Anda di halaman 1dari 1

Tiada DPM, DPN Pun Jadi

Ruang aspirasi publik merupakan salah satu dari banyaknya syarat yang harus di penuhi pada sebuah
sistem demokrasi. Agar terlihat demokratis, ruang itu harus dibuka selebar-lebarnya, walaupun tetap ada
batasan di dalamnya. Bicara masalah ruang aspirasi publik sudah tentu bicara kepentingan masyarakat.
Aspirasi tak bisa langsung menyentuh eksekutif. Sesuai prosedur aspirasi itu akan ditampung melalui
Legislatif. Di kampus kita biasa disebut dengan DPM.
Kian hari, Kian surut. Kata itulah yang harus dijadikan bahan evaluasi oleh beberapa kepengurusan DPM.
Pasalnya untuk menyampaikan aspirasi mahasiswa tidak lagi memilih DPM sebagai jalur utama, akan
tetapi memilih Dewan Perwakilan Netizen (DPN). Ruang Aspirasi yang disediakan DPM seringkali tidak
mendapat perhatian dan justru dijadikan sebagai jalur alternatif setelah DPN.
Saya juga tidak habis pikir mengapa kecenderungan ini bisa terjadi. Secara tugasnya DPN tidak mampu
menyelesaikan masalah yang ada. Mereka tidak punya fungsi advokasi pada sebuah kasus, sehingga
pengawalan hanya akan dilakukan lewat Akun mereka dengan puluhan ribu followersnya.
Kita bisa memandang ini dari dua sisi. Pertama, mahasiswa menganggap fungsi DPM tidak lagi mampu
mengakomodasi keresahan mahasiswa. Ini dibuktikan dengan banyaknya aduan yang dilayangkan secara
langsung pada DPN. Kedua, mahasiswa yang tak paham bahwa mereka mempunyai wakil sebagai wadah
meluapkan aspirasi, sehingga mencari alternatif baru sebagai wadah untuk menyampaikan kritik dan
aspirasinya.
Tak salah memang, dan saya acungi jempol untuk kawan-kawan DPN karena tanpa balas jasa dan jabatan
sudah mau menemani dan ikut mengangkat isu-isu yang sejalan dengan kepentingan mahasiswa. Menjaga
DPN berarti menjaga ruang aspirasi publik. Kini DPM juga harus berbenah diri dengan masalah tersebut,
mengingat ini adalah masalah besar yang perlu diselesaikan.
Apalagi dengan tiadanya DPM ditingkat Universitas semakin membuka ruang kesewenang-wenangan yang
terjadi. Jika mau, BEM bisa saja melakukan hal-hal yang brutal. Saya kurang tahu pasti bagaimana
aspirasi kita selaku mahasiswa bisa sampai pada BEM jika wadahnya saja tidak ada. Perlu kita amini
bahwa inilah salah satu kegagalan terbesar pada demokrasi di kampus UMS
Pada kondisi inilah posisi pers dan ruang aspirasi publik sebagai pengawas sangat dibutuhkan. Rasa
skeptis dan selalu mempertanyakan hal-hal yang berkaitan dengan kekuasaan sudah sangat lumrah terjadi
pada demokrasi. Penolakan, kritik dan aspirasi seharusnya sudah jadi makanan penguasa, tapi terkadang
pemimpin kita belum memiliki mental untuk mau dikritik dan diberi masukan.
Apapun itu, segala bentuk kesewenang-wenangan harus dihapuskan. Nilai dasar demokrasi dengan
membatasi kekuasaan harus benar-benar diwujudkan demi menyongsong demokrasi yang sehat dan tak
kotor akibat kepentingan. Akhir kata saya hanya ingin mengingatkan pada kawan-kawan semua mari kita
bangun iklim demokrasi yang baik di UMS dengan ikut andil berpartisipasi pada setiap pemilihan yang ada.
Selain itu saya juga berharap kedepan mahasiswa UMS bisa lebih melek terhadap dinamika politik yang
hadir. Miniatur negara ini harus benar-benar kita manfaatkan sebagai media belajar untuk mengetahui
mekanisme negara kita berjalan.

Anda mungkin juga menyukai