Anda di halaman 1dari 12

Jurnal Ilmiah Mahasiswa

MEUKUTA ALAM
Volume 1, Nomor 1, Juni 2023
P-ISSN : xxxx – xxxx | E-ISSN : xxxx – xxxx

[Pelaksanaan Pernikahan Siri Di Gampong Kemuning Hulu]

[Cut Maylinda 1]*, [Zulfiani2]*, [Nur Asyiah 3]


[Fakultas Hukum, Universitas Samudra]
[Jl. Prof. Dr. Syarif Thayeb, Langsa 426534]
[cutmaylinda@gmail.com]

Abstrak

[Ditulis dalam bahasa Inggris, Times New Roman font 11, cetak miring, justify, 1 spasi,
terdiri dari 100-125 kata, memuat latar belakang masalah, urgensi penulisan, metode
penelitian (untuk artikel hasil penelitian) dan hasil penelitian atau kesimpulan]. Penulisan
abstrak cukup hanya dituliskan dalam bahasa Indonesia. Abstrak dibuat dalam 1 (satu)
alinia.

Keywords:[Ditulis dalam bahasa Inggris, Times New Roman 12, italic, terdiri dari 3-5
kata kunci, diakhiri dengan tanda baca titik (.)]

A. PENDAHULUAN
Nikah siri di Indonesia masih banyak dipraktik oleh kalangan
masyarakat, termasuk Provinsi Aceh. nikah siri ini terjadi karena kurang
pengetahuan dari masyarakat sehingga tidak memikirkan efek yang terjadi
kedepan terhadap istri dan anak mereka yang mengalami kesulitan dalam
mendapatkan haknya termasuk permasalahan administrasi negara sebagai
warga negara.
Kesadaran hukum mempunyai beberapa konsepsi, salah satunya
konsepsi mengenai kebudayaan hukum. Konsepsi ini mengandung ajaran-
ajaran kesadaran hukum lebih banyak mempermasalahkan kesadaran hukum
yang dianggap sebagai mediator antara hukum dengan perilaku manusia, baik
secara individual maupun kolektif. Konsepsi ini berkaitan dengan aspek-
aspek kognitif dan perasaan yang sering kali dianggap sebagai faktor-faktor
yang mempengaruhi hubungan antara hukum dengan pola-pola perilaku
manusia dalam masyarakat.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 atas perubahan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas monogami
yaitu suatu perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita sebagai isteri
dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Akan tetapi
Undang-Undang Perkawinan itu juga memberikan kemungkinan seorang pria
mempunyai lebih seorang istri (berpoligami) dengan memenuhi syarat-syarat
yang telah ditetapkan.
*
Ditulisnamalengkapmahasiswa
*
Ditulisnamadosenpembimbingutama
*
Dituliskannamadosenpembimbingkedua
Jurnal Ilmiah Mahasiswa
MEUKUTA ALAM
Volume 1, Nomor 1, Juni 2023
P-ISSN : xxxx – xxxx | E-ISSN : xxxx – xxxx

