Anda di halaman 1dari 38

I.

PENDAHULUAN

4. Latar Belakang
Industri tuna Indonesia dari waktu ke waktu menunjukkan trend peningkatan dan
merupakan salah satu industri strategis di bidang perikanan dan kelautan. Berdasarkan data FAO
tahun 2014 Indonesia menjadi negara penghasil tuna terbesar kedua di dunia dengan memasok
lebih dari 16% total produksi tuna dunia. Total produksi tuna mencapai 613.575 ton per tahun
dengan nilai transaksi sebesar 6,3 triliun rupiah (KKP, 2015). Ekspor tuna yang dilakukan berupa
tuna segar dan beku seperti fillet, saku, loin dan steak. Pengolahan tuna menjadi produk-produk
tersebut menimbulkan permasalahan berupa limbah baik padat maupun cair yang cukup besar
jumlahnya.
Limbah merupakan sisa bahan baku dengan kualitas rendah yang apabila tidak
dimanfaatkan dapat menimbulkan masalah lingkungan dan kesehatan. Limbah yang dihasilkan
oleh industry perikanan berkisar antara 25-30% yakni sekitar 3,6 juta ton pertahun (KKP, 2007).
Limbah padat yang dihasilkan dari industri pengolahan tuna biasanya berupa sisa potongan
daging, kulit, kepala, isi perut dan tulang. Pengolahan tuna fillet menghasilkan 30-40% berat
bersih, sehingga bisa dikatakan bahwa 60-70% dari tubuh ikan merupakan limbah yang tidak
dimanfaatkan (Silva et al., 2014). Penerapan konsep zero waste untuk meminimalisir limbah
yang dihasilkan penting dilaksanakan untuk mengurangi dampak limbah tersebut bagi
lingkungan. Beberapa uji coba pemanfaatan limbah pengolahan ikan tuna telah dilakukan dan
digunakan secara komersial seperti sebagai silase ikan (Sefulhadjar et al., 2004), tepung tulang
(Mukti, 2015) dan biodiesel.
Seiring dengan meningkatnya laju perindustrian dunia, konsumsi bahan bakar minyak
terus mengalami peningkatan sedangkan ketersediaan bahan bakar fosil justru mengalami
penurunan dikarenakan eksploitasi terus-menerus. Di Indonesia, konsumsi bahan bakar minyak
telah mencapai lebih dari 34 juta kiloliter pada periode 1 Januari - 30 September 2014
(Pertamina, 2014). Selain jumlahnya yang semakin tidak bisa mengimbangi laju pertumbuhan
kendaraan bermotor, penggunaan bahan bakar fosil cenderung mendatangkan dampak seperti
pemanasan global. Oleh karena itu, diperlukan bahan bakar subtitusi yang mampu memenuhi
kebutuhan bahan bakar minyak nasional namun tetap ramah lingkungan.

1
Salah satu jenis limbah industri perikanan yang dapat digunakan sebagai bahan baku
bahan bakar alternatif ialah limbah jeroan ikan tuna. Purnomo (2005) menyatakan bahwa kadar
minyak jeroan skipjack tuna ialah sebesar ±6,40% dari total minyak dalam tubuh, sedangkan
pada jeroan big eye tuna memiliki kadar minyak sebesar ±6,90%. Lemak yang terkandung pada
jeroan dan kulit ikan dapat menyebabkan penurunan kualitas air jika langsung dibuang ke
perairan. Berdasarkan hasil pengamatan, seekor tuna 75-90 kg menghasilkan sebesar 5 kilogram
jeroan , sedangkan marlin menghasilkan 7,5 kilogram jeroan untuk 90-100 kg ikan (Sahubawa,
2012). Hasil penelitian Fauzi (2014) diketahui bahwa jeroan ikan tuna mampu menghasilkan
konversi biodiesel terbesar hingga 100% dengan rendemen yang didapatkan sebesar 86,01%.
Junengsih (2015) menggunakan katalis asam pada jeroan tuna mendapatkan konversi sebesar
52,63%. Jeroan tuna juga dilaporkan mengandung asam lemak dominan palmitat (43,64%) dan
oleat (32,08%). Asam palmitat merupakan asam lemak jenuh terpenting, biodiesel yang
mengandung ikatan jenuh tinggi merupakan biodiesel yang tahan terhadap oksidan oleh udara,
dan mempunyai bilangan oktan yang tinggi (Gultom, 2001).
Biodiesel dibuat dari minyak nabati dan lemak hewani yang mengandung trigliserida,
yang terdiri dari tiga rantai asam lemak yang dihubungkan oleh molekul gliserol. Menurut
Schuchardt dkk (1998) proses pembuatan biodiesel merupakan proses reaksi molekul gliserol
dengan methanol membentuk fatty acid methyl ester (FAME) sehingga trigliserida yang
merupakan unit ester diubah ke dalam bentuk ester lain (alkil ester asam lemak) melalui
petukaran bagian alkoksida yang dikandungnya.
Proses pembuatan biodiesel membutuhkan dua tahap reaksi yaitu esterifikasi dan
transesterifikasi. Tujuan dari 2 tahap ini adalah mengubah asam lemak bebas maupun trigliserida
menjadi metil ester dan gliserol. Agar reaksi dapat berjalan lebih tepat dan optimal maka
diperlukan adanya katalis. Katalis merupakan satu zat yang mempercapat laju reaksi dan
menurunkan energi aktivasi namun zat tersebut tidak habis bereaksi (terbentuk lagi di akhir
reaksi). Katalis pada reaksi transesterifikasi terdiri dari 3 jenis yaitu asam, basa dan enzim
(lipase). Penelitian ini menggunakan katalis KOH dalam proses transesterifikasi. Ningtyas (2011)
menggunakan katalis NaOH dan mendapatkan konversi hingga 45,34%. Jika dibandingkan
dengan katalis basa lain seperti NaOH maka penggunaan KOH akan lebih aman karena lebih
mudah larut pada alcohol dan tidak bersifat korosif terhadap alat-alat pengolahan (Alkabashi et
al ,2009).

2
Pemanfaatan limbah padat perikanan seperti jeroan ikan tuna sebagai biodiesel ini dapat
juga digunakan terkait dengan bahan bakar alternatif yang dapat digunakan untuk meningkatkan
pendapatan nelayan serta untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak
khususnya solar pada nelayan.

5. Tujuan
1. Mengetahui pengaruh konsentrasi katalis KOH dan lama reaksi terhadap kualitas biodiesel
dari minyak jeroan ikan tuna sirip kuning.
2. Mengetahui lama reaksi dan konsentrasi katalis terbaik terhadap mutu biodiesel
3. Mengetahui komposisi senyawa asam lemak pembentuk biodiesel
4. Mengetahui karakteristik biodiesel dari minyak jeroan ikan tuna sirip kuning berdasarkan
standar minyak diesel (SNI, ASTM-D 6751 & Diesel Oil 48).

6. Manfaat
Penelitian ini penting dilakukan untuk meminimalisir limbah industri pengolahan ikan
dengan memanfaatkannya sebagai produk yang memiliki nilai tambah yaitu biodiesel dan
memberikan informasi potensi biodiesel dari minyak jeroan ikan tuna sebagai subtituen biodiesel
konvensional.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Ikan Tuna (Thunnus sp.)


Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan tuna adalah sebagai berikut:
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Teleostei
Subkelas : Actinopterygi
Ordo : Perciformes
Subordo : Scombridei
Family : Scombridae
Genus : Thunnus
Spesies : Thunnus sp.

Gambar 2.1 Ikan Tuna (Thunnus sp.)

Tuna adalah ikan laut yang terdiri dari beberapa famili Scombridae, terutama genus
Thunnus. Dari 13 spesies dan 4 genus kelompok tuna (Thunnini), tuna memiliki nilai komersial
yang paling tinggi dan banyak terdapat di Samudera Hindia (Bagian Barat dan Barat Daya Pulau
Sumatera). Spesies tuna yang tersebar di wilayah Indonesia antara lain: madidihang (Thunnus
albacores), tuna mata besar (Thunnus obesus) dan albakora (Thunnus alalunga) (Uktolseja et al.,
1998). Riswanto (2012) menyatakan bahwa penyebaran geografis tuna secara umum di dunia

4
terdapat di semua perairan tropis dan subtropis yaitu Samudera Atlantik dan Samudera Hindia
pada kedalaman 20-250 meter dan kisaran suhu pada suhu 18°C-31°C serta salinitas 32 – 35 ppt.
Ikan tuna dewasa memiliki tubuh yang berukuran besar, dengan panjang dari ujung
moncong hingga ujung percabangan sirip ekor (FL, fork length) mencapai 195 cm. Ikan tuna
pada umumnya mempunyai panjang antara 40–200 cm dengan beratantara 3-130 kg (Novriyanti,
2007).
Secara umum ikan tuna merupakan jenis ikan yang mengandung protein yang sangat
tinggi (lebih dari 20%). Daging yang dimiliki berwarna merah muda sampai merah tua. Hal ini
karena otot tuna lebih banyak mengandung myoglobin daripada ikan lainnya (Mc Afee et al.
2009). Ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein dan lemak yang cukup tinggi
dibanding ikan air tawar. Ikan tuna mengandung mineral (kalsium, fosfor, besi, sodium), vitamin
A (retinol), dan vitamin B (thiamin, riboflavin, dan niasin). Dalam tubuh ikan tuna banyak
ditemukan asam lemak PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid). Kandungan vitamin pada ikan
tuna, terutama jenis sirip biru sangat tinggi, yaitu mencapai 2,183 IU. Menurut Sahubawa (2012)
diketahui bahwa 1 ekor ikan tuna tuna yang memiliki bobot antara 75-90 kg dapat menghasilkan
±5 kg jeroan atau +6,25% dari berat ikan.

