Anda di halaman 1dari 52

Perbandingan Efektivitas dari Gliclazide Modified Release Dibandingkan

Sitagliptin sebagai Pengobatan lini Kedua setelah Monoterapi Metformin


pada Pasien dengan Diabetes tipe 2 yang tidak Terkontrol
Francesco Zaccardi1, Emmanuelle Jacquot2, Viviana Cortese3, Freya Tyrer1, Samuel Seidu1, Melanie J Davies1,4, Kamlesh Khunti1
1Diabetes Research Centre, University of Leicester, Leicester, UK, 2Department of Pharmaco-Epidemiology and Real World Evidence, Institut de

Recherches Internationales Servier, Suresnes, France, 3Servier Affaires Médicales, Suresnes, France, 4NIHR Leicester Biomedical Research
Centre, Leicester, UK

Abstrak
Tujuan: Untuk membandingkan keefektifan dan keamanan gliclazide modified release (MR)
dengan sitagliptin sebagai pengobatan- diabetes mellitus (T2D) tipe 2 dalam populasi pasien
konkret.
Bahan dan metode: Studi kohort retrospektif ini menggunakan catatan dari UK Clinical
Practice Research Datalink. Studi kohort terdiri dari pasien dewasa dengan T2D yang baru
diterapi dengan MR gliclazide atau sitagliptin sebagai pengobatan lini kedua yang
ditambahkan ke metformin dan dengan kadar hemoglobin terglikasi (HbA1c) ≥7,0% (53
mmol/mol). Pasien dicocokkan 1: 1 menggunakan high-dimensional propensity score dan
diamati untuk menentukan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai HbA1c <7.0%. Hasil
sekunder termasuk waktu untuk HbA1c ≤6,5% (48 mmol/mol), waktu untuk ≥1% (11
mmol/mol) pengurangan HbA1c dari baseline, persistensi dan durabilitas terapi, dan
kejadian hipoglikemik.
Hasil: Di antara 1986 pasien yang dilibatkan, mereka yang menggunakan gliclazide MR lebih
memungkin mencapai HbA1c <7.0% [hazard ratio (HR): 1,35; Interval kepercayaan 95% (CI):
1.15-1.57], HbA1c ≤6.5% (HR: 1.51; 95% CI: 1.19-1.92) atau mengalami penurunan HbA1c
≥1% dari baseline (HR: 1.11; 95% CI: 1.00 -1,24) dibandingkan dengan pasien yang
menggunakan sitagliptin. Durabilitas (log-rank P = .135) dan persistensi (P = .119) serupa
antara kedua kelompok. Kejadian hipoglikemik jarang terjadi (tota-l 23 kejadian berat dan
tidak parah; angka kejadian, 3,7 per 1000 pasien tahun), dengan 4,7 dan 2,6 kejadian per
1000 pasien tahun dengan pengobatan MR gliclazide dan sitagliptin.
Kesimpulan: Dalam studi konkret ini, MR gliclazide lini kedua lebih efektif daripada
sitagliptin dalam mengurangi HbA1c, dengan durabilitas dan persistensi yang serupa dan
tingkat kejadian hipoglikemik yang rendah, pada individu dengan T2D pada terapi
metform-in dan HbA1c di atas target 7,0% .
Kata kunci: kontrol glikemik; farmakoepidemiologi; perawatan utama; sitagliptin;
sulfonilurea.

INTRODUKSI
Diabetes mellitus tipe 2 (T2D) adalah gangguan meta-bolik kronis yang ditandai dengan kadar
glukosa darah yang tinggi dan berkaitan dengan komplikasi mikro- dan makrovaskular jangka
panjang, yang meningkatkan beban pada kesehatan dan biaya pengobatan pasien. 1
Terapi penurun glukosa bertujuan untuk mempertahankan kontrol glikemik sekaligus
mengurangi risiko kejadia-n hipoglikemik. Untuk tujuan ini, pedoman pengobatan T2D dari
National Institute of Health and Care Excellence UK, the American Diabetes Association jointly
bersama dengan Asosiasi European Association for the Study of Diabetes, dan European Society
on Cardiology merekomendasikan perawatan pasien individual, yang mencakup edukasi pasien
berdasar bukti, advis diet dan pengobatan.2-5 Metformin umumnya direkomendasikan sebagai
pengobatan lini pertama untuk T2D dan, ketika kadar glukosa darah tetap tinggi, pedoman
merekomendasikan intensifikasi terapi dengan penambahan obat lini kedua. Individualisasi
pengobatan lini kedua bergantung pada sejumlah pertimbangan, termasuk biaya, berat badan,
faktor risiko kardiovaskular dan risiko hipogli-ke-mia.2-4 Meskipun pengobatan T2D terbaru
diperkenalkan, kontrol glikemik tetap tidak memuaskan pada banyak pasien.6
Sebuah studi retrospektif baru-baru ini terhadap 10.256 pasien dengan T2D yang memulai
pengobatan lini kedua di Jerman dan Inggris menemukan bahwa sulfonilur-ea (SU) dipilih
sebagai terapi tambahan pada 40,9% dari pasien dan penghambat dipeptidyl peptidase-4
(DPP-4) di 30,7%.7 SUs memiliki riwayat penggunaan klini-s yang panjang dan diakui sebagai
metode pengendalian glukosa darah yang hemat biaya.8 Saat ini, banyak SU dan penghambat
DPP-4 yang berbeda yang tersedia untuk pengobatan T2D. Gliclazide modified release (MR) -
SU sekali sehari yang memungkinkan pelepasan obat secar-a progresif - mengurangi
hemoglobin terglikasi (HbA1c) pada pasien dengan T2D dengan efikasi yang se-rup-a dengan
glimepiride SU sekali sehari, namun dengan kejadian hipoglikemik yang jauh lebih sedikit.
Tinjauan sis-tem-atis terhadap uji coba terkontrol secara acak menunjukkan bahwa gliclazide
MR memiliki risiko hipoglikemia yang secara signifikan berkurang dibandingkan dengan SU
lainnya.10 Studi lebih lanjut menunjukkan bahwa, dibanding-kan dengan kontrol glukosa
standar, kontrol glikemik intensif dengan gliclazide MR sebagai agen lini pertama dan
penambahan agen lain, jika diperlukan, dapa-t mencapai rata-rata HbA1c [6,5% (48 mmol/mol)
vs 7,3% (56 mmol/mol)] dan mengurangi insiden dari kombinasi mayor kejadian makro- dan
mikrovaskular.11
Sitagliptin adalah penghambat DPP-4 yang umum digunakan yang ditunjukkan dalam
meta-analisis uji coba acak terkontrol yang memiliki efikasi yang mirip dengan SU yang
dikelompokkan sebagai kelas pengobatan umum.12 Selanjutnya, perbandingan penghambat
DPP-4 spesifik dan SU dalam uji klinis jangka panjang acak telah menunjukkan penurunan yang
serupa dari risiko kejadian kardiovaskular pada pasien berisiko tinggi.13 Namun, SU individual,
seperti MR gliclazide, telah terbukti memiliki sifat pengobatan yang berbeda. 8,10,14 Sehingga,
perbandingan langsung individual SUs dengan penghambat DPP-4- dapat lebih akurat
mencerminkan perbedaan antar-a terapi spesifik dalam dua kelas pengobatan ini.
Dalam studi ini, kami menggunakan data perawatan primer untuk membandingkan
efektivitas dan keamanan MR gliclazide dan sitagliptin sebagai pengobatan T2D lini kedua
setelah monoterapi metformin optimal pada popula-si pasien konkret.

BAHAN DAN METODE


Studi retrospektif ini dilakukan mengikuti pedoman RECORD-PE15 untuk mengadakan dan
melaporkan studi menggunakan data observasi yang dikumpulkan secara rutin (daftar periksa
di Lampiran) dan protokol yang disetuj-ui oleh Komite Penasihat Ilmiah Independen (ISAC;
protokol No. 19_149). Kode yang digunakan untuk menentukan kohort, kondisi medis,
pengobatan, dan hasil dilaporkan di Lampiran.

Pasien
Catatan pasien dari database UK Clinical Practice Research Datalink (CPRD Gold), yang
ditautkan ke Hospital Episode Statistics Admitted Patient Care (HES APC) dan database Office
for National Statistics (ONS) Death Registration, digunakan untuk menentukan semua
karakteristik pasien dan data hasil efektivitas dalam penelitian ini. Pasien dewasa (≥18 tahun),
dengan diagnosis terdokumentasi T2D, ≥1 tahun dari pengamatan lanju-t ‘up-to-standar’ (yaitu
≥1 tahun dari tanggal data praktik memenuhi kriteria kualitas minimum untuk penelitian),
setidaknya satu pengukuran HbA1c ≥7% (53 mmol/mol) dalam 6 bulan sebelum masuk,
memulai pengob-atan dengan gliclazide MR atau sitagliptin (resep per-tama) sebagai tambahan
untuk pengobatan metfor-min antara 1 Januari 2010 dan 21 Oktober 2019 diinklus-ikan dalam
studi ini (Tabel S1). Pasien dengan diagno-sis tipe 1 atau diabetes spesifik lainnya (misalnya
diabetes gestasional, sekunder, steroid, mature onset diabet-es of the young) dieksklusikan.

Eksposur
Inisiasi terapi merupakan ≥2 resep obat studi tanpa jed-a ≥90 hari antara penghentian resep
pertama dan inisia-si resep kedua.
Hasil
Hasil utama adalah waktu yang untuk mencapai kadar HbA1c mencapai <7.0% (53
mmol/mol). Hasil sekunder termasuk waktu untuk mencapai tingkat HbA1c ≤6.5% (48
mmol/mol) dan pengurangan HbA1c ≥1% (11 mol/mol) dari baseline. Hasil sekunder lebih lanjut
termasuk durasi terapi yang diukur keduanya pada durabilitas (durasi terap-i sampai berhenti,
beralih, atau ditambahkan obat penurun glukosa baru) dan persistensi (durasi terapi sampai
berhenti atau beralih, terlepas dari penambahan obat penurun glukosa). Peralihan didefinisikan
sebagai resep obat penurun glukosa baru setelah resep terakhir obat indeks dan dalam 90 hari
setelah penghentian obat indeks; berhenti karena tidak adanya peralihan dalam 90 hari setelah
penghentian obat indeks; dan tambahan sebagai inisiasi obat penurun glukosa baru dengan
setidaknya dua resep sebelum penghentian obat indeks. Kejadian hipoglikemik (didefinisikan
keduanya di HES - episode parah yang mengakibatkan masuk rumah sakit, dan dalam CPRD -
episode parah dan tidak parah yang tercatat dalam catatan praktik klinis) juga diukur sebagai
hasil sekunder.

Assesment window
Mengikuti pendekatan terapi, catatan pasien diikuti dari awal studi (1 Januari 2010) sampai
terapi berhenti, beralih atau akhir dari studi (21 Oktober 2019). Jendela penilaian HbA1c
dimulai 60 hari setelah tanggal indeks pasien (yaitu inisiasi terapi dengan obat indeks) dan
berak-hir 30 hari setelah terapi dihentikan, beralih atau di tambahkan obat penurun glukosa
baru. Karena pengukuran HbA1c dapat mencerminkan terapi 2‐3 bulan yang lalu, window
dirancang untuk menangkap efek dari obat sebelumnya tanpa intervensi dari obat yang baru
di-inisiasi-. Assesment window kejadian hipoglikemik di-mulai- setelah inisiasi terapi dan diakhiri
dengan peng-hentian terapi, penggantian atau penambahan obat penurun glukosa baru.
Karakteristik baseline diambil kapan pun sebe-lum tanggal indeks untuk kondisi medis dan
etnis, dan sebagai informasi terdekat sebelum tanggal indeks, dalam: waktu kapan pun untuk
merokok; 3 tahun untuk indeks massa tubuh; dan 1 tahun untuk asupan alkohol, pengobatan
dan tes biokimia. Indeks tingkat praktik deprivasi multipel skor tertimbang yang dihitung dari
beberapa indikator (pendapatan, pekerjaan, pendidikan, keterampilan dan pelatihan,
kesehatan dan disabilitas, kejah-atan, hambatan terhadap layanan perumahan dan lingkungan
hidup), diperkirakan pada tahun 2015.
Gambar 1. Alur pasien. HES APC, Hospital Episodes Statistics Admitted Patient Care; IMD,
indeks deprivasi multipel; MR, pelepasan termodifikasi; ONS, Office for National Statistics
TABEL 1. Karakteristik baseline setelah pencocokan skor high‐dimensional propensity

Analisis statistik
Semua analisis statistik dilakukan di Stata (versi 16.0). Untuk mengurangi perancu karena
perbedaan mendasar dalam karakteristik baseline, skor high‐dimensional propensity (hd-PS)
digunakan untuk mencocokkan pasien yang menginisiasi MR gliclazide dengan mereka yang
menginisiasi sitagliptin. Pencocokan hd-PS dilakukan pada populasi studi tanpa data yang hilang
(Tabel S2). Hal ini didas-arkan pada model regresi logistik menggunakan kovari-at baseline, yang
dianggap sebagai perancu apriori dari hubungan antara terapi dan hasil (Tabel S2), dan 300
kovariat empiris yang diidentifikasi dari dimensi data klinis-, rujukan dan resep obat.16 Untuk
eksklusi pasien dengan perlakuan paling kontras dengan prediksi, pemang-kasan skor
symmetric propensity dilakukan dan dinilai dengan berbagai titik potong. Untuk
membanding-kan semua hasil primer dan sekunder, pengguna baru dari MR gliclazide
dicocokkan dengan <0,12 calliper dengan pengguna baru dari sitagliptin dengan rasio tetap 1: 1;
perbedaan antara kedua kelompok dalam karakteristik baseline diestimasi sebelum dan
sesudah pencocokan sebag-ai perbedaan standar.
Model Cox proportional hazards digunakan untuk mem-perkirakan hazard ratios (HRs)
dengan interval ke-percayaan 95% (CI) untuk semua hasil HbA1c. durabilitas dan persistensi
dibandingkan dengan menggunakan uji log-rank. Untuk hipoglikemia, angka kejadian
diper-ki-ra--kan pada kelompok MR gliclazide dan sitagliptin; ke-jadi-an pertama yang dicatat
selama assessment window hipoglikemia dipertimbangkan. Kami menggunakan kedua- data
APC HES, yang mencatat pasien yang dirawat di rumah sakit dengan diagnosis hipoglikemia, dan
catatan CPRD, yang mencatat kejadian berat dan tidak berat.
Analisis subkelompok eksplorasi untuk hasil efektivitas primer dilakukan dalam kohort
lengkap hd-PS-matched menurut karakteristik baseline dari usia, durasi diabetes dan HbA1c
sebagai variabel kontinu; dan jenis kelamin, etnis, penyakit ginjal dan penyakit kardiovaskular
(sindrom koroner kronis, kecelakaan serebrovaskular, gagal jantung, penyakit pembuluh darah
perifer, penyakit vaskular lainnya) sebagai variabel kategori. Uji rasio kemungkinan digunakan
untuk membandingkan dua model tanpa dan dengan interaksi antara terapi dan karakteristik
baseline.
Kami telah melakukan beberapa analisis tambahan untuk memastikan kekuatan dari hasil
utama: investigasi ini dirangkum dalam Tabel S3.
Catatan : semua nilai dinyatakan sebagai n (%) atau median (interquartile range).
Singkatan: HbA1c, hemoglobin terglikasi; HDL/LDL, lipoprotein densitas tinggi/rendah; IMD,
indeks deprivasi ganda; MR, pelepasan yang dimodifik-asi.
HASIL
Aliran pasien dan karakteristik dasar
Secara total, 6.686 pasien dipilih untuk analisis sebelum pencocokan hd-PS, yaitu 1.207
pasien yang baru diterapi dengan gliclazide MR dan 5479 pasien yang baru diobati dengan
sitagliptin (Gambar 1; Tabel S4). Pencocokan hd-PS dilakukan dengan kaliper 0,12 dan trim 5%
(Gambar S1); 214 pasien (18%) dari kelompok MR gliclazide dan 4486 pasien (82%) dari
kelompok sitagliptin dieksklusi, meninggalkan 993 pasien di setiap kelompok dengan durasi
terapi hingga 9 tahun untuk analisis hasil (Gambar 1). Setelah pencocokan, karakteristik
baseline, termasuk jenis kelamin pasien, usia, baseline HbA1c, durasi diabetes dan terapi
sebagian besar tumpang tindih antara pasien yang baru diterapi dengan gliclazide MR atau
sitagliptin (Tabel 1).

Hasil efektivitas
Hasil hemoglobin terglikasi
Secara keseluruhan, pasien yang diterapi dengan gliclazi-de MR 35% lebih memungkinkan
mencapai target <7,0% (53 mmol/mol) HbA1c lebih banyak daripada pasien dalam kelompok
sitagliptin (HR: 1,35; 95% CI: 1,15-1,57). Terdapat pemisahan kurva probabilitas yang cepat,
dengan pasien dalam kelompok MR gliclazide lebih memungkinkan untuk mencapai kontrol
HbA1c mulai sekit-ar 3 bulan (Gambar 2A). Pasien yang terapi dengan gliclazide MR adalah 51%
lebih memungkinkan untuk mencapai target HbA1c ≤6.5% (48 mmol/mol) (HR: 1.51; 95% CI:
1.19-1.92); sebagaimana pada hasil utama, pemisahan cepat dari kurva probabilitas juga
diamati (Gambar 2B). Pasien yang diterapi dengan gliclazide MR juga sedikit lebih
memungkinkan untuk mencapai pengurangan HbA1c ≥1% (11 mmol/mol) dari baseline (HR:
1,11; 95% CI: 1,00-1,24; Gambar 2C).
Durasi terapi, yang diukur dari durabilitas dan persistensi, sebagian besar serupa untuk
gliclazide MR dan sitagliptin. Waktu durabilitas rata-rata adalah 2,6 dan 2,5 tahun untuk
gliclazide MR dan sitagliptin, masing-masing, dengan uji log-rank P = .135; perkiraan yang sesuai
untuk persistensi adalah 2,7 dan 2,5 tahun, dengan uji log-rank P = .119 (Gambar 3).

Pengaruh karakteristik pasien pada hasil efektivitas primer


Analisis eksplorasi menunjukkan bahwa hasil utama dipertahankan di seluruh subkelompok
etnis dan adanya penyakit ginjal (Tabel 2). Ada kemungkinan efek yang lebih besar dari
gliclazide MR dibanding sitagliptin pada pasien dengan baseline penyakit kardiovaskular (HR:
1,73; 95% CI: 1,28-2,34) dibandingkan dengan pasien tanpa penyakit kardiovaskular (1,23;
1,02-1,47; P untuk interaksi, 0,056). Perbedaan antara gliclazide MR dan sitagliptin konsisten
terlepas dari baseline HbA1c (P = .986) dan usia (P = .116), namun lebih tinggi untuk durasi
diabetes yang lebih lama (P = .029).
Peristiwa hipoglikemik
Secara keseluruhan, beberapa episode hipoglikemik berat dan tidak berat terjadi (23
kejadian dalam 6241 pasien tahun dari pengamatan lanjut; tingkat insiden, 3,7 kejadian per
1000 pasien tahun). Pada pasien yang menggunakan gliclazide MR, 15 kejadian hipoglikemik
[empat berat (HES); 11 berat atau tidak berat (CPRD)] terjadi selam-a pengamatan lanjut 3201
orang-tahun, sesuai denga-n 4,7 kejadian per 1000 pasien tahun. Perkiraan masing-masing
untuk sitagliptin adalah: delapan kejadian (satu berat; tujuh berat atau tidak berat), dalam 3039
pasien tahun, dan 2,6 kejadian per 1000 pasien tahun.

Analisis tambahan
Hasil utama dikonfirmasi dalam beberapa analisis sensitivit-as (Tabel S3, S5-S12; Gambar S2),
termasuk: perbandi-ngan antara gliclazide MR dan sitagliptin sebagai monoterapi (Tabel S5),
imputasi multipel untuk mem-per-hi-tungkan data yang hilang (Tabel S6), Analisis
waktu‐ke-ke-j-adian menggunakan data interval yang disensor (Tabel S7), penyesuaian regresi
(Tabel S9) atau probabilitas invers dari pembobotan terapi (Tabel S10). Tidak ada bukti risiko
hipoglikemia yang lebih tinggi dengan MR gliclazide dibanding sitagliptin di berbagai definisi
kejadian hipoglikemik dan pemodelan statistik (Tabel S8). Terakhir, interak-si eksploratif dinilai
untuk semua hasil (Tabel S11) dan hasil untuk HbA1c dianggap sebagai hasil kontinu yang
konsisten dengan analisis utama [rata-rata perbedaan HbA1c, gliclazide MR dibanding
sitagliptin: −0.14% (P = .011) pada 1 tahun; −0,12% (P = 0,017) pada 2 tahun; dan −0.09% (P =
.039) pada 3 tahun; Gambar S2], dengan frekuensi pengukuran HbA1c yang hampir identik dari
waktu ke waktu (Tabel S12).
Gambar 2 kurva Kaplan-Meier untuk kontrol HbA1C. Probabilitas untuk mencapai reduksi
HbA1c pada pasien denga-n T2D yang diterapi dengan gliclazide MR atau sitagliptin. A, <7%
(53 mmol/mol). B, ≤6.5% (48 mmol/mol). C, ≥1% (11 mmol/mol) reduksi dari baseline. CI,
interval kepercayaan; HbA1c, glycated haemoglobin; HR, hazard ratio; MR, pelepasan
termodifikasi; T2D, diabetes mellitus tipe 2
GAMBAR 3 : Kurva Kaplan-Meier untuk durabilitas dan persistensi. A, Durabilitas terapi,
didefinisikan sebagai durasi terapi hingga berhenti, beralih atau ditambah kan obat penurun
glukosa. B, Terapi persistensi, didefinisikan sebagai durasi terapi hingga berhenti, beralih,
terlepas dari tambahan obat penurun glukosa. MR, rilis yang dimodifikasi. Tes log-rank: daya
tahan, P = .135; persistensi, P = .119
DISKUSI
Pedoman internasional merekomendasikan kontrol glikemik individual pada pasien dengan
T2D untuk mengura-ngi risiko jangka panjang dari komplikasi mikrovaskular dan
makrovaskular.2-5 Pada pasien yang glukosa darahnya tetap tinggi setelah edukasi pasien
evidence-d‐based, advis diet dan metformin lini pertama, pedoman T2D saat ini
merekomendasikan penambahan obat kedua untuk memastikan kontrol glikemik dan
meng-hindari inersia terapeutik.2-5 Laporan terbaru dari studi database di UK dan Jerman
menemukan bahwa SUs dan inhibitor DPP-4 adalah terapi T2D lini kedua yang palin-g sering
diresepkan.7 Meskipun ada banyak peneliti-an yang membandingkan kelas terapi umum seperti
SUs dan inhibitor DPP-4 dengan kelas lain atau obat indi-vi-dual-,12, 17-19 sifat obat individual
dalam suatu kelas dapa-t bervariasi,8,10,14 dan studi yang membandingkan efektivi-tas
pengobatan individu diperlukan untuk membantu memberi informasi untuk pengambilan
keputusan klinis.
Sejauh ini, hasil yang bertentangan telah dilaporkan saat membandingkan SU dan inhibitor
DPP-4 sebagai kelas pengobatan umum. Sebuah studi dalam populasi besar hd-PS yang cocok
dari data klaim telah menunjukkan tidak ada perbedaan dalam efektivitas antara kategori
umum SU dan inhibitor DPP-4 untuk menurunkan HbA1c <7,0% (53 mmol/mol), meskipun studi
tersebut tidak me-laporkan SUs. yang digunakan.18 Satu meta-analisis uji klini-s acak
menemukan bahwa pasien yang diterapi denga-n SU memiliki penurunan HbA1c lebih besar
secara signifikan dan mungkin dapat mencapai HbA1c <7,0% (53 mmol/mol) lebih banyak
daripada pasien yang diterapi dengan inhibitor DPP-4.17 Namun demikian, meta-analisi-s lain
yang secara khusus membandingkan sitagliptin denga-an dalam kontrol glikemik dari T2D. 20
Dari yang kam-i ketahui, di sini kami menyajikan studi pertama yang secara langsung
membandingkan keefektifan konkret dari dua obat yang umum, T2D yang diberikan secara oral,
gliclazi-de MR dan sitagliptin. SU seperti gliclazide MR telah digunakan untuk terapi T2D selama
lebih dari 60 tahun dan memiliki profil risiko/manfaat yang jelas.8 Namun, terapi seperti
inhibitor DPP-4 telah memasuki pasar selama dekade terakhir, dan studi individual diperlukan
untuk menjelaskan efektivitas komparatif.
Dalam studi ini, terapi dari hd-PS cocok, pasien konkret dengan gliclazide MR menyebabkan
kemungkinan lebih besar pasien mencapai HbA1c <7.0% (53 mmol/mol) dan ≤6.5% (48
mmol/mol), dengan efek terapi sudah terbukti pada 3 bulan. Penurunan cepat kadar HbA1c ini
dapat membantu mencegah risiko komplikasi jangka panjang. Studi terbaru telah melaporkan
efek turunan yang terkait dengan terapi penurunan glukosa dalam hasil makrovaskular dan
mortalitas.21,22 Laiteerapong dkk. menunjukkan bahwa pasien dengan HbA1c ≥6,5% (48
mmol/mol) selama tahun pertama terap-i berada pada risiko yang lebih tinggi dari kejadian
mikro- dan makrovaskular, sedangkan mereka dengan ≥7,0% (53 mmol/mol) selama tahun
pertama memiliki risiko kematian yang lebih tinggi.21 Karena pencapaian awal dari kontrol
glikemik telah dikaitkan dengan hasil jangka panjang yang lebih baik (‘efek turunan’), 23 waktu
untuk HbA1c <7,0% (53 mmol/mol) awalnya dipilih sebaga-i hasil utama untuk studi ini. Namun,
pasien yang diterapi dengan gliclazide MR juga mengalami penurunan rata-rata HbA1c yang
lebih besar dari waktu ke waktu. Sebagai catatan, untuk MR gliclazide dan sitagliptin, pasien
memiliki probabilitas tertinggi untuk mencapai penurunan HbA1c selama tahun pertama terapi,
dengan sangat sedikit kejadian hasil selama tahun-tahun berikutnya: temuan ini menunjukkan
probabilitas kontrol glukosa yang semakin rendah pada individu yang tidak mencapai target
selama 12 bulan pertama, sebagaimana dikonfirmasi lebih lanjut oleh perbedaan HbA1c yang
semakin keci-l ketika dianalisis sebagai hasil yang kontinu.
Durabilitas dan persistensi dari kontrol glikemik untuk terapi T2D dapat menjadi indikasi
sejumlah titik akhir, termasuk kepatuhan terapi, penurunan fungsi sel β dari waktu ke waktu
dan tolerabilitas dari waktu ke waktu. Sebagai kelas umum, kekhawatiran telah dikemukakan
atas efek SU pada kelelahan sel β, yang menyebabkan durabilitas yang buruk. Namun, karena
mekanisme kerjanya, glicla-zide telah menunjukkan waktu yang signifikan lebih lama untuk
kegagalan terapi dibandingkan SU lainnya.24, 25 Lebih lanjut, studi konkret menunjukkan bahwa
SU umum lebih tahan daripada inhibitor DPP-4 baik sebagai terapi pertama dan lini kedua. yang
pertama-26 maupun yang per-tama. perawatan lini kedua.27 Di sini, dalam perban-ding-an
langsung menggunakan pencocokan hd-PS, gliclazide MR dan sitagliptin memiliki median
durabilitas dan persistensi yang sebanding dari ≥2,5 tahun.27
Tabel 2. Perbandingan probabilitas pencapaian kadar hemoglobin terglikasi <7,0% (53
mmol/mol) dengan gliclazide MR dibanding sitagliptin pada subkelompok menurut
karakteristik baseline
Singkatan : CI, interval kepercayaan ; CVD, penyakit kardiovaskular; HR, hazard ratio; MR,
pelepasan termodifikasi.
*Chronic coronary syndromes, cerebrovascular accident, gagal jantung, penyakit vaskular
perifer, penyakit vaskular lainnya.
Saat ini, SU dianggap memiliki peningkatan risiko kejadian hipoglikemik dibandingkan
dengan inhibitor DPP-4 dan terapi T2D lainnya. Meskipun hal ini mungkin benar untuk SUs
sebagai kelas umum,17,28,29 studi tentang gli-clazi- signifikan lebih rendah daripada SU lainnya,9,
10 dan risiko yang serupa dengan agen insulinotropik lainnya.10 Di sini, kejadian hipoglikemik
dilaporkan untuk pasien yang diobati dengan gliclazide MR dan sitagliptin jarang terjadi,
meskipun secara numerik lebih tinggi pada pasien yang menggunakan gliclazide MR. Studi ini
dibatasi pada pasien dengan ≥2 resep obat studi tanpa jeda ≥90 hari antara penghentian resep
pertama dan inisiasi resep kedua. Kriteria ini penting untuk memastikan keterpaparan yang
cukup terhadap obat studi, karena tingkat HbA1c mencerminkan tingkat glikemik selama 2-3
bulan sebelumnya, dan untuk membatasi kesalahan klasifikasi pajanan, karen-a pasien dengan
resep baru mungkin telah menggunakan obat tersebut. Meskipun demikian, hal ini berarti
pasien dengan kejadian hipoglikemik di awal perjalanan terapi yang menghentikan obat studi
setelah satu resep tidak dicatat dan mungkin menyebabkan kerentanan bias. Meskipun
demikian, kerentanan tidak menjadi masalah dalam studi ini: dari 860 pasien dieksklusi karena
<2 resep obat studi yang memenuhi semua kriteria inklusi lainnya, hanya tiga pasien (dua pada
gliclazide MR, satu pada sitagliptin) mengalami kejadian hipoglikemik dalam 90 hari pertama
setelah resep obat studi pertama. Selain itu, tingkat kejadian hipoglikemik yang rendah serupa
dengan terapi MR gliclazide telah terlihat dalam penelitian konkret lainnya.30
Secara keseluruhan, hasil ini menunjukkan tingkat kejadian hipoglikemik yang rendah
dikombinasikan dengan respon cepat terhadap gliclazide MR dapat membantu memberi
informasi untuk pengambilan keputusan klinis di antara intervensi lini kedua untuk T2D secara
global, memberikan bukti penting di mana terdapat kekurangan data dari uji klinis acak.
Meskipun uji klinis acak saat ini memberikan standar bukti tertinggi untuk pengambilan
keputusan, uji klinis tersebut memiliki kriteria inklusi dan eksklusi yang terbatas dan dapat
mengeksklusi pasien yang dianggap lebih rentan atau dengan profil yang kuran-g homogen
karena usia, keparahan penyakit, atau penyakit penyerta. Studi non-intervensi lainnya sering
kali melibatkan pasien ini, mewakili populasi klinis konkret dengan lebih baik. Meskipun
demikian, studi konkret yang membandingkan berbagai perawatan mungkin tidak seimbang
karena faktor variabel seperti lokasi geografis, bias resep, keparahan klinis dari penyakit, usia
pasien, atau jumlah dan jenis komorbiditas antar populasi. Pencocokan populasi hd-PS dari
klaim atau database lain menggunakan algoritma untuk memilih kovariat dan mencocokkan
pasien, mengurangi bias seleksi dan mengelola faktor perancu, menghasilkan kelompok terapi
konkret dengan karakteristik serupa.16 Sebagai uji coba acak yang membandingkan semua
kombinasi obat T2D individual tidak layak, pencocokan hd-PS adalah alat hemat biaya yang
dapat digunakan untuk memeriksa efektivitas komparatif dalam database catatan kesehatan
elektronik.16 Karena sifatnya yang non-intervensi dan mirip dengan investigasi lain yang
menggunakan catatan kesehatan elektronik yang dikumpulkan secara rutin, penelitian ini
memiliki keterbatasan. Kualitas data hasil dan kovariat lainnya tidak distandarisasi di semua
pusat yang berkontribusi pada CPRD.
Dengan demikian, mungkin terdapat variasi dalam entr-i data atau metode yang digunakan
untuk merekam pengukuran untuk kovariat baseline yang digunakan untuk pencocokan hd-PS.
Pengukuran HbA1c pada pasien dengan glikemia terkontrol mungkin lebih jarang dilapor-kan
dalam studi konkret. Terlebih lanjut, ketika kami menggunakan tiga hasil HbA1c untuk
membandingkan dua medikasi, perlu dicatat bahwa target HbA1c individua-l semakin
disarankan dan digunakan dalam prakti-k klinis. Informasi latar belakang tentang dosis
metfor-min juga tidak dicatat dengan baik untuk sebagian besar peserta yang dilibatkan; oleh
karena itu, sebagian pasien mungkin telah menerima dosis metformin yang lebih rendah karena
faktor-faktor seperti efek samping gastrointestinal pada saat peresepan terapi lini kedua.
Dokter mungkin lebih mungkin meresepkan SU untuk pasien dengan metformin dosis rendah
karena efek sampin-g gastrointestinal daripada obat lain yang mungkin memperburuk efek
samping gastrointestinal. Demikian pula, data tentang dosis pada kedua indeks obat sangat
jarang. Berat badan dan indeks massa tubuh tidak dicatat dari waktu ke waktu, menghalagi
analisis perbedaan pada hasil ini. Selain itu, kepastian kejadian hipoglikemik didasarkan pada
yang tercatat dalam catatan praktik klinis dan kejadian yang menyebabkan rawat inap. HES APC
melaporkan kejadian berat (yaitu mengakibatkan rawat inap), yang dapat menyebabkan
kejadian tidak berat tidak dilaporkan. CPRD, di sisi lain, melaporkan kejadian hipoglike-mik yang
berat dan tidak berat, namun tidak membedakan antar klasifikasi. Akhirnya, meskipun
durabilit-as dan persistensi kontrol glikemik mungkin mencerminkan kepatuhan terhadap terapi
obat T2D, kepatuhan terapi tidak diukur secara langsung dalam stud-i ini.
Secara keseluruhan, sepengetahuan kami, studi ini adalah studi pertama yang secara
langsung membanding-kan efektivitas konkret gliclazide MR dan sitagliptin sebaga-i
pengobatan lini kedua untuk pasien dengan T2D. Dalam populasi yang cocok dengan hd-PS ini,
gliclazide MR lebih efektif daripada sitagliptin untuk mencapai HbA1c <7.0% (53 mmol/mol) dan
≤6.5% (48 mmol/mol), dengan angka kejadian hipoglikemik yang rendah serta durabilitas dan
persistensi yang serupa. Data ini memberikan bukti bahwa gliclazide MR memiliki peran penting
dalam praktik klinis dan penyelidikan lebih lanjut tentang dosis, hasil keamanan lainnya, dan
berat badan pasien diperlukan untuk menjelaskan profil manfaat-risiko keseluruhan dari terapi
ini.

