Laporan Mustawia
Laporan Mustawia
O L E H:
MUSTAWIA
N014212105
DISUSUN OLEH:
MUSTAWIA
N014212105
Menyetujui,
Pembimbing PKPA Farmasi Rumah Sakit Pembimbing PKPA Farmasi Rumah Sakit
Program Studi Profesi Apoteker Rumah Sakit Siloam Makassar
Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin
Rina Agustina, S.Si., M.Pharm., SC, Apt apt.Jewel Sari Untung, S.Si
NIP. 19840707200902 2 011 NIK:
Mengetahui,
Prof. Dr. Elly Wahyuddin, DEA, Apt apt. Lidia Alto Topayung, S.Si
NIP. 19560114198601 2 001 NIP. 1041500039
BAB I
PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh infeksi
bakteri Salmonella enterica khususnya turunannya, Salmonella typhi (Alba, et al.,
2016). Namun dapat pula disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, Salmonella
typhi B, dan Salmonella paratyphi C. Komplikasi dapat lebih sering terjadi pada
individu yang tidak diobati sehingga memungkinkan terjadinya pendarahan dan
perforasi usus ataupun infeksi fecal seperti visceral abses (Naveed and Ahmed,
2016).
Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif yang menyebabkan
spektrum sindrom klinis yang khas termasuk gastroenteritis, demam enterik,
bakteremia, infeksi endovaskular, dan infeksi fecal seperti osteomielitis atau abses
(Naveed and Ahmed, 2016). Manifestasi klinis demam tifoid dimulai dari yang
ringan (demam tinggi, denyut jantung lemah, sakit kepala) hingga berat (perut
tidak nyaman, komplikasi pada hati dan limfa (Pratama dan Lestari, 2015).
Penyebab yang sering terjadi yaitu faktor kebersihan. Seperti halnya ketika makan
di luar apalagi di tempat-tempat umum biasanya terdapat lalat yang beterbangan
dimana-mana bahkan hinggap di makanan. Lalat-lalat tersebut dapat menularkan
Salmonella thyphi dari lalat yang sebelumnya hinggap di feses atau muntah
penderita demam tifoid kemudian hinggap di makanan yang akan dikonsumsi
(Padila, 2013).
Bakteri yang tertelan melalui makanan akan menembus membran mukosa
epitel usus, berkembang biak di lamina propina kemudian masuk ke dalam
kelenjar getah bening mesenterium. Setelah itu memasuki peredaran darah
sehingga terjadi bakterimia pertama yang asimtomatis, lalu bakteri akan masuk ke
organ-organ terutama hati dan sumsum tulang yang dilanjutkan dengan pelepasan
bakteri dan endotoksin ke peredaran darah sehingga menyebabkan
bakterimiakedua. Bakteri yang berada di hati akan masuk kembali ke dalam usus
merangsang pelepasan sitokin proinflamasi yang menginduksi reaksi inflamasi.
Respon inflamasi akut menyebabkan diare dan dapat menyebabkan ulserasi serta
penghancuran mukosa. Sebagian bakteri lainnya akan dikeluarkan bersama feses
(Bula-Rudas, et al., 2015).
Demam tifoid sering terjadi di beberapa negara di dunia dan umumnya terjadi
di negara-negara dengan tingkat kebersihan yang rendah. Penyakit ini menjadi
masalah kesehatan publik yang signifikan (OMS, 2013). Berdasarkan data WHO
(World Health Organisation) memperkirakan angka insidensi di seluruh dunia
sekitar 17 juta jiwa per tahun, angka kematian akibat demam tifoid mencapai
600.000 dan 70% nya terjadi di Asia. BerdasarkanWHO angka penderita demam
tifoid di Indonesia mencapai 81% per 100.000 (DEPKES RI, 2013).
Mengingat tingginya angka kesakitan demam tifoid serta akibat yang
ditimbulkan jika penyakit ini tidak segera di tangani akan sangat membahayakan
bagi manusia maka penanganan demam tifoid memerlukan perhatian khusus oleh
semua bidang kesehatan yang terkait, termasuk apoteker. Menurut Permenkes No.
