Anda di halaman 1dari 58

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)

FARMASI RUMAH SAKIT

DI RUMAH SAKIT SILOAM MAKASSAR

ASUHAN KEFARMASIAN PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS


DEMAM TIFOID DAN FIBROSIS PARU

PERIODE 01 AGUSTUS – 30 AGUSTUS 2022

O L E H:

MUSTAWIA
N014212105

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)
FARMASI RUMAH SAKIT
DI RUMAH SAKIT SILOAM MAKASSAR

ASUHAN KEFARMASIAN PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS


DEMAM TIFOID DAN FIBROSIS PARU

PERIODE 01 AGUSTUS – 31 AGUSTUS 2022

DISUSUN OLEH:
MUSTAWIA
N014212105

Menyetujui,
Pembimbing PKPA Farmasi Rumah Sakit Pembimbing PKPA Farmasi Rumah Sakit
Program Studi Profesi Apoteker Rumah Sakit Siloam Makassar
Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin

Rina Agustina, S.Si., M.Pharm., SC, Apt apt.Jewel Sari Untung, S.Si
NIP. 19840707200902 2 011 NIK:

Mengetahui,

Koordinator PKPA Farmasi Rumah Sakit Kepala Instalasi Farmasi


Program Studi Profesi Apoteker Rumah Sakit Siloam Makassar
Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin

Prof. Dr. Elly Wahyuddin, DEA, Apt apt. Lidia Alto Topayung, S.Si
NIP. 19560114198601 2 001 NIP. 1041500039
BAB I
PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh infeksi
bakteri Salmonella enterica khususnya turunannya, Salmonella typhi (Alba, et al.,
2016). Namun dapat pula disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, Salmonella
typhi B, dan Salmonella paratyphi C. Komplikasi dapat lebih sering terjadi pada
individu yang tidak diobati sehingga memungkinkan terjadinya pendarahan dan
perforasi usus ataupun infeksi fecal seperti visceral abses (Naveed and Ahmed,
2016).
Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif yang menyebabkan
spektrum sindrom klinis yang khas termasuk gastroenteritis, demam enterik,
bakteremia, infeksi endovaskular, dan infeksi fecal seperti osteomielitis atau abses
(Naveed and Ahmed, 2016). Manifestasi klinis demam tifoid dimulai dari yang
ringan (demam tinggi, denyut jantung lemah, sakit kepala) hingga berat (perut
tidak nyaman, komplikasi pada hati dan limfa (Pratama dan Lestari, 2015).
Penyebab yang sering terjadi yaitu faktor kebersihan. Seperti halnya ketika makan
di luar apalagi di tempat-tempat umum biasanya terdapat lalat yang beterbangan
dimana-mana bahkan hinggap di makanan. Lalat-lalat tersebut dapat menularkan
Salmonella thyphi dari lalat yang sebelumnya hinggap di feses atau muntah
penderita demam tifoid kemudian hinggap di makanan yang akan dikonsumsi
(Padila, 2013).
Bakteri yang tertelan melalui makanan akan menembus membran mukosa
epitel usus, berkembang biak di lamina propina kemudian masuk ke dalam
kelenjar getah bening mesenterium. Setelah itu memasuki peredaran darah
sehingga terjadi bakterimia pertama yang asimtomatis, lalu bakteri akan masuk ke
organ-organ terutama hati dan sumsum tulang yang dilanjutkan dengan pelepasan
bakteri dan endotoksin ke peredaran darah sehingga menyebabkan
bakterimiakedua. Bakteri yang berada di hati akan masuk kembali ke dalam usus
merangsang pelepasan sitokin proinflamasi yang menginduksi reaksi inflamasi.
Respon inflamasi akut menyebabkan diare dan dapat menyebabkan ulserasi serta
penghancuran mukosa. Sebagian bakteri lainnya akan dikeluarkan bersama feses
(Bula-Rudas, et al., 2015).
Demam tifoid sering terjadi di beberapa negara di dunia dan umumnya terjadi
di negara-negara dengan tingkat kebersihan yang rendah. Penyakit ini menjadi
masalah kesehatan publik yang signifikan (OMS, 2013). Berdasarkan data WHO
(World Health Organisation) memperkirakan angka insidensi di seluruh dunia
sekitar 17 juta jiwa per tahun, angka kematian akibat demam tifoid mencapai
600.000 dan 70% nya terjadi di Asia. BerdasarkanWHO angka penderita demam
tifoid di Indonesia mencapai 81% per 100.000 (DEPKES RI, 2013).
Mengingat tingginya angka kesakitan demam tifoid serta akibat yang
ditimbulkan jika penyakit ini tidak segera di tangani akan sangat membahayakan
bagi manusia maka penanganan demam tifoid memerlukan perhatian khusus oleh
semua bidang kesehatan yang terkait, termasuk apoteker. Menurut Permenkes No.
72 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit, apoteker
dapat melakukan pelayanan klinik pada pasien, keluarga pasien, dan juga tenaga
kesehatan lainnya untuk mencapai hasil yang diharapkan. Oleh karena itu,
dilakukan studi kasus mengenai asuhan kefarmasian pada pasien dengan diagnosis
demam tifoid dan fibrosis paru. Studi kasus tersebut dilakukan dengan
menganalisis rasionalitas pengobatannya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I.1 Demam Tifoid