UCAPAN TERIMA KASIH


Kami berterima kasih kepada Valérie Lehner atas kontrib-usinya pada desain studi ini. FZ, SS,
MJD, KK menguca-pkan terima kasih kepada National Institute for Health Research Applied
Research Collaborations - East Midlands (NIHR ARC - EM) dan NIHR Leicester Biomedical
Research Center. Pandangan yang diungkapkan dalam publikasi ini adalah dari penulis dan tidak
harus dari NHS, NIHR atau Departemen Kesehatan. Studi ini didukung oleh Servier (Suresnes,
Prancis). Dukungan penulisan medis untuk manuskrip ini disediakan oleh Physicians World
Europe GmbH (Mannheim, Jerman), didanai oleh Servier.

KONFLIK KEPENTINGAN
F.Z. adalah pembicara untuk Napp Pharmaceuticals. E.J. dan V.C. adalah karyawan Servier.
F.T. melaporkan tidak ada apa pun untuk diungkapkan. S.S. melaporkan biaya pribadi dari
NAPP, Amgen, Astra Zeneca, Lilly, Merck Sharp & Dohme, Novartis, Novo Nordisk, Roche,
Boehringer Ingelheim, Sanofi ‐ Aventis, hibah dari AstraZeneca, Sanofi ‐ Aventis, Servier dan
Janssen, di luar pekerjaan yang dikirimkan. M.J.D. pernah menjabat sebagai konsultan, anggota
dewan penasihat dan pembicara untuk Novo Nordisk, Sanofi ‐ Aventis, Lilly, Merck Sharp &
Dohme, Boehringer Ingelheim, AstraZeneca dan Janssen; pembicara untuk Mitsubishi Tanabe
Pharma Corporation. Memberikan dukungan penyidik dan penyidik yang memulai uji coba dari.
KK telah menjabat sebagai konsultan dan berpartisipasi dalam biro pembicara untuk, atau
me-nerima dukungan penelitian dari, Amgen, AstraZeneca, Berlin ‐ Chemie AG/Menarini Group,
BMS, Boehringer Ingelheim, Janssen, Lilly, MSD, Napp, Novartis, Novo Nordisk, Roche , Sanofi
dan Servier.
Pernyataan berbagi data. Studi ini dilakukan dengan menggunakan CPRD GOLD dan data
terkait tunduk pada persetujuan protokol (ISAC No. 19_149). Pengontrol data untuk CPRD
(Departemen Kesehatan dan Perawatan Sosial) tidak mengizinkan berbagi data mentah. Kode
yang digunakan untuk menentukan kohort, kondisi medis, pengobatan, dan hasil dilaporkan di
Lampiran. Kode statis-tik tersedia dari penulis yang sesuai (FZ).

KONTRIBUSI PENULIS
Francesco Zaccardi: desain studi; pengumpulan dan pembersihan data; Analisis statistik; draf
naskah. Freya Tyrer, Kamlesh Khunti: desain studi; menulis naskah; revisi kritis untuk konten
intelektual penting. Emmanuelle Jacquot, Viviana Cortese, Samuel Seidu, Melanie J. Davies:
menulis naskah; revisi kritis untuk konten intelektu-al penting.

REVIEW SEJAWAT
Riwayat tinjauan sejawat untuk artikel ini tersedia di
https://publons.com/publon/10.1111/dom.14169

ORCID
Francesco Zaccardi https://orcid.org/0000-0002-2636-6487
Melanie J. Davies https://orcid.org/0000-0002-9987-9371
Kamlesh Khunti https://orcid.org/0000-0003-2343-7099

DAFTAR PUSTAKA
1. Zaccardi F, Webb DR, Yates T, Davies MJ. Pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes
mellitus: a 90-year perspective. Postgrad Med J. 2016;92(1084):63-69.
2. National Institute of Health and Care Excellence. Type 2 Diabetes in Adults: Management.
London: National Institute of Health and Care Excellence; 2015.
3. Davies MJ, D’Alessio DA, Fradkin J, et al. Management of Hyperglycemia in type 2 diabetes,
2018. A consensus report by the American Diabetes Association (ADA) and the European
Association for the Study of diabetes (EASD). Diabetes Care. 2018;41(12): 2669-2701.
4. Buse JB, Wexler DJ, Tsapas A, et al. 2019 update to: Management of Hyperglycemia in type 2
diabetes, 2018. A consensus report by the American Diabetes Association (ADA) and the
European Association for the Study of diabetes (EASD). Diabetes Care. 2020;43(2): 487-493.
5. Cosentino F, Grant PJ, Aboyans V, et al. 2019 ESC guidelines on diabetes, pre-diabetes, and
cardiovascular diseases developed in collabor-ation with the EASD. Eur Heart J.
2020;41(2):255-323.
6. National Diabetes Audit. Care Processes and Treatment Targets, January to September 2019.
2020;
https://digital.nhs.uk/data-andinformation/publications/statistical/national-diabetes-audit/c
areprocesses-and-treatment-targets-january-to-september-2019. Accessed July, 2020.
7. Khunti K, Godec TR, Medina J, et al. Patterns of glycaemic control in patients with type 2
diabetes mellitus initiating second-line therapy after metformin monotherapy: retrospective
data for 10 256 individuals from the United Kingdom and Germany. Diabetes Obes Metab.
2018;20(2):389-399.
8. Khunti K, Chatterjee S, Gerstein HC, Zoungas S, Davies MJ. Do sulphonylureas still have a
place in clinical practice? Lancet Diabetes Endocrinol. 2018;6(10):821-832.
9. Schernthaner G, Grimaldi A, Di Mario U, et al. GUIDE study: doubleblind comparison of
once-daily gliclazide MR and glimepiride in type 2 diabetic patients. Eur J Clin Invest.
2004;34(8):535-542.
10. Chan SP, Colagiuri S. Systematic review and meta-analysis of the efficac-y and
hypoglycemic safety of gliclazide versus other insulino-tropic agents. Diabetes Res Clin Pract.
2015;110(1):75-81. ZACCARDI ET AL. 9
11. Group AC, Patel A, MacMahon S, et al. Intensive blood glucose control and vascular
outcomes in patients with type 2 diabetes. N Engl J Med. 2008;358(24):2560-2572.
12. Sharma M, Beckley N, Nazareth I, Petersen I. Effectiveness of sitagliptin compared to
sulfonylureas for type 2 diabetes mellitus inadequately controlled on metformin: a
systematic review and metaanalysis. BMJ Open. 2017;7(10):e017260.
13. Rosenstock J, Kahn SE, Johansen OE, et al. Effect of Linagliptin vs glimepiride on major
adverse cardiovascular outcomes in patients with type 2 diabetes: the CAROLINA
randomized clinical trial. JAMA. 2019;322(12):1155-1166.
14. Douros A, Yin H, Yu OHY, Filion KB, Azoulay L, Suissa S. Pharma-cologic differences of
sulfonylureas and the risk of adverse cardiovascular and hypoglycemic events. Diabetes
Care. 2017;40(11): 1506-1513.
15. Langan SM, Schmidt SA, Wing K, et al. The reporting of studies conducted using
observational routinely collected health data statement for pharmaco epidemiology
(RECORD-PE). BMJ. 2018; 363:k3532.
16. Schneeweiss S, Rassen JA, Glynn RJ, Avorn J, Mogun H, Brookhart MA. High-dimensional
propensity score adjustment in studies of treatment effects using health care claims data.
Epidemiology. 2009;20(4):512-522.
17. Zhang Y, Hong J, Chi J, Gu W, Ning G, Wang W. Head-to-head comparison of dipeptidyl
peptidase-IV inhibitors and sulfonylureas - a meta-analysis from randomized clinical trials.
Diabetes Metab Res Rev. 2014;30(3):241-256.
18. Vashisht R, Jung K, Schuler A, et al. Association of hemoglobin A1c levels with use of
sulfonylureas, dipeptidyl peptidase 4 inhibitors, and thiazolidinediones in patients with type
2 diabetes treated with metformin: analysis from the observational health data sciences and
informatics initiative. JAMA Netw Open. 2018;1(4): e181755.
19. Bain S, Druyts E, Balijepalli C, et al. Cardiovascular events and allcaus-e mortality
associated with sulphonylureas compared with other antihyperglycaemic drugs: a Bayesian
meta-analysis of surviva-l data. Diabetes Obes Metab. 2017;19(3):329-335.
20. Hou L, Zhao T, Liu Y, Zhang Y. Efficacy and safety of sitagliptin compar-ed with
sulfonylurea therapy in patients with type 2 diabetes showing inadequately controlled
glycosylated hemoglobin with metformin monotherapy: a meta-analysis. Exp Ther Med.
2015;9(4):1528- 1536.
21. Laiteerapong N, Ham SA, Gao Y, et al. The legacy effect in type 2 diabetes: impact of
early glycemic control on future complications (the Diabetes & Aging Study). Diabetes Care.
2019;42(3):416-426.
22. Paul SK, Klein K, Thorsted BL, Wolden ML, Khunti K. Delay in treatment intensification
increases the risks of cardiovascular events in patients with type 2 diabetes. Cardiovasc
Diabetol. 2015;14:100.
23. Cefalu WT, Rosenstock J, LeRoith D, Blonde L, Riddle MC. Getting to the “heart” of the
matter on diabetic cardiovascular disease: “thanks for the memory”. Diabetes Care.
2016;39(5):664-667.
24. Harrower AD. Comparison of efficacy, secondary failure rate, and complications of
sulfonylureas. J Diabetes Complications. 1994;8(4): 201-203.
25. Satoh J, Takahashi K, Takizawa Y, et al. Secondary sulfonylurea failure: comparison of
period until insulin treatment between diabetic patients treated with gliclazide and
glibenclamide. Diabetes Res Clin Pract. 2005;70(3):291-297.
26. Noh Y, Lee S, Shin S. Durability of initial antidiabetic monotherapy and subsequent
treatment adjustment patterns among newly treated type 2 diabetes patients. Ther Clin Risk
Manag. 2018;14:1563-1571.
27. Mamza J, Mehta R, Donnelly R, Idris I. Important differences in the durability of
glycaemic response among second-line treatment options when added to metformin in type
2 diabetes: a retrospective cohort study. Ann Med. 2016;48(4):224-234.
Hirst JA, Farmer AJ, Dyar A, Lung TW, Stevens RJ. Estimating the effect of sulfonylurea on HbA1c
in diabetes: a systematic review and meta-analysis. Diabetologia.2013;56(5):973-984.
Yu O, Azoulay L, Yin H, Filion KB, Suissa S. Sulfonylureas as initial treatment for type 2 diabetes
and the risk of severe hypoglycemia. Am J Med. 2018;131(3):317 e311-317 e322.
Clemens KK, McArthur E, Dixon SN, Fleet JL, Hramiak I, Garg AX. The hypoglycemic risk of
glyburide (glibenclamide) compared with modified-release gliclazide. Can J Diabetes.
2015;39(Suppl 4):32-40.

*Diterjemahkan dari: Diabetes, Obesity and Metabolism Diabetes Obes Metab. 2020;1–10.
https://doi.org/10.1111/dom.14169

Soal Topik:
Perbandingan Efektivitas dari Gliclazide Modified Release Dibandingkan Sitagliptin sebagai
Pengobatan lini Kedua setelah Monoterapi Metformin pada Pasien dengan Diabetes tipe 2 yang
tidak Terkontrol

1. Studi UK CPRD oleh Zaccardi dkk ini bertujuan membandingkan keefektifan dan keamanan
gliclazide modified release (MR) dengan OAD yang lain yaitu?
A. Sitaglitpin.
B. Linagliptin
C. Glimepiride
D. Glibenclamide
E. Metformin
2. Studi UK CPRD melibatkan berapa pasien?
A. 890 pasien
B. 1260 pasien
C. 1556 pasien
D. 1986 pasien.
E. 2034 pasien
3. Apakah primary outcome / hasil utama dari studi UK CPRD oleh Zaccardi dkk ini?
A. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar HbA1c ≤7.0%.
B. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar HbA1c ≤6.5%
C. Pengurangan HbA1c ≥1% dari baseline
D. Durabilitas (durasi terapi sampai berhenti, beralih, atau ditambahkan obat penurun
glukosa baru)
E. Persistensi (durasi terapi sampai berhenti atau berali-h
4. Apakah secondary outcome / hasil sekunder dari stud-i UK CPRD oleh Zaccardi dkk?
A. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar HbA1c ≤6.5%
B. Pengurangan HbA1c ≥1% dari baseline
C. Durabilitas (durasi terapi sampai berhenti, beralih, atau ditambahkan obat penurun
glukosa baru)
D. Persistensi (durasi terapi sampai berhenti atau beral-ih
E. Semua Benar.
5. Dalam Studi retrospektif ini kapan catatan pasien di ikuti dari awal sampai akhir studi?
A. 1 Januari 2010 sampai dengan 21 Oktober 2019.
B. 1 Januari 2017 sampai dengan 21 Oktober 2019
C. 1 Januari 2014 sampai dengan 21 Oktober 2019
D. 1 Januari 2012 sampai dengan 21 Oktober 2019
E. 1 Januari 2005 sampai dengan 21 Oktober 2019
6. Berapa rata-rata durasi penyakit diabetes pada saat baseline / awal studi pada 2 kelompok
pasien baik dengan gliclazide MR atau sitagliptin?
A. 2,4 tahun
B. 3 tahun
C. 4,4 tahun.
D. 5 tahun
E. 6,5 tahun
7. Dari hasil studi UK CPRD ini berapa % peluang lebih besar pada pasien yang diterapi dengan
gliclazide MR dibandingkan dengan sitagliptin untuk mencapai targe-t HbA1c <7,0%?
A. 20%
B. 22%
C. 32%
D. 35%.
E. 40%
8. Dari hasil studi UK CPRD ini berapa % peluang lebih besar pada pasien yang diterapi dengan
gliclazide MR dibandingkan dengan sitagliptin untuk mencapai targe-t HbA1c <6.5%?
A. 20%
B. 22%
C. 32%
D. 35%
E. 51 %.
9. Dalam Studi UK CPRD ini pasien dengan gliclazide MR memiliki kemungkinan lebih besar
mencapai HbA1c <7.0% dan ≤6.5%, pada bulan ke berapa data menunjukan perbedaan efek
terapi sudah terbukti?
A. Bulan ke-1
B. Bulan ke-2
C. Bulan ke-3.
D. Bulan ke-6
E. Bulan ke-12
10. Berikut ini kesimpulan yang didapatkan dari studi CPRD :
A. studi pertama yang secara langsung memban-dingk-an efektivitas konkret gliclazide MR
dan sitagliptin sebagai pengobatan lini kedua untuk pasien dengan T2D.
B. Gliclazide MR terbukti lebih efektif daripada sitagliptin untuk mencapai HbA1c
C. Kejadian hipoglikemik yang rendah dalam 2 kelompok.
D. Durabilitas dan persistensi yang sama dalam 2 kelompok
E. Benar Semua
CME (Continuing Medical Education)

Penggunaan Moxifloxacin untuk Pasien


Coronavirus Disease 2019 dengan Infeksi
Sekunder Community-Acquired Pneumonia

oronavirus Disease 2019 (COVID‐19) me‐ COVID‐19 yang tidak menunjukkan gejala infeksi
C rupakan penyakit menular yang disebabkan
oleh Severe Acute Respiratory Syndrome
bakteri, tetapi dapat diberikan bila pasien
memiliki gejala gagal napas akut atau gejala
Coronavirus 2 (SARS‐CoV‐2). Virus SARS‐CoV‐2 sepsis.5 Prinsip penatagunaan antimikroba tetap
ditemukan pada akhir tahun 2019 dan menjadi dilakukan, yaitu pengambilan bahan kultur
ancaman global, menyebabkan pandemi di ber‐ sebelum pemberian antibiotik, reevaluasi
bagai negara.1 Target utama dari SARS‐CoV‐2 kondisi klinis pasien secara klinis maupun
adalah sistem respirasi. Pasien dengan COVID‐ evaluasi parameter penunjang, deeskalasi atau
19 dapat tidak memiliki gejala, maupun memiliki stop antibiotik bila klinis dan hasil pemeriksaan
gejala ringan hingga kritis. Gejala yang sering sudah membaik, pemilihan dan durasi terapi
ditemukan yaitu demam, batuk, dan sesak antibiotik empirik, pencegahan infeksi noso‐
napas. Gejala lain dari COVID‐19 yaitu nyeri komial, mengontrol sumber infeksi, dan
tenggorokan, anosmia, disgeusia, anoreksia, penggunaan antibiotik yang rasional.7
mual, nyeri otot, dan diare.2 Pasien dengan Antibiotik empiris diberikan bila terdapat
gejala berat ditandai dengan gejala pneumonia tanda klinis infeksi bakteri, berdasarkan
(demam, batuk, dan sesak napas) ditambah karakteristik gejala dan radiologis.8 Karakteristik
frekuensi napas lebih dari 30 kali per menit, dari pneumonia bakteri antara lain peningkatan
distress pernapasan berat atau saturasi oksigen prokalsitonin (≥ 0.5 μg/L), pemeriksaan radio‐
<94% pada udara ruangan. Pasien kritis memiliki logis toraks yang menunjukkan konsolidasi lobus
kriteria gagal napas akut, syok sepsis, dan gagal atau segmental dengan atau tanpa air broncho‐
organ multipel.3 gram atau computed tomography toraks (CT
Koinfeksi pneumonia bakteri pada pasien toraks) yang menunjukkan konsolidasi segmen
COVID‐19 mencapai 8% pada pasien rawat inap, atau lobus dengan atau tanpa ground‐glass
dan lebih sering ditemukan pada pasien kritis. opacities.5 Antibiotik empiris dimulai dalam
Infeksi dari SARS‐CoV‐2 menyebabkan penu‐ empat jam setelah diagnosis dan tidak perlu
runan dari regulasi imun dan kerusakan epitel menunggu hasil mikrobiologi. Pemberian
pernapasan, sehingga meningkatkan adhesi dari antibiotik pada pasien sepsis dilakukan dalam
bakteri, seperti Streptococcus pneumoniae. Hal satu jam setelah diagnosis.8
tersebut mendukung terjadinya infeksi sekunder BC Centre for Disease Control merekomen‐
bakteri.4 Pneumonia bakteri dapat terjadi pada dasikan pemberian antibiotik pada pasien
fase inisial maupun fase penyembuhan dari COVID‐19 kritis yang menjalani rawat inap di
infeksi SARS‐CoV‐2.5 Intensive Care Unit (ICU) dengan koinfeksi
Pemberian antibiotik direkomendasikan pada pneumonia bakteri. Pilihan antibiotik yang
kasus COVID‐19 berat dan tidak direkomendasi‐ dapat diberikan yaitu Ceftriaxone 1‐2 gram IV/24
kan sebagai penggunaan rutin kasus COVID‐19 jam, dengan alternatif Moxifloxacin 400 mg/24
gejala ringan.6 Antibiotik tidak diberikan pada jam selama lima hari pada pasien yang
pasien dengan gejala ringan sampai sedang mengalami alergi Beta‐laktam. Moxifloxacin juga

l l l 1
dapat diberikan pada suspek infeksi bakteri 2. Cascella M, Rajnik M, Aleem A, Dulebohn SC, Napoli RD.
Features, evaluation, and treatment of coronavirus (COVID‐
atipikal.9 19). Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021.
Moxifloxacin merupakan antibiotik golongan 3. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman pencegahan dan
Fluorokuinolon generasi empat. Fluorokuinolon pengendalian Coronavirus Disease (COVID‐19). Jakarta:
adalah antibiotik berspektrum luas yang Kementerian Kesehatan RI; 2020.
4. Feldman C, Anderson R. The role of co‐infections and
memiliki efek bakterisidal dan bekerja dengan secondary infections in patients with COVID‐19. Pneumonia.
menghambat sintesis dari DNA bakteri. Fluoro‐ 2021;13(5).
kuinolon dapat digunakan untuk bakteri Gram 5. Wu CP, Adhi F, Highland K. Recognition and management of
positif, Gram negatif, anaerob, mycobacterium respiratory co‐infection and secondary bacterial pneumonia
in patients with COVID‐19. Clevel Clin J Med. 2020;87(11):
dan pathogen atipikal. Fluorokuinolon respirasi, 659‐63.
seperti moxifloxacin, merupakan antibiotik lini 6. Wu CP, Adhi F, Highland K. Recognition and management of
pertama untuk penanganan community respiratory co‐infection and secondary bacterial pneumonia
acquired pneumonia (CAP) berat.10 Moxifloxa‐ in patients with COVID‐19. Clevel Clin J Med. 2020;87(11):
659‐63.
cin juga dapat digunakan untuk pneumokokus 7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Perhimpunan Dokter
multi‐resisten, patogen yang resisten terhadap Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Perhimpunan Dokter
antibiotik golongan penicillin, makrolid, Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, Perhimpunan Dokter
maupun tetrasiklin, maupun bakteri atipikal (L. Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia, Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Pedoman tatalaksana COVID‐19. Jakarta:
pneumophila, C. pneumoniae, dan M. pneumo‐ PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN, IDAI; 2020.
niae). 11 Indikasi penggunaan Moxifloxacin 8. National Institute for Health and Care Excellence. COVID‐19
lainnya yaitu infeksi kulit dan jaringan lunak rapid guideline: antibiotics for pneumonia in adults in
hospital. London: National Institute for Health and Care
(termasuk komplikasi kaki diabetes), infeksi Excellence (UK); 2020.
saluran cerna (termasuk infeksi polimikroba 9. BC Centre for Disease Control. BC COVID‐19 therapeutic
seperti abses), eksaserbasi akut bronkitis kronik, committee recommendation: therapies for COVID‐19
sinusitis akut, dan infeksi radang panggul pada [internet]. [updated 2021 May 25; cited 2021 Jun 15].
Available from: http://www.bccdc.ca/health‐professionals/
wanita.12 clinical‐resources/covid‐19‐care/clinical‐care/treatments
Keuntungan lain dari penggunaan Moxifloxa‐ 10. Karampela I, Dalamaga M. Could respiratory Fluoro‐
cin adalah efikasi yang maksimal dengan quinolones, Levofloxacin and Moxifloxacin, prove to be
beneficial as an adjunct treatment in COVID‐19? Arch Med
resistensi yang minimal.13 Moxifloxacin juga Res. 2020. 51(7):741‐2.
memiliki kegagalan terapi yang rendah 11. Rinaldi I, Muthalib A, Astowo P, Irawan B, Susanto N,
dibandingkan penggunaan antibiotik golongan Magdalena L, et al. The role of chest radiograph,
Beta‐laktam dan dapat digunakan pada pasien procalcitonin and moxifloxacin in diagnosis and
management of breast cancer patients with COVID‐19. Acta
dengan berbagai tingkat keparahan. 14 Med Indones. 2020:5(2):163‐71.
Monoterapi Moxifloxacin juga aman dan efektif 12. Pusat Informasi Obat Nasional. Moksifloksasin [internet].
pada pasien CAP berat dengan Acute [cited 2021 June 15]. Available from: http://pionas.
Respiratory Distress Syndrome.15 pom.go.id/monografi/moksifloksasin
13. Kuzman I, Bezlepko A, Kondova Topuzovska I, Rókusz L,
Pasien dengan gejala berat COVID‐19 Iudina L, Marschall HP, Petri T. Efficacy and safety of moxi‐
memiliki risiko gagal ginjal akut, dengan floxacin in community acquired pneumonia: a prospective,
penyebab multifaktorial karena sitotoksisitas multicenter, observational study (CAPRIVI). BMC Pulm Med.
2014 Jun 30;14:105.
virus, penggunaan obat‐obatan, kerusakan
14. Lee MG, Lee SH, Chang SS, et al. Comparative Treatment
vaskular, dan hipervolemia. Gagal ginjal akut Failure Rates of Respiratory Fluoroquinolones or β‐Lactam +
merupakan manifestasi ekstra‐paru yang paling Macrolide Versus β‐Lactam Alone in the Treatment for
sering ditemukan pada COVID‐19 dan me‐ Community‐Acquired Pneumonia in Adult Outpatients: An
Analysis of a Nationally Representative Claims Database.
ningkatkan risiko kematian. Moxifloxacin Medicine. 2015;94(43):e1662.
mengalami metabolisme di hati, sehingga 15. Rahmel T, Asmussen S, Karlig J, Steinmann J, Adamzik M,
adanya gangguan ginjal tidak mempengaruhi Peters J. Moxifloxacin monotherapy versus combination
therapy in patients with severe community‐acquired
farmakokinetik dari Moxifloxacin.16
pneumonia evoked ARDS. BMC Anesthesiology. 2017;
17:78.
Daftar Pustaka
16. Cascella M, Rajnik M, Aleem A, Dulebohn SC, Napoli RD.
1. Dhama K, Khan S, Tiwari R, Sircar S, Brat S, Malik YS, et al.
Features, evaluation, and treatment of coronavirus (COVID‐
Coronavirus disease 2019‐COVID‐19. Clin Microbiol Rev.
19). Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021.
2020;33(4):e00028‐20.