72 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit, apoteker
dapat melakukan pelayanan klinik pada pasien, keluarga pasien, dan juga tenaga
kesehatan lainnya untuk mencapai hasil yang diharapkan. Oleh karena itu,
dilakukan studi kasus mengenai asuhan kefarmasian pada pasien dengan diagnosis
demam tifoid dan fibrosis paru. Studi kasus tersebut dilakukan dengan
menganalisis rasionalitas pengobatannya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Rasionalitas
1 Tutosol R R R R R R R
2 Sanmol R R R R R R R
3 Cefratam IR IR R R IR R IR
4 Pranza R R IR R R IR R
5 Remopain IR IR R R R R IR
6 Narfoz R R IR R R R IR
7 Rhinoz SR R R R R R R R
8 Resfar R R R R R R R
9 Cravit R R R R R R R
10 Imbost force R R R R R R R
11 Dulkolax R R R R R R R
III.8 Analisis SOAP
Kondisis Klinis
Tangga
DRP (Assesment) Rekomendasi (Plan)
l
Subjek Objek
b. Indikasi
Levofloxacin diindikasikan pada orang dewasa untuk pengobatan
berbagai infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang rentan, termasuk infeksi
saluran pernapasan atas, saluran pernapasan bawah, kulit, struktur kulit,
saluran kemih, dan prostat.
c. Mekanisme Kerja
Levofloxacin, seperti antibiotik fluoroquinolone lainnya, memberikan
aktivitas antimikrobanya melalui penghambatan dua enzim bakteri utama:
DNA girase dan topoisomerase IV. Kedua target tersebut adalah
topoisomerase tipe II, tetapi memiliki fungsi unik di dalam sel bakteri. DNA
girase adalah enzim yang hanya ditemukan pada bakteri yang memasukkan
superkoil negatif ke dalam DNA selama replikasi yang membantu
menghilangkan regangan torsional yang disebabkan oleh pengenalan
superkoil positif selama replikasi, dan superkoil negatif ini penting untuk
kondensasi kromosom dan mendorong inisiasi transkripsi. Gyrase terdiri
dari empat subunit (dua subunit A dan dua subunit B) di mana subunit A
tampaknya menjadi target antibiotik fluoroquinolone. Bakteri topoisomerase
IV, selain berkontribusi pada relaksasi superkoil positif, sangat penting pada
tahap terminal replikasi DNA dan berfungsi untuk "memutuskan"
kromosom yang baru direplikasi untuk memungkinkan penyelesaian
pembelahan sel. Penghambatan enzim ini oleh levofloxacin kemungkinan
terjadi melalui kompleksasi dengan enzim topoisomerase. Hasil akhirnya
adalah blokade replikasi DNA, sehingga menghambat pembelahan sel dan
mengakibatkan kematian sel.
d. Dosis dan Aturan Pakai
Pasien dengan fungsi ginjal normal CrCl >80 mL/mnt 250-500 mg
dengan infus lambat selama 60 menit setiap 24 jam atau 750 mg dengan
infus lambat selama 90 menit setiap 24 jam. Pneumonia didapat masyarakat
500 mg setiap 24 jam selama 7-14 hari atau 750 mg setiap 24 jam selama 5
hari. Tifoid 750 mg setiap 24 jam selama 7-10 hari. Sinusitis bakterialis
akut 500 mg setiap 24 jam selama 7-14 hari atau 750 mg setiap 24 jam
selama 5 hari. Eksaserbasi bakteri akut bronkitis kronis 500 mg setiap 24
jam selama 7 hari atau 750 mg setiap 24 jam selama 3-5 hari. Prostatitis
bakterialis kronis 500 mg setiap 24 jam selama 28 hari.
e. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap levofloxacin, kuinolon. Epilepsi, riwayat
gangguan tendon yang berhubungan dengan pemberian fluoroquinolone.
