayaan
dengan berdasarkan bunga, di mana modalnya aman
terjaga, pendapatan yang diperoleh secara pasti, dan
biaya pinjaman diketahui dengan jelas.
7. Permasalahan Efisiensi
 Tingkat investasi bagi hasil mungkin lebih tinggi
dibandingkan dengan sistem lain, karena dalam sistem
bagi hasil diberikan penawaran yang sesuai terhadap
dana-dana yang dapat dipinjamkan. Oleh karena itu,
pengusaha dapat mengabaikan kepastian bagian hasil
usaha yang diberikan kepada pemberi pinjaman yang
disebabkan ketidaktentuan hasil produksinya, serta tidak
adanya kekhawatiran terjadinya penyelewengan dana
pinjaman terhadap investasi riil. Kesanggupan para
pemberi pinjaman untuk turut menanggung risiko
kemungkinan akan mendorong investasi lebih berisiko.
Meskipun, kesanggupan ini juga akan mengurangi
penekanan biaya-biaya yang berguna untuk efisiensi
kelangsungan bisnis yang pada tingkat kepentingan
tertentu cukup mengesankan.
3. Sistem Perhitungan Bagi Hasil

 Dari sudut pandang nasabah sebagai investor:


a. Mudharabah muqayyadah off balance
sheet.
b. Mudharabah muqayyadah on balance
sheet.
c. Mudharabah muthlaqah.

 Dari sudut pandang bank:


a. Perhitungan saldo akhir bulan.
b. Perhitungan saldo rata-rata harian.
Skema-Skema Mudharabah
Skema Mudharabah Muqayyadah Off Balance Sheet

Satu nasabah Satu pelaksana


investor usaha

Bank Syariah

Skema Mudharabah Muqayyadah Off Balance Sheet Berdasarkan sektor


Pertanian
Satu nasabah
Bank Syariah Manufaktur
investor
Jasa

Skema Mudharabah Muqayyadah Off Balance Sheet Berdasarkan sektor

Penjualan Cicilan
Satu nasabah
Bank Syariah Penyewaan Cicilan
investor
Kerjasama Usaha
Skema-Skema Mudharabah
Skema Mudharabah Muqayyadah On Balance Sheet

Penjualan 1

Pertanian Penjualan 2

Penjualan n

Nasabah 1 Penyewaan 1
Nasabah 2
Nasabah 3 Penyewaan 2
Bank Syariah Sewa
-
- Penyewaan n
Nasabah n

Kerjasama 1

Kerjasama 2
Kerjasama Usaha
Kerjasama n
a. Teknik Perhitungan Bagi Hasil
 Kasus:
Bapak Ahmad membuka deposito sebesar Rp
10.000.000 jangka waktu satu bulan (tanggal 1
Mei sampai dengan 1 Juni 2008). Nisbah bagi
hasil antara nasabah dan bank 57:43. Jika
keuntungan bank yang diperoleh untuk deposito
satu bulan per 31 Mei 2007 adalah Rp
20.000.000 dan rata-rata deposito jangka
waktu
satu bulan adalah Rp 950.000.000, berapa
 keuntungan yang diperoleh Bapak
Ahmad?
Jawab:
Bagi hasil yang diperoleh bapak Ahmad
adalah:
(Rp 10 juta/Rp 950 juta) x Rp 20 juta x 57% =
Rp120.000
b. Faktor Penentu Bagi Hasil dan Bunga

1. Bagi hasil ditentukan oleh:


 Pendapatan bank.
 Nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank.
 Nominal deposito nasabah.
 Rata-rata deposito untuk jangka waktu yang
sama pada bank.

2. Bunga ditentukan oleh:


 Tingkat bunga yang berlaku.
 Nominal deposito nasabah.
 Jangka waktu deposito.
d. Metode Penentuan Return Pembiayaan

 Mark-up Pricing
 Target-Return Pricing
 Perceived-Value Pricing
 Value Pricing
1. Mark-up
Pricing
Penentuan tingkat harga dengan me-
markup biaya produksi komoditas yang
bersangkutan.

Contoh: sebuah perusahaan tusuk gigi


dalam menentukan tingkat harga dan
biaya produksinya:
a. Variabel cost per unit Rp 5
b. Fixed Cost Rp 200.000
c. Expected unit sales Rp 50.000
Biaya produksi perusahaan tusuk gigi
setiap unit adalah sebagai berikut:

Diasumsikan, perusahan menetapkan keuntungan sebesar 20%


dari penjualan, maka mark-up price untuk setiap unit:

H
agra d
aY awati
kr
2). Target –Return Pricing

 Penentuan dengan tujuan pencapaian


tingkat return on investment (ROI).

 Contoh: perusahaan tusuk gigi pada


contoh di atas melakukan investasi
sebesar Rp 562.500 di suatu bisnis yang
menghasilkan tingkat pendapatan
sebesar 20% ROI atau Rp 200.000. Maka
target return price dapat dihitung
dengan formula sebagai berikut:
2). Target –Return Pricing

a g
n aY a
g H k r
a ti d
rn a
wa
3. Perceived-Value Pricing

 Penentuan harga dengan tidak menggunakan


variable harga sebagai dasar harga jual. Harga
jual didasarkan pada harga competitor di mana
perusahaan melakukan penambahan atau
perbaikan unit untuk meningkatkan kepuasan
pembeli.
 Contoh: seseorang lebih suka menabung di
Islamic Banking Berkah daripada di Islamic
Banking Permai walaupun tingkat bagi hasil di
Islamic Banking Permai lebih tinggi dibanding
Islamic Banking Berkah. Nasabah merasa puas
karena di Bank Syariah Berkah pelayanannya
lebih baik.
4. Value Pricing

 Merupakan kebijakan harga yang kompetitif


atas barang yang berkualitas tinggi.
Barang yang baik pasti harganya mahal (ono
rego ono rupo)

 Namun, perusahaan yang sukses adalah


perusahaan yang mampu menghasilkan barang
yang berkualitas dengan biaya yang efisien,
sehingga perusahaan tersebut dapat dengan
leluasa menentukan tingkat harga di bawah
harga kompetitor.
e. Penentuan Harga dalam
Pembiayaan Syariah
 Penentuan harga dalam pembiayaan di Islamic
Banking dapat dengan menggunakan salah satu
di antara empat model di atas.

 Namun, yang lazim digunakan oleh Islamic


Banking saat ini adalah dengan menggunakan
metode going rate pricing, yaitu dengan
menggunakan tingkat suku bunga pasar sebagai
rujukan (benchmark). Mengapa diterapkan?
Karena, Islamic Banking berkompetisi dengan
bank konvensional. Di samping itu, Islamic
Banking juga berkeinginan untuk mendapatkan
customer yang bersifat floating customer.
1) Penerapan Mark-up Pricing dalam
Pembiayaan Syariah

 Mark-up Pricing hanya tepat digunakan


untuk pembiayaan yang sumber dananya
dari restricted invesment account (RIA)
atau mudharabah muqayyadah.
 Polanya dapat dilakukan dengan:
 Historical average cost (on balance sheet).
 Marginal cost of fund (off balance sheet).
 Pooled marginal cost of fund (on balance sheet).
 Weighted average propjected cost (on balance sheet).
2) Penerapan Target-Return Pricing
dalam pembiayaan Syariah

 Islamic Banking beroperasi dengan tidak


menggunakan bunga. Di dalamnya juga
diklasifikasikan akad yang menghasilkan
keuntungan secara pasti, disebut natural certainty
contract, dan akad yang menghasilkan keuntungan
yang tidak pasti, disebut natural uncertainty
contract.
 Jika pembiayaan dilakukan dengan akad natural
certainty contract, maka metode yang digunakan
adalah required profit rate (rpr).
 Rpr = n v (n = tingkat keuntungan dalam transaksi
tunai; v = jumlah transaksi dalam satu periode).
 Jika pembiayaan dilakukan dengan akad natural
uncertainty contract, maka metode yang digunakan
adalah expected profit rate (epr).

 Epr diperoleh berdasarkan: (1) tingkat


keuntungan rata-rata pada usaha sejenis; (2)
pertumbuhan ekonomi; dan (3) dihitung dari
nilai rpr yang berlaku di bank yang
bersangkutan.

Penghitungannya:
 Nisbah bank = epr/expected return bisnis
yang dibiayai*100%
 Aktual return bank = nisbah bank +actual
return bisnis.
D. Sistem Pembiayaan Jual
Beli (Sale & Purchase) dan
 Sewa
Pembiayaan yang diberikan kepada nasabah tidak hanya
diselesaikan dengan cara mudharabah dan musyarakah (bagi
hasil). Namun, Islamic Banking dapat juga menjalankan
pembiayaan dengan akad jual beli dan sewa. Pada akad jual beli
dan sewa, Islamic Banking akan memeroleh pendapatan secara
pasti. Hal ini sesuai dengan konsep dasar teori pertukaran.
 Teori pertukaran, sering disebut sebagai natural certainty
contracts, adalah kontrak dalam bisnis yang memberikan
kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah maupun waktu.
Dalam bentuk ini: (1) Cash flow-nya pasti atau sudah disepakati
pada awal kontrak; (2) Objek pertukarannya juga pasti secara
jumlah, mutu, waktu, maupun harga.
 Kontrak bisnis yang masuk dalam kategori ini, adalah kontrak
bisnis tijarah dan ijarah. Oleh karena itu, ketentuan yang
berlaku dalam kontrak jual beli (bai’u) berlaku juga dalam
kontrak sewa (ijarah). Demikian mayoritas ulama mengatakan,
“Syarat-syarat yang berlaku bagi harga jual berlaku juga bagi
harga sewa.” (Al-Dardir, 4: 59; al-Ramli, 5:322; Ibnu
Qudamah).
1.
Murabahah
a. Pengertian dan Hukum Murabahah
 Murabahah adalah akad jual beli atas suatu barang,
dengan harga yang disepakati antara penjual dan
pembeli, setelah sebelumnya penjual menyebutkan
dengan sebenarnya harga perolehan atas barang tersebut
dan besarnya keuntungan yang diperolehnya.
 Al-Qur’an tidak pernah secara langsung membicarakan
murabahah meski di sana ada sejumlah acuan
tentang jual beli, laba, rugi, dan perdagangan.
Demikian pula, tampaknya tidak ada hadis yang
memiliki rujukan langsung kepada murabahah.
 Para ulama generasi awal, semisal Malik dan Syafi’i yang
secara khusus mengatakan bahwa jual beli murabahah
adalah halal, tidak memperkuat pendapat mereka dengan
satu hadis pun. Al-Kaff (tt), seorang kritikus murabahah
kontemporer, menyimpulkan bahwa murabahah adalah
“salah satu jenis jual beli yang tidak dikenal pada zaman
Nabi atau para sahabatnya.”
b. Landasan Hukum Murabahah
a. Al-Qur’an Surah Al-Baqarah [2]: 275
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
 Al- Qur’an Surah Al-Nisaa’ [4]: 29
 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
dan janganlah kamu membunuh dirimu [larangan
membunuh diri sendiri mencakup juga larangan
membunuh orang lain, sebab membunuh orang
lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat
merupakan suatu kesatuan]; Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.
 Hadis riwayat Tirmidzi
“Pedagang yang jujur dan terpercaya,
maka dia bersama nabi, orang-orang yang
jujur, dan para syuhada.”
c. Syarat dan Rukun
Murabahah
1) Rukun Murabahah
 Ba’iu (penjual).
 Musytari (pembeli).
 Mabi’ (barang yang diperjualbelikan).
 Tsaman (harga barang).
 Ijab qabul (pernyataan serah terima).
2) Syarat
Murabahah
 Syarat yang berakad (ba’iu dan musytari) cakap
hukum dan tidak dalam keadaan terpaksa.
 Barang yang diperjualbelikan (mabi’) tidak
termasuk barang yang haram dan jenis maupun
jumlahnya jelas.
 Harga barang (tsaman) harus dinyatakan secara
transparan (harga pokok dan komponen
keuntungan) dan cara pembayarannya
disebutkan dengan jelas.
 Pernyataan serah terima (ijab qabul) harus jelas
dengan menyebutkan secara spesifik pihak-pihak
yang berakad.
Skema
Murabahah:
Negosiasi
(1 (1
) )
(2 (2
) )
Akad
Murabahah