2 l l l
Soal Topik:
Penggunaan Moxifloxacin untuk Pasien Coronavirus Disease 2019
dengan Infeksi Sekunder Community-Acquired Pneumonia

1. Virus apa yang menyebabkan COVID‐19? c. Antibiotik diberikan kepada seluruh pasien
a. SARS‐associated coronavirus. yang bergejala
b. Severe Acute Respiratory Syndrome d. Antibiotik digunakan secara rutin pada
Coronavirus COVID‐19, baik yang menunjukkan gejala
c. Severe Acute Respiratory Syndrome infeksi bakteri maupun tidak
Coronavirus‐1
d. Severe Acute Respiratory Syndrome 6. Prinsip penatagunaan antibiotik berikut perlu
Coronavirus‐2 dilakukan, kecuali?
a. Pengambilan bahan kultur sebelum pem‐
2. Bagaimana kriteria gejala klinis dan mani‐ berian antibiotik
festasi klinis yang berhubungan dengan infeksi b. Re‐evaluasi kondisi klinis pasien dan
COVID‐19? parameter penunjang.
a. Sakit ringan, sakit sedang, sakit berat c. Stop antibiotik setelah 5 hari penggunaan
b. Tanpa gejala, sakit ringan, sakit sedang, sakit d. Mengontrol sumber infeksi
berat
c. Sakit ringan, sakit sedang, sakit berat, sakit 7. Karakteristik dari ko‐infeksi dengan pneumonia
kritis bakterial adalah?
d. Tanpa gejala, sakit ringan, sakit sedang, sakit a. Penurunan kadar prokalsitonin
berat, sakit kritis. b. Radiologi toraks yang menunjukkan ground‐
glass opacities
3. Pernyataan di bawah merupakan kriteria sakit c. Ditemukan gambaran honeycomb appea‐
berat COVID‐19, kecuali? rance pada radiografi toraks
a. Pasien dengan tanda klinis pneumonia dan d. Ditemukan gambaran konsolidasi lobus atau
frekuensi napas 20x/menit segmental.
b. Pasien dengan infeksi saluran napas yang dan
frekuensi napas >30x/menit. 8. Pemilihan antibiotik yang diberikan pada pasien
c. Pasien dengan infeksi saluran napas yang COVID‐19 kritis yang menjalani rawat inap di ICU
mempunyai distress pernapasan berat dengan koinfeksi bakteri adalah?
d. Pasien dengan infeksi saluran napas yang a. Ceftriaxone 4 gram IV/24 jam
mempunyai saturasi oksigen <90% dalam b. Moxifloxacin 400 mg IV/24 jam.
udara kamar c. Meropenem 3 gram IV/24 jam
d. Levofloxacin 750 mg IV/24 jam
4. Pasien COVID‐19 sering mengalami ko‐infeksi
sekunder dengan bakteri. Bakteri apakah yang 9. Moxifloxacin merupakan antibiotic golongan
menjadi penyebab tersering hal tersebut? Fluorokuinolon generasi?
a. Staphylococcus aureus a. Satu
b. Haemophilus influenzae b. Dua
c. Streptococcus pneumoniae. c. Tiga
d. Mycoplasma pneumoniae d. Empat.

5. Bagaimana rekomendasi pemberian antibiotik 10.Moxifloxacin mengalami ekskresi di organ?


pada pasien COVID‐19? a. Kulit
a. Antibiotik diberikan secara rutin pada seluruh b. Ginjal.
pasien terkonfirmasi positif COVID‐19, c. Hati
sebagai pencegahan terhadap ko‐infeksi d. Paru
bakteri.
b. Antibiotik dapat diberikan pada pasien
dengan gejala gagal napas akut dan sepsis.

l l l 3
HIPERTENSI

I. Latar Belakang
Di Indonesia, berdasarkan RISKESDAS 2018 prevalensi hipertensi meningkat dari 25,8%
(2013) menjadi 34,1% (2018) dengan perkiraan sekitar 90,3 orang berada pada tekanan
darah tinggi. Hipertensi juga merupakan kondisi medis serius yang secara signifikan
meningkatkan risiko serangan jantung, stroke, gagal ginjal, dan kebutaan. Ini adalah salah
satu penyebab utama kematian dini di seluruh dunia.
Pasien hipertensi cenderung memiliki berbagai penyakit penyerta, salah satunya
adalah penyakit jantung koroner (PJK). Sebanyak 33% dari pasien hipertensi memiliki PJK.
Kondisi ini akan meningkatkan risiko mortalitas sampai 2.3 kali lipat. Dengan demikian,
pasien hipertensi dengan CAD memerlukan proteksi dari risiko kejadian kardiovaskular di
masa mendatang. Namun, kepatuhan pasien menjadi salah satu kendala untuk mencapai
tujuan terapi jangka panjang tersebut.
Sekitar 50% pasien dengan penyakit kardiovaskular dan / atau faktor risiko utamanya
memiliki kepatuhan yang rendah terhadap obat yang diresepkan untuk mereka.
Ketidakpatuhan adalah fenomena yang sering terjadi untuk penyakit yang tidak
memberikan gejala seperti hipertensi. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah
fenomena kompleks yang terkait dengan beberapa faktor. Salah satu diantaranya
adalah kepatuhan berbanding terbalik dengan jumlah tablet yang harus dikonsumsi setiap
hari. Hal menunjukkan bahwa memberikan rejimen obat yang lebih sederhana akan
meningkatkan kepatuhan dan pada akhirnya meningkatkan manfaat klinis bagi pasien.
Kombinasi tunggal dari dua kelas obat yang merupakan terapi standar akan membantu
mencapai tujuan terapi secara optimal dengan kepatuhan yang baik.

II. Tujuan Kegiatan


- Membentuk pemahaman dokter yang lebih komprehensif terhadap penanganan
hipertensi dengan komorbid kardiovaskular, seperti CAD
- Membangun pemahaman dokter mengenai rasionalitas terapi dengan kombinasi
tunggal untuk meningkatkan kepatuhan pasien
- Berbagi pengalaman dalam klinis sehari-hari dengan diskusi interaktif.

III. Materi RTM


Topik : “The first and only single-pill combination of a β-blocker and an ACE inhibitor:
addressing challenges for better management of hypertension and CAD”
Beberapa Points yang akan disampaikan dalam RTM ini adalah :
• Prevalensi hipertensi dengan CAD
• Rekomendasi guideline ESC/ESH, ISH, dan juga ESC CCS 2019
• Tujuan terapi pasien hipertensi dengan CAD: kontrol tekanan darah, proteksi
kardiovaskular, dan terapi jangka panjang dengan kepatuhan yang baik
• Rasionalitas dari perlunya kombinasi tunggal dari BB dan ACEi
• Hasil studi klinis dari SPC Bisoprolol/Perindopril untuk pasien hipertensi dan CAD

IV. Waktu Pelaksanaan


Waktu Pelaksanan October 2021 – Maret 2022
20-25 peserta per RTM di seluruh Indonesia, dan total Sekitar 1200 Dokter sampai akhir
kegiatan.

V. Pembicara dan CV Terlampir


Pembicara : Dokter Spesialis Jantung, Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Dokter Umum dari
RS Pendidikan, RSUD, atau RS Swasta di seluruh Indonesia. CV Terlampir
POST TEST CERTIFIED RTM COSYREL
Jawaban benar dapat lebih dari satu

1. Prevalensi CAD pada pasien hipertensi di Indonesia adalah….


a. 15%
b. 21%
c. 33%.
d. 40%

2. Beta-bloker dapat diberikan pada setiap tahap terapi hipertensi jika memiliki…
a. Riwayat MI
b. Gagal jantung
c. Angina
d. Semua benar.

3. Terapi yang direkomendasikan wajib diberikan untuk hipertensi dan CAD pada ISH 2021 adalah…
a. RAAS bloker dan diuretik
b. RAAS bloker dan CCB
c. RAAS bloker dan BB.
d. Semua benar

4. Pada ESC CCS guideline 2019, pemberian RAAS bloker bertujuan untuk….
a. Mencegah gejala
b. Terapi iskemia
c. Pencegahan kejadian kardiovaskular.
d. Semua benar

5. Berikut adalah pernyataan yang tepat…


a. Rekomendasi ACEi > ARB pada guideline ESC CCS 2019
b. ARB hanya diberikan jika intoleran terhadap ACEi
c. ACEi direkomendasikan untuk pasien dengan risiko tinggi, seperti dengan CAD, HF
d. Semua benar.

6. Pemberian kombinasi tunggal sudah direkomendasikan sejak awal diberikan, hal ini tertulis pada
guideline…
a. ESC/ESH 2018.
b. ISH 2020.
c. Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019
d. Semua benar

7. SPC Bisoprolol dan Perindopril merupakan satu-satunya sediaan kombinasi tunggal BB dan ACEi, memiliki
manfaat untuk mengontrol tekanan darah 24 jam dengan penurunan SBP, sesuai dengan studi STYLE
mencapai…
a. -22.3 mmHg dalam 1 bulan.
b. -31.5 mmHg dalam 3 bulan.
c. -11.0 mmHg dalam 1 bulan
d. -15.9 mmHg dalam 3 bulan

8. Studi klinis yang membuktikan bahwa Perindopril memiliki manfaat siginfikan pada pasien hipertensi
dengan CAD adalah studi…
a. Advance
b. Progress
c. Europa.
d. PEP-CHF

9. STYLE Study menunjukan bahwa SPC Bisoprolol dan Perindopril memiliki manfaat dalam penurunan
serangan angina secara efektif, yaitu…
a. -65% dalam 1 bulan.
b. -86% dalam 3 bulan.
c. -75% dalam 3 bulan
d. -56% dalam 1 bulan

10. Dosis SPC Bisoprolol dan Perindopril yang tersedia di Indonesia adalah ….
a. Dosis 5 mg Bisoprolol dan 5 mg Perindopril.
b. Dosis 5 mg Perindopril dan 10 mg Bisoprolol
c. Dosis 5 mg Bisoprolol dan 10 mg Perindopril.
d. Semua benar
Advance Angina Management: Once-
Daily Metabolic Approach to Complement
Hemodynamic Therapy
I. Latar Belakang

Chronic Stable Angina adalah salah satu manifestasi dari Penyakit Jantung Iskemia yang
mempengaruhi sebanyak 112 juta orang di seluruh dunia. Gejala angina seringkali
mengakibatkan disabilitas, sehingga memiliki dampak besar terhadap kualitas hidup pasien
dan mengakibatkan beban finansial yang sangat besar. Terapi medis yang tersedia saat ini
mampu mengurangi gejala angina, walaupun demikian management terapi angina masih
belum optimal. Hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan pandangan antara dokter
dan pasien terhadap gejala angina sehingga mengakibatkan penilaian yang kurang tepat
terhadap dampak angina terhadap kualitas hidup pasien, sehingga dokter tidak
memberikan terapi yang lebih intensif. Faktor lain yang berkontribusi pada kurang
optimalnya terapi angina adalah ketidakpatuhan pasien terhadap pengobatan mereka.
Sekitar 50% pasien dengan penyakit kardiovaskular dan / atau faktor risiko utamanya
memiliki kepatuhan yang rendah terhadap obat yang diresepkan untuk mereka. Walaupun
ketidakpatuhan adalah fenomena yang sering terjadi untuk penyakit yang tidak
memberikan gejala seperti hipertensi, namun hal ini terjadi juga pada kondisi yang
menimbulkan gejala seperti angina. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah
fenomena kompleks yang terkait dengan beberapa faktor. Salah satu diantaranya adalah
kepatuhan berbanding terbalik dengan jumlah tablet yang harus dikonsumsi setiap hari.
Hal menunjukkan bahwa memberikan rejimen obat yang lebih sederhana akan
meningkatkan kepatuhan dan pada akhirnya meningkatkan manfaat klinis bagi pasien.

Servier, sebagai perusahaan farmasi terkemuka di bidang kardiovaskular, mengembangkan


formulasi baru Trimetazidine 80 mg yang memungkinkan rejimen dosis sekali sehari dengan
tujuan menyederhanakan pengobatan dan dengan demikian memberikan kesempatan
untuk meningkatkan kepatuhan pasien.

II. Tujuan Kegiatan

- Membentuk pemahaman dokter yang lebih komprehensif terhadap manajemen


terapi angina yang optimal dan rasional
- Mengupas lebih lanjut dari pendekatan metabolik untuk terapi antiangina
- Berbagi pengalaman dalam klinis sehari-hari dengan diskusi interaktif.

III. Materi RTM


Topik : “Advance Angina Management: Once-Daily Metabolic Approach to Complement
Hemodynamic Therapy”

Beberapa Points yang akan disampaikan dalam RTM ini adalah :

• Prevalensi Angina dan Iskemia secara umum beserta gejala dan


komplikasi sosioekonomik akibat penyakit tersebut

• Penyebab dari angina dan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian angina

• Pendekatan secara metabolic sebagai komplementer yang tepat untuk


manajemen angina selain obat-obat yang bersifat hemodinamik

• Hasil dari studi pada obat (trimetazidine) yang bekerja secara metabolic
untuk menurunkan gejala angina dan memperbaiki kualitas hidup pasien

IV. Waktu Pelaksanaan

Oktober 2021 – Maret 2022 : 20-25 peserta per RTM di seluruh Indonesia, dan total
Sekitar 3000 Dokter sampai akhir kegiatan.

V. Pembicara dan CV Terlampir

Pembicara : Spesialis Penyakit Jantung, Spesialist Penyakit Dalam dari RS Pendidikan,


RSUD, atau RS Swasta di seluruh Indonesia

CV Terlampir

1. Berikut ini adalah pernyataan yang benar mengenai Angina Pektoris, kecuali ……

a. Angina Pektoris memiliki biomarker yang unik.

b. Manifestasi yang paling sering terjadi dari penyakit jantung iskemia

c. Terjadi pada 1,6% dari populasi dunia dan berkontribusi terhadap kualitas hidup yang
buruk

d. Memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya kejadian kardiovaskular di masa yang
akan datang

2. Berapa kali lipat peningkatan resiko depresi pada pasien yang menderita angina pektoris?

a. 3 kali lipat

b. 4 kali lipat.
c. 5 kali lipat

d. 6 kali lipat

3. Mekanisme terjadinya Myocardial Ischemia disebabkan seperti di bawah ini, kecuali …….

a. Peripheral Artery Disease.

b. Vasospasm

c. Atherosklerosis

d. Disfungsi mikrovaskular

4. INOCA merupakan singkatan dari ……

a. Ischemia with Non-Obstructive Cerebral Artery

b. Ischemia with Non-Obstructive Coronary Artery.

c. Infarc with Non-Obstructive Cerebral Artery

d. Infarc with Non-Obstructive Coronary Artery

5. Urutan patofisiologis dari ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen yang


mengakibatkan angina adalah sebagai berikut ……

a. Perubahan EKG Iskemia – Hipoksia dan abnormalitas metabolic – Ketidakcukupan


perfusi miokard – Kontraktilitas jantung terganggu – angina

b. Ketidakcukupan perfusi miokard – Perubahan EKG Iskemia – Hipoksia dan abnormalitas


metabolic – Kontraktilitas jantung terganggu – angina

c. Ketidakcukupan perfusi miokard – Hipoksia dan abnormalitas metabolic – kontraktilitas


jantung terganggu – Perubahan EKG Iskemia – angina.

d. Hipoksia dan abnormalitas metabolic – Ketidakcukupan perfusi miokard – Perubahan


EKG Iskemia – Kontraktilitas jantung terganggu – angina

6. Yang merupakan obat antianginal yang bekerja secara metabolic di bawah ini adalah

a. Trimetazidine.

b. Beta Blocker

c. CCB
d. Ivabradine

7. Pada bagian mana dari pembentukan energi pada sel otot jantung, kerja dari Trimetazidine?

a. Beta oksidasi pada jalur glukosa

b. Alfa oksidasi pada jalur asam lemak

c. Beta oksidasi pada jalur asam lemak.

d. Beta oksidasi pada jalur asam laktat

8. Berapa persen Trimetazidine 80 mg OD dapat mengurangi angka kejadian serangan angina pada
studi ODA setelah 3 bulan?

a. 84%

b. 81%.

c. 56%

d. 52%

9. Pada akhir studi ODA, berapa persen pasien yang menyatakan mengalami
peningkatan kemampuan aktivitas fisik setelah mendapatkan Trimetazidine 80 mg OD

a. 84%

b. 92%.

c. 81%

d. 68%

10. Untuk pasien yang baru terdiagnosa angina kurang dari 1 tahun, berapa persen pasien yang
tidak lagi mengalami gejala angina sesudah 3 bulan?

a. 84%

b. 70%.

c. 64%

d. 71%
Efektivitas dan Tolerabilitas dari Single-Pill
Combination Bisoprolol dan Perindopril pada
Pasien dengan Hipertensi Arterial dan Penyakit
Arteri Koroner Stabil dalam Praktik Klinis
Sehari-hari: Studi STYLE
Sergey A. Bytsov, Yuri P, Burtsev, Yunona V, Khomitskaya,
Yuri A, Karpov, perwakilan dari peneliti studi STYLE

Diterima: 25 Maret 2021/ Diterima: 19 April 2021/ Dipublikasikan online 15 mei 2021
© Penulis 2021

ABSTRAK
Pendahuluan: Terapi kombinasi antihipertensi dibutuhkan oleh sebagian besar pasien untuk mencapai sasaran panduan rekomendasi
tekanan darah (TD). Studi ini menilai efektivitas dan tolerabilitas dari bisoprolol/perindopril (Bis/Per) single-pill combination (SPC) pada
pasien Rusia denga-n hipertensi dan penyakit arteri koroner (CAD) yang diterapi dalam praktik klinik rutin.
Metode: STYLE (NCT03730116) merupakan studi prospektif observasional open-label, tidak terkontrol yang dilakukan pada pasien yang
telah mendapatkan SPC Bis/Per, diganti menjadi SPC dari monoterapi Bis atau Per, atau diganti dari kombinasi bebas Bis dan Per. Kriteria
primary endpoin-t dinilai pada bulan ke 1 dan 3 dan meliputi perubahan rerata tekanan darah sistolik/diastolik (TDS/TDD), proporsi
pencapaian target TD (<140/90 mmHg), dan pengukuran efektivitas antiangina.
Hasil: Analisis lengkap meliputi 1892 subyek. Rerata usia 61,9 + 8,8 tahun, 53,2% wanita, dan rerata durasi hipertensi dan CAD 12,5 + 7,9
dan 7,2 + 6,4 tahun, berturutan. Rerata TDS/TDD menurun 22,3/11,0 mmHg dan 31,5/15,9 mmHg pada bulan ke 1 dan 3, berturutan (P
<0,0001 vs awal). Target TD tercapai pada 49,2% dan 86,7% pasien pada bulan ke 1 dan 3, berturutan. Penurunan rerata jumlah serangan
angina dan konsumsi nitrat- dan perbaikan laju jantung secara statistik bermakna. Pengobatan ditoleransi dengan baik.
Kesimpulan: Terapi pasien dengan hipertensi dan CAD dengan Bis/Per SPC selama 3 bulan berhubungan dengan penurunan bermakna
TDS/TDD dan proporsi yang tinggi pasien mencapai sasaran terapi TD. Hal ini bersamaan dengan perbaikan gejala angina. Terapi
ditoleransi baik pada popula-si pasien yang luas yang mewakili mereka yang dilihat pada praktik klinis setiap hari.

Kata kunci: Angina; Hipertensi arterial; Bisoprolol; Tekanan darah; Penyakit arteri koroner; Laju jantung; Perindopril; Single-pill
combination (SPC).

________________________________________
Peneliti studi STYLE terdapat dalam daftar nama di bagian Penghargaan.
________________________________________
S.A. Boytsov . Y.A. Karpov ()
Department of Angiology, National Medical
Research Center of Cardiology of the Ministry of
Health of Russia, Moscow, Russia
e-mail: yuri_karpov@inbox.ru

Y.P. Burtsev . Y.V. Khomitskaya


Department of Medical Affairs, Servier Russia,
Moscow, Russia

Poin-poin Ringkasan Kunci


________________________________________
Mengapa melakukan studi ini?
________________________________________
Suatu terapi optimal untuk pasien dengan hipertensi dan penyakit arteri koroner (CAD) adalah menurunkan tekanan darah, mengatasi
gejala angina, dan memperbaiki outcome kardiovaskular dalam suatu pil tunggal
________________________________________
Beta-blocker dan angiotensin-converting enzyme inhibitor menunjukan kerja yang saling melengkapi, menurunkan curah jantung dan
memicu vasodilatasi. Studi ini menilai efektivitas dan tolerabilitas dari single-pill combination (SPC) bisoprolol/perindopril pada pasien
dengan hipertensi dan CAD yang diterapi dalam praktik klinis rutin
________________________________________
Apakah outcome studi/ simpulan?
________________________________________
Mengganti atau mempertahankan SPC bisoprolol/perindopril memberikan penurunan tekanan darah yang cepat dan bermakna secara
statistik dengan 87% pasien mencapai target tekanan darah pada 3 bulan.
________________________________________
Hal ini disertai perbaikan gejala angina dan penurunan penggunaan nitrat kerja-singkat
________________________________________
Terapi ditoleransi dengan baik pada populasi pasien yang luas yang mewakili yang ditemui sehari-hari dalam praktik klinik

GAMBARAN DIGITAL
Artikel ini dipublikasi dengan gambaran digital, meliputi slide ringkasan, untuk memfasilitasi pemahaman artikel ini. Untuk melihat
gambaran digital untuk artikel ini silakan menuju ke http://doi/org/10.6084/m9.figshare.14433932.

PENDAHULUAN
Hipertensi dan hypertension-mediated organ damage (HMOD) berkontribusi pada disabilitas dan mortalitas
global.1,2 Perubahan struktur dan/atau fungsi pada orga-n mayor yang dipicu oleh hipertensi berhubungan dengan
peningkatan risiko beberapa kondisi seperti aritmi-a, penyakit arteri koroner (CAD), infark miokard, dan gagal
jantung kongesti.
Beban hipertensi di Rusia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, 3 dan secara signifikan berhubungan
terhadap biaya ekonomi.4 Dalam hal partisipasi Rusia dalam inisiatif May Measurement Month (MMM) global
tahun 2017, 5660 individu diskrining dan 2709 (47,9%) di-temukan memiliki hipertensi. 5 Hal ini serupa dengan
da-t-a dari studi epidemiologi Rusia lainnya, ESSE-RF, dimana prevalensi hipertensi adalah 44,2%.6 Di antara pasien
yang belum pernah diterapi, prevalensi hipertensi 20,3%, dan diantara yang telah mendapatkan pengobatan
antihipertensi, 55,9% memiliki tekanan darah tidak terkontrol. Perbandingan hasil Rusia dengan data MMM 2017
seluruh dunia menunjukkan bahwa peserta Rusia memiliki proporsi hipertensi yang lebih tinggi, laju peresepan
antihip-ertensi yang berimbang, dan kontrol hipertensi yang lebih buruk. 5 Untuk memperbaiki kontrol hipertensi
dan outcome kardiovaskular, maka strategi difokuskan pada- tingkat faktor risiko yang dapat dimodifikasi dalam
populasi dan meyakinkan pasien untuk lebih patuh pada perubahan gaya hidup dan terapi yang diresepkan.
Panduan terbaru dari European Society of Cardiology (ESC)/ European Society of Hypertension (ESH) dan Rusia
untuk tata laksana hipertensi arteri mempertimbangkan setiap orang dengan tekanan darah lebih dari 140/90
mmHg sebagai kandidat penerima terapi, dengan target 130/80 mmHg atau lebih rendah pada sebagian besar
pasie-n.7,8 Untuk mencapai target ini, suatu single-pill com--bination dari dua agen antihipertensi direkomendasikan
sebagai lini-pertama pada semua pasien kecuali risiko--rendah grade I dan usia lanjut yang rapuh.7
Pasien dengan HMOD memiliki risiko sangat tinggi untu-k kejadian kardiovaskular, dan perlu banyak
per-juanga-n untuk mencapai kontrol optimal. Data dari studi EUROASPIRE IV yang dilaksanakan di 24 negara di
Eropa menunjukkan bahwa enam dari sepuluh pasien dengan CAD tidak mencapai target tekanan darahnya. 9
Dengan mengombinasikan agen antihipertensi dengan cara kerja yang berbeda, dokter dapat memperbaiki
kemungkinan target tekanan darah untuk dapat dicapai dan memberikan individu dengan proteksi terbaik
terhadap HMOD atau membatasi progesivitasnya.
Terapi optimal pasien dengan hipertensi dan CAD denga-n mengkombinasikan beta-blocker yang menargetkan
hipertensi yang disebabkan oleh sistem saraf simpatis dengan angiotensis-converting enzyme (ACE) inhibitor yang
menargetkan hipertensi yang disebabkan oleh sistem renin-angiotensin-aldosterone. Hal ini memberikan blokade
neuroendokrin komprehensif, menurunkan cu-rah- jantung pada saat bersamaan menimbulkan vasodilatasi,
sehingga mengatasi gejala angina sekaligus menurunkan tekanan darah. Data pada keuntungan kardiovaskular dari
kombinasi telah didapatkan pada EUROPA trial, dimana diacak dari 12.000 pasien dengan CAD stabil terhadap
perindopril atau plasebo (62% dari mereka telah mendapatkan beta-blocker).10 Penambahan perindopril pada
beta-blocker berhubungan dengan penurunan 24% risiko relatif kombinasi primary endpoint (kematian
kardiovaskular, infark miokardium non-fatal, dan henti jantung yang diresusitasi) dibandingkan dengan kelompok
beta-blocker/plasebo.11 Hal serupa ditemukan dalam suatu retrospective pooled analysis dari pasien dalam tiga-
perindopril outcome trial besar (EUROPA, ADVANCE, dan PROGRESS) yang mendapatkan perindopril atau plaseb-o
dan telah dalam terapi beta-blocker.12 Hipertensi dan CAD diterapi sebagian besar sebagai pasien rawat jalan.
Bisoprolol merupakan beta-blocker yang paling banya-k digunakan pada pasien dengan angina stabil dan
hipertensi di Rusia (sampai 48,9%) [13], dan perindopril merupakan ACE inhibitor yang paling banyak digunakan
pasien Rusia dengan hipertensi.14
Studi observasional STYLE dilakukan untuk mendapatkan data real-world mengenai keuntungan anti-hipertensi
dan anti-angina dengan penggunaan single pill combinati-on (SPC) bisoprolol dan perindopril pada pasien denga-n
hipertensi dan CAD stabil yang diterapi dalam praktik klinik sehari-hari.

