New - Makalah Gadar Diabetes Kelompok 4
New - Makalah Gadar Diabetes Kelompok 4
Dosen Pembimbing:
Harmayetty, S.Kep. M.Kes
Disusun Oleh:
Mimi Husni 132225045
Sherly Amanda Gani 132225047
Rining Nur Hayati 132225035
Wa Ode Kartika 132225037
Safira Kaselina Ramadhani 132225039
Deva Tasmara 132225041
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat,
Hidayah, Taufik dan Inayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah
ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca dalam mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat.
kami, semoga makalah ini membantu dalam menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun
isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada dosen
pembimbing dan para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Penyusun,
Kelompok 4
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
iii
2.3.4 WOC Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik...................................................21
3.1 Kasus............................................................................................................................30
BAB IV PENUTUP.................................................................................................................46
2.4 Simpulan.......................................................................................................................46
2.5 Saran.............................................................................................................................46
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................47
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus
Diabetes melitus sampai saat ini menjadi masalah kesehatan yang sering dialami
oleh masyarakat (Irawan et al., 2018). World Health Organization (WHO)
menyebutkan sekitar 422 juta orang yang menderita diabetes melitus merupakan
negara dengan penduduk berpenghasilan rendah dan menengah (WHO, 2022). Di
negara berkembang terjadi pergeseran penyebab kematian utama dari penyakit
menular ke penyakit tidak menular (Purwandari et al., 2022). Salah satu penyebabab
angka kematian di Indonesia disebabkan diabetes melitus yang memperlihatkan
prevalensi penyakit pada tahun 2018 dibandingkan pada tahun 2013 terjadi kenaikan
dari 6.9% menjadi 8.5% (TEO et al., 2022). International Diabetes Federation
menyebutkan bahwa prevalensi diabetes melitus di Indonesia menduduki peringkat
ke-7 terbanyak di dunia dengan jumlah 19,47 juta orang (Webber, 2013).
Diabetes melitus adalah kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan
adanya hiperglikemia diakibatkan terjadinya gangguan sekresi insulin, gangguan kerja
ataupun mekanisme keduanya (Martin et al., 2022). Meningkatnya prevalensi diabetes
melitus di Indonesia disebabkan oleh pertumbuhan masyarakat yang semakin tinggi,
diet dan pola hidup tidak sehat, faktor stress, peningkatan obesitas. Pola makan yang
tidak sesuai kebutuhan, cenderung akan menyebabkan kadar gula yang tidak
terkontrol (Vena & Yuantari, 2022). Diabetes melitus yang tidak terkontrol dapat
menimbulkan komplikasi-komplikasi seperti keatoasidosis diabetik, hyperosmolar
nonketotic state, hipoglikemia (Semarawima, 2017). Maka untuk mencegah
komplikasi yang timbul diperlukan pengendalian kadar gula yang baik (Webber,
2013).
KAD adalah dekompensasi metabolik ditandai dengan hiperglikemia, asidosis
metabolik, dan ketosis. Komplikasi ini dapat terjadi sebagai kombinasi dari defisiensi
insulin dan peningkatan hormone kotraregulatornya (glucagon, epinefrin, kortisol,
growth hormone) (Wiryansyah & Retnaningrum, 2021). Di negara Amerika Serikat
terjadi sekitar 1500 anak dibawah 5 tahun dan sekitar 1 anak dari 350 anak dibawah
18 tahun terkena ketoasidosis diabetik. KAD dilaporkan bertanggung jawab untuk
lebih dari 100.000 pasien yang dirawat per tahun di Amerika Serikat (American
Diabetes Association Professional Practice Committee, 2022). Ketoasidosis diabetik
menjadi kematian terbesar pada diabetes melitus tipe satu (Wolfsdorf et al., 2018).
1
Angka prevalensi di negara berkembang berkisar 13-80%. Di Indonesia prevalensi
DKA pada tahun 2016 sebesar 26,5% (Yuli Hidayati, Yulianis, 2021). Sama hal nya
terjadi pada hyperosmolar nonketotic state ini ditandai dengan adanya hiperglikemia
berat, hiperosmolaritas dan dehidrasi tanpa adanya ketoasidosis (Achmad Ali Fikri,
Syamsul Arifin, 2022). Hyperosmolar nonketotic state didefinisikan sbagai
hiperglikemia ekstrim, osmolalitas serum yang tinggi. Angka kematian keseluruhan
diperkirakan mencapai 20%, yaitu sekitar 10kali lebih tinggi dari kematian
ketoasidosis diabetik (Pasquel & Umpierrez, 2014).
Hiperglikemia pada hyperosmolar nonketotic state biasanya lebih berat dari pada
KAD, dengan kadar glukosa darah lebih dari 600 mg/dL (Semarawima, 2017).
Sedangkan hipoglikemia adalah keadaanpenurunan konsetrasi glukosa serum dengan
atau tanpa adanya gejala system autonom dan neuroglikopenia (Rusdi, 2020).
