Pelaksanaan Program VCT Sebagai Upaya Dalam Penanggulangan Hiv/Aids Di Wilayah Kerja Puskesmas Ii Denpasar Selatan
Pelaksanaan Program VCT Sebagai Upaya Dalam Penanggulangan Hiv/Aids Di Wilayah Kerja Puskesmas Ii Denpasar Selatan
TIM PENELITI
Menyetujui,
Dekan Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Udayana
Human Immunodefisiency Virus (HIV) merupakan suatu virus yang menyerang system
kekebalan tubuh, dan virus ini melemahkan kemampuan tubuh dalam melawan infeksi dan
penyakit. Tingginya kasus HIV/AIDS di Kota Denpasar membuat pemerintah beupaya
meningkatkan penanganan dan penanggulanganya dengan membuka klinik VCT
(Voluntary Conseling and Testing) Jempiring Asri di Puskesmas II Denpasar Selatan.
Penenlitian ini bertujuan untuk mengetahui proses dan mekanisme pelaksanaan program
Voluntary Conseling and Testing (VCT) yang dilaksanakan oleh klinik jempiring asri,
serta mengetahui implikasi dari pelaksanaan program VCT terhadap perilaku kesehatan
masyarakat dalam menanggulangi HIV/AIDS. Data dalam penelitian ini dijaring
menggunakan metode observasi, interview, studi dokumen dan riset kepustakaan, serta
landasan konsep perilaku kesehatan dari Green (1990) dianalisis untuk mendeskripsikan
berbagai upaya yang dilakukan oleh puskesmas melalui klinik VCT Jempiring Asri untuk
mendeteksi sedini mungkin masyarakat yang terinfeksi virus HIV, serta membimbing
mereka untuk mendapatkan pengobatan. Hasil penelitian ini meunjukan bahwa proses dan
mekanisme program VCT dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu :prekonseling untuk
memotivasi dan menuntun pasien untuk secara terbuka dan jujur mengemukakan perilaku
kesehatan mereka,melakukan testing di laboratorium, untuk menentukan pasien negative
atau positif terinfeksi HIV, dan postkonseling dilakukan untuk mengambil langkah-
langkah intensif dalam merujuk pasien untuk mendapatkan penanganan dan pengobatan.
Implikasi dari pelaksanaan program tersebut berkenaan dengan perubahan perilaku
kesehatan, menghindari dan mencegah penularan HIV/AIDS, serta melaksanakan
pengobatan dengan anti retroviral (ARV) secara rutin dan disiplin.
HALAMAN SAMPUL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . .. .i
RINGKASAN................................................................................................................. iv
\
BAB I
PENDAHULUAN
Di Indonesia berdasarkan data yang bersumber dari Direktorat Jendral P2M dan
PLP Departemen Kesehatan RI (dalam Fazidah A. Siregar , 2004), sampai dengan 1 Mei
1998 jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 685 orang yang dilaporkan oleh 23 Provinsi di
Indonesia. Data jumlah penderita HIV/AID di Indonesia pada dasarnya bukanlah
merupakan gambaran angka yang sebenarnya, karena pada kasus penyakit ini sering
disebut dengan fenomena “gunung es”, dimana penderita yang tampak hanya sebagian
kecil dari yang semestinya. Menurut estimasi WHO bahwa dibalik 1 (satu) orang penderita
terinveksi telah terdapat kurang lebih 100 – 200 orang penderita HIV yang belum diketahui
(Fazidah, 2004).
Menurut Dinas Kesehatan Kota Denpasar (2014), jumlah kasus HIV AIDS di Bali
terus mengalami peningkatan, hingga Juni 2012 tercatat 6.600 kasus, dari jumlah tersebut
2.600 kasus atau 43% diantaranya berada di Kota Denpasar. Dari periode Januari sampai
Juni 2014 terjadi peningkatan yang cukup signifikan yakni mencapai 3.699 kasus, yakni
untuk laki-laki 2.311 kasus dan perempuang 1.388 kasus.Jumlah tersebut mungkin saja
bertambah karena persepsi buruk masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS
mengakibatkan penderita ragu untuk mendapat perawatan kesehatan dan memilih agar
penyakitnya tidak diketahui oleh orang lain.Hal inilah yang menjadi penghambat dalam
melakukan pengobatan dan pencegahan terhadap penyakit HIV/AIDS sehingga program
peningkatan derajat kesehatan sulit tercapai (Denpasar,2014; Krisna, 2017).
Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan Nasional,
seperti tertera dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN : 1984), merupakan pendekatan
pemecahan masalah kesehatan di masyarakat, disamping menggunakan pendekatan-
pendekatan biomedis sebagai upaya kesehatan murni, akan tetapi tidak mengabaikan non
medis yang bersumber pada masyarakat. Program kesehatan yang dilaksanakan oleh
Institusi Kesehatan, baik Departemen Kesehatan, Rumah sakit, Puskesmas, dan praktek-
praktek kesehatan swasta, melalui pendekatan multidesipliner, diarahkan pada peningkatan
derajat kesehatan.
Kerangka pemikiran tersebut berdasarkan pada asumsi bahwa tidak ada suatu
perilaku atau tindakan yang dijalankan oleh individu atau kelompok dalam suatu
masyarakat yang tidak dilatarbelakangi oleh suatu proses mental yang disebut kebudayaan
(Spradley : 1972, Keesing : 1981, Goehman : 1988). Karena kebudayaan tersebut yang
menentukan, mengarahkan, dan mempengaruhi pola-pola tindakan dan perilaku seseorang
dalam masyarakat, dan digunakan dalam proses orientasi, transaksi, pertemuan, perumusan
gagasan, penggolongan dan penafsiran perilaku sosialyang nyata dan pantas dijalankan
dalam kehidupan masyarakat (Geertz : 1973, Kalangie : 1994).
Bertitik tolak dari uraian dalam latar belakang tersebut di atas, bahwasanya terjadi
ketidak sesuaian antara harapan-harapan yang telah diprogramkan dalam peningkatan
kualitas pelayanan kesehatan, upaya-upaya dalam peningkatan derajat kesehatan dengan
tujuan-tujuan program yang ingin dicapai. Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan
dengan melakukan berbagai upaya, baik dalam kaitanya dengan peningkatan kuantitas dan
kualitas sumber daya manusianya (SDM), maupun peningkatan pusat-pusat pelayanan
kesehatan yang diharapkan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat, serta
peningkatan sarana dan prasarana kesehatan, belum juga dapat meningkatkan derajat
kesehatan yang optimal. Dalam upaya menemukan berbagai persoalan sebagai hambatan
(barrier) dalam pencapaian tujuan program kesehatan tersebut dapat dirumuskan dalam
permasalahan sebagai berikut :
1. 4 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini pada satu sisi diharapkan dapat menjadi sumbangan
kesehatan biomedis, konsep budaya kesehatan, dan perilaku kesehatan, sekaligus sebagai
Pada sisi lainya hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dan
sumbangan pemikiran oleh puskesmas dan institusi kesehatan lainya, oleh penderita
HIV/AIDS, serta dapat dijadikan pedoman pembelajaran oleh masyarakat umum dalam
Untuk mengantisipasi dan mencegah penyebaran virus HIV yang meluas, maka
dari kebijakan Bali health office, Bali AIDS commission dan pemangku kepentingan
terkait termasuk LSM local telah sepakat ahwa intervensi harus dirancang untuk
memfasilitasi petugas kesehatan agar dapat melayani orang yang tertular HIV dan dapat
memberdayakan mereka untuk ikut erpartisipasi aktif dalam menanggulangi HIV. Hal ini
dimungkinkan melalui penerapan layanan komprehensif secara efektif dan
berkesinambungan yang terdiri dari beberapa strategi termasuk pendidikan kesehatan,
pendistribusian kondom, tes dan pengboatan IMS, serta pemberian ARV.
Terdapat beberapa factor yang berperan dalam pencegahan HIV dikalangan PSK
dan para pengguna jasanya, tidak hanya dari factor social dan pelayanan petugas kesehatan
seperti tes HIV dan pemberian ARV, tapi juga dibutuhkan kesadaran dan pemahaman dari
orang-orang yang mengidap HIV dan orang yang memiliki resiko tinggi terhadap HIV
untuk berperan aktif dalam pencegahan penularan HIV.
Dalam artikel “Strategic Use of Anti Retro Viral” disebutkan pada saat ini,
Kemenkes RI sedang melakukan perluasan penggunaan ARV bagi Odha di 13
kabupaten/kota. Program ini diberi nama SUFA (Strategic Use of ARV) dengan tujuan
mengurangi kesakitan dan kematian terkait HIV serta memaksimalkan manfaat perluasan
akses ARV untuk mencegah HIV. berdasarkan bukti ilmiah menyatakan bahwa Odha yang
menerima pengobatan ARV jauh lebih kecil kemungkinannya untuk menularkan HIV
kepada pasangan seksual dibandingkan tidak menerima pengobatan ARV. Oleh karena itu,
terdapat kebutuhan untuk menawarkan pengobatan lebih awal tanpa tergantung pada
tingkat CD4, khusunya pada populasi kunci dengan tingkat beban infeksi tinggi. Jadi
SUFA adalah pemakaian ARV secara langsung begitu diketahui HIV+ tanpa memandang
nilai CD4, dikenal dengan Test and Treat. Selain itu tujuan lainnya adalah untuk mencegah
penularan (dengan menurunkan viral load) yang dikenal dengan Treatment as
Prevention (TasP).