METODE
STYLE merupakan studi multisenter, open-label, prospektif, observasional, tidak terkontrol yang dilakukan
antara November 2018 sampai Oktober 2019 di praktik klinik Rusia. Dokter umum dan kardiologis dengan praktik
rawat jalan menginklusi pasien dewasa dengan hipertensi arterial dan penyerta CAD stabil (didefinisikan sebagai
angina stabil kelas I-III berdasarkan klasifikasi Canadian Cardiovascular Society [CCS]). Keputusan peresepan SPC
bisoprolol dan perindopril berdasarkan ringkasan karakteristik produk (SmPC) telah dibuat sebelum perekrutan
dalam program.
Kriteria eksklusi adalah angina stabil kelas IV atau angin-a tidak stabil dalam 6 bulan terakhir, riwayat infark
miokardium atau kejadian serebrovaskular dalam 3 bulan terakhir, gagal jantung kelas III sampai IV menurut New
York Heart Association (NYHA), diabetes melitus tipe 1 atau diabetes melitus tipe 2 dekompensata, atau penya-kit-
penyerta dekompensata lainnya yang membutuhkan terapi medis regular, tidak mampu mengerti jalannya
progra-m dan mengikuti rekomendasi, berpartisipasi dalam studi lain dalam 30 hari sejak dimulainya program
observasi, dan adanya kontraindikasi terhadap ACE inhibitor dan/atau beta-blocker.
Studi dilakukan sejalan dengan prinsip praktik klinis yang baik dan etik yang didapat dari Deklarasi Helsinki.
Persetujuan komite etik institusi didapatkan sebelum melakukan studi dan semua pasien memberikan informed
consent tertulis.
Subyek diminta melakukan tiga kunjungan ke tempat studi: kunjungan inklusi (V1), kunjungan follow-up 1
-bulan (V2), dan kunjungan follow-up 3-bulan (V3). Pada V1 peneliti mengumpulkan data demografik pasien
termasuk informasi faktor risiko, riwayat kejadian kardiovaskular, tekanan darah, laju jantung (HR) istirahat, kelas
fungsion-al angina dan jumlah serangan angina, adanya gejala gagal jantung dan kelas fungsional NYHA gagal
jantun-g, dan terapi kardiovaskular saat ini. Data tekanan darah sistolik dan diastolik (TDS dan TDD), dan HR
dikumpulkan pada ketiga kunjungan. Tekanan darah di-ukur pada lengan kanan setelah 5 menit istirahat dengan
posisi pasien duduk menggunakan metofe Korotkoff. Tiga kali pengukuran dilakukan dengan interval 1-2 menit,
setelah 5 menit istirahat. Nilai TDS, TDD, dan HR dicatat dalam rerata dari dua pengukuran terakhir. Bila terdapat
perbedaan 15 mmHg atau lebih antara dua pengkuruan TDS berturutan, maka ulangi pengukuran. Selama studi,
peneliti mengumpulkan data subyektif pasien mengenai kepatuhan berobat dan tolerabilitas. Sebagai tambahan,
pasien memiliki catatan dimana mereka melaporkan jumla-h serangan angina, konsumsi nitrat kerja-singkat, dan
kejadian tidak diinginkan. Kualitas hidup dinilai pada setiap kunjungan pasien, menggunakan 100-mm visual analog
scale (VAS) dimana 0 merupakan kualitas hidup terburuk dan 100 merupakan kualitas hidup yang berhubungan
dengan kesehatan terbaik.
Pada inklusi kunjungan pasien dengan bisoprolol dan perindopril SPC, atau dengan kombinasi bebas bisoprolol
dan perindopril, atau dengan monoterapi bisoprolol dan perindopril dan sebelum inklusi ke dalam studi memiliki
keinginan mengganti dengan SPC. Pasien mendapatkan bisoprolol/perindropril dengan dosis salah satu dari lima
dosis berikut: 2,5/2,5 mg, 2,5/5,0 mg, 5,0/5,0 mg, 5,0/10,0 mg, atau 10,0/10,0 mg.

Tabel 2. Jumlah pasien yang mendapatkan dosis single pill combination bisoprolol/perindopril
pada setiap kunjungan studi

Primary study endpoint meliputi pengukuran efektivitas antihipertensi dan antiangina termasuk perubahan
rerata TDS dan TDD office, proporsi pasien yang mencapai target tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg
(proporsi pasien yang mencapai target TD kurang dari 130/80 mmHg ditambahkan setelah publikasi panduan
ESC/ESH untuk terapi hipertensi arterial tahun 2018,7 perubahan jumlah serangan angina per minggu, dan
perubahan konsum-si nitrat kerja-singkat. HR dan hubungan antara perubahan HR dan jumlah serangan angina dan
konsumsi nitrat kerja-singkat juga dinilai. Secondary endpoint ter-masu-k efek terapi terhadap kualitas hidup dan
penilaian kepatuhan berobat. Kepatuhan dinilai dengan mengguna-kan kuesioner tidak-tervalidasi dalam bahasa
Rusia terdiri dari enam pertanyaan dinama jawaban “tidak” pada seluruh pertanyaan menandakan kepatuhan yang
baik, “ya” pada satu atau dua pertanyaan menandakan kepatuhan minor, dan “ya” pada tiga atau lebih pertanyaan
menandakan ketidakpatuhan.15 Penilaian subyektif tentang efektivitas dan tolerabilitas juga dilakukan oleh dokter
dan pasien pada V3. Kejadian tidak diinginkan dinilai pada- setiap kunjungan dan dicatat dalam catatan pasien.

Analisis Statistik
Data dianalisis menggunakan software statistik R.16 Seluruh parameter studi ditampilkan menggunakan statistik
deskriptif meliputi rata-rata, standar deviasi, interval kepercayaan 95%, atau angka absolut dan frekuensi relatif
dari kejadian untuk setiap kemungkinan variable kualitatif atau kategori. Analisis dilakukan menggunakan full
analysis set (FAS). Perubahan dari dosis rerata mingguan nitrat kerja-singkat dievaluasi hanya pada pasien yang
memilikinya. Nilai sebelum dan setelah terapi dengan distribusi normal dibandingkan menggunakan Student’s t
test untuk observasi berpasangan; Wilcoxon non-parametric test digunakan untuk yang tidak termasuk dalam
distribusi normal. Nilai P<0,05 menandakan bermakna secara statist-ik. Kejadian tidak diinginkan dinilai pada
seluruh pasien yang mendapatkan dosis obat studi.

Gambar 1. Perubahan rerata tekanan darah pada kunjungan 2 (1 bulan) dan kunjungan 3 (3 bulan) dibandingkan dengan kunjungan 1
(pertemua-n inklusi). Untuk TDS dan TDD, perubahan bermakna secara statistik untuk kunjungan 2 dibandingkan dengan kunjungan 1 dan
untuk kunjungan 3 dibandingkan dengan kunjungan 1 (semua P <0,0001)

Gambar 2. Proporsi subyek yang mencapai target tekanan darah pada kunjungan 2 (1 bulan) dan kunjungan 3 (3 bulan)

Tabel 3. Perubahan rerata jumlah serangan angina per minggu di antara- kunjungan (N=1892)

Tabel 4. Perubahan rerata dalam konsumsi nitrogliserin mingguan (dosi-s tablet atau aerosol) di antara kunjungan (N=1892)

Tabel 5. Rerata penurunan laju jantung menurut dosis single-pill combinati-on

HASIL
Terdapat total 370 dokter umum dan kardiologis merekrut 1909 pasien berpartisipasi dalam program
observa-si STYLE. Tujuh belas pasien tidak memenuhi kriteri-a inklusi sehingga 1892 pasien dimasukkan dalam FAS
dan 1873 menyelesaikan studi. Alasan penarikan 19 pasien adalah keputusan pasien (n=4), efek samping (n=3), tak
hadir saat kunjungan follow up (n=2), hilang saat follow up (n=1), keputusan dokter (n=1), dan alasan yang tidak
disebutkan (n=8).
Demografi dan karakteristik klinis dasar terlihat pada Tabel 1. Rerata usia 61,9 + 8,8 tahun. Terdapat 874
(46,2%) laki-laki dan 1007 (53,2%) perempuan; tidak ada jenis kelamin pada 11 peserta (0,6%).
Nilai rerata TDS dan TDD pada awal 158,3 + 14,6 mmHg dan 93,1 + 9,2 mmHg, berturutan, dan HR istirahat
adalah 82,5 + 10,1 kali/menit. Mayoritas pasien (85%) memiliki hipertensi grade 2 atau 3 (didefinisikan sebagai
tekanan darah lebih tinggi dari 160/100 dan 180/110 mmHg, berturutan), dan rerata durasi hipertensi 12,5 + 7,9
tahun. Angina CCS kelas I telah didiagnosis pada 23,6% pasien, kelas II pada 61,1%, dan kelas III pada 7,2%. Rerata
durasi CAD adalah 7,2 + 6,4 tahun.

Gambar 4. Perubahan kualitas hidup pada pertemuan 2 (1 bulan) dan pertemuan 3 (3 bulan) dibandingkan dengan pertemuan 1 (pertemuan
inklusi). VAS visual analog scale

Sebagai tambahan hipertensi, 75,6% memiliki dislipidemia, 15,8% memiliki diabetes tipe 2, 26,6% perokok,
66,0% tidak melakukan latihan fisik reguler, dan 38,9% memiliki riwayat keluarga penyakit kardiovaskular.
Prevalensi penyakit penyerta kardiovaskular: 84,2% memili-ki hipertrofi ventrikel kiri, 76,0% memiliki gagal jantung
kongestif NYHA kelas I-II, 26,2% memiliki riwayat infark miokardium, 19,7% memiliki riwayat revaskularisasi
koroner, dan 7,3% memiliki riwayat stroke atau transient ischemic attack.
Pada pertemuan awal, 89% pasien (n=1684) sudah dala-m terapi SPC bisoprolol dan perindopril, 1,7% (n=33)
dengan kombinasi bebas bisoprolol dan perindopril lalu dilanjutkan dengan peresepan SPC, 7% (n=132) dalam
monoterapi bisoprolol lalu dilanjutkan dengan peresepan SPC, dan 0,9% (n=17) dalam monoterapi perindopril dan
dilanjutkan dengan peresepan SPC. Untuk 26 pasien (1,4%) jenis terapi perindopril dan bisoprolol tidak
dijelas-ka-n. Seluruh keputusan perubahan dari kombinasi bebas atau monoterapi menjadi SPC bisoprolol dan
perindopril diambil secara mandiri dan sebelum inklusi studi. Dosis peresepan SPC tersering adalah 5,0/10,0 mg
(33,5%), diikuti 5,0/5,0 mg (26,3%), dan 10,0/10,0 mg (16,1%). Proporsi pasien yang mendapatkan dosis ini
meningkat sedikit pada V2 (38,8%, 28,5%, dan 22,1%, berturutan) dan selanjutnya relatif konstan selama studi
(Tabel 2).
Sebagai tambahan untuk terapi ini, pasien mendapat-kan obat-obat kardiovaskular seperti beta-blocker,
calcium- channel blocker, diuretik, ACE inhibitor dan angioten-sin receptor blockers, dan imidazole receptor
agonis-t (Tabel 1). Pasien selain mendapatkan SPC untuk antihipertensi juga diresepkan untuk obat lainnya yang
sudah dikonsumsi sebelumnya. Statin diresepkan pada 76,6%, terapi antitrombotik (78,5%), trimetazidin (34,4%),
ivabradin (3,5%), nitrat kerja-singkat (34,0%), dan nitrat kerja-panjang (12,4%) (Tabel 1). Selama studi, tidak
terdapat perubahan bermakna secara statistik untuk terapi penyerta ataupun dosisnya, kecuali untuk terapi statin
diman-a jumlah pasien yang mendapatkan atorvastatin 20 mg atau 40 mg dan simvastatin 10 mg atau 20 mg
ditingkat-kan.
Di antara kunjungan-kunjungan tidak terdapat perubahan bermakna secara statistik dalam hal dosis terapi
antihipertensi sebelumnya ketika pasien mendapatkan SPC bisoprolol/perindopril.

Parameter Efektivitas Primer


Rerata TDS menurun dari 158,3 + 14,6 mmHg di saat awal menjadi 136 + 11,9 mmHg pada V2 (penurunan 22,3
+ 13,1 mmHg) dan menjadi 126,9 + 8,4 mmHg pada V3 (penurunan 31,5 + 14,2 mmHg) mencapai target yang
ditentukan oleh panduan yang baru (Gambar 1). Penurunan TDS bermakna secara statistik antara awal dan V2
serta awal dan V3 (keduanya P <0,0001), tetapi tidak demikian antara V2 dan V3, menunjukkan bahwa penurunan
TDS kebanyakan terjadi dalam bulan pertama terapi. Serupa dengan TDS, rerata TDD menurun dari 93,1 + 9,2
mmHg saat awal menjadi 82,1 + 7,6 mmHg pada V2 (penurunan 11,0 + 9,1 mmHg) dan menjadi 77,2 + 6,2 mmHg
pada V3 (penurunan 15,9 + 9,5 mmHg) (keduanya P <0,0001) (Gambar 1). Perbedaan antara V2 dan V3 tidak
mencapai statistik yang bermakna.
Proporsi pasien yang mencapai taget tekanan darah (TDS <140 mmHg dan TDD <90 mmHg) pada V2 adalah
49,2% (Gambar 2). Pada V3 terjadi peningkatan menjadi 86,7%. Proporsi pasien yang mencapai target lebih rendah
dari 130/80 mmHg sebesar 20,1% pada V2 dan 31,9% pada- V3 (gambar 2).
Rerata jumlah serangan angina per minggu adalah 3,7 + 8,5 saat awal, 1,3 + 2,2 pada V2, dan 0,5 + 1,2 pada V3.
Penurunan bermakna secara statistik antara awal dan V2 serta antara awal dan V3 (P <0,0001) (Tabel 3). Nilai
rerata- konsumsi short-acting nitrates (tablet/sprays) per minggu menurun dari 4,0 + 4,3 saat awal menjadi 2,1 +
2,4 pada V2, dan 1,0 + 1,5 pada V3, yang mana bermakna secar-a statistik untuk V2 dan V3 dibandingkan dengan
awal (P <0,0001) (Tabel 4).

Parameter Efektivitas Sekunder


Pada awal, rerata HR istirahat adalah 82,5 + 10,1 x/menit Setelah 1 bulan SPC bisoprolol/perindopril, HR
istirahat menurun sebesar 13,5 + 9,0 x/menit menjadi 69 + 7,5 x/menit (P<0,0001), dan setelah 3 bulan menurun
sebesar 17,7 + 9,7 x/menit menjadi 64,9 + 5,5 x/menit (P<0,0001) (Gambar 3). Tidak terdapat hubungan bermakna
antara penurunan HR dengan penurunan jumla-h serangan angina pada periode antara kunjungan 2 dan 1, dan
kunjungan 3 dan 1. Korelasi positif yang lemah tetapi bermakna secara statistik ditemukan antara penurunan HR
dengan jumlah serangan angina antara V2 dan V3 (koefisien korelasi 0,047, P <0,0001). Penurunan HR selama studi
juga berhubungan dengan sedikit penurunan konsumsi nitrat di kohort pada pasien dengan hipertensi dan CAD
stabil. Koefisien korelasinya 0,039 (P = 0,004) untuk periode dari kunjungan 1 ke kunjungan 2, 0,0617 (P = 0,002)
untuk periode dari kunjungan 1 ke kunjung-an 3, dan 0,0624 (P <0,0001) untuk periode dari kunjungan 2 ke
kunjungan 3.
Saat awal proporsi pasien dengan HR istirahat kurang dari 60 x/menit seperti yang direkomendasikan oleh
panduan adalah sebesar 1,5%. Namun, peningkatan pasien yang mencapai target HR istirahat terlihat pada V2 dan
V3 (12,6% dan 24,7%, berturutan). Perubahan dosis SPC bisoprolol/perindopril memiliki sedikit efek dalam
penurunan nilai rerata HR (Tabel 5).
Terapi dengan SPC bisoprolol/perindopril secara bermakna memperbaiki kualitas hidup pasien menurut VAS
dengan peningkatan rerata skor dari 47,2 + 17,4 mm saat awal menjadi 67,9 + 14,3 mm saat V2 (P<0,0001) dan
82,4 + 13,3 mm saat V3 (P<0,0001) (Gambar 4).
Pada V2, setengah dari peserta (52,4%) memiliki kepatuhan yang minor, 37,2% pasien memiliki kepatuhan yang
baik, dan 10,1% peserta tidak mengikuti rekomendasi dokternya (tidak patuh). Pada V3, proporsi pasien dengan
kepatuhan yang baik meningkat menjadi 57,1%, sedangkan proporsi peserta yang tidak patuh menurun bermakna
menjadi 2,8%. Proporsi pasien dengan kepatuhan minor menurun menjadi 39,4%. Penilaian subyek-tif efektivitas
dan tolerabilitas juga dilakukan oleh dokter dan pasien pada V3. Dokter melaporkan efektivitas terapi “sempurna”
pada 65% pasien dan “baik” pada 32%. Sebagai perbandingan, penilaian pasien untuk efektivitas terapi
“sempurna” pada 54,5% dan “baik” pada 41,4%. Dokter menilai tolerabilitas sebagai “sempurna” pada 68.2%
pasien dan “baik” pada 29,4%. Dilaporkan proporsi tolerabilitas pasien adalah “sempurna” atau “baik” berturutan
sebesar 58,0% dan 38,5%.
Keamanan
Profil efek samping yang dilaporkan sesuai dengan profil keamanan yang telah diketahui dari masing-masing
komponen obat dan karakteristik pasien yang diinklusi. Tidak ditemukan masalah keamanan baru. Selama studi,
dokter mencatat sembilan kejadian tidak diinginkan pada empat pasien (0,2%). Pada tiga pasien reaksi efek
samping obat menyebabkan SPC bisoprolol/perindopril tidak dilanjutkan. Dua pasien mendapatkan SPC dengan
dosis 5 mg/5 mg mengalami hipotensi arterial dengan pusing dan bradikardia, satu dari mereka juga mengalami
episode sinkop. Kejadian ini dipertimbangkan sebagai yang biasanya berhubungan dengan studi obat dan pada
satu pasien diakibatkan oleh konsumsi SPC secara berkala dan tidak rutin tiap hari, dimana tidak sesuai dengan
instruksi penggunaan medis.
Satu pasien mengalami batuk kering dan nyeri tenggorokan selama pengobatan yang juga berhubungan
dengan terapi. Pasien keempat mengalami fraktur kompresi vertebra non-traumatik yang membutuhkan rawat
inap diikuti dengan kematian yang tidak diketahui penyebabnya. Kejadian ini tidak berhubungan dengan studi
obat.

DISKUSI
Hasil dari studi observasional STYLE memberikan data penting pada karakteristik pasien dengan hipertensi dan
CAD stabil yang diterapi dalam rawat jalan di Rusia. Analisis dari karakteristik dasar populasi ini menunjukkan
prevalensi yang tinggi dari faktor risiko penyakit kardiovaskular dan multipel HMOD. Meskipun begini, rerata
tekan-an darah saat awal 158/93 mmHg dan rerata HR istiraha-t 82,5 + 10,1 x/menit, diatas target yang
direkomendasikan.17 Setelah mengganti atau menambahkan SPC bisoprolol/perindopril pada rejimen
antihipertensi pasien, terdapat penurunan rerata tekanan darah sebesar 22/11 mmH pada V2 dan 32/16 mmHg
pada V3. Pada setiap- kunjungan penurunan bermakna secara statistik di-bandingkan dengan awal, tetapi tidak di
antara kunjungan. Hal ini menunjukkan penurunan tekanan darah terjadi sejak dini setelah memulai terapi,
merupakan pertimbangan penting pada populasi dengan risiko kardiovaskular yang tinggi. Pada V3, 86,7% populasi
studi mencapai target tekan-an darah kurang dari 140/90 mmHg, tetapi pada pandua-n terbaru ESC/ESH yang
diterbitkan selama studi, juga diputuskan untuk mengevaluasi proporsi dari pasien yang mencapai target baru
yaitu kurang dari 130/80 mmHg. Proporsi yang mencapai target ini adalah 31,9% pada V3. Analisis ini dilakukan
pada FAS dan tidak mempertimbangkan faktor seperti usia dan toleransi terapi yang dapat mempengaruhi target
tujuan tekanan darah. Dalam studi ini, terapi dapat ditoleransi baik dan tidak menjadi faktor. Dua kemngkinan
alasan untuk pencapaian target tekanan darah yang baru hanya pada sepertiga dari populasi studi adalah (1)
sebagian besar dokter masih mengikuti target tekanan darah terdahulu (kurang dari 140/90 mmHg) pada praktik
klinik rutin; dan (2) proporsi pasien dengan usai lebih tua dari 65 tahun dan memiliki rentang target tekanan darah
yang lebih tinggi.
Selama studi tidak terdapat perubahan bermakna secar-a statistik dalam hal terapi pendamping antihipertensi
atau dosisnya, ataupun jenis obat pendamping lainnya- seperti statin. Oleh karena itu perubahan tekanan dar-ah
yang terlihat kemunginan besar merupakan hasil penam-bahan SPC pada rejimen terapi.
Meskipun HR tidak dimasukkan dalam algoritma risiko kardiovaskular, tetapi masih menjadi prediktor
independen morbiditas kardiovaskular dan kejadian fatal, 18 hanya 14,7% pasien yang mendapatkan beta-blocker
pada awal dan hanya 3,5% yang mendapatkan ivabradine. Data ini sesuai dengan hasil dari studi observasional lain
dan analisi-s registri.19,20 Dalam registri CLARIFY, suatu registri besar, internasional, observasional, longitudinal dari
pasien rawat jalan dengan CAD stabil, hampir setengah dari populasi registri CAD memiliki HR setidaknya 70
x/menit meskipun tiga per empat mendapatkan terapi beta-blocke-r.20 Lebih jauh lagi, HR minimal 70 x/menit
dite-mu-ka-n berhubungan secara independen dengan prevalensi yang lebih tinggi dan beratnya angina, dan lebih
seringnya iskemik miokardium.20
Pada pasien dengan CAD, kontrol HR merupakan langkah pertama dan paling penting untuk mencapai kontrol
gejala dari angina stabil, dan beta-blocker adalah terapi lini--pertama untuk mencapai tujuan ini. Mengikuti
penambahan SPC dengan komponen bisoprolol, penurunan HR yang bermakna secara statistik terlihat baik pada
pertemuan bulan ke-1 dan ke-3 dibandingkan dengan saat awal. Dalam studi potong-lintang, observasi lainnya di
Rusia dengan populasi yang serupa (ATHENA, Achieve-menT of target resting Heart rate on beta-blockers in
patien-ts with stable angiNA and hypertension), pasien dengan durasi median terapi beta-blocker adalah 24,0
bula-n (rentang 2,0-257,0) hanya memiliki HR istirahat yang sedikit lebih tinggi (68,8 x/menit, rentang 48,0-109,7)
vs 64,9 x/menit (rentang 46-100) setelah 3 bulan terapi denga-n SPC bisoprolol/perindopril.13
Di samping itu, dalam studi STYLE, proporsi pasien yang lebih tinggi mencapai HR istirahat 55-60 x/menit yang
direko-mendasikan dalam panduan ESC 2019 untuk diag-nosi-s dan tata laksana sindroma koroner kronik 17 setelah
3 bulan terapi SPC – 24,3% pada STYLE vs 15,5% pada ATHENA.13 Hal ini dapat terjadi karena dosis beta-blocker
yang digunakan sedikit lebih tinggi pada STYLE. Proporsi yang agak rendah dalam pencapaian target HR pada
kedua- studi dapat dijelaskan dengan fakta bahwa beta-blocker yang digunakan dalam dosis rendah dibandingkan
dengan yang digunakan dalam landmark clinical trials.21 Meskipun demikian, hal ini sesuai dengan studi
observasional pan-Eropa dari pasien dengan angina stabil.22 Penjelasan yang mungkin dari tidak tercapainya HR
adalah undertitration dosis beta-blocker karena ketakutan kejadian- tidak diinginkan dan penurunan prioritas HR
sebagai suatu target terapi dari angina stabil. Di samping itu, koefisien korelasi antara penurunan HR dan dosis SPC
bisopro-lol/perindopril adalah negatif dan mendekati 0; oleh karena itu, perubahan dosis SPC
bisoprolol/perindopril memberikan efek yang sedikit pada penurunan nilai rerata HR.
Penambahan SPC bisoprolol/perindopril pada rencana terapi juga menimbulkan penurunan jumlah serangan
angina dan konsumsi nitrat kerja-singkat, dan penurunan ini sekali lagi bermakna secara statistik di antara awal
dan pertemuan terapi individual. Selanjutnya, korelasi yang positif lemah tetapi bermakna secara statistik terlihat
pada penurunan HR dan konsumsi nitrat kerja-singkat. Data ini mengkonfirmasi temuan dari studi ATHENA dimana
pasien mencapai target HR memiliki frekuensi yang lebih rendah secara bermakna dari hanya pemberian
nitro-gliseri-n dibandingkan dengan pasien yang tidak mencapai targe-t (1,5% vs 3,0%, P<0,045).13
Angina memiliki efek simpang pada kualitas hidup karena faktor seperti nyeri, terbatasnya toleransi aktivitas,
dan status kesehatan umum yang buruk.23 Adanya penurunan baik frekuensi atau beratnya gejala angina
diharapkan dapat memperbaiki kualitass hidup selama tidak berhubungan dengan efek simpang lainnya. Dalam
studi ini, terapi dengan SPC bisoprolol/perindopril secara bermakna memperbaiki kualitas hidup pasien
berdasarkan VAS dengan peningkatan skor rerata 20,7 mm antara awal dengan V2, dan peningkatan 35,2 mm
antara awal dan V3; perubahan 10 mm pada 100-mm VAS dipertimbangkan kemak-naan secara klinis.24
Dalam beberapa tahun terakhir penekanan lebih besar ditempatkan pada peresepan yang efektif
terhadap intervensi farmakologi yang akan meningkatkan kepatuhan pasien.7,25 Mengkombinasikan obat dengan
mekanisme kerja yang saling melengkapi dalam pil tunggal merupakan satu solusi yang menawarkan beberapa
keuntungan daripada obat tersendiri yang diminum terpisah. 26 Hal ini termasuk penurunan tekanan darah yang
lebih cepat, kecenderungan lebih banyak yang mencapai target terapi, memperbaiki tolerabilitas dibandingkan
dengan titrasi naik dosis dari obat tunggal, dan menyederhanakan rejimen dosis, dimana semuanya akan
memperbaiki kepatuhan berobat.27-29 Hal ini terlihat pada studi ini denga-n peningkatan kepatuhan selama studi
dimana pada V3, 57,1% memiliki kepatuhan yang baik dan 39,4% dengan- kepatuhan minor; hanya 2,8% tidak
patuh, mung-kin disebabkan juga karena mengkonsumsi obat multipel lainnya. Hanya tiga pasien mengalami
kejadian tidak diinginkan terkait terapi yang menyebabkan penarikan obat studi. Sebagai tambahan, dokter
mengkonfirmasi tolerabilitas single-pill combination “baik” sampai “sempurna” pada 97% pasien, dimana
dikuatkan oleh 96,5% pasien.
Studi ini memiliki keterbatasan studi observasional, dimana meliputi sample bias, data respons tidak lengkap,
dan juga kemungkinan tidak akuratnya kelakuan yang dilapork-an secara mandiri. Sebagai studi observasional
tanpa kelompok kontrol, penyamaran, dan tanpa pengacakan alokasi terapi, studi ini tidak mencoba untuk
mem-bua-t kesimpulan sebab-akibat efek terapi. Sebagai tambahan, durasi terapi 3-bulan, cukup untuk
mengobservasi efek SPC terhadap tekanan darah dan HR, kurang lama untu-k memberikan informasi mengenai
kejadian kardiovaskular dan efek simpang jangka panjang. Walaupun demikian, jumlah populasi sampel cukup
besar dan memilik-i hasil yang berdampak pada terapi pasien dengan hipertensi dan CAD stabil dalam praktik
klinis.

KESIMPULAN
Hasil studi observasional STYLE membantu menambahkan SPC bisoprolol/perindopril pada terapi antihipertensi
standar untuk secara bersamaan menurunkan tekanan darah dan HR pada pasien dengan hipertensi dan CAD stabil
dan memungkinkan lebih banyak pasien mencapai target terapi tekanan darah. Efek menguntungkan dari SPC
terhadap faktor risiko ini bersamaan dengan membaiknya gejala angina dan kualitas hidup. Terapi dapa-t
ditoleransi dengan baik oleh populasi pasien yang mewakili pasien yang ditemukan dalam praktik klinik
sehar-i-hari. Selain itu, data ini menandakan dokter harus memberikan perhatian lebih pada tata laksana HR
istirahat pada pasien dengan angina stabil.

