vi
Rekoleksi dan Refleksi
Muhibah perjalanan hidup kami
terhempas oleh gelombang sejarab kebidu-
pan bangsa;
Musibach perjalanan hidup kami
menempa jiwa sikap hidup kami.
Hikmah perjalanan hidup kami menjadi
warisan
kehidupan anak-anak kami.
Siecle Ga ane
Ce 195 |Cragedi dan Penderitaan
ungguh tidak mudah untuk mengungkapkan apa yang te-
lah kami lalui selama 5 hari pertama di bulan Oktober 1965
ketika itu. Lima hari dari sekian puluh tahun kehidupan
yang telah kami jalani hingga saat ini, Selama lima hati iru
kehidupan pribadi kami secara tiba-tiba berbenturan dan berbaur de-
ngan kehidupan bangsa. Kami pun menyejarah ke dalam sejarah
bangsa. Tidaklah mudzh untuk memilah-milah mana perasaan pribadi
yang, paling terenyuh dan mana pemaknaan tragedi yang paling
terpateri dalam diri.
Berlalunya waktu, proses perkembangan diti, berbagai perubahan
atau konflik sosial politik kemasyarakatan, pergantian generasi de-
ngan pola kehidupan keluarga yang berubah, kesemuanya mempe-
ngaruhi rekoleksi ingatan dan refleksi pengalaman atas peristiwa
G30S/PKI. Yang jelas terasa pada szat ini, akibat dari peristiwa tersebut
telah merobek tenunan kehidupan dan menggoreskan trauma dalam
diri kami.
HEI e025 on nas,Namun, merupakan hal yang tidak diharapkan bila kami ke-
mudian terpaku pada masa lalu serta mewariskan benih-benih pasca
trauma kepada anak cucu keturunan kami. Dari dimensi wakcu, tragedi
yang kami alami di masa lampau tetap hidup dalam diri kami sampai
hari ini. Di lain pihak, anak-anak kami hidup di masa kini dan akan
meneruskan kehidupan mereka hingga ke masa depan. Berarti
kepahitan masa lampau kami bertemu dengan harapan akan masa
depan anak-anak dalam masa kini yang dihadapi bersama.
Dalam bentuk apakah masa lampau kami akan diserahkan ke-
pada masa depan anak-anak kami? Sebagai orang tua kami menyadari
bahwa kepahitan Peristiwa G30S/PKI sedikit banyak melekat dalam
diri kami dan dati mana anak-anak kami akan bercermin. Dari dimensi
psikilogis hal ini berarti bagaimana trauma masa lalu dapat diterima
sebagai realitas kehidupan. Hal ini mengandung arti damai dengan
‘masa lalu dan diri sendiri. Dari dimensi kemanusiaan, pada hakikamnya
nilai manusia dan kemanusiaan itu satu, sekalipun berbeda pandangan
pacut diperharikan dan dipertahankan demi kelangsungan hidup ma-
syarakat manusia, di mana kami dan keturunan kami ada di dalamnya.
Memang tidak semua perbedaan yang ada di masyarakat dapat
direrima secara penuh dan terbuka. Ada perbedaan yang dapat diterima
bila kita sudah dapat saling memahami dan menghargainya. Ada
perbedaan lain yang masih harus saling kita pelajari dan pahami. Na-
‘mun ada juga perbedaan yang tidak selaras dan serasi dengan nilai-
nilai kemanusiaan itu sendiri. Sekalipun demikian kebencian tetha-
dap apa yang dipikirkan orang lain tidak identik dengan membenci
manusianya, walau hal ini pun bisa tidak terelakkan. Menyadari akan
hal-hal inilah buku ini kami hadirkan,
‘Tuturan cerita dalam buku ini merupakan upaya dialog antara
sesama kita. Kami yang mengalami kejadian-kejadian itu dan Anda
yang membacanya, namun sama-sama sebagai warga dari satu bangsa,
bangsa Indonesia. Apa yang terjadi selama lima hari pertama di bulan
Oktober 1965 ketika itu adalah fungsi dari pangalaman kita bersama
sebagai bangsa dan dari kehidupan kescharian kami sebagai pribadi.
Kehidupan sosial politik kemasyarakaran dan kchidupan pribadi
TOON INNS KERN OF WT WAN ESkkekeluargaan mendapatkan titik temunya pada hari-hari itu dalam
diri kita baik sebagai pribadi maupun sebagai warga negara.
Kehidupan kami selama hari-hariicu menjadi suatu mata rantai
perjalanan kehidupan bangsa. Dialog ini sebenarnya merupakan per-
gumulan kejiwaan kolektif guna mendapatkan secercah harapan dan
Kekuatan dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang se-
Jama ini terus menerus menghantui kita: apa yang sebenarny’ terjadi?