Dalam hal ini Dewa Nyoman Wirawan, (Yayasan Kerti Praja) secara mandiri telah
melakukan langkah nyata dengan mempraktekan SUFA di komunitas WPS Denpasar. Dari
langkah tersebut didapatkan perandingan antara sebelum adanya SUFA dengan sesudah
adanya SUFA. Sebelum adanya SUFA Ketika masih menunggu CD4 <350, sekitar 75%
dari sekitar 800 WPS yang HIV+ (hasil VCT) di Denpasar tidak memakai ARV. Dari 800
hanya 200 yang pernah memakai ARV. Yang 600 tidak memakai ARV dengan alasan CD4
masih tinggi, belum siap memakai ARV, takut efek samping dan alasan-alasan lain. Odha
WPS yang belum memakai ARV (600 orang), ternyata kebanyakan hilang kontak dengan
petugas lapangan dan sekitar setengah dari Odha tersebut terdengar berita bahwa telah
meninggal di kampungnya, sehingga penyedia layanan ARV kehilangan kesempatan (lost
of opportunity). Sedangkan setelah adanya SUFA, WPS yang menjalani test HIV (melalui
VCT) dan hasilnya HIV+ langsung ditawarkan ARV jauh lebih banyak yang langsung mau
menggunakan ARV, Karena mereka langsung memakai ARV maka kontak antara WPS
dengan pemberi layanan ARV (CST) dan juga dengan pendamping (bila ada
pendampingnya) menjadi lebih intensif karena mereka memang harus datang ke klinik
untuk follow-up dan mengambil ARV, Memang terdapat cukup banyak efek samping FDC
Tenofovir, Lamivudine, Efavirenz pada WPS terutama pada 1 bulan pertama pemakaian.
Bila pendampingan pada WPS tidak bagus dilakukan, maka akan banyak yang berhenti,
Selain pendampingan yang harus baik, juga harus ditumbuhkan rasa percaya dari WPS
kepada pemberi pelayanan ARV (dokter, perawat, dll). Dalam beberapa kasus, karena efek
samping yang agak berat, maka WPS harus tidak bekerja dalam 1 minggu atau lebih
sehingga perlu diperhitungkan biaya makan dan kehidupan sehari-hari WPS tersebut. Bila
WPS telah melewati masa efek samping, maka tidak lagi diperlukan pendampingan yang
ketat namun faktor kepercayaan pada pemberi pelayanan ARV harus tetap dijaga. Hal ini
untuk menjamin WPS mau untuk datang kembali.
Dewa Nyoman Wirawan, menyimpulkan bahwa untuk meningkatkan keberhasilan
program SUFA pada Odha WPS, maka tetap diperlukan pendampingan dan rasa percaya
WPS kepada penyedia layanan ARV. Sedangkan untuk pembuktian secara ilmiah maka
diperlukan pemeriksaan Viral Load dalam 6 bulan setelah pemberian ARV
Fazidah A. Siregar (2004), dalam artikelnya Pengenalan dan Pencegahan AIDS,
mengungkapkan bahwa : HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis retrovirus
RNA, dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang
dan melukai sampai ia masuk ke sel target, dan dapat hidup lama dalam sel dalam keadaan
inaktif, walau demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang
setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.
Mengingat sampai saat ini obat untuk mengobati dan vaksin untuk pencegahan
AIDS belum diketemukan, maka alternative untuk menanggulangi masalah AIDS yang
terus meningkat, adalah dengan upaya pencegahan oleh semua pihak untuk tidak terlibat
dalam lingkaran transmisi yang memungkinkan dapat terserang HIV. Pada dasarnya upaya
pencegahan AIDS dapat dilakukan oleh semua pihak asalkan mengetahui cara-cara
penyebaran AIDS, dalam hal ini ada dua cara pencegahan, jangka pendek dan jangka
panjang.
Upaya pencegahan jangka pendek adalah dengan memberikan informasi kepada
kelompok resiko tinggi, bagaimana pola penyebaran virus HIV/AIDS, sehingga dapat
diketahui langkah-langkah pencegahanya, dalam hal ini ada 3 (tiga) pola penyebaran HIV,
yakni : (1) melalui hubungan sexual; (2) melalui darah, dan (3) melalui Ibu yang terinfeksi
HIV kepada bayinya.
