3
PSLH di Luar Pengadilan (Pasal 85 UU PPLH)
Tujuan: untuk mencapai kesepakatan sebagaimana diatur dalam pasal 85 ayat (1)
mengenai
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan
hidup (Psl. 85 ayat 2)
4
Lembaga Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa
mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup
(Pasal 85 ayat 3).
5
PSLH melalui Pengadilan (Pasal 87 UU PPLH )
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar
hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian
pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan
tertentu.
(2) Setiap orang yang melakukan pemindah tanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha,
dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung
jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
(3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan
atas pelaksanaan putusan pengadilan.
(4) Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundang- undangan
6
Isu-Isu Penting dalam PSLH melalui Pengadilan
○
• Strict Liability diatur dalam pasal 88 à Setiap orang yang tindakannya, usahanya,
dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,
dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
• Tenggat Kadaluarsa Pengajuan Gugatan (Pasal 89)
• Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pasal 90)
• Hak Gugat Masyarakat (Pasal 91)
• Hak Gugat Organisasi Lingkungan (Pasal 92)
7
Konflik Sumber Daya Alam
Berdasarkan Undang-Undang Nomor. 7 tahun 2012
tentang Penanganan Konflik Sosial, konflik dapat
bersumber antara lain dari sengketa sumber daya alam
antar masyarakat dan/atau antar masyarakat dengan
pelaku usaha; atau distribusi sumber daya alam yang
tidak seimbang dalam masyarakat
8
Continuum of Conflict Management and Resolution Approaches
Chistopher Moore, 1996
Formality of the process, the privacy of the approach, the people involved, the authority of the
third party (if there is one), the type of decision will result, and the amount of coercion exercised.
Dikarenakan konflik terjadi di berbagai tingkatan komunitas, organisasi, serta antar negara dan melibatkan
sumber daya, perasaan, biaya yang tidak kecil, bahkan korban jiwa oleh karenanya orang mencari cara agar
konflik atau sengketa dapat diakhiri atau diatasi. Dalam rangka penyelesaian konflik dan sengketa tersebut,
organisasi maupun masyarakat mencoba mengembangkan teknik/prosedur yang efisien yang bisa memenuhi
kepentingan para pihak yang bersengketa, disisi lain bisa memelihara hubungan baik yang telah terjalin yang
bertujuan meminimalisasi kerugian (materiil dan non-materiil) yang diakibatkan oleh konflik tersebut.
Kebanyakan ketidaksepakatan ditangani dengan cara-cara yang informal dari mulai penghindaran konflik
(conflict avoidance), pencegahan (conflict prevention), maupun penyelesaian langsung antar pihak secara
informal (informal discussion and problem solving). Disagreement atau konflik menjadi sengketa (dispute)
apabila para pihak tidak mampu atau tidak mau untuk menyelesaikan atau mengatasi
ketidaksepakatan/konflik tersebut. Berbagai pendekatan organisasi atau kelompok dalam mengatasi konflik
atau sengketa dilakukan melalui berbagai cara sebagaimana digambarkan dalam figur di bawah ini.
BATNA adalah Standard against which any proposed agreement should be measured. Protecting yourself against
bad agreement.
The better your BATNA, the greater your power. People think of negotiating power as being determined by
resources like wealth, political connections, physical strength, friends, and military might. In fact, the relative
negotiating power of two parties depends primarily upon how attractive to each is the option of not reaching
agreement.
The greater danger is that you are too committed to reaching agreement. Not having developed any alternative to a
negotiated solution, you are unduly pessimistic about what would happen if negotiations broke off.
Tujuan BATNA:
(1) Berfungsi sebagai benchmark agar dapat mencapai kesepakatan yang optimal yang mampu memenuhi
kepentingan-kepentingan para pihak; dan
(2) Meringankan beban dalam negosiasi sehingga negosiator tidak mudah terperangkap pada kesepakatan yang
tidak mencerminkan pemenuhan kepentingannya (walkaways alternative).
