Politik Hukum Islam Di Indonesia Pada Masa Orde Baru
Politik Hukum Islam Di Indonesia Pada Masa Orde Baru
Disusun Oleh
Moh. Angga Dwi Fachrul Yahya (11200453000012)
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena telah memberikan
kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan
hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Politik
Hukum Islam Masa Orde Baru”. Selawat serta salam tak lupa pula kita curahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. yang telah menuntun kita dari
zaman yang gelap gulita menuju zaman yang terang benerang dalam naungan
Islam.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas dosen pada mata kuliah
Politik Hukum Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan
tentang Politik Hukum Islam Masa Orde Baru. Penulis mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada Bpk. Rumadi Ahmad selaku dosen mata kuliah. Tugas
yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait
bidang yang ditekuni penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah
membantu proses penyusunan makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan
penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................5
C. Tujuan Penulis...............................................................................................5
BAB II......................................................................................................................6
PEMBAHASAN......................................................................................................6
A. Islam dan Politik pada Masa Orde Baru.......................................................6
B. Dinamika Legislasi Hukum Islam Masa Orde Baru.....................................8
C. UU No. 1 Tahun 1974 dan respon umat Islam dalam proses legislasi..............11
D. UU No. 9 1989 tentang Peradilan Agama dan perubahannya..........................13
E. Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)...........19
BAB III..................................................................................................................23
PENUTUP..............................................................................................................23
KESIMPULAN..................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24
3
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat
Indonesia memiliki peran penting dalam mengawal kemerdekaan Indonesia
bebas dari kolonialisme. Islam telah memberikan ilham sekaligus sebagai roh
penggerak bagi para pengikutnya untuk mengibarkan bendera resistensi
terhadap pemerintah kolonial belanda. Islam dalam hal ini bukan sematamata
keyakinan hidup bagi individu dengan Tuhannya. Islam Indonesia menjelma
menjadi kekuatan politik yang menakutkan bagi pemerintahan kolonial dan
bagi pemerintahan-pemerintahan pasca kemerdekaan. Namun demikian
hubungan islam dengan pemerintah sejatinya juga mengalami masa pasang
surut, dimana islam mengambil peran penting dalam proses pengambilan
kebijakan, namun tidak jarang Negara mengambil peran penting dan menutup
peran politik Islam.
Dapat kita ketahui pada tataran realita bahwa tidak hanya di Indonesia
saja melainkan pula di Negara-negara lain dimana politik dan hukum
memiliki pertalian yang erat, artinya bahwa produk hukum dan kepentingan
politik saling menopang. Pun demikian ternyata pada prakteknya politik
memilikidominasi yang kuat terhadap produk hokum sehingga seakan-akan
hukum diperbudak oleh politik. Di Indonesia hal tersebut pernah diteliti yaitu
hubungan antara politik dan hukum oleh Mahfud MD yang antara lain
menyimpulkan banwa ada intervensi politik terhadap hukum. Dalam
realitanya ternyata hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan
lainnya.1
Dalam kenyataannya, seperti yang telah disebutkan diatas bahwa
politik banyak mengintervensi kebijakan hukum dan karena itulah hukum
terkadang tidak berjalan efektif, meskipun pada dasarnya kedua aspek
1
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisis Politik Di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005) hal, 240
4
tersebut harus saling mendukung. Namun lebih lanjut dalam politik hokum
akan dibahas mengenai keterkaitan antara hokum dan politik, dan dalam hal
ini ialah kebijakan orde baru saat itu terhadap umat Islam, dan karenanya
Makalah kali ini akan mencoba menguraikan tentang kebijakan politik hukum
Islam masa pemerintahan Orde Baru dengan sedikit menjelaskan produk
perundang-undangan yang lahir pada masa itu.
2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini ialah :
1. Bagaimana Islam dan politik pada masa orde baru ?
2. Bagaimana dinamika legislasi hukum islam masa orde baru?
3. Bagaimana pembentukan UU No. 1 Tahun 1974 dan respon umat Islam
dalam proses legislasi?