Berbicara mengenai perkawinan, berarti berbicara mengenai masalah


agama, agama dalam hal perkawinan sebagai lembaga yang menghalalkan
hubungan sebagai suami istri, berbicara mengenai halal maka harus dikaitkan
dengan adanya perkawinan yang sah, perkawinan yang harus memenuhi
rukun dan syarat yang ditetapkan agama, bagi yang beragama Islam, harus
memenuhi syarat perkawinan; kedua belah pihak tidak mempunyai halangan
perkawinan sebagai dimaksud dalam al-Quran (surat an-Nisaa ayat 23) yang
tidak boleh dinikahi karena ada hubungan muhrim, ada hubungan sesusuan,
ada halangan perkawinan karena perempuannya masih terikat dengan
perkawinan dengan lelaki lain (belum bercerai), tidak boleh memadukan dua
bersaudara dalam waktu yang sama, kemudian dalam perkawinan harus
antara lelaki dengan perempuan, ada aqad nikah (ijab-qabul), ada wali nikah
yang sah (wali nasab atau wali hakim), ada dua saksi nikah, ada mahar yang
jelas (meski mahar ini ada ulama yang tidak memasukkan sebagai rukun),
maka apabila hal tersebut berlangsung memenuhi syarat dan rukun tersebut
maka, perkawinan tersebut dapat dinyatakan sah menurut agama Islam dan
hal tersebut diakui oleh Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 atas perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Masalah perlindungan terhadap hak perempuan sebagai akibat dari
perkawinan siri, dimana fenomena ini sudah menjadi sesuatu yang seharusnya
tidak dibudayakan karena tidak memiliki kekuatan hukum perkawinan.
Walaupun di gampong Kemuning Hulu Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten
Aceh Timur masih ada beberapa kasus perkawinan nikah siri.
Seperti pelaku perkawinan siri diketahui berinisial RP dan PP, dan MY
dan D, kedua pasangan tersebut merupakan warga yang tinggal di Gampong
Kemuning Hulu Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur, masing-
masing memiliki latar belakang pendidikan rendah. Terjadinya pernikahan
siri ini disebabkan karena daerah tersebut kurang mengetahui dampak hukum
yang akan terjadi selanjutnya, kemudian daerah tersebut dipengaruhi oleh
lingkungan yang ada dalam gampong tersebut yang letaknya jauh dari kota
sehingga memerlukan sosialisasi terhadap pernikahan siri.
Menyadari semakin meluasnya pelaksanaan kawin siri tersebut di atas,
maka perlu diberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang betapa tidak
beruntungnya seorang perempuan yang menikah dibawah tangan atau kawin
siri sebab segala yang harusnya diterima sebagai seorang istri secara hukum
akan terabaikan.
Atas dasar inilah maka sangat penting untuk memberikan kesadaran
hukum kepada masyarakat bahwa sebenarnya Undang-undang telah
memberikan perlindungan penuh terhadak hak_hak perempuan dalam
perkawinannya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 atas perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa
MEUKUTA ALAM
Volume 1, Nomor 1, Juni 2023
P-ISSN : xxxx – xxxx | E-ISSN : xxxx – xxxx

Dengan permasalahan sebagai berikut


1. Bagaimana Pengaturan Hukum Tentang Perkawinan ?
2. Apa Faktor Penyebab Terjadinya Pernikahan Siri digampong
Kemuning Hulu ?

B. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris dan yuridis
normatif. Penelitian yurdis empiris adalah penelitian dengan menggunakan
data primer yang diproleh langsung dari lapangan. Penelitian yuridis normatif
adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
lebih di kenal dengan data sekunder seperti buku-buku, peraturan
perundangan atau bahan bacaan lainnya yang berkaitan dengan pembahasan.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Pengaturan hukum perkawinan menurut BW di Indonesia
Menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam
Pasal 1menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan pengertian Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam
(KHI) adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah
Pernikahan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang memandang
perkawinan hanyadari hubungan keperdataan, demikian pasal 26
Burgerlijk Wetboek. Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa suatu
perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat
yang ditetapkan dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Perkawinan perupakan institusi yang sangat penting dalam
masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum
antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Yang dimaksud dengan
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita
sebagai suami-isteri.
Undang-undang 1 Tahun 1974 dan hukum Islam memandang bahwa
perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, tetapi
dilihat jugadari aspek agama dan sosial. Aspek agama menetapkan tentang
keabsahan perkawinan, sedangkan aspek formal adalah menyangkut aspek
administratif, yaitu pencatatan di KUA dan catatan sipil. Dalam konsepsi
hukum perdata barat, perkawinan itu dipandang dalam hukum keperdataan
saja. UU hanya mengenal “perkawinan perdata ”, yaitu perkawinan yang
dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan sipil.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa
MEUKUTA ALAM
Volume 1, Nomor 1, Juni 2023
P-ISSN : xxxx – xxxx | E-ISSN : xxxx – xxxx