Wanita hamil & menyusui. Anak-anak atau remaja yang sedang tumbuh.
f. Efek samping
Diare, mual, vaginitis, perut kembung, pruritus, ruam, sakit perut,
moniliasis genital, pusing, dispepsia, insomnia, gangguan pengecapan,
muntah, anoreksia, gelisah, konstipasi, edema, kelelahan, sakit kepala,
peningkatan keringat, keputihan, malaise, gugup, gangguan tidur, tremor,
urtikaria.
g. Interaksi obat
Penurunan absorpsi oleh antasida yang mengandung Al atau Mg & obat
yang mengandung Fe. Peningkatan risiko stimulasi SSP & kejang kejang
dengan NSAID. Gangguan glukosa darah dengan agen antidiabetik. Dapat
memberikan hasil yang salah dalam diagnosis bakteriologis TB. Dapat
meningkatkan efek warfarin.
h. Perhatian dan peringatan
Bukan untuk pemberian IM, intratekal, intraperitoneal, atau SC. Hindari
infus IV cepat atau bolus. Pertahankan hidrasi yang memadai. Paparan sinar
matahari yang berlebihan harus dihindari. Pasien dengan gangguan SSP
yang diketahui atau dicurigai yang dapat menjadi predisposisi kejang atau
ambang kejang yang lebih rendah. Pemantauan glukosa darah yang cermat
dianjurkan. Hentikan penggunaan jika terjadi reaksi hipoglikemik,
fototoksisitas, nyeri tendon, peradangan atau pecah. Penilaian berkala fungsi
ginjal, hati & hematopoietik. Antasida yang mengandung Mg atau Al, serta
sucralfate, Fe, multivitamin dan Zn harus diminum minimal 2 jam sebelum
atau sesudah pemberian levofloxacin. Hentikan penggunaan pada tanda
pertama ruam kulit, gatal-gatal atau reaksi kulit lainnya, detak jantung yang
cepat, kesulitan menelan atau bernapas, angioedema, atau gejala reaksi
alergi lainnya. Kolitis pseudomembran. Dapat mengganggu kemampuan
mengemudi dan mengoperasikan mesin karena pusing, kepala terasa ringan.
Insufisiensi ginjal.
10. Imbost Force (Drugbank, 2022; Sweetman, 2009; MIMS, 2022).
a. Kemasan/ Komposisi
Tersedia dalam sediaan kaplet dengan kandungan Echinacea purpurea
250 mg, ekstrak elderberry hitam 400 mg, Zn picolinate 10 mg
b. Indikasi
Imbost Force untuk membantu menjaga sistem kekebalan tubuh.
c. Mekanisme Kerja
Echinacea: Memodulasi sistem kekebalan tubuh dengan peningkatan
berikut: Fagositosis makrofag, produksi dan interferon (antiviral), produksi
TNF-α (antineoplastik), produksi IL-1, IL-6, IL-10 migrasi granulosit,
fagosit di limpa dan sumsum tulang. Echinacea juga bekerja melalui
beberapa mekanisme lain: Penghambatan enzim hyaluronidase (untuk
mencegah penyebaran infeksi), penghambatan enzim siklooksigenase &
lipooxygenase (antiinflamasi), dan aktivasi fibroblas (untuk mempercepat
penyembuhan luka). Asam Chicoric (Komponen fenolik dalam Echinacea):
Merangsang fagositosis granulositik. Isobutylamide (Alkylamides in
Echinacea): Menghambat enzim cyclooxygenase dan lipooxygenase sebagai
agen anti-inflamasi; stimulasi fagositosis. Zinc Picolinate: Menghambat
replikasi virus; sebagai penghambat molekul-1 adhesi antar sel (ICAM-1).
Black Elderberry: Pencegahan replikasi virus dengan menetralkan enzim
neuraminidase virus dan menghambat aktivasi virus hemagglutinin.
Memodulasi sistem kekebalan tubuh dengan peningkatan produksi sitokin
IL-1, IL-6, IL-8, dan TNF-α.
d. Dosis dan Aturan Pakai
Dewasa 1 kaplet 3 kali sehari.
e. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap levofloxacin, kuinolon. Epilepsi, riwayat
gangguan tendon yang berhubungan dengan pemberian fluoroquinolone.
Wanita hamil & menyusui. Anak-anak atau remaja yang sedang tumbuh.
f. Efek samping
Multiple sclerosis, penyakit kolagen, leukosis, TBC, AIDS, penyakit
autoimun.
g. Interaksi obat
Tidak untuk digunakan dengan imunosupresan..
h. Perhatian dan peringatan
Obat imunosupresif atau agen imunosupresif atau obat antipenolakan
adalah obat yang menghambat atau mencegah aktivitas sistem imun.