Hipoglikemia dapat terjadi secara akut, tiba-tiba dan dapat mengancam nyawa
(Dharmastuti & Dwi Ariani Sulistyowati, 2017). Health Maintenance Organization
(HMO) menyatakan bahwa kejadian hipoglikemia sejalan dengan peningkatan
prevalensi diabetes. Di Indonesia sebanyak 10%-30% pasien per tahun mengalami
hipoglikemia dengan angka kematian 3%-4%. Pada diabetes tiper 2 sebesar 1,2%
pasien per tahun terkena hipoglikemia dan terjadi sebanyak 30% per tahun pasien
mengonsumsi obat hipoglikemia oral (Ubaidillah et al., 2021).
Dampak dari KAD, hyperosmolar nonketotic state , hipoglikemia apabila
tidak diberikan asuhan keperawatan yang sesuai akan menyebabkan kualitas hidup
yang menurun. Maka asuhan keperawatan yang tepat harus dapat diberikan untuk
dapat meningkatkan kualitas hidup.
1.2 Tujuan Pembelajaran
1.2.1 Tujuan Umum
Agar mahasiswa mampu mengetahui tentang konsep penyakit KAD,
hyperosmolar nonketotic state, hipoglikemia, serta penerapan asuhan keperawatan.
1.2.2 Tujuan khusus
Agar mahasiswa mampu :
1. Menjelaskan tentang konsep penyakit KAD
2. Menjelaskan tentang konsep penyakit hyperosmolar nonketotic state
3. Menjelaskan tentang konsep penyakit hipoglikemia
4. Menerapkan asuhan keperawatn pada pasien hipoglikemia
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
2.1.5 Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Penatalaksanaan Diabetes Mellitus meliputi 5 pilar, 5 pilar tesebut dapat
mengendalikan kadar glukosa darah pada kasus Diabetes Mellitus (Perkeni,
2015). 5 pilar tersebut meliputi : edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani,
terapi farmakologi dan pemantauan glukosa darah sendiri.
a. Edukasi
Edukasi merupakan tujuan promosi hidup sehat, sehingga harus dilakuakan
sebagai upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting bagi
pengelolaan glukosa darah pada kasus DM secara holistik. Menurut (Utomo,
2011) pengelolaan kadar glukosa pada kasus Diabetes Mellitus dapat
dikatakan berhasil jika didukung oleh partisipasi aktif kasus, keluarga dan
masyarakat. Diabetes Mellitus Tipe 2 umumnya terjadi pada saat gaya hidup
dan prilaku yang kurang baik telah terbentuk dengan kokoh. Untuk mencapai
keberhasilan perubahan prilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif yang
meliputi pemahaman tentang :
5) Hipoglikemia
3) Menggunakan obat Diabetes pada keadaan khusus secara aman dan teratur
6
4) Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan
mg/hari.
protein yang baik yaitu seafood (ikan, udang, kerang dan lain-lain),
daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,
penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari
umum yang tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 g (1 sendok
teh) garam dapur. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur,
7
vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium
nitrit.
Serat yang baik dikonsumsi bersumber dari buah, sayur dan kacang-
konsumsi serat yaitu 25 g/1000 Kkal/hari atau konsumsi satur dan buah
6) Pemanis alternatif yang baik untuk kasus DM yaitu pemanis yang berasal
dari (Accepted Daily Intake / ADI) selama tidak melebihi batas aman.
dimodifikasi: Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg. Bagi
pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi: Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100)
x 1 kg. BB Normal: BB ideal ± 10% Kurus: kurang dari BBI - 10%. Gemuk:
lebih dari BBI + 10 Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa
Tubuh (IMT). Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT =
8
Lebih ≥23,0 Dengan risiko 23,0-24,9 Obes I 25,0-29,9 Obes II ≥30
c. Latihan Jasmani
yang dianjurkan serta latihan jasmani. Terapi farmakologi terdiri atas obat
oral dan injeksi. Berdasarkan cara kerjanya, Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
glucosidase alfa.
glukosa darah secara berkala yang dapat dilakukan oleh kasus DM yang telah
glukosa darah setiap sebelum makan, satu atau dua jam setelah makan, atau
9
sewaktu-waktu pada kondisi tertentu. Penelitian menunjukkan bahwa PGDM
10
DM yang tidak terkontrol pada kehamilan dapat berdampak buruk pada
ibu dan anak, secara substansial meningkatkan risiko kehilangan janin,
malformasi kongenital, lahir mati, kematian perinatal, komplikasi obstetrik,
dan morbiditas dan mortalitas ibu.
2.2 Konsep Dasar Ketoasidosis Diabetik
2.2.1 Definisi Ketoasidosis Diabetikum
Ketoasidosis Diabetikum (KAD) merupakan komplikasi akut diabetes melitus
tipe 1 yang ditandai oleh hiperglikemia, lipolisis yang tidak terkontrol (dekomposisi
lemak), ketogenesis (produksi keton), keseimbangan nitrogen negatif, deplesi volume
vaskular, hiperkalemia dan ketidakseimbangan elektrolit yang lain, serta asidosis
metabolik (Kidd, P. S., Sturt, P. A., & Fultz, J. 2011).
