Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

STUDI AL-QUR’AN
“MUHAMMAD RASYID RIDHA DAN TAFSIR AL-MANNAR,
SAYYID QUTUB DAN TAFSIRNYA DALAM
FI ZHILAL AL-QUR’AN”

OLEH:
IMDAD RABBANI (18710031)

PASCASARJANA
MANAJAMEN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1
C. Tujuan ........................................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 3
A. MUHAMMAD RASYID RIDHA DAN TAFSIR AL-MANNAR ........................ 3
1. Biografi Syaikh Muhammad Abduh ....................................................................... 3
2. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha........................................................................... 7
3. Metode Penafsiran Muhammad Rasyid Ridha ...................................................... 11
4. Kecendrungan / Aliran Penafsiran Muhammad Rasyid Ridha ............................. 13
5. Keistimewaan dan Kelemahan Tafsir Al Manar ................................................... 13
B. SAYYID QUTUB DAN TAFSIRNYA DALAM FI ZHILAL AL-QUR’AN ... 14
1. Biografi Sayyid Qutb ............................................................................................ 14
2. Metode Penafsiran Sayyid Qutub ......................................................................... 15
3. Kecendrungan / Aliran dari Penafsiran Sayyid Qutub .......................................... 17
4. Keistimewaan dan Kelemahan Kitab fi Zhlilal al-Qur’an .................................... 17
BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 19
1. Kesimpulan ............................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 20
References ......................................................................................................................... 20

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir Al-Qur’an. Dimulai dari Tafsir
pada masa Nabi dan Sahabat, masa tabi’in, masa pembukuan , tafsir maudu’i,
Tabaqat Mufasir, Tafsir bil-Ma’sur dan bir-Ra’yi hingga sampai pada masa kitab-
kitab tafsir terkenal di Abad Modern merupakan keanekaragaman bentuk dan cara
dalam menjelaskan isi dari lafadz-lafadz Al-Quran secara rinci baik dari aspek
hukum maupun yang lainnya.

Tafir era modern mengalami mengalami peralihan dari sumber-sumber lisan


menuju sumber-sumber tertulis. Dalam hal ini yang menjadi sorotan tafsir al-manar
dan Kitab fi Zhilal Al-Qur’an yang menjadi bibit munculnya tafsir era modern.

Tafsir al manar merupakan karya dari revolusioner Mesir , yakni Muhammad


Abduh dan Rasyid Ridha yang mana lebih mengutamakan rasionalitas sehingga
tidak hanya bertaqlid buta terhadap penafsiran tokoh-tokoh (mufassir) sebelumnya.
Sedangkan Tafsir fi Zhilal al-Qur’an merupakan karya dari Sayyid Qutub yang
termasuk karya besar di abad modern.

Di dalam makalah ini akan dijelaskan secara rinci mengenai tafsir al manar dan
kitab fi zhilal al-Qur’an serta biografi pengarangnya dan metode penafsirannya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Biografi Muhammad Rasyid Ridha, Metode Penafsirannya di
dalam Tafsir Al-Manar serta keistimewaan dan Kelemahan di dalam Kitab
karangannya?
2. Bagaimanakah Biografi Sayyid Qutb, Metode Penafsirannya di dalam Kitab fi
Zhilal Al-Qur’an serta Keistimewaan dan Kelemahan di dalam Kitab
karangannya?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Biografi Muhammad Rasyid Ridha, Metode Penafsirannya
di dalam Tafsir Al-Manar serta keistimewaan dan Kelemahan di dalam Kitab
karangannya.

1
2. Untuk mengetahui Biografi Sayyid Qutb, Metode Penafsirannya di dalam Kitab
fi Zhilal Al-Qur’an serta Keistimewaan dan Kelemahan di dalam Kitab
karangannya?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. MUHAMMAD RASYID RIDHA DAN TAFSIR AL-MANNAR


1. Biografi Syaikh Muhammad Abduh
Al-Manar adalah salah satu kitab tafsir yang berorientasi sosial,budaya dan
kemasyarakatan; suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat al-
Qur’an pada segisegi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kendungan
ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama
turunnya al-Qur’an, yakni membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian
merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku
dalam masyarakat dan perkembangan dunia.1

Tokoh utama corak penafsiran ini, serta yang berjasa meletakkan dasar-
dasarnya adalah Syaikh Muhammad Abduh, yang kemudian dikembangkan oleh
muridnya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dan dilanjutkan oleh ulama-ulama lain,
terutama Muhammad Musthafa al-Maraghi.

Syekh Muhammad Abduh nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin
Hasan Khairullah. Dia dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah,
Mesir pada tahun 1849 M. Dia berasal dari Keluarga yang tidak tergolong kaya,
bukan pula keturunan bangsawan. Namun, Ayahnya dikenal sebagai orang yang
terhormat yang suka memberi pertolongan. Muhammad Abduh berkata “Aku
tadinya beranggapan bahwa Ayahku adalah manusia termulia di kampungku. Lebih
jauh, baliau aku anggap manusia termulia di dunia ini. Karena ketika itu aku
mengira bahwa dunia itu tiada lain kecuali kampung Mahallat Nashr. Saat itu, para
pejabat yang berkunjung ke desa Mahallat Nashr lebih sering mendatangi dan
menginap di rumah kami daripada di rumah kepala desa, walaupun kepala desa
lebih kaya dan mempunyai banyak rumah serta tanah. Hal ini menimbulkan kesan
yang dalam atas diriku bahwa kehormatan dan ketinggian derajat bukan ditentukan
oleh harta atau banyaknya uang. Aku juga menyadari, sejak kecil, betapa teguhnya

1
Shihab, M. Q. (2006). Rasionalitas Al-Qur'an ; Studi Kritis atas Tafsir Al-Mannar. Jakarta:
Lentera Hati(Halaman 5)

3
ayahku dalam pendirian dan tekad serta keras dalam perilaku terhadap musuh-
musuhnya. Semua itulah yang ku tiru dan ku ambil, kecuali kekerasannya. 2

Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan keluarga petani di pedesaan.