Bayar
(4)
Kewajiban
Penju Pemb
al eli
Kirim barang & Terima barang &
dokumen Barang dokumen
(3 (3a
) )
d. Murabahah dalam Teknis Perbankan

1) Pengertian
 Murabahah adalah akad jual-beli antara lembaga keuangan dan
nasabah atas suatu jenis barang tertentu dengan harga yang
disepakati bersama. Lembaga keuangan akan mengadakan
barang yang dibutuhkan dan menjualnya kepada nasabah
dengan harga setelah ditambah keuntungan yang disepakati.
 Guna memastikan keseriusannya untuk membeli, bank dapat
mensyaratkan nasabah agar terlebih dahulu membayar uang
muka.
 Nasabah membayar kepada bank atas harga barang tersebut
(setelah dikurangi uang muka) secara angsuran selama jangka
waktu yang disepakati, dengan memerhatikan kemampuan
mengangsur ataupun arus kas usahanya. Pembayaran secara
angsuran ini dikenal dengan istilah bai’u bitsaman ajil (BBA).
 Baik harga jual maupun besar angsuran yang telah disepakati
tidak berubah hingga akad pembiayaan berakhir.
 Tidak ada denda atas keterlambatan pembayaran angsuran
(penalty overdue).
Skema Murabahah: Contoh Aplikasi
Perbankan
Negosia
(1 si (1
) )
(2 (2
) Akad Murabahah )
Bayar uang muka Rp 120
Juta (3
)

Bayar
(6)

Angsuran
Serahkan surat –surat
(7)

ruko CV Bina
Bank Syariah
Amanah
“Q”
Beli ruko Rp 400 Jual ruko Rp 420
Juta (4
Juta
) (5
Ruk )
o
2) Praktik Murabahah dalam Islamic
Banking
 Umumnya murabahah diadopsi untuk memberikan pembiayaan
jangka pendek kepada para nasabah guna pembelian barang
meskipun mungkin si nasabah tidak memiliki uang untuk
membayar. Murabahah, sebagaimana yang digunakan dalam
perbankan syariah, prinsipnya didasarkan pada dua elemen
pokok: harga beli serta biaya yang terkait, dan kesepakatan
atas mark-up (laba). Ciri dasar kontrak murabahah (sebagai jual
beli dengan pembayaran tunda) adalah: (i) pembeli harus
memiliki pengetahuan tentang biaya-biaya terkait dan harga asli
barang; batas laba (mark-up) harus ditetapkan dalam bentuk
persentase dari total harga plus biaya-biayanya; (ii) apa yang
dijual adalah barang atau komoditas, dan dibayar dengan uang;
(iii) apa yang diperjualbelikan harus ada dan dimiliki oleh
penjual, dan penjual harus mampu menyerahkan barang itu
kepada pembeli; dan (iv) pembayarannya ditangguhkan.
Murabahah seperti yang dipahami di sini, digunakan dalam
setiap pembiayaan di mana ada barang yang bisa diidentifikasi
untuk dijual.
 Pada umumnya murabahah telah digunakan sebagai metode pembiayaan yang
utama, meliputi kira-kira tujuh puluh lima persen dari total kekayaan. Angka
persentase ini kira-kira cocok dengan banyak Islamic Banking. Begitu pula dengan
sistem perbankan, baik di Pakistan maupun di Iran. Semenjak awal 1984, di
Pakistan, pembiayaan jenis murabahah mencapai sekitar delapan puluh tujuh persen
dari total pembiayaan dalam investasi deposito PLS. Dalam kasus Dubai Islamic
Bank, Islamic Banking terawal di sektor swasta, pembiayaan murabahah mencapai
delapan puluh dua persen dari total pembiayaan selama tahun 1989 (IDB, 1989).
Bahkan, bagi Islamic Development Bank (IDB), selama lebih dari sepuluh tahun
periode pembiayaan, tujuh puluh tiga persen dari seluruh pembiayaannya adalah
murabahah, yaitu dalam pembiayaan dagang luar negeri (IDB, 1989).
 Sejumlah alasan diajukan untuk menjelaskan popularitas murabahah dalam operasi
investasi perbankan Islam: (i) murabahah adalah suatu mekanisme investasi jangka
pendek dan, dibandingkan dengan sistem profit and loss sharing (PLS), cukup
memudahkan; (ii) mark-up dalam murabahah dapat ditetapkan sedemikian rupa
sehingga memastikan bahwa bank dapat memeroleh keuntungan yang sebanding
dengan keuntungan bank-bank berbasis bunga yang menjadi saingan Islamic
Banking; (iii) murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapatan
dari bisnis-bisnis dengan sistem PLS (Ahmad, 1998); dan (iv) murabahah tidak
memungkinkan Islamic Banking untuk mencampuri manajemen bisnis, karena bank
bukanlah mitra nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah adalah
hubungan antara kreditur dan debitur.
e. Perbandingan antara Pembiayaan Berbasis
Murabahah dan Bunga Tetap
 Tujuan perbandingan ringkas di sini adalah untuk melihat
apakah ada perbedaan yang signifikan antara pembiayaan
dengan murabahah dengan pembiayaan lewat bunga
tetap untuk tujuan-tujuan yang sama. Perbandingan
difokuskan pada aspek-aspek berikut: harga pembiayaan,
risiko dalam pembiayaan murabahah, keamanan,
hubungan antara bank dan pembeli, dan penyelesaian
utang.
1. Biaya untuk Pembiayaan
2. Murabahah:Bebas Risiko atau Berbagi Risiko
a. Risiko yang terkait dengan barang
b. Risiko yang terkait dengan Nasabah
c. Risiko yang terkait dengan pembayaran
3) Jaminan untuk Pembiayaan
Murabahah
 Meminta jaminan atas uang pada dasarnya bukanlah sesuatu
yang tercela, demikian menurut Al-Qur’an dan Sunnah. Al-Qur’an
memerintahkan umat Islam untuk menulis tagihan utang mereka,
dan jika perlu, meminta jaminan atas utang itu.
 Dalam sejumlah kesempatan, Nabi memberikan jaminannya
kepada krediturnya atas utang beliau. Jaminan adalah satu cara
untuk memastikan bahwa hak-hak kreditur tidak akan
dihilangkan, dan untuk menghindarkan diri dari “memakan harta
orang dengan cara batil”.
 Namun demikian, karena meminta jaminan dipandang oleh para
pendukung perbankan Islam sebagai suatu penghambat dalam
aliran dana bank untuk para pengusaha kecil, Islamic Banking
cenderung mengkritik bank-bank konvensional sebagai terlalu
‘berorientasi jaminan’ (security oriented). Dalam kalimat
International Islamic Bank for Investment and Development
(IIBID), “Jaminan-jaminan adalah ‘unsur terpenting’ dalam
keputusan memberikan pinjaman oleh bank konvensional.” Secara
tidak langsung ini menyatakan bahwa bagi Islamic Banking
jaminan bukan soal penting dalam keputusan pembiayaan.
Peran Jaminan pada Bank
Konvensional
 Dalam konteks pemberian pinjaman bank konvensional, jaminan
memainkan peran penting untuk memastikan pengembalian pinjaman
ketika jatuh tempo. Namun, jaminan bukanlah faktor terpenting untuk
menentukan apakah uang muka perlu dikenakan atau tidak terhadap
nasabah. Pitcher, seorang bankir konvensional, mengatakan, “Kebanyakan
kami, selama dalam pelatihan, belajar bahwa [jaminan] adalah salah satu
aspek yang kurang penting dalam usulan pinjaman, tetapi bagi
kebanyakan nasabah kami, jaminan sering tampak menjadi faktor utama
di depan benak kami ketika kami melihat permintaan mereka dan menjadi
prasyarat bagi setiap pembahasan yang berarti. Saya dapat mengingat
dengan baik seorang manajer tua memberitahuku segera setelah saya
bergabung dengan bank, ‘Jangan biarkan jaminan memengaruhi
keputusan peminjaman. Saya tidak pernah meminjamkan uang dengan
jaminan yang saya juga tidak meminjamkannya bila tidak ada jaminan” ….
Memberikan pinjaman dengan jaminan material ada tempatnya, tetapi
memberikan pinjaman karena jaminan saja pasti secara tidak adil akan
membatasi kucuran dana bank bagi usaha-usaha yang terkontrol dengan
baik yang dapat meminjam uang dengan sukses kalau saja mereka
memiliki harta yang diperlukan untuk menopang janjinya sebagai
jaminan.” (Pitcher, 1990: 11).
Jaminan Pihak ke-3 dalam
Pembiayaan Murabahah
 Kontrak-kontrak murabahah Islamic Banking dan cabang-cabang syariah bank
konvensional berisi klausul-klausul yang menekankan pentingnya jaminan. Dalam
kontrak Faisal Islamic Bank of Egypt (FIBE), Jordan Islamic Bank (JIB), International
Islamic Bank of Investment and Development (IIBID), Egyptian Gulf Bank (EGB),
Bank of Credit and Commerce (BCCI), dan Banque Misr, misalnya, garansi dan
jaminan dimintakan dari nasabah.
 Jaminan-jaminan itu dapat berupa benda bergerak, maupun tidak bergerak, barang-
barang murabahah sendiri bilamana dipandang pantas untuk dijadikan jaminan,
garansi pihak ketiga, pembayaran uang muka, dan surat-surat komersial. Menurut
kontrak, bank memilih hak untuk meminta jaminan tambahan kepada nasabah yang
jaminan itu dapat diterima oleh bank dalam hal bank berpikir bahwa jaminan yang
telah diberikan sebelumnya tidak mencukupi. Jika diminta, maka nasabah harus
memberikan jaminan itu tanpa bantahan atau penundaan.
 Umumnya, jaminan pihak ketiga adalah mutlak. Kontrak murabahah, misalnya,
mengatakan, Pihak ketiga memberikan jaminan mutlak atas tanggung jawab dan
kewajiban nasabah yang timbul akibat kontrak ini. Pihak ketiga setuju bahwa
jaminannya adalah suatu jaminan tambahan. Jaminan ini tidak dapat memengaruhi
atau dipengaruhi oleh jaminan yang lain yang mungkin telah diberikan sebelumnya
oleh nasabah, atau jaminan yang mungkin diperoleh bank darinya dimasa yang akan
datang. Pihak ketiga menganggap dirinya terikat oleh jaminan ini sebagai suatu
asuransi yang berlangsung terus.
 Hak-hak bank sangat terlindungi di dalam kontrak. Semua barang
bergerak dan tidak bergerak milik nasabah dan penjaminnya dapat
digunakan untuk memenuhi kewajiban yang timbul akibat kontrak
murabahah. Menurut kontrak murabahah Jordan Islamic Bank (JIB),
“Nasabah dan penjamin setuju bahwa bank memiliki hak untuk
menerapkan segala hukuman dan keputusan yang dikeluarkan terhadap
mereka, secara bersama-sama, pribadi-pribadi, maupun terhadap semua
harta mereka atau harta salah seorang dari mereka, baik harta bergerak
maupun tidak bergerak.”
 Di samping semua itu, nasabah harus, saat memohon dana, menaruh cek
pada bank untuk tiap-tiap angsuran yang diberi tanggal sesuai dengan
jatuh temponya. Bank memiliki hak untuk mencairkan cek guna penagihan
pada tanggal jatuh tempo jika nasabah tidak membayar angsurannya saat
jatuh tempo. Semua ini tentu menjamin, hampir pasti, pelunasan hutang
murabahah. Sikap bank yang semacam ini terhadap jaminan tidak
membenarkan kritik mereka terhadap kebijakan bank konvensional
mengenai jaminan. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa jika demikian
adanya perhatian Islamic Banking terhadap jaminan, maka praktik mereka
jelas tidak lebih baik daripada praktik jaminan bank konvensional.
BAB
4
LANJUTAN