DKA disebabkan oleh peningkatan metabolisme asam lemak dan akumulasi
asam keto (asetoasetat dan β-hidroksibutirat) karena defisiensi atau resistensi insulin,
bersamaan dengan peningkatan kadar glukagon. DKA biasanya terjadi pada insulin-
dependent diabetes mellitus yang berhubungan dengan penghentian insulin atau
penyakit penyerta seperti pneumonia, gastroenteritis, pankreatitis, atau infark miokard
(Jean-Louis Watson, Textbook Critical Care, 2011)
2.2.2 Klasifikasi Ketoasidosis Diabetikum
Menurut (Yati dan Tridjaja, 2017) KAD diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya
asidosis dan dibagi menjadi:
1. KAD ringan : Ph < 7,3 atau HCO3 < 15 mEq / L
2. KAD sedang : Ph < 7,2 atau HCO3 < 10 mEq / L
3. KAD berat : Ph < 7,1 atau HCO3 < 5 mEq / L
2.2.3 Etiologi Ketoasidosis Diabetikum
Tiga penyebab utama diabetes ketoasidosis :
a. Insulin tidak diberikan atau diberikan dengan dosis yang dikurangi.
b. Keadaan sakit atau infeksi.
c. Manifestasi pertama pada penyakit diabetes yang tidak terdiagnosis dan tidak
diobati.
Penurunan kadar insulin dapat terjadi akibat dosis insulin yang diresepkan tidak
adekuat atau pasien tidak mendapatkan suntikan insulin dengan dosis yang cukup.
Penyebab potensial lainnya yang menurunkan kadar insulin mencakup kesalahan
pasien dalam mengaspirasi atau menyuntikkan insulin (khususnya pada pasien dengan
11
gangguan penglihatan); sengaja melewatkan pemberian insulin (khususnya pada pada
pasien remaja yang menghadapi kesulitan dalam mengatasi diabetes atau aspek
kehidupan yang lain); masalah peralatan (misalnya, penyumbatan selang pompa
insulin).
Keadaan sakit dan infeksi akan menyertai resistensi insulin. Sebagai respon
terhadap stres infeksi (atau emosional), terjadi peningkatan kadar hormon-hormon
“stres” yaitu glukagon, epinefrin, norepinefrin dan kortisol yang akan meningkatkan
produksi glukosa oleh hati dan mengganggu penggunaan glukosa dalam jaringan otot
serta lemak dengan cara melawan kerja insulin. Jika kadar insulin tidak meningkat
dala keadaan sakit dan infeksi, maka hiperglikemia yang terjadi dapat berlanjut
menjadi ketoasidosis diabetik.
2.2.4 Patogenesis Ketoasidosis Diabetikum
Faktor pemicu yang paling umum dalam perkembangan ketoasidosis
diabetikum adalah infeksi, infark miokardium, trauma ataupun kehilangan insulin.
Semua gangguan-gangguan metabolik yang ditemukan kondisi ini adalah tergolog
konsekuensi langsung atau tidak langsung dari kekurangan insulin.
Menurunnya kadar glukosa kedalam jaringan-jaringan tubuh akan
menimbulkan hyperglycaemia yang meningkatkan glycosuria. Meningkatnya lipolysis
akan menyebabkan over-produksi asam lemak, yang sebagian diantaranya akan
dikonversi menjadi keton, menimbulkan ketonaemia, asidosis metabolik dan
ketonuria.
Glicosuria akan menyebabkan diuresis osmotik , yang menimbulkan kehilangan air
dan elektrolit seperti sodium, potasium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida.
Dehidrasi, bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan uremia prarenal dan dapat
menimbulkan shock hipovolemik. Asidosis metabolik yang hebat sebagian akan
dikompensasi oleh peningkatan derajat ventilasi (pernapasan kusmaul). Muntah juga
biasanya sering terjadi dan akan mempercepat kehilangan air dan elektrolite (Mhd.
Syahputra, 2003).
Faktor pencetus tersering KAD adalah infeksi. Pada infeksi akan terjadi peningkatan
sekresi kortisol dan glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah yang
bermakna. Faktor lainnya adalah cerebrovascular accident, mengkonsumsi alkohol
yang berlebihan, pankreatitis, infark miokard, trauma, DM tipe 1 yang baru di ketahui
dan kepatuhan pada terapi insulin (Gotera dan Agung Budiyasa, 2010).
12
2.2.5 Patofisiologi
DKA hampir selalu dikaitkan dengan diabetes tipe 1 dan sangat jarang
merupakan ciri diabetes tipe 2. Terlepas dari manifestasi awal diabetes tipe 1, DKA
biasanya dipicu oleh stres fisiologis, terutama infeksi (misalnya infeksi saluran kemih
dan dada), tetapi juga MI, stroke, dan trauma. Stres ini mengedarkan kadar glukagon,
katekolamin, dan glukokortikoid, yang semuanya merupakan kadar glukosa darah.
bersama-sama dengan stres fisiologis ini, tidak ada insulin yang cukup untuk
'mengerem' proses hormonal ini secara homeostatis atau untuk 'mendorong' glukosa
ke dalam sel. Hal ini terutama benar jika insulin dihilangkan atau tidak cukup
ditambah pada saat sakit. Konsekuensinya adalah sebagai berikut.