4. Bagaimana pembentukan UU No. 9 1989 tentang Peradilan Agama dan
perubahannya?
5. Bagaimana dinamika Inpres No. 1 tahun 1991 tentang KHI?
3. Tujuan Penulis
1. Mengetahui dan memahami Islam dan politik pada masa orde baru
2. Mengetahui dan memahami dinamika legislasi hukum islam masa orde
baru
3. Mengetahui, memahami dan menguraikan proses pembentukan UU No.
1 Tahun 1974 dan respon umat Islam dalam proses legislasi
4. Mengetahui, memahami dan menguraikan pembentukan UU No. 9
1989 tentang Peradilan Agama dan perubahannya
5. Mengetahui, memahami dan menguraikan dinamika Inpres No. 1 tahun
1991 tentang KHI
5
6
BAB II
PEMBAHASAN
2
Marzuki Wahid. Fiqih Indonesia: Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi
Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia. Cirebon: Institusi Studi Islam Fahmina.
2014. Halaman: 149.
7
Pemisahan terbatas juga didukung oleh peran organisasi keagamaan yang
dipaksa membatasi ruang gerak di wilayah sosial, tidak masuk ke wilayah
politik.3
Masa Orde Baru adalah masa dimana kepemimpinan Soeharto sangat
kuat dan militeristik. Seperti lazimnya kepemimpinan gaya itu, masyarakat
sipil dimandulkan suara dan perannya. Secara singkat ini bisa dilihat dari cara
Soeharto membonsai parpol dengan berfusinya parpol-parpol menjadi hanya
menjadi tiga partai besar yaitu PPP, Golkar dan PDI pada tahun 1970-an. 4
Bahkan Secara konvensional kelompok tertentu wajib memberikan suaranya
ke golongan karya yang berafiliasi dengan pemerintah. Dengan kewajiban ini,
tak pelak dalam empat kali pemilu, perolehan suaraya terbanyak dan terus
memimpin.
Sementara itu suara-suara yang ingin menegakkan Syari’at Islam atau
Islam sebagai dasar negara nyaris tak terdengar. Boleh jadi karena intervensi
negara yang terlalu kuat terhadap gerak-gerik warganya termasuk ormas
membuat semuanya menjadi diam dan tiarap, seolah ada kesimpulan bahwa
berbeda dengan mainstrem negara adalah berbahaya. Bukan itu saja, tahun
1980-an bahkan pemerintah mulai menerapkan mono-loyalitas mengharuskan
seluruh organisasi, kepemudaan sampai kemasyarakatan berasaskan
Pancasila, sebagai satu-satunya asas. Kita menyebutnya asas tunggal. Dengan
peraturan baru itu setiap perserikatan yang tidak berasaskan Pancasila
dianggap bertentangan dengan negara/ maka dan harus siap dibubarkan.
Dalam perkembangannnya untuk semua itu pemerintah menghadiahi
umat Islam atau mengakomodir kepentingan umat Islam dalam berbagai
bentuknya, misalnya dalam bentuk akomodasi struktural; diberlakukannya
Undang-undang Perkawinan tahun 1974, Undang-undang Peradilan Agama
tahun 1989, Kompilasi Hukum Islam tahun 1991, diubahnya peraturan
tentang seragam sekolah dalam hal ini penggunaan tentang jilbab tahun 1991,
3
Syafiq Hasyim. State and Religion: Considering Indonesia Islam as Model of Democratisation for
the Muslim World. Berlin: Liberales Institute. 2013. Page: 17.
4
Tashwirul Afkar: Partai-partai Islam: Transformasi Gerakan Islam dan Ruang Demokrasi (Jakarta:
Edisi No. 4 1999), Hal. 5
8
keputusan bersama ditingkat menteri tentang amil zakat, infak dan shadakah
juga tahun 1991, dan lain-lain.