I.1.1 Pengertian demam tifoid
Demam tifoid (selanjutnya disebut tifoid/ paratifoid) adalah penyakit infeksi
akut saluran pencernaan (usus halus) yang disebabkan oleh Salmonella typhi atau
Salmonella enterica serovar paratyphi A, B dan C (S. paratyphi) (Purba, dkk.,
2016; Nurfadly, dkk., 2021). Penyakit ini ditandai dengan demam yang
berlangsung lebih dari satu minggu, gangguan pencernaan dan bisa sampai terjadi
gangguan kesadaran (Arfiana & Arum, 2016). Menurut Widoyono (2011) demam
tifoid dapat menular melalui fecal dan oral yang masuk ke dalam tubuh manusia
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mustofa, dkk., 2020)
Demam tifoid adalah demam enterik yang ditandai dengan penyakit sistemik
disertai nyeri perut dan demam dengan pola "step-ladder". Organisme penyebab
demam enterik adalah Salmonella typhi. Serotipe lain, Salmonella paratyphi (A,
B, C), juga menyebabkan sindrom serupa tetapi dengan penyakit yang kurang
signifikan secara klinis (Bhandari J, et.al. 2022)
I.1.2 Epidemiologi
Tifoid terdapat diseluruh dunia, terutama di negara-negara yang sedang
berkembang di dareah tropis. Penyakit ini sudah ada sejak beberapa abad yang
lalu. World Health Organisation (WHO) menyatakan bahwa, penyakit demam
tifoid di dunia mencapai 11-20 juta kasus per tahun yang mengakibatkan sekitar
128.000 - 161.000 kematian setiap tahunnya (WHO, 2018). Demam tifoid
biasanya lebih banyak menyerang anak-anak dan remaja. Demam tifoid ini
banyak terjadi terutama di negara berkembang dengan sanitasi rendah seperti
Afrika, Asia Tenggara, dan Amerika selatan. Di Afrika kejadian demam tifoid
mencapai 13 hingga 845 kasus per 100.000 populasi. Terdapat sekitar 1% kasus
kematian dengan penanganan dan 30%-40% kasus setelah perforasi usus.
Sedangkan di negara maju, kasus lebih banyak berasal dari wisatawan luar negeri
dan imigran (Virdania, dkk. 2018).
Indonesia dikenal sebagai negara tropis yang juga salah satu negara endemik
demam tifoid dengan angka kejadian demam tifoid mencapai 350-810 kasus per
100.000 populasi. Penyakit ini sempat menempati urutan kedua dari 10 penyakit
terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia pada tahun 2008.
Dikatakan, terdapat 60,5% pasien demam tifoid yang lama dirawat (Virdania, dkk.
2018).
Pada laporan lainnya, kasus demam tifoid di Indonesia dilaporkan dalam
surveilans tifoid dan paratifoid Nasional. Penyakit ini mencapai tingkat prevalensi
358-810/100.000 penduduk di Indonesia. Kasus demam tifoid ditemukan di
Jakarta sekitar 182,5 kasus setiap hari. Diantaranya, sebanyak 64% infeksi demam
tifoid terjadi pada penderita berusia 3-19 tahun. Namun, rawat inap lebih sering
terjadi pada orang dewasa (32% dibanding anak 10%) dan lebih parah. Kematian
akibat infeksi demam tifoid di antara pasien rawat inap bervariasi antara 3,1-
10,4% (sekitar 5-19 kematian sehari) (Typhoid Fever: Indonesia’s Favorite
Disease, 2016).
Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010, demam tifoid
menduduki peringkat ke-3 dengan jumlah penderita sebanyak 41.081 orang yaitu
19.706 laki-laki dan 21.375 perempuan. Sebanyak 274 penderita meninggal dunia
I.1.3 Patofisiologi
Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella thypi atau Salmonella
parathypi. Penularan ke manusia melalui makanan atau minuman yang tercemar
dengan feses manusia. Setelah melewati lambung kuman mencapai usus halus dan
invasi ke jaringan limfoid (plak peyer) yang merupakan tempat predileksi untuk
berkembang bia. Melalui saluran limfe mesenterik kuman masuk aliran darah
sistemik (bakterimia I) dan mencapai sel-sel retikulo endotelial dari hati dan
limfa. Fase ini dianggap masa inkubsai (7-14 hari). Kemudian dari jaringan ini
kuman dilepas ke sirkulasi sitemik (bakterimia II) melalui duktus torasikus dan
mencapai organ-organ tubuh terutama limfa, usus halus, dan kandung empedu
(MenKes, No. 6, 2006)
Kuman Salmonella menghasilakan endotoksin yang merupakan kompleks
lipolisakarida dan dianggap berperan penting pada patogenesis demam tifoid.
Endotoksin bersifat pirogenik dan memperbesar reaksi peradangan dimana kuman
Salmonella berkembang biak. Disamping itu merupakan stimulator yang kuat
untuk memperoduksi sitokin oleh sel-sel makrofag dan sel leukosit di jaringan
yang meradang. Sitokin ini merupakan mediator-mediator untuk timbulnya
demam dan gejala toksemia (proinflamatory). Oleh karena hasil Salmonella
bersifat intraseluler maka hampir semua bagian tubuh dapat terserang dan kadang-
kadang pada jaringan yang terinvasi dapat timbul fokal-fokal infeksi (MenKes,
No. 6, 2006).
Kelainan patologis yang utama terdapat di usus halus terutama diileum
bagian distal dimana terdapat kelenjar plak peyer. Pada minggu pertama, pada
plak peyer terjadi hiperpelasia berlanjut menjadi nekrosis pada minggu ke 2 dan
ulserasi pada minggu ke 3, akhirnya terbentuk ulkus. Ulkus ini mudah
menimbulkan perdarahan dan perforasi yang merupakan komplikasi yang
berbahaya. Hati membesar karena infiltrasi sel-sel limfosit dan sel mononuklear
lainnya serta nekrosis fokal. Demikian juga proses ini terjadi pada jaringan
retikuloendotelial lain seperti limfa dan kelenjar mesentrika. Kelainan-kelainan
patologis yang sama juga dapat ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang,
usus, paru, ginjal, jantung dan selaput otak. Pada pemeriksaan klinis, sering
ditemukan proses radang dan abses-abses pada banyak organ, sehingga dapat
ditemukan bronkhitis, arthritis septik, pielonefritis, meningitis, dll. Kandung
empedu merupakan tempat yang disenangi basil Salmonella. Bila penyembuhan
tidak sempurna, basil tetap tahan di kandung empedu ini, mengalir ke dalam usus,
sehingga menjadi karier intestinal (MenKes, No. 6, 2006).
Demikian juga ginjal dapat mengandung basil dalam waktu lama sehingga
juga menjadi karier (Urinary Carrier). Adapun tempat-tempat yang menyimpan
basil ini, memungkinkan penderita mengalami kekambuhan (relaps) (MenKes,
No. 6, 2006).
I.1.4 Cara penularan dan faktor-faktor yang berperan
Basil Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan minuman. Jadi
makanan atau minuman yang dikomsumsi manusia telah tercemar oleh komponen
feses atau urin dari pengidap tifoid. Beberapa kondisi kehidupan manusia yang
sangat berperan, pada penularan adalah: (MenKes, No. 6, 2006).
1. Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak
terbiasa.
Hal ini jelas pada anak - anak, penyaji makanan serta pengasuh anak.
2. Higiene makanan dan minuman yang rendah. Faktor ini paling berperan pada
penularan tifoid. Banyak sekali contoh untuk ini diantaranya: makanan yang
dicuci dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-
buahan), sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar
dengan debu, sampah, dihinggapi lalat, air minum yang tidak dimasak, dan
sebagainya.
3. Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran dan
sampah yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.
4. Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai
5. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat
6. Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna
7. Belum membudayakan program imunisasi untuk tifoid
I.1.5 Gejala Klinis
Demam tifoid adalah salah satu penyakit demam paling sering dijumpai di
negara berkembang. Setelah menjalani masa inkubasi selama 7 sampai 14 hari,
maka akan timbul beberapa gejala klinis yang sering pada tifoid, diantaranya:
(MenKes, No. 6, 2006; Nurfadly, dkk., 2021).
1. Demam
Demam atau panas adalah gejala utama tifoid. Pada awal sakit, demamnya
kebanyakan samar samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering turun naik. Pagi
lebih rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi (demam intermitten).
Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi yang disertai banyak gejala
lain seperti sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan diarea frontal,
nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu
ke 2 intensitas demam makin tinggi, kadang-kadang terus menerus (demam
kontinyu). Bila pasien membaik maka pada minggu ke 3 suhu badan berangsur
turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke 3. Perlu diperhatikan
terhadap laporan, bahwa demam yang khas tifoid tersebut tidak selalu ada.
Tipe demam menjadi tidak beraturan. Hal ini mungkin karena intervensi
pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal. Pada anak
khususnya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang.
2. Gangguan saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama.
Bibir kering dan kadang kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan
ditutupi selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated
tongue atau selaput putih), dan pada penderita anak jarang ditemukan. Pada
umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama regio epigastrik
(nyeri ulu hati), disertai nausea, mual dan muntah. Pada awal sakit sering
meteorismus dan kontipasi. Pada minggu selanjutnya kadang- kadang timbul
diare.
3. Gangguan Kesadaraan Umumnya
Terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan
kesadaran ringan Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran seperti
berkabut (tifoid). Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen dan
koma atau dengan gejala - gejala psychosis (Organic Brain Syndrome). Pada
penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.
4. Hepatosplenomegali
Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan
nyeri tekan.
5. Bradikardia relatif dan gejala lain
Bradikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis
pemeriksaan yang sulit dilakukan Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu
tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi Patokan yang sering
dipakai adalah bahwa setiap peningkatan suhu 1 ° C tidak diikuti peningkatan
frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Gejala - gejala lain yang dapat
ditemukan pada demam tifoid adalah rose spot yang biasanya ditemukan
diregio abdomen atas, serta sudamina, serta gejala gejala klinis yang
berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot pada anak sangat
jarang ditemukan malahan lebih sering epitaksis.
I.1.6 Penatalaksanaan tifoid
Kebijakan dasar pemberian antimikroba sebagai berikut:
1. Antimikroba segera diberikan bila diagnosis klinis demam tifoid telah dapat
ditegakkan, baik dalam bentuk diagnosis konfirmasi, probable, maupun
suspek.
2. Seblum antimikroba diberikan, harus diambil spesimen darah atau sumsum
tulang lebih dulu untuk pemeriksaan biakan kuman Salmonella (biakan gaal),
kecuali fasilitas ini betul-betul tidak ada dan tidak bisa dilaksanakan
3. Antimikroba yang dipilih harus mempertimbangkan:
a. Telah dikenal sensitif dan potensial untuk tifoid
b. Mempunyai sifat farmakokinetik yang dapat berpenetrasi dengan baik ke
jaringan serta mempunyai afinitas yang tinggi menuju organ sasaran.
c. Berspektrum sempit
d. Cara pemberian yang mudah dan dapat ditoleransi dengan baik oleh
penderita termasuk anak dan wanita hamil
e. Efek samping yang minimal
f. Tidak mudah resisten dan efektif mencegah karier
pilihan antimikroba (antibiotik) menurut MenKes nomor 6 (2006), untuk
demam tifoid yang dikemukakan dalam tabel di bawah adalah yang telah dikenal
sensitif dan efektif untuk demam tifoid serta merupakan pilihan dan dipilih dari
hasil uji kepekaan. Berikut ini tabel antimikroba untuk penderita demam tifoid
Tabel 2.1 antimikroba untuk penderita demam tifoid
(MenKes, No. 6, 2006)
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan
gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak kalah
penting adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan
carrier. Pilihan utama antibiotik tergantung pola kerentanan kuman S. typhi dan
S. paratyphi di area tertentu. Terapi first-line original adalah kloramfenikol,
ampisilin, dan trimethropim-sulfametoksazol (Nelwan, 2012; Hartanto, 2021).
Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009 menyimpulkan
bahwa pada demam enterik dewasa, fluoroquinolone lebih baik dibandingkan
chloramphenicol untuk mencegah kekambuhan. Namun, fluoroquinolone tidak
diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan
dan kerusakan sendi (Nelwan, 2012). Efikasi, ketersediaan, dan biaya merupakan
kriteria penting dalam pemilihan antibiotik lini pertama yang akan digunakan di
negara berkembang. Kloramfenikol, terlepas dari risiko agranulositosis pada 1 per
10.000 pasien, masih banyak diresepkan di negara berkembang untuk pengobatan
demam tifoid (Nurfadly, dkk., 2021)
Strain S. typhi dari banyak wilayah di dunia, misalnya sebagian besar negara
di Afrika dan Asia, tetap sensitif terhadap obat ini dan tersedia secara luas di
sebagian besar fasilitas kesehatan primer di negara berkembang untuk pengobatan
demam tifoid. Ampisilin dan amoksisilin diberikan pada dosis 50 sampai 100 mg
per kg berat badan per hari secara oral, i.m. atau i.v., dibagi menjadi tiga atau
empat dosis. Tidak ada manfaat yang dilaporkan dengan penambahan asam
klavulanat ke amoksisilin. Sefalosporin generasi ketiga, sefiksim oral (15-20 mg
per kg berat badan per hari untuk orang dewasa, 100-200 mg dua kali sehari) telah
banyak digunakan pada baik pada dewasa maupun anak-anak dan terbukti
memuaskan. Azitromisin dalam dosis 500 mg (10 mg / kg) yang diberikan sekali
sehari selama tujuh hari telah terbukti efektif dalam pengobatan demam tifoid
pada orang dewasa dan anak-anak dengan waktu penurunan suhu badan sampai yg
normal serupa dengan yang dilaporkan untuk kloramfenikol. Dosis 1 gram per
hari
selama lima hari juga efektif pada orang dewasa (World Health Organization.
2003). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel 2.1.
Tabel 2.2 Pilihan antibiotik untuk demam tifoid
(Pegues & Miller, 2015)
Diantara banyaknya pilihan antibiotik yang dapat dipilih berdasarkan tabel
2.1. Terdapat pilihan antibiotik yang lebih disukai (preferable), seperti:
Ceftriaxone, Ciprofloxacin, azitrhomisin, dan cefixim-ofloxasin. Lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel 2.2

Tabel 2.3 Pilihan antibiotik yang lebih disukai (preferable)


(Veeraraghavan, et.al., 2018)
I.1.7 Pencegahan
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan makanan
dan minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama
menyangkut
kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih
sehari-hari. Strategi pencegahan ini menjadi penting seiring dengan munculnya
kasus resistensi (Nelwan, 2012). Selain itu, dikembangkan juga vaksin untuk
tindakan pencegahan tehadap demam tifoid. Ada tiga jenis vaksin tifoid yang
telah beredar luas dan dapat digunakan:

Tabel 2.4 Pilihan antibiotik yang lebih disukai (preferable)


(Harris & Brooks., 2013)
Dikutip pada Continuing Medical Education yang ditulis oleh Hartanto
(2021). Selain kedua vaksian pada tabel 2.4. vaksin yang dapat digunakan juga
yaitu vaksin konjugat tifoid generasi terbaru (TCV), dengan produk berlisensi saat
ini yang terdiri dari antigen polisakarida Vi yang terkait dengan protein tetanus
toksoid.
Pada tahun 2018, WHO merekomendasikan TCV untuk pemberian
intramuskular dosis tunggal (0,5 mL) pada anakanak usia ≥ 6 bulan dan pada
orang dewasa hingga usia 45 tahun. Vaksin ViPS direkomendasikan untuk
pemberian intramuskular atau subkutan pada individu berusia 2 tahun ke atas.
Vaksin Ty21a tersedia dalam kapsul berlapis enterik yang direkomendasikan
untuk pemberian oral pada hari-hari alternatif dalam rejimen tiga dosis pada orang
di atas usia 6 tahun. Vaksinasi berulang direkomendasikan untuk ViPS setiap tiga
tahun, dan untuk Ty21a setiap tiga hingga tujuh tahun di sebagian besar daerah
endemik atau setiap satu hingga tujuh tahun untuk pelancong dari daerah non-
endemik ke daerah endemik (World Health Organization. 2018)
I.2 Fibrosis Paru
I.2.1 Pengertian fibrosis paru
Fibrosis paru didefinisikan sebagai sesuatu yang tidak dapat diprediksi, tidak
dapat diubah, penyakit paru-paru progresif dan fatal yang berkembang dari
penyebab yang tidak diketahui yang mempengaruhi jaringan di sekitar kantung
udara atau alveolus (Terry, 2021).
I.2.2 Epidemiologi
Fibrosis paru lebih sering terjadi pada pria daripada wanita dan biasanya
hadir dalam dekade keenam atau ketujuh. Mirip dengan PPOK, sekitar 70%
pasien dengan fibrosis paru memiliki riwayat merokok. Insiden dan prevalensi
fibrosis paru yang dilaporkan sangat bervariasi tergantung pada kepastian dan
metode pelaporan. Berdasarkan algoritma berbasis klaim, kejadian fibrosis paru di
Amerika Serikat baru-baru ini diperkirakan 5,6 per 100.000 orang/ tahun
(Pleasants & Robert, 2019)
Fibrosis paru jarang terjadi dalam isolasi: hampir semua pasien dengan
fibrosis paru memiliki setidaknya 1 komorbiditas, dan banyak yang memiliki
beberapa komorbiditas umum termasuk hipertensi pulmonal, PPOK, emfisema,
penyakit refluks gastroesofageal (GERD), diabetes melitus, dan penyakit jantung
iskemik (Pleasants & Robert, 2019).
I.2.3 Patofisiologi
Fibrosis paru terjadi ketika jaringan paru normal diganti dengan jaringan
parut, yang menyebabkan gangguan gas pertukaran dan pengurangan oksigenasi
darah (Gambar 2.1). Ciri histopatologis fibrosis paru adalah penampilan
heterogen secara temporal dan spasial dengan area fokus fibrosis dan sarang lebah
berubah secara bergantian dengan area parenkim yang kurang terpengaruh atau
normal. Fokus fibroblastik kumpulan yang tidak teratur pada alveolus tipe II sel
epitel yang berhubungan dengan fibroblas dianggap sebagai lesi patologis utama
pada fibrosis paru (Pleasants & Robert, 2019).
Gambar 2.1 Paru-paru yang sehat (A) dan kerusakan paru-paru pada fibrosis paru (B)
(Pleasants & Robert, 2019).
I.2.4 Penatalaksanaan fibrosis paru
Fibrosis paru memiliki sejarah panjang mencoba dan gagal pilihan
pengobatan. American Thoracic Society (ATS), bersama dengan lainnya
organisasi profesi, telah menerbitkan pedoman dan rekomendasi komprehensif
yang berkaitan dengan penggunaan obat farmakologis untuk mengontrol
perkembangan penyakit. Warfarin dan antikoagulan lainnya telah dipelajari,
berdasarkan pengamatan bahwa keadaan prokoagulan mendorong perubahan
fibrotik pada jaringan paru. Namun,
penggunaan antikoagulan tidak dianjurkan pada pasien dengan fibrosis paru
karena kurangnya kemanjuran dan potensi bahaya yang tinggi (Dunn, 2018).
Imunosupresan juga telah masuk sorotan sebagai pengobatan yang mungkin
untuk fibrosis paru, tetapi sebuah studi klinis yang menyelidiki kemanjurannya
dari rejimen tiga obat termasuk prednison, azathioprine, dan N-acetylcysteine
dihentikan lebih awal karena peningkatan risiko untuk menyakiti. Antagonis
endotelin dan poten inhibitor tirosin kinase juga tidak direkomendasikan dalam
edisi terbaru pedoman fibrosis paru, karena kurang bermanfaat (Dunn, 2018).
Pengembangan obat untuk fibrosis paru difokuskan pada senyawa diyakini
menargetkan jalur dasar fibrosis. Setelah uji klinis yang gagal selama beberapa
dekade, 2 obat, nintedanib dan pirfenidone, ditunjukkan dalam uji coba terkontrol
plasebo acak besar untuk memperlambat penurunan fungsi paru-paru, dengan
profil keamanan dan tolerabilitas yang dapat diterima, dan telah disetujui oleh
Food and Drug Administration AS pada tahun 2014. Pedoman praktik klinis
terbaru untuk pengobatan fibrosis paru, yang dikeluarkan pada Juli 2015, memberi
persyaratan rekomendasi untuk penggunaan nintedanib dan pirfenidone,
menunjukkan bahwa mereka akan menjadi pilihan yang tepat untuk sebagian
besar pasien, sambil mengakui bahwa pilihan yang berbeda akan sesuai untuk
masing-masing pasien, dan bahwa nilai dan preferensi pasien harus
dipertimbangkan ketika membuat keputusan tentang perawatan mereka (Pleasants
& Robert, 2019).
Pedoman tersebut berisi rekomendasi kuat atau bersyarat terhadap beberapa
farmakoterapi yang telah terbukti tidak efektif seperti: terapi untuk IPF, termasuk
obat yang disetujui untuk digunakan di indikasi seperti bosentan, ambrisentan,
sildenafil, dan warfarin. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat penggolongan terapi
pada tabel 2.5 berikut ini
Tabel 2.5 Karakteristik pemilihan terapi fibrosis paru
(Dunn, 2018).
Menurut Ragu, et.al. (2022). Terapi fibrosis paru seperti pada gambar
dibawah ini