Namun demikian, ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi
pertolongan. Semua saudaranya membantu ayahnya mengelola usaha pertanian,
kecuali Muhammad Abduh yang oleh ayahnya ditugaskan untuk menuntut ilmu
pengetahuan. Pilihan ini bisa jadi hanya suatu kebetulan atau mungkin juga karena
ia sangat dicintai oleh ayah dan ibunya. Hal tersebut terbukti dengan sikap ibunya
yang tidak sabar ketika ditinggal oleh Muhammad Abduh ke desa lain, baru dua
minggu sejak kepergiannya, ibunya sudah datang menjenguk. Beliau dikawinkan
dalam usia yang sangat muda yaitu pada tahun 1865, saat ia baru berusia 16 tahun.3

Mula-mula Muhammad Abduh dikirim oleh Ayahnya ke masjid al-Ahmadi


Thantha (sekitar 80 km dari kairo) untuk mempelajari tajwid al-Qur’an. Hanya
berlangsung 2 tahun, muhammad abduh kembali ke desanya untuk bertani pada
tahun 1864 serta dia dinikahkan oleh keluarganya di usia yang masih muda.

Pada suatu ketika muhammad abduh lari ke desa Syibral Khit karena
menghindar dari ajakan ayahnya untuk kembali belajar. Di kota inilah dia bertemu
dengan pamannya yang bernama Syaikh Darwisy Khidr – seorang yang mempunyai
pengetahuan luar biasa mengenai al-Qur’an dan menganut paham tasawuf asy-
syadziliah. Sang paman berhasil merubah hobi Muhammad Abduh dari yang
semula senang bermain lalu berubah menjadi seorang yang rajin dalam menuntut
ilmu.4

Beliau kembali ke Masjid al-Ahmadi Thantha lalu dia menuju Kairo untuk
belajar di al-Azhar pada Februari 1866. Namun muhammad abduh kurang setuju
dengan sistem pengajaran di sana karena mahasiswa tidak diarahkan untuk
melakukan penelitian,perbandingan dan penarjihan. Tetapi dia banyak mengagumi

2
Rasyid Ridha, S. M. (1931). Tarikh al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh. Kairo, Mesir:
Percetakan al-manar.
3
mylife, p. (2012, Maret Minggu). biografi-syeikh-muhammad-abduh. Diambil kembali dari
biografi-syeikh-muhammad-abduh: http://pena-mylife.blogspot.com/2012/03/biografi-syeikh-
muhammad-abduh.html
4
Shihab, M. Q. (2006). Rasionalitas Al-Qur'an ; Studi Kritis atas Tafsir Al-Mannar. Jakarta:
Lentera Hati(Halaman 5)

4
dosen disana, diantaranya: Pertama, Syaikh Hasan ath-Thawi yang mengajarkan
kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles, dan lain
sebagainya. Padahal, kitab-kitab tersebut tidak diajarkan di al-Azhar pada waktu
itu; Kedua, Muhammad al-Basyuni, seorang ilmuan yang banyak mencurahkan
perhatian dalam bidang sastra bahasa, bukan melalui pengajaran tata bahasa
melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktekkannya.5

Pada tahun 1871, Jamaluddin al-Afghani tiba di Mesir. Kehadirannya disambut


oleh Muhammad Abduh dengan menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang
diadakan al-Afghani. Setelah dua tahun sejak pertemuannya dengan jamaluddin al-
Afghani, terjadilah perubahan yang sangat berarti pada kepribadian Abduh dan
mulailah dia menulis kitab-kitab karangannya dan menulis artikel di surat kabar al-
ahram yang sangat kental kaitannya dengan aliran-aliran filsafat, teologi, dan
tasawuf serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah. Dari
keuletannya itu, Syaikh al-Azhar – Syaikh Muhammad Mahdi al-Abbasi
menganugerahinya sebagai lulusan terbaik al-azhar pada tahun 1877 M (usia 28
tahun)

Setalah lulus tingkat Alamiyah (sekarang L.C.), dia melanjutkan untuk


mengajar di al-Azhar dengan menagajar ilmu Mantiq dan Teologi serta kitab
Tahdzib al-Akhlaq karangan Ibnu Miskawaih dan Serjarah Peradaban Kerajaan-
Kerajaan Eropa yang diajarkan di rumahnya. Pada tahun 1878, Muhammad Abduh
diangkat sebagai pengajar “Sejarah” pada sekolah Dar al_ulum (yang kemudian
menjadi Fakultas) serta ilmu-ilmu bahasa arab pada madrasah al-Idarah wa al-
Alsun (Sekolah Administrasi dan Bahasa-Bahasa).

Pada 1879, Jamaluddin Al-Afgani diusir oleh Pemerintah Mesir atas hasutan
Inggris dan Muhammad Baduh diberhentikan dari kedua sekolah. Tetapi pada tahun
1880, abduh dibebaskan kembali dan diserahi tugas memimpin surat kabar resmi
pemerintah yaitu al-Waqa’i al-Mishriyah yang dijadikan wadah dalam mengkritik
pemerintahan yang sewenang-wenang.