Menurut Zainuddin Ali “perkawinan merupakan salah satu perintah


agama bagi hambana yang sudah mampu untuk menyegerakan
pelaksanaannya”. Maka dari itu menurut hukum yang tidak tertulis yaitu
hukum adat bahwa boleh dilaksanakan pernikahan siri asalkan cukup
rukun dalam menjalankan pernikahan tersebut.
Perkawinan adalah suatu perbuatan yang menimbulkan suatu akibat
hukum antar dua pihak yaitu antara suami dan isteri, maka dari itu perlu
adanya aturan dan undang-undang untuk mengaturnya, baik dari proses
perkawinan sampai dengan perceraian. Akibat hukum tersebut diantaranya
adalah hak dan kewajiban suami isteri, hak asuh anak, waris dan lain
sebagainya.
Syarat formal adalah syarat-syarat yang berkaitan dengan formalitas-
formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dalam dua
tahapan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan
dilangsungkan adalah:
1. Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman tentang
maksud kawin (pasal 50 sampai dengan 51 KUH Perdata).
Permberitahuan tentang maksud kawin untuk dilakukan kepada
Pegawai Catatan Sipil. Pengumuman untuk maksud kawin dilakukan
sebelum dilangsungkan perkawinan, dengan jalanmenempelkan pada
pintu utama dari gedung dimana register-register catatan sipil
diselenggarakan, dan jangka waktunya selama 10 hari. Maksud
pengumuman iniadalah untuk memberitahukan kepada siapa saja yang
berkepentingan untuk mencegah maksud dari perkawinan tersebut
karena alasan-alasan tertentu. Sebab, dapat saja terjadi bahwa suatu hal
yang menghalangi suatu perkawinan lolos dariperhatian Pegawai
Catatan Sipil. Pengumuman itu sebagai pengawas yangdilakukan oleh
masyarakat;
2. Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannya
perkawinan. Apabila kedua syarat di atas, baik itu syarat intern, ekstern,
maupun syarat materiil dan formal sudah dipenuhi maka perkawinan itu
dapat dilangsungkan.
a. Kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam
undang-undang, yaitu untuk seorang laki-laki 19 tahun dan untuk
seorang perempuan 16 tahun;
b. Harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak;
c. Untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin harus lewat 300
hari dahulu sesudahnya putusan perkawinan pertama;
d. Tidak ada larangan undang-undang bagi kedua pihak;
e. Untuk pihak yang masih di bawah umur, harus ada izin dari orang
tua atau walinya.
Tentang hal larangan untuk kawin dapat diterangkan, bahwa seorang
tidak diperbolehkan untuk kawin dengan saudaranya, meskipun saudara tiri;
Jurnal Ilmiah Mahasiswa
MEUKUTA ALAM
Volume 1, Nomor 1, Juni 2023
P-ISSN : xxxx – xxxx | E-ISSN : xxxx – xxxx