2. Biodiesel
Biodiesel menurut Mittelbach dan Remschmidt (2004) didefinisikan sebagai metil ester
yang diproduksi dari minyak tumbuhan atau hewan yang memenuhi kualitas untuk digunakan
sebagai bahan bakar di dalam mesin diesel. Sedangkan biodiesel dapat juga disebut sebagai
bahan bakar mesin diesel yang terdiri atas alkil ester dari asam-asam lemak, sering disebut
FAME (fatty acid methyl ester). Menurut Destianna dkk (2007) minyak hewani dan biodiesel
tergolong ke dalam kelas besar senyawa-senyawa organik yang sama, yaitu kelas ester asam-
asam lemak, akan tetapi minyak hewani adalah triester asam-asam lemak dengan gliserol, atau
trigliserida, sedangkan biodiesel adalah monoester asam-asam lemak dengan metanol. Perbedaan
wujud molekuler keduanya dapat dilihat, yaitu:
(1). Minyak hewani (yaitu trigliserida) memiliki berat molekul yang jauh lebih besar dari
biodiesel (ester metil). Sehingga molekul trigliserida relatif mudah mengalami perengkahan
(cracking) menjadi molekul yang lebih kecil, jika terpanaskan tanpa adanya oksigen.

5
(2). Minyak hewani memiliki viskositas yang jauh lebih besar dari solar maupun biodiesel,
sehingga pompa penginjeksi bahan bakar di dalam mesin diesel tak mampu menghasilkan
pengkabutan (atomization) yang baik untuk disemprotkan ke dalam kamar pembakaran.
(3). Molekul minyak hewani relatif lebih bercabang dibanding asam-asam lemak metil ester.
Akibatnya, angka setana minyak hewani lebih rendah daripada angka setana metil ester.
Angka setana adalah tolok ukur kemudahan menyala/terbakar dari suatu bahan bakar di
dalam mesin diesel.
Biodiesel memiliki kelebihan dibandingkan minyak solar (BBM), yakni: (1) biodiesel
merupakan bahan bakar yang dapat terurai oleh lingkungan (Biodegradable) karena merupakan
pembakaran yang sempurna sehingga dapat mengurangi emisi karbon dioksida, bebas sulfur,
mengurangi emisi gas rumah kaca; (2) sumber perolehannya, biodiesel merupakan energi yang
dapat terbaharukan, sehingga mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. (3)
rekayasa mesin, biodiesel tidak memerlukan modifikasi mesin dalam penggunaannya karena
memiliki viskositas yang lebih tinggi dari solar. Hal ini menjadikan biodiesel berfungsi sebagai
pelumas dan mampu membersihkan injector, serta membuat mesin lebih awet dan mempertinggi
efisiensi mesin. Angka setana (cetane number) dan titik nyala yang tinggi mengakibatkan energi
yang dihasilkan biodiesel relatif sama dengan solar (biodiesel: 128.000 BTU, minyak solar biasa:
130.000 BTU), sehingga tenaga yang dihasilkan dari pembakaran relatif sama. (4) segi harga,
biodiesel lebih murah daripada solar.

2.1 Trigliserida
Trigliserida merupakan triester dari gliserol dengan asam-asam lemak, yaitu asam-asam
karboksilat beratom C 6-30. Trigliserida banyak terkandung dalam minyak dan lemak,
merupakan komponen terbesar pada minyak hewani. Struktur trgliserida dapat dilihat pada
Gambar 2.2.

6
Gambar 2.2. Struktur trigliserida
(Sumber : Irawan, 2012)

Dalam proses konversi trigliserida menjadi metil ester melalui reaksi transesterifikasi
dengan katalis basa, asam lemak bebas harus dipisahkan atau dikonversi menjadi metil ester
terlebih dahulu karena asam lemak bebas akan mengkonsumsi katalis. Kandungan asam lemak
bebas dalam biodiesel akan mengakibatkan terbentuknya suasana asam yang dapat
mengakibatkan korosi pada peralatan injeksi bahan bakar, membuat filter tersumbat dan terjadi
sedimentasi pada injector (Matius,2008). Pemisahan atau konversi asam lemak bebas ini
dinamakan tahap preesterifikasi.

2.2 Reaksi Esterifikasi


Esterifikasi merupakan tahapan konversi asam lemak bebas menjadi ester dengan cara
mereaksikan minyak/lemak dan alkohol dengan bantuan katalis (katalis asam) (Gambar 2.3)
Asam sulfat, asam sulfonat organik atau resin penukar kation merupakan jenis katalis yang biasa
dipilih dalam praktek industri (Soerawidjaja, 2006).

Asam Lemak Alkil Alkohol Ester Air

Gambar 2.3. Reaksi estrifikasi (Sumber : Kusmiyati, 2008)

Untuk mengarahkan reaksi ke arah produk alkil ester, dengan memberikan alkohol dalam
jumlah yang berlebihan dan air dijaga seminimal mungkin selama reaksi berlangsung.
Penggunaan metanol yang berlebih bertujuan agar air yang terbentuk dari reaksi dapat diserap
oleh metanol, sehingga tidak menghalangi jalannya reaksi pengubahan asam lemak bebas
menjadi ester (Soerawidjaja, 2006).
Menurut Fessenden (1986), mekanisme reaksi esterifikasi terdiri dari :
a. Transfer proton dari katalis asam ke atom oksigen karbonil, sehingga meningkatkan
elektrofilisitas dari atom karbon karbonil

7
b. Atom karbon karbonil diserang oleh atom oksigen dari alkohol, yang bersifat nukleofilik
sehingga terbentuk ion oksonium
c. Terjadi pelepasan proton dari gugus hidroksil milik alkohol, menghasilkan kompleks
teraktivasi
d. Protonasi terhadap salah satu gugus hidroksil, yang diikuti oleh pelepasan molekul air
menghasilkan ester
Esterifikasi dengan katalis H2SO4 1% dapat menghasilkan metil ester lebih optimal karena
lebih banyak jumlah proton (H+) yang dimiliki H2SO4. Menurut Oktakarno (2008) keuntungan
penggunaan katalis asam jika dibandingkan dengan katalis basa adalah katalis asam akan tetap
efektif selama reaksi berlangsung dalam minyak yang masih memiliki kandungan asam lemak
bebas.

2.3 Reaksi Transestrifikasi


Reaksi transestrifikasi atau alkoholisis adalah tahap konversi dari trigliserida (minyak
hewani) menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping
yaitu gliserol (Destianna dkk, 2007). Proses ini bertujuan untuk memutuskan tiga rantai gugus
ester dari setiap cabang trigliserida dan mengubahnya menjadi 3 molekul metil atau etil ester
(biodiesel) dan 1 molekul gliserol. Terdapat beberapa cara agar kesetimbangan lebih ke arah
produk, yaitu: (a). Menambahkan metanol berlebih ke dalam reaksi, (b). Memisahkan gliserol,
dan (c). Menurunkan temperatur reaksi (transesterifikasi merupakan reaksi eksoterm).
Transesterifikasi akan berjalan cepat bila dilakukan pada suhu yang mendekati titik didih
alcohol yang digunakan. Pemberian perlakuan pengadukan juga akan menyebabkan naiknya
pergerakan molekul dan menyebabkan peluang terjadinya tumbukan lebih besar (Manurung,
2006). Freedman (1984) mengemukakan bahwa dalam reaksi transesterifikasi ada beberapa
factor yang mempengaruhi konversi biodiesel yang dihasilkan, antara lain :
1. Pengaruh perbandingan molar alcohol dengan bahan
Bradshaw and Meuly (1944) mengemukakan bahwa untuk memperoleh 3 mol alkil ester dan 1
mol gliserol diperlukan 3 mol alcohol dan 1 mol trigliserida. Berdasar sifatnya yang
merupakan reaksi reversible maka jumlah alcohol yang digunakan harus berlebih untuk
menghasilkan produk yang lebih banyak.
2. Pengaruh air dan asam lemak bebas

8
Minyak yang akan dilakukan transesterifikasi seharusnya memiliki kadar FFA lebih kecil dari
1 % . Jika transesterifikasi menggunakan katalis basa maka gliserida yang digunakan sebisa
mungkin bebas air, hal ini dikarenakan air akan menyebabkan saponifikasi yang menghasilkan
sabun.
3. Pengaruh jenis alcohol
Metanol dan etanol ialah jenis alcohol yang paling banyak digunakan. Namun, methanol lebih
sering digunakan karena memiliki rantai terpendek. Metanol juga menghasilkan metil ester
yang berdampak pada kualitas biodiesel yang dihasilkan.
4. Pengaruh jenis katalis
Katalis sangat penting dalam proses karena dapat mempercepat reaksi dan menurunkan
energy aktivasi. Katalis basa dapat mempercepat reaksi lebih cepat jika dibandingkan katalis
asam. Ion metilat atau metoksida merupakan katalis sejati bagi reaksi metanolisis. Beberapa
katalis basa yang lazim digunakan seperti NaOH, KOH, dan NaOCH3.
5. Pengaruh temperatur reaksi
Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan pada rentang suhu 30 oC sampai 65oC. Semakin tinggi
suhu, semakin cepat proses konversi yang terjadi.
Reaksi transesterifikasi dapat memecah rantai panjang trigliserida menjadi senyawa
rantai pendek menggunakan katalis asam atau basa. Terdapat 3 tahapan reaksi transesterifikasi,
yaitu pembentukan produk antara (digliserida/DG dan monogliserida/MG) yang membentuk 3
mol metil ester (POME) dan 1 mol gliserol) (Darnoko dan Cheryan, 2000), dengan bentuk
persaam reaksi sebagai berikut (Persamaan 1)

Katalis
TG + 3ROH 3POME + GL Persamaan 1

Tahapan reaksi transesterifikasi adalah sebagai berikut.