Rekoleksi ingatan yang ditucurkan ini tidaklah berpretensi men-
jadi suatu kebenaran yang berdiri sendiri, terlepas dari kebenaran-
kebenaran yang lain, Namun yang ingin kami tuturkan adalah peris-
tiwa (sejarah) sebagaimana ia terjadi di rumah kami masing-masing
dan bukan peristiwa (sejarah) sebagaimana ia ingin diceritakan, Ke-
benaran yang kami ungkapkan adalah kebenaran sebagai pengalaman
(truth as experience) dan bukan ditujukan bagi penampilan kebena-
ran sebagai verifikasi (eruth as verification). Lalu, untuk apa diceritakan
dan mengapa sckarang.
Secara reflekcif,jika suatu peristiwa sejarah dihubungkan de-
nigan falta sosial psikologis kehidupan keseharian dan dapacditemukan
hubungan antara keduanya, maka pemahaman tentang sejarah seba-
gai episode dalam kehidupan suatu bangsa dapat membangun kebi-
cdupan manusia ras dasar kemanusiaan yang mencakup segi-segi moral,
estetika dan sosial manusia. Memang jika diperhatikan, sejarah bangsa
‘mana tanpa tragedi? Tetapi sejauh mana tragedi ini akan tersimpan
sebagai beban atau asset bagi pengembangan mental psikologis secara
schat bagi bangsa itu?
Kemerdekaan Indonesia pada hakikatnya membuka peluang bagi
bangsa Indonesia untuk menuliskan sejarahnyasendiri, mendefinisikan
jati dir kita serta menentukan batas kedirian kita saga suatu bangsa
yang memiliki harkat dan martabat kemanusiaan. Sejarah bangsa yang
dieulis oleh para penjajah adalah masa lalu sebagaimana dipersepsi-
kan oleh pandangan dan kepentingan mereka. Perjuangan Kemerde-
kaan adalah upaya mengisi lembar-lembar sejarah oleh bangsa Indo-
nesia sendiri. Apa yang telah diperjuangkan bagi kemerdekaan Indo-
Geos on wsnesia olch Ayah kami pada dasarnya memberikan sumbangan kepada
pendefinisian jati diri kita sebagai bangsa. Semuanya diupayakan
melalui perjuangan yang panjang namun pada akhienya melahirkan
tragedi.
Bagi kami, tragedi ini merupakan pergumulan nasib yang tidak
dapat diselesaikan dengan suatu pernyataan menang atau kalah, salah
atau benar. Melalui pergumulan nalar dan emosi terus-menerus se-
lama ini, kami menemukan suatu makna di dalamnya. Memang
peristiwanya akan senantiasa teringat namun setiap kali direnungkan,
setiap kali pula timbul arti dan nilai bara, Realitas sejarah tidaklah
identik dengan kronologis urut-urutan peristiwa, tetapi mencakup
pula kehidupan nyata manusia.
Scjarah bukanlah pengerahuan tentang suatu peristiwa, tetapi ia
adalah suatu bentuk pemahaman dir. Jika kita ingin memahami ma-
nusia sebagai pelaku sejarah maka konteks yang lebih tepat untuk
dipakai adalah konteks karakter manusia. Dan dari dalam konteks
inilah dapat digali nilai-nilai moral dan kemanusiaan itu sendiri.
Pemahaman melalui konteks demikian tidak hanya diperoleh dengan
wakeu terapi hasilnya pun tidak akan lekang oleh waktu.
Pemahaman masa lalu pada saat yang sama dapat memberikan
prospek baru tentang masa depan, Bagaimana kondisi traumatik yang
kami alami sebagai suatu “breakdown” dalam kehidupan kami dapat
diubah menjadi suatu tik balik untuk “breakthrough” mengatasi dan
melampauinya. Adalah waktu, kematangan diri dan semangat juang,
yang diwariskan oleh Ayah kami untuk ikut mendefinisikan jati dirt
bangsa inilah yang memungkinkan kami selama ini melakukan refleksi
untuk melihat ke dalam guna meraih kearifan sejarah dan kehidupan
untuk kemudian menuangkannya dalam buku ini, Hal ini sekaligus
menyiratkan pula bahwa dalam proses refleksi ini, kami pun berupaya
menyerap serta menyelami trauma, rasa sakit serta penderitaan yang
dialami pihak-pihak lainnya.
“Tragedi dan penderitaan yang menyertainya tidak mengenal batas-
batas kelas, usia, agama maupun golongan. Yang jelas tragedi dan
ONAN KINANG KEBENARAN OF ANT WALA ESpenderitaan yang menyertainya dilakukan oleh sesama manusia. Na-
mun nilai manusia itu sendiri ditentukan bukan oleh kehancurannya
tetapi ditentukan oleh bagaimana ia menghadapinya secara tegar.