11. Dulcolax (Drugbank, 2022; Sweetman, 2009; MIMS, 2022).
a. Kemasan/ Komposisi
Tersedia dalam sediaan tablet dengan kandungan Bisacodyl 5 mg
b. Indikasi
Dulcolac sebagai pencahar untuk meringankan sembelit. Persiapan
untuk prosedur diagnostik dalam perawatan pra/ pasca operasi dan dalam
kondisi yang membutuhkan buang air besar..
c. Mekanisme Kerja
Bisacodyl dideasetilasi menjadi bis-(p-hydroxyphenyl)-pyridyl-2-
methane (BHPM) aktif oleh deacetylase usus. BHPM dapat merangsang
saraf parasimpatis di usus besar secara langsung untuk meningkatkan
motilitas dan sekresi. Bisacodyl merangsang adenilat siklase, meningkatkan
AMP siklik, menyebabkan transpor aktif klorida dan bikarbonat keluar dari
sel.5 Ion natrium, ion kalium, dan air secara pasif meninggalkan sel;
sementara ion natrium dan klorida tidak dapat diserap kembali.
d. Dosis dan Aturan Pakai
Dewasa: 1-2 tab/hr. Anak: 6-10 thn 1 tab/hari
e. Kontraindikasi
Ileus, obstruksi usus, kondisi bedah akut abdomen, apendisitis, penyakit
radang usus akut & nyeri perut parah yang berhubungan dengan mual &
muntah; dehidrasi parah.
f. Efek samping
Ketidaknyamanan perut & diare. Reaksi anafilaksis, angioedema,
hipersensitivitas. Dehidrasi. Pusing, sinkop. Kram perut, sakit perut, mual,
hematokezia (darah dalam tinja), muntah, ketidaknyamanan anorektal,
kolitis termasuk kolitis iskemik.
g. Interaksi obat
Pada dosis tinggi, risiko ketidakseimbangan elektrolit meningkat
dengan penggunaan bersama diuretik & adrenokortikoid. Glikosida jantung.
Dapat meningkatkan efek samping GI Dulcolax dengan obat pencahar
lainnya. Jangan mengambil bersama dengan produk yang mengurangi
keasaman GIT atas misalnya, susu, antasida, atau penghambat pompa
proton agar tidak melarutkan lapisan enterik sebelum waktunya.
h. Perhatian dan peringatan
Tidak untuk diminum setiap hari terus menerus atau untuk waktu yang
lama tanpa menyelidiki penyebab sembelit. Hindari penggunaan jangka
panjang.
BAB IV
PEMBAHASAN
Studi kasus pasien atas nama Tn. IK, berusia 38 tahun dengan riwayat
penyakit pernah mengalami Covid-19 datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD)
Rumah Sakit Siloam Makassar dengan keluhan demam sejak tiga hari yang lalu,
batuk berdahak, flu, nyeri pada tenggorokan, mual, muntah, nyeri sendi dan badan
pegal-pegal. Pasien berada di rumah sakit sejak tanggal 4 Mei 2022 sampai 13
Mei 2022.
Pada saat pasien masuk rumah sakit tanggal 4 Mei 2022, pasien didiagnosa
demam dengue dan Fibrosis Paru. Diagnosis dokter berdasarkan pada riwayat
penyakit pasien dan gejala-gejala yang dialaminya serta didasarkan pada hasil
pemeriksaan foto thorax. Hasil pemeriksaan menunjukkan kesan adanya fibrosis
pada parahiler pulmonari sebelah kiri pasien. Selain itu dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan darah dan kimia. Hasil pemeriksaan darah dihari
pertama menunjukkan terjadinya penurunan kadar hematokrit sebesar 37,6%.
Setelah pasien di observasi, pasien dipindahkan ke ruang perawatan Executive
Suite New dan diberi terapi Tutosol, Sanmol, Cefratam, Pranza, Remopain,
Narfoz, Rhinos dan Resfar.