TG + ROH Katalis DG + POME (tahapan 1)
DG + ROH MG + POME (tahapan 2)
MG + ROH GL + POME (tahapan 3)
(TG : trigliserida , GL : gliserol)

9
Trigliserida Metanol Ester Metil Asam Gliserol
Lemak (Biodiesel)
Gambar 2.4. Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi ester metil (asam lemak)
(Sumber: Fessenden, 1986)

3. Katalis
Katalis merupakan suatu zat yang dapat mempercepat suatu laju reaksi dan menurunkan
energi aktivasi, namun zat tersebut tidak habis bereaksi. Katalis ini ketika reaksi telah selesai,
massa katalis yang terbentuk sama seperti massa awal. Katalis KOH memang tergolong pada
katalis basa. Reaksi transesterifikasi menggunakan katalis basa akan lebih cepat dan lebih
banyak digunakan karena lebih komersial. Natrium hidroksida, kalium hidroksida, natrium
metoksida, kalium metoksida adalah katalis basa yang umum digunakan dalam reaksi
transesterifikasi sedangkan asam sulfur, asam sulfonat, asam klorida adalah senyawa yang
biasanya digunakan sebagai katalis asam, dan ada juga katalis yang bersifat biocatalysts
contohnya ialah lipase.
Katalis basa pada reaksi transesterifikasi harus menggunakan gliserida yang bersifat
anhydrous, hal ini karena air dapat menyebabkan reaksi saponifikasi yang menghasilkan sabun
(Ma dan Hanna, 1999).Untuk transesterifikasi mengunakan katalis basa, gliserida yang
digunakan harus bersifat anhydrous karena air dapat menyebabkan reaksi saponifikasi yang
menghasilkan sabun (Ma dan Hanna, 1999).
Katalis homogen merupakan katalis yang wujudnya sama dengan wujud reaktannya.
Dalam reaksi kimia, katalis homogen berfungsi sebagai zat perantara (fasilitator). Beberapa jenis
katalis homogen yang biasa digunakan antara lain NaOH dan KOH (Persamaan 2).

R-COOH + KOH RCOOK +H2O


Persamaan 2

Pada reaksi transesterifikasi, katalis merupakan ion metoksida yang terbentuk ketika
methanol bereaksi dengan ion hidroksida saat penambahn natrium hidroksida (Persamaan 3)

10
KOH + CH3OH  CH3O- + H2O + K+ Persamaan 3

4. Standar ASTM Biodiesel


Standar spesifikasi biodiesel merupakan salah satu syarat utama penentu bisa atau
tidaknya pemanfaatan biodiesel diterapkan secara komersial di masyarakat. Biodiesel pada
umumnya mengacu pada 2 standar yaitu ASTM-D 6751 yang diterapkan di Amerika dan
EN14214 di Eropa. Kedua standar ini menjamin penggunaan 5% biodiesel atau B5 bagi
produsen individu, sehingga penggunaan biodiesel dapat dicampur hingga 5% dengan solar
(petrodiesel) namun beberapa produsen berani menjamin penggunaan biodiesel 20% sampai
100%. Indonesia saat ini mengacu pada standar ASTM-D 6751 dan EN14214 dengan beberapa
penyesuaian. ASTM merupakan suatu metode yang berisi tentang alat-alat dan prosedur-
prosedur baku yang digunakan untuk menguji suatu produk sehingga dapat digunakan sebagai
bahan bakar dengan membandingkan dengan standar yang memiliki karakteristik tertentu
sebagai bahan bakar (Hardjono, 2001). Standar Nasional Indonesia biodiesel (SNI 04-7182-
2006) dapat dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Standar mutu fisik biodiesel menurut SNI-04-7182-2006.


No Parameter (Satuannya) Batas Nilai Metode Uji
1 Massa jenis pada 40oC, kg/m3 850 – 890 ASTM D 1298
2 Viskositas kinematik pada 40 oC, mm2/s 2,3 – 6,0 ASTM D 445
(cSt)
3 Angka setana min. 51 ASTM D 613
4 Titik nyala (mangkok tertutup), (oC) min. 100 ASTM D 93
5 Titik kabut, (oC) maks. 18 ASTM D 2500
6 Korosi bilah tembaga ( 3 jam, 50 oC) maks. no. 3 ASTM D 130
7 Residu karbon, %-berat, ASTM D 4530
a. Sampel asli maks. 0,05
b. Ampas distilasi 10% maks 0,03
8 Air dan sedimen, %-vol. maks. 0,05 ASTM D 2709
9 Temperatur distilasi 90 %, (oC) maks. 360 ASTM D 1160
10 Abu tersulfatkan, %-berat maks. 0,02 ASTM D 874
11 Belerang, ppm-b (mg/kg) maks. 100 ASTM D 5453
12 Fosfor, ppm-b (mg/kg) maks. 10 AOCS Ca 12-55
13 Angka asam, mg-KOH/g maks. 0,8 AOCS Cd 3-63
14 Gliserol bebas, %-berat maks. 0,02 AOCS Ca 14-56
15 Gliserol total, %-berat maks. 0,24 AOCS Ca 14-56

11
16 Kadar ester alkil, %-berat min. 96,5 dihitung*)
17 Angka iodium, g-I2/(100 g) maks. 115 AOCS Cd 1-25
18 Uji Halphen Negatif AOCS Cb 1-25
Sumber: Badan Standar Nasional Indonesia (2009)

Parameter-parameter yang dibandingkan dengan standar SNI tersebut harus memiliki


karakterisasi sebagai biodiesel. Kualitas biodiesel harus dibandingkan dengan spesifikasi standar
atau syarat mutu yang ada, seperti spesifikasi ASTM untuk biodiesel, minyak solar maupun
diesel, dan atau sesuai Standar Nasional Indonesia. Bahan bakar diesel yang diproduksi di
Indonesia saat ini ada dua jenis yaitu bahan bakar solar yang digunakan untuk motor diesel
dengan kecepatan putar tinggi dan bahan bakar untuk mesin diesel dengan kecepatan putar
rendah.
Terpenuhinya semua persyaratan SNI-04-7182-2006 oleh suatu biodiesel menunjukkan
bahwa biodiesel tersebut terbuat dari bahan mentah yang baik dan dengan tatacara pemrosesan,
serta pengolahan yang baik pula (Destianna dkk, 2007). Sifat fisik biodiesel yang diamati pada
penelitian adalah sebagai berikut.

4.1 Kerapatan Spesifik (specific gravity)


Berat jenis (specific gravity) atau kerapatan relatif (relative density) minyak adalah
perbandingan antara kerapatan minyak dengan kerapatan air pada suhu tertentu. Densitas dan
berat jenis minyak bumi dan produknya dapat ditentukan dengan beberapa cara, antara lain
menggunakan alat hidrometer (ASTM D 1298-85; IP 160/82). Kerapatan spesifik adalah suatu
angka yang menyatakan perbandingan berat dari bahan bakar minyak pada temperatur tertentu
terhadap air pada volume dan temperature yang sama. Penggunaan kerapatan spesifik adalah
untuk mengukur berat atau masa minyak bila volumenya telah diketahui. Untuk minyak bumi
suhu yang digunakan adalah 150C atau 60oF . Berat jenis akan menjadi lebih berarti jika
dikonversikan menjadi nilai pembakaran kotor (Gros heating value =GHV) dan nilai
pembakaran bersih (Net Heating Value=NHV) (Hardjono, 2001).

4.2 Viskositas Kinematik


Viskositas kinematik adalah angka yang menyatakan besarnya perlawanan atau hambatan
dari suatu bahan bakar untuk mengalir atau ukuran besarnya tahan geser dari bahan cair.
Viskositas yang tepat pada suatu bahan bakar diperlukan untuk operasi yang tepat pula dari suatu

12
mesin. Pelumasan, gesekan diantara bagian-bagian yang bergerak serta keausan mesin
tergantung pada sifat ini (Sulistyaningrum, 2004). Viskositas bahan yang terlalu rendah dapat
mengakibatkan kebocoran pada pompa injeksi bahan bakar, sebaliknya viskositas yang terlalu
tinggi dapat mempengaruhi kecepatan kerja alat injeksi bahan bakar dan mempersulit
pengkabutan bahan bakar (Hardjono, 2001).