PENGHARGAAN
Penulis berterimakasih pada peserta studi. Peneliti stud-i STYLE: Kagramyan IK, Morukova DF, Hondzaeva PT,
Borodin AS, Zarechneva TA, Mesheryakov DE, Tullaeva OG, Kvasova NA, Serebryakov NV, Beketova AI, Matveeva
HS, Livova SN, Bikeeva LV, Molchanova IV, Korneeva ON, Abu-Aldjadel MM, Papirina MG, Kolchurina AV, Petrakova
TA,
Chistyakova EN, Hartova NV, Kucheruk NS, Rustamova KT, Grigorieva EA, Fillipov VL, Baitova EJ, Gavrikova NV,
Hakieva MV, Zinovieva IE, Mezina LN, Adamyana MM, Profatilova GV, Ustinova EV, Ivanchenko GM, Nurieva AN,
Volodenkova EU, Zagidova FZ, Pahomova NI, Ualichamova AU, Popova MS, Chrulenko SB, Orozalieva GM,
Zhalsareva IS, Hodzaeva AU, Kulieva AZ, Pesenko OP, Kanahina AV, Baharchieva M.S-A, Koshrokova MA,
Chugunova II, Orlov LA, Zarubina MO, Skurtul TV, Fagradyan LM, Sabitova OV, Mihailov GV, Demianova EU, Shilina
EA, Nadtochieva VB, Egorenko EA, Gusova AK, Turovceva EP, Semenova DV, Spiridonov IG (Moscow), Zolotareva
EA, Grosheva OV, Kotova NN, Emelianova EB, Sipilina TA, Sudareva NV (Yaroslavl), Lukovskaia AA, Redkova NN,
Solodchuk EV (Ivanovo), Belyaeva US, Orlyanskaya YV (Kostroma), Kotlyarova MV, Timofeeva IV, Ryabova NI
(Vladimir), Druzinin AS (Murom), Dubinskaya RE (Aleksandrov), Dmitrieva AV (Kovrov), Lutikova ES (Deviatkino),
Pantiukhova VV (Volhov), Mannanova EV (Viborg), Dubrovina IE, Lisic NN (Tosno), Novoshenina AU (Sosnovi Bor),
Shafranskaya RP, Laverichev AU, Averianova EL (Pskov), Mamedova AA (Velikie Luki), Alekseeva ND (Sebej),
Zhukova UV, Andreeva SG, Levshun IV, Tatarskaya RV, Petrova ES (Velikiy Novgorod), Folomova SM, Smirnova OV,
Pavlova EG, Luchko AI, Bolshakova EV, Marzoev SA, Aksenova NM, Trotsuk OV, Michailenko IA, Rindin RA, Borisov
AE, Lenchik TS, Aleksandrova EV, Yakovlev MS, Vasilieva LB, Ziguleva IN, Hmelevskaya IA, Sosnovskaya OS, Ustinova
DA, Liakova NN, Abrosimova AO, Amrosimovna AO, Shipanova IV, Belikova EI, Yablokova AV, Bondarenko IS,
Petrenko UV, Leontieva ML, Pitinova EV, Osinceva YE, Morozova NN, Gurina IP, Semenova EV, Pahomova AL,
Malikh ER (St. Petersburg), Levchenko GI, Kurdoglyan EV, Abdulova GH, Harina ON, Voynova NA (Kaliningrad),
Vedeneeva OI, lialushkina OM (Petrozavodsk), Belyaeva TS (Novodvinsk), Timohina AA , Bestuzheva TV, Agafonova
UA, Shendrik SN, Nikulina IV, Anisimova NV (Archangelsk), Serebryakova AA, Konovalova GV, Sharbatova EA,
Zabelina MV (Vologda), Gonta VA, Grishechkina E, Hader NV, Boykova ES (Murmansk), Naubreyt KS (Severodvinsk),
Gvozdareva OE, Panfilova NL, Kirilchenko EV, Frolenkova AA (Siktivkar), Lemeshko NP, Timofeeva NA, Kazanceva
EV, Seoeva ES (Briansk), Nikiticheva VG, Motileva EA, Sitova TU, Buts TV (Kursk), Ivanchikova EV, Sosnovskih OI,
Petrova NS, Kozmenko AV (Kaluga), Vinogradova KV, Kondratova EG, Gribanova UV, Zarikova SV (Orel), Vlasova OL,
Zhukova NA, Berleva OA, Glazkova IU (Smolensk), Kulchickaya OV, Ivanova OA, Oleshkevich EV, Aleksandrova VN,
Kirichenko VV, Yasirova OA, Klimenieva LA, Matukhina OS, Merkhi AV, Chernish TV, Kolodina MV (Krasnodar),
Kumbieva MB (Baksan), Fomenko OV (Georgievsk), Cherneva OT, Osipova VA (Piatigorsk), Popravko AA (Tuapse),
Selisheva EV, Selivanova/Mazmanova, Chernyshev AV, Topchian GG (Sochi), Zuravleva IV (Izobilniy), Naumova EN,
Kurkchan DS, Trusilkina VN (Stavropol), Bekurina SA (Novorosiysk), Anohina OV (Srednyaya Ahtuba), Kotlova AA
(Volzskiy), Titovskaya NA, Mesheryakova OI, Gordievskaya AD, Shvedov AA, Nepokritova OA, Atamanchuk NM,
Zotova OP, Shinkarenko AN (Volgograd), Burtseva VU (Shahti), Dzurich TA, Bobina OV, Matveeva OV, Mazrukho
MK, Akopian AO, Abuzova EE, Egorov VN, Setegeva TN, Kutsenko TV, Buligina ED, Panchenko NN, Tolstokoneva TP,
Lyashenko AI (Rostobv-naDonu), Ostapenko DE (Bataysk), Pastukhova EA, Varikasha EV, Lukerina OI, Gadomskaya
EN, Krapivina LV (Simhperopol) Bidichenko AA, Nikitina OO, Skarga OV, Ovcharuk YV, Bagirova ND (Sevastopol),
Tishina SA, Abrosimova AA, Mironova TV, Ulitina UU, Evseeva NM, Ksenofontova MA, Monachova AI, Ulianova TM,
Kuzovkova SA, Knyazeva OA, Fedulova TN, Cheremina SL, Fedorova SN, Marinina OA (Nizniy Novgorod), Chaadaeva
MI, Grechishkina OA, Kichigina TM, Adonina TS, Stolipina EA (Penza), Posashkova EI, Stepanova VS, Egorova ME,
Khalimbaeva RN, Petrosyan VA, Zakirova VA, Rahmatullina RN (Kazan), Kusnecova IA, Zakirov AM, Lepihin IA,
Buslaev PA, Kusnecova IA, Zakirov AM, Lepihin IA, Buslaev PA (Izevsk), Galimova GG, Shagiahmetova NN,
Bidzinashvili RI, Tarzimanova US, Murasova RI, Galyamova ER, Petrova EA (Ufa), Bogdanov IA, Potehina UA, Goleva
VS, Merslyakova SA, Kaplun TV, Drondina YS, Novoselova OM (Perm), Petrova EA, Ivanova UA, Borodkin AV,
Ponomarev DS, Beschetnova TA (Tambov), Belova NI, Samarceva YN, Kashicina SP, Malashkina AV, AksenovaNV
(Ryazan), Kuznecova AM, Morozova IV, Gorchalov KS, Senina EA, Zubareva LA (Tula), Orlyachenko TP, Gorelikov YA,
Terechova AV, Bukreeva VS, Ovchinnikova SV (Lipeck), Volkova OO (Cheboksary), Kuzeina SS, Panfilova MV,
Chernova TA, Kulahmetova RG (Nabereznye Chelny), Milnikova OL, Bessergeneva OL, Zikova LV, Nazmieva AZ
(Kirov), Paholkina NA (Angardsk), Baranova TV (Shelehov), Sosnovskaya VS, Paholkina NA, Vasileva EN, Baranova
TV, Ushkina GK, Dubinina UV, Petrova TV (Irkutsk), Mlechkova US (Zheleznogorsk), Shelehova MB, Danisheva LN,
Minina IL, Hamraeva EH, Bosikh AO, Bakhova AA, Vasilieva IV, Belova VA (Krasnoyarsk), Kuzagildina AS, Usupova EI,
Kostyleva EV, Tolkacheva AE, Strunina TI, Oreshuk GV (Chelyabinsk), Maksimchuk OV, Pochkanova IV, Khatlubey SL,
Kozlova NV (Vladivostok), Urkovskaya NG, Leonova EA, Kulikova EA, Verhovceva UO, Simanova MS, Vafanova UV,
Grebneva IU, Gerent GY, Poselova NV, Pestina MV, Zhuravleva EG, Goryachuk NN, Kalmazova IA (Ekaterinburg),
Maneeva ID, Gavrilova NV, Dammer AI, Politova LV, Ivanova SV, Permyakova OV (Tomsk), Sahmaradze TA,
Tarasova VL, Popova IV, Azamatova GR, Dvadnenko AV, Korabelnikova OV, Kovalchuk VA, Degtyarev AV, Kuznecova
EA, Berezhnaya OA (Novosibirsk), Umakhanova DB (Nefteugansk), Glinskih IV, Gunzinov UD (Surgut), Dadik MS,
Abakumova AS (Hanti-Mansiisk), Akhshiyatova NI, Yamova AA, Isaeva BD, Chehoeva DV (Tumen), Berezovskaya LV,
Larionova AP, Tabak AA, Volokonceva AL, Dorovko AV, Gudilin VA, Gaas IA (Omsk), Krestova OS, Evdokimova NA,
Gaan NG, Ivanova IV, Krikunova ZP, Ryazanceva LG, Isakov LK (Kemerovo), Khalturina IG, Filatova TA, Kiseleva EV,
Ivanov SV, Kolyasev IN (Barnaul), Pantukhina OV, Makhanov AV, Chigisova AN (Novokuzneck), Sokhaneva TV
(Prokopievsk).

Pendanaan. Studi ini didanai oleh Servier, Federasi Rusia. Layanan biaya cepat jurnal dibiayai oleh Servier,
Perancis.

Penulisan Medis, Editorial, dan Bantuan Lain. Bantuan editor-ial untuk tulisan ini diberikan oleh Jenny Grice, Le
Prioldy, Perancis. Bantuan ini dibiayai oleh Servier, Perancis.

Penyingkapan. Yuri A. Karpov, Yuri P. Burtsev, Yunona V. Khomitskaya dan Sergey A. Boytsov merupakan
koordinator ilimiah dari studi ini. Yuri A. Karpov menerima honorarium dari Servier sebagai pembicara. Sergey
Boytsov tidak memiliki konflik kepentingan yang berhubungan denga-n isi artikel ini. Yuri P. Burtsev dan Yunona V.
Khomitskaya merupakan karyawan Servier Rusia.

Ketersediaan Data. Dataset didapatkan dan/atau dianalisis untuk studi ini tidak dipublikasikan karena meliputi
rekam medis pasien dari sumber sekunder.

Penulisan. Seluruh nama penulis mengikuti kriteria International Committee of Medical Journal Editors (ICMJE-)
untuk authorship untuk artikel ini, memiliki tanggung jawab untuk integritas kerja keseluruhan, dan telah
memberikan persetujuan versi ini untuk dipublikasikan.

Kontribusi Penulis. Seluruh penulis memiliki akses penuh terhadap data studi ini dan memiliki tanggung jawab
penuh untuk integritas data dan akurasi analisis data.

Kepatuhan dengan Pedoman Etika. Studi dilakukan sesuai dengan good clinical practice dan prinsip etik yang
didapa-t dari edisi revisi Declaration od Helsinki. Persetujuan komisi etik intradisiplin didapatkan sebelum
melakukan studi (protokol # 08-18 tertanggal 05 Oktober 2018). Seluruh pasien memberikan persetujuan tertulis.
Seluruh penulis memberikan persetujuannya untuk artikel ini untuk dipublikasikan.

Akses Terbuka. Artikel ini berlisensi di bawah Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International
License, dimana izin untuk penggunaan non-komersil, membagikan, adaptasi, distribusi dan reproduksi dalam
media atau format apapun, selama memberikan kredit yang tepat kepada penulis original dan sumbernya,
memberikan link kepada izin Creative Commons, dan menandakan bahwa perubahan telah dilakukan. Gambar
atau material pihak ketiga lainnya dalam artikel ini termasuk dalam izin artikel Creative Commons, kecuali jika
dituliskan berbeda dalam bagian kerdit material. Bila material tidak termasuk dalam izin artikel Creative Commons
dan anda ingin menggunakannya tidak diizinkan oleh peraturan statuta atau melebihi penggunaan yang diizinkan,
anda akan membutuhkan izin langsung dari pemilik hak cipta. Untuk melihat salinan dari izin ini, silakan
mengunjungi http://creativecommons.org/licenses/bync/4.0/.

DAFTAR PUSTAKA
1. GBD 2015 Risk Factors Collaborators. Global, regional, and national comparative risk assessment of 79 behavioural, environmental and
occupational, and metabolic risks or clusters of risks, 1990–2015: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2015. Lancet.
2016;388(10053):1659–724.
2. Forouzanfar MH, Liu P, Roth GA, et al. Global burden of hypertension and systolic blood pressure of at least 110 to 115 mm Hg, 1990–2015.
JAMA. 2017;317(2):165–82.
3. Leon DA, Malyutina S, Kudryavtsev AV, et al. Dissecting hypertension in Russia: identifying aetiological and behavioural factors associated
with treatment and control. Eur J Pub Health. 2018. https:// doi.org/10.1093/eurpub/cky212.876
4. Kontsevaya A, Kalinina A, Oganov R. Economic burden of cardiovascular diseases in the Russian Federation. Value Health Reg Issues.
2013;2(2):199–204.
5. Rotar O, Konradi A, Tanicheva A, et al. May measurement month 2017 in Russia: hypertension treatment and control, Europe. Eur Heart J
Suppl. 2019;21(Suppl D):D101–3.
6. Shalnova SA, Drapkina OM. Contribution of the ESSE-RF study to preventi-ve healthcare in Russia. Cardiovasc Therapy Prevent.
2020;19(3):2602.
7. Williams B, Mancia G, Spiering W. 2018 ESC/ESH Guidelines for the management of arterial hypertension. Eur Heart J. 2018;39(33):
3021–3104.
8. Kobalava ZD, Konradi AO, Nedogoda SV, Shlyakhto EV, Arutyunov GP, Baranova EI, et al. Arterial hypertension in adults. Clinical guidelines
2020. Russ J Cardiol. 2020;25(3):3786.
9. Kotseva K, De Bacquer D, De Backer G, et al. Lifestyle and risk factor management in people at high risk of cardiovascular disease. A report
from the European Society of Cardiology European Action on Secondary and Primary Prevention by Intervention to Reduce Events
(EUROASPIRE) IV crosssectional survey in 14 European regions. Eur J Prev Cardiol. 2016; 23(18):2007–18.
10. Fox KM, EURopean trial on reduction of cardiac events with Perindopril in stable coronary Artery disease Investigators. Efficacy of
perindopril in reduction of cardiovascular events among patients with stable coronary artery disease: randomised, double-blind,
placebo-controlled, multicentre trial (the EUROPA study). Lancet. 2003;362(9386): 782–8.
11. Bertrand ME, Ferrari R, Remme WJ, Simoons ML, Fox KM. Perindopril and b-blocker for the prevention of cardiac events and mortality in
stable coronary artery disease patients: a EUropean trial on Reduction Of cardiac events with Perindopril in stable coronary Artery disease
(EUROPA) subanalysis. Am Heart J. 2015;170(6): 1092–8.
12. Brugts JJ, Bertrand M, Remme W, et al. The treatment effect of an ACE-inhibitor based regimen with perindopril in relation to beta-blocker
use in 29,463 patients with vascular disease: a combined analysis of individual data of ADVANCE, EUROPA and PROGRESS trials-. Cardiovasc
Drugs Ther. 2017;31(4):391–400.
13. Kobalava Z, Khomitskaya Y, Kiyakbaev G, ATHENA trial investigators. AchievemenT of target resting HEart rate on beta-blockers in patients
with stable angiNA and hypertension (ATHENA) in routine clinical practice in Russia. Curr Med Res Opin. 2014;30(5):805–11.
14. Leonova MV, Steinberg LL, Belousov YB, et al. Results of pharmacoepidemiologic study of arterial hypertension Pifagor IV: physicians
compliance. Russ J Cardiol. 2015;1(117):59–66.
15. Girerd X, Radauceanu A, Achard JM, et al. Evaluation of patient compliance among hypertensive patients treated by specialists. Arch Mal
Coeur Vaiss. 2001;94(8):839–42 (Article in French).
16. R Core Team. R: a language and environment for statistical computing. 2013. R Foundation for Statistical Computing, Vienna, Austria.
http://www.Rproject.org.
17. Knuuti J, Wijns W, Saraste A, et al. 2019 ESC Guidelines for the diagnos-is and management of chronic coronary syndromes: the Task Force
for the diagnosis and management of chronic coronary syndrom-es of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2020;
41(3):407–7.
18. Julius S, Palatini P, Kjeldsen SE, et al. Usefulness of heart rate to predic-t cardiac events in treated patients with high-risk systemic
hypertensi-on. Am J Cardiol. 2012;109:685–92. 3312 Adv Ther (2021) 38:3299–3313
19. Zugck C, Martinka P, Sto¨ckl G. Ivabradine treatment in a chronic heart failure patient cohort: symptom reduction and improvement in
quality of life in clinical practice. Adv Ther. 2014;31(9): 961–74.
20. Steg PG, Ferrari R, Ford I, et al. Heart rate and use of beta-blockers in stable outpatients with coronary artery disease. PLoS One.
2012;7(5):e36284.
21. von Arnim T, The TIBBS Investigators. Medical treatment to reduce total ischemic burden: total ischemic burden bisoprolol study (TIBBS), a
multicenter trial comparing bisoprolol and nifedipine. J Am Coll Cardiol. 1995;25:231–8.
22. Daly CA, Clemens F, Sendon JL, et al. Inadequate control of heart rate in patients with stable angina: results from the European heart
survey. Postgrad Med J. 2010;86:212–7.
23. Brorsson B, Bernstein SJ, Brook RH, Werko¨ L. Quality of life of patients with chronic stable angina before and four years after coronary
revascularisation compared with a normal population. Heart. 2002;87:140–5.
24. Vautier S. Measuring change with multiple visual analog scales: application to tense arousal. Eur J Psychol Assess. 2011;27(2):111–20.
25. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, et al. 2017 ACC/AHA/AAPA/ ABC/ACPM/AGS/ APhA/ASH/ASPC/NMA/PCNA guideline for the
prevention, detection, evaluation, and management of high blood pressure in adults: executive summary: a report of the American College
of Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice Guidelines. Hypertension. 2018;71(6):1269–324.
26. Thomopoulos C, Katsimagklis G, Archontakis S, Skalis G, Makris T. Optimizing the management of uncontrolled hypertension: what do triple
fixed dose drug combinations add? Curr Vasc Pharmacol. 2017;16:61–5.
27. Parati G, Kjeldsen S, Coca A, Cushman WC, Wang J. Adherence to single-pill versus free-equivalent combination therapy in hypertension.
Hypertension. 2021;77:692–705.
28. Egan BM, Bandyopadhyay D, Shaftman SR, Zhao Y, Yu-Isenberg KS. Initial monotherapy and combination therapy and hypertension contro-l
the first year. Hypertension. 2012;59(6):1124–31.
29. Bahiru E, de Cates AN, Farr MR, et al. Fixed-dose combination therapy- for the prevention of atherosclerotic cardiovascular diseases-.
Cochrane Database Syst Rev. 2017;3:009868.

Diterjemahkan dari:
Effectiveness and Tolerability of the Single-Pill Combination of Bisoprolol and Perindopril in Patients with Arterial Hypertension and Stable
Coronary Artery Disease in Daily Clinical Practice: The STYLE Study
Adv Ther (2021) 38:3299–3313 (https://doi.org/10.1007/s12325-021-01754-2)
Diterjemahkan oleh: dr. Indriani Gumuljo, CV. INTI MEDIKA, 2021

Soal Topik:
Efektivitas dan Tolerabilitas dari Single-Pill Combination Bisoprolol dan Perindopril
pada Pasien dengan Hipertensi Arterial dan Penyakit Arteri Koroner Stabil dalam
Praktik Klinis Sehari-hari: Studi STYLE

1. Berapa jangka waktu dari STYLE Study?


a. 1 bulan
b. 2 bulan
c. 3 bulan.
d. 4 bulan
e. 5 bulan
2. Jumlah subyek yang mengikuti analisis lengkap STYLE Study adalah sebanyak….
a. 1756 pasien
b. 2018 pasien
c. 1909 pasien
d. 1873 pasien
e. 1892 pasien.

3. Kriteria inklusi pasien pada studi ini adalah….


a. Hipertensi arterial dan penyerta CAD stabil
b. CCS kelas I - III
c. Diabetes mellitus tipe I atau II
d. A dan B benar.
e. Semua benar

4. Dosis SPC bisoprolol/perindopril yang paling sering digunakan pada STYLE study adalah….
a. 5/10mg; 26.3%
b. 5/5mg; 33.5%
c. 5/10mg; 33.5%.
d. 5/5mg; 16.1%
e. 10/10mg; 16.1%

5. Primary end-point pada STYLE Study adalah…


a. Perubahan rerata TDS dan TDD serta pencapaian target tekanan darah <140/90 mmHg
b. Kualitas hidup dan kepatuhan terapi
c. Perubahan jumlah serangan angina per minggu dan konsumsi SAN
d. Efektivitas dan tolerabilitas
e. A dan C.
f. B dan D

6. Rerata serangan angina per minggu pada kunjungan awal adalah 3.7 kali dan berkurang pada bulan pertam-a
(V2) menjadi …. kali kemudian secara signifikan berkurang pada bulan ketiga (V3) menjadi …. kali menujukan
bahwa SPC bisoprolol/perindopril menurunkan serangan angina sampai …. % pada bula­n ketiga:
a. 2.2 ; 1.2 ; 86%
b. 1.3 ; 0.5 ; 86%.
c. 2.2 ; 1.2 ; 65%
d. 1.3 ; 0.5 ; 65%

7. SPC bisoprolol/perindopril memberikan penurunan tekanan darah sebesar …… mmHg pada sistolik (SBP)
dalam 1 bulan dan mencapai -31.5 mmHg setelah 3 bulan. Bahkan, ….% pasien mencapai target tekanan
darah yang direkomendasikan <140/90 mmHg
a. -22.3 mmHg; 86.7%.
b. -86 mmHg; 87.6%
c. -32 mmHg; 75%
d. -31.5 mmHg; 86.9%
e. -15.9 mmHg; 86.7%

8. Pernyataan yang sesuai mengenai kepatuhan pasien pada visit ke -3 dari STYLE study adalah…
a. Proporsi pasien dengan kepatuhan yang baik meningkat menjadi 57,1%
b. Proporsi peserta yang tidak patuh menurun bermakna menjadi 2,8%
c. Pasien dengan kepatuhan minor menurun menjad-i 39,4%
d. Sebanyak 52,4% memiliki kepatuhan yang minor
e. A, B, C benar.
f. A, B, D benar
9. Pada STYLE Study, klinis mengkonfirmasi tolerabilitas single-pill combination “baik” sampai “sempurna” pada
97% pasien dan hal ini dikuatkan oleh…
a. 97.5% pasien
b. 96.5% pasien.
c. 95.5% pasien
d. 57.1% pasien
e. 86.7% pasien

10. Berikut ini yang merupakan outcome/hasil dari STYLE study adalah…
a. Perbaikan gejala angina dan penurunan penggunaan nitrat kerja-singkat
b. Mengganti atau mempertahankan SPC bisoprolol/perindopril memberikan penurunan tekanan darah yang
cepat dan bermakna secara statistik dengan 87% pasien mencapai target tekanan darah pada 3 bulan
c. Memungkinkan lebih banyak pasien mencapai targe-t terapi tekanan darah
d. A dan B benar
e. Semua benar.
Efektifitas Trimetazidine pada Pasien
dengan Angina Pectoris Stabil dengan
Durasi yang Bervariasi: Hasil dari ODA
Maria G. Glezer, Vladimir A., Vyogin sebagai wakil dari tim peneliti ODA

Diterima: 24 April 2020


Copyright penulis 2020

Abstrak
Pendahuluan: Trimetazidine (TMZ) merupakan agen anti-angina yang bekerja langsung pada level sel miokard dan sekarang tersedia
dalam sediaa-n sekali sehari.
Metode: ODA, sebuah studi observasi selama 3 bulan yang dilaksanakan di Rusia, mengevaluasi efektifitas dan toleransi penggunaan obat
TMZ 80 mg sekali sehari pada pasien dengan angina stabil dan gejala yang persisten, pada pengaturan kehidupan yang nyata. Analisis ini
mengamati efek penambahan TMZ pada pola pengobatan antiangina sehubungan dengan durasi angina stabil.
Hasil: Sebanyak 3032 pasien yang terlibat, dibagi menjadi 4 kelompok angina pektoris stabil berdasarkan dengan durasi sejak terdiagnosis,
mula-i dari kurang dari 1 tahun sampai lebih dari 10 tahun. Penurunan dalam frekuensi serangan angina diobservasi, termasuk pada
pasien yang durasiny-a kurang dari 1 tahun, dimana frekuensi serangan angina dalam seminggu mengalami penurunan dari 3,8 ± 2,9
sampai 1,4 ± 1,7 dalam satu bulan dan 0,6 ± 1,0 dalam 3 bulan. Konsumsi nitrat jangka pendek dan proporsi pasien yang bebas dari angina
semakin sedikit, dan aktifitas fisik berdasarkan penilaian mandiri dan ketaatan terhadap terapi anti-angina membaik pada semua
kelompok pasien., termasuk pada yang baru- saja terdiagnosis dan baru memulai terapi pada bulan pertama.
Kesimpulan: Penggunaan obat TMZ 80 mg sekali sehari sebagai tambahan terapi anti-angina efektif dalam mengurangi frekuensi serangan
angin-a dan penggunaan nitrat jangka pendek, memperbaiki kelas Canadian Cardiovascular Society (CCS), tingkat aktifitas fisik
berdasarkan penilai-an mandiri dan ketaatan terhadap terapi anti-angina. Efek menguntungkan ini diobservasi pada kelompok pasien
dengan durasi dari angin-a stabil yang berbeda, menunjukan kesempatan dalam mengurangi beban angina bahkan pada pasien yang baru
terdiagnosis.
Registrasi Uji Coba: ISRCTN registry Identifier, ISRCTN97780949.

Kata kunci: sindroma koroner kronik; durasi diagnosis; studi observasi; bukti nyata; angina stabil; Trimetazidine
________________________________________
Digital Features To view digital features for this article
go to https://doi.org/10.6084/m9.figshare.12162033.
________________________________________
Electronic supplementary material The online
version of this article (https://doi.org/10.1007/s40119-
020-00174-7) contains supplementary material, which is
available to authorized users.
________________________________________

M. G. Glezer (&)
Department of Cardiology, Functional and
Ultrasonic Diagnostics, Sechenov First Moscow State
Medical University, Moscow, Russia
e-mail: 287ast@mail.ru

V. A. Vygodin
Laboratory of Biostatistics, National Medical
Research Center for Preventive Medicine of the
Ministry of Healthcare, Moscow, Russia
Poin Ringkasan Utama

Mengapa menjalani studi ini?


Trimetazidine (TMZ) adalah terapi anti-angina yang efikasinya telah terbukti pada berbagai uji klinis dan sekarang tersedia dalam dosis 80
mg sekali sehari.
Pada analisi ini, efek dari terapi tambahan TMZ pada terapi hemodinamik dievaluasi pada kelompok pasien yang memiliki durasi sejak
terdiagnosis angina yang berbeda, dari yang terdiagnosis baru saja sampai yang lebih dari 10 tahun.

Apa yang dipelajari dari studi ini?


Pengenalan TMZ 80 mg sekali sehari pada terapi anti-angina secara efektif memperbaiki kelas Canadian Cardivascular Society, frekuensi
serangan angina dan konsumsi nitrat jangka pendek, aktifitas fisik pasien berdasarkan penilaian mandiri dan ketaatan konsumsi obat
anti-angina pada semua pasien tanpa melihat durasi angina.
Sediaan sekali sehari dari TMZ dapat menyediakan kesempatan untuk memperbaiki gejala angina apapun durasi dari penyakit, termasuk
dari awal diagnosis dan tatalaksana.

