Anda di halaman 1dari 3

KEBIJAKAN PELAYANAN DARAH

BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU

I. PENDAHULUAN
Salah satu indikator kesehatan suatu negara adalah MMR (Maternal Mortality Rate). MMR di
Indonesia saat ini mencapai 307, berarti terjadi 307 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.
Bila dibandingkan dengan negara asean maka angkakematian ibu di Indonesia masih sangat
tinggi. Berbagai kondisi diketahiu sebagai penyebab tingginya angka kematian ibu tersebut dan
beberapa penelitian menunjukkan bahwa penyebab pertama kematian ibu melahirkan adalah
perdarahan, sehingga dapat dikatakan bahwa tingginya angka kematian ibu di Indonesia tidak
dapat dipisahkan dengan kualitas pelayanan darah.

Pentingnya penyelenggaraan pelayanan darah di suatu negara serfta teridentifikasinya masalah


pelayanan darah di indonesia telah mendorong World Health Organization (WHO) muntuk
mengisyaratkan kepada pemerintah indonesia perlunya dibentuk National Blood Policy sebagai
regulator dalam pelaksanaan pelayanan transfusi darah di Indonesia.

Sejarah perkembangan pelayanan transfusi darah dimulai pada tahun 1950 yang dilaksanakan
oleh Palang Merah Indonesia (PMI) dan pada tahun 1980 terbit peraturan pemerintah Republik
Indonesia (PP) No. 18 tahun 1980 tentang transfusi darah. Sejak saat itu pelayanan transfusi
darah di Indonesia dilaksanakan berdasarkan PP 18/1980 tersebut.

Dalam BAB IV pasal 6 PP 18/1980, tercantum bahwa:


Pengelolaan dan pelaksanaan usaha transfusi darah ditugaskan kepada PMI, atau instansi
lainnya yang ditetapkan oleh menteri kesehatan (ayat 1); penyelenggaraan usaha transfusi darah
harus disesuaikan dengan kebutuhannya dalam menunjang pelayanan kesehatan (ayat 2)

Palang Merah Indonesia melaksanakan tugasnya melalui 187 unit transfusi darah (UTD) yang
penyebarannya kurang merata di 185 kabupaten/kota. Selain UTD PMI, terdapat juga 46 UTDRS
di 46 kabupaten/kota dan 1 UTD pembina milik pemprov sulawesi selatan. Seluruh UTD
siapapun pemiliknya, dalam menjalankan kegiatannya harus mengikuti peraraturan perundang-
undangan dan standard pemerintah cq Departemen Kesehatan RI.
Kondisi tersebut diatas masih belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia baik dari
segi akses maupun kualitas pelayanan. Disamping itu teridentifikasi pula bahwa tidak semua UTD
PMI dan UTDRS mampu memberikan pelayanan yang berkualitas dan mencukupi kebutuhan
setempat. Masih banyak kendala yang dihadapi dalam upaya pemenuhan darah baik dari segi
kecukupan, kualitas, maupun ketepatan waktu. Selain itu perhatian para klinisi dan RS juga
masih kurang. Sebagai akibatnya keluarga pasien terpaksa harus ikut berjuang untuk
mendapatkan darah transfusi yang dibutuhkan tanpa memperhatikan keamanan dengan
menghubungi sendiri UTD terdekat yang memiliki stok darah.

Pelayanan darah yang berkualitas, aman, tersedia tepat waktu, dapat dicapai apabila pelayanan
berjalan dengan sistem tertutup, dimana RS tidak lagi menyerahkan upaya memperoleh darah
transfusi kepada keluarga pasien, tetapi seluruh mekanisme pelayanan dilaksakanan oleh
petugas. Hal ini dapat dilaksanakan apabila RS sebagai pengguna darah transfusi, mempunyai
Bank Darah RS sebagai unit pelaksanaan pelayanan transfusi darah yang bekerja sama melalui
ikatan kerja sama dengan UTD kabupaten/kota/provinsi setempat.

Pada bulan April 2007 dikeluarkan keputusan mentri kesehatan No: 423/Menkes/SK/IV/2007
tentang kebijakan peningkatan kualitas dan akses pelayanan darah. Salah satu point yang
tercantum pada SK tersebut adalah bahwa setiap RS harus memiliki Bank Darah RS. Hal ini
dimaksudkan agar pelayanan darah dilakukan dengan distribusi tertutup dengan petugas dan
menggunakan prinsip rantai dingin sehingga setiap RS harus memiliki minimal Unit Bank Darah
RS (BDRS) sebagai unit yang bertanggung jawab terhadap pelayanan transfusi darah di RS dan
melakukan pemeriksaan cross match sebelum darah diberikan kepada pasien. Unit BDRS ini
harus selalu memiliki stok darah yang telah aman (non reaktif pada uji saring IMLTD) yang
berasal dari UTD setempat.

Ketersediaan darah aman di RS merupakan salah satu standard minimal pelayanan RS yang
berarti stiap RS memiliki stok darah aman 1x24 jam di BDRS. Atau UTDRS serta manajemen
pelayanan transfusi darah.

II. TUJUAN
Kebijakan pelayanan darah mempunyain tujuan adalah untuk mencapai terlaksananya transfusi
darah yang aman di Rumah Sakit dengan sistem distribusi tertutup serta berkualitas,
terkoordinasi dan sesuai dengan standard. Selain itu kebijakan ini juga bertujuan agar dapat
diperoleh pelayanan transfusi darah yang berkualitas, aman, tepat waktu, efisien, rasional
dengan akses yang mudah sebagai pendukung pelayanan prima Rumah Sakit.

III. KEBIJAKAN
Dalam upaya mewujudkan terlaksananya pelayanan darah di BLU RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado maka perlu dibuat satu kebijakan pelayanan darah yang meliputi hal-hal sebagai
berikut:
1. Penyimpanan darah dan komponen darah
2. Penyerahan darah yang diminta pasien
3. Kualitas dan keamanan darah
4. Cross matching dan kecocokan darah
5. Identifikasi donor dan penerima (jika ada)
6. Pengembalian darah yang tidak terpakai
7. Screening darah terhadap beberapa penyakit tertentu
8. Pencatatan dan pelaporan dari reaksi yang timbul dari transfusi darah
9. Pengadaan darah rutin dan darurat
10. Penanganan limbah (medis dan nonmedis) dan pembuangan sampah

IV. PENUTUP
Demikian pedoman kebijakan ini dibuat untuk dijadikan bahan acuan untuk menciptakan
pelayanan darah yang aman, tepat waktu, dan efisien dalam menunjang pelayanan prima
Rumah Sakit.

Anda mungkin juga menyukai