4.3 Titik Nyala (flash point)


Titik nyala (flash point) adalah angka yang menyatakan suhu terendah dari bahan bakar
minyak dimana penyalaan api sesaat apabila pada permukaan minyak tersebut didekatkan pada
api. Titik nyala tidak langsung berkaitan dengan kinerja mesin, tapi sangat penting dalam hal
keamanan dan keselamatan, terutama dalam penanganan dan penyimpanan terhadap bahaya
kebakaran. Titik nyala biodiesel digunakan untuk mengamatii alkohol yang tidak bereaksi yang
masih ada dalam biodiesel. Titik nyala yang tinggi akan memudahkan penanganan bahan bakar,
karena bahan bakar tidak perlu disimpan pada suhu rendah. Titik nyala yang terlalu rendah akan
membahayakan karena akan mudah terbakar (Hardjono, 2001).

4.4 Titik Tuang


Titik tuang (pour point) merupakan suatu angka yang menunjukan suhu terendah dimana
bahan bakar masih dapat mengalir dan dituang karena gaya gravitasi apabila didinginkan pada
kondisi tertentu (ASTM D 97-87). Titik tuang ditentukan dengan cara mendinginkan sampel, dan
setiap penurunan suhu yang merupakan kelipatan 3°C dilakukan uji sifat alir. Suhu tertinggi
dimana sampel tidak dapat mengalir disebut titik padat (solid point). Selanjutnya sesuai dengan
definisi, titik tuang diperoleh dengan menambah 3°C kepada titik padat. Pada suhu yang rendah
nilai titik tuang tinggi akan berakibat pompa sulit menggerakan bahan bakar.

4.5 Titik Kabut


Titik Kabut (Cloud Point) merupakan suhu tertinggi ketika Kristal malam paraffin akan
terlihat sebagai kabut pada dasar tabung uji apabila minyak didinginkan pada suhu tertentu
(Hardjono,2001).

13
5. Penelitian Biodiesel Terdahulu
Beberapa riset mengenai pembuatan biodiesel telah dilakukan untuk mendapatkan hasil
biodiesel yang optimal. Hasil-hasil riset tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2

Tabel 2.2 Hasil penelitian mutu biodiesel dibandingkan dengan SNI


Hasil Riset SNI
No sifat fisik satuan A B C D min max
Massa Jenis Pada
1 60/60F gr/ml 0.8885 -  0.8914 0.808 0.85 0.89
2 Viskositas cSt 4.1133 3.079 8.024 7.196 2.3 6
3 Titik Kabut C 6  - 15 18 -  18
4 Titik nyala C 180 104.5 172.5 38 100 - 
5 Titik Tuang C 3 -3 6 6 -  65
6 Kadar Air % vol NA 0.2 NA 0.12 -  0.05
Keterangan :
A: Biodiesel dari minyak limbah tepung ikan sardin dengan katalis NaOH (Sahubawa dan Ningtyas, 2011)
B: Biodiesel dari jeroan dan kulit nila hitam dengan katalis NaOH (Kurniawan,2012)
C: Biodiesel dari minyak limbah tepung ikan sardin dengan katalis KOH (Pamungkas, 2013)
D: Biodiesel dari jeroan ikan tuna sirip kuning dengan katalis CaO (Fauzi,2014)

14
III. METODOLOGI

4. Alat dan Bahan


1.1 Alat
Pembuatan biodiesel ini menggunaka alat-alat seperti : satu set alat refluks, labu bulat
leher tiga, alat-alat gelas, termometer, corong pisah, pengaduk magnet, timbangan analitik
(Oxonne), hotplate stirrer (barnstead thermolyn), kompor listrik (Maspion), pH indicator
(MERCK). Alat yang digunakan dalam pengujian biodiesel adalah GC-MS (Shimadzu QP-
2010S), 1H-NMR (Agilent 500) dan FT – IR.
Tabel 3.1 Nama alat dan fungsi alat yang digunakan

No. Alat Spesifikasi Fungsi


Tempat mereaksikan miyak
1 Labu leher tiga 500 ml, Pyrex
dengan metanol
2 Pengaduk magnet Ukuran 1,5 cm Mengaduk ketika reaksi
Mencegah hilangnya senyawa
3 Pendingin balik Spiral, Pyrex
karena penguapan
4 Timbangan analitik Oxonne 0,01 gram Mengukur berat
BSI, max temperature Mensuplai panas kedalam
5 Hot plate
400oC sistem pada waktu reaksi
Memisahkan antara minyak dan
6 Evaporator Heidolp
pelarutnya
Memisahkan larutan
7 Corong pisah 250ml, 500ml Herma
berdasarkan kepolarannya
Mendeteksi gugus senyawa
8 FT-IR Shimadzu
fungsional
Mengetahui komposisi senyawa
9 GC-MS Shimadzu QP-2010S
metil ester
10 1
H-NMR Agilent 500 MHz Mengetahui konversi metil ester

15
11 ASTM ASTM D 1298 Mengetahui masa jenis
ASTM D 93 Mengetahui titik nyala
Mengetahui viskositas
ASTM D 445
kinematik
ASTM D 97 Mengetahui titik tuang

1.2 Bahan
Bahan baku utama yang digunakan adalah limbah jeroan ikan tuna. Bahan lain yang
digunakan dalam reaksi pembentukan biodiesel adalah metanol , asam sulfat (H 2SO4), N-hexan,
KOH, aquades, Na2SO4 anhidrat.
Tabel 3.2 Nama Bahan dan fungsi bahan
No Bahan Spesifikasi Fungsi
1 Jerioan ikan tuna Bahan baku pembuatan biodiesel
(sumber minyak)
2 N-heksane Teknis Pelarut organic
3 Metanol PA Pelarut senyawa organic dan
anorganik
4 H2SO4 (asam sulfat) PA Katalis pembentuk ester
5 Na2SO4 anhidrat PA Pengikat air pada bahan organic
6 Etanol PA Pelarut komponen organic
7 Indikator PP Teknis Indikator perubahan warna
8 KOH Teknis Katalis pada pembentukan metil ester

6. Tata Laksana
6.1 Ekstraksi Bahan Baku Jeroan Ikan (Folch dkk, 1959)
a. Sampel jeroan dihancurkan lalu diekstrak dengan pelarut N-Hexan 2:1 (b/b)
b. Dipanaskan dengan suhu 65oC selama 120 menit
c. Pisahkan antara Minyak + Hexan dan jeroan (Padatan)

16
d. Lakukan evaporasi untuk memisahkan N hexan dengan minyak
e. Rendemen minyak diketahui dengan cara ditimbang.
f. Penyaringan minyak untuk mendapatkan minyak tanpa ampas dengan kertas saring.
g. Uji FFA minyak ikan (AOAC, 1995), dengan formula berikut

Keterangan
a : Volume NaOH (mL)
M : Molaritas NaOH
g : berat sampel (gram)
282: berat molekul asam oleat

2.2 Reaksi Esterifikasi


a. Menurut Destiana dkk.(2007), reaksi esterifikasi diawali dengan proses pemanasan
minyak pada suhu 70oC selama 1 jam, dengan tujuan untuk menghilangkan kandungan air
pada bahan dan sedikit sisa pelarut. Didiamkan hingga suhu 60 oC, lalu dilakukan proses
esterifikasi.
b. Reaksi esterifikasi dilakukan dengan perbandingan mol minyak dan metanol 1:9 dengan
asam sulfat 1% dari berat total minyak dan metanol, suhu 60 oC hingga 65oC selama 1,5
jam dalam sistem refluks (Awaluddin dkk., 2008).
c. Pendinginan.
d. Pemisahan antara minyak dengan kotoran dan lemak
e. Minyak dimasukkan ke dalam corong pemisah

4.1 Reaksi Transesterifikasi (Awaluddin dkk., 2008)


a. Reaksi transesterifikasi dilakukan melalui reaksi antara minyak ikan dengan katalis KOH
(sesuai dengan desain perlakuan) yang telah dilarutkan dalam metanol dengan suhu 65oC
selama 1,5 jam pada sistem refluks (Awaluddin dkk., 2008).
b. Proses settling (pemisahan) dilakukan untuk memisahkan antara biodiesel dan gliserol
yang dihasilkan, lama settling sangat relatif tergantung pada terlihatnya pemisahan yang

17
jelas antar kedua larutan yang polar dan non polar (biodiesel pada permukaan atas dan
sabun atau gliserol kasar dibawah). Proses pemisahan menggunakan corong pemisah.
c. Proses pencucian dengan akuades dilakukan dengan memasukkan aquades kedalam
biodiesel yang ada dicorong pemisah secukupnya. Untuk melarutkan sisa dari metanol,
gliserol, dan sabun yang masih terikut setelah proses pemisahan. Pencucian ini dilakukan
lebih kurang 3 kali atau hingga aquades terlihat lebih jernih.
d. Penambahan Na2SO4 anhidrat 1%, untuk menyerap kandungan air yang masih terdapat
dalam biodiesel, agar mendapatkan biodiesel murni tanpa kandungan air.
e. Penyaringan biodiesel untuk memisahkan benda kotor yang tercampur dalam biodiesel
sehingga biodiesel murni terpisah dari kotoran dan serbuk Na2SO4 anhidrat.