Sejalan dengan itu, kelahiran ICMI pada tahun 1990-an, juga bisa
dianggap sebagai bibit munculnya kembali cita-cita Islam yang mewarnai
kehidupan bernegara. Meski kita tidak bisa menyuarakan bahwa mereka
menyuarakan tegaknya Syari’at Islam, nanum ICMI yang dimotori oleh
intelektual beragama Islam, Dr. Ir.B.J. Habiebie, waktu itu menjabat
menristek sebagai lampu hijau kebangunan Islam yang selama ini seolah-olah
terlelap dan tercengkeram.
Fenomena lainnya adalah persetujuan pemerintah terhadap lahirnya
Bank Muamalah, Bank yang mendasarkan pada sistem Syari’ah dan
menghindari sistem konvensional yang menyerempet riba, selain itu pula
masuknya sejumlah tokoh mereka ke senayan, oleh Hefner, seorang
antropolog dan indosianis dibahasakan dengan greening atau penghijauan
senayan, hijau selalu berkonotasi dengan Islam.
5
Abdullah Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Pers,
1996), h. 239-240
9
pemerintahan Orde Baru. Pada masa ini peranan partai-partai politik
dimarginalkan, termasuk pembicaraan tentang masalahmasalah yang
berkaitan dengan ideologi (selain Pancasila) ditabukan, terutama
ideologiideologi yang bersifat keagamaan.
Pada masa orde baru, pembangunan nasional dalam berbagai bidang
terus diupayakan, termasuk dalam bidang hukum. Dalam rumusan Garis-
Garis Besar Haluan Negara yang merupakan haluan pembangunan nasional
menghendaki terciptanya hukum baru Indonesia. Hukum tersebut harus sesuai
dengan cita-cita hukum Pancasila dan UUD 1945 serta mengabdi kepada
kepentingan nasional. Hukum baru Indonesia harus memuat ketentuan-
ketentuan hukum yang menampung dan memasukkan hukum agama
(termasuk hukum Islam) sebagai unsur utamanya. Inilah dasar yuridis bagi
upaya formatisasi hukum Islam dalam hukum nasional.6
Berdasar dari fenomena di atas, tampak sekali keberlakuan suatu
hukum sangat dipengaruhi oleh politik suatu negara yang bersangkutan.
Adakalanya hukum berlaku secara nasional, di semua daerah dan kepada
semua warga negara. Akan tetapi ada juga hukum yang hanya berlaku bagi
mereka yang berkualifikasi tertentu, misalnya warga negara yang beragama
Islam.
Dalam persoalan inilah yang sering memunculkan kendala.
Memberlakukan hukum Islam yang memerlukan bantuan kekuasaan negara
harus dengan undang-undang, terutama dalam upaya formatisasi hukum Islam
dalam hukum nasional, yang selanjutnya hukum Islam berhasil dilegislasikan
berlaku sebagai hukum negara.
Pada masa ini, penolakan terhadap legislasi hukum Islam dan
keinginan untuk memberlakukan hukum lain (selain hukum Islam) tidak
hanya datang dari kalangan nonmuslim, tetapi juga dari sebagian penganut
Islam. Ketika wajah perpolitikan semakin berpihak kepada Islam (di
6
Marzuki Wahid, Fikih Indonesia : Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi
Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia , h. 100.
10
penghujung Orde Baru), kendala itu semakin ringan dan peluang bagi
legislasi hukum Islam semakin besar.7
Jika ditelaah lebih lanjut, era Orde Baru dapat dikatakan menjadi titik
tolak bagi perkembangan dan pengakuan yang lebih konkrit oleh negara
terhadap keberadaan dan keberlakuan hukum Islam di Indonesia. Pada masa
pemerintahan Orde Baru sempat dikeluarkan beberapa peraturan perundang-
undangan yang berkaitan langsung dengan keberadaan hukum Islam di
Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Wakaf, UndangUndang
Nomor 7 Tahun 1989 Peradilan Agama, dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Untuk memudahkan dan lebih sistematisnya uraian tentang
perkembangan hukum Islam pada masa Orde Baru, maka uraian selanjutnya
akan mengacu kepada runtutan lahirnya peraturan perundang-undangan yang
berkaitan langsung dengan hukum Islam, sejak dari awal lahirnya Orde Baru
hingga berakhirnya kekuasaan pemerintahan Orde Baru di Indonesia.