Islamic Financial Management


by Prof. Veitsal
4) Hubungan antara Bank
dan Nasabah Murabahah

 Teori perbankan Islam mengatakan bahwa ciri utama dalam hubungan


antara bank dengan nasabah adalah ‘kemitraan’. Ciri ini, katanya,
menghapuskan sifat debitur-kreditur dalam hubungan bank-nasabah
dalam bank-bank konvensional. Bagaimanapun, sulit untuk
membenarkan sikap teoretis ini mengingat pentingnya murabahah dalam
operasi perbankan Islam, yang jumlahnya mencapai lebih dari tujuh
puluh lima persen dari operasi investasi Islamic Banking itu pada
umumnya.
 Dalam murabahah, kontrak jual beli membawa suatu hubungan debitur-
kreditur antara nasabah dan bank. Si pembeli setuju untuk membayar
harga barang plus mark-up secara angsuran, jumlah dan tanggal jatuh-
tempo angsuran yang ditentukan di dalam kontrak. Begitu bank dan
nasabah memasuki kontrak jual beli ini, harga jual menjadi tanggungan
hutang nasabah kepada bank. Jadi, hubungan antara nasabah dan bank
menjadi debitur-kreditur. Ini juga merupakan hubungan yang dominan,
meski tidak berarti satu-satunya, antara bank tradisional dan para
konsumennya.
5) Penyelesaian Hutang
Murabahah
 Pembiayaan untuk suatu kongsi berdasarkan murabahah
yang harus dilunasi pada jangka waktu tertentu tidak
jauh berbeda dengan pembiayaan kongsi berdasarkan
suku bunga tetap. Dalam kedua kasus tersebut,
pembiayaan adalah hutang. Biaya pembiayaan, apakah
itu disebut bunga atau laba, dan jangka waktu
pembayaran ditetapkan.
 Perbedaan paling penting adalah dalam hal debitur gagal
melunasi hutang pada waktu yang telah ditentukan.
Pinjaman dengan bunga pada umumnya menimbulkan
sanksi bunga tambahan jika pinjaman tidak dilunasi pada
saat jatuh tempo, entah si debitur mampu membayar
atau tidak. Dalam Islamic Banking, debitur harus diberi
waktu toleransi untuk melunasi jika ia tidak mampu,
sesuai dengan perintah Al-Qur’an bahwa “jika debitur
memunyai kesulitan, maka berilah penundaan sampai ia
memeroleh kemudahan”.
 Meskipun hutang dalam jual beli murabahah adalah tetap, dalam arti
bahwa jumlah hutang tidak dapat berubah setelah kontrak ditandatangani
oleh bank dan pembeli, bank dapat melindungi investasinya jika pembeli
tidak membayar tepat waktu. Mengomentari pengalaman Pakistan dalam
pembiayaan dagang terkait, tim Ingram dari Grind Lays Bank (Pakistan)
mengatakan, “Sistem yang telah diadopsi di Pakistan dalam jenis-jenis
pembiayaan mark-up ini, jika diletakkan dalam klausul-klausul yang
terkait dengan bunga (interest-bearing terms), yakni bahwa dalam
dokumen, kami membebankan apa yang senilai dengan kira-kira bunga
tambahan tujuh bulan ke dalam nilai mark-up. Dengan kata lain, kami
dapat membeli barang dari pelanggan senilai Rp100; ia segera
menandatangani kontrak untuk membelinya lagi dari kami seharga Rp120,
yang harus dibayar selama enam bulan berikut. Sekarang, berdasarkan
interest-bearing yang berlaku di Barat, jumlah itu bisa mencapai 40
persen per tahun, yang jumlah ini lebih banyak daripada yang diinginkan
bank sebenarnya. Jadi, apa yang kami miliki adalah dokumentasi
alternatif, suatu pembayaran potongan harga (rebate) yang cepat, yang
diterima oleh pelanggan.”
 Semua itu menunjukkan bahwa sampai dalam penyelesaian hutang pun,
Islamic Banking telah menggunakan cara-cara untuk menjamin agar
hutang dilunasi tepat waktu. Jika tidak, ‘kerugian’ yang diderita bank
ditanggung oleh nasabah.
f. Persoalan Harga dalam
Murabahah
1) Bolehkah Harga Jual yang Lebih Tinggi dalam
Murabahah?
 Murabahah sebagai suatu mekanisme jual beli
dengan pembayaran tunda, dapat terjadi baik
(i) pada harga tunai, dengan menghindari
segala bentuk mark-up pengganti waktu yang
ditundakan untuk pembayaran, atau (ii) pada
harga tunai plus mark-up untuk pengganti
waktu penundaan pembayaran (IAIB, 1999).
Fokus kajian berikut adalah pada jenis kedua
dari jual beli dengan pembayaran tunda.
 Para fuqaha tidak mempersoalkan keabsahan jual beli dengan pembayaran
tunda jenis yang pertama, yaitu pembayaran tunda pada harga tunai.
Perbedaan pendapat di kalangan ulama terjadi pada harga cicilan yang
lebih tinggi (sebagai lawan dari harga tunai) dalam jual beli dengan
pembayaran tunda (Mishri, tt). Para tokoh fuqaha awal, seperti Malik dan
Syafi’I, tidak menyetujui harga jual yang lebih tinggi untuk jual beli
dengan pembayaran tunda dan harga yang lebih rendah untuk
pembayaran tunai. Baik dalam Muwaththa’ Malik maupun dalam
pembahasan Syafi’i tentang jual beli dengan pembayaran tunda di Kitab
al-Umm, penulis tidak menemukan satu pendapat pun dari para fuqaha ini
yang membolehkan jual beli suatu barang berdasarkan murabahah dengan
harga jual yang lebih tinggi daripada harga kontannya (Syafi’i, tt).
 Argumen-argumen di atas selalu diajukan untuk membenarkan kenaikan
pada jual beli dengan pembayaran tunda yang secara jelas terkait dengan
jangka waktu utang. Islamic Bankings sudah barang tentu menerima
keabsahan kenaikan harga tersebut, dan ini telah menjadi praktik baku
untuk mengenakan harga yang lebih tinggi dalam jual beli dengan
pembayaran tunda selama transaksinya secara eksplisit tidak mengandung
tukar-menukar uang dengan uang.
2) Kenaikan pada Harga dalam
Murabahah
 Banyak tokoh fuqaha awal rupanya tidak mengakui bahwa
kenaikan dalam suatu utang-piutang atau harga jual
dapat dibenarkan berdasarkan waktu, karena waktu
sendiri bukanlah uang atau objek material yang dapat
menjadi nilai imbangan dalam suatu utang. Faqih mazhab
Hanafi, Jashshash, menyatakan percepatan pembayaran
utang dengan syarat bahwa kreditur mengurangi
jumlahnya adalah riba (Jashshash, Ahkam Al-Qur’an, I, h.
467). Ia mendasarkan pandangannya pada suatu riwayat
dari Zaid bin Tsabit (w. 45/665), Abdullah bin Umar (w.
73/693), Sa’id bin Jubair (w. 95/714) dan as-Sya’bi (w.
103/722). Para ulama generasi awal itu menyamakan
antara pengurangan jumlah yang disebabkan oleh waktu
dalam utang-piutang dengan riba. Zaid bin Tsabit menilai
bahwa keuntungan dari pengurangan semacam itu tidak
boleh digunakan oleh si penerima, juga tidak boleh
diberikan kepada orang lain (Malik bin Anas, Muwaththa,
h. 271).
3) Batas Maksimal Penentuan Keuntungan

 Tidak ada dalil dalam syariah yang berkaitan dengan penentuan


keuntungan usaha, sehingga bila melebihi jumlah tersebut
dianggap haram. Hal demikian telah menjadi kaidah umum untuk
seluruh jenis barang dagangan di setiap zaman dan tempat.
Ketentuan tersebut, karena ada beberapa hikmah, di antaranya:
a) Perbedaan harga terkadang cepat berputar dan terkadang lambat.
Menurut kebiasaan, kalau perputarannya cepat, maka
keuntungannya lebih sedikit. Sementara, bila perputarannya
lambat, keuntungannya banyak.
b) Perbedaan penjualan kontan dengan penjualan pembayaran tunda
(cicilan). Pada asalnya, keuntungan pada penjualan kontan lebih
kecil dibandingkan keuntungan pada penjualan cicilan.
c) Perbedaan komoditas yang dijual, antara komoditas primer dan
sekunder yang keuntungannya lebih sedikit karena memerhatikan
kaum papa dan orang-orang yang membutuhkan, dengan
komoditas luks, yang keuntungannya dilebihkan menurut
kebiasaan karena kurang dibutuhkan.
 Sebagaimana telah dijelaskan, tidak ada riwayat dalam sunnah Nabi yang mengatur
pembatasan keuntungan, sehingga tidak boleh mengambil keuntungan melebihi dari
yang sewajarnya. Bahkan sebaliknya, diriwayatkan suatu hadis yang menetapkan
bolehnya keuntungan perdagangan itu mencapai dua kali lipat pada kondisi tertentu,
atau bahkan lebih.

 Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya dari Urwah bahwa ia menceritakan


Nabi pernah ditawarkan kambing dagang. Lalu beliau memberikan satu dinar
kepadaku. Beliau bersabda, “Hai Urwah, datangi pedagang hewan itu, belikan
untukku satu ekor kambing.” Aku mendatangi pedagang tersebut dan menawar
kambingnya. Akhirnya aku berhasil membawa dua ekor kambing. Aku kembali
dengan membawa kedua ekor kambing tersebut – dalam riwayat lain – menggiring
kedua kambing itu. Di tengah jalan, aku bertemu seorang lelaki dan menawar
kambingku. Kujual satu ekor kambing dengan harga satu dinar. Aku kembali kepada
Nabi dengan membawa satu dinar berikut satu ekor kambing. Aku berkata, “Wahai
Rasulullah, ini kambing Anda dan ini satu dinar juga milik Anda!” Beliau bertanya,
“Apa yang engkau lakukan?” Aku menceritakan semuanya. Beliau bersabda, “Ya
Allah, berkatilah keuntungan perniagaannya.” Kualami sesudah itu bahwa aku
pernah berdiri di Kinasah di Kota Kufah, aku berhasil membawa keuntungan empat
puluh ribu dinar sebelum aku sampai ke rumah menemui keluargaku. (Musnad
Ahmad, IV: 376 cet. al-Maktab al-Islami).