7. Perlakuan
Perlakuan yang diberikan yaitu variasi konsentrasi KOH pada tahap transesterifikasi,
yaitu: 1,0%, 1,5% dan 2,0% dari total berat minyak dan metanol (b/b). Perbandingan mol
metanol : minyak yang akan digunakan adalah (9 : 1). Menurut Pamungkas (2013) konsentrasi
9:1 merupakan konsentrasi terbaik untuk mengkonversi trigliserida menjadi biofuel. Waktu
reaksi yang akan digunakan adalah 90 menit dan 120 menit,dengan suhu 65oC. Parameter
Pengujian yang dilakukan antara lain :

7.1 Rendemen
Untuk mengetahui rendeman (persentase) konversi minyak limbah ikan sebagai metil
ester(biodiesel), dilakukan uji 1H-NMR dengan formula berikut (Knothe, 2000):

5 x IME
CME(%)= x 100
(5 x IME + 9 x ITAG)
Ket.:
CME: Konversi metil ester (%)
IME : Nilai integrasi puncak metil ester (%)
ITAG: Nilai integrasi puncak triasilgliserol (%)

Puncak proton-proton gugus metoksi dari metil ester muncul pada ± 3,7 ppm dan puncak
proton dari gliserid muncul pada ± 4,1 ppm. Faktor 5 dan 9 adalah hasil dari fakta bahwa gliserol
dalam trigliserida mempunyai 5 proton dan tiga metil ester yang dihasilkan dari satu trigliserida
mempunyai 9 proton (Knothe, 2000).

18
7.2 Kandungan Metil-Ester
Menurut Hendayana (2006), uji kandungan metil ester (biodiesel) secara kualitatif
menggunakan uji GC-MS. Metode GC dilakukan untuk pemisahan, kuantifikasi, dan analisis
asam lemak dengan terlebih dahulu membuat turunan asam lemak tersebut, dengan tujuan untuk
meningkatkan volatilitas dan menghindari pembentukan tailing pada puncak. Sedangkan analisis
MS digunakan untuk melakukan fragmentasi asam lemak jenuh dan tak jenuh, serta letak ikatan
rangkap pada asam lemak tersebut (Darnoko dan Cheryan, 2000).

7.3 Gugus fungsional


Analisa dengan FT-IR bertujuan untuk mengetahui gugus ester pada produk biodiesel
hasil transesterifikasi . Sinar inframerah dilewatkan pada sampel akan diabsorbsi dalam beberapa
panjangn gelombang, sementara yang lain tidak diserap namun hanya ditransmisikan.
Karakteristik setiap gugus fungsional memiki daerah serapan khas (Ducket, 2000). Karakteristik
serapan infra merah dapat dilihat pada Tabel 3.3
Tabel 3.3 Karakteristik infra merah pada gugus fungsi
Daerah Serapan (cm-1) Gugus Fungsional Nama Gugus
2850-2960 C-H Alkana
1350-1470
3020-3080 C-H Alkena
675-870
3000-3100 C-H Aromatik
675-870
3300 C-H Alkuna
1640-1680 C=C Alkena
1500-1600 C=C Aromatik (cincin)
1080-1300 C-O Alkohol
Eter
Asam karboksilat
Ester
1690-1760 C=O Aldehid
Keton
Asam karboksilat
Ester
3610-3640 O-H Alkohol
Fenol (monomer)
2000-3600 O-H Alkohol
Fenol (ikatan hidrogen)

19
3000-3600 O-H Asam Karboksilat
2210-2500 N-H Amina
1180-1360 C-N Amina
1515-1560 -NO2 Nitro
1345-1285

7.4 Kualitas Biodiesel


Kualitas biodiesel yang diuji dengan standar ASTM meliputi: kerapatan spesifik, titik
nyala, viskositas kinematik, kadar air, titik tuang, dan titik kabut (BSN, 2006).

7.5 Analisis statistika


Digunakan uji ANOVA untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap mutu dan
karakteristik biodiesel dari minyak jeroan tuna. Untuk mengetahui data terbaik berdasarkan
rangkingnya dilakukan uji lanjut DMRT ( Duncan Multiple Range Test) menggunakan SPSS 22.
Data yang diujikan ialah nilai rendemen hasil proses transesterifikasi dengan 2 kali ulangan pada
perlakuan konsentrasi katalis KOH (1%, 1,5% dan 2%) dan lama proses 90 menit dan 120 menit.
Diagram alir pengolahan biodiesel dari minyak jeroan ikan tuna sirip kuning seperti
diperlihatkan pada Gambar 3.1

20
Minyak Jeroan Ikan Tuna

Ditimbang 300 gr, masukkan dalam labu leher


tiga
Dipanaskan hingga suhu 70°C untuk
menghilangkan sisa hexan dan kandungan airnya.

Tahap Reaksi
Disiapkan sistem refluks, magnetic
Esterifikasi
stirrer, ember, air, pompa, es curah

+ katalis H2SO4 1%(b/b)


Reaksi esterifikasi, dijaga konstan pada suhu & metanol.
65°C, diaduk selama 1,5 jam mol metanol : minyak
(9 : 1)
Minyak hasil esterifikasi
Pemisahan Kotoran

Ambil 50gr untuk masing-masing perlakuan

Dipanaskan pada suhu 65°C


(stabil) dalam sistem refluks
Tahap Reaksi
Transesterifikasi 1: KOH 1,0% dari berat total + metanol.
Perlakuan 2: KOH 1,5% minyak & mol metanol : minyak
(9 : 1)
3: KOH 2,0% metanol

Dijaga Konstan pada Suhu 65°C & diaduk selama 1,5 jam
dan 2 jam

Dimasukkan dalam corong pisah

Pencucian dengan aquades

Ditambahkan Na2SO4 1% dari berat minyak


dan disaring

Biodiesel

Gambar 3.1 Diagram alir pengolahan biodiesel (Fauzi, 2014 yang dimodifikasi)

21
Sampel hasil Transesterifikasi

Uji H-NMR

Sampel dengan konversi terbesar

Uji FT-IR, GC- MS dan ASTM

Gambar 3.2 Diagram alir pengujian Biodiesel

22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Ekstraksi Minyak Jeroan Tuna


1.1 Rendemen Minyak Ikan

Proses pembuatan biodiesel diawali dengan mengekstrak minyak dari jeroan tuna. Hasil
ekstraksi minyak dihitung setiap 500 gram jeroan tuna, dari 2 kali ulangan didapatkan minyak
sebanyak 96 gram dan 88 gram dengan rerata rendemen untuk 500 gram jeroan tuna adalah
18, 41 %. Hasil ekstraksi minyak jeroan tuna dapat dilihat pada Tabel 4.1

Tabel 4.1. Produksi rendemen minyak jeroan tuna


No Parameter Biodiesel Biodiesel Biodiesel Biodiesel Biodiesel Biodiesel
Hasil A B C D E
Percobaan

Rendemen
1 18,41 16,58 30,99 13,62 - -
minyak %

2 Kadar FFA % 4,415 2,33 - - 4,86 3,8


Keterangan :
A : Biodiesel jeroan ikan tuna sirip kuning dengan pelarut heksan (Junengsih, 2015)
B : Biodiesel kulit ikan tilapia hitam dengan pelarut methanol (Kurniawan, 2012)
C : Biodiesel jeroan dan kepala ikan mas dengan pelarut heksan (Kaban, 2005)
D : Biodiesel minyak limbah tepung ikan sardine (Pamungkas, 2013)
E : Biodiesel minyak limbah tepung ikan sardine (Ningtyas, 2011)

Perbedaan rendemen minyak hasil ekstraksi dapat didasarkan pada tingkatan non polar
pelarut. Hexane merupakan pelarut paling non polar, sehingga hexane memiliki kemampuan
paling baik dalam mengekstrak minyak. Perbedaan geografis, usia, pakan dan jenis ikan juga
mempengaruhi kadar minyak ikan (Kaban, 2005).
Penelitian lain mengenai ekstraksi minyak menggunakan bermacam-macam pelarut
nonpolar antara lain Chondro (2012) menggunakan pelarut methanol 96 % pada limbah jeroan
nila hitam didapatkan rendemen sebesar 30,99%. Sedangkan Junengsih (2015) menggunakan
pelarut hexane didapatkan rendemen sebesar 16,58% . Pelarut lain yang pernah digunaan ialah
Eter, digunakan pada penelitian Mudawamah (2007) eter dan klorofm dengan perbandingan 1:5
mampu mengekstrak minyak hingga 68,55% dan 60,09%. Jika dilihat pada konstanta dielektrik

23
masing-masing pelarut maka heksan memiliki konstanta 2, eter memiliki konstanta 4.3 dan
kloroform 4.8 sehingga heksan seharusnya merupakan pelarut yang paling mampu menghasilkan
rendemen paling optimal. Perbedaan rendemen dapat juga dipengaruhi oleh rasio pelarut : bahan.