Sistematisasi uraian yang dikaitkan dengan lahirnya peraturan
perundangundangan ini dilakukan dengan pertimbangan, bahwa sejarah
perkembangan hukum memang harus diuraikan secara sistematis dari suatu
masa ke masa berikutnya, sehingga tercermin dengan jelas dinamika
perkembangan hukum Islam dari waktu ke waktu dalam masa tertentu.
Adapun peraturan perundang-undangan, yang bersentuhan langsung
dengan pemberlakuan hukum Islam di Indonesia yang dapat dirinci sebagai
berikut:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
2. Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 1977 tentang Wakaf;
3. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
4. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia;
7
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Cet. I; Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), h. 358
11
5. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
3. UU No. 1 Tahun 1974 dan respon umat Islam dalam proses legislasi
Pada awal masa pemerintahan Orde Baru sampai dengan Tahun
1973, seperti telah dijelaskan sebelumnya tidak memberikan banyak harapan
bagi perkembangan dan transformasi nilai-nilai hukum Islam ke dalam
produk legislasi nasional. Hal ini cukup mengecewakan bagi kalangan umat
Islam yang telah ikut bersama-sama dengan penguasa Orde Baru untuk
menumbangkan kekuasaan pemerintahan Orde Lama. Pada Tahun 1973
tepatnya pada 16 Agustus 1973, pemerintah Orde Baru mengajukan sebuah
Rancangan Undang-Undang (selanjutnya disingkat RUU) tentang
Perkawinan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan
menjadi undang-undang.
8
Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendikiawan Muslim, (Jakarta: Lingkaran Studi
Indonesia, 1987), h. 190.
12
adalah fraksi yang paling keras menentang RUU Perkawinan tersebut,
karena dianggap sangat bertentangan dengan fikih Islam. Pada masa itu,
FPPP berusaha sangat maksimal agar Undang-Undang Perkawinan yang
akan disahkan nantinya tidak bertentangan dengan syari‟at Islam. Melalui
lobi-lobi antara tokoh-tokoh Islam dan juga FPPP dengan pemerintah,
akhirnya RUU yang diajukan tersebut dapat diterima oleh umat Islam
dengan menghilangkan pasal-pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Bahkan untuk kelancaran pembahasan RUU tersebut di DPR, sempat dibuat
suatu kesepakatan antara fraksi PPP dengan fraksi ABRI yang isinya:
9
Arso Sostroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), h. 24.
13
Adapun pasal-pasal yang kemudian dicoret adalah Pasal 11 mengenai sistem
parental dan perkawinan antar agama, Pasal 13 mengenai Pertunangan, Pasal
14 mengenai Tata Cara Gugatan Perkawinan, dan Pasal 62 mengenai
Pengangkatan Anak.6 Sehingga pada akhirnya setelah dilakukan rapat yang
berulang-ulang, pada tanggal 22 Desember 1973 melalui fraksi-fraksi di
DPR, RUU Perkawinan tersebut disetujui untuk disahkan. Selanjutnya pada
tanggal 2 Januari 1974 disahkanlah RUU Perkawinan menjadi Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang selanjutnya berlaku
efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975.10
Dengan disahkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, maka dapat dikatakan bahwa mulai sejak saat itu perkembangan
hukum Islam di Indonesia khususnya dalam bidang hukum materil, telah
menampakkan wujudnya secara nyata. Kelahiran Undang-Undang
Perkawinan ini merupakan babak baru pengakuan terhadap keberadaan
hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia, karena pada masa ini dapat
disebut sebagai fase taqnin (fase pengundangan) ketentuan-ketentuan ajaran
Islam tentang perkawinan yang sebelumnya hanya ditelaah dan tersebar
dalam kitab-kitab fikih, kemudian berhasil ditransformasikan ke dalam
peraturan perundang-undangan yang legal dan berlaku positif, meskipun
terdapat modifikasi di sana sini.11
10
Rachmadi Usman, Perkembangan Hukum Perdata dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum di
Indonesia, (Jakarta: Grafiti, 2003), h. 198
11
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI), (Jakarta: Kencana, 2004), h.