1. Meningkatnya gula darah menyebabkan keadaan hiperosmolar. Ini memprovokasi
respon diuretik dan akhirnya menyebabkan hipovolemia dan kekacauan elektrolit
Meskipun secara keseluruhan terdapat defisit K+ total tubuh 2° sampai diuresis,
K+ plasma sebenarnya meningkat pada sepertiga kasus dan biasanya biasa di
tempat lain. Ini mencerminkan pergeseran ekstraseluler di K+.
2. kadar glukagon (biasanya dihambat oleh insulin) menyebabkan lipolisis dan
produksi asam lemak bebas, dari mana badan keton berasal Kenaikan keton ini
menyebabkan asidosis.
13
2.2.6 WOC Ketoasidosis Diabetikum
14
• Takikardia.
• Nafas aseton sebenarnya patognomonik dari DKA.
• Mual/muntah.
• Sakit perut (sering terlewatkan pada remaja).
• Perubahan kesadaran.
Tujuan terapi adalah untuk:
1. Kembalikan volume sirkulasi
2. Mengembalikan glukosa darah dan osmolalitas serum ke kisaran normal
3. Mengatasi asidosis (dengan menghentikan pemecahan lemak menjadi keton)
4. Memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit Awalnya 0,9% NS diberikan untuk
restorasi volume, diikuti 0,45% NS dengan KCl untuk pemeliharaan. Setelah kadar
glukosa di bawah 250 mg/dL, cairan diubah menjadi D5W. Secara bersamaan,
pasien diberikan infus insulin. (Sampai kadar kalium ditentukan, bagaimanapun,
ini ditahan untuk menghindari eksaserbasi hipokalemia.) Ketika dilembagakan,
bolus IV 0,15 unit / kg insulin reguler diberikan, diikuti dengan infus IV dengan
kecepatan 0,1 unit / kg/jam. Tetes dititrasi setiap jam sampai penurunan glukosa 50
sampai 70 mg/dL tercapai. Koreksi hiperglikemia yang cepat harus dihindari
karena risiko edema serebral. Setelah kadar glukosa normal, terapi tidak dapat
dihentikan sampai asidosis teratasi, pH normal, dan HCO3 >18 mEq/L.
5. Pengobatan Ketoasidosis Diabetik.
Prinsip umum pengobatan KAD meliputi:
1) Pemantauan dan pencatatan nilai elektrolit yang sering,
2) Penggantian cairan untuk memperbaiki akibat dari diuresis osmotik sebelumnya,
3) Identifikasi penyebab pencetus ketoasidosis (umumnya merupakan proses
infeksi).
4) Mengantisipasi konsekuensi terapi, terutama jika terapi alkali termasuk dalam
rejimen. Sebagian besar pasien dengan DKA memerlukan koreksi penurunan
volume yang hampir selalu menyertai diuresis osmotik dan ketoasidosis. Kehati-
hatian yang ekstrim perlu dilakukan pada pasien dengan riwayat penyakit ginjal
stadium akhir (ESRD), karena hiperglikemia tidak membatasi efek diuretik pada
pasien tersebut, dan terapi cairan yang agresif mungkin memiliki efek yang
merusak. Konsentrasi Na+ serum dapat dikoreksi secara aritmatika untuk derajat
hiperglikemia untuk menentukan jenis cairan IV yang dibutuhkan (yaitu, koreksi
Na+ sebesar 1,6 hingga 1,8 mEq/L untuk setiap peningkatan glukosa plasma 100
15
mg/dL). Secara umum, tampaknya bijaksana untuk memulai terapi dengan saline
isotonik dengan kecepatan 1000 mL IV per jam.
5) Ketika denyut nadi dan tekanan darah telah stabil dan konsentrasi Na+ serum yang
terkoreksi berada dalam kisaran 130 hingga 135 mEq/L, ganti dengan natrium
klorida 0,45%. Penggunaan Ringer Laktat harus dihindari. Jika kadar glukosa
darah turun di bawah 300 mg/dL, natrium klorida 0,45% dengan dekstrosa 5%
harus diberikan.42 tampaknya bijaksana untuk memulai terapi dengan saline
isotonik dengan kecepatan 1000 mL IV per jam.
6) Terapi insulin IV dosis rendah (0,1 U/kg/jam) dengan lancar mengoreksi kelainan
biokimia dan meminimalkan hipoglikemia dan hipokalemia.42Biasanya, pada jam
pertama, dosis awal dengan jumlah yang sama diberikan sebagai bolus IV.
Meskipun insulin reguler juga dapat diberikan secara intramuskular (awalnya 0,1
U/kg, kemudian 0,1 U/kg/ jam), ini harus diperbaiki. Hipofosfatemia biasanya
muncul 12 hingga 24 jam setelah masuk, dapat diperburuk oleh infus glukosa, dan
jika parah dapat menyebabkan rhabdomiolisis, aspirasi, dan disfungsi trombosit.
Oleh karena itu, elektrolit serum—terutama serum fosfor, magnesium, dan kalium
—harus sering diperiksa. Salah satu jadwal tersebut mungkin pengambilan darah
pada 4, 6, 12, dan 18 jam setelah masuk. Perdarahan gastrointestinal (GI) bagian
atas, pankreatitis, dan pneumonia dapat menyertai gangguan ini.