1.2 FFA lemak

FFA dianalisis menggunakan metode AOAC (1995). Semakin besar kadar FFA, maka
kemungkinan terjadi reaksi saponifikasi lebih besar. Hasil pengujian asam lemak bebas dapat
dilihat pada tabel 4.1
Uji FFA minyak jeroan tuna dilakukan sebanyak 2 kali ulangan dengan rerata nilai FFA
minyak adalah 4,415 %. Nilai ini berada di atas standar yakni < 1% sehingga perlu dilakukan
esterifikasi dengan menambahkan asam sulfat (H2SO4) sebagai katalis agar asam lemak bebas
terkonversi menjadi metil ester. Nilai asam lemak yang melebihi 1 % menyebabkan reaksi antara
katalis basa dan asam lemak bebas yang cenderung menuju saponifikasi (pembentukan sabun),
sehingga menyulitkan pemisahan biodiesel (Haryanto, 2002).
Kandungan asam lemak bebas dalam biodiesel dapat mengakibatkan korosi pada alat
pembakaran dan juga dalam proses transesterifikasi asam lemak bebas akan mengkonsumsi
katalis sehingga perlu dilakukan proses esterifikasi untuk merubah asam lemak bebas menjadi
alkil ester.
Nilai FFA sangat bergantung pada perbedaan komposisi minyak tersebut. Minyak yang
memiliki kadar air tinggi cenderung memiliki FFA yang tinggi. Hal ini dikarenakan air akan
mengakibatkan proses hidrolisa selama proses penyimpanan, sehingga air membuat trigliserida
bereaksi dan membentuk gliserol dan asam lemak bebas (Kurniati, 2015). Perbandingan
rendemen ekstraksi minyak dan kadar FFA tiap minyak dapat dilihat pada Tabel 4.1

2. Esterifikasi
Reaksi esterifikasi merupakan tahap konversi asam lemak bebas menjadi ester dengan
mereaksikan minyak dan alkohol dengan katalis asam. Nilai FFA minyak jeroan tuna yang
didapatkan dalam penelitian ini adalah 4,415% sehingga dikarenakan nilai FFA >1% maka perlu
adanya proses esterifikasi.

24
Esterifikasi dilakukan menggunakan methanol dengan perbandingan mol minyak :
methanol 1 : 9. Hasil reaksi esterifikasi minyak limbah jeroan tuna sebesar 300 gram
mendapatkan rendemen sebesar 268,5 gram atau rendemen sebesar 89,5%.
Hasil esterifikasi yang diperoleh pada penelitian Junengsih (2015) menghasilkan
rendemen sebesar 94,67%, sedangkan Kurniawan (2012) menggunakan rasio minyak : methanol
1 : 6 hanya mampu menghasilkan rendemen sebesar 81,38%. Hasil esterifikasi sangat
dipengaruhi oleh jenis katalis dimana reaksi akan berjalan lebih optimal pada keadaan asam.
Namun pada katalis asam permasalahan yang timbul ialah timbulnya air dalam campuran
sehingga reaksi akan berhenti sebelum reaksi berakhir sempurna.

4. Transesterifikasi
Transesterifikasi dilakukan pada suhu 65oC dengan perbedaan lama reaksi yakni 90 menit
dan 120 menit. Perlakuan katalis yang diberikan yakni 1%, 1,5% dan 2%. Reaksi ini dilakukan
dengan memberikan penambahan alcohol (methanol). Hasil dari proses transesterifikasi dapat
dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Pengaruh lama reaksi dan konsentrasi katalis terhadap rendemen

Berdasarkan hasil analisis dengan faktorial 2 faktor, diketahui bahwa tidak terdapat
pengaruh nyata untuk faktor lama reaksi dan konsentrasi katalis terhadap hasil rendemen.

25
Gambar 4.1 menunjukkan trend peningkatan rendemen biodiesel mengikuti konsentrasi dari
KOH yang ditambahkan. Hal ini berarti titik 2% konsentrasi katalis belum merupakan titik
optimal dari katalis, sehingga masih memungkinkan untuk penambahan konsentrasi. Pamungkas
(2013) menggunakan KOH sebagai katalis dengan konsentrasi 1,5% dan bahan baku minyak
limbah tepung ikan sardine menghasilkan rendemen sebesar 71,57%.
Hasil yang didapatkan pada reaksi transesterifikasi dengan katalis KOH berbeda-beda
tergantung pada jenis dan kualitas minyak yang digunakan. Freedman, et all (1984), menyatakan
NaOH dikatakan lebih efektif dikarenakan campuran NaOH dengan methanol akan
memproduksi air lebih sedikit saat pembentukan ion metanolat, sehingga rendemen yang
dihasilkan akan lebih besar. Menurut Jumaeri (2003) terdapat 3 faktor yang menyebabkan NaOH
dipandang lebih baik daripada KOH sebagai katalis meskipun keduanya termasuk dalam basa
kuat. Pertama, nilai keelektronegatifan atom Na lebih besar dibandingkan atom K sehingga
NaOH lebih reaktif sebagai katalis. Jari-jari ion K adalah 1,33 amstrong yang berarti lebih besar
daripada Na (0,95 amstrong) menunjukkan kapasitas tukar ion Na untuk melepas ion OH - pada
NaOH lebih besar. Ketiga, bilangan spin Na adalah 3s1 sedangkan unsur K adalah 4s1, yang
menunjukkan jumlah kulit Na lebih sedikit daripada K sehingga lebih mudah untuk bereaksi.
Namun, jika dibandingkan dengan katalis basa lain seperti NaOH maka penggunaan KOH akan
lebih aman karena lebih mudah larut pada alcohol dan tidak bersifat korosif terhadap alat-alat
pengolahan (Alkabashi et al ,2009).
Rendemen yang diperoleh jika dibandingkan penelitian lain yang menggunakan rasio mol
minyak : methanol 1 : 9 seperti penelitian Junengsih (2015) maupun Fauzi (2014) didapatkan
hasil yang lebih rendah, sedangkan jika dibandingkan dengan penelitian Ningtyas (2011)
cenderung lebih tinggi. Penggunaan rasio 1 : 9 ini dikarenakan pada rasio ini trigiserda telah
habis bereaksi dengan methanol membentuk metil ester. Sedangkan penggunaan suhu 65 oC
karena suhu tersebut tidak melebihi titik didih methanol karena jika suhu yang digunakan lebih
tinggi maka methanol akan teruapkan dan tidak bereaksi dengan trigliserida.
Reaksi transesterifikasi akan menghasilkan 4 lapisan di corong pisah. Proses pemisahan
metil ester dilakukan dengan penambahan aquadest, dimana aquadest akan membentuk cairan
berwana putih susu yang merupakan campuran antara sabun, gliserol dan aquadest. Proses
pemisahan dapat dilihat pada Gambar 4.2

26
Metanol sisa

Metil ester

Sabun

Gliserol

Gambar 4.2. Stratifikasi bagian-bagian minyak hasil transesterifikasi

8. Identifikasi Metil Ester (biodiesel)


1. Analisa metil ester secara kualitatif
Metil ester dianalisa secara kualitatif dengan menggunakan Spektrofotometer FT-IR.
Analisa hasil biodiesel dengan Spektrofotometer FT-IR dilakukan untuk membuktikan adanya
ester pada produk transesterifikasi. Identifikasi dengan Spektrofotometer FT-IR dapat dilihat
pada Gambar 4.3.

27
Alkohol

Karboksilat Alkana Ester C-O


Ester C = O

Gambar 4.3. Spektra FT-IR Biodiesel

Adanya gugus ester, dapat dilihat dari serapan khas pada gugus C=O dan C-O.
Keberadaan ester dapat dilihat pada serapan di daerah 1743,66 cm-1 yang merupakan bilangan
gelombang untuk C=O ester. Dapat dilihat juga terdapat serapan – serapan lemah di antara 1000
cm-1 hingga 1300 cm-1 yang merupakan daerah serapan C-O ester. Serapan yang terjadi di
bilangan gelombang 2916,37 cm-1 dan 2846,93 cm-1 merupakan serapan gugus C-H dari rantai
asam lemak. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa senyawa ini mengandung
hidrokarbon yang memiliki gugus ester. Adanya serapan melebar diantara 3500 cm-1 hingga 3000
cm-1 dapat diakibatkan karena masih adanya gugus karboksilat, karena daerah tersebut
merupakan daerah serapan gugus asam karboksilat. Keberadaan gugus karboksilat ini
menandakan proses esterifikasi diduga kurang sempurna dalam mengubah asam karboksilat
menjadi ester.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pamungkas (2013) melaporkan dalam
analisa spektrofometer FT-IR didapatkan serapan sangat kuat pada daerah 1743,65 cm-1. Hasil
analisa FT-IR Fauzi (2014) yang menggunakan jeroan ikan tuna sirip kuning sebagai sumber
minyak juga mendapatkan serapan kuat pada panjang gelombang yang sama.

28
2. Analisa Konversi Metil ester berbasis spectra 1H-NMR
Analisa 1H-NMR digunakan dengan alat Agilent 500 MHz dengan sistem konsol DD2,
yang beroperasi pada frekuensi 500 MHz (1H). Sedangkan pelarut yang digunakan ialah
kloroform CDCl3.
Perhitungan konversi biodiesel dapat dilihat pada lampiran, data yang ditampilkan pada
gambar 4.4. menunjukkan bahwa nilai konversi tertinggi mencapai 100 % pada perlakuan lama
transesterifikasi 90 menit dengan konsentrasi katalis 2% dan lama transeserifikasi 120 menit
dengan konsentrasi katalis KOH 1%. Nilai ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan
konversi biodiesel dari minyak ikan sardine (Pamungkas, 2013) yang hanya mencapai 43,08%
menggunakan katalis KOH 1,5 % dan lama proses transesterifikasi 120 menit.