5
ibid

5
Setelah revolusi urabi 1882(yang berakhir dengan kegagalan), Pemerintah
Mesir mengasingkan Muhammad Abduh ke Suriah selama 3 tahun. Di negara ini,
Muhammad Abduh beserta gurunya menerbitkan surat kabar al-Urwah al-Wutsqa,
yang bertujuan mendirikan pan-islam serta menentang penjajahan barat khususnya
Inggris.

Tahun 1884 Muhammad Abduh diutus oleh surat kabar tersebut ke Inggris
untuk menemui tokoh-tokoh negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir.
Tahun 1885 Muhammad Abduh meninggalkan Paris menuju ke Beirut (Libanon)
dan mengajar di sana sambil mengarang beberapa kitab, antara lain:

1. Risalah at-Tauhid (dalam bidang teologi);


2. Syarah Nahjul Balaghah (Komentar menyangkut kumpulan pidato dan
ucapan Imam Ali bin Abi Thalib);
3. Menerjemahkan karangan Jamaluddin al-Afghani dari bahasa Persia, Ar-
Raddu ‘Ala ad-Dahriyyin (Bantahan terhadap orang yang tidak
mempercayai wujud Tuhan); dan
4. Syarah Maqamat Badi’ az-Zaman al-Hamazani (kitab yang menyangkut
bahasa dan sastra Arab).

Di Beirut, aktivitas Muhammad Abduh tidak terbatas pada mengarang dan


mengajar saja, tetapi bersama beberapa tokoh agama lain mendirikan sebuah
organisasi yang bertujuan menggalang kerukunan antar umat beragama. Organisasi
ini telah membuahkan hasil-hasil positif, terbukti dengan dimuatnya artikel-artikel
yang mengangkat ajaran Islam secara objektif pada media massa di Inggris, padahal
ketika itu jarang sekali dijumpai hal serupa di media Barat. Namun, organisasi ini
dan aktivitas anggota-anggotanya dinilai oleh penguasa Turki di Beirut mempunyai
tujuan-tujuan politik, sehingga penguasa tersebut mengusulkan kepada pemerintah
Mesir untuk mencabut hukuman pengasingan Muhammad Abduh dan diminta
segera kembali ke Mesir.6

Pada tahun 1888, Muhammad Abduh kembali ke tanah airnya dan diberi tugas
sebagai hakim di pengadilan daerah Banha, lalu dipindah ke Pengadilan Abidin.

6
Farah, N. (2016, Desember). Konsep Ahl Al-Kitab Menurut Pemikiran Rasyid Ridha dalam Tafsir
Al-Manar, XII, 221-249.(halaman 230)

6
Kemudian pada tahun 1899 dia diangkat menjadi Mufti dan anggota Majlis Syura
Kerajaan Mesir, seksi perundang-undangan. Pada 1905 Muhammad Abduh
mencetuskan ide untuk membangun Universitas Mesir yang mana mendapatkan
tanggapan baik oleh Pemerintah Mesir. Namun sayang, Universitas ini baru berdiri
setelah Muhammad Abduh berpulang ke Rahmatullah dan universitas inilah yang
kemudian menjadi “Universitas Kairo”.

Pada tanggal 11 Juli 1905, Muhammad Abduh meninggal dunia di Kairo, Mesir.
Yang menangisi kepergiannya bukan hanya umat islam, tetapi ikut pula berduka
sekian banyak tokoh non-Islam.7

Adapun karya-karya Muhammad Abduh dalam bidang Tafsir diantaranya:

1. Tafsir Juz Amma, yang dijadikan pegangan guru-guru mengaji di Maroko


pada tahun 1321 H.
2. Tafsir Surah Wal ‘Ashr, karya ini berasal dari kuliah atau pengajian-
pengajian yang disampaikannya di hadapan Ulama Aljazair
3. Tafsir ayat-ayat Surat an-Nisa’ ayat 77 dan 87, al-Hajj ayat 52,53 dan 54
dan al-Ahzab ayat 37. Hal ini dimaksudkan untuk membantah tanggapan
negatif terhadap islam dan nabinya.
4. Tafsir al-Qur’an bermula dari surat al-fatihah sampai dengan ayat 129 dari
surah an-Nisa yang disampaikannya di Masjid Al-Azhar, Kairo sejak awal
1317 H – 1332 H.8

2. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha


Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha'uddin Al-Qalmuni
Al-Husaini lahir di Suriah Utsmaniyah, 23 September 1865 atau 18 Oktober 1865
dan meninggal di Mesir, 22 Agustus 1935 dikenal sebagai Rasyid Ridha adalah
seorang intelektual muslim dari Suriah yang mengembangkan gagasan modernisme
Islam yang awalnya digagas oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.9

7
Shihab, M. Q. (2006). Rasionalitas Al-Qur'an ; Studi Kritis atas Tafsir Al-Mannar. Jakarta:
Lentera Hati(Halaman 13)
8
Ibid (halaman 18)
9
wikipedia. (2018, September 23). Rasyid_Ridha. Diambil kembali dari Rasyid_Ridha:
https://id.wikipedia.org/wiki/Rasyid_Ridha

7
Keluarga Ridha dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat
beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal dengan
sebutan “Syaikh”. Ketika rasyid ridha mencapai umur remaja, ayahnya telah
mewarisi kedudukan, wibawa, serta ilmu sang nenek, sehingga rasyid ridha banyak
terpengaruh dan belajar dari ayahnya sendiri.