seorang tidak diperbolehkan kawin dengan iparnya; seorang paman dilarang


kawin dengan keponakannya dan sebagainya.
Tentang hal izin dapat diterangkan bahwa kedua orang tua harus
memberikan izin, atau ada kata sepakat antara ayah dan ibu masing-masing
pihak. Jikalau ada wali, wali ini pun harus memberikan izin, dan kalau wali
ini sendiri hendak kawin dengan anak yang di bawah pengawasannya, harus
ada izin dari wali pengawas (tooziende voogd). Kalau kedua orang tua sudah
meninggal, yang memberi izin ialah kakek nenek, baik pihak ayah maupun
pihak ibu, sedangkan izin wali masihpula diperlukan. Untuk anak-anak yag
lahir di luar perkawinan, tetapi diakui oleh orangtuanya, berlaku pokok aturan
yang sama dengan pemberian izin, kecuali jikalau tidak terdapat kata sepakat
anatara kedua orang tua, hakim dapat diminta untuk ikut campur tangan, dan
kakek nenek tidak menggantikan orang tua dalam hal memberikan izin.
Ketentuan dari syarat-syarat di atas yang dituangkan dalam perundang-
undangan merupakan hal pokok yang harus dipenuhi dalam melangsungkan
suatu.
2. Pengaturan Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam
Undang-Undang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (NTR) dalam
lembaran negara 1954 No.32 serta peraturan Menteri Agama mengenai
pelaksanaannya. Undang-Undang Pencatatan NTR hanya mengenaii teknis
pencatatan nikah, talak, dan rujuk umat islam, sedangkan praktek hukum
nikah, talak, dan rujuk pada umumnya menganut ketentuan-ketentuan fiqh
mazhab Syafi’i .
Agama Islam di nusantara sudah ada sebelum penjajahan belanda
datang ke nusantara, sehingga dimana masyarakat islam berada, disitu sudah
berlaku hukum islam, meskipun dalam lingkup masyarakat yang jumlahnya
masih sangat minim. Dibeberapa kerajaan Nusantara waktu itu, hukum islam
diakui dan dianut oleh masyarakat, seperti disumatera terdapat Kerajaan
Sultan Pasai di Aceh serta Kerajaan Pagar Ruyung dan Kerajaan Paderi
kedua-duanya di Minang Kabau. Di Jawa terdapat Kerajaan Demak,
Mataram, dan Sultan Agung: di Makassar terdapat Kerajaan Hasanuddin: dan
sebagainya, bahkan Malaka serta Brunai (sekarang Brunai Darussalam) di
semenangjung Melayu .
Pada Zaman VOC eksistensi Hukum Keluarga Islam telah diakui dan
berlaku dalam masyarakat dan diakui pula oleh kerajaankerajaan islam yang
kemudian dihimpun dalam Kitab Hukum Islam, yang dikenal dengan
Kompedium Freijen. Kitab Hukum Islam tersebut berisi aturan-aturan Hukum
Keluarga, perkawinan, dan kewarisan islam yang ditetapkan agar diterapkan
oleh Pengadilan VOC. Selain itu, dibuat pula himpunan hukum keluarga,
perkawinan dan kewarisan islam untuk daerah-daerah Cirebon, semarang dan
Makasar. (Arso Sosroatmodjo dan Alwi A. Wasit, 1978:11).
Sudah menjdi fakta sejarah, sebelum pemerintah kolonial Belanda
menginjakkan kakinya di Bumi Nusantara pada waktu itu, manyoritas
Jurnal Ilmiah Mahasiswa
MEUKUTA ALAM
Volume 1, Nomor 1, Juni 2023
P-ISSN : xxxx – xxxx | E-ISSN : xxxx – xxxx

penduduk telah menganut agama islam. Atas dasar fakta tersebut tak dapat
dimungkiri apabila di Nusantara pada waktu itu telah terbentuk kelompok
masyarakat islam yang besar dan kuat. Di beberapa daerah di Hindia Belanda
(kini Indonesia), islam bukan saja merupakan agama resmi karena diakui
kerajaan-kerajaan di Nusantara, bahkan akhirnya hukum keluarga yang
berlaku di Hindia Belanda telah mengakui nilai-nilai islam yang kemudian
diadopsi dalam perundang-undangan Hindia Belanda.
Walaupun sudah berabad-abad hukum Islam itu dianut oleh masyarakat
islam di Nusantara yang secara terus menerus diperjuangkan oleh umat islam,
namun dengan berlakunya Hukum Barat yang dibawa dari Negeri Belanda di
berlakukan di Nusantara dalam menunjang dan memperkuat kristenisasi tidak
mampu menghilangkan semangat masyarakat islam di Nusantara untuk
memperkuat hukum islam. Atas dasar keyakinan yang sudah tertanam dalam
jiwanya dan dengan penuh semangat mempertahankan agama islam dan
hukum keluarga islam tetap kokoh ditengah-tengah masyarakat di Nusantara
ini.
Dalam rangka menghadapi perkembangan hukum keluarga Islam di
Hindia Belanda, semula pemerintah Kolonial Belanda merumuskan
kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh VOC bahwa mereka tidak
menganggap hukum islam itu sebagai suatu ancaman bagi kelangsungan
pemeritah kolonial Belanda. Akan tetapi kondidsi seperti ini tidak dapat
dipertahankan dalam jangka waktu panjang sebab pemerintah kolonial
Belanda mengubah pendirian ini sebagai akibat usul Snouck Hurgronje
kepada pemerintah kolonial Belanda.
Snouck Hurgronje mengajukan teori baru, karena teori yang berlaku
saat itu dianggap sebagai teori yang keliru dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Snouck Hurgronje teori yang lebih tepat untuk digunakan dalam
masyarakat adalah teori resepsi (receptie theori). Menurut teori tersebut
hukum yang berlaku dalam realitas masyarakat adalah hukum adat,
sedangkan hukum islam baru dapat diberlakukan apabila sudah beradaptasi
dengan hukum adat. Teori resepsi ini didukung oleh Van Vollen Hoven dan
Ter Haar.
Akibat pemberlakuan teori resepsi ini dalam masyarakat Hindia
Belanda waktu itu, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Stb. Nomor
116 dan Nomor 610 Tahun 1937 tentang Kebijakan Baru yang membatasi
kewenangan Peradilan Agama. Pembatasan kewenangan peradilan agama
tersebut berdampak penghambatan atau penghentian pengembangan hukum
keluarga islam dalam masyarakat. Teori resepsi ini berlaku terus di Hindia
Belanda (kini indonesia) sampai kurun waktu 1970. Bahkan hingga kini
masih ada beberapa ahli hukum indonesia menganut teori ini.
Satu tahun setelah proklamasi kemerdekaan indonesia, keadaan mulai
berubah akibat perkembangan masyarakat yang semakin maju untuk
menyesuaikan hukum yang berlaku dengan kondisi indonesia merdeka
Jurnal Ilmiah Mahasiswa
MEUKUTA ALAM
Volume 1, Nomor 1, Juni 2023
P-ISSN : xxxx – xxxx | E-ISSN : xxxx – xxxx