Upaya pencegahan AIDS jangka panjang yang harus dilakukan untuk mencegah
merajalelanya AIDS adalah merubah sikap dan perilaku masyarakat dengan kegiatan yang
meningkatkan norma-norma agama maupun social, sehingga masyarakat dapat berperilaku
sexual yang bertanggungjawab. Kegiatan tersebut dapat berupa dialog antara tokoh-tokoh
agama, penyebaran informasi tentang AIDS, dengan bahasa agama, melalui penataran-
penataran dan pertemuan-pertemuan lainya, yang bertujuan untuk mempertebal Iman serta
norma-norma agama menuju perilaku sehat masyarakat.
Nugraheni Arumsari, Yulius Slamet dan Eko Setyanto (2013) dalam Jurnal Kajian
Komunikasi dan Media Massa, dengan Judul Proses Komunikasi Dokter-Pasien dalam
Pelaksanaan HIV Voluntary Counseling and Testing (VCT) Di RSUD Tugurejo Semarang,
mengungkapkan hasil penelitianya bahwa : saat seseorang divonis mengidap HIV, dia
tidak memiliki pengetahuan dan informasi mengenai hal tersebut secara lengkap, serta
mempunyai pemahaman yang salah tentang HIV/AIDS itu sendiri.
2.2.1 Perilaku
dalam kaitanya dengan perilaku masyarakat,dalam hal ini menekankan pada
merupakan kegiatan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi
kebutuhan tertentu berdasarkan pengetahuan, kepercayaan, nilai dan norma kelompok yang
bersangkutan. Sehubungan dengan perilaku kesehatan masyarakat mencakup pranata-
pranata sosial, pengetahuan budaya dan tradisi budaya yang berkembang, untuk menjaga
dan meningkatkan kondisi kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan diri dari gangguan
kesehatan itu sendiri.Sekalipun kegiatan-kegiatan dari alternatif perilaku kesehatan
dilakukan secara sengaja untuk memenuhi kebutuhan kesehatan seseorang atau
masyarakat, tidak jarang pula usaha tersebut justru menimbulkan akibat yang berlawanan
dengan tujuan yang dikehendaki.
Sehubungan dengan perilaku kesehatan masyarakat, Kalangie (1994)
menggolongkan menjadi dua katagori yaitu : (1) Perilaku yang terwujud secara sengaja
atau disadari, ditujukan untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan , dan menyembuhkan
diri dari penyakitk; (2) perilaku yang terwujud secara tidak disengaja atau tidak disadari.
Merugikan kesehatan, ahkan erdampak kematian; (3) Selanjutnya ada sejumlah perilaku
yang sengaja/disadari atau sejumlah perilaku secara tidak disengaja/ tidak disadari
menguntungkan kesehatan, atau membawa manfaat bagi kesehatan individu maupun
masyarakat. (4) Sebaliknya ada sejumlah perilaku yang sengaja/ disadari atau sejumlah
perilaku tidak sengaja/tidak disadari merugikan kesehatan. Berikut ini dapat dilihat dalam
“Model Alternatif Perilaku Kesehatan” di bawah ini :
Sengaja tdk.sengaja
( S) (TS)
Keterangan gambar :
Kotak 1, perilaku sengaja/sadar menguntungkan kesehatan.
Kotak 2, perilaku sengaja/sadar merugikan kesehatan.
Kotak 3, perilaku tidak sengaja/tidak sadar merugikan kesehatan.
Kotak 4, perilaku tidak sengaja/tidak sadar menguntungkan kesehatan.
Seperti yang diungkapkan oleh Menteri Kesehatan RI dalam seminar Perilaku dan
Penyakit dalam Konteks Perubahan Sosial, bahwasanya Derajat Kesehatan Masyarakat
seperti dikemukan banyak pakar ilmu kesehatan masyarakat merupakan hasil interaksi dari
banyak factor, terutama factor lingkungan, perilaku kesehatan, pelayanan kesehatan dan
keturunan. Dari ke empat factor tersebut di Negara yang sedang berkembang seperti
Indonesia, factor lingkungan dan perilaku kesehatan merupakan factor yang pengruhnya
terbesar dalam masalah kesehatan.
Perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang individu terhadap stimulus, baik
yang berasal dari luar maupun dari dalam individu bersangkutan. Selanjutnya perilaku
kesehatan merupakan respons atau reaksi manusia terhadap fenomena kesehatan yang
berasal dari pengalaman dan interaksi manusia dengan lingkungan fisik, social serta
budaya, dan respons terseut dapat bersifat pasif (berkenaan dengan pengetahuan, berfikir,
berpendapat, sedangkan respons aktif yang terwujud dalam tindakan. (Sawono, 2012).