Gambar 4.4. Hasil konversi metil ester berdasar spectra 1H-NMR

Nilai konversi metil ester dapat dihitung dari besarnya puncak metil ester dan puncak
trigliserida. Proton metil ester pada spektra 1H-NMR terletak pada 3,7 ppm. Konversi metil ester
dikatakan sempurna jika tidak muncul puncak di sekitar proton gugus gliserida, yakni di daerah
4-4,3 ppm pada spektra 1H-NMR. Hasil spektra 1H-NMR dapat dilihat pada Gambar 4.5

29
Gambar 4.5. Spektra 1H-NMR Biodiesel KOH 2% dengan lama reaksi 90 menit

Berdasarkan spektra pada gambar 4.5 dapat dilihat tidak muncul puncak pada daerah 4-
4,3 ppm. Terdapat beberapa peak yang sangat kecil antara 4,128-4,146 ppm yang dapat
dikatakan tidak ikut terbaca dalam analisis 1H-NMR. Seluruh proton gugus gliserida pada produk
biodiesel tersebut tidak muncul dan semua gliserida telah terkonversi menjadi metil ester. Nilai
yang muncul pada 2,3 – 2,5 ppm merupakan proton α-CH2, sedangkan pada derah 1- 2 ppm
muncul puncak lebar dan tinggi dikarenakan proton-proton pada CH 2 berada terlalu dekat
sehingga puncak akan bergabung menjadi satu singlet dengan puncak tengah merupakan
multiplet dengan pinggir mengecil (Fessenden, 1999). Sedangkan spektra yang muncul pada 5 –
6 ppm merupakan indikator adanya gugur aldehid pada rantai panjang asam lemak.
Besarnya konversi metil ester dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain suhu ,
lama reaksi , dan kadar katalis. Penelitian lain yang menggunakan katalis basa seperti penelitian
Ningtyas (2011) dengan katalasi KOH 1,5% mampu menghasilkan nilai konversi hingga
80,96%. Nurul dan Yulianna (2010) menggunakan NaOH 1,75% sebagai katalis mendapatkan
rendemen sebesar 84,93%. Sementara Awwaludin (2008) menggunakan CaO 1,5% hanya

30
mendapatkan konversi sebesar 73,65%. Hal ini menunjukkan katalis yang bersifat basa
menghasilkan konversi metil ester lebih banyak.

3. Analisa Komposisi Asam Lemak Metil Ester


Pengujian GC-MS dilakukan untuk mengetahui jenis asam lemak atau metil ester yang
terkandung dalam biodiesel jeroan ikan tuna.
Pengujian GC-MS dilakukan untuk biodiesel dengan lama reaksi 90 menit dan katalis
KOH 2%. Analisis senyawa biodiesel dilakukan terhadap puncak fragmentasi yang telah
diidentifikasikan sebagai senyawa biodiesel berdasar pada kemiripan dengan senyawa standar.
Suatu senyawa dapat dikatakan mirip apabila pola fragmen, dan berat molekul senyawa identik.
Adapun nilai indeks kemiripak dari kedua senyawa harus tinggi. Hasil pengujian menunjukan
bahwa terbentuk 8 puncak dengan waktu retensi yang berbeda. Hasil Pengujian GC-MS dapat
dilihat pada Gambar 4.6

Gambar 4.6 Kromatogram GC-MS biodiesel KOH 2% dengan lama reaksi 90 menit

Berdasarkan kromatogram GC-MS memiliki 8 puncak dengan 2 puncak yang lebih tinggi
daripada puncak lainnya. Spektrometer puncak yang terdeteksi ialah puncak garis 11 yang
merupakan metil palmitat dengan luas area 19,45% dan puncak garis ke 15 yang merupakan
metil oleat dengan luasan area 17,37%. Asam palmitat merupakan asam lemak jenuh terpenting,
sedangkan asam oleat dengan satu ikatan rangkap merupakan asam lemak tak jenuh yang

31
berperan panting dalam biodiesel (Gultom, 2001). Jenis senyawa metil ester dapat dilihat pada
tabel 4.2.
Tabel 4.2. Jenis senyawa metil ester dalam biodiesel
No Nama Senyawa Puncak Ke Presentase
1 Metil heksa decanoat 3 6,16%
2 Metil Eicosa 4 7,56%
3 Metil hepta decanoat 7 11,21%
4 Metil hepta decanoat 9 6,61
5 Metil okta decanoat 10 5,57%
6 Metil Palmitat 11 19,45%
7 Hexatriacontan 12 4,35%
8 Metil Oleat 15 17,37%

Penelitian lain mengenai biodiesel juga menghasilkan metil palmitat dan metil oleat
dengan presentase terbesar. Fauzi (2014) menggunakan jeroan ikan tuna mendapatkan metil
palmitat dengan persen area 43,79%, sedangkan Ningtyas (2009) menggunakan minyak limbah
tepung ikan sardine mendapati kadar metil palmitat sebesar persen area 20,31%.
Metil Palmitat merupakan metil utama dalam metil ester dengan rumus C 17H34O2
memiliki rantai karbon yang pendek, sehingga muncul lebih awal daripada metil oleat. Dari hasil
diatas dapat dikatakan bahwa biodiesel dari minyak nabati maupun hewani didominasi oleh
kandungan metil palmitat.

9. Analisa Sifat Fisik Biodiesel


Hasil konversi biodiesel terbesar diperoleh dari perlakuan lama transesterifikasi 90 menit
dengan konsentrasi katalis KOH 2 %. Dari perlakuan tersebut dilakukan pengujian untuk
mengetahui sifat fisik biodiesel tersebut dan dibandingkan dengan standar mutu yang telah ada.
Sifat fisik merupakan karakteristik yang perlu dipelajari agar potensi biodiesel dari
minyak limbah jeroan ikan tuna mampu diaplikasikan. Uji ASTM biodiesel dai limbah
jeroanikan tuna dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Minyak Bumi Gas dan Batubara,
Fakultas teknik Universitas Gadjah Mada. Hasil perbandingan sifat fisik ini dapat dilihat pada
tabel 4.3.

32
Tabel 4.3. Perbandingan sifat fisik biodiesel jeroan tuna dan standar mutu biodiesel

ASTM Biodiesel D Minyak SNI


6751 (B100) Solar 48 Biodiesel
N Hasil Mi Ma Min Ma
o sifat fisik uji Min. Maks. n. ks. . ks.
Kerapatan spesifik pada 0.8 0.87 0.8 0,89
1 60/60oF (gr/ml) 0,8065 0,840 0,920 20 0 50 0
2 Viskositas Kinematik (cSt) 7,647 4,5 7 1,6 5,8 2,3 6
3 Titik nyala oC 64 130 - 60 - 100 -
4 Titik Tuang oC 9 - - - 18 -15 13

1. Kerapatan Spesifik
Dari hasil pengujian didapatkan bahwa nilai kerapatan spesifik 60/60oF dari biodiesel uji
adalah sebesar 0,8065. Ini berarti biodiesel hasil minyak jeroan ikan belum mampu memenuhi
baik itu standar ASTM Biodiesel D 6751, minyak solar dan SNI biodiesel. Hal ini dikarenakan
densitas biodiesel yang rendah karena hampir semua trigliserida telah menjadi 3 molekul ester.
Menurut Sulistyoningrum (2004) nilai kerapatan spesifik sangat berkaitan dengan nilai
pembakaran/ nilai panas, dimana nilai tersebut merupakan jumlah panas yang dihasilkan dalam
suatu pembakaran bahan bakar. Semakin tinggi nilai panas semakin baik pula kualitas biodiesel
tersebut

2. Viskositas Kinematik
Viskositas kinematic biodiesel yang dihasilkan adalah 7,647 yang berarti belum
memenuhi standar. Ningtyas (2009) mendapatkan nilai viskositas kinematic sebesar 4,1133
sedangkan Fauzi (2014) mendapatkan nilai viskositas yang lebih tinggi yakni 9,980. Nilai
viskositas yang tinggi dapat berakibat pada lambatnya aliran bahan bakar sehingga proses
pembakaran yang terjadi kurang sempurna.
Menurut Imaduddin (2008) nilai viskositas biodiesel sangat bergantung pada tingkat
keberhasilan konversi biodiesel tersebut. Ketika proses konversi masih rendah, maka
dimunginkan biodiesel masih mengandung molekul gliserida. Gugus hidroksida pada molekul
gliserida tersebut dapat mengakibatkan terbentuknya ikatan hydrogen yang sangat kuat sehingga

33
menambah kerapatan antar molekul gliserida. Viskositas yang tinggi dapat juga disebabkan oleh
masih adanya kandungan air maupun methanol dalam biodiesel tersebut.

3. Titik nyala (Flash point)


Titik nyala pada biodiesel yang dihasilkan adalah 64oC. Nilai ini sudah memenuhi
standar yang diterpakan oleh minyak solar 48 yaitu minimum 60 oC. Namun, jika dibandingkan
dengan SNI Biodiesel 04-7182-2006 dan ASTM biodiesel D 6751 nilai ini masih jauh
dibawahnya. Titik nyala merupakan suhu terendah dimana uap bahan bakar dalam campuran
biodiesel dengan udara akan menyala jika dikenakan uji nyala.
Pamungkas (2013) menggunakan limbah minyak ikan sardine sebagai bahan baku
biodieselnya dan menggunakan KOH mendapatkan nilai 172,5 o
C. Ningtyas (2009)
mendapatkan nilai titik nyala yag lebih tinggi yakni 180 oC. Titik nyala yang tinggi memberikan
keuntungan ketika proses penyimpanan bahan bakar, karena uap bahan bakar tidak rentan
terbakar. Sedangkan keuntungan dari titik nyala yang rendah adalah kemampuan dalam
pengabutan dan penguapan ketika proses pembakaran di dalam silinder akan lebih mudah dan
efisien energy (Yusufa, 2008).