Di masa kecil dia belajar di taman-taman pendidikan di kampungnya yang


ketika itu dinamai dengan nama al-kuttab, disana diajarkan membaca al-qur’an,
menulis dan dasar-dasar berhitung. Setelah tamat, Rasyid Ridha dikirim oleh
orangtuanya ke Tripoli (Lebanon) untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah yang
mengajarkan Nahwu,sharaf, akidah, fiqih dan berhitung.

Tidak lama kemudian , dia pindah ke Sekolah Islam Negeri yang merupakan
sekolah ternaik pada saat itu dengan bahasa arab sebagai bahasa pengantar. Pendiri
Sekolah ini – Syaikh Husain al-Jisr yang kelak mempunyai andil sangat besar
terhadap perkembangan pikiran Rasyid Ridha, sebagai bukti nyata yaitu Syaikh
Husain memberikan kesempatan kepada Rasyid Ridha untuk menulis surat kabar
Tripoli – kesempatan itu yang berhasil mengantarkannya menjadi Pemimpin
Majalan Al-Manar serta memberikannya Ijazah dalam bidang ilmu-ilmu agama,
bahasa dan filsafat.10

Disamping itu, ada beberapa guru yang mempunyai andil besar di dalam
perkembangan pemikiran Muhammad Rasyid Ridha, diantaranya:

1. Syaikh Mahmud Nasyabah, seorang ahli dalam bidang hadist yang


mengajarnya sampai selesai dan memperoleh ijazah. Sehingga teman-
temannya menyebutnya sebagai Voltaire-nya kaum muslim, karena
keahliannya menggoyahkan segala sesuatu yang tidak benar di dalam
bidang agama.
2. Syaikh Muhammad al-Qawiji, Seorang ahli hadist
3. Syaikh Abdul Ghani ar-rafi, yang mengajarkannya sebagian dari kitab
hadist Nail al-Authar
4. Al Ustad Muhammad al-Husaini

10
Shihab, M. Q. (2006). Rasionalitas Al-Qur'an ; Studi Kritis atas Tafsir Al-Mannar. Jakarta:
Lentera Hati.(halaman 73)

8
5. Syaikh Muhammad Kamil ar-Rafi

Sejak kecil Muhammad Rasyid Ridha mempunyai tekad yang kuat di dalam
menuntut ilmu serta taat dalam urusan ibadah. Bukan hanya keluarganya saja yang
menghormatiny, tetapi penduduk kampungnya seringkali mendatangi Rasyid Ridha
untuk meminta berkahnya.11

Muhammad Rasyid Ridha mempunyai kegemaran membaca kitab karangan


Imam Al-Ghazali “Ihya’ Ulum ad-Din” yang dibacanya berulang-ulang sehingga
benar-benar memengaruhi jiwa dan tingkah lakunya dan dia juga bertekad bulat
dalam mengikuti aliran tarekat Naqsyabandiyah yang membuatnya mampu
berbicara tentang tasawuf dengan mantap, menerima apa yang baik, menolak yang
bertentangan dengan agama, serta mengajak untuk mengadakan perbaikan-
perbaikan seperlunya.

Majalah al-Urwah al-Wutsqa yang diterbitkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan


Muhammad Abduh di Paris memberikan pengaruh yang sangat besar pada jiwanya,
sehingga mengubah sifat pemuda berjiwa sufi ini menjadi seorang pemuda yang
penuh semangat, maka dengan membaca majalah tersebut, dia beralih kepada
usaha-usaha membangkitkan semangat Kaum Muslim untuk melakukan ajaran
agama secara utuh serta membela dan membangun negara dengan ilmu
pengetahuan dan industri.

Kekagumannya kepada muhammad abduh bertambah mendalam sejak Abduh


kembali ke Beirut pada tahun 1885. Pertemuan pertama terjadi ketika Syaikh
Muhammad Abduh berkunjung ke Tripoli menemui temannya. Pertemuan kedua
terjadi pada tahun 1894 yaitu ketika Rasyid Ridha diminta menemani Muhammad
Abduh, sehingga banyak kesempatan bagi Rasyid Ridha untuk menanyakan segala
sesuatu yang masih kabur baginya. Pada akhirnya Rasyid Ridha menerbitkan suatu
surat kabar yang mengolah masalah-masalah sosial,budaya dan agama dan
Muhammad Abduh memberinya nama dengan al-Manar.

11
Shihab, M. Q. (2006). Rasionalitas Al-Qur'an ; Studi Kritis atas Tafsir Al-Mannar. Jakarta:
Lentera Hati.(halaman 75)

9
al-Manar terbit perdana pada tanggal 17 Maret 1898 M, berupa media
mingguan sebanyak delapan halaman dan mendapat sambutan hangat bukan hanya
di Mesir saja namun juga mencapai belahan Eropa , bahkan ke Indonesia.

Adapaun karya-karya ilmiah Muhammad Rasyid Ridha, antaralain adalah


sebagai berikut :

1. Al-Hikmah asy-Syar’iyyah fi Muhakkamat ad-Dadiriyah wa-ar-Rifa’iyyah,


merupakan karya pertama sewaktu dia masih belajar
2. Al-Azhar dan Al-Manar. Isinya antara lain, sejarah Al Azhar, perkembangan
dan misinya, serta bantahan terhadap sementara ulama al-Azhar yang
menentang pendapatya.
3. Tarikh al-Ustadz al-Imam, berisi riwayat hidup Muhammad Abduh dan
perkembangan masyarakat Mesir pada masanya
4. Nida’ li al-jins al-latif, berisi uraian tentang hak dan kewajiban wanita
5. Zikra al-Maulid an-nabawi
6. risalatu Hujjah al-Islam al-Ghazali
7. as-sunnah wa asy-Syi’ah
8. al-Wahdah al-Islamiyah
9. Haqiqah ar-riba
10. Majalah al-manar, yang terbit sejak 1315 H/1898M sampai dengan
1354/1935
11. Tafsir Al-Manar
12. Tafsir surah-surah al-kautsar, al-kafirun, al-ikhlas dan al-Mu’awwidzatain