Gambar 2.2 penatalaksanaan fibrosis paru


BAB III
STUDI KASUS
III.1 Profil Pasien
Nama pasien : Tn. IK
Umur : 38 tahun
Berat badan : 61
Tinggi badan : 167 cm
Jenis kelamin : Laki-laki
No. RM : 00xxxx
Rawat inap : Executive Suite New
Tanggal masuk RS : 4 Mei 2022
Tanggal keluar RS : 13 Mei 2022
III.2 Profil Penyakit
Keluhan utama : Demam sejak 3 hari, batuk berdahak (+), flu (+),
nyeri tenggorokan (+), mual (+), muntah (-),
Nyeri sendi (+), badan pegal (+), BAB dan BAK
baik
Riwayat penyakit : Covid-19 dua kali.
Riwayat sosial :
Diagnosa awal : ISPA + Susp. Dengue Fever
Diagnosis akhir : Infeksi demam tifoid aktif dan ISPA.
Riwayat pengobatan : Tidak ada
III.3 Data Klinik Pasien
Berdasarkan hasil pemeriksaan pasien oleh dokter maka diperoleh data
klinik pasien dari tanggal 4 Mei 2022 – 12 Mei 2022. Data tersebut dapat
dilihat seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel 3. 1. Data Klinik Pasien Selama Perawatan


Pemeriksaan Nilai 4/5/22 5/5/22 6/5/22 7/5/22 8/5/22 9/5/22 10/5/2 11/5/2 12/5/22
Normal 2 2
Tekanan <140/80 133/ 120/ 120/ 120/ 110/ 120/ 140/ 153/ 140/
darah 78 69 80 68 72 80 80 92 68
(mmHg)
Pernapasan 16-24 20 20 20 18 18 20 20 20 20
(kali/menit)
Denyut nadi 80-100 95 82 80 70 71 79 84 80 82
(kali/menit)
Suhu (oC) 36-37,5 37 36,5 37,2 37,4 37,9 37,2 37 36,3 36,2
Nyeri ulu hati - + + +/- + + + +/- +/-
Sesak - - - - - - - - -
Batuk + + +/- +/- +/- +/- +/- +/- +/-
Mual + + - - - - - - -
Muntah + - - - - - - - -
Lemah + + + - - - - - -
Sulit BAK - - - - - - - - -
Sulit BAB - + - - - - - - -
Nyeri kepala + + + +/- +/- - - - -
Nyeri sendi + + +/- - - - - - -
Pusing + + + - - - - - -
Ket.
+ : Ada gejala
- : Tidak ada gejala
+/- : Gejala berkurang
Biru : Rendah
III.4 Data Laboratorium
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium terhadap pasien, maka
diperoleh data klinik seperti pada tabel 3.2 dan tabel 3.3
Tabel 3. 2. Data Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Nilai Normal Satuan 04/5/22 06/5/22
WBC 4,0-10,0 103/uL 9,2 8,2
Neu. 36-73 % 61,1 49,9
Lym. 20-40 % 26 33,8
Mon. 0-11 % 10,5 12,4
Eos. 0-4 % 1,9 3,4
Bas. 0-1 % 0,5 0,5
RBC 4,5 – 6,2 106/uL 4,26 4,84
HGB 13,0 – 17,0 g/dL 13,5 12,0
HCT 40,1 – 51,0 % 37,6 33,9
MCV 79,0-92,2 fL 88,3 88,3
MCH 25,6-32,2 Pg 31,7 31,3
MCHC 32,2-36,5 g/dL 35,9 35,4
PLT 150-400 103/uL 297 276
LED 0-15 mm - 25
SGOT <27 U/L 22 -
SGPT <55 U/L 28 -
GDS ≤ 140 mg/dl 126 -
Na+ 136-145 mmol/L 136 -
K+ 3.5-5.1 mmol/L 3.6 -
Ureum 16-48 mg/dL 14 -
Kreatinin 0.67-1.17 mg/dL 0.95 -
eGFR - ml/min/1.73 101 -
Ket.
Merah : Tinggi
Biru : Rendah
Tabel 3. 3. Data Hasil Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan Nilai Rujukan Satuan 06/5/22
Sars-Cov Negatif - Negatif
S. tiphi O Negatif - Pos 1/320
S. tiphi H Negatif - Pos 160
S. paratphi AO Negatif - Pos 1/80
S. paratiphi AH Negatif - Pos 1/80
S. paratiphi BO Negatif - `Pos 1/80
S. paratiphi BH Negatif - Pos 1/160
S. paratiphi CO Negatif - Negatif
S. paratiphi CH Negatif - Pos 1/80
Malaria rapid Negatif - Negatif
III.5 Pemeriksaan radiologi
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap pasien, maka diperoleh data
pemeriksaan radiologi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Hasil temuan Paru: Fibrosis Parahiler kiri
Mediastrum: Normal
Trakea dan bronkus: Normal
Hilus: Normal
Pleura: Normal
Diafragma; Normal
Jantung: Normal
Aorta: Normal
Vertebra thorakal dan tulang-tulang lain: Normal
Jaringan lunak: Normal
Abdomen yang tervisualisasi: Normal
Leher yang tervisualisasi: Normal
Kesan Thoraks Fibrosis Parahiler kiri
Untuk lembar hasil pemeriksaan radiologi CT scan kepala pasien dapat
dilihat pada lampiran 1.
III.6 Profil Pengobatan
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan gejala penyakit dari kondisi pasien selama dirawat di rumah sakit diberikan terapi
pengobatan seperti pada tabel 3.4.
Tabel 3. 3. Profil Pengobatan Pasien Selama Perawatan

Kemasan/ Aturan pakai Tanggal pemerian


No Nama obat
kekuatan dan rute 4/5 5/5 6/5 7/5 8/5 9/5 10/5 11/5 12/5
Botol @500
1 Tutosol 18 tpm/infus/iv       Stop
ml
Sanmol Botol
2 1 g/8jam /inf         
(Paracetamol) @1g/100 ml
Cefratam
3 (Cefoperazone Vial @1 g 1 g/12jam/inj    Stop
sulbactam)
Pranza 40mg
4 Vial @40 mg         
(Pantoprazole) /12jam/inj
Remopain Syringe @30
5 30mg/8jam/inj         
(ketorolac) mg/ml
6 Narfoz Ampul @ 4 4mg/8jam/inj         
(Ondansetron) mg
Rhinoz SR
Kapsul 1 caps/12jam/
7 (Pseudoefedrin     Stop
@120+5mg oral
+ Loratadin)
Resfar Botol
8 5 g/24jam/inf       Stop
(Acetylcysteine) @5g/25ml
Botol
Cravit 750mg 24
9 @750mg/ - - -      
(Levofloxacin) jam/inf
150 ml
Imbost force Tablet 660mg/
10 - -       
(Multi vitamin) @660mg 12jam/Oral
Dulkolax 5mg/24jam
11 Tablet @5mg -  Stop -
(Bisacodyl) /oral
( ) : Diberikan

Stop : Pemerian obat dihentikan

(-) : tidak diberikan


III.7 Analisis Rasionalitas
Berdasarkan data pemberian obat kepada pasien tersebut maka diperoleh
analisis rasionalitas terhadap pemakaian obat-obat pasien. Data tersebut dapat
dilihat pada tabel 3.5.
Tabel 3. 5. Data Analisis Rasionalitas Pengobatan Pasien Selama Dirawat di Rumah
Sakit Siloam Makassar