termasuk juga hukum islam. Pada tanggal 22 Nopember di undangkan


Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Nikah, Talak dan Rujuk
sebagai dasar hukum keluarga islam.
Berdasarkan pada pertimbangan bahwa peraturan nikah, talak dan rujuk
yang diatur dalam Ordonansi Perkawinan Stb. Nomor 348 Tahun 1929 Jo.
Stb. 467 Tahun 1931, Ordonansi Perkawinan Campuran Stb. 1933 Nomor 98,
tidak sesuai lagi dengan keadaan yang ada. Sementara itu, untuk membuat
Undang-undang baru tidak mungkin dilaksanakan dalam waktu singkat.
Setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang
Nikah, Talak dan Rujuk, segera diambil tindakan dengan jalan memisahkan
urusan pendaftaran nikah, talak dan rujuk dan peradilan agama. Karena
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 hanya berlaku untuk Jawa dan
Madura, dengan semangat kemerdekaan perlu adanya kesatuan hukum yang
berlaku secara nasional. Pada tanggal 26 Oktober 1954 dikeluarkan peraturan
Penetapan berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang
pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh daerah di luar Jawa dan
Madura.
Upaya untuk melahirkan Hukum Perkawinan dan perceraian terutama
bagi umat islam yang refresentatif dan bersifat unifikasi hukum terus
dilakukan, maka pada akhir tahun 1950 dengan Surat Penetapan Menteri
Agama RI Nomor B/2/4299 tanggal 1 Oktober 1950 dibentuk Panitia
Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk yang di
ketuai Oleh Teuku Moh. Hasan. Namun panitia ini tidak dapat bekerja
maksimal, karena kesibukannya mempertahankan kemerdekaan, maka pada
tanggal 1 April 1951 dibentuk panitia baru yang diketuai oleh H. Moh. Noer
Poerwosoetjipto yang disebut dengan panitia Penyelidik Peraturan Hukum
Perkawinan, Talak dan Rujuk yang disingkat dengan NTR. Panitia ini telah
berhasil menyelesaikan dua Rancangan Undangundang Perkawinan, yaitu :
1. Rancangan Undang-undang Pokok Perkawinan yang dijadikan Hukum
Umum bagi seluruh rakyat indonesia dan berlaku untuk seluruh wilayah
Indonesia. Rancangan ini diselesaikan pada tahun 1952.
2. Rancangan Undang-undang Pernikahan Umat Islam, yang berlaku bagi
umat Islam di seluruh wilayah Indonesia. Rancangan ini diselesaikan pada
tahun 1954.
Setelah dilakukan berbagai pedebatan dalam sidang-sidang DPR, maka
pada tanggal 2 Januari 1974 undang-undang tersebut diundangkan sebagai
undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Lembaran Negara Reepublik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019 Tahun 1974. Sejarah mencatat bahwa proses
melahirkan Undang-undang Perkawinan telah menghabiskan waktu yang
cukup lama, yaitu sejak tahun 1950 sampai disahkan menjadi Undang-undang
Perkawinan pada akhir tahun 1973 yang telah memakan waktu selama 23
(dua puluh tiga) tahun.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa
MEUKUTA ALAM
Volume 1, Nomor 1, Juni 2023
P-ISSN : xxxx – xxxx | E-ISSN : xxxx – xxxx