 Diriwayatkan dengan sahih bahwa Zubair bin Awwam pernah membeli sebuah tanah
hutan, yakni sebidang tanah luas di daerah tinggi di kota Madinah dengan harga
seratur tujuh puluh ribu dinar. Namun, kemudian ia menjualnya dengan harga satu
juta dinar, yakni menjualnya dengan harga berlipat-lipat kali lebih mahal.
 Hal yang perlu dicermati di sini bahwa semua kejadian itu tidak
mengandung unsur penipuan, manipulasi, monopoli,
memanfaatkan keluguan pembeli, ketidaktahuannya, kondisinya
yang terpepet atau sedang membutuhkan, lalu harga ditinggikan.
Di sisi lain, semua kejadian ini tidaklah menggambarkan kaidah
umum dalam mengukur keuntungan. Justru sikap memberi
kemudahan, sikap santun dan puas dengan keuntungan yang
sedikit itu lebih sesuai dengan petunjuk para ulama dan spirit
kehidupan syariah.
 Orang yang puas dengan keuntungan sedikit pasti usahanya akan
penuh dengan berkah. Ali bin Abi Thalib biasa keliling pasar Kufah
dengan membawa tongkat sambil berkata, “Hai para pedagang,
ambillah hak kalian, kalian akan selamat. Jangan kalian tolak
keuntungan yang sedikit, karena kalian bisa dihalangi
mendapatkan keuntungan besar....” (Abdullah al-Mushlih dan
Shalah al-Shawi, 2001: 80)
g. Metode Penentuan Harga
Jual dan Profit Margin
1) Metode Penentuan Profit Margin
 Ada empat metode penentuan profit margin
yang diterapkan pada bisnis/bank konvensional,
yaitu: (1) mark-up pricing; (2) target-return
pricing; (3) perceived-value pricing; dan (4)
value pricing. Keempat metode penentuan
harga jual barang ini dapat diuraikan secara
ringkas sebagai berikut:
a) Mark-up Pricing
 Penentuan tingkat harga dengan me-markup
biaya produksi komoditas yang
bersangkutan
Contoh:
PT Arif memproduksi barang A. Dalam
menentukan tingkat harga dan biaya
produksinya, perusahaan tersebut
mempertimbangkan biaya-biaya sebagai
berikut:
 Biaya variabel per unit = Rp 10
 Biaya tetap = Rp 100.000
 Jumlah unit yang diharapkan terjual,
sebanyak 10.000 unit.
 Dengan demikian, biaya produksi
perusahaan untuk memproduksi barang
A adalah sebagai berikut:
Biaya tetap
Biaya per unit = Biaya variabel + ------------------

umlah
penjualan

R
p 100.000
=
Rp 10 + ----------------- = Rp 20
10.000
 Diasumsikan perusahaan menetapkan keuntungan sebesar
10% dari penjualan, maka mark-up price untuk setiap
unit adalah sebagai berikut:
Biaya per unit Harga Mark-up
=----------------------------------------
(1 – pendapatan penjualan yang diharapkan)

Rp 20
= ----------------- = Rp 22,22
(1 – 0.10)

 Harga sebesar Rp 22,22 merupakan harga yang telah di-


mark-up. Harga tersebut yang dijadikan sebagai harga
dasar penawaran penjualan kepada calon nasabah yang
akan membeli barang A tersebut. Jika calon nasabah
menyepakati harga tersebut, maka akan terjadi kontrak
jual beli.
b) Target-Return Pricing
 Penentuan harga jual produk yang
bertujuan mendapatkan tingkat return
atas besarnya modal yang diinvestasikan.
Dalam bahasa keuangan dikenal dengan
return on investment (ROI). Dalam hal
ini, perusahaan akan menentukan berapa
return yang diharapkan atas modal yang
telah diinvestasikan.
Contoh:
 PT Arif memproduksi barang A dan telah menginvestasikan
dana sebesar Rp 1.000.000, dengan menghasilkan tingkat
return sebesar 20%. Dengan demikian, target return
pricing dapat dicari sebagai berikut:
Return yang diharapkan x modal
investasi
Target return-price = unit cost +
-----------------------------------------------
Unit sale

0,20 x Rp 1.000.000
= Rp 20 + ----------------------------- = Rp 40
10.000
 Rp 40 merupakan harga yang telah ditargetkan dari
banyaknya modal yang diinvestasikan. Harga tersebut yang
dijadikan sebagai harga dasar penawaran penjualan
kepada calon nasabah yang akan membeli barang A
tersebut. Jika calon nasabah menyepakati harga tersebut
maka akan terjadi kontrak jual beli.
c) Perceived-Value Pricing
 Penentuan harga dengan tidak menggunakan variabel
harga sebagai dasar harga jual. Harga jual didasarkan
pada harga produk pesaing di mana perusahaan
melakukan penambahan atau perbaikan unit untuk
meningkatkan kepuasan pembeli.

Contoh:
 Seseorang lebih suka menabung di Islamic Banking
Berkah daripada di Islamic Banking Permai walaupun
tingkat bagi hasil di Islamic Banking Permai lebih tinggi.
Nasabah merasa puas karena di Islamic Banking Berkah
pelayanannya lebih baik dibandingkan dengan pelayanan
yang diberikan oleh Islamic Banking Permai.
d) Value Pricing
 Kebijakan harga yang kompetitif atas barang yang berkualitas tinggi.
Dengan ungkapan: ono rego ono rupo. Artinya, barang yang baik pasti
harganya mahal. Namun, perusahaan yang sukses adalah perusahaan
yang mampu menghasilkan barang yang berkualitas dengan biaya yang
efisien, sehingga perusahaan tersebut dapat dengan leluasa menentukan
tingkat harga di bawah harga kompetitor.

 Dapatkah metode penentuan harga yang berlaku dalam ekonomi


konvensional tersebut digunakan untuk menentukan tingkat harga dalam
mekanisme syariah? Penentuan harga dalam pembiayaan di Islamic
Banking dapat menggunakan salah satu di antara empat model tersebut
di atas. Namun, yang lazim digunakan oleh Islamic Banking saat ini
adalah metode going rate pricing, yaitu menggunakan tingkat suku
bunga pasar sebagai rujukan (benchmark). Mengapa diterapkan? Karena
Islamic Banking berkompetisi dengan bank konvensional. Di samping itu,
Islamic Banking juga berkeinginan untuk mendapatkan customer yang
bersifat floating customer.

 Meskipun demikian, penentuan harga jual produk pada Islamic Banking


harus dengan memerhatikan ketentuan-ketentuan yang dibenarkan
menurut syariah. Oleh karena itu, metode penentuan harga jual
berdasarkan pada mark-up pricing maupun target return pricing dapat
digunakan dengan melakukan modifikasi.
2) Penerapan-penerapan Metode Pembiayaan
a) Penerapan Mark-up Pricing Pembiayaan
 Jika Islamic Banking hendak menerapkan
metode mark-up pricing, metode ini hanya tepat
jika digunakan untuk pembiayaan yang sumber
dananya dari restricted investment account
(RIA) atau mudharabah muqayyadah. Mengapa
demikian?
 Sebab, akad mudharabah muqayyadah adalah
akad yang pemilik dana menuntut adanya
kepastian hasil dari modal yang diinvestasikan.
Oleh karena itu, pola yang diterapkan dengan
memerhatikan:
 Historical average cost jika dana mudharabah
muqayyadah dilakukan dengan on balance sheet.
 Marginal cost of fund jika dana mudharabah
muqayyadah dilakukan dengan off balance sheet.
 Pooled marginal cost of fund jika dana
mudharabah muqayyadah dilakukan dengan on
balance sheet.
 Weighted average projected cost jika dana
mudharabah muqayyadah dilakukan dengan on
balance sheet.
b) Penerapan Target Return
Pricing Pembiayaan
 Islamic Banking beroperasi dengan tidak menggunakan
bunga. Mekanisme operasional dalam memeroleh
pendapatan dapat dihasilkan berdasarkan klasifikasi akad.
Akad yang menghasilkan keuntungan secara pasti
disebut natural certainty contract, dan akad yang
menghasilkan keuntungan yang tidak pasti disebut
natural uncertainty contract.
 Jika pembiayaan dilakukan dengan akad natural certainty
contract, maka metode yang digunakan adalah required
profit rate (rpr).
rpr = n. v
 Di mana n = tingkat keuntungan dalam transaksi tunai;
v = jumlah transaksi dalam satu periode.
 Jika pembiayaan dilakukan dengan akad natural
uncertainty contract, maka metode yang
digunakan adalah expected profit rate (epr).
Expected profit rate (epr) diperoleh berdasarkan:
1. Tingkat keuntungan rata-rata pada
industri sejenis.
2. Pertumbuhan ekonomi.
3. Dihitung dari nilai rpr yang berlaku di
bank yang bersangkutan.
 Penghitungannya:

Nisbah bank = epr/expected return bisnis


yang dibiayai * 100%
Aktual return bank = nisbah bank + aktual return
bisnis
Contoh kasus: penentuan target return untuk
kontrak dengan hasil tidak pasti
 Bank Permata memprediksikan nilai epr dari proyek Halal
sebesar 15%. Dengan mempertimbangkan target return,
bank menetapkan nisbah bagi hasil antara bank dan
pengusaha 40:60 (bank:nasabah). Dari transaksi proyek
Halal tersebut dihasilkan keuntungan aktual sebesar Rp 30
juta (modal yang digunakan, misalnya, sebesar Rp 75
juta). Bila bank Permata memprediksikan nilai epr dari
suatu proyek sebesar 20% (dengan asumsi aktual return
usaha yang dibiayai adalah Rp 100 juta) dan target
keuntungan aktual adalah Rp 60 juta, maka dengan
menetapkan tingkat perolehan aktual tetap, bank dapat
menetapkan tingkat nisbah bagi hasil dengan pengusaha
sebesar 30:70 (bank:nasabah)
Contoh kasus: penentuan target return untuk
kontrak dengan hasil pasti
 Pak Amin memunyai modal usaha 100 juta. Modal tersebut
diusahakan dalam bisnis perumahan. Setiap satu kali
transaksi jual beli rumah, Amin mendapatkan keuntungan
10 juta atau 10%. Dari pengalaman sebelumnya selama
satu tahun, Amin dapat menjual rumah sebanyak enam
unit. Suatu ketika ada seseorang yang ingin membeli
rumah tersebut dengan pembayaran di kemudian hari,
yaitu pada akhir tahun. Apabila Amin menjual rumah
tersebut dengan margin keuntungan 10% maka dia akan
mengalami kerugian atau kehilangan peluang untuk
melakukan penjualan rumah lagi sebanyak lima kali per
unit. Oleh karena itu, untuk menutup hilangnya opportunity
loss, Amin menawarkan harga rumah kepada seseorang
tersebut dengan harga 160 juta atau margin keuntungan
sebesar 60%. Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa
tingkat 60% tersebut adalah sama dengan tingkat
keuntungan 10% dengan enam kali transaksi.
 Tingkat keuntungan jual beli juga dipengaruhi
oleh faktor lain, seperti tingkat harga di pasar.
Meskipun demikian, penjual perlu mengacu
kepada aturan fikih dalam menentukan harga
kontan dengan harga cicilan. Dengan demikian,
penentuan nilai rpr dapat dihitung dengan
menggunakan rumus berikut:
rpr = π . v
 π adalah tingkat keuntungan dalam transaksi
tunai; v adalah jumlah transaksi yang bisa
dilakukan dalam satu periode.
Contoh:
 Bila dalam suatu pembiayaan yang memberikan
hasil pasti (murabahah), bank menetapkan
tingkat keuntungan sebesar 12%, sementara
pembiayaan tersebut membutuhkan dana
sebesar Rp 200 juta, maka bank sudah bisa
melakukan prediksi bahwa keuntungan aktual
yang akan diperoleh adalah:

 Keuntungan aktual yang diperoleh


= rpr x jumlah pembiayaan
= 12% x Rp 200 juta
= Rp 24 juta
 Sebaiknya, penetapan harga jual murabahah
dapat dilakukan dengan cara Rasulullah ketika
berdagang. Dalam menentukan harga penjualan,
Rasul secara transparan menjelaskan berapa
harga belinya, berapa biaya yang telah
dikeluarkan untuk setiap komoditas dan berapa
keuntungan wajar yang diinginkan. Cara yang
dilakukan oleh Rasulullah ini dapat dipakai
sebagai salah satu metode Islamic Banking dalam
menentukan harga jual produk murabahah.
Dengan demikian, secara matematis harga jual
barang oleh bank kepada calon nasabah
pembiayaan murabahah dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut:
Harga Jual = Harga Beli Bank + Cost Recovery +
Bank Keuntungan
Proyeksi Biaya Operasi
Cost =
Recovery ------------------------------------------
Target Volume Pembiayaan
Cost Recovery +
Margin dalam keuntungan
= -------------------------------------------- x
prosentase 100%
Harga Beli Bank
 Biaya yang dikeluarkan dan harus dikembalikan (cost recovery)
bisa didekati dengan membagi proyeksi biaya operasional bank,
dengan target volume pembiayaan murabahah di Islamic Banking.
Angka-angka tersebut dapat diperoleh dari Rencana Kerja dan
Anggaran Perusahaan (RKAP). Angka yang diperoleh kemudian
ditambahkan dengan harga beli dari pemasok dan keuntungan
yang diinginkan, sehingga didapatkan harga jual. Margin dalam
konteks ini adalah cost recovery ditambah dengan keuntungan
bank. Apabila margin ingin dihitung persentasenya, tinggal dibagi
dengan harga beli barang dikalikan 100%.
 Setelah angka-angka tersebut didapat, barulah persentase margin
ini dibandingkan dengan suku bunga. Jadi, suku bunga hanya
dijadikan benchmark. Agar pembiayaan murabahah kompetitif,
margin murabahah harus lebih kecil daripada bunga pinjaman.
Jika masih lebih besar, maka yang harus dimainkan adalah
dengan memperkecil cost recovery dan keuntungan yang
diharapkan.
 Langkah pertama adalah menurunkan keuntungan. Jika keuntungan sudah
turun sampai batas minimal, dan ternyata marginnya masih lebih besar
daripada bunga bank, maka tentu ada yang tidak beres dengan cost
recovery. Artinya, efisiensi bank tersebut rendah. Efisiensi yang rendah itu
dapat ditingkatkan dengan mengurangi biaya operasional pada target
volume pembiayaan yang sama. Efisiensi juga dapat dicapai dengan
memperbesar target volume pembiayaan pada biaya operasional yang
sama. Hal ini dapat dicapai dengan meningkatkan kualitas SDM Islamic
Banking. Semakin berkualitas SDM dalam meyakinkan nasabah untuk
mendepositokan dananya ke Islamic Banking, semakin banyak pula dana
yang dapat disalurkan untuk pembiayaan murabahah. Dengan demikian,
semakin besar peluang untuk meningkatkan efisiensi.
 Lebih cantik lagi bila pengurangan biaya operasional dilakukan bersamaan
dengan meningkatkan volume pembiayaan. Efisiensi tinggi akan segera
diperoleh, cost recovery semakin kecil dan insya Allah keuntungan bank
akan meningkat walaupun dengan margin murabahah yang lebih kecil
daripada bunga pinjaman bank konvensional. Hal penting yang perlu
diingat dan dicatat, hasil perhitungan margin yang dicantumkan dalam
kontrak murabahah dinyatakan dalam angka nominal, bukan bentuk
persentasenya.
Contoh Kasus
 Tuan Ali berkeinginan membeli sebuah mobil untuk
kepentingan usaha antar jemput anak sekolah. Harga beli
mobil sebesar Rp 150.000.000. Pada saat ini, Tuan Ali
hanya memiliki dana Rp 30.000.000. Untuk mengatasi
kekurangan dana tersebut, Tuan Ali mengubungi Islamic
Banking TOAT untuk mendapatkan pemecahan masalah
akibat kekurangan dana tersebut. Islamic Banking
menawarkan solusi dengan akad murabahah. Islamic
Banking memperkirakan biaya operasi Rp 200.000.000
dalam satu tahun, jumlah pembiayaan Rp 5 milyar, mark-
up yang ditentukan (hanya sekali) 10% dari pembiayaan
murabahah, dan lama pembiayaan dua tahun. Bagiamana
cara penyelesaiannya?
Jawab (penyelesaian dengan rumus
harga jual efisien)
Data pembiayaan:
 Harga Pokok Mobil = Rp 150.000.000
 Dibayar nasabah (uang muka) = Rp 30.000.000 -
 Kekurangan dibayar Bank = Rp 120.000.000
1) Hitung cost recovery
Cost Recovery = (Pembiayaan
Murabahah/Estimasi Total Pembiayaan) X
Estimasi Biaya Operasi 1 tahun
Cost Recovery = (Rp 120 juta/Rp 5 milyar) x Rp
200 juta
= Rp 4.800.000

2) Hitung mark-up
 Hitung Markup= 10% x pembiyaan
 Markup = 10% x Rp 120 juta
 = Rp 12.000.000
3) Hitung harga jual bank

Harga Jual Bank = Pembiyaan + cost recovery + Markup


= Rp 120 juta + (2 x Rp 4.800.000) + Rp 12 juta
= Rp 141.600.000
6) Hitung margin dalam persentase
Hitung Margin dalam %= Cost Recovery + Markup/Harga beli
= [(2 x Rp 4.800.000 + Rp 12juta)/Rp150.000.000] x 100%
= 14,4% = 0,6%
2. Bai’u
Salam
a. Pengertian
 Salam adalah akad jual-beli atas suatu barang
dengan jenis dan dalam jumlah tertentu yang
penyerahannya dilakukan beberapa waktu
kemudian, sedangkan pembayarannya segera (di
muka).

 Salam Paralel merupakan dua transaksi Salam


yang dilakukan secara simultan dan melibatkan tiga
pihak yang berkepentangan. Salah satu di
antaranya bertindak sebagai pembeli dan sekaligus
penjual: membeli suatu barang dari pihak kedua
dan menjualnya kembali kepada pihak ketiga.
b. Landasan Syariah

 QS Al-Baqarah [2]: 282


Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
.hendaklah kamu menuliskannya
 Ibnu Abbas r.a. mengungkapkan, “Aku bersaksi bahwa
salam (salaf) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu
telah dihalalkan Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya,”
seraya membaca ayat tersebut di atas.
 Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah
bersabda, “Barangsiapa yang melakukan salaf (salam),
hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan
timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang
diketahui.”
c. Rukun
Salam
1. Pembeli (muslam)
2. Penjual (muslam ilaih)
3. Barang yang diperjualbelikan (muslam fih)
4. Harga barang (ra’sul mal)
5. Sighat (ijab qabul)
Skema
Salam:
(1 Negosias (1
) i )

(2 (2
) )
Akad Salam

Bayar Harga
Barang
(3
Produsen/Penjua ) Pemb
l eli
Produksi Kirim
barang Barang barang
(4 (5
) )
d. Salam Pararel dalam Teknis Perbankan

Pengertian:
 Salam Paralel merupakan transaksi pembelian atas
barang tertentu yang dilakukan oleh bank dari pihak
produsen atau pihak ketiga lainnya dengan pembayaran
di muka, untuk kemudian dijual kembali kepada nasabah
dengan waktu penyerahan yang disepakati.
 Pembayaran oleh nasabah kepada bank dapat dilakukan
di muka pada saat ditandatanganinya akad salam atau
secara tunai pada saat penyerahan barang (salam wal
bai’u muthlaqah) atau dengan cara mengangsur (salam
wal murabahah).
 Apabila pembayaran oleh nasabah dilakukan secara tunai
atau dengan cara mengangsur, biasanya bank
mensyaratkan agar nasabah terlebih dahulu membayar
sejumlah uang muka yang diperlukan.
Skema Salam: Contoh Aplikasi
Perbankan
Negosiasi
(1 (1
) )
(2 ) (2
) )
Akad Salam
Bayar uang muka
(4)

Rp 300 Juta
(8)
Bank Syariah “XYZ” Bayar Angsuran PT.
Anugrah
Akad salam (2a) Sentosa
Negosiasi (1a) Produksi jagung Kirim
Bank garansi (3) KUD jagung
Jagung
Lestari (6)
Bayar Rp 1.,5 M (5)
(7)
Kirim faktur (7a)
3. Bai’ Istishna’
a. Syarat Istishna’
 Produsen dan pemesan (shani’ dan mustashni’)
cakap hukum, tidak dalam keadaan terpaksa,
dan tidak ingkar janji.
 Produsen (shani’) memiliki kapasitas dan
kesanggupan untuk membuat/mengadakan
barang yang dipesan.
 Barang yang dipesan (mashnu’) harus jelas
spesifikasinya dan tidak termasuk yang dilarang
syariah, sedangkan waktu penyerahannya
sesuai kesepakatan.
 Harga barang (tsaman) harus dinyatakan secara
jelas dan pembayarannya dilakukan sesuai
dengan kesepakatan
Skema
Istishna’:
Pesan barang
(1)

Akad Istishna’
(2)
Bayar Harga
Barang
(5
Produsen ) Pembeli
(Shani’) (Mustashni’)

Produksi Barang Kirim


barang (Mashnu barang
(3 (4
) ’) )
Skema Istishna’: Contoh aplikasi
Perbankan
Serah Terima Pry. (5)

Serah Terima Proyek (5a)


Kerjakan proyek (4)

Proyek ruko

PT. Angin Ribut (5) (5a) Husein


(Kontraktor) (Nasabah)
Negosiasi
Negosiasi
(1a)
Akad Istishna’ (1) Istishna’
Akad
(2a) (2)
Bank Garansi Bayar Uang Muka
(3a) (3a)
Kembali B. Garansi Bayar Angsuran
(6) (8)
Bayar Rp 4,5 M (7)

Bank Syariah
b. Aplikasi Istishna’ Paralel
dalam Teknis
Perbankan
 Pembiayaan modal kerja; misalnya,
untuk modal kerja industri barang-barang
konsumsi, termasuk garmen, sepatu,
dan sebagainya.
 Pembiayaan investasi; misalnya, untuk
pengadakan barang-barang modal seperti
mesin-mesin.
 Pembiayaan konstruksi (construction
financing).
4. Ijarah dan Ijarah Wa Iqtina
a. Prinsip Sewa (Ijarah)
 Transaksi ijarah dilandasi dengan adanya perpindahan manfaat
(hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi,
pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli.
Perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Pada jual beli,
objek transaksinya barang, sedangkan pada ijarah, objek
transaksinya adalah barang maupun jasa.
 Ijarah didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan
barang/jasa dengan membayar imbalan tertentu (Sarkhasi, al-
Mabshut, 15:74; Al-Umm, 3:250). Menurut fatwa Dewan
Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna
(manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu
melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri (2001). Dengan
demikian, dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan,
tetapi hanya perpindahan hak guna dari yang menyewakan
kepada penyewa.
Skema Ijarah Wa
PenyerahanIqtina:
Kepemilikan Penyerahan Kepemilikan
(5) (5)
OBJEK SEWA
Penyerahan Pemanfaatan
(Ma’jur)
Hak Hak
Penggunaan (3) Penggunaan (3)

Akad Ijarah Wa Iqtina (1)

Pembayaran Sewa (2)