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha meninggal dunia dalam keadaan kecelakaan


12
setelah dari mengantarkan Pengeran Sa’ud al-Faisal . kiranya Tuhan
mengabulkan doanya serta menerima pengabdiannya yang ditandai dengan akhir
ayat yang ditafsirkannya:

12
Ibid (Halaman 81)

10
‫السماو ي‬
‫ات َو ْاْل َْر ي‬ ‫ي‬ ‫ك وعلَّمتَيِن يمن تَأْ يو ييل ْاْل ي ي‬
‫ي‬ ‫ي‬
‫َنت‬
َ ‫ضأ‬ َ َ َّ ‫َحاديث ۚ فَاطَر‬
َ ْ َ َ ‫ب قَ ْد آتَ ْيتَيِن م َن الْ ُم ْل‬
ِّ ‫َر‬

‫ي‬
َ ‫الصاْل‬ ْ ‫َولييِّي يِف الدُّنْيَا َو ْاْل يخَرةي ۚ تَ َوفَّيِن ُم ْسلي ًما َوأ‬
‫َْليْق يِن بي َّ يي‬

“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian


kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir mimpi. (Ya Tuhan)
Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat,
wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang
yang saleh.(Surah Yusuf: 101)”

3. Metode Penafsiran Muhammad Rasyid Ridha


Pada dasarnya Muhammad Rasyid ridha mengikuti metode dan ciri-ciri pokok
yang digunakan oleh gurunya, Syaikh Muhammad Abduh diantaranya:

1. Menganggap satu surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi


2. Ayat-ayat Al-Qur’an bersifat Umum
3. Al-Qur’an adalah sumber akidah dan hukum
4. Penggunakan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat
5. Bersikap hati-hati terhadap hadist Nabi Saw
6. Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat13

Dalam penafsirannya, ia tidak terikat pada mufassir lain, tidak harus


menyesuaikan makna nash Al-Qur’an dengan akidah atau pendapatnya sendiri,
tidak pula menggunakan hadis-hadis palsu, tidak menggunakan cerita-cerita
Israiliyat, ayat-ayat mubham tidak pernah ditentukan maknanya, dan
menghindarkan diri dari istilah-istilah ilmu pengetahuan. Dalam penafsirannya dia
selalu berusaha dengan keras mengungkapkan makna Al-Qur’an dengan susunan
bahasa yang mudah diterima, menjelaskan kesulitan-kesulitannya, membela al-
Qur’an dengan menghilangkan keraguan terhadapnya, menerangkan hidayah dan
hikmahnya serta berusaha memecahkan problem kemasyarakatan secara metodis

13
Shihab, M. Q. (2006). Rasionalitas Al-Qur'an ; Studi Kritis atas Tafsir Al-Mannar. Jakarta:
Lentera Hati (halaman 87)

11
Ada beberapa perbedaan yang menonjol antara penafsiran Muhammad Abduh
dengan Rasyid Ridha, setelah Ridha menulis Al-Manar atas usahanya sendiri.
Perbedaan tersebut menyangkut:

1. Keluasan Pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-


hadis Nabi.
2. Keluasan Pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat lain.
3. penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang hal-hal yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat pada masanya, dengan tujuan mengantar
kepada penjelasan tentang petunjuk agama, baik yang menyangkut
argumentasi keyakinan maupun pemecahan problem-problem yang
berkembang.30
4. Keluasan pembahasan tentang arti mufradat (kosakata), susunan redaksi,
serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama dalam bidang tersebut14

Perbedaan pertama, menyangkut keluasan pembahasan di bidang hadist,


menunjukkan kemantapannya dalam bidang ini, sekaligus menghindari apa-apa
yang dikemukakannya menyangkut kekurangan Syaikh Muhammad Abduh, yakni
“kekurangan di bidang ilmu-ilmu hadist, riwayat, hafalan dan al-Jarh wa at-Ta’dil

Perbedaan kedua, tentang penafsiran ayat dengan ayat adalah pengaruh Ibnu
Katsir yang sangat dikaguminya – kekaguman yang mendorongnya untuk mencetak
tafsir ibnu katsir dan menyebarluaskannya ke seluruh negara Arab, bahkan dunia
islam.

Perbedaan ketiga menyangkut penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas


tentang berbagai masalah, menurut Ad-Dzahabi, adalah “gambaran dari profesi
Rasyid Ridha sebagai wartawan yang mempunyai hubungan dengan seluruh lapisan
masyarakat dan dengan aneka ragam aliran maupun tingkat kepercayaan.