Oleh karena UU Perkawinan yang dilahirkan bertujuan untuk


mengakhiri berlakunya hukum peninggalan kolonial belanda di Indonesia
yang pluralistik dalam bidang perkawinan menuju pada unifikasi hukum yang
harus berlaku bagi semua warga negara Indonesia, maka hukum perkawinan
yang dilahirkan tidak hanya menyerap aspirasi dari hukum islam, melainkan
juga harus menyerap aspirasi dari agama lain selain dari islam. Sehingga UU
perkawinan sebagai hasil kompilasi dari berbagai ketentuan hukum menjadi
satu UU perkawinan, dengan demikian UU perkawinan meskipun dari segi
bentuknya sudah unifikasi hukum, namun dari segi isinya juga terjadi
pluralisme hukum yang berlaku untuk semua agama yang diakui di indonesia.
Dalam keadaan yang demikianlah yang membuat masyarakat islam
menghendaki UU Perkawinan tersendiri yang khusus berlaku bagi
masyarakat islam dengan mengadopsi syariat islam. Selain dari itu terdapat
pandangan bahwa kenyataannya umat islam di Indonesia sebagai anggota
masyarakat yang besar jumlahnya, maka perlu mendapat perhatiannya . Maka
dari itu, lahirlah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disusun dengan maksud
untuk melengkapi UU Perkawinan dan menjadi pedoman bagi hakim di
lembaga peradilan agama yang telah ditetapkan dan disebarluaskan melalui
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 2 ayat 1 KHI menyebutkan bahwa : “Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”. Ketentuan ini tidak ada beda dengan Pasal 2 ayat (1)
UU Perkawinan yang menyatakan perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Ini menunjuk akan isi dari Kompilasi Hukum Islam masih mengakui
pluralisme dalam hukum perkawinan di indonesi. Namun dapat ditegaskan
bahwa bagi umat Islam berlaku hukum perkawinan Islam, sedangkan bagi
agama selain islam berlaku hukum perkawinan yang diatur dalam agamanya.
Dalam Hukum perkawinan islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan
dengan akad antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan dua
orang laki-laki setelah dipenuhi syarat-syarat lain menurut hukum islam.
Dengan dikukuhkannya hukum agama (Fiqh Munakahat) sebagai syarat
sahnya suatu perkawinan, maka berlakunya hukum islam di Indonesia bukan
lagi berdasarkan kepada teori resepsi, melainkan langsung berdasarkan
kepada UU Perkawinan.
Dengan demikian, pelaksanaan Hukum Perkawinan Islam itu disamping
menjadi tanggung jawab pribadi umat islam, juga menjadi tanggung jawab
pemerintah untuk ikut mengawasinya. Adanya pengawasan pemerintah itu
dimaksudkan agar supaya dalam pelaksanaan Hukum perkawinan Islam itu
tidak disalah gunakan.
Ada beberapa sumber hukum perkawinan di Indonesia yaitu :
3. Al-Qur’an
Ayat-ayat Al-Qur’an tentang perkawinan adalah sebagai berikut:
Jurnal Ilmiah Mahasiswa
MEUKUTA ALAM
Volume 1, Nomor 1, Juni 2023
P-ISSN : xxxx – xxxx | E-ISSN : xxxx – xxxx