Pembayaran Atas Pembelian


(4) Penyewa
Pemilik (Musta’j
Barang ir)
(Mu’jir)
b. Hak dan Kewajiban Kedua Belah
Pihak
 Apa saja kewajiban penyewa dan pihak yang menyewakan? Pihak yang menyewakan
wajib mempersiapkan barang yang disewakan untuk dapat digunakan secara
optimal oleh penyewa. Misalnya, mobil yang disewa ternyata tidak dapat digunakan
karena akinya lemah, maka yang menyewakan wajib menggantinya. Bila yang
menyewakan tidak dapat memperbaikinya, penyewa memunyai pilihan untuk
membatalkan akad atau menerima manfaat yang rusak. Bila demikian keadaannya,
apakah harga sewa masih harus dibayar penuh? Sebagian ulama berpendapat, bila
penyewa tidak membatalkan akad, harga sewa harus dibayar penuh (Mula Khasra,
Syarh Al-Durr, 3:278 – 279, dan Al-Muhattab, 2:405). Sebagian ulama lain
berpendapat, harga sewa dapat dikurangkan dulu dengan biaya untuk perbaikan
 kerusakan.
Penyewa wajib menggunakan barang yang disewakan menurut syarat-syarat akad
atau menurut kalaziman penggunaannya. Penyewa juga wajib menjaga barang yang
disewakan agar tetap utuh. Bagaimana dengan perawatan barang yang disewa?
Secara prinsip tidak boleh dinyatakan dalam akad bahwa penyewa bertanggung
jawab atas perawatan karena ini berarti penyewa bertanggung jawab atas jumlah
yang tidak pasti (gharar). Oleh karena itu, ulama berpendapat bahwa bila penyewa
diminta untuk melakukan perawatan, ia berhak untuk mendapatkan upah dan biaya
yang wajar untuk pekerjaannya itu. Bila penyewa melakukan perawatan atas
kehendaknya sendiri, ini dianggap sebagai hadiah dari penyewa dan ia tidak dapat
meminta pembayaran apa pun (Al-Fatawa Al-Hindiyah, 4:443; Al-Buhuti, Kasyful
Qina’,4;416; Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj, 5:264 – 265).
c. Kesepakatan Mengenai Harga
Sewa
 Misalnya, dikatakan, “Saya sewakan mobil ini selama satu bulan dengan harga sewa
Rp X.” Bila penyewa ingin memperpanjang masa sewa, dapat saja harga sewanya
berubah. Bahkan, pihak yang menyewakan dapat saja meminta harga sewa dua kali
lipat daripada sebelumnya. Sebaliknya, penyewa dapat saja menawar setengah
harga sewa sebelumnya. Semuanya tergantung kesepakatan antara kedua belah
pihak: penyewa dan pihak yang menyewakan. Namun, dalam periode pertama yang
telah disepakati harga sewanya, itulah kesepakatannya. Mayoritas ulama
mengatakan, “Syarat-syarat yang berlaku bagi harga jual berlaku juga bagi harga
sewa” (Al-Dardir, Syarh Al-Shagir, 4:59; Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj, 5:322, Ibnu
Qudhamah, Al-Mughni, 5:327).
 Bagaimana dengan praktik para penjahit, misalnya menjelang lebaran, yang
menentukan harga jahit makin tinggi? Ulama mazhab memberikan keleluasaan
dalam menentukan harga sewa semacam itu.Al-Jaziri mencontohkan, “Jika Anda
menjahitkan bajuku hari ini, upahnya satu dirham; jika Anda menjahit bajuku besok,
upahnya setengah dirham. Jika Anda tinggal di rumah ini sebagai tukang besi,
sewanya sepuluh dirham; jika Anda tinggal di rumah ini sebagai penjual minyak
wangi, sewanya lima dirham.”
 Bagaimana pula dengan kebiasaan sebagian orang yang naik becak atau ojek tanpa
kesepakatan harga terlebih dahulu? Pada prinsipnya, upah harus diketahui terlebih
dahulu, sesuai dengan hadis Rasulullah Saw., “Barangsiapa mempekerjakan seorang
pekerja, harus memberitahukan upahnya” (HR Baihaqi dari Abu Hurairah). Fatwa
ulama menjelaskan bahwa harga sewa yang lazim berlaku bila ditentukan di muka.
“Bila manfaat telah dinikmati, sedangkan harga sewa tidak ditentukan, maka sewa
untuk manfaat yang sama harus dibayar.” (Al-Fatawa Al-Hindiyah, 4:42; Al-Maushili,
Al-Ikhtiyar, 2:507)
d. Ijarah Muntahia Bit tamlik (IMBT)
 Bai’u wal Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT) merupakan rangkaian dua buah akad,
yakni bai’u merupakan akad jual beli, dan IMBT merupakan kombinasi antara
sewa-menyewa (ijarah) dan jual beli atau hibah pada akhir masa sewa. Dalam
ijarah muntahia bit tamlik, pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu
dari dua cara berikut ini:
 Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir
masa sewa;
 Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut
akhir
pada masa sewa.
 Pilihan untuk menjual barang pada akhir masa sewa (alternatif 1) biasanya diambil
bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Karena
sewa yang dibayarkan relatif kecil, akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan
sampai akhir periode belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin
laba yang ditetapkan oleh bank. Karena itu, untuk menutupi kekurangan tersebut,
bila pihak penyewa ingin memiliki barang tersebut, ia harus membeli barang itu
pada akhir periode.
 Pilihan untuk menghibahkan barang pada akhir masa sewa (alternatif 2) biasanya
diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih
besar. Karena sewa yang dibayarkan relatif besar, akumulasi sewa pada akhir
periode sudah mencukupi untuk menutupi harga beli barang dan margin laba yang
ditetapkan oleh bank. Dengan demikian, bank dapat menghibahkan barang
tersebut pada akhir masa periode sewa kepada pihak penyewa.
 Pada Bai’u wal Ijarah Muntahia Bit tamlik (IMBT) dengan sumber pembiayaan dari
Unrestricted Investment Account (URIA), pembayaran oleh nasabah dilakukan
secara bulanan. Hal ini karena pihak bank harus memunyai cash in setiap bulan
untuk memberikan bagi hasil kepada para nasabah yang dilakukan secara bulanan
juga.
e. Ijarah wa Iqtina dalam Teknis Perbankan

1) Pengertian
 Ijarah wa Iqtina (Ijarah Muntahia Bit tamlik) adalah akad
sewa-menyewa atas barang tertentu antara bank
sebagai pemilik barang (mu’jir) dan nasabah selaku
penyewa (musta’jir) untuk suatu jangka waktu dan
dengan harga yang disepakati. Pada akhir masa sewa,
bank memberikan opsi kepada nasabah untuk membeli
barang tersebut dengan harga yang disepakati pula.

2) Aplikasi
 Pembiayaan investasi; seperti untuk pembiayaan barang-
barang modal, seperti mesin-mesin.
 Pembiayaan konsumer; seperti untuk pembelian mobil,
rumah, dan sebagainya.
3) Pembiayaan Ijarah dan IMBT di Islamic Banking
 Pembiayaan ijarah dan ijarah muntahia bit tamlik (IMBT)
memiliki kesamaan perlakuan dengan pembiayaan murabahah.
Sampai saat ini, mayoritas produk pembiayaan Islamic Banking
masih terfokus pada produk-produk murabahah (prinsip jual-
beli). Kesamaan keduanya bahwa pembiayaan tersebut
termasuk dalam kategori natural certainty contract, dan pada
dasarnya adalah kontrak jual beli. Perbedaan kedua jenis
pembiayaan (ijarah/IMBT dengan murabahah) hanyahlah objek
transaksi yang diperjualbelikan tersebut. Dalam pembiayaan
murabahah, objek transaksi adalah barang seperti rumah dan
mobil, sedangkan dalam pembiayaan ijarah, objek transaksinya
adalah jasa, baik manfaat atas barang maupun manfaat atas
tenaga kerja. Dengan pembiayaan murabahah, Islamic Banking
hanya dapat melayani kebutuhan nasabah untuk memiliki
barang, sedangkan nasabah yang membutuhkan jasa tidak
dapat dilayani. Dengan skim ijarah, Islamic Banking dapat pula
melayani nasabah yang hanya membutuhkan jasa.
f. Ijarah dan Leasing
 Karena ijarah adalah akad yang mengatur pemanfaatan
hak guna tanpa terjadi pemindahan kepemilikan, maka
banyak orang yang menyamakan ijarah ini dengan
leasing. Ini terjadi karena kedua istilah tersebut sama-
sama mengacu kepada hal sewa-menyewa. Menyamakan
ijarah dengan leasing tidak sepenuhnya salah, tapi tidak
sepenuhnya benar pula. Pada dasarnya, walaupun
terdapat kesamaan antara ijarah dan leasing, ada
beberapa karakteristik yang membedakannya. Pada
bagian ini, perbedaan dan persamaan antara keduanya
akan kita bahas.
 Tabel berikut ini memberikan ikhtisar perbedaan dan
kesamaan antara ijarah dan leasing. Sedikitnya ada lima
aspek yang dapat kita cermati, yakni objek, metode
pembayaran, perpindahan kepemilikan, lease purchase,
dan sale and lease back.
Ta b e l 1.
Ijarah dan Leasing:
Perbedaan dan
Ijarah
Persamaannya
Leasin
g
Objek: Manfaat barang dan jasa Objek: Manfaat barang saja