Kemudian, ketiga perbedaan tadi mengharuskan pembahasannya untuk


mengemukakan secara luas arti kosa kata, susunan redaksi ayat, serta pendapat-

14
Ibid

12
pendapat ulama – hal yang merupakan perbedaaan keempat antara Rasyid Ridha
dengan Abduh.15

4. Kecendrungan / Aliran Penafsiran Muhammad Rasyid Ridha


Dengan melihat metode penafsiran antara Abduh dan Rasyid Ridha
bahwasanya ‘Abduh lebih liberal dibandingkan dengan Ridhâ. Harun Nasution,
umpamanya, mengatakan meskipun ide-ide yang dikemukakan Ridhâ memiliki
banyak persamaan dengan ide-ide ‘Abduh namun terdapat perbedaan antara
keduanya. Di antara perbedaan itu‘Abduh lebih liberal dari Ridhâ, yang mana
‘Abduh tidak terikat oleh aliran atau mazhab tertentu, sementara Ridhâ masih
mengikuti mazhab tertentu dan masih terikat pada pendapat-pendapat Ibn Hanbal
dan Ibn Taimiyah. Perbedaan ini timbul karena ‘Abduh lebih banyak berinteraksi
dengan peradaban Barat dibandingkan dengan Ridhâ. ‘Abduh pernah tinggal di
Paris sementara Ridhâ hanya pernah mengunjungi Jenewa. Demikian juga ‘Abduh
bisa berbahasa Prancis dan banyak membaca buku-buku Barat, sedangkan Ridhâ
sedikit sekali, atau bahkan tidak sama sekali. Selanjutnya yang pertama memiliki
sejumlah sahabat dari kalangan orang-orang Eropa sementara yang kedua tidak.16

5. Keistimewaan dan Kelemahan Tafsir Al Manar


Ada beberapa kelebihan didalam tafsir al-Manar karya syech Muhammad Abduh
dan rasyid ridha yaitu :

1. Dalam menafsirkan sesuai dengan pemahaman akal secara luas


2. Orang awam maupun intelektual mudah memahami penafsiranya
3. Dalam menafsirkan ayat yang sekiranya aneh, dijelaskan dengan teori-teori
ilmiah dan mudah dipahami oleh orang awam
4. Penafsiranya menyesuaikan kehidupan masa kini

Adapun kekurangan kekurangan didalam tafsir al-Manar Adalah Rasyid Ridha


terlalu memperluas jangkauan penafsiran ilmiyah, sehingga terkadang dirasakan
adanya usaha untuk membenar-benarkan suatu teori ilmiyah sekaipun yang belum
mapan, dengan ayat-ayat al-Quran.

15
ibid
16
Nurung, M. (2010). Pemikiran Tafsir Muhammad Rasyid Ridha. III, 60-112 (halaman 74)

13
Dari keterangan diatas dapat diketahui sedikit tentang kelemahan dan
kelebihan tafsir al-Manar, yang jelas setiap karya tafsir pasti ada kelebihan dan
kekuranganya dikarenakan adanya perbedaan-perbedaan pemahaman dan latar
belakang orang yang menafsirkan al-Quran

B. SAYYID QUTUB DAN TAFSIRNYA DALAM FI ZHILAL AL-QUR’AN


1. Biografi Sayyid Qutb
Nama lengkapnya adalah Sayyid Quthb Ibrahim Husain Syadzili. Lahir pada
tanggal 09 Oktober 1906 di desa Mausyah, dekat kota Asyut, Mesir. Sayyid Quthb
adalah seorang kritikus sastra, novelis, pujangga, pemikiran Islam dan aktivis Islam
Mesir paling terkenal pada abad ke-20.. Ayahnya bernama al-Hajj Quthb Ibrahim.
Sayyid Quthb terkenal sebagai anak yang cerdas, beliau mampu menghafal seluruh
al-Qur’an di usia sepuluh tahunnya.17

Pada umur enam tahun, dia masuk ke sekolah Awwaliyah (Pra Sekolah Dasar)
di desanya selama empat tahun. Di Madrasah tersebut, dia menghafal Al- Qur’an
Al-Karim. Pada tahun 1921 M, dia pindah ke Kairo untuk meneruskan belajarnya.
Kemudian dia melanjutkan ke sekolah persiapan Darul Ulum, 1925. pada tahun
1929 Sayyid Quthb melanjutkan pendidikannya ke Universitas Darul Ulum dan
lulus dengan gelar Lisance (Lc) dibidang sastra pada tahun 1933.

Setelah Sayyid Quthb lulus dari Universitas Darul Ulum, dia bekerja di
Departemen Pendidikan dengan tugas sebagai tenaga pengajar di sekolah-sekolah
milik Departemen Pendidikan selama enam tahun. Setahun di Suwaif, setahun lagi
di Dimyat, dua tahun di Kairo, dan dua tahun di Madrasah Ibtida’iyah Halwan. Di
daerah pinggiran kota Halwan, yang kemudian menjadi tempat tinggal Sayyid
Quthb bersama saudara-saudaranya.

Setelah menjadi tenaga pengajar, Sayyid Quthb kemudian berpindah kerja


sebagai pegawai kantor Departemen Pendidikan, sebagai penilik untuk beberapa
waktu lamanya. Kemudian dia pindah tugas lagi ke Lembaga Pengawasan

17
al-Khalidi, S. A. (2001). Pengantar Memahami Tafsir fi Zhilalil Qur'an. (S. A. Sayyid, Penerj.)
Surakarta: Era Intermedia

14
Pendidikan Umum yang terus berlangsung selama delapan tahun sampai akhirnya
kementerian mengirimnya ke Amerika.

Tahun 1948, ia diutus Departemen Pendidikan ke Amerika untuk mengkaji


kurikulum dan sistem pendidikan Amerika. Di Amerika selama dua tahun, lalu ia
pulang ke Mesir tanggal 20 Agustus 1950 M. Setelah itu ia diangkat sebagai Asisten
Pengawas Riset Kesenian di kantor Mentri Pendidikan. Tanggal 18 Oktober 1952,
ia mengajukan permohonan pengunduran diri. Dalam masa tugasnya di Amerika,
ia membagi waktu studinya antara Wilson’s Theacher’s College di Washington,
Greeley College do Colorado, dan Stanford University di California. Hasil studinya
dan pengalamannya itu meluaskan pemikirannya mengenai problema-problema
sosial kemasyarakatan yang ditimbulkan oleh paham materialisme yang gersang
akan pahan ketuhanan.