Menurut F. Dunn (1976), Perilaku merupakan tindakan atau kegiatan yang
dilakukan seseorang dalam lingkungan sosialnya, berkenaan dengan fenomena sehat dan
sakit (health and illness), etiologi penyakit, dan pencegahan penyakit. untuk suatu
kepentingan atau pemenuhan keutuhan tertentu erdasarkan pengetahuan, kepercayaan, nilai
dan norma kelompok bersangkutan. ( F. L Dunn, dalam Kalangie : 1994).
Berkaitan dengan hal ini Kalangie, lebih menekankan pada perubahan perilaku
kesehatan, sebagai konskuensi pemahaman makna gagasan baru (pemahaman kognitif)
yang disebut dengan komunikasi inovasi kesehatan, adalah terjalinya komunikasi antara
prasktisi medis (provider) dengan pasien atau masyarakat (resipiens) dalam upaya bekerja
sama (koordinasi) dan secara bersama-sama (kolaborasi) menangani masalah kesehatan
dalam masyarakat, sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan (Kalangie : 1994)
2.2.2 HIV/AIDS
HIV adalah merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia,
sehingga membuat tubuh rentan terhadap berbagai penyakit. Sedangkan Acquired Immune
Defisiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu penyakit retrovirus yang disebabkan oleh
HIV, dan ditandai dengan imunosupresi berat yang menimbulkan infeksi oportunistik,
neoplasma scunder dan manifestasi neurologis. Dengan kata lain AIDS merupakan suatu
kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Vinay
Kumar, 2007; Sylvia Anderson, 2006; dalam Risdyandy, 2014).
Pertimbangan lainya bahwasanya daerah tersebut sangat banyak ditangi oleh orang-
orang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk juga didatangi oleh expatriate, sudah
tentu akan berdampak pada perilaku kesehatan dan kesehatan masyarakat, baik yang
berpengaruh langsung terhadap munculnya berbagai penyakit yang dibawa dari daerahnya
atau negaranya, ataupun sebagai akibat dari pergaulan dan interaksi mereka.
Denpasar Selatan, termasuk wilayah Sanur dan sekitarnya beresiko tinggi terhadap
gangguan sakit, seperti influenza, inveksi saluran pernafasan atas, penyakit demam
berdarah dengue (DBD), penyakit diare (muntaber), penyakit menular sexual (PMS), HIV
AID dan sebagainya. Berbagai penyakit yang diderita di wilayah Sanur, baik sebagai
akibat dari terganggunya keseimbangan alam, pengaruh musim, perilaku kesehatan yang
masih buruk, serta sebagai akibat dari interaksi masyarakat dengan para pendatang.
3.3.1 Observasi
Sebagai tahap awal penelitian ini dilakukan pengenalan terhadap subyek penelitian,
baik terhadap masyarakat, Institusi Puskesmas maupun pada praktisi medisnya, melalui
pendekatan grand-tour observation dilanjutkan dengan mini-tour observation ( Spradley :
1979; Scrimshaw dan Hurtado :1989). Peneliti secara langsung mengamati daerah
penelitianya secara keseluruhan, selanjutnya mengidentifikasi, mengklasifikasi, memilah-
milah dan mengkatagorisasi, sampaiakhirnya terfokus pada satu situasi sosial, Institusi
Puskesmas itu sendiri.
Dalam penelitian ini peneliti hidup langsung dalam masyarakat dan menjalin
hubungan akrab (good rapport) dengan subyek penelitianya.Untuk mengamati secara lebih
mendalam peneliti melakukan pengamatan terlibat (observasi partisivasi) secara aktif,
berkenaan dengan keberada peneliti dalam setting penelitianmya. Dalam pada itu
kedudukan peneliti disini sebagai in-sider experience dan sebagai out-sider experience,
dimana disatu sisi dia bertindak sebagai orang dalam masyarakat itu sendiri, dan sekaligus
sebagai orang luar yang berbekal berbagai konsep, teori dan metodologi, yang
berlandaskan paradigma dan aksioma naturalistik dalam analisisnya (Spradley : 1980;
Lincoln dan Guba : 1985).
Dalam penelitian ini metode observasi dan metode interview dapat digunakan
secara terpisah atau secara bersamaan secara simultan pada subyek penelitian.Wawancara
dengan informan dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide),
yang berisi pokok-pokok pertanyaan, yang dapat dikembangkan secara langsung dalam
proses wawancara. Melalui wawancara terbuka (open ended interview) dengan
menggunakan pedoman wawancara (interview guide) untuk memancing informasi, dari
informasi yang bersifat umum dengan informan kunci, yang mempunyai pengetahuan yang
bersifat umum tentang pelaksanaan program penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan
oleh Puskesmas. Selanjutnya wawancara dilakukan terhadap masyarakat yan dan praktisi
medis yang memiliki keterlibatan langsung dengan penyakit HIV/AIDS..