a. Perkawinan adalah tuntutan kodrat hidup dan tujuannya antara lain adalah
untuk memperoleh keturunan, guna melangsungkan kehidupan jenisnya
terdapat didalam QS. Al-Dzariyat:49, QS.Yasin:36, QS.al-Hujurat:13,
QS.al-Nahl:72.
b. Perkawinan adalah untuk mewujudkan kedamaian dan ketentraman hidup
serta menumbuhkan rasa kasih sayang khususnya antara suami istri,
kalangan keluarga yang lebih luas, bahkan dalam kehidupan umat manusia
umumnya. Hal ini dapat dilihat didalam QS. Al-Rum:21, QS.An-nur:32.
c. Larangan-larangan Allah untuk dalam perkawinan dapat dilihat didalam
QS.al-Baqarah:235, QS.AlNisa:22-23, QS.an-Nur:3, QS.al-Baqarah:221,
QS.alMaidah:5, QS.al-Mumtahanah:10.
d. Perintah berlaku adil dalam perkawinan dapat dilihat di dalam QS. An-
Nisa’:3 dan 34.
e. Adanya peraturan dalam melakukan hubungan suami istri terdapat di
dalam QS. Al-Baqarah:187, 222, dan 223.
f. Aturan-aturan tentang penyelesaian kemelut rumah tangga terdapat di
dalam QS.an-Nisa’:35, QS. AlThalaq:1, QS. Al-Baqarah:229-230.
g. Aturan tentang masa menunggu (‘iddah) terdapat di dalam QS.al-
Baqarah:226-228, 231-232, 234, 236- 237, QS. Al-Thalaq:1-2, 4, 7, dan
66, serta QS alAhzab;49.
h. Hak dan kewajiban dalam perkawinan terdapat di dalam QS. Al-Baqarah:
228-233, serta QS. An-Nisa’:4.
i. Peraturan tentang nusyuz dan zhihar terdapat di dalam QS. An-Nisa’:20
dan 128, QS. Al-Mujadalah:2- 4, QS. An-Nur;6-9.
4. Al Hadist
Meskipun Al-Quran telah memberikan ketentuanketentuan hukum
perkawinan dengan sangat terperinci sebagaimana disebutkan diatas, tetapi
masih diperlukan adanya penjelasan-penjelasan dari sunnah, baik mengenai
hal-hal yang tidak disinggung maupun mengenai hal-hal yang telah
disebutkan Al-Qur’an secara garis besar. Beberapa contoh sunnah mengenai
hal-hal yang tidak disinggung dalam Al-Quran dapat disebutkan antara lain
sebagai berikut:
a. Hal-hal yang berhubungan dengan walimah.
b. Tata cara peminangan.
c. Saksi dan wali dalam akad nikah.
d. Hak mengasuh anak apabila terjadi perceraian.
e. Syarat yang disertakan dalam akad nikah.
Beberapa contoh penjelasan sunnah tentang hal-hal yang disebutkan
dalam Al-Qur’an secara garis besar sebagai berikut:
a. Pengertian quru’ yang disebutkan dalam Al-Qur’an mengenai masa ‘iddah
perempuan yang ditalak suaminya.
b. Bilangan susuan yang mengakibatkan hubungan mahram.
c. Besar kecilnya mahar.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa
MEUKUTA ALAM
Volume 1, Nomor 1, Juni 2023
P-ISSN : xxxx – xxxx | E-ISSN : xxxx – xxxx

d. Izin keluar rumah bagi perempuan yang mengalami ‘iddah talak raj’i.
e. Perceraian yang terjadi karena li’an merupakan talak yang tidak
memungkinkan bekas suami istri kembali nikah lagi.
3. Ijmak Ulama Fiqh
Para ahli fiqh Munakahat banyak memberikan pemikiran, pendapat
tentang perkawinan yang didasarkan pada Al-Quran dan Al-Hadis dengan
melakukan interprestasi serta analisis yang melahirkan hukum Fiqh dalam
bidang perkawinan yang menjadi sumber hukum perkawinan indonesia.