Ketika berada di Departemen pendidikan, Sayyid Quthb adalah seorang


pegawai yang tekun, pemikir yang berani, serta seorang yang mulia. Sifat-sifat ini
akhirnya banyak menyebabkan Sayyid Quthb mendapat berbagai kesulitan dan
sesudah itu akhirnya Sayyid Quthb pun melepaskan pekerjaannya. Sayyid Quthb
mengajukan surat pengunduran diri dari pekerjaannya sekembalinya dari Amerika,
karena pada tahap ini beliau lebih memfokuskan pikiran beliau untuk dakwah dan
pergerakan serta untuk studi dan mengarang.

2. Metode Penafsiran Sayyid Qutub


Kitab fi Zhlilal al-Qur’an merupakan salah satu kitab yang mempunyai unsur-
unsur baru di dalam melakukan penafsiran al-Qur’an. Hal ini dapat dibuktikan
dengan adanya pemikiran-pemikiran kelompok yang berorientasi untuk kejayaan
islam serta mempunyai metodologi tersendiri dalam menafsirkan Al-Qur’an. Salah
satu contohnya yaitu adanya pembaruan dalam penafsiran dan di satu sisi beliau
mengesampingkan pembahasan yang kurang penting. Salah satu ciri khas dari
penafsirannya adalah mengetengahkan segi sastra dengan maksud melakukan
pendekatan dalam menafsirkan Al-Qur’an.

semua pemahaman uslub al-Qur`an, karakteristik ungkapan al-Qur`an serta


dzauq yang diusung semuanya bermuara untuk menunjukkan sisi hidayah al-Qur`an
dan pokok-pokok ajarannya yang dikemukakan Sayyid Qutb untuk memberikan

15
pendekatan pada jiwa pembacanya pada khususnya dan orang-orang islam pada
umumnya. Tujuan pendekatan ini agar Allah dapat memberikan manfaat serta
hidayah-Nya. Karena pada dasarnya, hidayah merupakan hakikat dari al-Qur’an itu
sendiri. Menurut Sayyid Qutub, al-Quran merupakan kitab dakwah, undang-undang
yang komplit serta ajaran kehidupan.

Anthony H. Johns mengutip tulisan dari Issa Boullata yang menyatakan bahwa
Sayyid Qutub melakukan pendekatan dalam menghampiri al-Qur’an dengan cara
pendekatan Tashwir (penggambaran) yang merupakan gaya penghampiran yang
berusaha menampilkan pesan al-Qur’an sebagai gambaran pesan yang hadir, yang
hidup dan konkrit sehingga dapat menimbulkan pemahaman “aktual” bagi
pembacanya dan memberi dorongan yang kuat untuk berbuat. Menurut sayyid qutb
mengaca dari metode tashwir, bisa dikatakan bahwa tafsir fi Zhilal Al-Qur’an dapat
digolongkan kedalam tafsir al-Adabi al-Ijtima’i (sastera, budaya dan
kemasyarakatan). Hal ini berdasarkan latar belakang sayyid qutb yang merupakan
sastrawan hingga beliau bisa merasakan keindahan bahasa serta nilai-nilai yang
dibawa al-Qur’an yang memang kaya dengan gaya bahasa yang sangat tinggi. 18

Sayyid Qutb mengambil metode penafsiran dengan tahlil/tartib mushafy.


Sedangkan sumber penafsiran terdiri dari dua tahapan yakni: mengambil sumber
penafsiran bil ma’tsur, kemudian baru menafsirkan dengan pemikiran, pendapat
ataupun kutipan pendapat sebagai penjelas dari argumentasinya.Tafsir ini tidak
menggunakan metode tafsir tradisional, yaitu metode yang selalu merujuk keulasan
sebelumnya yang sudah diterima.Sayyid Qutb seringkali mengemukakan
tanggapan pribadi dan spontanitasnya terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Tafsir ini lebih
menekankan kepada pendekatan iman secara intuitif, artinya, secara langsung tanpa
perlu dirasionalisasikan atau dijelaskan dengan merujuk kepada metode filsafat.
Iman itu harus diterapkan langsung dalam tindakan sehari-hari.

Secara garis besar tafsir beliau termasuk bersumber pada bil ra’yi karena
memuat pemikiran sosial masyarakat dan sastra yang cenderung lebih banyak.

18
Ayub, M. (1992). Qur'an dan Para Penafsirnya. Jakarta: Gema Insani Press. (hal. 171)

16
Selain itu, sayyid qutb juga mengambil referensi dari berbagai disiplin ilmu, yakni
sejarah, biografi, fiqh bahkan sosial, ekonomi, psikologi dan filsafat.

3. Kecendrungan / Aliran dari Penafsiran Sayyid Qutub


Penafsiran Sayyid Qutb memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki tafsir-tafsir
lain, menggunakan gaya prosa lirik dalam penyampaian, karenanya tafsir ini sangat
enak dibaca dan mudah dipahami. Tafsir ini mengandung kecendrungan terhadap
unsur adaby ijtima’i yakni sastra dan sosial kemasyarakatan.