Tujuan Anda
The Goal:
BARRIERS TO Strategy:
JOINT PROBLEM
COOPERTATION BREAKTHROUGH NEGOTIATION
SOLVING
Para pihak duduk • Reaksi sendiri • Go to the Balcony (metaphor untuk melepaskan diri dari proses negosiasi
berdampingan (Your Reaction) agar dapat mengurangi subjektivitas untuk tetap konsisten terhadap tujuan).
dalam penyelesaian • Reaksi
masalah (People opponent (Their • Step to Their Side (melangkah seolah-olah menjadi mitra runding dalam
Sitting Side by Side) Emotion) menyelesaikan masalah melalui cara mendengarkan, mengakui poin-poin
mereka, menyetujui saran baik mereka, dan memberikan penghargaan/sense
of respect).
Facing the Problem. Posisi mereka Reframe. Strategi reframe ini mensugesti kita untuk mampu sebagai game
(Their Position). changer pada saat mitra runding mengambil posisi yang hardline. Strategi ini
menyarankan untuk kita tidak terpancing secara reaktif membalas sikap mitra
runding, tetapi sebaliknya untuk membawa mereka fokus kepada penyelesaian
masalah secara bersama dengan mengajukan problem solving questions (let the
problem be their teacher). Mengkerangkakan kembali dengan cara menerima
pandangan mereka (sepanjang bisa diterima) dan menyampaikan probing
questions (yang membuat mereka nyaman) sebagai ikhtiar untuk membuat mitra
runding tertarik untuk bersama-sama solving the problem.
© Mas Achmad Santosa, 13 September 2021 22
Hambatan Joint Problem Solving
The Goal:
BARRIERS TO Strategy:
JOINT PROBLEM
COOPERTATION BREAKTHROUGH NEGOTIATION
SOLVING
Reaching a • Ketidakpuasan • Build Them a Golden Bridge, membangun “jembatan emas” untuk menghubungkan posisi
Mutually mereka (Their mitra runding sehingga bisa mencapai solusi yang memuaskan para pihak (mutually
Satisfactory Dissatisfaction) satisfactory solutions) dengan cara menyelamatkan muka mereka (face saving) dan
Decision • Kekuatan mereka merancang hasil kesepakatan yang mensimbolkan kemenangan dan prestasi semua pihak.
(Their Power) Kita harus memposisikan diri kita sebagai mediator yang mampu membuat mereka nyaman,
dengan cara melibatkan mereka dalam proses, menggabungkan ide mereka dengan kita,
kemudian mengidentifikasi unmet interest (kepentingan yang belum tercapai) dan memenuhi
unmet interest tersebut, terutama basic human needs (procedural interest, phycological
interest, dan substantive interest) ke dalam rancangan kesepakatan.
• Use Power to Educate, cara ini adalah pengendalian diri kita disaat mitra runding tidak
bersedia untuk bekerja sama merancang satu kesepakatan dikarenakan mitra runding memiliki
keyakinan dia bisa memenangkan sengketa tanpa bernegosiasi. Apabila kita memaksa apalagi
mengancam, maka akan berakibat sangat mahal, dan proses perundingan akan terhenti.
Solusinya, adalah meningkatkan kekuatan negosiasi kita untuk membawa mereka kembali ke
meja perundingan melalui cara meyakinkan mereka bahwa mereka tidak bisa mencapai
kesepakatan yang mencerminkan kemenangan apabila dia tidak bersama-sama dengan kita.