2. Faktor Penyebab Terjadinya Pernikahan Siri digampong Kemuning Hulu


Perkawinan dinegara kita telah diatur dengan UU perkawinan, yang bertujuan
untuk membentuk keluarga bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
yang diatur oleh pasal 2 ayat 1 yang menyebut bahwa perkawinan adalah sah
apabila telah memenuhi hukum masing-masing menurut agama dan
kepercayaannya. Meskipun saat ini masih banyak dilakukan oleh sebagian
masyarakat.
Ada dua pendapat tentang sahnya pernikahan yaitu pernikahan sahapabila
berdasarkan pada pasal 2 ayat 1, sedangkan pendapat lain yaitu bahwasahnya
pernikahan apabila telah memenuhi pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 UUperkawinan.
Terdapat beberapa pendapat dari para ahli tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi masyarakat terhadap penyebab nikah secara siri, antaranya
adalah:
1. Menurut Mustofa : menyatakan bahwa masih banyak masyarakat yang
menjalankan nikah siri (di bawah tangan) disebabkan dua faktor,
yaitu:pertama, faktor di luar kemampuan perempuan pelaku, seperti untuk
menjaga hubungan laki-laki dan perempuan agar terhindar dari perbuatan
yang dilarangkan oleh agama, tidak ada izin dari wali, alasan poligami,
dan tidak ada izin dari istri pertama. Alasan kedua, adalah pandangan
bahwa pencatatan pernikahan (perkawinan) bukanlah perintah agama.
Ada 4 kasus tidak ada izin dari istri pertama.
2. Menurut Ali : yang mengatakan bahwa faktor terjadinya nikah siri
(dibawah tangan) adalah faktor budaya perkawinan di Gampong
Kemuning Hulu, yang mempunyai bentuk seperti itu. yaitu mahalnya
biaya untuk pencatatan pernikahan diluar biaya pernikahan resmi, sering
kali menjadi alasan lainya.
3. Menurut Aulawi: faktor penyebab terjadinya Nikah siri (di bawah tangan)
antara lain karena faktor fiqih yang tidak mengatur batas umur nikah,
faktor kekhawatiran orang tua yang berlebihan terhadap jodoh anaknya.
4. Menurut Irfa’i faktor penyebab lainya nikah siri (di bawah tangan) adalah
merupakan salah satu cara yang sahnya hubungan antara laki-laki dengan
perempuan yang bukan muhrimnya, agar tidak terjadi perbuatan yang
dilarang syara’ (zina), dan adanya sebagian masyarakat yang
berpandangan bahwa pernikahan adalah merayakan pesta (walimatul
Jurnal Ilmiah Mahasiswa
MEUKUTA ALAM
Volume 1, Nomor 1, Juni 2023
P-ISSN : xxxx – xxxx | E-ISSN : xxxx – xxxx

alursy). Jika pesta pernikahan belum dapat dirayakan terutama belum


tersedianya dana, Ada 1 kasus hamil diluar nikah maka dilakukanlah
nikahsiri (di bawah tangan). Ada juga faktor lainya yang mempengaruhi
dari nikah siri (di bawah tangan) itu sendiri. Seperti faktor ekonomi,
birokrasi, keluarga, pendidikan dan lingkungan dimana masyarakat itu
tinggal.

D. SIMPULAN
[Times New Roman 12, justify, 2 spasi, setiap paragraf dan diawali dengan
penulisan menjorok 1 cm. Berisi simpulan jawaban dari rumusan
permasalahansehingga penulisannya disesuaikan dengan urutan permasalahan
penelitian].

Daftar Pustaka
[Penulisan daftar pustaka menggunakan gaya American Pscychological
Association 6thEdition. Penulisan daftar pustaka dikelompokkan sesuai dengan
jenis referensi].
Jurnal Ilmiah Mahasiswa
MEUKUTA ALAM
Volume 1, Nomor 1, Juni 2023
P-ISSN : xxxx – xxxx | E-ISSN : xxxx – xxxx

SUSUNAN PERSONALIA DEWAN REDAKSI JURNAL ILMIAH


MAHASISWA MEUKUTA ALAM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SAMUDRA

Penanggung Jawab : Dekan


Redaktur : Ketua Jurusan/Prodi Ilmu Hukum
Dewan : Zainuddin,S.H.,M.H.
Penyunting/Editor
Zuleha,S.H.,M.H.
M. Nurdin,S.H.,M.H.
Cut Elidar, S.H., M.H.
Fatimah, S.H.,M.H.
Desain Grafis : Darnawati,S.H.
Fotografer : Fitri Nur, S.E.
Sekretariat : Auliaurahman, S.H.,M.H.
Yuliansyah, S.H.
Devi Juwita, S.Pd.
Mitra Bestari : Dr. Drs. Muhammad Natsir, S.H., M.H.
: Dr. Wilsa, S.H.,M.H.
: Bustami, S.H., M.A.
: Mhd. Bahlian,S.H.,M.H.

Anda mungkin juga menyukai