26
14
dengan hukum agama, khususnya agama Islam. Karena pada masa-masa
antara tahun 1980 sampai dengan tahun 1990-an, penguasa Orde Baru
mengeluarkan kebijakan tentang penerapan asas tunggal Pancasila bagi
organisasi-organisasi sosial politik (orsospol), dan selanjutnya untuk
organisasi-organisasi kemasyarakatan yang ada di Indonesia.
15
Disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, telah membawa perubahan penting bagi perkembangan hukum Islam
di Indonesia. Pengakuan terhadap keberadaan lembaga peradilan agama yang
sejajar dengan badan peradilan lainnya di Indonesia, pada hakikatnya dapat
dikatakan sebagai pengakuan secara formal dari pemerintah terhadap
keberadaan dan pelaksanaan hukum Islam. UndangUndang Peradilan Agama
telah membawa perubahan penting dan mendasar bagi lingkungan peradilan
agama, di antara perubahan tersebut menurut Daud Ali adalah sebagai
berikut:
13
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), h. 84
16
Dari substansi isi dan materinya, Undang-Undang Peradilan Agama No
7 Tahun 1989 secara konkrit telah membawa perubahan yang dapat dirinci
sebagai berikut:
17
Mahkamah Agung. Hal yang sama juga berlaku untuk hakim di
lingkungan peradilan lainnya, dengan demikian kedudukan hakim
pengadilan agama menjadi sejajar dengan hakim di pengadilan
lainnya, sehingga hak dan kewajiban mereka pun sama dan sederajat
termasuk masalah penggajiannya.
4. Perubahan tentang Kekuasaan Pengadilan dalam Lingkungan
Peradilan Agama
Sebelum lahirnya Undang-Undang Peradilan Agama Tahun
1989, kewenangan absolut lembaga peradilan agama masih sangat
terbatas, dan hanya dalam lingkup tertentu saja. Barulah kewenangan
itu kemudian diperluas kembali seperti kewenangan peradilan agama
sebelum tahun 1937. Kewenangan yang diperluas tersebut termaktub
dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang
berbunyi: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkaraperkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan, b.
Kewarisan,, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam; c. Wakaf dan shadaqah”.
5. Perubahan tentang Hukum Acara Peradilan Agama
Hukum acara yang dipakai oleh lembaga peradilan agama
sebelum lahirnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 adalah Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Perdata peninggalan Belanda yang
juga dipakai oleh lembaga peradilan umum. Selain itu, juga dipakai
hukum-hukum acara perdata Islam tidak tertulis, yaitu
ketentuanketentuan acara terhadap perkara-perkara tertentu yang
terdapat dalam kitab-kitab fiqh dan sumber hukum tidak tertulis
lainnya.
Dengan lahirnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 hukum
acara yang digunakan peradilan agama selain KUHAPerdata, adalah
hukum acara tersendiri yang telah dicantumkan langsung dalam
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Dimasukkannya hukum acara
18
tidak tertulis yang sebelumnya digunakan lembaga peradilan ke dalam
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, adalah perubahan yang sangat
signifikan bagi perjalanan hukum Islam di Indonesia, terutama
mengenai hukum acara. Karena dengan demikian hukum acara tidak
tertulis yang ada sebelumnya kemudian menjadi hukum tertulis,
sehingga lebih kuat dan menjamin ketertiban serta kepastian dalam
bidang hukum acara.