Methods of Payment: Methods of Payment: Not contingent to


Contingent to performance
performance
Not contingent to
performance. Transfer of title:
Operating lease  No transfer of title.
Transfer of Title: Financial lease  Option to buy or not
Ijarah  No transfer of
to buy, at the end of period.
title
Lease-Purchase/sewa-beli Ok
IMBT  Promise to sell or hibah at the beginning
of period.
Lease Purchase/sewa-beli: Bentuk leasing seperti
ini haram karena akadnya gharar, (yakni antara Sale and Lease Back Ok.
sewa dan beli).
Sale and Lease Back Ok.
Penjelasan ringkas sebagai berikut:
1) Objek
 Bila dilihat dari segi objek yang disewakan, leasing berlaku
untuk sewa-menyewa barang saja. Jadi, yang disewakan
dalam leasing terbatas pada manfaat barang. Bila ingin
mendapatkan manfaat tenaga kerja, kita tidak dapat
menggunakan leasing.
 Di lain pihak, dalam ijarah, objek yang disewakan bisa
berupa barang atau jasa/tenaga kerja. Ijarah, bila
diterapkan untuk mendapatkan manfaat barang, disebut
sewa-menyewa, sedangkan bila diterapkan untuk
mendapatkan manfaat tenaga kerja/jasa disebut upah-
mengupah. Jadi, yang disewakan dalam ijarah adalah
manfaat barang atau manfaat tenaga kerja. Dengan
demikian, bila dilihat dari segi objeknya, ijarah memunyai
cakupan yang lebih luas daripada leasing.
2) Metode Pembayaran
 Bila dilihat dari segi metode pembayaran, leasing memiliki satu metode
pembayaran saja, yakni yang bersifat not contingent to performance.
Artinya, pembayaran sewa pada leasing tidak tergantung pada kinerja
objek yang disewa. Misalnya, Ahmad menyewa mobil X pada Toyota
Rent A Car untuk dua hari dengan tarif Rp 1.000.000,-/hari. Dengan
mobil tersebut, Ahmad berencana untuk pergi ke Bandung. Bila ternyata
tidak pergi ke Bandung, tetapi hanya ke Bogor, Ahmad tetap harus
membayar sewa mobil tersebut seharga Rp 1.000.000,-/hari. Dengan
demikian, penentuan harga sewa pada kasus di atas tergantung pada
lamanya waktu sewa, bukan pada apakah mobil tersebut dapat
mengantarkan kita ke Bandung atau tidak.
 Di lain pihak, dari segi metode pembayaran, ijarah dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu: ijarah yang pembiayaannya tergantung pada kinerja
objek yang disewa (contingent to performance) dan ijarah yang
pembayarannya tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa (not
contingent performance). Ijarah yang pertama disebut ijarah, gaji
dan/atau sewa, sedangkan ijarah yang kedua disebut ju’alah, atau
success fee.
 Contoh ijarah yang not contingent to performance sama dengan
kasus Ahmad di atas. Sementara, contoh ju’alah sebagai berikut:
Ahmad ingin pergi ke Bandung bersama keluarganya. Karena
tidak ingin mengemudikan mobilnya sendiri, ia menghubungi
perusahaan travel. Kepada perusahaan travel, Ahmad
mengatakan, “Tolong antarkan saya beserta keluarga ke Bandung
dengan mobil perusahaan Anda. Jika bisa mengantarkan kami ke
Bandung, Anda akan dibayar Rp 500.000,-.”
 Dalam akad ju’alah di atas, pembayaran sewa tidak tergantung
pada berapa lamanya mobil itu digunakan oleh penyewa (seperti
pada contoh leasing terdahulu). Pembayaran sewa bergantung
pada apakah mobil tersebut dapat mengantarkan penyewa ke
Bandung atau tidak (tergantung kinerja). Bila ternyata mobil
tersebut hanya mengantarkan sampai di Bogor, Ahmad tidak
perlu membayar.
 Contoh lain: dalam upah-mengupah buruh bangunan, dikenal dua
macam sistem, yaitu sistem upah harian dan sistem upah
borongan. Upah harian ini adalah contoh ijarah, sedangkan upah
borongan adalah contoh ju’alah.
3) Perpindahan Kepemilikan
(Transfer of Title)
 Dari aspek perpindahan kepemilikan, dalam leasing kita
kenal ada dua jenis: operating lease dan financial lease.
Dalam operating lease, tidak terjadi pemindahan
kepemilikan asset, baik pada awal maupun pada akhir
periode sewa. Dalam financial lease, pada akhir periode
sewa si penyewa memberikan pilihan untuk membeli atau
tidak membeli barang yang disewa tersebut. Jadi,
transfer of title masih berupa pilihan dan dilakukan pada
akhir periode. Namun, pada praktiknya (khususnya di
Indonesia), dalam financial lease sudah tidak ada opsi lagi
untuk membeli atau tidak membeli, karena pilihan untuk
membeli atau tidak membeli itu sudah “dikunci” pada
awal periode.
 Di lain pihak, ijarah sama seperti financial lease, yakni
tidak ada transfer of title baik pada awal maupun pada
akhir periode. Namun demikian, pada akhir masa sewa,
bank dapat saja
 menjual barang yang disewakannya kepada nasabah.
Karena itu, dalam perbankan syariah dikenal ijarah
muntahia bit tamlik/IMBT (sewa yang diikuti dengan
berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual
disepakati pada awal perjanjian. Karena itu, dalam IMBT,
pihak yang menyewakan berjanji pada awal periode kepada
pihak penyewa, apakah akan menjual barang tersebut
atau akan menghibahkannya. Dengan demikian, ada dua
jenis IMBT, yakni:
a. IMBT dengan janji menghibahkan barang pada akhir
periode sewa. (IMBT with a promise to hibah).
b. IMBT dengan janji menjual barang pada akhir periode
sewa. (IMBT with a promise to sell).
4) Lease-Purchase

 Variasi lainnya dari leasing adalah lease-purchase (sewa-


beli), yakni kontrak sewa sekaligus beli. Dalam kontrak
sewa-beli ini, perpindahan kepemilikan terjadi selama
periode sewa secara bertahap. Bila kontrak sewa-beli ini
dibatalkan, hak milik barang terbagi antara milik penyewa
dan milik yang menyewakan.
 Dalam syariah, akad lease and purchase ini diharamkan,
karena ada two in one (dua akad sekaligus, atau dalam
bahasa Arab: Safaqatain fi shafaqah, ingat bahasan kita
terdahulu). Ini menyebabkan gharar dalam akad, yakni
ada ketidakjelasan akad: apakah yang berlaku akad sewa
atau akad beli. (Two in one terjadi bila semua ketiga
faktor ini terpenuhi: objeknya sama, pelakunya sama,
jangka waktunya sama). Dalam lease-purchase, ketiga
faktor di atas terpenuhi, sehingga diharamkan.
5) Sale and Lease-Back

 Sale and lease-back terjadi bila, misalnya, A menjual barang X


ke B, tetapi karena A tetap ingin memiliki barang X tersebut, B
menyewakannya kembali ke A dengan kontrak financial lease,
sehingga A memunyai pilihan untuk memiliki barang X tersebut
pada akhir periode.
 Sekarang, misalnya, A menjual barang X seharga Rp 120 juta
secara cicilan kepada B, dengan syarat bahwa B harus kembali
menjual barang X tersebut kepada A secara tunai seharga 100
juta. Transaksi di atas haram, karena ada persyaratan bahwa A
bersedia menjual barang X ke B asalkan B kembali menjual
barang tersebut kepada A. Dalam kasus di atas disyaratkan
bahwa akad I berlaku efektif bila akad II dilakukan. Penerapan
syarat ini mencegah terpenuhinya rukun. Dalam istilah fikih, jual
beli seperti ini dinamakan bai’u al-‘inah. Pada bai’u al-‘inah,
terjadi ta’alluq. Karena itu, transaksi ini haram.
 Bila dua akad di atas tidak saling dikaitkan berlakunya, hal ini
dibolehkan. Dua skema akad di bawah ini, misalnya, halal bila
tidak terjadi ta’alluq.
g. Skema dan Pola Pembiayaan
Ijarah
Gambar 1

Skema Pembiayaan Ijarah

3. A k a d P e m b i a y a a n Ij a r a h

1. P e r m o h o n a n P e m b i a y a a n

A. Islamic Banking B. Nasabah


2. M e n y e w a /me mb eli o b j e k ij
arah

C. Suplier/Penjual/Pemilik
D. Obj ek Ijarah
Keterangan
:
1. Nasabah mengajukan pembiayaan ijarah ke Islamic Banking
2. Islamic Banking memberi/menyewa barang yang diinginkan oleh
nasabah, sebagai objek ijarah, dari supplier/penjual/pemilik.
3. Setelah dicapai kesepakatan antara nasabah dengan bank
mengenai barang objek ijarah, tarif ijarah, periode ijarah, dan
biaya pemeliharaannya, maka akad ijarah ditandatangani.
Nasabah diwajibkan menyerahkan jaminan yang dimiliki.
4. Bank menyerahkan objek ijarah kepada nasabah sesuai akad yang
disepakati. Setelah periode ijarah berakhir, nasabah
mengembalikan objek ijarah tersebut kepada bank.
5. Bila bank membeli objek ijarah tersebut (al-bai’u wal ijarah)
setelah periode ijarah berakhir, objek ijarah tersebut disimpan
oleh bank sebagai aset yang dapat disewakan kembali.
6. Bila bank menyewa objek ijarah tersebut (al-ijarah wal ijarah,
atau ijarah paralel) setelah periode ijarah berakhir, objek ijarah
tersebut dikembalikan oleh bank kepada supplier/penjual/pemilik.
2) Jenis Barang/Jasa yang Dapat Disewakan

 Barang
modal: aset tetap, seperti
bangunan, gedung, kantor, dan ruko.
 Barang produksi: mesin, alat-alat berat, dan
lain-lain.
 Barang kendaraan transportasi: darat, laut, dan
udara.
 Jasa untuk membayar ongkos: uang
sekolah/kuliah, tenaga kerja, hotel,
angkutan/transportasi, dan sebagainya.
3. Pola-pola Pembiayaan Ijarah

Bai’u wal Ijarah a.1

a Bai’u wal Ijarah Akhir a.2


Bai’u wal Bai’u Mu’ajjal a.3
Pola-Pola wal Ijarah
Pembiaya Bai’u Mu’ajjal a.4
an Ijarah wal Ijarah Akhir
Ijarah
b
Ijarah Bai’u wal Ijarah
b.1
Paral
Bai’u wal
el b.2
Ijarah
Bai’u wal
b.3
Ijarah
Gambar 2:
Pol a-pol a Pembiayaan
I j ar ah
Tipe-Tipe Ijarah
Dari Segi Manfaat Barang.
Ijarah Murni:
Bai’u wal ijarah
Bayar pada akhir lump-sum
Bayar dengan
cicilan/mu’ajjal Ijarah
Paralel
Bayar pada akhir lump-sum
Bayar dengan
cicilan/mu’ajjal Ijarah
Muntahia Bit tamlik:
Bai’u wal IMBT
IMBT Paralel
Dari Segi Manfaat Tenaga Kerja.
Ijarah wal Ijarah (Subkontrak)
Bayar pada akhir lump-sum
Bayar dengan cicilan/mu’ajjal
Dari Segi Metode
Pembayaran. Contingent to
Performance Barang
Tenaga Kerja
Not Contingent to
Performance
Barang
Tenaga
Kerja
Contoh-contoh Kasus Pembiayaan Ijarah

1) Ijarah Murni
a. Ijarah bil Ijarah, bayar dengan cicilan
 Bapak Ahmad hendak menyewakan sebuah ruang
perkantoran di sebuah gedung selama satu tahun mulai
dari tanggal 1 Mei 2007 sampai 1 Mei 2008. Pemilik
gedung menginginkan pembayaran sewa secara tunai di
muka sebesar Rp 240.000.000,-. Dengan pola
pembayaran tersebut, kemampuan keuangan Ahmad
tidak memungkinkan. Ahmad hanya dapat membayar
sewa secara angsuran per bulan. Untuk memecahkan
masalah ini, Ahmad datang untuk meminta pembiayaan,
dengan memaparkan kondisi kebutuhan dan
keuangannya. Analisis dilakukan dengan
memperhitungkan kebutuhan dan kemampuan keuangan
nasabah serta required rate of profit bank (sebesar 20%):
 Harga sewa 1 tahun (tunai di muka) : Rp 240.000.000
 Required rate of profit bank (20%) : Rp 48.000.000
 Harga sewa kepada nasabah : Rp 288.000.000
 Periode pembiayaan : 12 bulan (= 360 hari)
 Besarnya
: Rp 24.000.000
angsuran nasabah per bulan

 Dengan analisis tersebut, maka bentuk pembiayaan yang


diberikan oleh bank kepada Ahmad adalah:
 Pembiayaan ijarah, harga sewa Rp 288.000.000, selama

12 bulan (360 hari) dengan angsuran Rp 24.000.000/bulan


 Pendanaan diambil dari unresstricted investment account
(URIA)
b. Ijarah bil Ijarah,
bayar pada akhir lump-sum

 Ahmad hendak menyewa sebuah ruang perkantoran di


sebuah gedung selama 3 bulan mulai dari tanggal 1 Mei
2007 sampai 1 Agustus 2007. Pemilik gedung
menginginkan pembayaran sewa secara tunai di muka
sebesar Rp 80.000.000,-. Dengan pola pembayaran
tersebut, kemampuan keuangan Bapak Ahmad tidak
memungkinkan. Ahmad hanya dapat membayar sewa
pada akhir masa sewa, yaitu tanggal 1 Agustus. Untuk
memecahkan masalahnya, Ahmad mendatangi Islamic
Banking untuk meminta pembiayaan, dengan
memaparkan kondisi kebutuhan dan keuangannya.
 Analisis Islamic Banking dilakukan dengan
memperhitungkan kebutuhan dan kemampuan keuangan
nasabah serta required rate of profit bank (sebesar 20%):

a. Harga sewa 3 bulan (tunai di muka) : Rp 80.000.000


b. Required rate of profit bank (20%) : Rp 16.000.000
c. Harga sewa kepada nasabah : Rp
96.000.000
d. Periode pembiayaan : 3 bulan (= 90
hari)
e. Besarnya sewa
yang harus dibayar : Rp 96.000.000
f. nasabah pada
akhir periode sewa
Dengan analisis tersebut, maka bentuk
pembiayaan yang diberikan oleh bank
kepada Ahmad adalah:
a.Pembiayaan ijarah, harga sewa Rp
96.000.000, selama 3 bulan (90 hari)
dengan pembayaran sewa di belakang
sekaligus.
b. Pendanaan diambil dari RIA.
2. Ijarah Muntahia bit Tamlik (IMBT)