Pendahuluan
Penyakit jantung iskemik saat ini masi menjadi penyebab tingginya angka mortalitas pada kedua jenis kelami-n 1,2
dan angka kejadian angina pektoris stabil telah dilaporkan meningkat bersamaan dengan usia pada kedua jenis
kelamin.3 Angina lebih unggul dibandingkan dengan infrak miokard dan gagal jantung sebagai alasan hidup dala-m
disabilitas akibat penyakit jantung iskemik.4 Iskemik, angina, dan ketertbatasan fisik merupakan predikstir kuat dari
kejadian kardiovaskular utama yang merugikan dan kelangsungan hidup yang buruk 5-8 meskipun setelah
Percutaneous Coronary Intervention (PCI).9 Dengan demikian, mengurangi gejala angina dan mening-katk-an
kualitas hidup masih menjadi sasaran penting dalam pengobatan pasien angina 10,11 Perlu dicatat, pedoman terbaru
RSC CCS 201, untuk pertama kalinya, memberikan definisi temporal spesifik pada istilah pasien CCS “baru saja
terdiagnosis”, yaitu pasien yang terdiagnosis dalam periode 1 tahun, berfokus pada pentingnya tinda-k lanjut yang
ketat dan pengurangan angina pada kelompok pasien angina tertentu ini. Dan juga pada dokum-en yang sama,
terdapat bagian spesifik yang didedika-si untuk pasie-n dengan diagnosis sindroma korone-r kronik yang
berlangsung lama dimana para penulis menyoroti pen-ting-nya pengobatan dan pengawasan seumur hidup “.11
Namun, penting dicatat, lebih dari 30% pasien terus mengal-ami gejala meskipun pengobatan anti-angina.12 dan
tingkat angina tetap tinggi bahkan setelah keberhasilan terapi revaskularisasi berhasil dalam perjalanan penyakit
dan merupakan salah satu faktor paling umum yang mempengaruhi rehospitalisasi.13-15 Selain itu, pasien angina
hidup lebih lama saat ini dan sering memilik-i penyakit penyerta,16 yang meningkatkan jumlah konsumsi obat
sehingga berdampak pada kepatuhan. Ini bisa menjadi tampak lebih jelas pada pasien yang telah menderita angina
dalam waktu yang lama.
Pasien dengan angina dapat tetap bergejala meskipun telah mendapatkan pengobatan hemodinamik standar. 17
Menggabungkan obat hemodinamik tidak selalu berarti peningkatan efikasi antiangina, 18,19 karena terlepas dari
kombinasi pengobatan hemodinamik, pasien tetap menunjukkan gejala. 20 Trimetazidine (TMZ) bekerja langsung
pada tingkat sel miokard21 dan penambahannya pada terap-i antiangina menawarkan kesempatan untuk optima-si
pengobatan.
Studi ODA (efektivitas anti-angina dan tolerabilitas trimetazidine 80 mg modified-release sekali sehari pada
pasien angina stabil dalam praktik dunia nyata) menilai efektivitas dan tolerabilitas TMZ 80 mg sekali sehari pada
pasien angina stabil secara praktik klinis nyata di Rusia dan alasan, desain, dan hasil utamanya telah diterbitkan
sebelumnya.22 Dalam analisis studi ODA ini, kami ber-usah-a untuk menilai efek penambahan TMZ 80 terhadap
terapi hemodinamik sehubungan dengan durasi angina yang berfokus pada dampaknya terhadap efektivitas dan
kepatuhan terhadap pengobatan pada pasien yang sesuai dengan definisi “pasien yang baru terdiagnosis” menurut
pedoman ESC CCS, serta pada pasien dengan durasi diagnos-is lebih dari 1 tahun, sesuai dengan kelompok pasien
terdiagnosis yang sudah berlangsung lama sesuai defnisi CCS.

Metode
ODA adalah studi prospektif, multisenter, observasional 3 bulan pada 3066 pasien angina stabil dengan gejala
persisten meskipun telah menjalani terapi, yang dilaks-anakan di Rusia dari Maret 2017 hingga Juni 2017 dalam
situasi klinis dunia nyata. Metode dan temuan utam-a dari penelitian ini telah dipublikasikan sebelumnya.22 Pasien
dirawat sesuai dengan rekomendasi terkini untuk penatalaksanaan penyakit arteri koroner dan inklus-i mereka
secara eksklusif ditentukan oleh keputusan dokter mengenai kebermaknaan medis dan indikasi untuk pengobatan
dengan TMZ 80mg sekali sehari.
Untuk analisis yang disajikan di sini, pasien dengan durasi penyakit yang diketahui (n = 3032) dibagi menjadi
empat kelompok menurut durasi Angina Pektoris (AP): (1) kelompok 1, durasi AP kurang dari 1 tahun; (2) kelompok
2, durasi AP 1-5 tahun; (3) kelompok 3, durasi AP 5-10 tahun; dan (4) kelompok 4, durasi AP lebih dari 10 tahun.
Segmentasi temporal kelompok pasien dengan durasi diagno-sis lebih dari 1 tahun murni empiris, lebih
berhubungan dengan praktik klinis nyata secara lokal, dan bertujuan untuk menyeimbangkan jumlah pasien untuk
analisis di masing-masing kelompok.
Data dikumpulkan pada permulaan, bulan 1, dan bulan 3, antara lain jumlah serangan angina, konsumsi nitrat
jangka pendek (SAN) pada minggu sebelum kunjungan, Canadian Cardiovascular Society (CCS), penilaian mandiri
pasien terhadap aktivitas fisik. dan kepatuhan terhadap pengobatan antiangina. Untuk penilaian diri dari aktivitas
sehari-hari mereka, pasien menilai dampak angina pada aktivitas sehari-hari mereka pada skala 1-10 dan jawaban
dikategorikan ke dalam kategori berikut: tidak ada keterbatasan (0), sedikit terbatas (1-2), cukup terbatas (3–4),
terbatas (5–7), dan sangat terbatas (8–10). Kepatuhan terhadap pengobatan dinilai menggunakan kuesioner enam
item [23], dengan definisi berikut: kepatuhan yang baik pasien menjawab ‘’TIDAK’’ untuk semua pertanyaan;
kepatuhan sedang—pasien menjawab ‘’YA’’ untuk 1-2 pertanyaan; tidak patuh—pasien menjawab ‘’YA’’ untuk tiga
pertanyaan atau lebih.

Kepatuhan dengan Pedoman Etika


Semua prosedur yang dilakukan dalam penelitian yang melibatkan partisipan manusia telah sesuai dengan standa-r
etik dari komite penelitian institusional dan/atau nasional dan dengan Deklarasi Helsinki 1964 dan amandemen
selanjutnya atau standar etik yang sebanding. Persetujuan diperoleh dari semua peserta individu termasuk dalam
penelitian ini. Studi ini telah disetujui oleh Komite Etik Antar Universitas, Moskow.

Analisis Statistik
Analisis statistik deskriptif dilakukan dengan perang-kat lunak SAS, versi 9.1. Pasien menjadi pertimbangan jika-
mereka memiliki data yang valid dari semua kun-junga-n. Semua parameter dianalisis menggunakan metode
statistik deskriptif. Jumlah pasien, nilai rata-rata, standar deviasi, nilai minimum dan maksimum, atau propor-si
berdasarkan kategori ditentukan untuk setiap parameter. Perbedaan jumlah episode serangan angina pektoris dan
kebutuhan untuk menggunakan obat anti-angina dievaluasi dengan uji signed-rank Wilcoxon. p<0,05 dianggap
signifikan. Dinamika parameter yang dianali-sis dari kunjungan ke kunjungan dianalisis menggunakan uji
signed-rank Wilcoxon dan uji t berpasangan Student.

Hasil
Sebanyak 3.032 pasien dibagi menjadi empat kelompok menurut durasi AP sejak diagnosis: (1) kelompok 1, durasi
AP kurang dari 1 tahun (n = 88); (2) kelompok 2, durasi AP 1-5 tahun (n = 1323); (3) kelompok 3, durasi AP 5-10
tahun (n = 854); dan (4) kelompok 4, durasi AP lebih dari 10 tahun (n = 767). Karakteristik demografi dan baseline
disajikan pada Tabel 1. Dengan meningkatnya durasi AP, pasien rata-rata lebih tua, proporsi pasien berusia ≥ 65
tahun meningkat dan proporsi pasien dengan beberapa penyakit penyerta (hipertensi arteri, diabetes) dan
dengan- riwayat infark miokard juga meningkat. Riwayat keluarga penyakit arteri koroner tampaknya tidak
berhubungan dengan durasi AP.
Perawatan antiangina pada awal ditunjukkan pada Tabel 2. Monoterapi sering terjadi pada semua kelompok
pasien, bahkan mereka dengan durasi penyakit yang lama. Proporsi pasien monoterapi dengan obat antiangina
hemodinamik adalah 54,7% pada kelompok 1, 43,4% pada kelompok 2, 37,6% pada kelompok 3, dan 30,4% pada
kelompok 4. Betablocker (BB) adalah obat yang paling sering diresepkan, baik sendiri atau dalam kombinasi. Pada
pasien dengan durasi AP yang lebih lama, frekuensi monoterapi dengan BB secara signifikan lebih rendah
dibandingkan dengan pasien dengan durasi AP yang pende-k (<1 tahun). Proporsi pasien yang menjalani
mono-terapi dengan CCB atau nitrat kerja panjang secara keseluruhan rendah dan tidak berbeda antara kelompok
dengan durasi AP yang berbeda. Kombinasi BB dan CCB diterima oleh satu dari tiga atau empat pasien, tanpa
perbedaan signifikan yang diamati antara kelompok pasien. Proporsi pasien yang diobati dengan kombinasi BB +
ivabradine atau CCB + nitrat kerja panjang rendah dan, dalam banyak kasus, tidak berbeda antara kelompok
dengan durasi penyakit yang berbeda. Frekuensi pemberian kombinasi tiga terapi BB + CCB + nitrat kerja lama
meningkat dengan meningkatnya durasi penyakit dan secara signifikan lebih tinggi pada kelompok 3 dan 4.
Pada awal mula, distribusi pasien menurut kelas CCS tidak berbeda antara pasien dengan durasi penyakit
kurang dari 1 tahun dan mereka dengan durasi AP 1-5 tahun (Tabel 3). Dengan durasi AP yang lebih lama
(kelompok 3 dan 4), diamati peningkatan yang signifikan dalam propor-si pasien dengan CCS kelas III dan
penurunan propor-si pasien dengan CCS Kelas I.
Ketika TMZ 80 mg seali sehari ditambahkan ke pengobatan, pada pasien dengan durasi angina <1 tahun,
proporsi pasien dengan CCS Kelas I meningkat dua kali lipat pada bulan 1 (56,8%) dan hampir tiga kali lipat pada
bulan 3 (80,7%).
Perbaikan serupa diamati pada pasien dengan durasi angina 1-5 tahun dan bahkan lebih jelas pada pasien
denga-n durasi angina lebih dari 5 tahun. Penurunan yang signifikan dalam proporsi pasien dengan CCS Kelas III
dibandingkan dengan permulaan diamati pada semua kelompok pasien.
Pada awalnya, jumlah serangan angina per minggu lebih besar pada pasien dengan durasi angina yang lebih
lama. Penurunan yang signifikan dalam frekuensi seranga-n angina telah diamati pada bulan 1 di semua kelompok
pasien, dengan penurunan lebih lanjut diamati pada bulan 3 (Gambar 1). Pada pasien dengan durasi angin-a <1
tahun, frekuensi serangan angina mingguan menurun hampir tiga kali lipat, mencapai rata-rata 1,4 ± 1,7 dan enam
kali lipat pada bulan ke-3, mencapai rata-rata- 0,6 ± 1,0. Demikian pula, penurunan yang signifikan dalam
short-acting nitrat (SAN) konsumsi diamati mulai dari bula-n 1 di semua kelompok pasien (Gambar 2). Penurunan
frekuensi serangan angina pada pasien dengan- durasi penyakit lebih dari 10 tahun secara signifikan lebih jelas,
tetapi frekuensi serangan angina pada 3 bulan tetap lebih tinggi pada kelompok pasien ini dibandingkan pada
pasien dengan durasi penyakit yang lebih pendek. Perubahan serupa diamati sehubungan dengan konsumsi SAN.
Proporsi pasien bebas angina meningkat secara signifikan dan konsisten di semua kelompok, dimulai pada
bulan 1, dengan proporsi tertinggi pasien bebas angina yang diamati pada kelompok pasien yang baru didiagnosis
(70% pasien pada bulan 3) (Gambar 3).
Saat awal, aktivitas fisik yang dinilai sendiri oleh pasien lebih tidak terbatas pada pasien dengan durasi AP
kurang dari 1 tahun (Gambar 4). Pasien dengan durasi penyakit lebih dari 1 tahun lebih cenderung memiliki
aktivitas fisik yang cukup terbatas, terbatas, atau sangat terbatas . Pada pasien yang diobati dengan TMZ 80 mg
OD, peningkatan aktivitas fisik telah diamati pada 1 bulan terapi, pada semua kelompok pasien, dengan
peningkatan lebih lanjut pada bulan ke-3. Proporsi pasien dengan tidak ada keterbatasan atau sedikit terbatas
aktivitas fisiknya meningkat dan proporsi pasien dengan terbatas atau sangat terbatas telah menurun secara
signifikan setelah 1 bulan terapi.
Saat awal, kepatuhan terhadap terapi antiangina lebih rendah karena durasi penyakit meningkat. Kepatuhan
yang baik terhadap terapi antiangina meningkat secara signifikan pada semua kelompok pasien pada bulan 1 dan
terus meningkat pada bulan 3 (Gambar 5).
Proporsi tertinggi pasien dengan kepatuhan yang baik pada bulan ke 3 (lebih dari 70%) diamati pada pasien
denga-n durasi penyakit kurang dari 1 tahun.

Diskusi
Dalam analisis ini, kami menilai efek pengenalan TMZ 80 mg dosis tunggal pada terapi pasien angina stabil denga-n
berbagai durasi penyakit, yang simtomatik meski-pu-n telah diberikan terapi antiangina, dalam kondisi prakti-k
klinis nyata.
Perbaikan di Kelas CCS diamati di semua kelompok pasie-n, dengan peningkatan yang signifikan dalam proporsi
pasien Kelas I CCS. Serangan angina mingguan dan konsumsi SAN berkurang secara signifikan pada semua
kelomp-ok pasien, terlepas dari durasi penyakit. Hasil ini sudah signifikan tampak pada bulan 1 dan terus membaik
hingga bulan ke-3. Pada awal, tidak ada pasien bebas angina- di semua kelompok. Peningkatan proporsi pasien
bebas angina kemudian diamati pada semua kelompok, terutama pada pasien yang baru didiagnosis (<1 tahun),
dengan setengah dari pasien tidak menunjukkan gejala pada kunjungan 1 dan 70% pada bulan ke-3.
Memasukkan TMZ dalam skema terapeutik juga meningkatkan kapasitas fisik yang dilaporkan secara pribadi
dan kepatuhan terhadap terapi antiangina, yang mungkin berhubungan dengan peningkatan yang diamati dalam
efektivitas pengobatan, pada seluruh kelompok pasien peningkatan yang diamati dalam efektivitas pengobatan,
pada seluruh kelompok pasien.
Pada kelompok pasien yang baru didiagnosis, kami mengamati proporsi tertinggi pasien dengan CCS Kelas I,
yang mencapai 57% pada bulan 1 pada kelompok 1 dan 81% pada bulan 3, dan frekuensi serangan angina dan
konsumsi SAN terendah, meskipun harus tetap di ingat bahwa kelompok pasien ini berada dalam keadaan yang
lebih baik sehubungan dengan parameter ini pada awal, dibandingkan dengan kelompok pasien lainnya. Pasien
dengan durasi angina pendek (<1 tahun) adalah yang palin-g patuh pada awal, yang dapat dikaitkan dengan fakta-
bahwa mereka lebih muda dan memiliki lebih sedikit- penyakit penyerta, dan dengan demikian mungkin
mengonsumsi lebih sedikit pil. Namun, masih ada ruang untuk peningkatan kepatuhan, mencapai 70% pasien
dengan- kepatuhan baik pada bulan ke-3.
Pengenalan TMZ menyebabkan perbaikan nyata pada pasien dengan durasi penyakit yang lama (>10 tahun),
tetapi perbaikan signifikan yang diamati pada pasien yang didiagnosis dalam 1 tahun menyoroti adanya
kesempatan untuk meningkatkan status klinis dengan trimetazidine 80 mg dosis tunggal, awal setelah diagnosis.
Kelompok ini sesuai dengan definisi pedoman Sindrom Koroner Kronis (CCS) 2019 baru dari ‘’ pasien yang baru
didiagnosis ‘’ (<1 tahun sejak diagnosis).11
Menurut pedoman ini, meredakan gejala dengan cepat dan pemeriksaan yang rutin dari hasil perawatan medis
setiap 2-4 minggu direkomendasikan. Angina adalah sindrom multifaktorial11,24 dan pengurangan gejala dengan
lebih dari satu obat antiangina dijelaskan dalam pedoman.11 Seringkali, kombinasi obat hemodinamik tidak cukup
untuk mengontrol gejala angina.18,20 Tidak ada bukti dari uji klinis acak terkontrol tentang keungg-ulan yang disebut
agen antiangina “lini pertama” yang berasal dari perbandingan langsung dengan terapi antiangina. 25
Pedoman CCS yang baru lebih merekomendasikan paradigma pengobatan baru sebagai tatalaksana medis
antiangina, yang harus disesuaikan dengan profil pasien, komorbiditas, toleransi obat, dan interaksi obat potensial,
itulah sebabnya pedoman juga merekomendasikan mencap-ai pengurangan gejala dengan kombinasi awal dari
obat antiangina “lini pertama” dan “lini kedua”
Dalam pendekatan yang disesuaikan dengan pasien, obat-obatan ‘’ lini kedua ‘’ seperti TMZ dapat digunakan
lebih awal bersama obat ‘’ lini pertama ‘’ (beta-blocker, CCB), untuk antiangina yang lebih efisien. TMZ dalam
kombinasi dengan beta-blocker telah terbukti lebih unggu-l daripada beta-blocker saja, dan kombinasi
beta-blocker dengan nitrat kerja lama.26,27 Oleh karena itu, pengenalan TMZ dalam kombinasi dengan beta-blocker
pada pasien yang masih bergejala, dibandingkan pengobata-n dengan beta-blocker saja, memberikan kesempatan
untuk pengurangan gejala yang lebih efisien dan lebih cepat. Dalam penelitian kami, meskipun bergeja-la, banyak
pasien menggunakan monoterapi pada awal mula. Bahkan pada pasien dengan durasi angina lebih dari 5 tahun,
proporsi pasien yang diobati dengan beta-blocker saja adalah 24-30%. Memberikan terapi TMZ sangat bermanfaat
bagi pasien dengan durasi angina <1 tahun (baru saja didiagnosis), di mana lebih dari 50% hanya menggunakan
beta-blocker dalam skema terapi antiangi-na mereka. Tatalaksana yang kurang pada pasien angina simtomatik
dalam praktek klinis bukanlah feno-men-a langka.12,17,28,29 Telah dilaporkan bahwa pengobat-an angina dalam praktik
klinis kurang optimal, dengan 38,5% pasien dengan angina harian atau mingguan hanya diberikan satu obat
antiangina;12 dalam sebuah penelitian besar termasuk lebih dari 12.000 pasien pasca revaskularisasi primer infark
miokard, 68% dari pasien yang melaporkan gejala angina dalam waktu 6 minggu setelah prosedur, tetap diobati
hanya dengan betablocker.29 Karena banyak pasien yang saat didiagnosis sudah menerima obat antiangina
hemodinamik untuk alasan selain angina (betablocker 50,3%, CCB 17%, LAN 5%), 30 pemberian awal TMZ 80 mg
dosis tunggal sebagai terapi mungkin bermanfaat untuk pasien ini, dibanding-kan dengan titrasi atau penambahan
agen hemodinamik lain, yang mungkin berhubungan dengan kompromi tolerab-ilitas karena peningkatan efek
hemodinamik dari agen tersebut, yang mungkin mengganggu kepatuhan 31 atau mungkin meragukan efikasi
anti-angina tambaha-n.18
Menurut pedoman baru, dalam konteks obat anti-angin-a, terapi medis yang optimal dapat didefinisikan
sebag-ai pengobatan yang mengontrol gejala secara memuaskan dengan pengurangan gejala yang efektif,
kepatuhan maksimum, dan efek samping minimal.11 Oleh karena itu TMZ dosis tunggal merupakan bagian penting
dari terapi antiangina, karena secara efektif memperbaiki gejala angina dan menunjukkan profil tolerabilitas yang
baik. Tolerabilitas tidak dinilai dalam analisis ini, tetapi seperti yang dilaporkan dalam analisis utama, hanya ada
0,3% dugaan reaksi obat yang merugikan.22

Keterbatasan
Keterbatasan studi termasuk keterbatasan yang melekat pada desain studi (label terbuka, observasional,
kurangnya plasebo atau kelompok kontrol lainnya) dan durasi tindak lanjut yang singkat. Kami mengakui, bahwa
karena sifat kronis dan dinamis dari Sindrom Koroner Kronis, periode pengamatan setidaknya satu tahun akan
membawa data yang lebih kaya dan akurat. Di sisi lain, perio-de pengamatan yang singkat tidak termasuk
kemungkin-an perubahan keadaan yang terkait dengan perubahan cuaca musiman yang dapat mempengaruhi
presentasi klinis penyakit.
Selain itu, alat yang digunakan untuk menguji kemampuan aktivitas fisik bersifat subjektif, dan sebelumnya
tidak divalidasi, dan oleh karena itu kami tidak dapat mengecualikan kemungkinan potensi bias dari hasil.
Kesimpulan dari analisis pada subkelompok pasien yang baru didiagnosis mungkin terbatas karena jumlah pasien
yang rendah dalam kelompok ini (n = 88) dibandingkan dengan kelompok lain.

Kesimpulan
Memasukkan TMZ 80 mg dosis tunggal sebagai terapi antiangina secara efektif memperbaiki kelas CCS, frekuensi
serangan angina dan konsumsi SAN, aktivitas pasien yang dilaporkan mandiri dan kepatuhan terhadap pengobatan
antiangina pada semua kelompok pasien terlepas dari durasi angina, termasuk pasien dengan angina yang baru
didiagnosis, dalam kondisi praktik klinis yang nyata, sehingga memberikan kesempatan untuk memperbaiki gejala
dan kualitas hidup bagaimanapun durasi penyakit, tetapi yang paling penting, untuk mengobati angina secara
efektif dari awal diagnosis dan pengobatan.

Sambutan
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada para peserta penelitian.
Pendanaan. Sponsor untuk penelitian ini disediakan oleh Servier, Moskow, Federasi Rusia. Bantuan editorial
dan biay-a layanan cepat jurnal didanai oleh Servier, Prancis. Semua penulis memiliki akses penuh ke semua data
dalam penelitian ini dan bertanggung jawab penuh atas integritas data dan akurasi analisis data.
Penulisan Medis dan Bantuan Editorial. Bantuan penulisan dan editorial diberikan oleh Dr. Diana Toli dan Dr.
Parvoleta Petrova (Servier, Prancis).
Penulisan. Semua penulis yang disebutkan memenuhi kriteri-a Komite Internasional Editor Jurnal Medis (ICMJE)
untuk penulisan artikel ini, bertanggung jawab atas integrit-as pekerjaan secara keseluruhan, dan telah
memberik-an persetujuan mereka untuk versi ini untuk diterbitkan.
Daftar Peneliti. Daftar lengkap peneliti studi ODA tersedia dalam materi tambahan.
Penyingkapan. Maria G. Glezer, koordinator ilmiah penelitian ini, menerima honorarium untuk kuliah dari Servier,
Moskow, Federasi Rusia. Vladimir A. Vygodin tidak memiliki apa pun untuk disingkap.
Kepatuhan terhadap Pedoman Etika. Semua prosedur yang dilakukan dalam studi yang melibatkan peserta
manusia telah sesuai dengan standar etika dari komite penelitian institusional dan/atau nasional dan dengan
Deklarasi Helsinki 1964 dan amandemennya kemudian atau standar etika yang sebanding. Persetujuan diperoleh
dari semua peserta individu termasuk dalam penelitian ini. Studi ini telah disetujui oleh Komite Etik Antar
Universitas, Moskow.
Ketersediaan Data. Kumpulan data selama dan/atau yang dianalisis selama studi saat ini tersedia dari penulis
terkait atas permintaan yang wajar.
Akses terbuka. Artikel ini dilisensikan di bawah Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International
License, yang mengizinkan penggunaan non-komersial, berbagi, adaptasi, distribusi, dan reproduksi dalam media
atau format apa pun, selama Anda memberikan kredit yang sesuai kepada penulis asli dan sumbernya, berikan
tautan ke lisensi Creative Commons, dan tunjukkan jika ada perubahan. Gambar atau materi pihak ketiga lainnya
dalam artikel ini termasuk dalam lisensi Creative Commons artikel, kecuali dinyatakan lain dalam batas kredit
untuk materi tersebut. Jika materi tidak termasuk dalam lisensi Creative Commons artikel dan penggunaan yang
Anda maksudkan tidak diizinkan oleh peraturan perunda-ng-undangan atau melebihi penggunaan yang diizink-an,
Anda harus mendapatkan izin langsung dari pemega-ng hak cipta. Untuk melihat salinan lisensi ini, kunjung-i
http://creativecommons.org/licenses/bync/4.0/.
Daftar Pustaka
1. Sanchis-Gomar F, Perez-Quilis C, Leischik R, LuciaEpidemiology of coronary heart disease and acute coronary syndrome. Ann Transl Med.
2016;4(13):256.
2. Timmis A, Townsend N, Gale CP, Torbica A, Lettino M, Petersen SE, et al. European Society of Cardiol- ogy: cardiovascular disease statistics
2019. Eur Heart J. 2020;41(1):12–85.
3. Mozaffarian D, Benjamin EJ, Go AS, Arnett DK, Blaha MJ, Cushman M, et al. Heart disease and stroke statistics–2015 update: a report
from the American Heart Association. Circulation. 2015;131(4): e29–32222.
4. Moran AE, Forouzanfar MH, Roth GA, Mensah GA, Ezzati M, Flaxman A, et al. The global burden of ischemic heart disease in 1990 and
2010: the Global Burden of Disease 2010 study. Circulation. 2014;129(14):1493–501.
5. Spertus JA, Jones P, McDonell M, Fan V, Fihn SD. Health status predicts long-term outcome in out- patients with coronary disease.
Circulation. 2002;106(1):43–9.
6. Mozaffarian D, Bryson CL, Spertus JA, McDonell MB, Fihn SD. Anginal symptoms consistently pre- dict total mortality among outpatients
with coro- nary artery disease. Am Heart J. 2003;146(6): 1015–22.
7. Steg PG, Greenlaw N, Tendera M, Tardif J-C, Ferrari R, Al-Zaibag M, et al. Prevalence of anginal symp- toms and myocardial ischemia and
their effect on clinical outcomes in outpatients with stable coro- nary artery disease: data from the International Observational CLARIFY
Registry. JAMA Intern Med. 2014;174(10):1651–9.
8. Beatty AL, Spertus JA, Whooley MA. Frequency of angina pectoris and secondary events in patients with stable coronary heart disease
(from the Heart and Soul Study). Am J Cardiol. 2014;114(7): 997–1002.
9. Gaglia MA, Torguson R, Lipinski MJ, Gai J, Koifman E, Kiramijyan S, et al. Frequency of angina pectoris after percutaneous coronary
interventio-n and the effect of metallic stent type. Am J Cardiol. 2016;117(4):526–31.
10. Montalescot G, Sechtem U, Achenbach S, Andreotti F, Arden C, Budaj A, et al. 2013 ESC guidelines on the management of stable coronary
artery disease: the task force on the management of stable coro- nary artery disease of the European Society of Car- diology. Eur Heart J.
2013;34(38):2949–3003.
11. Knuuti J, Wijns W, Saraste A, Capodanno D, Bar- bato E, Funck-Brentano C, et al. 2019 ESC guideli- nes for the diagnosis and manage-ment
of chronic coronary syndromes. Eur Heart J. 2020;41(3): 407–77.
12. Kureshi F, Shafiq A, Arnold SV, Gosch K, Breeding T, Kumar AS, et al. The prevalence and management of angina among patients with
chron-ic coronary artery disease across US outpatient cardiology practices: insights from the Angina Prevalence and Provider Evaluation of
Angina Relief (APPEAR) study. Clin Cardiol. 2017;40(1):6–10.
13. Niccoli G, Montone RA, Lanza GA, Crea F. Angina after percutaneous coronary intervention: the need for precision medicine. Int J Cardiol.
2017;248: 14–9.
14. Ben-Yehuda O, Kazi DS, Bonafede M, Wade SW, Machacz SF, Stephens LA, et al. Angina and associ- ated healthcare costs following
percutaneous coro- nary intervention: a real-world analysis from a multi-payer database. Catheter Cardiovasc Interv. 2016;88(7):1017–24.
15. Kwok CS, Shah B, Al-Suwaidi J, Fischman DL, Holmvang L, Alraies C, et al. Timing and causes of unplanned readmissions after percutaneous
coro- nary intervention: insights from the nationwide readmis-sion database. JACC Cardiovasc Interv. 2019;12(8):734–48.
16. Steg PG, Ferrari R, Ford I, Greenlaw N, Tardif J-C, Tendera M, et al. Heart rate and use of beta-blockers in stable outpatients with coronar-y
artery disease. PLoS ONE. 2012;7(5):e36284.
17. Qintar M, Spertus JA, Gosch KL, Beltrame J, Kureshi F, Shafiq A, et al. Effect of angina under-recognition on treatment in outpatients with
stable ischaemic heart disease. Eur Heart J Qual Care Clin Outcomes. 2016;2(3):208–14.
18. Fox KM, Mulcahy D, Findlay I, Ford I, Dargie HJ. The Total Ischaemic Burden European Trial (TIBET). Effects of atenolol, nifedipine SR and
their combination on the exercise test and the total ischaemic burden- in 608 patients with stable angina. The TIBET study group. Eur Heart
J. 1996;17(1):96–103.
19. Pehrsson SK, Ringqvist I, Ekdahl S, Karlson BW, Ulvenstam G, Persson S. Monotherapy with amlodipine or atenolol versus their combination
in stable angina pectoris. Clin Cardiol. 2000;23(10): 763–70.
20. Al-Lamee R, Thompson D, Dehbi H-M, Sen S, Tang K, Davies J, et al. Percutaneous coronary intervention in stable angina (ORBITA): a
double-blind, randomised controlled trial. Lancet. 2018;391(10115): 31–40.
21. Fragasso G, Perseghin G, de Cobelli F, Esposito A, Palloshi A, Lattuada G, et al. Effects of metabolic modulation by trimetazidine on left
ventricu-lar function and phosphocreatine/adenosine triphosphate ratio in patients with heart failure. Eur Heart J. 2006;27(8):942–8.
22. Glezer MG, Vygodin VA. Anti-anginal effectiveness and tolerability of trimetazidine modified release 80 mg once daily in stable angina
patient-s in realworld practice. Adv Ther. 2018;35(9):1368–77.
23. Girerd X, Radauceanu A, Achard JM, Fourcade J, Tournier B, Brillet G, et al. Evaluation de l’observance par l’interrogatoire au cours du suivi
des hypertendus dans des consultations spe´cialise´es. Arch Mal Coeur Vaiss. 2001;94(8):839–42.
24. Ferrari R, Camici PG, Crea F, Danchin N, Fox K, Maggioni AP, et al. Expert consensus document: a ‘diamond’ approach to personalized
treatment of angina. Nat Rev Cardiol. 2018;15(2):120–32.
25. Ferrari R, Pavasini R, Camici PG, Crea F, Danchin N, Pinto F, et al. Anti-anginal drugs-beliefs and evidence: systematic review covering 50
years of medical treatment. Eur Heart J. 2019;40(2):190–4.
26. Michaelides AP, Spiropoulos K, Dimopoulos K, Athanasiades D, Toutouzas P. Antianginal efficacy of the combination of
trimetazidine-propranolol compared with isosorbide dinitrate-propranolol in patients with stable angina. Clin Drug Investig.
1997;13(1):8–14.
27. Szwed H, Sadowski Z, Elikowski W, Koronkiewicz A, Mamcarz A, Orszulak W, et al. Combination treatment in stable effort angina using-
trimetazidine and metoprolol: results of a randomized, doublebli-nd, multicentre study (TRIMPOL II). TRIMetazidine in POLand. Eur Heart J.
2001;22(24): 2267–74.
28. Shafiq A, Arnold SV, Gosch K, Kureshi F, Breeding T, Jones PG, et al. Patient and physician discordance in reporting symptoms of angina
among stable coronary artery disease patients: Insights from the Angina Prevalence and Provider Evaluation of Angina Relief (APPEAR-)
study. Am Heart J. 2016;175:94–100.
29. Fanaroff AC, Kaltenbach LA, Peterson ED, Hess CN, Cohen DJ, Fonarow GC, et al. Management of persistent angina after myocardial
infarctio-n treated with percutaneous coronary intervention: insigh-ts from the TRANSLATE-ACS study. J Am Heart Assoc. 2017;6:e007007.
https://doi.org/10. 1161/JAHA.117.007007.
30. Westermann D, Konstantinos Savvatis DW. Prevalence of obstructive coronary artery disease in ambulatory patients with stable angina
pectoris. J Clin Exp Cardiolog. 2015;6:387. https://doi.org/10.4172/ 2155-9880.1000387.
31. Newby LK, Allen LaPointe NM. Long-term adherence to evidence-based secondary prevention therapies in coronary artery disease.
Circulation. 2006;113(2):203–12.