4. Titik tuang (Pour point)


Pour point merupakan temperatur terendah dimana masih memungkinkan terjadinya
aliran bahan bakar. Ketika bahan bakar berada di bawah pour point maka bahan bakar tidak bisa
lagi mengalir dikarenakan sudah membentuk gel/Kristal padat. Nilai titik tuang pada biodiesel
katalis KOH 2% didapatkan sebesar 9 oC, sehingga telah memenuhi standar yang diterapkan baik
itu SNI Biodiesel 04-7182-2006 maupun minyak solar 48. Biodiesel dengan titik tuang yang
rendah memiliki keunggulan jika digunakan di tempat yang bersuhu rendah dan mesin yang
jarang digunakan. biodiesel dapat dikataka semakin baik kualitasnya jika nilai titik tuangnya
semakin rendah (Sulistyoningrum, 2004).

34
V. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
1. Peningkatan konsentrasi katalis KOH cenderung meningkatkan jumlah rendemen yang
dihasilkan. Sedangkan untuk lama reaksi, rendemen lebih besar didapatkan pada lama waktu
reaksi 90 menit.
2. Presentase konversi metil ester terbesar dihasilkan dari perlakuan lama reaksi 90 menit
dengan konsentrasi KOH 2% dan lama reaksi 120 menit pada konsentrasti 1% yaitu
mencapai 100%
3. Kandungan metil ester didominasi oleh metil palmitate dan metil oleat yaitu sebesar 19,45%
dan 17,37%.
4. Karakteristik titik nyala (Flash point) dan titik tuang (Pour point) sudah memenuhi standar
mutu biodiesel, sementara untuk viskositas kinematik dan kerapatan spesifik belum mampu
memenuhi standar mutu.

2. Saran
Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai optimasi pembuatan biodiesel dengan variasi
rasio mol methanol : minyak agar hasil rendemen yang didapatkan lebih optimal dan pengaturan
suhu pada proses pemanasan sebelum melakukan esterifikasi sebaiknya ditingkatkan agar tidak
ada kandungan air dan pelarut benar-benar menguap.

35
DAFTAR PUSTAKA

ASTM international. 2003. Annual Book of ASTM Standards, 5, 05.01, ASTM International,
West Conshohocken.

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical Chemists,


Washington D.C.

Awaluddin. A, Saryono, S. Nelvia, Wahyudi. 2008. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi


Biodiesel dari Minyak Sawit Mentah Menggunakan Katalis Padat Kalsium Karbonat
yang Dipijarkan. Jurusan Kimia. Universitas Riau. Pekanbaru, Riau. Jurnal Natur
Indonesia 11(2): 129-134.

Badan Standar Nasional. 2006. Standar Syarat Mutu Biodiesel.Direktorat Jendral Listrik dan
Pemanfaatan Energi Departemen Pertambangan dan Energi <http://www.bsn.or.id.>.

Bawono, C.K. 2012. Pembuatan biodiesel dari jeroan dan kulit ikan nila hitam. Jurusan
Perikanan. Fakultas Pertanian. UGM. Skripsi

Danorko, D and M. Cheryan. 2000,"Continuous Production of Palm Metyl Ester", J.Am.Oil


Chem.Soc.,77,1269-1272

Destianna, M., Z. Agustinus, Nazef dan P. Soraya. 2007. Intensifikasi Proses Produksi
Biodiesel.<httppub.bhaktiganesha.or.iditb77filesPenelitian%20mahasiswa%20
ITBBIODIESEL.pdf>.

Duckett, S. and B. Gilbert. 2000, Foundation of Spectroscopy, Oxford University Press, Oxford,
UK.

Fauzi, R.L. 2012 . Pembuatan Biodiesel Dari Jeroan Tuna Sirip Kuning Menggunakan Katalis
CaO Dengan Metode Transesterifikasi Bertingkat . Jurusan Perikanan. Fakultas
Pertanian. UGM. Skripsi

Fessenden, J.R. 1995, Kimia Organik, Edisi Ketiga, Penerbit Erlangga, Jakarta Pamungkas, A.,
2013. Pemanfaatan Limbah Tepung Ikan Sardine dalam pembuatan biodiesel dengan
katalis KOH. Jurusan Perikanan. Fakultas Pertanian. UGM. Skripsi

Folch, J., M. Lees and G. M. Sloane-Stanley, 1957. A Simple Method for the Isolation and
Purification of Total Lipids from Animal Tissue. Jurnal Biologi Chem, 226 : 497-509.

36
Freedman, B., EH. Pryde and TL. Mounts. 1984.Variables Affecting the Yields of Fatty Esters
from Transesterfied Vegetable Oils. JAOCS, Vol. 61, no. 10

Hardjono, A., 2001, Teknologi Minyak Bumi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Hendayana, S. 2006. Kimia Pemisahan, Metode Kromatografi dan Elektrolisis Modern.


Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA

Imaduddin, M. 2008. Pengaruh Penggunaan Abu Tandan Kosong Sawit sebagai Katalis Basa
pada Proses Transesterifikasi Minyak Sawit. Fakultas MIPA, Jurusan Kimia.
Universitas Gadjah Mada. Skripsi

Jumaeri. 2003. Ikatan Kimia. Universitas Negeri Semarang.

Kaban, J dan Daniel. 2005. Sintesis n-6 Etil Ester Asam Lemak dari Beberapa Minyak Ikan Air
Tawar. Jurnal komunikasi penelitian.Vol 17 (2)

Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Penerbit UI-Press. Jakarta

Knothe, G. 2000. Monitoring a Progressing Transesterification Reaction by Fiber-Optic Near


Infrared Spectroscopy with correlation to H Nuclear Magnetic Resonance
Spectroscopy, JAOCS. 77, J 9483, 489-493.

Ma, F. and M.A. Hanna. 1999a. Biodiesel Production: a Review, Bioresour. Technol 70: 1-15.

Manurung, R. 2006. Transesterifikasi Minyak Nabati. Jurnal Teknologi Proses,: 47-52

Mukti, E.A.K. 2015. Kajian Sifat Fisikokimia dan Sensori Tepung Tulang Ikan Lele, Tuna dan
Lemadang. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Skripsi.

KKP. 2007. Indonesian Fisheries Statistic Index 2006. Kemetrian Kelautan dan Perikanan.
Jakarta.

Kusmiyati. 2008. Reaksi Katalitis Esterifikasi Asam Oleat Dan Metanol Menjadi Biodiesel
Dengan Metode Distilasi Reaktif. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Ningtyas, D.P. 2009. Pengaruh penggunaan katalis NaOH pada reaksi Transestrifikasi terhadap
kualitas biodiesel limbah minyak tepung ikan sardine. Jurusan Perikanan. Fakultas
Pertanian. UGM. Skripsi

37
Oktakarno. 2008. Pembuatan H-Zeolit sebagai Katalis dalam Reaksi Esterifikasi Asam Lemak
Bebas dalam Minyak Jelantah Kelapa dan Pengaruhnya terhadap Konversi Biodiesel
Total. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Jurusan Kimia. Universitas
Gadjah Mada. Skripsi.

Pamungkas, A., 2013. Pemanfaatan Limbah Tepung Ikan Sardine dalam pembuatan biodiesel
dengan katalis KOH. Jurusan Perikanan. Fakultas Pertanian. UGM. Skripsi

Purnomo, E., 2005. Pemanfaatan Bahan Sisa Dalam Upaya Meminimisasi Limbah Padat.
Program Magister Ilmu Lingkungan. Program Pasca Sarjana. UNDIP. Tesis

Riswanto, S. 2012. Status Perikanan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus, Lowe 1893) di Perairan
Samudera Hindia Selatan Palabuhan Ratu Sukabumi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan. Universitas Indonesia. Tesis.

Saanin, H., 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I. Penerbit Bina Cipta. Bandung

Saefulhajar, D., D. Rusmana dan Abun. 2004. Pengaruh Cara Pengolahan Limbah Ikan Tuna
(Thunnus atlanticus) terhadap Kandungan Gizi dan Nilai Energi Metabolisme pada
Ayam Pedaging. Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran.

Sahubawa, L., 2012. Optimasi produksi dan mutu biofuel hasil reaksi esterifikasi dan
transesterifikasi bertingkat dengan katalis alami dan kimia. Teknologi Pengolahan
Hasil Perikanan, Prodi THP, Jurusan Perikanan Fak. Pertanian UGM.

Schuchardt, U. Ricardo & S. Regerio, M.V.. 1998. Transesterification of Vegetable Oils: a


review. J. Braz. Chem. Soc. Vol 9, 199-210.

Silva, J.F.X., K. Ribeiro, J.F. Silva., T.B Cahu and R.S. Bezerra. 2014. Utilization of Tilapia
Processing Easte for The Production of FIsh Protein Hydrolysate. Animal Feed Science
and Technology 196:96-106.

Soerawidjaja, T. H. 2006. Minyak-lemak dan produk-produk kimia lain dari kelapa. Handout
kuliah Proses Industri Kimia, Program Studi Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung

Sulistyaningrum, D. 2004. Kajian Pengaruh Rasio Mol Etanol – Minyak Kelapa Terhadap
Kualitas dan Kuantitas Biodiesel Hasil Transesterifikasi Minyak Kelapa dengan Katalis
KOH. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Jurusan Kimia. Universitas
Gadjah Mada. Skripsi.

38

Anda mungkin juga menyukai