Bayangan akan nilai inilah yang kami bayangkan melekat pada diti
‘Ayah ami sepanjang perjalanan di dalam truk yang membawa beliau
ke daerah Lubang Buaya dan akhirnya dijerumuskan ke dalam sumur
‘maut itu. Nilai ini pulalah yang mungkin secara tidak kami sadari
telah memberi kekuatan pada iri kami secara mental spiritual dan
ditunjang, diperteguh dengan kuat pula oleh sikap Ibu kami yang
senantiasa tampil dengan tabah, membangkitkan semangat hidup
kami tanpa imbasan rasa marah apalagi dendam.
Refleksi dan empati kami, kami tempatkan dalam membayang-
kan kedudukan mereka yang seusia dan senasib dengan kami dalam
upaya mencari jawaban tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kami
pun terbula terhadap pengalaman derita mereka, karena peristiwa
(ejarah) dialami oleh yang mengalaminya, membuka diri dan
membagi tempat bagi berbagai pengalaman tersebut. Kami pun
‘menyadari bahwa kami tidak akan pernah mendapatkan gambaran
yang utuh dan lengkap, mengapa, apa sebab dan bagaimana suatu
petistiwa terjadi. Selalu akan ada sisi gclap yang tidak dapat terungkit
dan tetap meninggalkan pertanyaan untuk diperdebatkan secara
akademik, Namun ada sisi tuturan manusiawi yang dapat dibagi ber-
sama (share) sebagai pengalaman kolektif. Dan inilah yang kami
Jakukan melalui tuturan kami dalam buku ini.
Bila rucuran-tuturan kami disandingkan dengan tuturan-tuturan
lainnya, maka akan terkumpullah kepingan-kepingan pengalaman
sejarah yang dapat menggambarkan psike (suasana kejiwaan) kita
sebagai kolekctivitas, sebagai bangsa. Sebagai bangsa kita harus bersikap
berani terhadap ketakutan-Ketakutan kita dalam menatap gambaran
diti kita. Sebagai kolektivitas kita perlu mengakui berbagai
pengalaman berdasarkan dimensi wakeu.
Realitas masa lampau serta masa kini berbagai pihak seyogyanya
dapat diterima sebagai realitas bersama. Kalau kita terjebak hanya
pada penilaian salah-benar, menang-kalah, maka hal ini akan
EEE ss oo esrmenumpulkan kesadaran tentang kewajiban dan tanggung jawab
kolektif kita uncuk survive dan tetap survive sebagai pribadi dan warga
bangsa. Seharusnya kita dapat memahami masa lalu, psiko sosial
historis kita sebagai bangsa dan tidak membuatnya berseberangan
dengan harapan. Seharusnya kita mau dan mampu berdamai dengan
masa lalu kita, agar kebencian, kekerasan, rasa benar dan mau menang
sendiri tidak menjadi epidemi sosial.
Melalui refleksi ini kami dapat memahami diri kami, mene-
ima realitas sejarah yang menerpa kehidupan pribadi kami dan
berupaya untuk melakukan rekonsiliasi erhadapnya. Suatu rekonsiliasi
yang bersifat individual, yaicu menjadi manusia baru dalam hubung-
an dengan dirinya, dengan sesama dan Tuhan. Melalui refleksi ini
pulalah kami memperoleh wawasan serta sikap dalam mengisi
kemerdekaan yang turut diperjuangkan oleh Ayah kami dengan hal-
hal yang mudah-mudahan mencerminkan kemadanian kami sebagai
pribadi dan juga sebagai warga bangsa.
Refleksi menghubungkan realita dengan harapan untuk rujuan
menghantarkan masa depan anak-anak kami dan kemanusiaan me-
reka bebas dari pengulangan masa lalu yang tragis. Sebagai generasi
penerus, anak-anak kami memiliki dimensi waktu masa depan. Me-
reka dan juga anak-anak lainnya adalah pihak pertama dan utama
untuk dipenuhi hak dan kebutuhannya demi kelangsungan kehidu-
pannya, baik sebagai pribadi maupun sebagai kolektivitas bangsa.
‘Terbukalah upaya dan proses rekonsilias itu: dengan diri sendiri, de-
ngan sesama dan pada akhirnya dengan scjarah peristiwa G30S/PKI
itu sendiri.
Kami telah memulainya dari diri kami sendiri, Karena bila bukan
oleh diri kami, lalu siapa? Kami telah memulainya sekarang, karena
kalau tidak sekarang, kapan lagi? a
CI 199 ‘|