Edukasi mitra runding bahwa akibat dari ketidaksepakatan akan menjadi beban bagi mereka
(costly) melalui pertanyaan-pertanyaan yang bersifat reality testing question (pertanyaan yang
membuat mereka berfikir bahwa akibat dari ketidaksepakatan merugikan semua pihak,
termasuk dia). Jangan mengancam, tetapi kita sebagai negosiator memperlihatkan BATNA kita
dan yakinkan kembali pada mitra runding bahwa tujuan kita adalah mutual satisfaction goal,
bukan kemenangan salah satu pihak.(terkait dengan build a golden bridge)
Reframe
Negosiator yang baik juga mampu menjadi game changer. Andaikata mitra runding kita mengambil posisi hard-line jangan kita
terpancing untuk menolak atau counterattack tetapi arahkan mereka untuk bagaimana memenuhi kepentingan masing-masing
pihak. Sebaliknya kita menggunakan/mengkapitalisir pendapat mereka untuk ajukan problem solving questions: mengapa
anda menginginkan posisi tersebut; apa yang anda akan lakukan apabila anda berada dalam situasi seperti saya ....Biarkan
permasalahan yang menjadi guru mereka. Hal tersebut yang disebut taktik reframe. Dont Reject: Reframe.
© Mas Achmad Santosa, 13 September 2021 24
5 Langkah Terobosan Negosiasi (Urry, 1993)
Build Them a Golden Bridge
Seringkali terjadi disaat kita siap bernegosiasi, mitra runding kita mandek tidak menunjukan kemauan untuk maju. Mitra
runding kita tidak yakin ada manfaat dari sebuah kesepakatan. Seringkali kita tergoda untuk mendorong dan bersikeras
(ngotot) dan kesal. Sikap reaktif seperti itu merugikan proses negosiasi karena mitra runding semakin kuat resistensinya.
Do the opposite, dengan cara kita berperan sebagai mediator: libatkan mereka dalam proses; inkorporasikan gagasan
mereka dalam berbagai usulan opsi penyelesaian; penuhi kepentingan mereka yang belum tercerminkan (unmet
interest)-- terutama kepentingan yang terkait basic human needs-- (lihat Circle of Conflict )-- dalam proposal
penyelesaian; bantu selamatkan muka mereka; buatkan usulan kesepakatan dapat mencerminkan/mensimbolkan
kemenangan mereka. Istilahnya Go Slow To Go Fast. Dont Push: Build Them the Golden Bridge
2. Emosi dan ekspresi negatif yang memperburuk hubungan para pihak menghambat diskusi untuk
penyelesaian masalah mereka.
3. Hilangnya kepercayaan dan respect antar pihak yang menghambat terjadinya pembicaraan yang produktif.
4. Komunikasi antar pihak yang bersengketa/berkonflik sangat buruk (kualitas dan kuantitas) yang tidak bisa
diatasi oleh para pihak itu sendiri.
5. Mispersepsi atau stereotyping/labelling yang menghambat komunikasi dan pertukaran pesan yang
konstruktif.
6. Perilaku negative yang dilakukan secara berulang (repeated negative behavior) dari para pihak (beberapa
pihak) yang menjadi kendala serius terjadinya komunikasi yang efektif sebagai prasyarat untuk
penyelesaian masalah.
7. Ketidaksepakatan yang serius (significant disagreement) antar pihak terkait dengan data (penentuan
penting atau tidaknya data, bagaimana data itu didapatkan, dan bagaimana data itu dievaluasi/dinilai).
9. Para pihak merasa buntu tentang posisi mereka yang ditandai masing-masing pihak menginginkan
solusi yang berbeda-beda, dan ketidakmampuan untuk melakukan identifikasi tentang kepentingan-
kepentingannya, apalagi berbicara tentang mutually acceptable interest-based solutions
10. Para pihak mendapatkan tekanan untuk tidak menyelesaikan konflik/sengketa yang disebabkan oleh
faktor-faktor atau pihak lain diluar para pihak yang bersengketa.
11. Para pihak enggan untuk mencapai kesepakatan karena adanya faktor unknowns, risks, atau
perubahan situasi kedepan.