Rasionalitas

NO Nama Obat Auran Cara Lama


Indikasi Obat Dosis Pasien
pakai Pemberian Pemberian

1 Tutosol R R R R R R R

2 Sanmol R R R R R R R

3 Cefratam IR IR R R IR R IR

4 Pranza R R IR R R IR R

5 Remopain IR IR R R R R IR

6 Narfoz R R IR R R R IR

7 Rhinoz SR R R R R R R R

8 Resfar R R R R R R R

9 Cravit R R R R R R R

10 Imbost force R R R R R R R

11 Dulkolax R R R R R R R
III.8 Analisis SOAP
Kondisis Klinis
Tangga
DRP (Assesment) Rekomendasi (Plan)
l
Subjek Objek

4-5-22 Pasien mengatakan HCT: 37,6% Cefratam (Cefoperazone Disarankan menggunakan


demam sejak 3 hari, VAS: 3 sulbactam) bukan merupakan Nintedanib atau
batuk berdahak, flu, Terapi: pilihan utama untuk terapi Pirfenidone sebagai obat
nyeri tenggorokan, Cefratam pengobatan fibrosis paru. lini pertama pada penyakit
nyeri sendi, nyeri Remopain fibrosis paru (USP, 2021).
kepala, pusing, mual, Pranza Terapi Remopain (ketorolac) Disarankan remopain
muntah dan badan Diagnosis: Dengue Fever kurang tepat untuk score nyeri disubtitusi dengan
pegal. dan Fibrosis Paru. skala 3 (kategori ringan). celecoxib dengan dosis
Selain itu efek samping dari awal 400 mg dan dosis
penggunaan ketorolac pemeliharaan 200 mg
berpotensi memperparah nyeri setiap 8 jam (Dipiro, et al.,
ulu hati pasien (Kemenkes RI, 2017).
2017).
Rute pemberian dan dosis Disarankan untyk
kurang tepat pada penggunaan menurunkan dosis menjadi
Pranza (Pantoptazole) untuk 20 mg dengan pemberian
profilaksis tukak yang secara oral untuk
diinduksi NSAID. profilaksis tukak yang
diinduksi NSAID (MIMS,
2022).
5-5-22 Pasien mengatakan VAS: 3
demam, nyeri ulu hati, Terapi:
batuk berdahak, nyeri Cefratam
sendi, pusing, nyeri Remopain *Sda *Sda
kepala, mual, badan Diagnosis: Demam
III.10 Uraian Obat
1. Tutosol (Fima Infusion. Ltd)
a. Kemasan/ Komposisi
Larutan Tutosol adalah larutan steril isotonik yang mengandung
Natrium klorida 1,812 g/L, Kalium klorida 0,671 g/L, Calsium klorida 0,147
g/L, Magnesium klorida 0,305 g/L, Sorbitol 25 g/L dan Natrium asetat
2.586 g/L dicampur ke dalam larutan dengan osmolaritas 500 mOsm/L dan
pH sekitar 6,5.
b. Indikasi
Larutan Tutosol diindikasikan untuk memenuhi kebutuhan air dan
elektrolit pada masa preoperatif, intraoperatif, dan postoperatif, untuk
memenuhi sebagian kebutuhan karbohidrat, dehidrasi isotonik, kehilangan
cairan ekstrasel, dan sebagai larutan pembawa.
c. Kontraindikasi
Tutosol dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan ginjal,
intoleransi terhadap fruktosa, atau sorbitol, defisiensi fruktosa-1-6-difosfat,
keracunan metil alkohol.
d. Efek samping
Reaksi yang dapat terjadi disebabkan karena larutan tempat suntikan
atau teknik pemberian, termasuk respon demam, infeksi pada suntikan,
trombosis vena atau plebitis pada tempat suntikan ekstravasasi dan
hipervolemia.
e. Dosis dan aturan pakai
Dosis berdasarkan kebutuhan individual atau 30 mL/KgBB/hari (setara
dengan 1,5 g sorbitol/KgBB/hari). Pada pasien berat badan 70 Kg 2 liter per
hari dengan kecepatan infus sampai 6 mL/menit (120 tetes/menit)
f. Perhatian dan peringatan
Pastikan fungsi ginjal adekuat. Hati-hati pada pasien dengan
hiperkalemia dan hiperhidrasi. Tidak digunakan untuk terapi syok. Larutan
yang mengandung ion natrium harus digunakan dengan hati-hati terutama
pada pasien dengan gagal jantung kongestif , gangguan ginjal berat dan
pada keadaan klinis dimana terdapat edema dengan retensi natrium.
Pemberian larutan intravena dapat menyebabkan overload larutan/pelarut
yang menyebabkan dilusi konsentrasi elektrolit serum, overhidrasi, keadaan
kongesti atau edema paru. Risiko keadaan dilusi secara proporsional
berbanding terbalik dengan konsentrasi elektrolit dari larutan yang diberikan
secara parenteral. Keadaan edema perifer dan paru secara proporsional
berbanding lurus dengan konsentrasi elektrolit dari larutan tersebut .
g. Interaksi obat
Larutan Tutosol mengandung ion Ca++; penambahan fosfat anorganik
dapat menyebabkan pembentukan endapan.
2. Sanmol (MIMS, 2022)
a. Kemasan/ Komposisi
Tersedia dalam sediaan botol 100 ml dengan kandungan paracetamol
1g dan tersdia dalam bentuk tablet yang mengandung paracetamol 500 mg.
b. Indikasi
Paracetamol merupakan obat yang dapat digunakan untuk mengatasi
demam dan nyeri ringan sampai sedang.
c. Mekanisme Kerja
Parasetamol menunjukkan tindakan analgesik dengan penyumbatan
perifer dari generasi impuls nyeri. Ini menghasilkan antipiresis dengan
menghambat pusat pengatur panas hipotalamus. Aktivitas anti-inflamasinya
yang lemah terkait dengan penghambatan sintesis prostaglandin di Sistem
Saraf Pusat (SSP).
d. Dosis dan Aturan Pakai
Dewasa: 33-50 kg: 15 mg/kg setiap 4-6 jam jika diperlukan. Maksimal
3g setiap hari. >50 kg: 1 g setiap 4-6 jam jika diperlukan. Maksimal 4g
setiap hari. Berikan melalui infus selama 15 menit.
Anak: Neonatus cukup bulan dan anak <10 kg: 7,5 mg/kg sebagai
dosis tunggal, minimal 4 jam. Maks: 30mg/kg/hari; 10-33 kg: 15 mg/kg
sebagai dosis tunggal, minimal 4 jam. Maks: 2g setiap hari; 33-50 kg: 15
mg/kg sebagai dosis tunggal, minimal 4 jam. Maks: 3g setiap hari; >50 kg:
Sama seperti dosis dewasa.
e. Kontraindikasi
Dikontraindikasikan terhadap pasien hipersensitivitas dan gangguan
hati berat atau penyakit hati aktif (IV).
f. Efek samping
Efek samping dari penggunaan paracetamol adalah trombositopenia,
leukopenia, neutropenia, pansitopenia, methaemoglobinaemia,
agranulositosis, angioedema, nyeri dan sensasi terbakar di tempat suntikan.
Gangguan gastrointestinal juga kadang terjadi seperti mual, muntah,
konstipasi. Berpotensi fatal dapat mengakibatkan hepatotoksisitas, nekrosis
tubulus ginjal akut
g. Interaksi obat
Penurunan penyerapan dengan Kolesteramin. Penurunan konsentrasi
serum dengan rifampisin dan beberapa antikonvulsan (misalnya fenitoin,
fenobarbital, karbamazepin, primidon). Meningkatkan efek antikoagulan
warfarin dan kumarin lainnya dengan penggunaan jangka panjang.
Peningkatan penyerapan dengan metoclopramide dan domperidone.
Peningkatan konsentrasi serum dengan probenesid. Dapat meningkatkan
konsentrasi serum kloranfenikol.
h. Perhatian dan peringatan
Paracetamol harus digunakan dengan hati-hati pada kasus
1) Infusiensi hepatoseluler
2) Infusiensi ginjal berat (bersihan kreatinin <30 mL/ menit)
3) Alkoholisme kronis
4) Malnutrisi kronis
5) Dehidrasi.
3. Cefratam (MIMS, 2022)
a. Kemasan/ Komposisi
Tersedia dalam sediaan vial dengan kandungan cefoperazone 1 g dan
sulbactam 500 mg.
b. Indikasi
Cefoperazone sulbactam merupakan antibitik yang dapat digunakan
untuk infeksi tulang dan sendi, ginfeksi ginekologi, infeksi intra-abdominal,
meningitis, infeksi saluran pernapasan, septikemia, infeksi kulit dan jaringan
lunak, infeksi saluran kemih.
c. Mekanisme Kerja
Cefoperazone adalah sefaloforin generasi ke-3 yang menghambat tahap
akhir sintesis dinding sel bakteri dari sel yang aktif membelah dengan
mengikat protein pengikat penisilin (PBPs) spesifik. Hal ini rentan terhadap
degradasi oleh -laktamase yang diproduksi oleh bakteri resisten tertentu.
Sulbactam, sulfon asam penisilanat, menghambat aktivitas -laktamase,
sehingga mencegah inaktivasi cefoperazone dan meningkatkan spektrum
aktivitas cefoperazone. Itu tidak memberikan efek antibakteri yang
signifikan secara klinis saja, kecuali terhadap Neisseriaceae dan
Actinobacter.
d. Dosis dan Aturan Pakai
Dewasa: Dosis yang dianjurkan: 1 g/1 g hingga 2 g/2 g (rasio 1:1).
Pada infeksi berat atau refrakter, dosis dapat ditingkatkan hingga 4 g/4 g
(rasio 1:1). Semua dosis diberikan setiap 12 jam dalam dosis terbagi sama
melalui injeksi IV selama 3 menit, infus IV selama 15-60 menit atau IM.
Pemberian tambahan cefoperazone (tanpa sulbaktam) mungkin diperlukan
pada pasien yang menerima rasio dosis 1:1. Dosis maksimum sulbaktam: 4
g setiap hari. Dosis bersifat individual berdasarkan patogen rentan yang
diharapkan, tingkat keparahan dan tempat infeksi.
Anak: Dosis yang direkomendasikan: 0,02 g/0,02 g/kg hingga 0,04
g/0,04 g/kg setiap hari (rasio 1:1). Pada infeksi serius atau refrakter, dosis
dapat ditingkatkan menjadi 0,08 g/0,08 g/kg setiap hari (rasio 1:1). Semua
dosis diberikan setiap 6-12 jam dalam dosis terbagi sama melalui injeksi IV
selama 3 menit, infus IV selama 15-60 menit, atau IM. Pada neonatus, dosis
diberikan setiap 12 jam. Dosis maksimum sulbaktam: 0,08 g/kg/hari.
e. Kontraindikasi
Dikontraindikasikan terhadap pasien hipersensitivitas terhadap
cefoperazone, sulbactam, atau antibakteri β-laktam lainnya (misalnya
sefalosporin, penisilin).
f. Efek samping
Efek samping dari penggunaan cefoperazone sulbactam adalah
efisiensi vitamin K yang menyebabkan koagulopati, pertumbuhan berlebih
organisme yang tidak peka (penggunaan jangka panjang), neutropenia,
leukopenia, eosinofilia, trombositopenia, hipoprotrombinaemia, penyakit
kuning, Penurunan hemoglobin, hematokrit; peningkatan AST, ALT, alkali
fosfatase darah, bilirubin darah, sakit kepala, hematuria, pruritus, urtikaria,
ruam makulopapular, hipotensi, vaskulitis. Berpotensi Fatal: Diare terkait
Clostridium-difficile, reaksi hipersensitivitas termasuk anafilaktoid dan
reaksi merugikan kulit yang parah (misalnya nekrolisis epidermal toksik,
sindrom Stevens-Johnson, dermatitis eksfoliatif); perdarahan serius.
g. Interaksi obat
Dapat meningkatkan INR dengan antikoagulan (misalnya warfarin)
sehingga meningkatkan risiko perdarahan.
h. Perhatian dan peringatan
Pasien dengan/diet buruk, malabsorpsi atau menerima nutrisi parenteral
untuk jangka panjang; gangguan fungsi hati & ginjal. Hamil & laktasi
4. Pranza (MIMS, 2022)
a. Kemasan/ Komposisi