Diterjemahkan dari:
Effectiveness of Trimetazidine in Patients with Stable Angina Pectoris of Various Durations: Results from ODA
Cardiol Ther (https://doi.org/10.1007/s40119-020-00174-7)
Diterjemahkan oleh: dr. Indriani Gumuljo, CV. INTI MEDIKA, 2021.

Soal Topik:
Efektifitas Trimetazidine pada Pasien dengan Angina Pectoris Stabil dengan
Durasi yang Bervariasi: Hasil dari ODA

1. Berapakah jumlah pasien yang terlibat di dalam stud-i ini ?


a. 980 pasien
b. 641 pasien
c. 2,017 pasien
d. 3,032 pasien.
e. 1,470 pasien

2. Pembagian grup pada studi ini berdasarkan apa dan terbagi menjadi berapa grup pasien?
a. Berdasarkan durasi dari pasien tersebut menderita angina dan terbagi menjadi empat grup.
b. Berdasarkan terapi yang diberikan sebelum untuk angina dan terbagi menjadi empat grup
c. Berdasarkan durasi dari pasien tersebut menderita angina dan terbagi menjadi tiga grup
d. Berdasarkan pengunaan dosis bisoprolol yang diberikan kepada pasien dan terbagi menjadi tiga grup
e. Berdasarkan pengunaan dosis bisoprolol yang diberikan kepada pasien dan terbagi menjadi empa-t grup

3. Apa yang dimaksud dengan pasien “baru saja terdiagnosis” berdasarkan ESC CCS Guideline tahun 2019 ?
a. Pasien dengan angina kurang dari 6 bulan
b. Pasien dengan angina kurang dari 1 tahun.
c. Pasien dengan angina kurang dari 3 bulan
d. Pasien dengan angina kurang dari 1 bulan
e. Pasien dengan angina kurang dari 2 tahun

4. Berapa jumlah pasien pada studi ini yang menderita angina kurang dari 1 tahun?
a. 88 pasien.
b. 1323 pasien
c. 854 pasien
d. 767 pasien
e. 3032 pasien

5. Pada studi ini, berapa besar penurunan serangan angina per minggu untuk pasien dengan angina kuran-g dari 1
tahun setelah diberikan Trimetazidine 80 mg OD?
a. Dua kali lipat pada bulan pertama dan 4 kali lipat pada bulan ketiga
b. Tiga kali lipat pada bulan pertama dan 4 kali lipat pada bulan ketiga
c. Tiga kali lipat pada bulan pertama dan 6 kali lipat pada bulan ketiga.
d. Dua kali lipat pada bulan pertama dan 6 kali lipat pada bulan ketiga
e. Tiga kali lipat pada bulan pertama dan 9 kali lipat pada bulan ketiga

6. Pada akhir studi, berapa persentase pasien dengan angina kurang dari 1 tahun yang masuk dalam katego-ri
bebas dari angina sesudah diberikan terapi Trimetazidine 80 mg OD?
a. 83%
b. 17%
c. 32%
d. 26%
e. 70%.

7. Pada akhir studi, berapa persentase pasien dengan angina kurang dari 1 tahun yang berada dalam CCS Kelas 1
sesudah diberikan terapi Trimetazidine 80 mg OD?
a. 46%
b. 70%
c. 57%
d. 81%.
e. 63%

8. Bagaimana mekanisme kerja dari Trimetazidine, sedia-an yang digunakan pada studi ini ?
a. Bekerja langsung pada sel otot jantung dengan menghambat kanal kalsium
b. Bekerja langsung pada sel otot jantung dengan mengoptimalkan pembentukan energi pada level sel
terutama pada kondisi iskemia.
c. Memperpanjang perfusi diastolic dan menurunkan denyut jantung
d. Menghambat produksi Angiotensin II dan meningkatkan kadar bradykinin
e. Dilatasi vena perifer dan pembuluh darah koroner

9. Berdasarkan guideline CCS terbaru, dalam hal terapi antianginal, terapi obat yang optimal didefinisikan sebagai
berikut, kecuali ……
a. Mengontrol gejala angina
b. Mengurangi konsumsi short acting nitrate.
c. Kepatuhan maksimum
d. Efek samping yang minimum
e. Menurunkan kejadian angina

10. Apakah yang menjadi kesimpulan pada studi ini ?


a. Trimetazidine 80 mg OD mengurangi serangan angina pada semua grup pasien
b. Trimetazidine 80 mg OD mengurangi konsumsi nitra-t pada semua grup pasien
c. Trimetazidine 80 mg OD meningkatkan aktivitas fisik pasien pada semua grup pasien
d. Pemberian Trimetazidine 80 mg OD membuka kesem-patan untuk meberikan efikasi anti angina yang efektif
sejak awal diagnosis dan terapi
e. Pernyataan a, b, c, dan d benar semua.
Efektivitas Terapi Ivabradine pada Berbagai
Subpopulasi Angina Stabil di Praktik Klinik:
Analisis Gabungan Beberapa Studi
Observasional
Karl Werdana, Stefan Peringsb, Ralf Kösterd, Malte Kelmc, Thomas Meinertze,
Georg Stöcklf, Ursula Müller-Werdang,h
aDepartment of Medicine and Heart Centre, University Hospital of the Martin Luther University of Halle-Wittenberg, Halle (Saale),
bCardioCentrum, and cDepartment of Cardiology, Pneumology and Angiology, Düsseldorf University Hospital, Düsseldorf, dDepartment of
Cardiology and Angiology, Johanniter Hospital, Geesthacht, eDepartment of Cardiology and Angiology, University Heart Center, Hamburg , f
Department of Medical Affairs, Servier Deutschland GmbH, Munich, gDepartment of Geriatrics, Evangelisches Geriatriezentrum, and hChair of
Geriatrics, Charité – Universitätsmedizin Berlin, Berlin, Germany.

Abstrak
Tujuan: Keampuhan ivabradine telah diperlihatkan pada subpopulasi pasien angina stabil di beberapa uji klinik acak. Penelitian ini
mengevalua-si efektivitasnya pada bermacam-macam subpopulasi yang dijumpai dalam praktek klinik karena sering berbeda dari situasi
uji klinik. Metode: Data digabungkan dari tiga studi observasional di Jerman dengan kriteria inklusi yang sama (angina stabil dan frekuensi
denyut jantung > 60 x/menit). Semua pasien mendapat ivabradine dengan dosis 2,5, 5, atau 7,5 mg b.i.d. selama 4 bulan, dengan atau
tanpa penyekat beta. Efektivitas antianginal dianalisis pada subpopulasi yang dibedakan menurut jenis kelamin, usia, frekuensi denyut
jantung, keparahan angina, penggunaan penyekat beta berbarengan, riwayat percutaneous coronary intervention (PCI), dan komorbiditas
(termasuk riwayat infar-k myokardial dan diabetes). Hasil: Terdapat 8.555 pasien yang memiliki data terapi; pemberian ivabradine
berhubungan bermakna dengan penurunan frekuensi serangan angina dan konsumsi nitrat kerja singkat sebanyak 87%. Efektivitas
terlihat pada semua subpopulasi yang diteliti dengan penurunan parameter antianginal sebesar 82%–90%. Status klinik (klasifikasi
Canadian Cardiovascular Society [CCS]) dan kualita-s hidup juga membaik. Ivabradine dapat ditoleransi dengan baik pada semua
subkelompok. Kesimpulan: Ivabradine efektif dan aman pada semua subpopulasi pasien angina yang ditemui dalam praktek klinik, tidak
tergantung pada usia, komorbid, dan penggunaan penyekat beta.

Kata Kunci:
Angina pektoris stabil ž Subpopulasi ž Denyut jantung ž Ivabradin ž Analisis gabungan ž Praktek klinik ž Studi observasional.

Pendahuluan
Frekuensi denyut jantung yang tidak terkendali dapat memicu atau memperburuk iskemia miokardial dan
gejal-a-gejala angina dengan cara merusak keseimbangan oksigen miokardial.1,2 Peningkatan denyut jantung akan
menaikkan kebutuhan oksigen miokardial sekaligus mengur-angi suplai oksigen ke jantung dengan menurun-ka-n
waktu perfusi diastolik. Kedua mekanisme tersebut berperan pada iskemia miokardial, sehingga penurunan
frekuensi denyut jantung merupakan strategi utama untuk mencegah ketidakseimbangan oksigen dan
memperbaiki gejala-gejala angina.3 Strategi ini dapat dicapai dengan menggunakan penyekat beta, yang sudah
menjadi terapi tetap untuk mengendalikan denyut jantung dan gejala-gejal-a pasien angina stabil.4 Namun, selain
efeknya pada denyut jantung, penyekat beta memiliki efek negatif pada fungsi jantung. 3 Ivabradine, inhibitor arus If
alat pacu jantung (pacemaker), secara selektif menargetkan frekuensi denyut jantung dan tidak menurunkan
kontraktilitas atau relaksasi miokardium seperti pada penyekat beta. 5
Mekanisme anti-iskemik dan antianginal ivabradine pertama kali dijabarkan dalam studi eksperimental5 dan
dikonfirmasi pada beberapa uji klinik. Termasuk di da-lamny-a adalah peningkatan waktu perfusi diastolik
miokardial,6 penyangatan pada coronary flow reserve,7 perbaik-an fungsi endotel,8 dan penyangatan aliran
kolater-al koroner pada pasien penyakit arteri koroner kroni-k yang stabil.9 Hal ini membuat ivabradine menjadi
strateg-i terapi antianginal dan anti-iskemik yang penting.
Efek anti-iskemik ivabradine diperlihatkan pada serangkaian uji klinik acak atau randomized clinical trials
(RCTs),10,11,12,13,14 yang mendukung penggunaannya untu-k terapi gejala-gejala pada pasien angina stabil secar-a
tunggal atau kombinasi dengan penyekat beta.15 Lebih jauh, keampuhan antianginal ivabradine juga tampak pada-
berbagai subpopulasi dengan penyakit penyereta (komor-biditas) yang beragam, seperti tampak pada analisi-s
gabungan 5 RCTs.16 Namun, pasien yang ditemui dalam praktek klinik sering berbeda dari pasien yang dilibat-kan
dalam RCTs dan dapat memberi respons yang berbeda terhadap terapi. Kriteria inklusi/ eksklusi yang keta-t pada
RCTs, juga eksklusi pasien lansia dan pasien dengan penyakit penyerta, biasanya menyebabkan populasi penelitian
memiliki profil risiko yang lebih rendah dibandingkan kondisi nyata. 17 Oleh karena itu, pertanya-an tentang efek
ivabradine pada pasien angina stabil yang dijumpai dalam praktek sehari-hari telah dikemukakan dalam berbagai
studi observasional, yang mengkonfirmasi baik efektivitas maupun keamanan obat ini ketika di-evaluas-i dalam
situasi kehidupan yang nyata. 18.19.20 Pertanyaan selanjutnya adalah apakah efek bermanfaat yang tampak dalam
praktek klinik nyata pada populasi besa-r masih tampak pada subpopulasi dengan karakteristik spesifik.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai efektivitas dan keamanan ivabradine pada beberapa subpopulasi
pasien angina stabil dalam praktek klinik. Hal ini dicapai dengan menggabungkan data dari tiga uji klinik
observasional, yaitu: ADDITIONS (Practical Daily Efficacy and Safety of Procoralan® in Combination with
Beta-Blockers) [18], REDUCTION (Reduction of Ischemic Events by Reduction of Heart Rate in the Treatment of
Stable Angina with Ivabradine),19 dan RESPONSIfVE (Evaluation of Effectiveness and Therapeutic Response to
Ivabradine in Daily Practical Use for Chronic Stable Angina Patients),20 sehingga didapatkan populasi penelitian
yang cukup besar agar dapat dilakukan analisis subkelompok.

Pasien dan Metode


Subjek dan Desain Penelitian
Data digabungkan dari tiga studi observasional di Jerman: ADDITIONS, 18 REDUCTION,19 dan RESPONSIfVE20 (tabel
1). Ketiganya adalah studi multisenter, terbuka, dan prospektif yang melibatkan pasien angina pectoris stabil di
818, 1503, dan 338 institusi di Jerman, berturut-turut. Ketiga studi ini dipilih karena merupakan kohort
observasional Jerman yang telah dipublikasi dan berskala besar (masing-masing >1000 pasien) terhadap
penggunaan ivabradine dengan indikasi angina. Ketiga kohort memiliki kriteria inklusi dan evaluasi yang sama
dengan dokumentasi rinci dan tindak lanjut semua pasien. Hal ini memberikan gambaran yang representatif
tentang praktek terapi ivabradine di Jerman dengan heterogenisitas yang relatif rendah. Semua peneliti (dokter
umum, spesialis penyakit dalam, atau spesialis kardiologi) mengisi kuesioner klinik standar selama terapi pasien
yang meliputi informasi berikut: riwayat medis dan pengobatan konkomitan, frekuensi denyut jantung, klasifikasi
Canadian Cardiovascular Society (CCS), jumlah serangan angina, konsumsi nitrat kerja singkat, dan kualitas hidup
yang menggunakan indeks EQ-5D dan skor EQ VAS (visua-l analog scale). Pasien hanya boleh dilibatkan dalam
penelitian jika mereka memberikan persetujuan secara tertulis (informed consent). Pada 47 orang pasien dalam
studi REDUCTION, kuesioner diisi di akhir penelitian bukan selama penelitian berlangsung, sehingga dikeluar-kan
dari laporan penelitian asli.19 Namun, data mereka masih dianggap sahih dan ke-47 pasien tersebut (termasuk 24
orang dengan data efektivitas) dimasukkan dalam analisis gabungan ini. Semua pasien dalam studi RESPONSIfVE
dimasukkan dalam analisis gabungan, sedangkan tiga pasien dari studi ADDITIONS dikeluarkan dari analisis
gabungan karena terapi penyekat beta merek-a tidak jelas. Ketiga studi dilakukan sesuai Deklarasi Helsinki dan
memenuhi persyaratan etik European Independent Ethics Committee.
Ketiga studi memiliki kriteria inklusi yang sama, yaitu: pasien dengan frekuensi denyut jantung saat istirahat >
60 x/menit dan membutuhkan terapi simtomatik untuk angina pektoris stabil. Perbedaan utamanya berkaitan
dengan penggunaan terapi penyekat beta: terapi penyekat beta konkomitan merupakan bagian dari kriteria inklusi
studi ADDITIONS [18], sementara pada kedua stud-i lainnya, REDUCTION dan RESPONSIfVE merupakan terapi
pilihan19,20 (tabel 1).
Desain penelitian sama pada ketiga studi dengan tiga jadwal kunjungan, yaitu: kunjungan pertama di awal
(baseline) serta dua kunjungan berikutnya pada 1 dan 4 bulan terapi. Pada kunjungan awal, terapi diawali dengan
ivabradine 5 mg b.i.d. yang dapat dinaikkan menjadi 7,5 mg b.i.d. setelah 2-4 minggu. Dosis rendah 2,5 mg b.i.d.
dapat dipertimbangkan pada pasien dengan disfungsi ginja-l berat (klirens kreatinin <15 ml/menit) atau frekuensi
denyut jantung rendah (<50 x/menit) selama terapi, atau pada lansia (> 75 tahun). Pemantauan tindak lanjut
berlangsung selama 4 bulan. Desain penelitian secara rinc-i dapat dibaca pada publikasi studi yang
bersangkutan.18,19,20
Definisi Subpopulasi
Data gabungan dianalisis pada berbagai subpopulasi berdasarkan karakteristik awal berikut: jenis kelamin, usia
(> 75 tahun), frekuensi denyut jantung (> 70 x/menit), keparahan angina (klasifikasi CCS), konsumsi obat yang
berbarengan (penyekat beta apa saja atau metoprolol), riway-at percutaneous coronary intervention (PCI), atau
komorbiditas: riwayat infark miokardial (IM), diabetes, asm-a atau penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dan
disfung-si ginjal. Efektivitas ivabradine juga dikaji pada pasien dengan metoprolol konkomitan dan denyut jantung
>70 x/menit, kondisi yang paling mencerminkan pemakaian ivabradine dalam praktek berkombinasi dengan
penyekat beta yang tersering dipakai dalam penelitian-penelitian tersebut.

Tabel 1. Desain penelitian dan hasil utama efektivitas pada uji klinik ADDITIONS, REDUCTION, dan RESPONSIfVE.18–20

Parameter yang Diukur dan Metode Statistik


Parameter-parameter berikut ini dipakai untuk menilai efektivitas pada data gabungan: frekuensi denyut nadi
istirahat (diukur secara manual atau dari rekaman EKG setelah minimal 5 menit istirahat), jumlah serangan angina,
penggunaan nitrat kerja singkat, dan klasifikasi CCS. Data kualitas hidup (indeks EQ-5D dan skor EQ VAS) hanya
tersedia pada studi ADDITIONS. Perubahan absolut dan relatif terhadap data awal dianalisis dengan uji t untuk
sampel tunggal. Perubahan klasifikasi CCS dianalisis denga-n uji signed-rank. Keamanan dinilai dari frekuensi
kejadian reaksi simpang, yang diberi kode dengan MedRA versi 17.1. Semua analisis dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak SAS (versi 9.3), tanpa uji statistik untuk hipotesis yang ditetapkan sebelumnya.

Hasil

Karakteristik Populasi Gabungan


Populasi gabungan yang digunakan untuk analisis efek-tivitas mencapai total 8.555 pasien dengan data
leng-kap: 2.327 dari studi ADDITIONS, 4.978 pasien dari studi REDUCTION, dan 1.250 pasien dari studi
RESPONSIfVE.
Karakteristik awal populasi gabungan disajikan pada tabel 2: rerata usia 65,4 tahun. Sebanyak 41% pasien
adalah perempuan dan 18% berusia >75 tahun. Separuh populasi telah menjalani PCI (49%) dan sekitar dua
perlima-nya (41%) memiliki riwayat IM. Hipertensi dan dislipid-emia terdapat pada sebagian besar pasien (91% dan
80%, berturut-turut). Diabetes (46%) dan asma/ PPOK (35%) banyak ditemui, sedangkan disfungsi ginjal jarang
didapatkan (6%). Pasien memiliki rerata frekuensi denyut jantung 83,3 x/menit di awal dan mengalami rerata-
serangan angina sebanyak 2,1 x/minggu. Distribusi klasifikasi CCS adalah 27% kelas I, 53% kelas II, dan 20% kelas
III+IV.
Mengenai terapi terkait angina, 40% pasien men-dapat- penyekat beta di awal studi (terutama metoprolol:
16%), 19% mendapat antagonis kalsium, dan 18% menggunakan nitrat kerja lama (long-acting). Terapi konkomitan
lainnya lazim ditemui pada pasien kardiovaskular: aspir-in (77%), statin (64%), dan inhibitor
angiotensin-converti-ng enzyme (ACE) (49%).
Mengenai parameter kualitas hidup, pasien lanjut usia (> 75 tahun) memiliki kualitas hidup yang lebih rendah di
awal studi dibandingkan pasien yang lebih muda (EQ-5D: 0,57 ± 0,28 untuk ≥75 tahun vs. 0,68 ± 0,26 for <75 tahun;
skor EQ VAS: 52,8 ± 17,50 untuk ≥75 tahun vs. 58,5 ± 18,34 untuk <75 tahun).

Efek Ivabradine pada Frekuensi Denyut Jantung


Tabel 2. Karakteristik awal set data gabungan

Frekuensi denyut jantung turun dari 83,3 ± 14,13 x/menit di awal menjadi 72,7 ± 10,48 x/menit setelah 1 bulan
(penurunan relatif 12%) dan menjadi 68,6 ± 9,07 x/menit setelah 4 bulan terapi ivabradine (penurunan relatif
16%). Secara keseluruhan, 85% pasien mencapai frekuensi denyut jantung <70 x/menit atau penurunan frekuensi
denyut jantung > 10 x/menit setelah 4 bulan terapi (58% dengan frekuensi denyut jantung <70 x/menit dan 69%
dengan penurunan frekuensi denyut jantung >10 x/menit).

Efektivitas Antianginal Ivabradine


Pada seluruh populasi, terapi ivabradine berhubungan dengan penurunan progresif pada rerata jumlah
serangan angina per minggu (dari 2,1 ± 2,79 di awal menjadi 0,7 ± 1,86 dan 0,3 ± 1,25 pada 1 dan 4 bulan,
berturut-turut; gambar 1a). Penurunan yang sama juga tampak pada penggunaan nitrat kerja singkat per minggu
(dari 2,8 ± 3,95 di awal menjadi 1,0 ± 2,12 dan 0,4 ± 1,40 pada 1 dan 4 bulan, berturut-turut; gambar 1b). Terapi
ivabradine jug-a berhubungan dengan perbaikan bermakna status klinik seluruh populasi yang dinilai dari sebaran
kelas CCS (gambar 1c). Sebagian besar pasien mengalami pergeseran ke kelas I di akhir penelitian (dari 27% di awal
menjadi 67% pada 4 bulan), sedangkan proporsi pasien pada kelas yang lebih parah sangat berkurang (kelas II: dari
53% di awal menjadi 29% pada 4 bulan; kelas III + IV: dari 20% di awal menjadi 4% pada 4 bulan).
Pola efektivitas antianginal yang sama tampak pada pasien yang menerima metoprolol konkomitan di awal
(gambar 2). Pada subkelompok pasien ini, rerata jumlah serangan angina turun jauh dari 1,6 ± 2,20 di awal menjadi
0,5 ± 1,20 dan 0,3 ± 0,91 pada 1 dan 4 bulan berturut-turut. Penggunaan nitrat kerja singkat berkurang dari 2,2 ±
3,26 di awal menjadi 0,7 ± 1,43 dan 0,3 ± 1,08 pada 1 dan 4 bulan, berturut-turut. Terakhir, perbaikan sebaran
kelas CCS terjadi di akhir studi; sebagian besar pasien (64%) berada di kelas I pada saat kunjungan terakhir (awal-:
26%) dan lebih sedikit pasien di kelas II (32%) dan III + IV (4%, versus 51% dan 22%, berturut-turut di awal studi).
Efek ivabradine terhadap serangan angina, penggunaan nitrat dan re-klasifikasi CCS sebanding dengan obat
penyekat beta kardioselektif lainnya (bisoprolol, carvedilol, dan nebivolol).
Efektivitas angianginal ivabradine pada berbagai subpopu-lasi yang diperiksa berdasarkan karakteristik
demogr-afik, frekuensi denyut jantung awal, keparahan angi-na, komorbiditas, dan obat-obatan yang
ber-bareng-an-, disajikan pada gambar 3. Penurunan relatif jumlah serangan angina per minggu pada 4 bulan
tampak konsisten di semua subkelompok yang diteliti, mulai dari 82% sampai 90%, dan sebanding dengan yang
tampak pada populasi secara keseluruhan (87%). Hasil yang sama juga tampak pada penggunaan nitrat kerja
singkat, dengan penurunan relatif yang konsisten di semua subkelompok (dari 82% sampai 90%) dan sejalan
dengan penurunan kesel-uruhan sebesar 87% pada populasi gabungan.
Kualitas hidup pada 4 bulan, yang dinilai dengan indeks EQ-5D dan skor VAS, disajikan pada tabel 3 untuk
se-luruh populasi ADDITION dan subkelompok yang dite-liti. Seperti yang sudah diperlihatkan sebelumnya,
ivabradine secara bermakna memperbaiki parameter kualitas hidup pada seluruh populasi serta pada pasien
dengan riwayat PCI dan terapi metoprolol konkomitan.18,21,22 Dalam penelitian ini, efek tersebut diteliti kembali
pada subkelompok pasien yang lebih besar; ivabradine memperlihatkan perbaikan yang konsisten pad-a kualitas
hidup di semua subkelompok yang diteliti (perubahan absolut dari 0,11 ± 0,18 menjadi 0,26 ± 0,28 untuk indeks
EQ-5D dan dari 6,3 ± 9,60 menjadi 16,2 ± 16,94 untuk skor EQ VAS; p < 0.0001 untuk semua perubahan).