Pada hari ke-3 pasien dirawat di rumah sakit, tidak terdapat adanya tanda-
tanda perubahan yang lebih baik sehingga di hari yang bersamaan dilakukan
pemeriksaan serologi pada sampel darah pasien. Berdasarkan hasil uji serologi
tersebut pasien di diagnosa menderita demam tifoid dengan adanya hasil
pemeriksaan S.tiphi O positif 1/320, S.tiphi H positif 160, S. paratphi AO positif
1/80, S. paratphi AH positif 1/80, S. paratphi BO positif 1/80, S. paratphi BH
positif 1/160 dan S. paratphi CH positif 1/80. Menurut KEMENKES tahun (2006)
menyebutkan bahwa interpretasi reaksi widal pada titer O 1/320 sudah
menyokong kuat diagnosis demam tifoid. Salah satu pemeriksaan yang dilakukan
pada penderita demam tifoid adalah pemeriksaan Laju Endap Darah (LED). LED
adalah nilai pemeriksaan laboratorium untuk evaluasi infeksi, inflamasi dan
penyakit ganas. Hasil pemeriksaan LED yang diperoleh yaitu 25 mm dari nilai
normal 0-15 mm, berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya tanda-
tanda infeksi, inflamasi ataupun penyakit ganas (Yuswardi,dkk., 2021).
Pemberian Infus Tutosol 18 tpm sebagai terapi rumatan atau terapi
pemeliharaan dengan tujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tubuh dan
nutrisi yang diperlukan oleh tubuh. Pemberian cairan Tutosol ini sudah tepat
untuk mengatasi lemas yang dirasakan pasien dan memelihara keseimbangan
cairan tubuh dan nutrisi pasien (MIMS, 2022).
Pemberian Cefratam diindikasikan sebagai penanganan pada fibrosis paru
yang dialami oleh pasien. Cefratam mengandung Cefoperazone dan sulbactam
yang merupakan antibotik untuk infeksi saluran pernapasan, infeksi tulang dan
sendi, infeksi ginekologi, infeksi intra-abdominal, meningitis, septikemia, infeksi
kulit dan jaringan lunak, infeksi saluran kemih (MIMS, 2022). Menurut USP
(2021) penatalaksanaan pada pasien fibrosis paru diberikan obat Nintedanib atau
Pirfenidone sebagai pilihan terapi pertama. Namun dalam kasus ini pasien
diberikan Cefratam sebagai penanganan fibrosis paru. Penurunan kadar
hemoglobin dan hematokrit pada hari ketiga kemungkinan juga disebabkan oleh
penggunaan Cefoperazone yang berpotensi menyebabkan penurunan hemoglobin
dan hematokrit (Drug.com, 2022). Dalam hal ini penggunaan cefoperazone
dikatakan tidak rasional karena tidak tepat indikasi dan menimbulkan efek
samping yang justru memperburuk kondisi pasien.
Pemberian Samol diindikasikan untuk penanganan keluhan demam yang
dialami oleh pasien. Sanmol mengandung paracetamol 1g/500ml yang di berikan
secara intravena tiga kali sehari. Menurut KEMENKES RI tahun (2017), terapi
utama pada pasien demam dengue yaitu dengan pemberian paracetamol. Namun
berdasarkan diagnosa demam tifoid pasien dan data pemeriksaan tanda vital
selama perawatan didapatkan nilai yang normal untuk suhu tubuh pasien dan
hanya terjadi kenaikan sebesar 37,9 oC pada hari kelima perawatan. Pada kasus
demam tifoid paracetamol hanya sebagai terapi simptomatik dari pasien. Untuk
terapi ini sebaiknya hanya diberikan pada saat pasien mengalami kenaikan suhu
tubuh saja (Putri dan Sibuea, 2020).
