Anda di halaman 1dari 3

Perusahaan raksasa properti China, Evergrande Group, menghadapi tantangan

kebangkrutan setelah sebelumnya dilaporkan terlilit utang senilai US$300 miliar. Risiko itu
pun mengancam memberikan efek domino di China. Beberapa skenario terburuk yang bisa
terjadi akibat dari ancaman kebangkrutan Evergrande diantaranya akan menyebabkan
masalah bagi seluruh sektor property. Sedangkan upaya pemulihan utang oleh kreditur akan
menyebabkan kebakaran penjualan aset dan memukul harga rumah. Sehingga, margin
keuntungan di seluruh rantai pasokan akan diperas dan itu juga akan menyebabkan panic
selling di pasar modal.

Salah satu efek domino yang dikhawatirkan dari kebangkrutan Evergrande ialah dampak
terhadap ekonomi China yang sejatinya saat ini juga melambat karena pandemi Covid-19.
Misalnya saja, data penjualan rumah berdasarkan nilai saja sudah merosot 20% pada
Agustus, menjadi yang terdalam sejak pandemi, dan bisa semakin merosot jika Evergrande
bangkrut.

Covid19

Pasar
Penjualan Modal Ekonomi
Properti Industri China
menurun properti melambat
melemah
Krisis
keuangan
Evergrande

Dampak terhadap pasar modal juga bisa saja terjadi dikarenakan Evergrande adalah
penerbit obligasi dolar imbal hasil tinggi terbesar di China. Analis Bank of America Corp. pun
bilang Jika perusahaan runtuh akan mendorong tingkat default di pasar obligasi dolar
negara itu menjadi 14% dari 3%.

kejatuhan perusahaan properti itu juga merupakan imbas dari pengetatan peraturan oleh
pihak berwenang yang ingin mengendalikan lonjakan harga properti dan pinjaman
perusahaan yang berlebihan. Koreksi di pasar properti China tidak hanya akan
memperlambat perekonomian domestik tetapi juga berdampak global.

Beberapa factor yang menyebabkan krisis keuangan yang dialami oleh Evergrande selain
dampak yang dirasakan akibat pandemic diantaranya:

1. Ekspansi terus menerus yang dilakukan oleh pendiri Evergrande China yang didirikan
pada 1997 oleh Hui Ka Yan atau Xu Jiayin dengan nama Hengda. Hingga kini
Evergrande merupakan grup properti dengan penjualan terbesar kedua di Tiongkok.
Evergrande menjual apartemen untuk kelas menengah ke atas dengan proyek
properti tersebar di lebih dari 280 kota. Perusahaan telah menyelesaikan hampir
1.300 proyek komersial, perumahan, dan infrastruktur, dan menyebut telah
mempekerjakan 200.000 orang. Secara tidak langsung perusahaan membantu
mempertahankan lebih dari 3,8 juta pekerjaan setiap tahun.

2. Berbisnis dengan hanyan mengandalkan utang. Evergrande Group mendapat


reputasi buruk karena menjadi pengembang di Cina dengan sebutan pengembangan
yang paling banyak utang dengan kewajiban senilai lebih dari US$ 300 miliar atau
setara Rp 2.437 triliun. Ambisi agresif perusahaan tersebut yang membuatnya
terjerumus saat ini.

Evergrande mulai mengalami masalah setelah Beijing memperketat peraturan untuk


mengendalikan utang pengembang properti besar, mulai Agustus 2020. Beijing
mendorong perusahaan mengendalikan utang yang terlalu banyak dan mengurangi
spekulasi. Banyak perusahaan milik negara Cina yang gagal dalam membayar pinjaman.
Keruntuhan Evergrande akan menjadi ujian terbesar yang dihadapi oleh sistem
keuangan Cina selama bertahun-tahun.

Dampak ke Pasar Modal

Pasar saham telah mengalami masa yang cukup sulit karena kekhawatiran dengan
adanya potensi kolaps dari Evergrande. Hal ini tentu saja dapat menjadi bencana yang
berkelanjutan yang mungkin memperlambat ekonomi China, sebagai negara terbesar
kedua di dunia itu. 

Hal ini ditambah dengan berlanjutnya kasus Covid-19 varian delta, inflasi yang lebih
tinggi , dan Federal Reserve Amerika Serikat (AS) yang mungkin akan membatasi
pembelian obligasi. Penyelesaian utang Evergrande akan membutuhkan waktu yang
cukup panjang. Meski begitu, dampak volatilitas ke pasar saham global tidak akan begitu
lama. Raksasa real estate, yang juga berbisnis mobil listrik, manajemen kekayaan, taman
hiburan hingga tim sepak bola ini berpotensi tidak dapat memenuhi kewajiban sebagian
dari utangnya yang hampir USD90 miliar. Total utangnya saat ini mencapai USD300
miliar atau sekitar Rp4.290 triliun (kurs Rp14.300), menjadi perusahaan dengan utang
terbesar sepanjang sejarah.

Dengan kondisi ini, Evergrande meminta restrukturisasi dengan krediturnya. Hal


tersebut dapat menimbulkan kebingungan Pemerintah China karena Evergrande adalah
penerbit obligasi terbesar di negara China. Krisis Evergrande diketahui dipicu oleh
keputusan pemerintah China sendiri untuk mengurangi jumlah utang yang dapat diambil
perusahaan sehingga membuat Evergrande mengalami krisis modal. Konsekuensi
tersebut membuat pelanggan maupun mitra bisnis tidak senang karena ingin
propertinya segera dibangun. Di satu sisi, kreditur hingga investor ingin pinjaman pokok
tetap dilunasi dan vendor menerima pembayaran.
Mempengaruhi Pasar Saham Global

Krisis Evergrande juga memegaruhi pasar saham global. Indeks S&P turun 5,2 persen
antara 2 hingga 20 September meski kasus Evergrande bukan menjadi satu-satunnya
sumber tekanan.

Indikator ekonomi, misalnya, belakangan ini cenderung sideways. Pengusaha


menambahkan hanya 235.000 pekerja pada Agustus, jauh di bawah ekspektasi pasar.
Penjualan ritel melonjak sementara kepercayaan konsumen turun ke level terendah
enam bulan.

Inflasi yang meningkat terus berlanjut dan banyak yang percaya Federal Reserve akan
mulai membeli lebih sedikit obligasi mulai November. Kebijakan tapering ini, meski tidak
sepenting menaikkan suku bunga, memberi sinyal bahwa The Fed sedang menjauh dari
kebijakan daruratnya untuk memompa banyak uang untuk membantu perekonomian
pulih dari dampak Covid-19.

Anda mungkin juga menyukai