7) Jalur Perawatan Ketoasidosis 1 Manajemen Darurat 0 – 4 Jam
Konsultan/Dokter senior harus segera dipanggil jika:
• Edema Serebral
• Hipokalemia saat masuk (kurang dari 3,5 mmol/L)
• DKA parah
• Penurunan tingkat kesadaran
1. Tindakan segera ü-
Konfirmasi diagnosis (H+> 45 atau HCO3-- 3<18 atau pH <7,3 padagas
vena)
Periksa U&Es, laboratorium glukosa darah, keton kapiler atau urin
Konfirmasi pasien ≥16 tahun – JIKA TIDAK, SEGERA DISKUSIKAN
DENGAN TIM PEDIATRIK
Rekam) saya kedatangan
16
2. Manajemen 0 – 60 menit ü-
Mulai IV 1 liter Natrium Klorida 0,9% selama 1 jam dalam waktu 30
menit setelah masuk
Waktu dan tanda dimulainya cairan (di belakang)
Mulailah insulin larut IV 6 unit/jam dalam waktu 30 menit setelah masuk
Waktu dan tanda dimulainya insulin (terbalik)
Rekam SEWS
17
Glukosa laboratorium, U&E dan HCO3--
2 jam 4 jam
pada:
18
2) Penggantian cairan. Lihat protokol lokal. Cairan umumnya 0,9% natrium
klorida. pada orang dewasa, liter pertama biasanya diberikan selama 60 menit,
dan liter kedua selama 2 jam.
3) bila glukosa darah <15mmol/L setelah terapi insulin, ganti dari 0,9% natrium
klorida menjadi 5% glukosa. Ini mengurangi risiko hipoglikemia dan koreksi
osmolalitas dan serebral yang terlalu cepat busung.
4) Waspadai rehidrasi berlebihan. Patologi jantung yang hidup berdampingan
dapat menyebabkan ke edema paru, sementara edema serebral 2° hingga
perpindahan cairan yang cepat (paling sering mempengaruhi anak-anak dan
dewasa muda) dikaitkan dengan kematian yang tinggi.
5) insulin (= 0,1 unit/kg/jam Actrapid® atau Humulin S®) seharusnya dimulai
(sliding-skala insulin tidak lagi dianjurkan). Mengacu pada kebijakan lokal.
6) penggantian elektrolit. Cairan dan terapi insulin dapat menyebabkan cepat
pergerakan K+ intraseluler. jika nilai K+ plasma <5.5mmol/L, K+ perlu
ditambahkan ke cairan pengganti.
7) Cari dan obati penyebab yang mendasarinya, misalnya infeksi, Mi.
8) Pertimbangkan: selang Ng jika muntah terus-menerus; kateter urin (terutama
jika pasien oliguria atau anurik); Pemantauan CVP pada pasien sakit kritis
sabar.
9) memastikan profilaksis tromboemboli (pasien dengan DKA memiliki keadaan
hiperkoagulasi).
10) pasien yang sangat acidaemic/sakit kritis akan membutuhkan pendapat
ICU/HDU.
19
2.3.2 Etiologi Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Menurut (Black & Hawks, 2014), faktor presipitasi dari HHNK, yaitu:
a. Agen terapeutik
1. Glukokortikoid
2. Diuretik
3. Diphenylhydantoin
4. Beta-adrenergic blocking agents
5. L-Asparaginase
6. Agen imunosupresif
7. Klorpromazin
8. Diazoxide
b. Prosedur terapi
1. Dialisis peritoneal
2. Hemodialysis
3. Hiperalimentasi
4. Ketegangan karena operasi bedah
c. Penyakit kronis
1. Penyakit ginjal
2. Penyakit jantung
3. Hipertensi
4. Riwayat stroke
5. Alkoholisme
6. Diagnosis psikiatrik
7. Kehilangan rasa haus
d. Penyakit akut
1. Infeksi
2. Gangren
3. Infeksi saluran kemih
4. Keracunan darah
5. Luka bakar
6. Perdarahan gastrointestinal
7. Infark miokard
8. Pankreatitis
9. Stroke
20
2.3.3 Patofisiologi Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Faktor presipitasi yang berhubungan dengan HHNK, yaitu infeksi, agen
terapeutik, prosedur terapeutik, penyakit akut, dan penyakit kronis. Gejala mungkin
akan muncul dengan perlahan. Gejala dimulai dari hiperglikemia yang menyebabkan
meningkatnya output urin. Dengan meningkatnya output, volume plasma menurun
dan GFR menurun. Alhasil, glukosa dipertahankan dan air hilang. Glukosa dan
sodium berakumulasi dalam darah dan osmolaritas serum meningkat.
Hiperosmolaritas menyebabkan dehidrasi berat. Pasien akan mengalami kulit dan
mukosa kering, haus ekstrem, dan kesadaran menurun (koma atau bingung).
Penurunan neurologi akan disertai hipertermia, gangguan motorik dan sensorik,
tanda Babinski positif dan kejang (LeMone & Burke, 2008).
21
d. Hiperosmolalitas (peningkatan konsentrasi) plasma dan peningkatan kadar
nitrogen urea darah.