Siset kepustakaan (library research) dan studi dokumen dilakukan dilakukan untuk
mendapatkan informasi yang terkait dengan konsep-konsep, teori-teori dan metodologi
yang mempunyai relevansi dengan masalah-masalah kesehatan.Demikian pula berbagai
data skunder dari institusi kesehatan, hasil-hasil penelitian buku-buku literatut, jurnal,
makalah, melalui internet dan dokumen-dokumen, foto-foto,piagam-piagam serta petujuk
pelaksanaan dan petujuk teknis yang mempunyai kaitan dengan focus penelitian ini.
Tabel IV. 1
Penduduk di wilayah puskesmas II Denpasar Selatan
Karena masa inkubasinya dalam rentang waktu cukup lama 5 sampai 10 tahun,
sejak seseorang dinyatakan terinfeksi HIV, tanpa ada keluhan rasa sakit atau
gangguan sakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, sehingga si penderita
cendrung mengabaikan, sehingga sampai pada saat melelmahnya sistem
kekebalan tubuh yang menimbulkan berbagai jenis penyakit (diceritakan oleh
konselor IGA. Kumala Dewi, wawancara : Agustus 2017).
Pernyataan diatas menggambarkan bahwa seorang yang sudah melalui
pemeriksaan laboratorium dinyatan terinfeksi HIV, karena masa antara terinfeksinya bibit
penyakit sampai munculnya gejala sakit dalam rentang waktu yang sangat lama,
menyebabkan si penderita mengabaikanya dan tidak berupaya untuk mencarikan jalan
pemecahanya sampai terjadinya kasus AIDS yang mematikan. Selama masa inkubasi
seseorang disebut sebagai penderita HIV, pada fase ini terdapat masa dimana virus HIV
tidak terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium sekalipun, kurang lebih tiga bulan sejak
tertular HIV, Siregar (2004) senyebutnya dengan “masa window periode”.
Pada tahap awal pasien yang telah diduga terinfeksi HIV, oleh konselor ditangani
secara intensif untuk memberikan bimbingan konseling dan testing, melakukan
pemeriksaan laboratorium secara berkala, sampai pada suatu kesimpulan negative ataupun
positif terinfeksi HIV. Selama masa inkubasi penderita HIV sudah berpotensi untuk
menularkan virus HIV kepada orang lain dengan berbagai cara sesuai pola transmisi virus
tersebut, mengingat masa inkubasi yang relatif lama, dan penderita tidak menunjukan
gejala sakit, sangat besar kemungkinan penularan terjadi. Seperti diceritakan oleh seorang
Ibu penderita AIDS berikut ini :
Saya seorang Ibu berusia 36 tahun, menderita AIDS, suami saya adalah supir
travel, telah meninggal dunia dua tahun lalu karena menderita AIDS, saya
memiliki seorang anak laki-laki berusia 9 tahun kelas 3 SD juga menderita AIDS,
dulu suami saya menderita HIV/AIDS tetapi tidak pernah menyampaikan kepada
saya, sampai akhirnya dia menderita sakit batuk dan sesak nafas serta mencret
secara terus menerus, sampai tubuhnya menjadi sangat kurus akhirnya meninggal
dunia (diceritakan oleh Ni Wayan SW, 36 tahun, wawancara : Agustus 2017).
4.5 Proses dan Mekanisme Voluntary Counselling and Testing (VCT) yang
Dilaksanakan Klinik Jempiring Asri Sebagai Upaya dalam Penanggulangan
HIV/AIDS
VCT
TH Periksa/ UMUM BUMIL TB PS CAFE PLG LAIN
hasil
2012 821 113 292 12 401 - - -
51 5 1 2 43
2013 1366 479 458 4 403 - - 2
67 14 5 2 44 - - 2
2014 1418 531 365 12 433 102 5 -
39 10 1 - 22 3 3 -
2015 1025 117 398 2 479 59 26 -
33 10 4 - 17 - - -
2016 1296 347 456 - 477 - 50 6
26 - - - 20 - 2 4
2017 968 179 387 - 385 - 1 15
23 6 1 - 13 - - 3
JMH 6894 1653 2064 23 2221 161 79 23
239 45 12 6 159 3 5 9
Tabel di atas memperlihatkan bahwa: dari 8.894 orang yang melakukan test, 239
orang yang dinyatakan terinfeksi HIV, dan yang tertinggi 159 kasus diantaranya dari PS
(pekerja seks) serta dari kalangan mayarakat umum sebanyak 45 kasus. BUMIL (Ibu
hamil) dan TB (tubercolosis) yang melakukan konseling dan testing, merupakan rujukan
dari klinik layanan KIA dan TB yang ada di Puskesmas II Denpasar Selatan. Sedangkan
dari kalangan masyarakat umum dan pelanggan merupakan rujukan dari Klinik IMS
(Infeksi Menular Seksual) dan yang terdeteksi pada saat penyuluhan.