Tersedia dalam sediaan vial dengan kandungan pantoprazole 40mg.
b. Indikasi
Pantoprazole merupakan pengobatan penyakit refluks gastroesofageal
yang berhubungan dengan riwayat esofagitis erosif, profilaksis tukak yang
diinduksi NSAID dan penyakit Zollinger-Ellison.
c. Mekanisme Kerja
Pantoprazole adalah agen antisekresi lambung benzimidazole
tersubstitusi dan juga dikenal sebagai inhibitor pompa proton (PPI). Ini
memblokir langkah terakhir dalam sekresi asam lambung dengan
penghambatan spesifik sistem enzim adenosin trifosfatase (ATPase) H+/K+
yang ada pada permukaan sekretori sel parietal lambung. Asam basal dan
asam terstimulasi keduanya dihambat.
d. Dosis dan Aturan Pakai
Dewasa: Zollinger-Ellison; 80 mg sekali atau dua kali sehari sebagai
injeksi lambat atau infus jangka pendek selama 2-15 menit. Penyakit refluks
gastro-esofagus, tukak lambung; 40 mg setiap hari sebagai injeksi lambat
atau infus jangka pendek selama 2-15 menit. Profilaksis tukak yang
diinduksi NSAID 20 mg sekali sehari.
Anak: 5 tahun 15–40 kg: 20 mg sekali sehari hingga 8 minggu; >40 kg:
40 mg sekali sehari hingga 8 minggu.
e. Kontraindikasi
Dikontraindikasikan untuk penggunaan bersamaan dengan rilpivirine dan
atazanavir
f. Efek samping
Hipomagnesemia, lupus eritematosus kulit, SLE, fraktur terkait
osteoporosis, polip kelenjar fundus, karsinoma, diare terkait Clostridium
difficile, nefritis interstisial, Defisiensi vitamin B12 (terapi jangka panjang),
infeksi saluran cerna (mis. salmonella, Campylobacter), mual, muntah,
diare, konstipasi, perut kembung, sakit perut, dispepsia, mulut kering,
asthenia, kelelahan, malaise,
g. Interaksi obat
Dapat menurunkan konsentrasi plasma rilpivirine dan atazanavir.
Peningkatan risiko hipomagnesemia dengan diuretik. Peningkatan risiko
efek kardiotoksik yang diinduksi digoxin. Dapat meningkatkan INR dan
waktu protrombin warfarin. Dapat meningkatkan konsentrasi plasma
metotreksat. Dapat menurunkan absorpsi itrakonazol, ketokonazol,
posakonazol, erlotinib. Dapat mengurangi efek terapeutik clopidogrel.
h. Perhatian dan peringatan
Pasien dengan keganasan lambung, faktor risiko penurunan penyerapan
vitamin B12 atau berisiko osteoporosis. Gangguan hati. Kehamilan dan
menyusui. CYP2C19 metabolisme yang buruk
5. Remopain (Drugbank, 2022; Sweetman, 2009; MIMS, 2022).
a. Kemasan/ Komposisi
Tersedia dalam sediaan syringe dengan kandungan ketorolac
thrometamine 30mg/ml
b. Indikasi
Ketorolak adalah obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dan memiliki
sifat antipiretik, analgesik, dan antiinflamasi. Diindikasikan untuk
manajemen jangka pendek nyeri akut yang memerlukan kaliber manajemen
nyeri yang ditawarkan oleh opioid. Klinisi dapat memilih untuk memulai
ketorolak untuk mengelola nyeri pasca operasi, nyeri tulang belakang dan
jaringan lunak, rheumatoid arthritis, osteoarthritis, ankylosing spondylitis,
gangguan menstruasi dan sakit kepala di antara penyakit lainnya.
c. Mekanisme Kerja
Ketorolak menghambat jalur kunci dalam sintesis prostaglandin yang
sangat penting untuk mekanisme kerjanya. Meskipun ketorolak bersifat non-
selektif dan menghambat enzim COX-1 dan COX-2, kemanjuran klinisnya
berasal dari penghambatan COX-2-nya. Enzim COX-2 dapat diinduksi dan
bertanggung jawab untuk mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin
yang memediasi peradangan dan nyeri. Dengan menghalangi jalur ini,
ketorolak mencapai analgesia dan mengurangi peradangan.
d. Dosis dan Aturan Pakai
Dewasa: Penatalaksanaan jangka pendek pada kasus akut sedang hingga
berat: Awalnya, 10 mg, diikuti 10-30 mg setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan;
juga dapat diberikan sesering 2 jam pada periode awal pascaoperasi jika
perlu. Maks: 90 mg setiap hari. Pada pasien dengan berat badan <50 kg:
Diperlukan pengurangan dosis (Maks: 60 mg setiap hari). Semua dosis
diberikan melalui inj bolus IV selama minimal 15 detik atau inj IM lambat.
Gunakan dosis efektif terendah untuk durasi sesingkat mungkin. Durasi
perawatan maksimal: 2 hari. Ubah ke pengobatan oral jika memungkinkan.
e. Kontraindikasi
Ketorolak dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat
hipersensitivitas terhadap aspirin atau NSAID lainnya, riwayat asma, polip
hidung, bronkospasme, atau edema angio, riwayat tukak lambung atau
gastrointestinal perdarahan, pada pasien dengan gangguan ginjal sedang
atau berat, dan pada pasien dengan hipovolemia atau dehidrasi. Ketorolak
tidak boleh diberikan kepada pasien dengan koagulasi atau gangguan
hemoragik atau mereka dengadikonfirmasi atau dicurigai perdarahan
serebrovaskular.
f. Efek samping
Reaksi hipersensitivitas (misalnya bronkospasme), nekrosis papiler ginjal
(penggunaan jangka panjang), gagal ginjal akut, nefritis interstisial, sindrom
nefrotik, onset baru atau eksaserbasi hipertensi, retensi Na dan cairan,
hiperkalemia, waktu perdarahan berkepanjangan, peningkatan enzim hati,
anemia, keratitis, penipisan kornea, erosi, ulserasi, atau perforasi; waktu
penyembuhan tertunda, eksaserbasi asma, purpura, trombositopenia. Jarang,
agranulositosis, tinnitus, gangguan pendengaran, vertigo, penglihatan kabur,
peningkatan tekanan intraokular, hiperemia konjungtiva, lakrimasi, infiltrat
kornea, iritis, perdarahan retina, edema makula cystoid, edema mata atau
kelopak mata; radang atau infeksi mata; menyengat dan terbakar sementara
(saat berangsur-angsur), sakit atau ketidaknyamanan perut, kelainan rasa,
dispepsia, mual, perut kembung, sembelit, diare, mulas, muntah, stomatitis,
kepenuhan gastrointestinal.
g. Interaksi obat
Dapat meningkatkan risiko perdarahan dengan kortikosteroid oral, SSRI,
dan agen antiplatelet lainnya. Dapat meningkatkan risiko gangguan ginjal
dengan penghambat ACE, penghambat reseptor angiotensin II (ARB),
siklosporin, dan diuretik. Dapat mengurangi efek ACE inhibitor, ARB,
diuretik, atau -blocker (misalnya propranolol). Peningkatan risiko kejang
dengan obat antiepilepsi (misalnya fenitoin, karbamazepin). Halusinasi
dapat terjadi bila digunakan dengan obat psikoaktif (misalnya fluoxetine,
tiotixene, alprazolam). Ketorolac IV/IM dapat meningkatkan efek samping
(terutama episode apnea) dari relaksan otot nondepolarisasi. Dapat
meningkatkan konsentrasi serum methotrexate dan digoxin.
h. Perhatian dan peringatan
Obat ini dapat menyebabkan kantuk, pusing, dan penglihatan kabur, jika
terpengaruh, jangan mengemudi atau mengoperasikan mesin. Oftalmik:
Lepas lensa kontak sebelum digunakan dan pasang kembali setidaknya
setelah 15 menit.
6. Narfoz (Drugbank, 2022; Sweetman, 2009; MIMS, 2022).
a. Kemasan/ Komposisi
Tersedia dalam sediaan ampul dengan kandungan ondansetron 4 mg
b. Indikasi
Ondansetron yang diberikan secara oral dan tablet disintegrasi oral
(ODT) diindikasikan untuk pencegahan mual dan muntah yang
berhubungan dengan kemoterapi kanker emetogenik, terapi cisplatin, dan
radioterapi, dan pencegahan dan pengobatan mual dan muntah
pascaoperasi. Formulasi injeksi ondansetron yang diberikan secara intravena
diindikasikan untuk pencegahan mual dan muntah yang berhubungan
dengan kemoterapi kanker emetogenik, termasuk terapi cisplatin dan
pencegahan serta pengobatan mual muntah pasca operasi.
c. Mekanisme Kerja
Ondansetron secara selektif antagonis reseptor 5-HT3 pada kedua
perifer pada terminal saraf vagal dan secara sentral di zona pemicu
kemoreseptor. Kemoterapi dan radioterapi sitotoksik berhubungan dengan
pelepasan serotonin (5-HT) dari sel-sel enterokromafin usus halus, yang
diduga memicu refleks muntah melalui stimulasi reseptor 5-HT3 yang
terletak di aferen vagal. Ondansetron dapat memblokir inisiasi refleks ini.
Aktivasi aferen vagal juga dapat menyebabkan pelepasan serotonin sentral
dari zona pemicu kemoreseptor di area postrema, yang terletak di lantai
ventrikel keempat. Dengan demikian, efek antiemetik ondansetron mungkin
karena antagonisme selektif reseptor 5-HT3 pada neuron yang terletak di
sistem saraf perifer atau pusat, atau keduanya.
d. Dosis dan Aturan Pakai
Dewasa: Kemoterapi emetogenik sedang 8 mg diberikan 0,5-2 jam
sebelum kemoterapi, diikuti 8 mg setelah 8 atau 12 jam. Kemoterapi yang
sangat emetogenik: 24 mg sebagai dosis tunggal, diberikan 0,5-2 jam
sebelum kemoterapi.
e. Kontraindikasi
Hipersensitivitas. Sindrom QT panjang bawaan. Penggunaan bersamaan
dengan apomorphine..
f. Efek samping
Nyeri dada, bradikardia, hipotensi, aritmia, hipoksia, peningkatan
sementara enzim hati, penglihatan kabur sementara (karena injeksi IV
cepat). Jarang, kebutaan sementara, gejala ekstrapiramidal (misalnya reaksi
distonik, krisis okulogirik, diskinesia), kejang, nekrolisis epidermal toksik,
sindrom serotonin, sembelit, diare, cegukan, xerostomia, dispepsia, malaise,
kelelahan, demam, sensasi dingin, reaksi di tempat suntikan, sensasi
terbakar lokal.
g. Interaksi obat
Deksametason Na fosfat dapat mempotensiasi efek antiemetik. Dapat
mengembangkan sindrom serotonin (termasuk perubahan status mental,
ketidakstabilan otonom, kelainan neuromuskular) dengan SSRI, MAOI,
mirtazapine, fentanyl, lithium, methylene blue, serotonin noradrenaline
reuptake inhibitors (SNRIs). Penginduksi CYP3A4 yang kuat (misalnya
fenitoin, karbamazepin, rifampisin) dapat mengurangi konsentrasi plasma
dan meningkatkan pembersihan ondansetron. Pemberian bersama dengan
antiaritmia (misalnya amiodaron), atenolol, antrasiklin (misalnya
doxorubicin, daunorubicin), trastuzumab, eritromisin, dan ketoconazole
dapat menyebabkan perpanjangan interval QT tambahan dan meningkatkan
risiko aritmia. Dapat menurunkan efek analgesik tramadol