Secara tipikal, klien mengalami haus berlebihan, perubahan tingkat kesadaran (koma
atau bingung), dan gejala dehidrasi. Menurut (Tjokroprawiro, Setiawan, Effendi,
Santoso, & Soegianto, 2015), diagnosis klinis HHNK (biasa dikenal dengan
Tetralogi HONK: 1 Yes 3 NO), yaitu:
a. Glukosa darah >600 mg/dL (Hiperglikemia), dengan tidak ada riwayat diabetes
sebelumnya (NO DM History), biasanya ±1.000 mg/dL, bikarbonat >15
mEq/L, pH darah normal (NO Kussmaul), NO Ketonemia, glukosa darah
relatif rendah bila ada nefropati.
b. Dehidrasi berat, hipotensi syok, tidak ada kussmaul, terdapat gejala
neurologi, tidak didapatkan bau aseton, ketonuria dan ketonemia tidak
didapatkan.
Diagnosis pasti (dikenal dengan Pentalogi HONK), diagnosis ditegakkan apabila
terdapat diagnosis klinis dan osmolaritas darah >325-350 mOSM/L.
glukosadarah mg/ dL
OSM darah=2 ( Na ) + ≥325
18
22
2.3.7 Tatalaksana Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
23
2.3.1 Definisi Hipoglikemia
Menurut (Black & Hawks, 2014), Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana
kondisi sesorang mengalami penurunan kadar glukosa darah dibawah normal. Dapat
dikatakan jumlah gula dalam darah mengalami penurunan saat dilakukannya cek
GDS dimana didapatkan jumlah dibawah 60 mg/dl atau dibawah 80 mg/dl dengan
gejala klinis.
2.3.2 Etiologi Hipoglikemia
Penyebab terjadinya Hipoglikemi terjadi akibat dari akibat berikut :
1) Dosis berlebihan insulin atau sulfonilurea (jarang diresepkan).
2) Menghindari makanan atau makanan lebih sedikit dari biasanya.
3) Pemakaian tenaga berlebihan tanpa penambahan kompensasi karbohidrat.
4) Ketidak seimbangan nutrisi dan cairan disebabkan mual dan muntah
5) Asupan alkohol.
2.3.3 Klasifikasi Hipoglikemia
1. Hipoglikemia ringan : pasien masih mengenali tanda dan gejala hipoglikemia
dan bisa menolong dirinya sendiri. Bisa melakukan tindakan preventif untuk
mengembalikan glukosa darah menjadi normal kembali.
2. Hipoglikemia berat: didapatkan gangguan kesadaran sampai terjadi koma.
Pasien memerlukan bantuan orang lain untuk terapinya. Mempunyai risiko
terjadi hipoglikemia asimptomatik.
2.3.4 Batasan Hipoglikemia
Batasan hipoglikemia yaitu
Hipoglikemia Murni yaitu Apabila glukosa darah kurang dari 70mg/dL.
Hipoglikemia reaktif yaitu apabila glikosa darah turun secara mendadak
misalnya dari 400mg/dL menjadi 50g/dL.
Koma hipoglikemkk yaitu koma akibat glukosa darah turun sampai di bawah
30mg/dL.
Reaksi hipoglikemi yaitu gejala hipoglikemi yang terjadi 3-5 jam sesudah
makan. biasanya pada anggota keluarga DM atau ada bakat DM.
2.3.5 Manifestasi Klinis
Tanda:
Pallor yaitu Kepucatan atau kulit pucat.
Diaporesis yaitu keringat yang berlebih.
24
Gejala Neuroglikopeni :
Gangguan Kognitif
Perubahan perilaku
Gangguan psikomotor
Kejang
Koma
Gejala otonomik adrenergik :
Palpitasi
Gemetar
Cemas
Kolinergik :
Berkeringat dingin
Lapar
Parestesia
Apabila glukosa darah turun dibawah 70 mg/dL maka keluarlah hormone
cathecolamin, glucogen, cortisol, growth hormone (Hormone CGCG).
Gejala tersebut diatas terjadi akibat dari hiperkatekolaminemia; apabila terdapat
neuropati otonom gejala klinis ini berkurang bahkan tidak ada (symptomless
hypoglycemia).
2.3.6 Patofisiologi Hipoglikemia
Menurut (Kedia,2011) pada Diabetes Mellitus type 2, Hipoglikemi terjadi akibat
adanya kelebihan insulin dan juga terjadinya gangguan pertahanan fisiologis yaitu
terdapat penurunan pada plasma glukosa. Glukosa sendiri merupakan bagian
terpenting di dalam tubuh sebagai bahan bakar metabolisme yang harus ada untuk
otak. Terjadinya penurunan kadar gula dalam darah akan berkaitan pada system
saraf pusat, sistem pencernaan dan sistem peredaran darah.