6. Perubahan tentang Administrasi Peradilan Agama
Sebagaimana diketahui bahwa administrasi dalam lingkup
peradilan terbagi kepada dua jenis. Pertama, administrasi peradilan
yang menyangkut dengan administrasi perkara dan administrasi
peradilan. Kedua, administrasi umum yang berkenaaan dengan
administrasi kepegawaian, administrasi keuangan, dan umum. Secara
umum kedua jenis administrasi itu dikelola oleh panitera yang
merangkap sebagai sekretaris pengadilan. Sebelum lahirnya Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989, sistem pengelolaan terhadap kedua jenis
administrasi tersebut bercorak tunggal dan dikelola oleh Panitera
Kepala semuanya. Namun dengan lahirnya Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 maka pengelolaan terhadap kedua jenis administrasi itu
kemudian dibagi menjadi dua kamar pula, dalam pengelolaannya,
yaitu untuk administrasi peradilan secara teknis dikelola oleh wakil
panitera sedangkan administrasi umum dikelola oleh wakil sekretaris.
7. Perubahan tentang Perlindungan terhadap Wanita
Menurut Pasal 20 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 dinyatakan bahwa “Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau
isteri atau oleh kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman tergugat”. Ketentuan tersebut dianggap
tidak adil dan sangat memberatkan bagi pihak-pihak terutama pihak
perempuan, apabila ingin menggugat cerai suaminya karena bisa saja
tempat tinggal tergugat sangat jauh dan susah untuk dijangkau.
19
Oleh sebab itu Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 membuat
perubahan dalam hal ini, yaitu perkara perceraian tidak diajukan di
pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
tergugat, melainkan diajukan ke pengadilan agama yang daerah
hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat. Ketentuan Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 ini tetap berlaku untuk perceraian yang
dilakukan oleh mereka-mereka yang bukan beragama Islam, dimana
gugatan perceraiannya diajukan di pengadilan umum.14
14
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), h. 118
122.
15
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Cet. I; Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), h. 429
16
Marzuki Wahid, Fikih Indonesia (Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi
Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia. H. 105
20
adanya beberapa kelemahan, seperti hukum Islam yang diterapkan di
peradilan agama yang cenderung simpang siur, karena adanya perbedaan
pendapat ulama hampir dalam setiap persoalan. Untuk mengatasi hal ini
diperlukan adanya satu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan
yang berlaku di lingkungan peradilan agama, yang dapat dijadikan pedoman
oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya, untuk menjamin akan adanya
kesatuan dan kepastian hukum.17
Dengan demikian maka hukum materil yang harus segera dibentuk oleh
pemerintah, tentunya hukum materil yang dibutuhkan oleh peradilan agama
sesuai dengan lingkup kewenangan yang telah diberikan undang-undang
kepada lembaga ini. Menindak lanjuti amanah undang-undang dan kebutuhan
yang mendesak dari peradilan agama akan hukum materil inilah, pada bulan
Februari 1998 setelah melalui perjalanan yang cukup panjang maka ketiga
buku dari Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disingkat KHI), yang telah
dibuat oleh tim khusus yang dibentuk untuk pelaksanaan proyek pembuatan
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia di lokakaryakan. Dalam lokakarya ini
Rancangan Kompilasi Hukum Islam mendapat dukungan yang cukup luas
dari para ulama di seluruh Indonesia, meskipun masih terdapat perdebatan
pendapat di antara mereka dalam beberapa hal. Akhirnya pada tanggal 10
Juni 1991 Presiden Soeharto menandatangani Instruksi Presiden RI No. 1
Tahun 1991.
17
Tim Penyusun, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Badan Peradilan Agama di
Indonesia, (Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama, 1976), h.