h. Perhatian dan peringatan


Pasien dengan hipokalemia, hipomagnesemia, CHF, kelainan konduksi
CV, bradiaritmia, kondisi lain yang dapat menyebabkan pemanjangan
interval QT atau kelainan elektrolit, fenilketonuria, obstruksi usus subakut,
dan pembedahan abdomen. Dapat menutupi ileus progresif atau distensi
lambung, dan perdarahan tersembunyi pada pembedahan adenotonsillar.
Gangguan hati sedang sampai berat.
7. Rhinos SR (Drugbank, 2022; Sweetman, 2009; MIMS, 2022).
a. Kemasan/ Komposisi
Tersedia dalam sediaan kapsul dengan kandungan Pseudoefedrin 120
mg dan Loratadin 5 mg.
b. Indikasi
Rhinos SR digunakan untuk meredakan gejala yang berhubungan
dengan rinitis alergi misalnya bersin, hidung tersumbat, rinore, pruritus &
lakrimasi.
c. Mekanisme Kerja
Loratadine adalah antihistamin trisiklik non-sedasi kerja panjang. Ini
secara selektif menghambat efek reseptor histamin H1 pada sel efektor.
Pseudoephedrine adalah agen simpatomimetik yang meredakan hidung
tersumbat dengan secara langsung merangsang reseptor -adrenergik yang
mengakibatkan vasokonstriksi mukosa pernapasan, dan reseptor -adrenergik
menyebabkan relaksasi otot bronkial, dan meningkatkan denyut jantung dan
kontraktilitas.
d. Dosis dan Aturan Pakai
Dewasa dan anak-anak (12 tahun): 1 kapsul (pseudoefedrin 120 mg
dan loratadin 5 mg) dua kali sehari tiap 12 jam setelah makan.
e. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap agen adrenergik. Penyakit KV misalnya,
insufisiensi koroner, aritmia; pasien yang menerima terapi MAOI atau
dalam 10 hari setelah penghentian pengobatan tersebut. Glaukoma sudut
sempit, retensi urin, hipertensi berat, CAD berat, hipertiroidisme.
f. Efek samping
Efek samping yang sering terjadi adalah palpitasi, takikardia &
ekstrasistol.
8. Resfar (Drugbank, 2022; MIMS, 2022).
a. Kemasan/ Komposisi
Tersedia dalam sediaan infus dengan kandungan Acetylcysteine 5 g
dalam 25 ml.
b. Indikasi
Acetylcysteine diindikasikan untuk terapi mukolitik atau sebagai terapi
tambahan untuk gangguan saluran pernapasan yang berhubungan dengan
lendir kental yang berlebihan dan juga sebagai larutan dan dalam
pengelolaan overdosis asetaminofen
c. Mekanisme Kerja
Acetylcysteine adalah turunan N-asetil dari asam amino L-sistein. Ini
menunjukkan aksi mukolitiknya melalui gugus sulfhidril bebasnya yang
memecah ikatan disulfida dari mukoprotein, sehingga mengurangi
viskositas lendir, tindakan ini juga dapat bermanfaat bagi pasien dengan
kelainan lendir mata. Dalam keracunan parasetamol, asetilsistein bertindak
sebagai agen hepatoprotektif dengan mempertahankan atau memulihkan
tingkat glutathione hati, atau dengan bertindak sebagai substrat alternatif
untuk konjugasi dengan, dan karena itu detoksifikasi, metabolit antara
beracun (N-asetil-p-benzoquinoneimine) dari parasetamol.
d. Dosis dan Aturan Pakai
Dewasa: Awalnya, 150 mg/kg dalam 200 mL pengencer melalui infus
selama 1 jam, diikuti oleh 50 mg/kg dalam 500 mL pengencer yang
diinfuskan selama 4 jam berikutnya dan kemudian 100 mg/kg dalam 1.000
mL pengencer yang diinfuskan selama 16 jam berikutnya. Pengobatan dapat
dilanjutkan dengan menggunakan dosis dan kecepatan yang sama dengan
infus ketiga tergantung pada evaluasi klinis individu.
Anak-anak: Berat badan 5-20 kg: Awalnya, 150 mg/kg dalam 3 mL/kg
pengencer melalui infus selama 1 jam, diikuti oleh 50 mg/kg dalam 7 mL/kg
pengencer yang diinfuskan selama 4 jam dan kemudian 100 mg/kg dalam 14
mL/kg pengencer yang diinfuskan selama 16 jam; 21-40 kg: Awalnya, 150
mg/kg dalam 100 mL pengencer infus selama 1 jam, diikuti oleh 50 mg/kg
dalam 250 mL pengencer infus selama 4 jam dan kemudian 100 mg/kg
dalam 500 mL pengencer infus selama 16 jam; 41 kg: Sama seperti dosis
dewasa. Volume pengencer harus disesuaikan dengan mempertimbangkan
usia dan berat pasien.
e. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap agen adrenergik. Penyakit KV misalnya,
insufisiensi koroner, aritmia; pasien yang menerima terapi MAOI atau
dalam 10 hari setelah penghentian pengobatan tersebut. Glaukoma sudut
sempit, retensi urin, hipertensi berat, CAD berat, hipertiroidisme..
f. Efek samping
Efek samping yang sering terjadi adalah palpitasi, takikardia &
ekstrasistol.
g. Interaksi obat
Ketoconazole & turunan azol, makrolida; MAOI, alkohol. Methyldopa,
mecamylamine, reserpin, alkaloid veratrum, -blocker, digitalis, antasida,
kaolin.
h. Perhatian dan peringatan
Hipertensi, DM, insufisiensi hati & ginjal, glaukoma, ulkus peptikum
stenosis, obstruksi pyloroduodenal, hipertrofi prostat, obstruksi leher
kandung kemih, penyakit KV, peningkatan TIO. Dapat menyebabkan
penyalahgunaan obat. Kehamilan & laktasi. Anak <12 thn. Lansia 60 thn.
9. Cravit (Drugbank, 2022; Hartanto, 2021; MIMS, 2022).
a. Kemasan/ Komposisi
Tersedia dalam sediaan infus dengan kandungan Levofloxacin 750 mg
dalam 150 ml dan sediaaan tablet 500 mg.

b. Indikasi
Levofloxacin diindikasikan pada orang dewasa untuk pengobatan
berbagai infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang rentan, termasuk infeksi
saluran pernapasan atas, saluran pernapasan bawah, kulit, struktur kulit,
saluran kemih, dan prostat.
c. Mekanisme Kerja
Levofloxacin, seperti antibiotik fluoroquinolone lainnya, memberikan
aktivitas antimikrobanya melalui penghambatan dua enzim bakteri utama:
DNA girase dan topoisomerase IV. Kedua target tersebut adalah
topoisomerase tipe II, tetapi memiliki fungsi unik di dalam sel bakteri. DNA
girase adalah enzim yang hanya ditemukan pada bakteri yang memasukkan
superkoil negatif ke dalam DNA selama replikasi yang membantu
menghilangkan regangan torsional yang disebabkan oleh pengenalan
superkoil positif selama replikasi, dan superkoil negatif ini penting untuk
kondensasi kromosom dan mendorong inisiasi transkripsi. Gyrase terdiri
dari empat subunit (dua subunit A dan dua subunit B) di mana subunit A
tampaknya menjadi target antibiotik fluoroquinolone. Bakteri topoisomerase
IV, selain berkontribusi pada relaksasi superkoil positif, sangat penting pada
tahap terminal replikasi DNA dan berfungsi untuk "memutuskan"
kromosom yang baru direplikasi untuk memungkinkan penyelesaian
pembelahan sel. Penghambatan enzim ini oleh levofloxacin kemungkinan
terjadi melalui kompleksasi dengan enzim topoisomerase. Hasil akhirnya
adalah blokade replikasi DNA, sehingga menghambat pembelahan sel dan
mengakibatkan kematian sel.
d. Dosis dan Aturan Pakai
Pasien dengan fungsi ginjal normal CrCl >80 mL/mnt 250-500 mg
dengan infus lambat selama 60 menit setiap 24 jam atau 750 mg dengan
infus lambat selama 90 menit setiap 24 jam. Pneumonia didapat masyarakat
500 mg setiap 24 jam selama 7-14 hari atau 750 mg setiap 24 jam selama 5
hari. Tifoid 750 mg setiap 24 jam selama 7-10 hari. Sinusitis bakterialis
akut 500 mg setiap 24 jam selama 7-14 hari atau 750 mg setiap 24 jam
selama 5 hari. Eksaserbasi bakteri akut bronkitis kronis 500 mg setiap 24
jam selama 7 hari atau 750 mg setiap 24 jam selama 3-5 hari. Prostatitis
bakterialis kronis 500 mg setiap 24 jam selama 28 hari.
e. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap levofloxacin, kuinolon. Epilepsi, riwayat
gangguan tendon yang berhubungan dengan pemberian fluoroquinolone.
Wanita hamil & menyusui. Anak-anak atau remaja yang sedang tumbuh.
f. Efek samping
Diare, mual, vaginitis, perut kembung, pruritus, ruam, sakit perut,
moniliasis genital, pusing, dispepsia, insomnia, gangguan pengecapan,
muntah, anoreksia, gelisah, konstipasi, edema, kelelahan, sakit kepala,
peningkatan keringat, keputihan, malaise, gugup, gangguan tidur, tremor,
urtikaria.
g. Interaksi obat
Penurunan absorpsi oleh antasida yang mengandung Al atau Mg & obat
yang mengandung Fe. Peningkatan risiko stimulasi SSP & kejang kejang
dengan NSAID. Gangguan glukosa darah dengan agen antidiabetik. Dapat
memberikan hasil yang salah dalam diagnosis bakteriologis TB. Dapat
meningkatkan efek warfarin.
h. Perhatian dan peringatan
Bukan untuk pemberian IM, intratekal, intraperitoneal, atau SC. Hindari
infus IV cepat atau bolus. Pertahankan hidrasi yang memadai. Paparan sinar
matahari yang berlebihan harus dihindari. Pasien dengan gangguan SSP
yang diketahui atau dicurigai yang dapat menjadi predisposisi kejang atau
ambang kejang yang lebih rendah. Pemantauan glukosa darah yang cermat
dianjurkan. Hentikan penggunaan jika terjadi reaksi hipoglikemik,
fototoksisitas, nyeri tendon, peradangan atau pecah. Penilaian berkala fungsi
ginjal, hati & hematopoietik. Antasida yang mengandung Mg atau Al, serta
sucralfate, Fe, multivitamin dan Zn harus diminum minimal 2 jam sebelum
atau sesudah pemberian levofloxacin. Hentikan penggunaan pada tanda
pertama ruam kulit, gatal-gatal atau reaksi kulit lainnya, detak jantung yang
cepat, kesulitan menelan atau bernapas, angioedema, atau gejala reaksi
alergi lainnya. Kolitis pseudomembran. Dapat mengganggu kemampuan
mengemudi dan mengoperasikan mesin karena pusing, kepala terasa ringan.
Insufisiensi ginjal.
10. Imbost Force (Drugbank, 2022; Sweetman, 2009; MIMS, 2022).
a. Kemasan/ Komposisi
Tersedia dalam sediaan kaplet dengan kandungan Echinacea purpurea
250 mg, ekstrak elderberry hitam 400 mg, Zn picolinate 10 mg
b. Indikasi
Imbost Force untuk membantu menjaga sistem kekebalan tubuh.
c. Mekanisme Kerja
Echinacea: Memodulasi sistem kekebalan tubuh dengan peningkatan
berikut: Fagositosis makrofag, produksi dan interferon (antiviral), produksi
TNF-α (antineoplastik), produksi IL-1, IL-6, IL-10 migrasi granulosit,
fagosit di limpa dan sumsum tulang. Echinacea juga bekerja melalui
beberapa mekanisme lain: Penghambatan enzim hyaluronidase (untuk
mencegah penyebaran infeksi), penghambatan enzim siklooksigenase &
lipooxygenase (antiinflamasi), dan aktivasi fibroblas (untuk mempercepat
penyembuhan luka). Asam Chicoric (Komponen fenolik dalam Echinacea):
Merangsang fagositosis granulositik. Isobutylamide (Alkylamides in
Echinacea): Menghambat enzim cyclooxygenase dan lipooxygenase sebagai
agen anti-inflamasi; stimulasi fagositosis. Zinc Picolinate: Menghambat
replikasi virus; sebagai penghambat molekul-1 adhesi antar sel (ICAM-1).
Black Elderberry: Pencegahan replikasi virus dengan menetralkan enzim
neuraminidase virus dan menghambat aktivasi virus hemagglutinin.
Memodulasi sistem kekebalan tubuh dengan peningkatan produksi sitokin
IL-1, IL-6, IL-8, dan TNF-α.
d. Dosis dan Aturan Pakai
Dewasa 1 kaplet 3 kali sehari.

e. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap levofloxacin, kuinolon. Epilepsi, riwayat
gangguan tendon yang berhubungan dengan pemberian fluoroquinolone.
Wanita hamil & menyusui. Anak-anak atau remaja yang sedang tumbuh.
f. Efek samping
Multiple sclerosis, penyakit kolagen, leukosis, TBC, AIDS, penyakit
autoimun.
g. Interaksi obat
Tidak untuk digunakan dengan imunosupresan..
h. Perhatian dan peringatan
Obat imunosupresif atau agen imunosupresif atau obat antipenolakan
adalah obat yang menghambat atau mencegah aktivitas sistem imun.
11. Dulcolax (Drugbank, 2022; Sweetman, 2009; MIMS, 2022).
a. Kemasan/ Komposisi
Tersedia dalam sediaan tablet dengan kandungan Bisacodyl 5 mg
b. Indikasi
Dulcolac sebagai pencahar untuk meringankan sembelit. Persiapan
untuk prosedur diagnostik dalam perawatan pra/ pasca operasi dan dalam
kondisi yang membutuhkan buang air besar..
c. Mekanisme Kerja
Bisacodyl dideasetilasi menjadi bis-(p-hydroxyphenyl)-pyridyl-2-
methane (BHPM) aktif oleh deacetylase usus. BHPM dapat merangsang
saraf parasimpatis di usus besar secara langsung untuk meningkatkan
motilitas dan sekresi. Bisacodyl merangsang adenilat siklase, meningkatkan
AMP siklik, menyebabkan transpor aktif klorida dan bikarbonat keluar dari
sel.5 Ion natrium, ion kalium, dan air secara pasif meninggalkan sel;
sementara ion natrium dan klorida tidak dapat diserap kembali.
d. Dosis dan Aturan Pakai
Dewasa: 1-2 tab/hr. Anak: 6-10 thn 1 tab/hari

e. Kontraindikasi
Ileus, obstruksi usus, kondisi bedah akut abdomen, apendisitis, penyakit
radang usus akut & nyeri perut parah yang berhubungan dengan mual &
muntah; dehidrasi parah.
f. Efek samping
Ketidaknyamanan perut & diare. Reaksi anafilaksis, angioedema,
hipersensitivitas. Dehidrasi. Pusing, sinkop. Kram perut, sakit perut, mual,
hematokezia (darah dalam tinja), muntah, ketidaknyamanan anorektal,
kolitis termasuk kolitis iskemik.
g. Interaksi obat
Pada dosis tinggi, risiko ketidakseimbangan elektrolit meningkat
dengan penggunaan bersama diuretik & adrenokortikoid. Glikosida jantung.
Dapat meningkatkan efek samping GI Dulcolax dengan obat pencahar
lainnya. Jangan mengambil bersama dengan produk yang mengurangi
keasaman GIT atas misalnya, susu, antasida, atau penghambat pompa
proton agar tidak melarutkan lapisan enterik sebelum waktunya.
h. Perhatian dan peringatan
Tidak untuk diminum setiap hari terus menerus atau untuk waktu yang
lama tanpa menyelidiki penyebab sembelit. Hindari penggunaan jangka
panjang.
BAB IV
PEMBAHASAN

Studi kasus pasien atas nama Tn. IK, berusia 38 tahun dengan riwayat
penyakit pernah mengalami Covid-19 datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD)
Rumah Sakit Siloam Makassar dengan keluhan demam sejak tiga hari yang lalu,
batuk berdahak, flu, nyeri pada tenggorokan, mual, muntah, nyeri sendi dan badan
pegal-pegal. Pasien berada di rumah sakit sejak tanggal 4 Mei 2022 sampai 13
Mei 2022.
Pada saat pasien masuk rumah sakit tanggal 4 Mei 2022, pasien didiagnosa
demam dengue dan Fibrosis Paru. Diagnosis dokter berdasarkan pada riwayat
penyakit pasien dan gejala-gejala yang dialaminya serta didasarkan pada hasil
pemeriksaan foto thorax. Hasil pemeriksaan menunjukkan kesan adanya fibrosis
pada parahiler pulmonari sebelah kiri pasien. Selain itu dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan darah dan kimia. Hasil pemeriksaan darah dihari
pertama menunjukkan terjadinya penurunan kadar hematokrit sebesar 37,6%.
Setelah pasien di observasi, pasien dipindahkan ke ruang perawatan Executive
Suite New dan diberi terapi Tutosol, Sanmol, Cefratam, Pranza, Remopain,
Narfoz, Rhinos dan Resfar.
Pada hari ke-3 pasien dirawat di rumah sakit, tidak terdapat adanya tanda-
tanda perubahan yang lebih baik sehingga di hari yang bersamaan dilakukan
pemeriksaan serologi pada sampel darah pasien. Berdasarkan hasil uji serologi
tersebut pasien di diagnosa menderita demam tifoid dengan adanya hasil
pemeriksaan S.tiphi O positif 1/320, S.tiphi H positif 160, S. paratphi AO positif
1/80, S. paratphi AH positif 1/80, S. paratphi BO positif 1/80, S. paratphi BH
positif 1/160 dan S. paratphi CH positif 1/80. Menurut KEMENKES tahun (2006)
menyebutkan bahwa interpretasi reaksi widal pada titer O 1/320 sudah
menyokong kuat diagnosis demam tifoid. Salah satu pemeriksaan yang dilakukan
pada penderita demam tifoid adalah pemeriksaan Laju Endap Darah (LED). LED
adalah nilai pemeriksaan laboratorium untuk evaluasi infeksi, inflamasi dan
penyakit ganas. Hasil pemeriksaan LED yang diperoleh yaitu 25 mm dari nilai
normal 0-15 mm, berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya tanda-
tanda infeksi, inflamasi ataupun penyakit ganas (Yuswardi,dkk., 2021).
Pemberian Infus Tutosol 18 tpm sebagai terapi rumatan atau terapi
pemeliharaan dengan tujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tubuh dan
nutrisi yang diperlukan oleh tubuh. Pemberian cairan Tutosol ini sudah tepat
untuk mengatasi lemas yang dirasakan pasien dan memelihara keseimbangan
cairan tubuh dan nutrisi pasien (MIMS, 2022).
Pemberian Cefratam diindikasikan sebagai penanganan pada fibrosis paru
yang dialami oleh pasien. Cefratam mengandung Cefoperazone dan sulbactam
yang merupakan antibotik untuk infeksi saluran pernapasan, infeksi tulang dan
sendi, infeksi ginekologi, infeksi intra-abdominal, meningitis, septikemia, infeksi
kulit dan jaringan lunak, infeksi saluran kemih (MIMS, 2022). Menurut USP
(2021) penatalaksanaan pada pasien fibrosis paru diberikan obat Nintedanib atau
Pirfenidone sebagai pilihan terapi pertama. Namun dalam kasus ini pasien
diberikan Cefratam sebagai penanganan fibrosis paru. Penurunan kadar
hemoglobin dan hematokrit pada hari ketiga kemungkinan juga disebabkan oleh
penggunaan Cefoperazone yang berpotensi menyebabkan penurunan hemoglobin
dan hematokrit (Drug.com, 2022). Dalam hal ini penggunaan cefoperazone
dikatakan tidak rasional karena tidak tepat indikasi dan menimbulkan efek
samping yang justru memperburuk kondisi pasien.
Pemberian Samol diindikasikan untuk penanganan keluhan demam yang
dialami oleh pasien. Sanmol mengandung paracetamol 1g/500ml yang di berikan
secara intravena tiga kali sehari. Menurut KEMENKES RI tahun (2017), terapi
utama pada pasien demam dengue yaitu dengan pemberian paracetamol. Namun
berdasarkan diagnosa demam tifoid pasien dan data pemeriksaan tanda vital
selama perawatan didapatkan nilai yang normal untuk suhu tubuh pasien dan
hanya terjadi kenaikan sebesar 37,9 oC pada hari kelima perawatan. Pada kasus
demam tifoid paracetamol hanya sebagai terapi simptomatik dari pasien. Untuk
terapi ini sebaiknya hanya diberikan pada saat pasien mengalami kenaikan suhu
tubuh saja (Putri dan Sibuea, 2020).
Pemberian remopain sebagai terapi analgetik berdasarkan keluhan nyeri
kepala dan dan nyeri sendi yang dialami. Remopain mengandung ketorolak
30mg/ml yang diberikan secara intravena tiga kali sehari. Ketorolak adalah obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dan memiliki sifat antipiretik, analgesik, dan
antiinflamasi yang bekerja dengan cara menghambat jalur kunci dalam sintesis
prostaglandin. Ketorolak bersifat non-selektif yang menghambat enzim COX-1
dan COX-2 (Drugbank, 2022). Menurut World Health Organization (WHO)
terdapat lima prinsip penggunaan analgesik yang tepat dalam penanganan rasa
nyeri yaitu, segera mengganti pemberian analgesik melalui oral setelah nyeri skor
nyeri <4, analgesik harus diberikan dengan interval yang sama, pemberian
analgesik harus sesuai dengan derajat nyeri yang dievaluasi menggunakan skala
nyeri, dosis analgesik disesuaikan untuk tiap-tiap individu dan pemberian resep
analgesik harus diperhatikan secara rinci (Prabandari et.al, 2018, Timur, dkk.,
2021). Pada kasus ini penggunakan ketorolak dikatakan kurang rasional karena
penggunaannya untuk nyeri skala 3 yang masih termasuk kategori ringan.
Menurut Arisetijono, dkk., (2015) rasa nyeri pada seseorang dapat dibedakan atas
tiga tingkat nyeri yaitu dengan skor nyeri 1-3 masuk kedalam kategori ringan (low
pain), skor nyeri 4-6 kategori sedang (moderate pain), dan skor nyeri 7-10
kategori berat (woerst possible pain). Pemilihan ketorolak sebagai terapi nyeri
secara parenteral hanya di berikan untuk pasien dengan nyeri kategori sedang
hingga berat (Melzack et al., 2003). Selain itu interval pemberian ketorolak secara
intravena hanya dapat diberikan maksimal dua hari, secara oral tujuh hari dan
apabila dikombinasi per oral dan intravena maka penggunaanya maksimal lima
hari (Sweetman, 2009; Ihsan, et al., 2019 Timur, dkk., 2021). Penggunaan
ketorolak sebaiknya perlu diperhatikan dengan pertimbangkan efek samping yang
akan ditimbulkan berpotensi memperparah nyeri ulu hati dan menyebabkan
pendarahan lambung (KEMENKES RI, 2017; MIMS, 2022).
Pemberian Cravit merupakan terapi untuk diagnosa demam tifoid akibat
infeksi bakteri yang dialami oleh pasien. Cravit mengandung levofloxacin 750
mg yang di berikan secara intravena dua kali sehari. Levofloxacin adalah
antibiotik fluoroquinolone yang digunakan untuk mengobati infeksi yang
disebabkan oleh bakteri yang rentan pada saluran pernapasan bagian atas, serta
untuk pengobatan wabah (Drugbank, 2022). Pemilihan obat antibiotik lini
pertama pengobatan demam tifoid pada anak di negara berkembang didasarkan
pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya. Berdasarkan ketiga faktor tersebut,
kloramfenikol masih menjadi obat pilihan pertama pengobatan demam tifoid pada
anak. Hal ini berbeda dengan dewasa, dimana obat antibiotik lini pertamanya
adalah golongan fluorokuinolon, seperti ofloksasin, siprofloksasin, levofloksasin
atau gatifloksasin (PKB LXIII, 2012). Menurut Veeraraghavan et al (2018) obat
golongan fluoroquinolon seperti levofloxacin merupakan pilihan terapi optimal
dan lebih disukai (preferable) dalam penanganan demam tifoid khususnya pada
orang dewasa. Tingkat efikasinya yang tinggi serta efek sampingnya yang rendah,
membuat obat ini banyak digunakan secara luas di beberapa wilayah di dunia
(PKB LXIII, 2012).
Pemberian Narfoz merupakan terapi untuk penanganan mual dan muntah
yang dialami oleh pasien. Nafroz mengandung ondansetron 4 mg yang di berikan
secara intravena tiga kali sehari. Ondansetron adalah antagonis reseptor serotonin
5-HT3 yang digunakan untuk mencegah mual dan muntah pada kemoterapi
kanker dan pasca operasi (Drugbank, 2022). Meskipun begitu pemilihan
ondansetron pada kasus ini sudah tepat. Menurut FDA pada tahun 2006
menyebutkan bahwa mengingat kemanjuran ondansetron yang sebanding dan
relatif kurangnya efek samping, itu dapat dianggap sebagai agen antiemetik lini
pertama. Namun terkait penggunaannya sebaiknya hanya digunakan saat pasien
mengalami mual muntah dan segera dihentikan ketika pasien tidak merasakan
gejala mual dan muntah.
Pemberian Pranza merupakan terapi nyeri uluhati yang dialami oleh pasien.
Pranza mengandung pantoprazole 40 mg yang di berikan secara intravena dua
kali sehari. Pantoprazole merupakan pengobatan penyakit refluks gastroesofageal
yang berhubungan dengan riwayat esofagitis erosif, profilaksis tukak yang
diinduksi NSAID dan penyakit Zollinger-Ellison (MIMS, 2022). Dalam kasus ini
penggunaan pantoprazole sudah rasional untuk profilaksis dan pengobatan induksi
nyeri ulu hati akibat penggunaan NSAID, hanya saja untuk rute pemberian dan
dosis 80 mg perhari dikatakan kurang tepat. Pada rute pemberian secara hanya
diindikasikan untuk pasien yang terdiagnosa ulkus peptikum atau penyakit refluks
gastro-esofagus dan sindrom Zollinger-Ellison dengan dosis 40mg sehari.
Sedangkan untuk pasien yang memerlukan profilaksis NSAID terkait ulserasi
dosis yang dianjurkan adalah 20 mg setiap hari yang diberikan peroral
(Sweetman, 2009).
Pemberian Rhinos SR merupakan terapi pada pilek dan flu yang dialami
oleh pasien. Rhinos SR mengandung pseudoefedrin 120 mg dan loratadin 5 mg
yang di berikan secara oral dua kali sehari. Kombinasi antara pseudoefedrin
sebagai dekongestan dan loratadine sebagai antihistamin diindikasikan untuk
meredakan gejala sementara termasuk bersin, pilek, sinus atau hidung tersumbat,
hidung atau tenggorokan gatal, dan mata berair (Drugbank, 2022; MIMS, 2022).
Pemberian Resfar merupakan terapi pada batuk berdahak yang dialami oleh
pasien. Resfar mengandung Acetylcysteine 5 g yang di berikan secara intravena
sekali sehari. Acetylcysteine adalah obat yang dapat digunakan sebagai mukolitik
pada pasien dengan kondisi paru-paru tertentu dan sebagai penangkal
asetaminofen (MIMS, 2022). Dalam kasus ini penggunaan Resfar sudah rasional
karena Acetylcysteine di gunakan sebagai mukolitik, antiinflamasi dan
antioksidan pada keadaan fibrosis paru, (Jayanti, 2012).
Pemberian Dulkolax merupakan terapi pada konstipasi yang dialami oleh
pasien pada hari kedua perawatan. Dulkolax mengandung bisakodil 5 mg yang di
berikan secara oral satu kali sehari. Bisacodyl adalah pencahar stimulan yang
digunakan untuk bantuan jangka pendek dari konstipasi sesekali, atau baik kronis
(Drugbank, 2022; MIMS, 2022). Hal ini dikarenakan setelah seorang terinfeksi S.
typhi, periode asimtomatik berlangsung 7 sampai 14 (kisaran 3-60) hari. Awitan
bakteremia ditandai gejala yang sering ditemukan salah satunya konstipasi (PKB
LXIII, 2012).

BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemantauan terapi obat yang dilakukan pada Tn. IK,
dengan diagnosis Demam Tifoid dan Fibrosis paru, maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Berdasarkan Pemantauan Terapi Obat (PTO) yang dilakukan kepada pasien,
terapi pengobatan yang diberikan telah semaksimal mungkin, namun masih
terdapat beberapa Drug Related Problems (DRPs) yang masih perlu dianalisa
penggunaannya, seperti keputusan pemberian Remopain (ketorolak) injeksi
pada skor nyeri kategori ringan dan telah melebihi interval pemberian.
2. Pemberian Cefratam (Cefoperazone sulbactam) kurang tepat pada diagnosa
fibrosis paru karena bukan merupakan pilihan utama untuk terapi fibrosis paru,
dan seharusnya diberikan Nintedanib ataupun Pirferidone.
3. Pemerian Pranza (Pantoprazole) melebihi dosis yang seharusnya pada indikasi
profilaksis induksi ulkus akibat penggunaan NSAID.
4. Kegiatan farmasi klinik yang dilakukan dapat membantu meningkatkan
pengetahuan dan wawasan calon apoteker untuk mencegah terjadinya Drug
Related Problems (DRPs), sehingga permasalahan mengenai obat-obatan dan
klinik dapat teratasi.
V.2 Saran
Pada kasus ini disarankan melakukan pengecekan darah rutin dan uji serologi
di hari terakhir perawatan untuk memantau adanya respon tubuh pasien terkait
terapi farmakologi yang telah ia terima. Penggunaan Narfoz (Ondansetron)
diminum apabila ada gejala mual dan muntah. Selain itu, pasien disarankan
melakukan terapi non farmakologi seperti; istirahat, mengontrol kebersihan dari
lingkungan dan makanan untuk perbaikan nutrisi dan melakukan aktivitas fisik
atau olahraga yang cukup.

DAFTAR PUSTAKA
Alba, S., Bakker M. I., Hatta, M., et al. 2016. Risk Factors of Typhoid Infection in
the Indonesian Archipelago. PLOS ONE, 11(6): 1- 14.

Arisetijono, E., Machlusil, H., Badrul, M., Dessika, R., 2017. Continouing
Neurology Education 4 Vertigo dan Nyeri. UB Press: Malang

Bula-Rudas, F.J., Rathore, M.H., and Maraqa, N.F. 2015. Salmonella Infections in
Childhood. Advances In Pediatrics, 62(1): 29-58.

Hartanto, Darius, 2021. Diagnosis dan Tatalaksana Demam Tifoid pada Dewasa.
Continuing Medical Education Ikatan Dokter Indonesia.

Depkes RI. 2013. Sistematika Pedoman Pengendalian Penyakit Demam Tifoid.


Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit & Penyehatan
Lingkungan.

Dipiro, C.V., Joseph, T.D., Terry, L.S., Barbara, G.W., 2017. Pharmacotherapy
Handbook Tenth Edition. McGraw-Hill Education: New York.

https://www.mims.com/
https://www.drugbank.com/

https://www.drugs.com/

Harris JB, Brooks WA. Typhoid and paratyphoid (enteric) fever. In: Magil AJ,
Solomon, T, Ryan ET, eds. Hunter’s tropical medicine and emerging
infectious disease 9th ed. London: Saunders Elsevier; 2013. p. 568-76

Hartanto, D. (2021). Diagnosis dan Tatalaksana Demam Tifoid pada Dewasa.


CDK-292; 48 (1), 5-7

Ihsan, M., Kurniawati, F., Khoirunnisa, H., & Chairini, B. Evaluation of Pain
Scale Decrease and Adverse Effects of Ketorolac. IndonesianJPharm. 2019;
30 (2) : 133-140

Jayanti D. Perilaku Masyarakat Dalam Melakukan SWAMEDIKASI Untuk


Penyakit Batuk Di Dusun Krodan, Maguwoharjo, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta Tahun 2012. Skripsi Fak Farm Univ Sanata Dharma
Yogyakarta.

KEMENKES RI, 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Direktorat


Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.

KEMENKES RI, 2017. Pedoman Pencegahan Demam Berdarah Dengue di


Indonesia. Direktorat Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.

Melzack, R., Patrick, D.W., 2003. Handbook of Pain Management. Churchill


Livingstone: London

Naveed, A. and Ahmed, Z. 2016. Treatment of Typhoid Fever in Children:


Comparison of Efficacy of Ciprofloxacin with Ceftriaxone. European
Scientific Journal, 12(6). ISSN: 1857 – 7881 (Print) e - ISSN 1857- 7431.

Nelwan, RHH. (2012). Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. CDK-192; 39 (4),
247-250

Nurfadly, dkk., 2021. 14 Bekal Dasar Dokter Puskesmas. UMSU Press: Medan

OMS. 2013. Données épidémiologiques sur la typhoïde, rapport décembre, 89:


545-560.

Padila. 2013. Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.

Pegues DA, Miller SI. Salmonellosis. In: Kasper DL, et al. (2015). Harrison
principles of internal medicine 19th ed. USA: Mc Graw Hill; p. 1049-53.
PKB LXIII, 2012. Update Management Of Infectious Diseases And
Gastrointestinal Disorders. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Departemen Ilmu Kesehatan Anak.

Prabandari, D. A., Indriasari, & Maskoen, T. Efektivitas Analgesik 24 Jam


Pascaoperasi Elektif di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2017.
Jurnal Anestesi Perioperatif. 2018; 6 (2) : 98-104

Pratama, I. dan Lestari, A. 2015. Efektivitas Tubex sebagai Metode Diagnosis


Cepat Demam Tifoid. ISM, 2(1): 70-73.

Putri, K.M., dan Sibuea, S. 2020. Penatalaksaan Demam Tifoid Dan Pencegahan
Holistik Pada Pasien Wanita Usia 61 Tahun Melalui Pendekatan Kedokteran
Keluarga. MEDULA Jurnal Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.
10:2

Sweetman, S. C., 2009. Martindale: The Complete Drug Reference. 36th ed.
Pharmaceutical Press: London.

Timur. W. W., 2021. Evaluasi Skala Nyeri Pasca Operasi Ortopedi Setelah
Penggunaan Injeksi Ketorolac Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung.
Archives Pharmacist ISSN: 2655-6073.

U.S. Food and Drug Administration. FDA News. Available at:


http://www.fda.gov/bbs/topics/news/2006/new01513.html. Akses
September 2022.

U.S.Pharmacist, 2021. A Review of the Treatment and Management of Idiopathic


Pulmonary Fibrosis. The Pharmacist Resource for Clinical Exelence.

Veeraraghavan B, Pragasam AK, Bakthavatchalam YD, Ralph R. Typhoid fever:


Issues in laboratory detection, treatment options & concerns in management
in developing countries. Future Sci. 2018;4(6).

Yuswardi,D.W., Cut, M., Cindy, O. 2021. Analisa Laju Endap Darah (Led) Pada
Penderita Demam Tifoid Di Rsu Bandung Medan Tahun 2021. Jurnal
TEKENSOS. 3:2
LAMPIRAN
1. Hasil Rontgen Thorax AP/PA
2. Hasil Pemeriksaan Hematologi dan Serologi

Anda mungkin juga menyukai