 Ilustrasi Kasus

 Hasan hendak menyewa sebuah ruko selama 1 tahun mulai dari


tanggal 1 Agustus 2007 sampai 31 Juli 2008 dan bermaksud
membelinya pada akhir mada sewa. Pemilik ruko menginginkan
pembayaran sewa secara tunai di muka sebesar Rp 2 milyar
(tanggal 1 Agustus 2007) dan Rp 2 milyar pada akhir masa sewa
(31 Juli 2008) untuk membeli ruko tersebut. Atau bila ruko
tersebut dibeli langsung pada tanggal 1 Agustus 2007, pemilik
ruko bersedia menjualnya dengan harga Rp 3,5 milyar. Dengan
pola pembayaran seperti di atas, kemampuan keuangan Pak
Hasan tidak memungkinkan.
 Hasan hanya dapat membayar sewa secara cicilan sebesar Rp
300.000.000 per bulan dan membeli ruko pada akhir masa sewa.
Oleh karena itu, Pak Hasan meminta pembiayaan dari Islamic
Banking sebesar Rp 2 milyar pada awal masa sewa (1 Agustus
2002) dan Rp 2 milyar pada akhir masa sewa (31 Juli 2003).
Islamic Banking menginginkan persentase keuntungan sebesar
20% dari pembiayaan yang diberikan dengan persentase
keuntungan bank ketika menyewakan sebesar 2,857% dari harga
barang.
Jawaban
Kasus:

Kebutuha Nasabah ingin menyewa ruko selama 1 tahun


n dan kemudian memilikinya pada akhir masa
nasabah sewa

Kemampu Pak Hasan hanya mampu membayar sewa


an secara cicilan sebesar Rp 300.000.000 per bulan
keuangan
nasabah
Syarat Pembayaran dilakukan pada awal secara tunai
pembayar sebesar Rp 2 milyar dan pada akhir masa sewa
an sebesar Rp 2 milyar. Bila dibeli tunai, harganya
Rp 3,5 milyar
Analisis Bank
A. Harga Rp 3.500.000.000
Barang Harga beli Rp 100.000.000
tunai A. Rp
Keuntungan bank ketika 600.000.000
menyewa (2,857% * Rp 3,5 Rp 4.200.000.000
milyar) Keuntungan bank ketika
menjual (17,143 % * Rp 3,5
milyar)
Total harga barang
Kemampuan membayar nasabah Rp 3.600.000.000
Pembayaran sewa cicilan Rp 300.000.000 A. Rp
per bulan 600.000.000
Pembelian ruko pada akhir masa sewa Rp 4.200.000.000
Total kemampuan membayar
Struktur  Bai’u wal Ijarah Muntahia Bit Tamlik dengan janji untuk menjual barang tersebut pada akhir masa
Akad sewa.
Rp 3,5 milyar (1/8/20)
Bai’u Cash in Rp 300 juta per bulan
IMBT cash in Rp 0,6 milyar (31/7/03)
Bank sebagai pembeli sewa
Bank sebagai penjual
(31/7/03)
Barang diserahkan oleh bank
(31/7/03)
Akad I:  Bank, bertindak sebagai pembeli
Bai’u barang
Pelaku  Pemilik barang sebagai penjual barang
Rp
Bank sebagai pembeli (1/8/07) Cash out
Barang diterima oleh bank
(1/8/07) R R R R R R R R
p p p p p p p p

Transaksi Bank membeli barang dari pemilik barang dengan pembayaran tunai. Dengan kondisi ini, maka:
 Bank mengeluarkan uang (cash out) sebesar Rp 3,5 milyar (1/8/02) sebagai pembayaran tunai atas

ruko.
 Bank telah dapat menyewakan ruko tersebut selama 12 bulan.

Akad II: Ijarah Muntahia Bit  Bank bertindak sebagai pemberi sewa dan penjual pada akhir masa sewa.
tamlik  Nasabah bertindak sebagai penyewa dan pada akhir masa sewa menjadi pemilik.
Pelaku  Bank membeli barang dari pemilik barang dengan pembayaran tunai. Dengan kondisi ini:

Transak oBank mengeluarkan uang (cash out) sebesar Rp 3,5 milyar (1/8/07) sebagai pembayaran tunai atas ruko.

si oBank telah dapat menyewakan ruko tersebut selama 12 bulan kepada nasabah (1/8/07).
oBank menerima pembayaran sewa (cash in) sebesar Rp 300 juta setiap bulan selama 12 bulan periode yang disepakati dari nasabah.
oPada akhir masa sewa, bank menerima uang pembelian barang dari nasabah sebesar Rp 0,6 milyar (31/7/08), sehingga terjadi perpindahan
kepemilikan barang dan sejak saat itu nasabah sebagai pemilik barang (31/7/08).

Sumber Karena bank menerima pemasukan (cash in) setiap bulan, maka pembiayaan ini dapat didanai dengan penggunakan unrestricted investment
Pendanaan account (URIA) sehingga bank dapat membayarkan bagi hasil setiap bulannya kepada pemegang URIA.

Ilustrasi:
Bapak Ahmad hendak menyewakan sebuah ruang perkantoran di sebuah gedung selama satu tahun mulai tanggal 1 Mei 2007 sampai 1 Mei 2008. Pemilik gedung menginginkan pembayaran sewa secara tunai di muka
sebesar Rp 240.000.000,-. Dengan pola pembayaran ini, kemampuan keuangan Bapak Ahmad tidak memungkinkan. Bapak Ahmad hanya dapat membayar sewa secara angsuran per bulan. Untuk memecahkan masalah ini,
Bapak Ahmad mendatangi Islamic Banking untuk meminta pembiayaan, dengan memaparkan kondisi kebutuhan dan keuangannya. Analisis Islamic Banking dilakukan dengan memperhitungkan kebutuhan dan kemampuan
keuangan nasabah serta required rate of profit bank (sebesar 20%):
 Harga sewa 1 tahun (tunai di : Rp
muka) 240.000.000
 Required rate of profit bank (20%) : Rp 48.000.000
 Harga sewa kepada nasabah : Rp : 12 bulan (= 360
 Besarnya angsuran nasabah per bulan
Periode pembiayaan : Rp 24.000.000
288.000.000 hari)
Dengan analisis tersebut, maka bentuk pembiayaan yang diberikan oleh bank kepada Bapak Ahmad adalah:
 Pembiayaan ijarah, harga sewa Rp 288.000.000, selama 12 bulan (360 hari) dengan angsuran Rp

24.000.000/bulan
 Pendanaan diambil dari URIA
E. Sistem Pembiayaan Lain (Other Financing)

1. Hawalah
a. Rukun Hawalah:
 Pihak yang berhutang (muhil)
 Pihak yang berpiutang (muhal)
 Pihak yang menerima pengalihan hutang-
piutang (muhal ’alaih)
 Sighat (ijab qabul)
b. Hawalah dalam Teknis Perbankan
 Pengertian:
 Hawalah adalah akad pengalihan piutang nasabah
(muhal) kepada bank (muhal ’alaih). Nasabah meminta
bantuan bank agar membayarkan terlebih dahulu
piutangnya atas transaksi yang halal dengan pihak yang
berhutang (muhil). Selanjutnya bank akan menagih
kepada pihak yang berhutang tersebut.
 Atas bantuannya membayarkan terlebih dahulu piutang
nasabah, bank dapat membebankan fee jasa penagihan.
Penetapannya dilakukan dengan memerhatikan besar-
kecilnya risiko tidak tertagihnya piutang.
Skema Hawalah: Contoh Aplikasi
Perbankan Penunjukan supplier
(1)

Supply barang (2)

Invoice (3)
PT Carefour PT Nyiur
Ind. Melambai
(Pembeli/Muhil) (Supplier/Muhal)

Akad Hawalah
Tagih/Invoice (4)
(7) Invoice
Bayar (5)
Bayar
(8) (6)

Bank Syariah Amanah (Muhal


‘Alaih)
2. Rahn

a. Rukun Rahn
 Pihak yang menggadaikan (rahin)
 Pihak yang menerima gadai (murtahin)
 Barang yang digadaikan (marhun.
 Hutang/pinjaman (marhun bih)
 Sighat (Ijab qabul)
b. Syarat Rahn
 Pihak yang menggadaikan (rahin) dan pihak yang
menerima gadai (murtahin) cakap hukum serta
sama-sama ikhlas
 Pihak yang menggadaikan (rahin) memunyai
kemampuan untuk mengembalikan pinjaman.
 Barang yang digadaikan (marhun) benar-benar
milik rahin dan bebas dari ikatan atau syarat apa
pun.
 Jumlah hutang (marhun bih) disebutkan dengan
jelas.
c. Rahn dalam Teknis Perbankan

 Rahn merupakan produk penunjang sebagai


alternatif pegadaian, terutama untuk membantu
nasabah dalam memenuhi kebutuhan
insidentilnya yang mendesak.
 Bank tidak menarik manfaat apa pun, kecuali
biaya pemeliharaan dan keamanan atas barang
yang digadaikan.
 Akad rahn dapat pula diaplikasikan untuk
memenuhi permintaan bank akan jaminan
tambahan atas suatu pemberian fasilitas
pembiayaan kepada nasabah.
3.
Qardh
a. Landasan Syariah
 QS Al-Hadiid [57]:11
Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik,
maka Allah akan melipat gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya,
dan dia akan memeroleh pahala yang banyak.
 Hadis riwayat Muslim, “Barangsiapa yang telah melepaskan saudaranya
yang muslim satu dari kesusahan dunia, maka Allah akan membantunya
di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah senantiasa membantu seorang
hamba selama hamba tersebut membantu saudaranya.”
 Hadis riwayat Ibnu Majah, “Tidaklah seorang muslim meminjamkan
muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai)
sedekah.”
 Hadis riwayat Ibnu Majah, “Aku melihat pada waktu malam di-isra-kan
pada pintu surga tertulis: ‘Sedekah dibayar sepuluh kali lipat dan qardh
18 kali. Aku bertanya, ‘Wahai Jibril, mengapa qardh lebih utama
daripada sedekah?’ Ia menjawab, “Karena peminta, minta sesuatu dan ia
punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali
keperluan.”
b. Aplikasi dalam Perbankan
 Mengingat sifatnya bukan transaksi komersial
dan tanpa kompensasi, maka qardh
menggunakan sumber dana yang berasal:
 Untuk membantu dana talangan yang bersifat
jangka pendek, digunakan modal bank.
 Untuk membantu usaha sangat kecil dan
keperluan sosial, digunakan dana yang
bersumber dari zakat, infak, dan sedekah.
Skema Qardh: Contoh Aplikasi
Perbankan

(1 Akad (1
) Qardhdana
Pinjaman )
(Qardh)
(2)

Pengelola Modal
an (3) Usaha
(2)
Nasabah Bank
Usah (Muqrid
Syariah
(Muqtarid a
h) h)
(4
)
100% Modal + Keuntungan Pengembalian
keuntungan
(5a Modal (5
) )

Anda mungkin juga menyukai