Pemberian remopain sebagai terapi analgetik berdasarkan keluhan nyeri
kepala dan dan nyeri sendi yang dialami. Remopain mengandung ketorolak
30mg/ml yang diberikan secara intravena tiga kali sehari. Ketorolak adalah obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dan memiliki sifat antipiretik, analgesik, dan
antiinflamasi yang bekerja dengan cara menghambat jalur kunci dalam sintesis
prostaglandin. Ketorolak bersifat non-selektif yang menghambat enzim COX-1
dan COX-2 (Drugbank, 2022). Menurut World Health Organization (WHO)
terdapat lima prinsip penggunaan analgesik yang tepat dalam penanganan rasa
nyeri yaitu, segera mengganti pemberian analgesik melalui oral setelah nyeri skor
nyeri <4, analgesik harus diberikan dengan interval yang sama, pemberian
analgesik harus sesuai dengan derajat nyeri yang dievaluasi menggunakan skala
nyeri, dosis analgesik disesuaikan untuk tiap-tiap individu dan pemberian resep
analgesik harus diperhatikan secara rinci (Prabandari et.al, 2018, Timur, dkk.,
2021). Pada kasus ini penggunakan ketorolak dikatakan kurang rasional karena
penggunaannya untuk nyeri skala 3 yang masih termasuk kategori ringan.
Menurut Arisetijono, dkk., (2015) rasa nyeri pada seseorang dapat dibedakan atas
tiga tingkat nyeri yaitu dengan skor nyeri 1-3 masuk kedalam kategori ringan (low
pain), skor nyeri 4-6 kategori sedang (moderate pain), dan skor nyeri 7-10
kategori berat (woerst possible pain). Pemilihan ketorolak sebagai terapi nyeri
secara parenteral hanya di berikan untuk pasien dengan nyeri kategori sedang
hingga berat (Melzack et al., 2003). Selain itu interval pemberian ketorolak secara
intravena hanya dapat diberikan maksimal dua hari, secara oral tujuh hari dan
apabila dikombinasi per oral dan intravena maka penggunaanya maksimal lima
hari (Sweetman, 2009; Ihsan, et al., 2019 Timur, dkk., 2021). Penggunaan
ketorolak sebaiknya perlu diperhatikan dengan pertimbangkan efek samping yang
akan ditimbulkan berpotensi memperparah nyeri ulu hati dan menyebabkan
pendarahan lambung (KEMENKES RI, 2017; MIMS, 2022).
Pemberian Cravit merupakan terapi untuk diagnosa demam tifoid akibat
infeksi bakteri yang dialami oleh pasien. Cravit mengandung levofloxacin 750
mg yang di berikan secara intravena dua kali sehari. Levofloxacin adalah
antibiotik fluoroquinolone yang digunakan untuk mengobati infeksi yang
disebabkan oleh bakteri yang rentan pada saluran pernapasan bagian atas, serta
untuk pengobatan wabah (Drugbank, 2022). Pemilihan obat antibiotik lini
pertama pengobatan demam tifoid pada anak di negara berkembang didasarkan
pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya. Berdasarkan ketiga faktor tersebut,
kloramfenikol masih menjadi obat pilihan pertama pengobatan demam tifoid pada
anak. Hal ini berbeda dengan dewasa, dimana obat antibiotik lini pertamanya
adalah golongan fluorokuinolon, seperti ofloksasin, siprofloksasin, levofloksasin
atau gatifloksasin (PKB LXIII, 2012). Menurut Veeraraghavan et al (2018) obat
golongan fluoroquinolon seperti levofloxacin merupakan pilihan terapi optimal
dan lebih disukai (preferable) dalam penanganan demam tifoid khususnya pada
orang dewasa. Tingkat efikasinya yang tinggi serta efek sampingnya yang rendah,
membuat obat ini banyak digunakan secara luas di beberapa wilayah di dunia
(PKB LXIII, 2012).
Pemberian Narfoz merupakan terapi untuk penanganan mual dan muntah
yang dialami oleh pasien. Nafroz mengandung ondansetron 4 mg yang di berikan
secara intravena tiga kali sehari. Ondansetron adalah antagonis reseptor serotonin
5-HT3 yang digunakan untuk mencegah mual dan muntah pada kemoterapi
kanker dan pasca operasi (Drugbank, 2022). Meskipun begitu pemilihan
ondansetron pada kasus ini sudah tepat. Menurut FDA pada tahun 2006
menyebutkan bahwa mengingat kemanjuran ondansetron yang sebanding dan
relatif kurangnya efek samping, itu dapat dianggap sebagai agen antiemetik lini
pertama. Namun terkait penggunaannya sebaiknya hanya digunakan saat pasien
mengalami mual muntah dan segera dihentikan ketika pasien tidak merasakan
gejala mual dan muntah.