139
21
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 dengan tegas menyebutkan dalam
diktumnya bahwa, Kompilasi Hukum Islam dilahirkan untuk digunakan oleh
instansi pemerintah dan masyarakat dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh
tanggung jawab. Penyebutan “digunakan oleh instansi pemerintah” tentunya
bermakna bahwa KHI, harus dijadikan rujukan oleh setiap instansi
pemerintah, khususnya oleh hakim-hakim pengadilan agama dalam
memutuskan hukum.
18
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), h.
57-58
22
2. Sebagai pegangan dari para hakim pengadilan agama dalam
memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi
kewenangannya
3. Sebagai pegangan bagi warga masyarakat mengenai hukum Islam
yang berlaku baginya, yang sudah merupakan hasil rumusan yang
diambil dari berbagai kitab fiqh berbahasa Arab yang semua tidak
dapat mereka baca secara langsung
19
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Cet. IV, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 81-
83.
23
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada masa orde baru, walaupun kehidupan beragama berkembang
bahkan didukung oleh negara, tetapi tetap dibatasi pada wilayah ibadah
dengan catatan tidak mengganggu stabilitas rejim. Pembatasan dilakukan
terutama dengan syarat asas tunggal Pancasila dan kontrol negara yang diatur
dalam UU partai politik dan UU Keormasan. Beberapa produk hukum yang
dihasilkan pada masa orde baru terkait langsung dengan hukum Islam adalah
UU Perkawinan dan KHI (Kompilasi Hukum Islam), yang tujuan utamanya
adalah melakukan unifikasi hukum Islam sehingga lebih mudah dikelola
secara administratif.
keinginan dan harapan umat Islam untuk mengembangkan dan
mentransformasikan nilai-nilai hukum Islam ke dalam produk perundang-
undangan pada masa ini mengalami kendala yang cukup besar, karena
bertentangan dengan strategi pembangunan penguasa pemerintahan Orde
Baru. Pada masa ini peranan partai-partai politik dimarginalkan, termasuk
pembicaraan tentang masalahmasalah yang berkaitan dengan ideologi (selain
Pancasila) ditabukan, terutama ideologiideologi yang bersifat keagamaan.
Era Orde Baru dapat dikatakan menjadi titik tolak bagi
perkembangan dan pengakuan yang lebih konkrit oleh negara terhadap
keberadaan dan keberlakuan hukum Islam di Indonesia. Pada masa
pemerintahan Orde Baru sempat dikeluarkan beberapa peraturan perundang-
undangan yang berkaitan langsung dengan keberadaan hukum Islam di
Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Wakaf, UndangUndang
Nomor 7 Tahun 1989 Peradilan Agama, dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
24
DAFTAR PUSTAKA
BUKU BACAAN
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika
Pressindo, 1992
Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali
Press, 1997
Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisis Politik Di Indonesia,
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2005
Bisri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1996
Djalil, A. Basiq. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006
Hasan, Kamal. Modernisasi Indonesia: Respon Cendikiawan Muslim, Jakarta:
Lingkaran Studi Indonesia, 1987.
Hasyim, Syafiq. State and Religion: Considering Indonesia Islam as Model of
Democratisation for the Muslim World. Berlin: Liberales Institute. 2013.
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia. Cet. I; Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2005
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974
Sampai KHI), Jakarta: Kencana, 2004
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, Cet. IV, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2000
Sostroatmodjo, Arso dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta:
Bulan Bintang, 1978.
Thaba, Abdullah Aziz. Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Jakarta:
Gema Insani Pers, 1996
Usman, Rachmadi. Perkembangan Hukum Perdata dalam Dimensi Sejarah dan
Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Grafiti, 2003
25
Wahid, Marzuki. Fiqih Indonesia: Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal
Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia.
Cirebon: Institusi Studi Islam Fahmina. 2014.
Jurnal Bacaan
Tashwirul Afkar: Partai-partai Islam: Transformasi Gerakan Islam dan Ruang
Demokrasi. Jakarta: Edisi No. 4 1999
Tim Penyusun, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Badan Peradilan
Agama di Indonesia, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama
Departemen Agama, 1976
26