Anda di halaman 1dari 8

Politik Hukum Islam Pada Masa

Orde Lama
Muhammad Nur Alif
Andea Devanya Quinni
Annisa Maharani
Muhammad Ayatullah Rabbani
Muhammad Danial Ihsan
Isu Islam dan Politik
01 Situasi Politik Islam Pada
Masa Orde Lama 02 Pada Sidang Konstituante
1959

Hukum Keluarga Peradilan Agama Pada


03 (UU No. 22 Tahun 1946) 04 Masa Orde Lama
Situasi Politik Islam Pada Masa Orde Lama
Berakhirnya era demokrasi liberal sejak keluarnya Dekrit Presiden 1959 menandai bermulanya era baru politik Indonesia
yang disebut dengan era Demokrasi Terpimpin. Era ini dapat dianggap sebagai masa-masa sulit bagi partai Islam. Pada
masa orde lama ini, kekuatan politik umat Islam banyak dirugikan oleh kebijakan Soekarno. Kebijakan itu terutama
berkaitan dengan pembubarkan Masyumi Agustus 1960 dan memberikan keleluasaan lebih besar kepada Partai Komunis
Indonesia (PKI) untuk bergerak dan menguasai panggung politik Nasional. Ahmad Syafi’i Maarif membagi era Demokrasi
Terpimpin yang berumur hingga September 1965 ini menjadi periode proses kristalisasi (hingga Desember 1960) dan
periode kolaborasi (hingga pecahnya pemberontakan G-30-S/PKI 1965). Periode kristalisasi ditandai dengan pemilihan
kawan dan lawan, pendukung dan oposisi terhadap kebijakan Soekarno tersebut. Sementara periode kolaborasi ditandai
dengan kerja sama partai-partai Islam yang ikut bersama demokrasi terpimpin, termasuk dengan komunis, yang merupakan
salah satu pilar penyangganya.
Situasi Politik Islam Pada Masa Orde Lama
Dekrit Soekarno yang diikuti oleh pelaksanaan Demokrasi Terpimpin telah menyumbat saluran legal bagi umat Islam,
terutama kelompok modernis, untuk menyatakan ide-ide dan aspirasi politik mereka. Pemusatan kekuasaan ditangan
seorang pemimpin dalam hal ini Soekarno mempunyai konsekuensi politik yang berbeda bagi partai-partai Islam. Sayap
pesantren, yaitu NU bersama PSII dan Perti, diizinkan hidup dibawah payung Demokrasi Terpimpin dengan gaya dan
retorika politiknya, masing-masing partai ini telah melakukan berbagai langkah penyesuaian diri dengan berbagai

perkembangan politik yang serba sulit. Sebaliknya, tiga partai Islam lainnya, yakni NU, PSII, dan Perti, berusaha
menyesuaikan diri dengan demokrasi ala Soekarno tersebut. Mereka bersikap akomodatif sehingga bisa hidup
berdampingan dengan Soekarno dan bertahan dalam alam demokrasi terpimpinnya Soekarno.
Isu Islam dan Politik Pada Sidang Konstituante
1959
Sejak 1950 hingga sekitar 1959, dekade yang dikenal sebagai periode demokrasi konstitusional, Indonesia beroperasi
di bawah UUD 1950. Terlepas dari kenyataan bahwa negara telah mengalami beberapa kali perubahan konstitusi,
UUD 1950 itu masih dianggap sementara. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa tugas utama Majelis Konstituante
adalah menyusun sebuah rancangan konstitusi yang permanen. Dalam kerangka legal-konstitusional inilah para
anggota Majelis Konstituante terlibat dalam perdebatan-perdebatan ideologis-politis yang sengit dan panas.
Konstituante sebagai Dewan Penyusun Undang-Undang dasar dalam sidangnya sejak tahun 1956 sampai tahun
1959 belum berhasil membuat undang-undang dasar baru, selalu mengalami kesulitan kerena tidak pernah tercapai
kesepakatan. Pihak-pihak yang berbeda pendapat tidak pernah mencapai suara dari jumlah anggota Konstituante.
Dalam majelis konstituante terdapat tiga rancangan tentang dasar Negara yang diajukan oleh tiga fraksi dalam
menentukan dasar negara Indonesia. Ketiga racangan dasar Negara tersebut yaitu: Pancasila, Islam dan Sosial-
ekonomi. Namun, pertentangan paling sengit berlangsung antara para pendukung aliran ideologi Islam dan Pancasila.
Isu Islam dan Politik Pada Sidang Konstituante
1959
Kelompok Islam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, sementara kelompok nasionalis sekuler tetap ingin
menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Karena kedua kelompok sama-sama mempertahankan argumen dan
pendirian masing-masing, maka majelis konstituante dalam menyelesaikan masalah perdebatan tersebut menemui
kebuntuan. Meihat situasi seperti itu, Presiden Soekarno mengambil alih agenda majelis dengan mengeluarkan dekrit
Presiden yang memutar Negara kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Seminggu setelah Dektrit 5 Juli 1959,
Soekarno mengumumkan kabinetnya yang baru, menggantikan Kabinet Djuanda, digantikan dengan Kabinet Kerja. Pada
periode ini, secara politik umat Islam tidak saja berbeda pandangan, tapi berpecah-pecah, berhadapan dengan sistem
yang diciptakan Soekarno. Persoalan pilihan untuk mendukung atau tidak mendukung dalam suatu sistem kekuasaan
telah membelah umat ini menjadi dua kubu yang saling berhadapan, yaitu kubu Masyumi dengan sikapnya yang keras
menentang ide Demokrasi Terpimpin, sementara kubu NU, PSII, dan Perti yang mendukung dan turut di dalamnya.
Hukum Keluarga
(UU No. 22 Tahun 1946)
● Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 menjelaskan tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk. Sebelum
adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), terdapat beberapa peraturan yang
mengatur tentang pencatatan perkawinan di Indonesia, antara lain Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, yang hanya berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura.

● Kemudian pada tahun 1954, Undang-Undang tersebut diberlakukan di luar Jawa dan Madura melalui Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21
November 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa
dan Madura.
Peradilan Agama Pada Masa Orde
● Lama
Peradilan Agama tahun 1882 disebut “Raad Agama”, kemudian dikukuhkan oleh pemerintah Hindia Belanda
menjadi Priesterraad dengan suatu keputusan Raja Belanda (KB) No. 24 tanggal 19 Januari 1882 yang dimuat
dalam Stb. 1882 No. 152. Berdasarkan keputusan Raja Belanda ini dibentuklah Peradilan agama di Jawa dan
Madura.

● Raad Agama di luar Jawa dan Madura baru dibentuk pada tahun 1937 dengan S. 1937 No. 638 yang mengatur
Kerapatan Qadhi dan Kerapatan Qadhi Besar untuk sebagian Kalimantan Selatan.

● Sedangkan untuk luar Jawa dan Madura, luar sebagian Kalimantan Selatan baru dibentuk berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 45 tahun 1957 yang menganut Peradilan Agama Mahkamah Syari’ah.

● Raad Agama dalam masa kemerdekaan Indonesia disebut sebagai Peradilan Agama yang secara resmi istilah ini
disebut dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Undang-undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Dalam pasal tersebut memutuskan bahwa, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan; Peradilan Umum; Peradilan Agama; Peradilan Militer; dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Anda mungkin juga menyukai