Gambar 1. Efektivitas antianginal ivabradine pada populasi secara ke-seluru-han. a Jumlah serangan angina/minggu. b penggunaan nitrat ker-ja singkat/minggu. c
Sebaran kelas CCS. Batang adalah rerata + sim-pan-g baku. * p < 0,0001 untuk perubahan dari awal atau perubahan kelas CCS

Gambar 2. Efektivitas antianginal ivabradine pada pasien dengan metoprolol konkomitan di awal. a Jumlah serangan angina/ minggu. b
penggunaan nitrat kerja singkat/ minggu. c Sebaran kelas CCS. Batang adalah rerata + simpang baku. * p < 0,0001 untuk perubahan dari
awa-l atau perubahan kelas CCS.

Gambar 3. Efektivitas antianginal setelah 4 bulan terapi ivabradine pada- berbagai subpopulasi yang berbeda. Batang adalah perubahan
relatif dibandingkan awal (rerata + simpang baku). Angka di dalam batang adalah perubahan absolut dibandingkan awal (rerata + simpang
baku). * p < 0,0001 untuk semua perubahan.

Terapi penyekat beta dihentikan pada 1% (n = 79) dan dimulai pada 0,4% (n = 36) pasien dari kohort total
selama- periode penelitian. Ivabradine dihentikan pada 4% (n = 361) pasien.
Keamanan dan Tolerabilitas
Total populasi gabungan yang dipertimbangkan untuk analisis keamanan adalah 8.578 pasien: 2.327 pasien dari
studi ADDITIONS, 5.001 pasien dari studi REDUCTION, dan 1.250 pasien dari studi RESPONSIfVE.
Secara keseluruhan reaksi simpang obat jarang terjadi (1,2% pasien, n = 99) dan sebagian besar tidak serius.
Nausea (0,2%, n = 15), pusing (0,2%, n = 14), photopsia (0,2%, n = 13), dan bradikardia (0,1%, n = 9) adalah reaksi
yang paling sering dilaporkan. Frekuensi dan jenis reaksi simpang obat sama pada populasi keseluruhan dan pada
semua subkelompok yang dianalisis, termasuk pasien yang berusia lebih tua (> 75 tahun) versus lebih muda (<75
tahun) (1,5% vs. 1,1%, berturut-turut).

Tabel 3. Kualitas hidup setelah 4 bulan terapi ivabradine pada subpopula-si yang berbeda

Pembahasan
Analisis gabungan ini memperlihatkan bawah efektivita-s antianginal ivabradine sama di berbagai subpop-ulasi
pasien angina stabil dengan jumlah besar yang dijumpai dalam praktek klinik sehari-hari. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa ivabradine berhu-bunga-n dengan penurunan yang berkelanjutan dan bermakna dalam hal
serangan angina dan konsumsi nitrat kerja singkat, serta perbaikan kelas CCS (yang mencerminkan toleransi
latihan) dan kualitas hidup. Hasil ini konsist-en pada semua subkelompok yang diteliti, termasuk perempuan,
lansia, pasien dengan riwayat PCI atau IM, serta pasien dalam pengobatan penyekat beta. Selain itu, obat ini
memiliki keamanan dan profil tolerabilitas yang baik di semua subkelompok.
Dibandingkan dengan uji klinik ivabradine gabungan [16], pasien pada studi kami berusia lebih tua (> 75 tahun,
19% vs. 4%) dan lebih banyak perempuan (41% vs. 18%). Mereka juga memiliki frekuensi denyut jantung yang lebih
tinggi di awal studi (83,3 vs. 73,0 x/menit) serta lebih banyak hipertensi (91% vs. 59%), dislipidemia (80% vs. 53%),
diabetes (46% vs. 19%), dan asma/ PPOK (35% vs. 6%). Jadi, analisis gabungan ini melengkapi dan memperluas
temuan mengenai keampuhan dan keamanan ivabradine pada populasi yang lebih luas daripada yang terlibat dan
uji klinik acak.10, 11, 12, 13, 14
Di antara berbagai subpopulasi yang dianalisis, pasien lanjut usia perlu perhatian khusus karena mereka
mewakil-i populasi pasien angina stabil dengan karakteristik spesifik yang meningkat. Pasien lansia sering kurang
terwakili dalam RCTs23 dan sulit didiagnosis penyakit arteri koroner karena mereka memperlihatkan gejala-gejala
yang tidak khas.4 Pasien lansia merupakan tantangan tersendiri dalam terapi karena prevalensi komorbiditas yang
lebih tinggi dan lebih sering mengalami efek samping- atau intoleransi obat.24 Penurunan serangan angina dan
konsumsi nitrat kerja singkat telah diteliti pad-a 91 orang pasien lansia dengan angina stabil dalam analisis
gabungan RCTs.16 Dalam penelitian ini, kami memperlihatkan efektivitas antianginal ivabradine pada populasi usia
>75 tahun berjumlah lebih dari 1.600 pasien yang sering dijumpai dalam praktek klinik sehari-hari. Di sampin-g
penurunan serangan angina (84%) dan penggunaan nitrat kerja singkat (82%), ivabradine secara bermakna
memperbaiki kualitas hidup pada populasi usia lanjut dengan skor status kesehatan yang rendah di awal studi.
Yang juga penting, semua efek bermanfaat ini disertai dengan profil keamanan yang baik, karena ivabradine
memperlihatkan angka kejadian simpang yang setara denga-n pasien yang lebih muda.
Hampir separuh (46%) populasi penelitian ini menderita diabetes. Aktivitas fisik rutin merupakan bagian dari
penatalaksanaan diabetes yang penting dan hal ini dapat terganggu karena angina. 25 Data uji klinik terkini
menunjukkan bahwa 82% pasien penyakit arteri koroner dan diabetes tipe 2 dapat memiliki gejala-gejala terkait
angina meskipun menjalani terapi sesuai anjuran.26 Oleh karena itu, dibutuhkan terapi yang efektif untu-k
mengurangi gejala-gejala. Dalam penelitian ini, terdapa-t penurunan bermakna jumlah serangan angina (sebesar
86%) dan penggunaan nitrat kerja singkat (sebesar 85%) setelah terapi ivabradine pada pasien angina dengan
diabetes. Hasil tersebut konsisten dengan perbaikan toleransi latihan (olah raga) dan penurunan gejala-gejala
angina yang tampak pada RCTs ivabradine dalam subkelompok pasien angina dengan diabetes.16,27 Pasien diabetes
sering mengalami neuropati autonom jantung yang menyebabkan peningkatan tonus simpatis dan takikardia saat
istirahat.28 Sejalan dengan hal tersebut, survei terbaru mendapatkan bahwa frekuensi denyut jantun-g pada pasien
penyakit arteri koroner stabil dengan- diabetes lebih tinggi 5 x/menit dibandingkan pasien tanpa diabetes. 29
Dengan demikian, sejumlah besar- pasien angina yang menderita diabetes memenuhi syarat untuk mendapat
terapi ivabradine. Hal penting lain yang patut dipertimbangkan adalah potensi dampak negatif terapi antianginal,
misalnya penyekat beta dan penyekat kanal kalsium, pada kontrol glikemik pasien diabete-s. 25 Terapi ivabradine
tidak mengubah kadar hemog-lobin terglikosilasi HbA1c dan glukosa puasa, sedangkan atenolol dan amlodipin
meningkatkan kadar keduanya.27 Hasil penelitian kami memberi kesan bahwa ivabradine merupakan terapi yang
aman dan efisien untuk- pasien angina dengan diabetes.
Seperlima pasien melaporkan gejala-gejala angina 1 tahun setelah kejadian IM akut [30]. Lebih lanjut, dua
perlim-a pasien angina stabil tetap bergejala setelah prosedur revaskularisasi. 31 Dalam penelitian ini, terdapat 41%
(n = 3.405) dan 49% (n = 4.073) pasien yang memilik-i riwayat IM dan PCI. Ivabradine menurunkan gejala-gejala
angina sama besarnya pada kedua subpopulasi (serangan angina turun 86% dan penggunaan nitrat kerja singkat
turu-n 87%), konsisten dengan hasil RCTs.16 Sebagai catatan, laporan terbaru menunjukkan bahwa ivabradine dapat
menurunkan episode disfungsi miokardial (stunning) pada pasien penyakit arteri koroner.32 Efek kardioprotektif ini,
bersama dengan sifat anti-iskemik ivabradine, dapat berperan penting dalam menghambat perburukan ke arah
hibernasi miokardial dan disfungsi ventrikel kiri yang sering ditemui pada pasien dengan riwayat IM. 33 Selain itu,
ivabradine baru-baru ini terbukti dapat mem-per-baiki fungsi endotel pada pasien penyakit arteri koroner setelah
PCI.8 Pada sebagian pasien penyakit jantun-g iskemik, disfungsi mikrovaskular makin banyak dikenal sebag-ai
mekanisme angina yang penting, selain meka-nisme aterosklerosis obstruktif yang lebih lama diketahui. 34 Disfungsi
mikrovaskular khususnya tampak pada pasien angina berulang (recurrent) setelah PCI.35 Dengan memperbaiki
fungsi endotel, ivabradine dapat mempertahankan dilatasi koroner, sehingga mencegah disfungsi mikrovaskular
dan berulangnya seranagan angina setelah intervensi koroner.
Selain nyeri dan rasa tidak nyaman, gejala-gejala angina menurunkan kualitas hidup pasien karena mengganggu
aktivitas fisik sehari-hari dan kesejahteraan psikologis. Pasien angina akan mengurangi aktivitas hariannya untuk
mencegah serangan angina sehingga menurunkan kualitas hidupnya. Pemulihan aktivitas fisik dan kapasitas
fungsional oleh karenanya merupakan tujuan utama terapi anti-anginal. Dalam penelitian ini, tampak bahwa
ivabradine secara bermakna memperbaiki sebaran kelas CCS, dengan mayoritas pasien (67%) masuk menjadi kelas
I pada- 4 bulan. Proporsi pasien dengan angina yang mengganggu aktivitas (> kelas II) turun dari 73% menjadi 33%.
Penurunan keparahan angina ini disertai dengan perbaikan skor kualitas hidup, yang meliputi evaluasi mobilitas,
aktivitas biasa, dan pemeliharaan diri sendiri. Perbaikan ini terdapat pada semua subpopulasi yang diana-lisis,
termasuk pasien dengan riwayat IM atau PCI, diabetes, dan lansia. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ivabradine
efektif memperbaiki status kesehatan dan aktivit-as fisik dalam berbagai jenis pasien angina yang dijum-pai dalam
praktek klinik.
Insidensi reaksi simpang obat, khususnya bradikardia, jauh lebih rendah pada analisis gabungan ini
dibandingkan uji klinik luaran ivabradine yang luas [36, 37, 38]. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, frekuensi denyut jantung lebih tinggi di awal studi (sampai 11 x/menit) dan hasil pencapaian (sampai 9
x/menit), rerata dosis harian ivabradine lebih rendah pada kohort kami (sampai 5 mg/ hari), yang mungkin
berperan mencegah bradikardia dan reaksi simpang lainnya yang tergantung dosis. Selanjutnya, penggunaan
obat-obatan kardiovaskular konkomitan seperti penyekat beta, inhibitor ACE, statin, dan aspirin jauh lebih sedikit
pada populasi penelitian ini, yang mungkin juga menurunkan suseptibilitas terhadap reaksi simpang obat karena
terhindar dari potensi interaksi obat.
Sesuai indikasinya, hasil penelitian ini mengkonfirmasi efektivitas antianginal ivabradine pada pasien dengan
pening-katan frekuensi denyut jantung (> 70 x/menit), denga-n penurunan serangan angina dan penggunaan
nitra-t kerja singkat sebesar 87%. Lebih lanjut, obat ini memiliki efektivitas yang sama ketika digunakan
berkombinasi dengan penyekat beta.
Jika dianalisis lebih mendalam pada pasien dengan peningkatan frekuensi denyut jantung meskipun
meng-gunak-an penyekat beta yang paling sering diresepkan, metoprolol, 4 jumlah serangan angina dan
penggunaan nitra-t kerja singkat secara bermakna berkurang dengan pmberian terapi ivabradine (yaitu 88% dan
87%, berturut-turut). Meskipun penyekat beta digunakan secara luas, peningkatan frekuensi denyut jantung tetap
terjadi pada sebagian besar pasien dan berhubungan dengan angina yang lebih sering dan iskemia [39]. 39 Oleh
karenanya, penambahan ivabradine dapat dipertimbangkan pada semua pasien yang memenuhi syarat dengan
frekuensi denyut jantung > 70 x/menit, termasuk mereka yang diterapi penyekat beta, untuk menurunkan
frekuensi denyut jantung dan memperbaiki gejala-gejala angina.
Keterbatasan utama penelitian ini adalah tidak adanya kelompok pembanding, yang mungkin menyebabkan
hasil menjadi bias karena perkiraan efek terapi yang berlebihan. Definisi komorbiditas tidak dibuat spesifik
sebelumnya dan diserahkan pada keputusan dokter pemeriksa. Keter-batasan lainnya mungkin adalah jangka
waktu terapi yang singkat, yaitu 4 bulan, meskipun cukup untuk mengevalusi efek simtomatik ivabradine pada
beberapa uji klinik terkontrol.10,12,13,14 Keampuhan dan keamanan antianginal juga telah diperlihatkan dalam periode
yang lebih panjan-g, yaitu 12 bulan, pada suatu uji acak.11 Terakhir, penelitian observasional dapat saja
mengurangi perkiraan peristiwa reaksi simpang, karena didasarkan pada laporan spontan pasien dan tidak
ditelusuri secara spesifik.

Kesimpulan
Berdasarkan data jangka pendek ini tampak bahwa ivabradine merupakan terapi antianginal yang efektif dan
dapat ditoleransi baik pada berbagai tipe pasien yang dijum-pai dalam praktek sehari-hari, termasuk pasien
diabeti-k dan pasien dengan riwayat IM dan/atau PCI. Efektivitas antianginal juga diperlihatkan pada pasien lansi-a
dan pada pasien yang memakai penyekat beta berbarengan. Di samping itu, ivabradine juga memperbaiki kualitas
hidup pada semua subpopulasi yang dianalisis.

Penghargaan
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada seluru-h peneliti untuk semua kontribusinya bagi studi Analisis
dalam publikasi ini. Kami ucapkan terimakasih kepada Julie Salzman, PhD, yang sudah menyediakan bantua-n
pembuatan naskah ilmiah atas nama SERVIER, PERANCIS.

Keterkaitan Kepentingan
K. Werdan terlibat sebagian maupun sepenuhnya dalam studi klinis ivabradine yang didukung oleh Servier,
menerima honor sebagai pembicara dari Servier, sebagai anggota dari ‘The German ivabradine advisory board of
Servier’, dan menerima penghargaan dari Servier untuk penelitian klinis dan percobaan ivabradine. T. Meinertz
adalah anggota dari ‘The German ivabradine advisory board of Servier’. S. Perings, R. Koster, M. Kelm, dan U.
Muller-Werden melaporkan tidak adanya konflik kepentingan. G. Stockl adalah karyawan dari Servier (Medical
Affairs). Analisis gabungan ini didanai oleh Servier.

Daftar Pustaka
1. Panza JA, Diodati JG, Callahan TS, Epstein SE, Quyyumi AA: Role of increases in heart rate in determining the occurrence and frequency of
myocardial ischemia during daily life in patients with stable coronary artery disease. J Am Coll Cardiol 1992;20:1092-1098.
2. Andrews TC, Fenton T, Toyosaki N, Glasser SP, Young PM, MacCallum G, Gibson RS, Shook TL, Stone PH: Subsets of ambulatory myocardial
ischemia based on heart rate activity. Circadian distribution and response to anti-ischemic medication. The Angina and Silent Ischemia Study
Group (ASIS). Circulation 1993;88:92-100.
3. Riccioni G: Ivabradine: the hope for a good treatment of ischemic heart disease. Curr Med Chem 2013;20:1817-1823.
4. Montalescot G, Sechtem U, Achenbach S, Andreotti F, Arden C, Budaj A, et al: 2013 ESC guidelines on the management of stable coronary artery
disease: the Task Force on the management of stable coronary artery disease of the European Society of Cardiology. Eur Heart J
2013;34:2949-3003.
5. Thollon C, Vilaine JP: If inhibition in cardiovascular diseases. Adv Pharmacol 2010;59:53-92.
6. Dillinger JG, Maher V, Vitale C, Henry P, Logeart D, Manzo SS, Allee G, Levy BI: Impact of ivabradine on central aortic blood pressure and
myocardial perfusion in patients with stable coronary artery disease. Hypertension 2015;66:1138-1144.
7. Tagliamonte E, Cirillo T, Rigo F, Astarita C, Coppola A, Romano C, Capuano N: Ivabradine and bisoprolol on Doppler-derived coronary flow
velocity reserve in patients with stable coronary artery disease: beyond the heart rate. Adv Ther 2015;32:757-767.
8. Mangiacapra F, Colaiori E, Ricottini E, Balducci F, Creta A, Demartini G, Di Sciascio G: P6291: heart rate reduction by ivabradine for improvement
of endothelial function in patients with coronary artery disease: the randomized open-label RIVENDEL study. Eur Heart J 2015;36(suppl 1):1105.
9. Gloekler S, Traupe T, Stoller M, Schild D, Steck H, Khattab A, Vogel R, Seiler C: The effect of heart rate reduction by ivabradine on collateral
function in patients with chronic stable coronary artery disease. Heart 2014;100:160-166.
10. Borer JS, Fox K, Jaillon P, Lerebours G: Antianginal and antiischemic effects of ivabradine, an If inhibitor, in stable angina: a randomized,
double-blind, multicentered, placebo-controlled trial. Circulation 2003;107:817-823.
11. Lopez-Bescos L, Filipova S, Martos R: Long-term safety and efficacy of ivabradine in patients with chronic stable angina. Cardiology
2007;108:387-396.
12. Ruzyllo W, Tendera M, Ford I, Fox KM: Antianginal efficacy and safety of ivabradine compared with amlodipine in patients with stable effort
angina pectoris: a 3-month randomised, double-blind, multicentre, noninferiority trial. Drugs 2007;67:393-405.
13. Tardif JC, Ford I, Tendera M, Bourassa MG, Fox K: Efficacy of ivabradine, a new selective If inhibitor, compared with atenolol in patients with
chronic stable angina. Eur Heart J 2005;26:2529-2536.
14. Tardif JC, Ponikowski P, Kahan T: Efficacy of the If current inhibitor ivabradine in patients with chronic stable angina receiving beta-blocker
therapy: a 4 month, randomized, placebo-controlled trial. Eur Heart J 2009;30:540-548.
15. European Medicines Agency: Procoralan: EPAR - Product Information. http://www.ema.europa.eu/ema/ (accessed November 17, 2015).
16. Tendera M, Borer J, Tardif J: Efficacy of If inhibition with ivabradine in different subpopulations with stable angina pectoris. Cardiology
2009;114:116-125.
17. Kennedy-Martin T, Curtis S, Faries D, Robinson S, Johnston J: A literatu-re review on the representativeness of randomized controlled trial
samples and implications for the external validity of trial results. Trials 2015;16:495.
18. Werdan K, Ebelt H, Nuding S, Höpfner F, Hack G, Müller-Werdan U: Ivabradine in combination with beta-blocker improves symptoms and
quality of life in patients with stable angina pectoris: results from the ADDITIONS study. Clin Res Cardiol 2012;101:365-373.
19. Köster R, Kaehler J, Meinertz T: Treatment of stable angina pectoris by ivabradine in every day practice: the REDUCTION study. Am Heart J
2009;158:e51-e57.
20. Perings S, Stöckl G: Ivabradine treatment in chronic stable angina patients with or without concomitant beta-blocker therapy: effectiveness,
treatment response and tolerability in clinical practice. Clin Res Cardiol 2014;103(suppl 2):102.
21. Werdan K, Ebelt H, Nuding S, Höpfner F, Stöckl G, Müller-Werdan U: Ivabradine in combination with beta-blockers in patients with chronic
stable angina after percutaneous coronary intervention. Adv Ther 2015;32:120-137.
22. Werdan K, Ebelt H, Nuding S, Höpfner F, Stöckl G, Müller-Werdan U: Ivabradine in combination with metoprolol improves symptoms and
quality of life in patients with stable angina pectoris: a post hoc analysis from the ADDITIONS trial. Cardiology 2016;133:83-90.
23. Van Spall HG, Toren A, Kiss A, Fowler RA: Eligibility criteria of randomized controlled trials published in high-impact general medical journals: a
systematic sampling review. JAMA 2007;297:1233-1240.
24. Montamat SC, Cusack BJ, Vestal RE: Management of drug therapy in the elderly. N Engl J Med 1989;321:303-309.
25. Deedwania PC: Management of patients with stable angina and type 2 diabetes. Rev Cardiovasc Med 2015;16:105-113.
26. Dagenais GR, Lu J, Faxon DP, Bogaty P, Adler D, Fuentes F, Escobedo J, Krishnaswami A, Slater J, Frye RL: Prognostic impact of the presence and
absence of angina on mortality and cardiovascular outcomes in patients with type 2 diabetes and stable coronary artery disease: results from
the BARI 2D (Bypass Angioplasty Revascularization Investigation 2 Diabetes) trial. J Am Coll Cardiol 2013;61:702-711.
27. Borer JS, Tardif JC: Efficacy of ivabradine, a selective If inhibitor, in patients with chronic stable angina pectoris and diabetes mellitus. Am J
Cardiol 2010;105:29-35.
28. Pop-Busui R: Cardiac autonomic neuropathy in diabetes: a clinical perspective. Diabetes Care 2010;33:434-441.
29. Anselmino M, Ohrvik J, Rydén L: Resting heart rate in patients with stable coronary artery disease and diabetes: a report from the Euro Heart
Survey on Diabetes and the Heart. Eur Heart J 2010;31:3040-3045.
30. Maddox TM, Reid KJ, Spertus JA, Mittleman M, Krumholz HM, Parashar S, Ho PM, Rumsfeld JS: Angina at 1 year after myocardial infarction:
prevalence and associated findings. Arch Intern Med 2008;168:1310-1316.
31. Brorsson B, Bernstein SJ, Brook RH, Werkö L: Quality of life of patients with chronic stable angina before and four years after coronary
revascularisation compared with a normal population. Heart 2002;87:140-145.
32. Maranta F, Tondi L, Agricola E, Margonato A, Rimoldi O, Camici PG: Ivabradine reduces myocardial stunning in patients with exercise-inducible
ischaemia. Basic Res Cardiol 2015;110:55.
33. Gerbaud E, Montaudon M, Chasseriaud W, Gilbert S, Cochet H, Pucheu Y, Horovitz A, Bonnet J, Douard H, Coste P: Effect of ivabradine on left
ventricular remodelling after reperfused myocardial infarction: a pilot study. Arch Cardiovasc Dis 2014;107:33-41.
34. Westermann D, Savvatis K, Wollenberg U, Limberg R, Maier LS, Bauersachs J: Prevalence of obstructive coronary artery disease in ambulatory
patients with stable angina pectoris. J Clin Exp Cardiol 2015;6:387.
35. Izzo P, Macchi A, De Gennaro L, Gaglione A, Di Biase M, Brunetti ND: Recurrent angina after coronary angioplasty: mechanisms, diagnostic and
therapeutic options. Eur Heart J Acute Cardiovasc Care 2012;1:158-169.
36. Fox K, Ford I, Steg PG, Tardif JC, Tendera M, Ferrari R: Ivabradine in stable coronary artery disease without clinical heart failure. N Engl J Med
2014;371:1091-1099.
37. Fox K, Ford I, Steg PG, Tendera M, Ferrari R: Ivabradine for patients wit-h stable coronary artery disease and left-ventricular systolic
dysfun-ction (BEAUTIFUL): a randomised, double-blind, placebo-controll-ed trial. Lancet 2008;372:807-816.
38. Swedberg K, Komajda M, Böhm M, Borer JS, Ford I, Dubost-Brama A, Lerebours G, Tavazzi L: Ivabradine and outcomes in chronic heart failure
(SHIFT): a randomised placebo-controlled study. Lancet 2010;376:875-885.
39. Steg PG, Ferrari R, Ford I, Greenlaw N, Tardif JC, Tendera M, Abergel H, Fox KM: Heart rate and use of beta-blockers in stable outpatients with
coronary artery disease. PLoS One 2012;7:e36284.

Diterjemahkan dari:
Effectiveness of Ivabradine Treatment in Different Subpopulations with Stable Angina in Clinical Practice: A Pooled Analysis of Observational
Studies
Cardiology 2016;135:141-150 (https://doi.org/10.1159/000447443)

Diterjemahkan oleh: dr. Indriani Gumuljo, CV. INTI MEDIKA, 2021

Soal Topik:
Efektivitas Terapi Ivabradine pada Berbagai Subpopulasi Angina Stabil di Praktik
Klinik: Analisis Gabungan Beberapa Studi Observasional

1. Studi ini merupakan pooled analysis dari 3 study yaitu ADDITIONS, REDUCTION, RESPONSIfVE yang ketiga nya
memiliki durasi terapi yang sama yaitu…
a. 2 bulan
b. 4 bulan.
c. 8 bulan
d. 12 bulan
e. 24 bulan

2. Parameter luaran klinis yang dianalisis pada studi ini adalah…


a. Efektivitas antianginal dari Ivabradine
b. Perubahan kelas CCS (Canadian Cardiovascular Society)
c. Perubahan penggunaan SAN
d. A dan C
e. Semua benar.

3. Kriteria inklusi pasien pada studi ini adalah….


a. Pasien dengan frekuensi denyut jantung saat istirah-at > 60 x/menit
b. Membutuhkan terapi simtomatik untuk angina pektoris stabil
c. Sudah menggunakan terapi dengan beta-bloker
d. A dan B.
e, B dan C
4. Sub-populasi yang menjadi bagian dari analisis untuk mengetahui konsistensi efek Ivabradine baik terhadap efikasi
antianginal ataupun kualitas hidup adalah sebagai berikut…
a. Karakteristik demografi dan HR
b. Klasifikasi kelas CCS
c. Terapi standar (BB, CCB, SAN)
d. Riwayat penyakit (PCI, MI, hipertensi)
e. A dan B.
f. Semua benar

5. Karakteristik pasien pada studi ini adalah .…% pasien sudah menjalani PCI dan 41% memiliki …..
a. 49% ; riwayat MI.
b. 41% ; dislipidemia
c. 91% ; hipertensi
d. 49%; hipertensi
e. 35%; asma

6. Konkomitan terapi dengan beta-bloker merupakan kriteria inklusi untuk studi ADDITIONS, tetapi opsional pada
studi REDUCTION dan RESPONSIfVE, meskipun demikian, sebanyak ….% pasien pada studi ini sudah menggunakan
beta-bloker:
a. 40%.
b. 49%
c. 77%
d. 16%
e. 64%

7. Tapi ivabradine berhubungan dengan penurunan progresif pada rata-rata jumlah serangan angina per minggu dari
2,1 kali per minggu menjadi 2,1 pada bula­n …. dan serangan angina berkurang menjadi ….. kali pada bulan ketiga.
a. Kedua ; 0,3
b. Kedua ; 0,2
c. Pertama ; 0,3.
d.Pertama; 0,2

8. Penurunan relatif jumlah serangan angina per minggu- pada 4 bulan tampak konsisten di semua subkelo-mpok
yang diteliti, mulai dari … % sampai .... % dan sebanding dengan keseluruhan populasi yaitu 87% terhadap coronary
flow
a. 84% sampai 95%
b. 82% sampai 90%.
c. 83% sampai 94%
d. 80% sampai 94%

9. Meskipun beta bloker digunakan secara luas, pening-katan frekuensi denyut jantung tetap terjadi pada sebagi-an
besar pasien dan berhubungan dengan angina yang lebih sering dan iskemia. Dengan demikian, pemberian
Ivabradine direkomendasikan untuk pasien angina stabil dengan denyut jantung …. termasuk untuk pasien angina
yang sudah menda­pat­kan terapi ….
a. Lebih dari 75 kali per menit ; LAN
b. Lebih dari 70 kali per menit ; BB.
c. Lebih dari 60 kali per menit ; BB
d. Lebih dari 70 kali per menit ; Metoprolol
e. Lebih dari 60 kali per menit ; Metoprolol

10. Kesimpulan yang dapat ditarik melalui studi pooled analysis dengan 8,555 pasien ini adalah…
a. Ivabradine merupakan terapi antianginal yang efektif
b. Ivabradine dapat ditoleransi baik pada berbagai tipe pasien
c. Efektivitas Ivabradine juga konsisten pada pasien lansia > 75 tahun
d. Ivabradine juga memperbaiki kualitas hidup pada semua subpopulasi
e. Semua benar.

Anda mungkin juga menyukai