Pekerja seks atau PSK menduduki angka yang paling tinggi 2,221 orang dan yang
dinyatakan positif HIV 159 orang, karena pasien ini secara rutin setiap hari Rabu di
lakukan anter jemput oleh konselor untuk melakukan konseling dan testing. Sedangkan
pasien Ibu hamil yang berasal dari rujukan klinik KIA berada pada tertinggi kedua 2.064
orang, yang dinyatakan positif 12 orang, merupakan pasien wajib rujukan, dimana setiap
ibu-ibu yang melakukan konsultasi pada awal kehamilanya wajib melakukan konsulatasi
pada klinik VCT.
Informasi tentang pasien yang dinyatakan positif HIV yang diperoleh konselor
melalui konseling dan hasil testing mencakup kondisi biologis, psikologis dan social,
digunakan untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya. Menanggapi masalah-masalah
yang ada pada diri pasien, konselor dan pasien secara bersama-sama menentukan rencana
tindakan melakukan rujukan untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Rujukan yang
dilakukan oleh konselor pada salah satu dari tisa institusi, yakni Rumah Sakit Wangaya,
Rumah Sakit Sangkah atau Yayasan Kerti Praja sebagai yayasan penangan ODHA (Orang
Dengan HIV AIDS).
Rujukan dilakukan oleh Klinik VCT Jempiring Asri disamping untuk melakukan
penangan terapi lebih spesifik dan intensif, juga untuk mendapatkan pengobatan secara
gratis. Pemerintah melalui institusi penanganan kasus HIV/AIDS memberikan obat
antiretroviral (ARV) secara gratis kepada pasien. Obat ini berbentuk tablet yang
dikonsumsi setiap hari sebanyak 2 (dua) tablet pagi dan malam hari dengan interval waktu
yang sama. Obat tersebut hanya berfungsi menghambat virus dalam merusak sistem
kekebalan tubuh, sehingga pasien dapat bertahan hidup, berikut ini pernyataan konselor di
bawah ini :
Pasien yang telah dinyatakan terinfeksi HIV/AIDS tetap melakukan konseling
secara berkala (walau tidak wajib), untuk menuntun mereka dalam berperilaku
sehat dan desiplin minum obat dengan interval waktu yang tepat dan dilakukan
sepanjang hidupnya,. Jika mereka tidak desiplin dalam berobat, maka virus HIV
menjadi AIDS, akan muncul berbagai penyakit seperti kanker (diceritakan oleh
IGA Kumala Dewi/Konselor, wawancara : Oktober 2017).
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang Tinjauan Sosiologis Pelaksanaan Program
Voluntary Counselling and Testing di Wilayah Kerja Puskesmas II Denpasar Selatan dan
hasil pembahasanya, dapat ditarik beberapa kesimpulan pokok :
1. Klinik VCT Jempiring Asri melaksanakan program konseling dan testing (pemeriksaan
laboratorium) secara sukarela (tanpa dipungut bayaran) untuk mendeteksi sedini
mungkininfeksi HIV/AIDS, menetapkan tindakan-tindakan rujukan pengobatan pada
penderita, dan melakukan pencegahan atau penanggulangan perkembangan penyakit
tersebut.
2. Program VCT diawali dengan melakukan pre konseling, merupakan pemberian
informasi dan pengetahuan tentang HIV/AIDS, cara-cara penularanya, cara-cara
pencegahanya dan masa window periode, serta menuntun pasien untuk melakukan test
darah, untuk mengetahui hasilnya positf (reaktif) terinfeksi virus HIV atau negativf
(tidak reaktif). Post konseling dilakukan setelah pasien mendapatkan hasil pemeriksaan
laboratorium, antara konselor dengan pasien tetap terjalin komunikasi dan interaksi
yang intensif untuk menentukan langkah-lankah selanjutnya. Jika hasilnya tidak reaktif,
tetap dilakukan test kedua dan ketiga dengan interval waktu tisga bulan, jika hasilnya
reaktif juga dilakukan test kedua dan ketiga secara lebih spesifik, dan menentukan
langkah-langkkah rujukan untuk mendapatkan pengobatan, merupakan langkah-langkah
dalam penanggulangan HIV/AIDS.