Pemberian Pranza merupakan terapi nyeri uluhati yang dialami oleh pasien.
Pranza mengandung pantoprazole 40 mg yang di berikan secara intravena dua
kali sehari. Pantoprazole merupakan pengobatan penyakit refluks gastroesofageal
yang berhubungan dengan riwayat esofagitis erosif, profilaksis tukak yang
diinduksi NSAID dan penyakit Zollinger-Ellison (MIMS, 2022). Dalam kasus ini
penggunaan pantoprazole sudah rasional untuk profilaksis dan pengobatan induksi
nyeri ulu hati akibat penggunaan NSAID, hanya saja untuk rute pemberian dan
dosis 80 mg perhari dikatakan kurang tepat. Pada rute pemberian secara hanya
diindikasikan untuk pasien yang terdiagnosa ulkus peptikum atau penyakit refluks
gastro-esofagus dan sindrom Zollinger-Ellison dengan dosis 40mg sehari.
Sedangkan untuk pasien yang memerlukan profilaksis NSAID terkait ulserasi
dosis yang dianjurkan adalah 20 mg setiap hari yang diberikan peroral
(Sweetman, 2009).
Pemberian Rhinos SR merupakan terapi pada pilek dan flu yang dialami
oleh pasien. Rhinos SR mengandung pseudoefedrin 120 mg dan loratadin 5 mg
yang di berikan secara oral dua kali sehari. Kombinasi antara pseudoefedrin
sebagai dekongestan dan loratadine sebagai antihistamin diindikasikan untuk
meredakan gejala sementara termasuk bersin, pilek, sinus atau hidung tersumbat,
hidung atau tenggorokan gatal, dan mata berair (Drugbank, 2022; MIMS, 2022).
Pemberian Resfar merupakan terapi pada batuk berdahak yang dialami oleh
pasien. Resfar mengandung Acetylcysteine 5 g yang di berikan secara intravena
sekali sehari. Acetylcysteine adalah obat yang dapat digunakan sebagai mukolitik
pada pasien dengan kondisi paru-paru tertentu dan sebagai penangkal
asetaminofen (MIMS, 2022). Dalam kasus ini penggunaan Resfar sudah rasional
karena Acetylcysteine di gunakan sebagai mukolitik, antiinflamasi dan
antioksidan pada keadaan fibrosis paru, (Jayanti, 2012).
Pemberian Dulkolax merupakan terapi pada konstipasi yang dialami oleh
pasien pada hari kedua perawatan. Dulkolax mengandung bisakodil 5 mg yang di
berikan secara oral satu kali sehari. Bisacodyl adalah pencahar stimulan yang
digunakan untuk bantuan jangka pendek dari konstipasi sesekali, atau baik kronis
(Drugbank, 2022; MIMS, 2022). Hal ini dikarenakan setelah seorang terinfeksi S.
typhi, periode asimtomatik berlangsung 7 sampai 14 (kisaran 3-60) hari. Awitan
bakteremia ditandai gejala yang sering ditemukan salah satunya konstipasi (PKB
LXIII, 2012).
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemantauan terapi obat yang dilakukan pada Tn. IK,
dengan diagnosis Demam Tifoid dan Fibrosis paru, maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Berdasarkan Pemantauan Terapi Obat (PTO) yang dilakukan kepada pasien,
terapi pengobatan yang diberikan telah semaksimal mungkin, namun masih
terdapat beberapa Drug Related Problems (DRPs) yang masih perlu dianalisa
penggunaannya, seperti keputusan pemberian Remopain (ketorolak) injeksi
pada skor nyeri kategori ringan dan telah melebihi interval pemberian.
2. Pemberian Cefratam (Cefoperazone sulbactam) kurang tepat pada diagnosa
fibrosis paru karena bukan merupakan pilihan utama untuk terapi fibrosis paru,
dan seharusnya diberikan Nintedanib ataupun Pirferidone.