12. Para pihak kehilangan kepercayaan terhadap satu dengan yang lain, andaikatapun terjadi
kesepakatan, kesepakatan tersebut tidak dilaksanakan.
CIRCLE OF CONFLICT
30
Circle of Conflict: Causes and Intervention
Moore, 1996
Konflik kepentingan (interest • (i) kepentingan substantif, (ii) kepentingan prosedural, dan (iii) kepentingan
conflict): psikologis
• (i) Perilaku dan interaksi yang destruktif, (ii) kontrol yang tidak seimbang, (iii)
Konflik struktural (structural kepemilikan, (iv) pendistribusian sumber daya, (v) ketidakseimbangan kekuatan
conflicts): dan otoritas, (vi) faktor geografis, fisik, dan lingkungan yang menjadi kendala
kerjasama, dan (vii) kendala waktu
• (i) perbedaan kriteria dalam mengevaluasi gagasan atau perilaku, (ii) gaya
Konflik nilai (value conflicts): hidup yang berbeda, dan (iii) ideolgi dan agama.
Parties Procedures
1. Who are the main parties and their key spokespeople? 1. What do parties think about using
2. Who are the secondary parties and their spokespeople? some form of conflict management?
3. Are the parties will defined? What suggestions do they have?
4. Do the parties want to work toward a solution? 2. Does a consensus process serve the
5. Are the parties capable of working with each other? parties interest?
3. What constraints might affect the
Substance of the Problem structure of a conflict management
1. What description best characterize the conflict? (a) Conflict process (timing, legal activities,
focuses on different interest; (b) Conflict focuses on strongly resources)?
held values; (c) Conflict focuses on perceived differences that 4. What other obstacle must a process
do not really exist. overcome?
2. What is the most constructive way to define the problem? 5. Which parties are experienced in
3. What are the central issues? using alternative dispute resolution
4. What are the secondary issues? procedures?
5. Are the issues negotiable? 6. What are the chances for success?
6. What are the key interest of each party?
7. What interest do parties have in common?
8. What positions have been taken/
9. What other options for resolution exist?
© Mas Achmad Santosa, 13 September 2021 34
Kesimpulan
1. Dalam masyarakat perkotaan modern, mediator independen yang diperankan oleh
mediator profesional lebih tepat. Dalam masyarakat adat, fungsi social network mediator
sudah berlangsung lama dan banyak ditemukan cerita keberhasilan. Sedangkan
authoritative mediator dapat diterapkan dalam masyarakat perkotaan dan pedesaan
sepanjang nilai nilai imparsialitas dan netralitas betul betul diterapkan.
2. Penguasaan teknik negosiasi interest based lebih tepat dibandingkan dengan positional
based (soft dan hard) karena kemungkinannya lebih besar menghasikkan kesepakatan
yang stabil dan implementable.
3. Penguasaan teknik negosiasi dan mediasi mutlak harus dilembagakan terutama oleh
peruguruan tinggi apabila konsep dan teknik negosiasi dan mediasi akan dioptimalkan
penggunaannya di Indonesia. Penguasaan konsep dan teknik secara textbook perlu
diimbangi dengan penelitian praktek negosiasi dan mediasi di Indonesia, dan simulasi
kasus-kasus konflik dan sengketa yang terjadi di Indonesia.
© Mas Achmad Santosa, 13 September 2021 35
Contoh Kasus: PT. Tambang Mas Sangihe (TMS) vs. Masyarakat
Pulau Sangihe, Sulut
• Pada 29 Januari 2021, PT Tambang Mas Sangihe (TMS) mendapat persetujuan
peningkatan Kontrak Karya menjadi tahap kegiatan operasi produksi (IUP-OP) dari
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk menambang di Pulau Sangihe, Sulawesi
Utara.