3. Sebagai implikasi dari pelaksanaan program VCT adalah menumbuhkan kesadaran pada
penderita dan calon penderita untuk merubah perilaku kesehatan mereka. Pihak
puskesmas (konselor) lebih aktif untuk melakukan penyuluhan, mensosialisasikan
program VCT, tetap menjalin komunikasi dan interkasi dengan pasien dan masyarakat
agar yang memiliki aktifitas yang beresiko tinggi dapat mengikuti program ini secara
intensif.
4. Menggugah kesadaran masyarakat untuk dapat terhindar dari perilaku berisiko tinggi
terhadap HIV?AIDS, demikian pula petugas kesehatan lebih intensif untuk memberikan
penyuluhan atau promosi kesehatan, bukan hanya terhadap orang yang sudah terinveksi
HIV/AIDS, akan tetapi lebih aktif dilakukan pada orang sehat.
5.2 Saran-saran
1. Mengingat kasus HIV/AIDS merupakan fenomena gunung es, diharapkan Klinik VCT
Jempiring Asri dapat membongkar fenomena tersebut, dapat mendeteksi secara
menyeluruh infeksi HIV yang terjadi diwilayah kerjanya, melalui pendekatan
interpersonal yang lebih intensif.
2. Pelaksanaan program tersebut hendaknya lintas sektoral melibatkan institusi pemerintah
an dinas dan adat, dan para elite tradisional (tokoh-tokoh adat, agama, tokoh
bangsawan), serta seluruh lapisan masyarakat
3. Kebersihan dan kesehatan lingkungan sangat perlu untuk ditangani secara lintas
sektoral, mengingat sebagian besar wilayah kerja puskesmas II Denpasar Selatan
merupakan beresiko tinggi terhadap bahaya penyakit HIV/AIDS.
DAFTAR PUSTAKA
Alvesson, M., dan Skoldberg, K., 2000. Reflexive Methodology New Vistas for Qualitative
Research. London-Thousand Oaks-New Delhi: Sage Publications.
Blumer, Herbert. 1969. Symbolic Interactinism Perspective and Method. New Jersey :
Prentice-hall Inc./Englewood Cliffs.
Departemen Kesehatan RI, 1984. Sistem Kesehatanm Nasional, (cetak ulang). Jakarta :
Departemen Kesehatan RI
Departemen Kesehatan RI, 2009. Undang Undang RI No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan. Jakarta : Departemen Kesehatan RI
Foster, George M. 1973. Traditional Societies and Tecnological Change. New York : Har-
Per and Row.
Geertz, Clifford, 1984. The Interpretation of Culture. New York : Basic Book Inc. Publ.
Spradley, James P. 1979. The Etnographic Interview. New York : Holt, Rinehart and
Winston.
Siregar, Fasidah A. 2004. Pengenalan dasn Pencegahan AIDS. Medan : USU Digital
Lirary.
Spradley, James P. 1980. Participant Observation. New York : Holt, Rinehart and
Winston.
Denpasar, Dewa Nyoman Wirawan (2015) The Implementation Research of a Test and
Treat Strategy for HIV Treatment and Prevention among High Risk Men Group in Bali,
Indonesia, Assessment Study Year 1.Diakses pada tanggal 8 Januari 2018 dari
http://erepo.unud.ac.id/
Denpasar, Kebijakan AIDS Indonesia (2014). Strategic Use of Anti Retro Viral. Diskses
pada tanggal 8 Januari 2018 dari www.kebijakanaidsindonesia.net
LAMPIRAN
Lampiran 1.
Jangka Waktu Penelitian
Jangka waktu penelitian ini dilakukan selama 3 (tiga) bulan mulai bulan Maret
sampai dengan bulan Mei 2018, dapat dijadwalkan lebih jelas dalam kegiatan penelitian
padatabel di bawah ini.
Lampiran 2.
Susunan Tim Peneliti dan Pembagian Tugas
Penelitian ini melibatkan staf Program Studi Antropologi , FIB-Unud dan
mahasiswa yang ada dalam lingkungan Prodi Antropologi. Dosen yang diikutsertakan
dalam penelitian ini 3 (tiga) orang dengan susunan tugas pokok dan fungsinya masing-
masing sebagai berikut.
1. Ni Wayan Sumarjayanti
Pengumpul data lapangan Semester VI
NIM: 1501605018.
2. Ni Putu Arik Febriani
Pengumpul data lapangan Semester VI
NIM: 1501605019
3. Ni Ketut Purniati
Pengumpul data lapangan Semester VI
NIM: 1501605020
4. I Wayan Agus Darma Ariasa
Pengumpul data lapangan Semester VI
NIM: 1501605003
5. Ni Komang Trisna Damayanthi
Pengumpul data lapangan Semester VI
NIM: 1501605017