Sifat lain dari tafsir ini adalah pemaparan yang sangat bersemangat sehingga
mudah dicurigai oleh tafsir provokatif, bahkan tidak jarang orang menamai
tafsirnya dengan corak tafsir haraki, tafsir ini masuk dalam kategori penafsiran
dengan corak baru yang khas dan unik serta langkah baru yang jauh dalam tafsir
serta memuat banyak sekali tema penting dengan menambahkan hal-hal mendasar
yang esensial. Karenanya Tafsir ini dapat dikategorikan sebagai aliran (faham)
khusus dalam Tafsir yang disebut “aliran Tafsir pergerakan”. Ini disebabkan
metode pergerakan –metode realistis serius—tidak ada selain pada Tafsir fi Zilal
al-Qur’an ini.

4. Keistimewaan dan Kelemahan Kitab fi Zhlilal al-Qur’an


Ada beberapa keistimewaan dari Kitab fi Zhilal al-Qur’an yang diantaranya19:
1. Sayyid Quthb dalam menafsirkan ayat-ayat dalam suatu surat memberikan
gambaran ringkas tentang kandungan surat yang akan di kaji.
2. Pengelompokan ayat-ayat sesuai dengan pesan yang terkandung pada ayat
tersebut.
3. Memperhatikan munasabah antar ayat
4. Bercorak sastra dan mudah dipahami.
5. Menggunakan hadith-hadith sahih
6. Berusaha menghindari kisah-kisah Isra’iliyat.
7. Merefleksikan keinginan besar untuk kemajuan ummat.
8. Orsinilitas ide dan pemikiran penulis.
9. Dianggap telah menggagas sebuah pemikiran dan corak baru dalam nuansa
penafsiran Alquran.

19
disertasi.blogspot.com/.../disertasi-ilmiah-10-terjemahan.

17
Sedangkan beberapa kelemahan dari Kitab fi Zhilal al-Qur’an diantaranya :

1. Keterbatasan referensi Sayyid Qutb kerena beliau menyusun ini kitab ini
dipenjara sehingga banyak banyak memunculkan pendapat-pendapat
pribadi yang sangat kental dengan nuansa pada saat itu.
2. Penjelasannya yang terkadang berbau radikal sehingga dicurigai sebagai
kitab tafsir provokatif. Munculnya dikotomi hitam-putih, jahiliah-Islam,
dalam kehidupan modern. Hal ini dapat dijelaskan bahwa siksaan dalam
penjara, fisik maupun kejiwaan, serta perasaan dikangkangi oleh kekuasaan
lain, membuat pikiran sejumlah penulis lebih radikal. Ma'alim, misalnya.
Buku itu dianggap sebagai titik balik Qutb dari pemikir moderat menjadi
pemikir garis keras. Saat mengadili Qutb untuk persekongkolan
pembunuhan Nasser, penuntut umum berkali-kali mengutip Ma'alim.
Dalam buku inilah Qutb mengenalkan dikotomi hitam-putih, jahiliah-Islam,
dalam kehidupan modern

18
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
• Al-Manar merupakan karya tafsir modern yang ditulis oleh Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha. Metode yang digunakan dalam tafsir al-Manar
adalah tahlili sebagaimana yang ada pada metode tahlili dalam tafsir-tafsir
terdahulu. Hanya saja al-manar bukan hanya menitikberatkan pada aspek
balaghah ayat, namun juga mengkaitkan makna ayat dengan kondisi dan
persoalan yang ada pada masyarkat sekarang. Sedangkan corak tafsir
tersebut adalah adabi ijtima’i, sebagaimana corak tafsir al-Manar
merupakan penggagas dari corak adabi ijtima’i
• Metode dalam Tafsir Fi-Zhilalil Quran yang digunakan Sayyid Qutb dalam
menafsirkan Al-Qur’an adalah memandang al-Qur’an sebagai satu kesatuan
yang komprehensif , dimana masing-masing bagian mempunyai keterkaitan
dan kesesuaian, menekankan pesan-pesan pokok al-Qur’an dalam
memahaminya. Beliau berpendapat bahwa salah satu tujuannya menyusun
tafsir ini adalah untuk merealisasikan pesan-pesan al-Qur’an dalam
kehidupan nyata. Tafsir Fi-Zhilalil Quran dapat digolongkan kedalam jenis
tafsir Tahlili

19
DAFTAR PUSTAKA

al-Khalidi, S. A. (2001). Pengantar Memahami Tafsir fi Zhilalil Qur'an. (S. A. Sayyid,


Penerj.) Surakarta: Era Intermedia.

al-Qattan, M. K. (2016). Studi Ilmu-Ilmu Qur'an. Bogor: Litera AntarNusa.

Ayub, M. (1992). Qur'an dan Para Penafsirnya. Jakarta: Gema Insani Press.

Farah, N. (2016, Desember). Konsep Ahl Al-Kitab Menurut Pemikiran Rasyid Ridha dalam
Tafsir Al-Manar, XII, 221-249.

mylife, p. (2012, Maret Minggu). biografi-syeikh-muhammad-abduh. Diambil kembali


dari biografi-syeikh-muhammad-abduh: http://pena-
mylife.blogspot.com/2012/03/biografi-syeikh-muhammad-abduh.html

Nurung, M. (2010). Pemikiran Tafsir Muhammad Rasyid Ridha. III, 60-112.

Rasyid Ridha, S. M. (1931). Tarikh al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh. Kairo, Mesir:
Percetakan al-manar.

Shihab, M. Q. (2006). Rasionalitas Al-Qur'an ; Studi Kritis atas Tafsir Al-Mannar. Jakarta:
Lentera Hati.

wikipedia. (2018, September 23). Rasyid_Ridha. Diambil kembali dari Rasyid_Ridha:


https://id.wikipedia.org/wiki/Rasyid_Ridha

20

Anda mungkin juga menyukai