• Izin operasi produksi perusahaan tersebut kemudian ditolak oleh warga sangihe karena
mengancam ruang hidup mereka, dan secara ekologis membahayakan pulau tersebut
terlebih area konsesi yang termuat dalam IUP PT TMS mencakup wilayah Hutan Lindung
dan hutan Sahendrarumang yang menjadi hulu dari 70 Sungai. Luas pulau Sangihe
kurang dari 2.000 Km, yang mana secara hukum termasuk dalam kategori
“Pulau Kecil” sebagaimana telah dinyatakan pada pasal 1 ayat (3) UU PWP3K. Pada
aturan yang sama, pulau kecil bukan merupakan wilayah yang diprioritaskan untuk
pemanfataan pertambangan.
• Selain itu, dalam Perda Nomor 1 Tahun 2017 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil (“RZWP3K”) Provinsi Sulawesi Utara, tidak ada rencana
pemanfaatan wilayah untuk pertambangan di Kabupaten Kepulauan Sangihe terhitung
sejak 2017 sampai dengan tahun 2037.
36
Penyelesaian Konflik: PT. Tambang Mas Sangihe (TMS) vs.
Masyarakat Pulau Sangihe, Sulut.
• Pada 12 Oktober 2021, masyarakat Pulau Sangihe mengajukan gugatan ke PTUN Manado atas Izin Lingkungan yang
diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Sulawesi Utara.
• Salah satu alasan pengajuan gugatan tersebut adalah tidak adanya pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan
AMDAL sebagai salah satu syarakat penerbitan Izin Lingkungan.
• Pada tanggal 2 Juni 2022, PTUN Manado memutuskan mengabulkan gugatan warga, dengan pertimbangan bahwa benar
dalam proses penerbitan Izin tersebut tidak melibatkan masyarakat.
• Selanjutnya, PT. TMS mengajukan banding ke PT-TUN Makassar pada tanggal 15 Juni 2022. Dalam putusannya, PT-TUN
Makassar mengabulkan banding yang diajukan oleh PT. TMS karena menurutnya, terdapat partisipasi masyarakat dalam
proses penyusunan AMDAL.
• Warga kemudian mengajukan kasasi di Mahkamah Agung namun dan putusannya ditolak, sehingga Izin Lingkungan tidak
dicabut.
• Meskipun demikian, jika merujuk kepada dictum ke-7 yang memuat bahwa izin lingkungan berlaku sama dengan masa
berlakunya masa izin usaha dan/atau kegiatan, maka izin lingkungan dimaksud sudah tidak berlaku lagi karena IUP-OP
milik PT.TMS telah dicabut.
37
Penyelesaian Konflik: PT. Tambang Mas Sangihe (TMS) vs.
Masyarakat Pulau Sangihe, Sulut
• Pada tanggal 12 Agustus 2021, masyarakat sangihe mengajukan gugatan ke PTUN
Jakarta atas izin IUP-OP sebagai perpanjangan Kontrak Karya.
• Di PTUN Jakarta, masyarakat mengajukan gugatan terhadap IUP OP PT TMS. Gugatan
tersebut ditolak karena hakim PTUN Jakarta objek gugatan seharusnya bukan IUP OP,
melainkan Kontrak Karya sehingga seharusnya gugatan diajukan ke Pengadilan
Negeri.
• Pada tanggal 20 Mei 2022, warga mengajukan banding ke PT-TUN Jakarta dan
dikabulkan, sehingga eksepsi yang diajukan oleh tergugat (PT TMS dan Menteri
ESDM) ditolak pada tingkat banding.
• Menteri ESDM dan PT TMS kemudian mengajukan kasasi ke MA namun ditolak,
sehingga warga Sangihe menang dan IUP-OP PT.TMS harus dicabut.
• Saat ini, sedang dalam proses pelaksanaan putusan dan menunggu Menteri ESDM
mengeluarkan SK yang mencabut IUP-OP PT. TMS.
38
Conflict Analysis Chart (Bagian dari perencanaan negosiator/mediator)