3. Pemerian Pranza (Pantoprazole) melebihi dosis yang seharusnya pada indikasi
profilaksis induksi ulkus akibat penggunaan NSAID.
4. Kegiatan farmasi klinik yang dilakukan dapat membantu meningkatkan
pengetahuan dan wawasan calon apoteker untuk mencegah terjadinya Drug
Related Problems (DRPs), sehingga permasalahan mengenai obat-obatan dan
klinik dapat teratasi.
V.2 Saran
Pada kasus ini disarankan melakukan pengecekan darah rutin dan uji serologi
di hari terakhir perawatan untuk memantau adanya respon tubuh pasien terkait
terapi farmakologi yang telah ia terima. Penggunaan Narfoz (Ondansetron)
diminum apabila ada gejala mual dan muntah. Selain itu, pasien disarankan
melakukan terapi non farmakologi seperti; istirahat, mengontrol kebersihan dari
lingkungan dan makanan untuk perbaikan nutrisi dan melakukan aktivitas fisik
atau olahraga yang cukup.
DAFTAR PUSTAKA
Alba, S., Bakker M. I., Hatta, M., et al. 2016. Risk Factors of Typhoid Infection in
the Indonesian Archipelago. PLOS ONE, 11(6): 1- 14.
Arisetijono, E., Machlusil, H., Badrul, M., Dessika, R., 2017. Continouing
Neurology Education 4 Vertigo dan Nyeri. UB Press: Malang
Bula-Rudas, F.J., Rathore, M.H., and Maraqa, N.F. 2015. Salmonella Infections in
Childhood. Advances In Pediatrics, 62(1): 29-58.
Hartanto, Darius, 2021. Diagnosis dan Tatalaksana Demam Tifoid pada Dewasa.
Continuing Medical Education Ikatan Dokter Indonesia.
Dipiro, C.V., Joseph, T.D., Terry, L.S., Barbara, G.W., 2017. Pharmacotherapy
Handbook Tenth Edition. McGraw-Hill Education: New York.
https://www.mims.com/
https://www.drugbank.com/
https://www.drugs.com/
Harris JB, Brooks WA. Typhoid and paratyphoid (enteric) fever. In: Magil AJ,
Solomon, T, Ryan ET, eds. Hunter’s tropical medicine and emerging
infectious disease 9th ed. London: Saunders Elsevier; 2013. p. 568-76
Ihsan, M., Kurniawati, F., Khoirunnisa, H., & Chairini, B. Evaluation of Pain
Scale Decrease and Adverse Effects of Ketorolac. IndonesianJPharm. 2019;
30 (2) : 133-140
Nelwan, RHH. (2012). Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. CDK-192; 39 (4),
247-250
Nurfadly, dkk., 2021. 14 Bekal Dasar Dokter Puskesmas. UMSU Press: Medan
Pegues DA, Miller SI. Salmonellosis. In: Kasper DL, et al. (2015). Harrison
principles of internal medicine 19th ed. USA: Mc Graw Hill; p. 1049-53.
PKB LXIII, 2012. Update Management Of Infectious Diseases And
Gastrointestinal Disorders. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Departemen Ilmu Kesehatan Anak.
Putri, K.M., dan Sibuea, S. 2020. Penatalaksaan Demam Tifoid Dan Pencegahan
Holistik Pada Pasien Wanita Usia 61 Tahun Melalui Pendekatan Kedokteran
Keluarga. MEDULA Jurnal Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.
10:2
Sweetman, S. C., 2009. Martindale: The Complete Drug Reference. 36th ed.
Pharmaceutical Press: London.
Timur. W. W., 2021. Evaluasi Skala Nyeri Pasca Operasi Ortopedi Setelah
Penggunaan Injeksi Ketorolac Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung.
Archives Pharmacist ISSN: 2655-6073.
Yuswardi,D.W., Cut, M., Cindy, O. 2021. Analisa Laju Endap Darah (Led) Pada
Penderita Demam Tifoid Di Rsu Bandung Medan Tahun 2021. Jurnal
TEKENSOS. 3:2
LAMPIRAN
1. Hasil Rontgen Thorax AP/PA
2. Hasil Pemeriksaan Hematologi dan Serologi