Menurut (Setyohadi, 2012) konsentrasi glukosa yang dimiliki dalam darah yang
normal berjumlah 70-110 mg/dl. Penurunan jumlah kadar glukosa dalam darah akan
memicu respon pada tubuh, dimana ketika tubuh mengalami penurunan kadar gula
dalam darah akan memicu terjadinya penurunan konsentrasi insulin secara fisiologis,
serta akan membuat tubuh kehilangan kesadaran. Oleh karena itu, jika jumlah kadar
gula yang disuplai oleh darah mengalami penurunan, tentunya akan mempengaruhi
fungsi kerja otak. Saat tubuh ingin melakukan aktivitas yang banyak, otak akan
25
sangat bergantung pada suplai glukosa yang akan di berikan secara terus-menerus
dari dalam jaringan sistem saraf pusat. Di saat otak kehilangan suplai glukosa yang
dibutuhkan, tubuh akan merespon dan secara berlanjut akan terjadi penurunan
kesadaran sehingga mengakibatkan terjadinya pola nafas tidak efektif.
Ketergantungan yang dimiliki otak pada setiap menit suplai glukosa yang dimiliki
melalui sirkulasi di akibatkan karena ketidakmampuan otak dalam pemenuhan kadar
cadangan glukosa sebagai glikogen di dalam otak. Selain itu juga otak tidak dapat
mencampurkan glukosa dan hanya dapat menyimpan cadangan glukosa dalam
bentuk glikogen namun dalam jumlah yang kecil. Oleh karena itu, fungsi kerja otak
yang normal akan sangat bergantung pada konsentrasi asupan glukosa dan sirkulasi.
26
2.3.7 Alogaritma Hipoglikemia
27
2.3.8 WOC Hipoglikemia
28
b. Glukosa darah kurang dari 70mg/dL
c. Membaik dengan pemberian glukosa
2.3.10 Penatalaksanaan Hipoglikemia
a. Terapi hipoglikemia ringan
Glukosa 15-20 g (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air
Jika pada pemantauan gula darah mandiri setelah pengobatan, hipoglikemi
masih ada maka pengobatan dilanjutkan/
Jika pada pemantauan gula darah mandiri kadar gula darah masih normal,
pasien diminta untuk makan makanan berat atau snack untuk mencegah
berulangnya hipoglikemia.
b. Terapi hipoglikemia berat
Jika ada gejala neuroglikopeni, maka diperlukan terapi parenteral
Dektrose 40% 25ml, diikuti dengan infus d5% atau D10%
menggunakan rumus 3-2-1-1
Lakukan pemantauan gula darah setiap 1-2 jam, untuk memantau
terjadinya hipoglikemia berulang.
Lakukan evaluasi penyebab hipoglikemia.
Rumus 3-2-1-1
Dextrose 40% 25ml mengandung 10 glukosa
Rumus 3: diberikan 3 flakon bila kadar gula darah <30mg/dL
Rumus 2: diberikan 2 flakon apabila kadar gula darah 30-5- mg/dL
Rumus 1: diberikan 1 flakon apabila kadar gula darah 50-70 mg/dL
Rumus 1: diberikan 1 flakon apabila kadar gula darah70-90 mg/dl, namun disertai
tanda klinis hipoglikemia.
Bila setelah 15bmenit dilakukan pemeriksaan gula darah masih
menunjukkan hipoglikemia maka terapi dapat diulang lagi. Bila gagal
dilanjut dengan:
Injeksi metilprednisolon 62,5-125 mgIV dan dapat diulang, serta dapat
dikombinasi dengan injeksi fenitonin 3x100mg IV atau fenitoin oral
dengan dosis 3x100mg sebelum makan.
Bila perlu injeksi efedrin (bila tidak ada kontraindikasi:jantung dan
lain-lain) 25-50mg atau injeksi glukagon 1mg i.m.
Petunjuk Praktis Terapi Hipoglikemia dengan Rumus 3-2-1-1
29
Koma hipoglikemia (RH) cukup sering terjadi, oleh karena itu penulis akan
memberikan pedoman terapinya dengan rumus 3-2-1-1 seperti yang tertera .
Pada waktu tidur lapar menghasilkan 10gram glukosa setiap jam, dimana 6 gram
untuk otak dan 4 gram untuk jaringan tubuh dan sel darah. Oleh karena itu, KH dan
RH harus segera diatasi dengan:
Tujuan:
a. Memenuhi kebutuhan glukosa oleh otak agar tidak terjadi gangguan yang
irreversible
b. Tidak mengganggu regulasi DM
Pedoman:
a. Glukosa darah diarahkan ke kadar glukosa puasa yaitu 130mg/dL
b. Satu flakon 25 ml glukosa 40% (10g glukosa)dapat menaikkan kadar
glukosa darah 25-50mg/dL.
Contoh reaksi hipoglikemia: glukosa darah sebelumnya 400mg/dL lebih, kemudian
turun mendadak menjadi 90mg/dL. Walau secara biokimiawi kadar glukosa darah
belum menunjukkan kriteria hipoglikemia, secara klinis menunjukkan gejala
hipoglikemia. Dalam penanganan pasca absorbsi kasus seperti ini diberikan glukosa
40% 1 flakon untuk mencapai kadar glukosa darah lebih atau sama dengan
130mg/dl.
2.3.11 Pencegahan Hipoglikemia
Menurut (KEMENKES, 2018) untuk mencegah munculnya gejala hipoglikemia
ialah dengan :
1. Makan sesuai dengan aktivitas yang dilakukan sehari-hari.
2. Batasi konsusmsi minuman keras atau hindari sama sekali tidak meminumnya.
3. Pantau kadar gula secara berkala
4. Kenali gejala-gejala hipoglikemi yang muncul.
5. Selalu siapkan makanan atau obat-obatan pereda gejala fimanapun anda berada.
30
BAB III
STUDI KASUS
3.1 Kasus
Ny. G berusia 48 tahun di rawat di Ruang Intensive Care Unit sejak dua hari lalu dengan
diagnosa medis diabetes mellitus. Saat dilakukan timbang terima dari dinas malam ke
dinas pagi klien tersebut dalam kondisi kesadaran menurun, keringat dingin dan pucat.
Keluarga mengatakan klien seperti ini sejak satu menit yang lalu. Sudah dari semalam
tidak mau makan.
Pemeriksaan Fisik: TD: 80/50 mmHg, N: 112x/menit, RR: 28x/menit, T: 35,8C, SPO 2:
92%, GDS: 55mg/dL, GCS: E2 V2 M2
31
BAB IV
PENUTUP
2.4 Simpulan
Diabetes Melitus merupakan kondisi kronis yang ditandai dengan peningkatan
konsentrasi glukosa darah disertai munculnya gejala utama yang khas, yakni urine
yang berasa manis dalam jumlah yang besar. Kelainan yang menjadi penyebab
mendasar dari diabetes mellitus defisiensi related atau absolute dari hormon insulin.
Ketika DM tidak dikelola dengan baik, komplikasi berkembang yang mengancam
kesehatan dan membahayakan kehidupan seperti penyumbang signifikan terhadap
kematian, biaya dan kualitas hidup yang buruk. Gula darah tinggi yang tidak normal
dapat memiliki dampak yang mengancam jiwa jika memicu kondisi seperti diabetes
ketoasidosis (DKA) pada tipe 1 dan 2, dan koma hiperosmolar pada tipe 2. Gula darah
yang rendah dapat terjadi pada semua tipe DM dan dapat menyebabkan kejang atau
kehilangan kesadaran. Ini mungkin terjadi setelah melewatkan makan atau berolahraga
lebih dari biasanya, atau jika dosis obat anti-DM terlalu tinggi.
2.5 Saran
1) Diharapkan klien agar peduli terhadap penyakitnya dan dapat melakukan pengobatan
sejak dini untuk menghindari resiko akibat penyakit Diabetes Mellitus (KAD, HHNK,
Hipoglikemia).
2) Untuk mencapai hasil keperawatan yang diharapkan, diperlukan hubungan baik dan
keterlibatan klien, keluarga dan perawat sehingga timbul rasa saling percaya yang
akan menimbulkan kerjasama dalam pemberian asuhan keperawatan.
3) Perawat sebagai petugas pelayanan kesehatan hendaknya mempunyai pengetahuan,
keterampilan yang cukup serta dapat bekerjasama dengan tim kesehatan lain dalam
memberikan asuhan keperawatan gawat darurat pada klien dengan penyakit Diabetes
Mellitus (KAD, HHNK, Hipoglikemia) karena pada klien tersebut memerlukan
penanganan yang cepat dan tepat supaya tidak jatuh dalam kondisi yang lebih buruk
lagi.
2.6
46
DAFTAR PUSTAKA
47
Vena, R., & Yuantari, C. M. (2022). Kajian Literatur: Hubungan Antara Pola Makan
Dengan Kejadian Diabetes Melitus. JKM : Jurnal Kesehatan Masyarakat,
9(2), 255–266.
Webber, S. (2013). International Diabetes Federation. In Diabetes Research and
Clinical Practice (Vol. 102, Issue 2).
https://doi.org/10.1016/j.diabres.2013.10.013
Wiryansyah, M., & Retnaningrum, Y. R. (2021). Karakteristik Pasien Ketoasidosis
Diabetik Sebelum dan Saat Pandemi COVID-19 di RSUD Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda. Unram Medical Journal, 10(3), 615–624.
https://doi.org/10.29303/jku.v10i3.554
Wolfsdorf, J. I., Glaser, N., Agus, M., Fritsch, M., Hanas, R., Rewers, A., Sperling,
M. A., & Codner, E. (2018). ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines
2018: Diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic hyperosmolar state.
Pediatric Diabetes, 19, 155–177. https://doi.org/10.1111/pedi.12701
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen
Klinis untuk Hasil yang Diharapkan (8th ed.; A. Suslia, F. Ganiajri, P. P.
Lestari, & R. W. A. Sari, eds.). Singapura: Elsevier.
Farrell, M., Dempsey, J., Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2014). Smeltzer and Bare’s
Textbook of Medical-Surgical Nursing (3rd ed.). Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
LeMone, P., & Burke, K. (2008). Medical-Surgical Nursing: Critical Thinking in
Client Care. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Tjokroprawiro, A., Setiawan, P. B., Effendi, C., Santoso, D., & Soegianto, G. (Eds.).
(2015). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya (2nd ed.).
Surabaya: Airlangga University Press.
McChance, Kathryn, dkk. Pathophysiology: The Biologic Basic for Diseas in Adult
and Children Seventh Edition. 2014. Riverport Land: Elsevier Mosby.
P2ptm kemkes. Diakses 2023. Komplikasi Diabetes Melitus: Jakarta.
48