Anda di halaman 1dari 35

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa, kami panjatkan


rasa syukur karena kehendaknya kami dapat menyelesaikan tugas
makalah mata kuliah Psikologi Positif. Kami mengucapkan banyak
terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, tim pembuat, dosen
pengampu, dan semua pihak yang telah menyusun dan membantu dalam
pembuatan makalah ini hingga selesai.
Kami sangat menyadari dalam proses pembuatan makalah ini
masih banyak kekurangan selama perjalanannya. Oleh karena itu, kami
selaku tim sangat terbuka dengan masukan, saran, dan kritik yang
berguna untuk memperbaiki serta sebagai bahan evaluasi bagi kami untuk
tugas makalah kedepannya. Kami juga berharap makalah yang berisi ilmu
ini dapat berguna dna memberikan manfaat bagi pembaca, menambah
wawasan yang lebih luas dna lebih baik lagi.

Semarang, 02 September 2022

Tim Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah
1.
C. Tujuan dan Manfaat
1.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Emosional
1. Positive Affect
Afek adalah respons fisiologis langsung seseorang terhadap suatu
stimulus, dan biasanya didasarkan pada rasa gairah yang mendasarinya. Secara
khusus, Profesor Nico Frijda (1999) beralasan bahwa Afek melibatkan penilaian
suatu peristiwa sebagai menyakitkan atau menyenangkan—yaitu, valensinya—
dan pengalaman gairah otonom. Sementara itu, Afek positif adalah sejauh mana
seseorang mengalami kegembiraan, kepuasan, dan sebagainya. Afek positif
berfungsi sebagai motivasi untuk bertindak, yaitu, perilaku koping aktif yang
mengarah pada kemungkinan besar hasil yang efektif yang membantu individu
untuk melewati stres dengan sukses.

Selanjutnya, para peneliti menemukan bahwa mungkin ada dua jenis Afek
positif itu sendiri (Gilbert et al., 2008). Yang pertama mungkin terkait dengan
sistem dopaminergik, yang mengontrol dorongan / pencarian, sedangkan yang lain
mungkin terkait dengan sistem opiat / oksitosin, yang menginduksi
menenangkan / kepuasan. Gilbert dkk. (2008:182) menemukan bahwa Afek
positif memang dimediasi oleh tiga faktor yang mendasari: afek positif yang
diaktifkan, afek positif yang rileks, dan aman/konten afek positif, dengan yang
terakhir berkorelasi negatif tertinggi dengan depresi, kecemasan, stres, kritik diri,
dan keterikatan yang tidak aman.

Dari penelitian awal yang mendokumentasikan efek kerusakan otak


(Gainotti, 1972; Sackeim et al., 1982), peneliti memiliki menemukan hubungan
antara anterior PFC sisi kiri dan Afek positif. Khususnya, ketika kita mengalami
hal positif afek, bagian otak ini diaktifkan, dan sebaliknya ketika kita merasa
cemas atau depresi (Wheeler et al., 1993; Davidson dkk., 2000). Oleh karena itu
otak kita terbagi menjadi dua sistem – sistem pendekatan (Afek positif) dan sistem
penghindaran (Afek pnegatif) (Davidson dan Irwin, 1999).
Secara historis, Afek positif telah menerima sedikit perhatian selama abad
terakhir karena sedikit para sarjana berhipotesis bahwa imbalan dari kegembiraan
dan kepuasan melampaui hedonis (berbasis kesenangan) nilai dan memiliki
kemungkinan signifikansi evolusioner. Potensi-potensi dari Afek positif telah
menjadi lebih jelas selama 20 tahun terakhir (Cohn & Fredrickson, 2009; Doty,
Davis, & Arditti, 2017; Fredrickson, 2016) sebagai penelitian telah menarik
perbedaan antara dampak positif dan negatif.

David Watson (1988, 2000; Stanton & Watson, 2014) dari Universitas
Notre Dame

melakukan penelitian tentang motivasi yang berorientasi pada pendekatan dari


pengaruh yang menyenangkan — termasuk studi tentang afek negatif dan positif.
Untuk memfasilitasi penelitian mereka tentang keduanya dimensi pengalaman
emosional, Watson dan kolaboratornya Lee Anna Clark (1994) mengembangkan
dan memvalidasi Formulir yang Diperluas dari Jadwal Afek positif dan Negatif
(PANAS-X), yang telah menjadi ukuran yang umum digunakan kalangan umum.
Skala 20 item ini telah digunakan dalam ratusan penelitian untuk mengukur dua
dimensi pengaruh: valensi dan isi. Lebih khusus, PANAS-X mengetuk valensi
"negatif" (tidak menyenangkan) dan "positif" (menyenangkan). Isi keadaan afektif
negatif dapat digambarkan paling baik sebagai umum kesusahan, sedangkan afek
positif meliputi kegembiraan, keyakinan diri, dan perhatian. (Lihat PANAS,
pendahulu PANAS-X, yang singkat dan valid untuk sebagian besar klinis dan
tujuan penelitian. Ada juga jadwal untuk anak-anak, PANAS-C; lihat Laurent
dkk., 1999.)

Menggunakan PANAS dan ukuran pengaruh lainnya, para peneliti secara


sistematis telah membahas: pertanyaan dasar: “Bisakah kita mengalami afek
negatif dan afek positif secara bersamaan?” (Lihat Diener & Emmons, 1984;
Green, Salovey, & Truax, 1999; Larsen & McGraw, 2011.) Misalnya, bisakah kita
pergi ke film yang menarik dan keluar dengan perasaan senang dan takut?
Meskipun Afek pnegatif dan positif pernah dianggap berlawanan, Bradburn
(1969) menunjukkan bahwa afek yang tidak menyenangkan dan menyenangkan
bersifat independen dan memiliki korelasi yang berbeda. Psikolog seperti Watson
(2002; Watson & Naragon, 2009; Watson & Naragon-Gainey, 2014) terus
mengkaji masalah independensi ini dalam riset. Dalam penelitian terbaru, Watson
menemukan bahwa afek negatif berkorelasi dengan keceriaan, keyakinan diri, dan
perhatian hanya pada –.21, –.14, dan –.17, masing-masing, yang artinya memang
korelasinya sangat sedikit.

2. Positive Emotion
Emosi positif didefinisikan sebagai pengalaman subjektif,
dimana penilaian atau pandangan positif individu mengenai
pengalaman emosi yang ia alami dalam kehidupan dna berdampak
pada perluasan pemikiran dan tindakan sesaat seseorang
(Fredrickson, 2001). Fredrickson juga memaparkan dalam broaden-
and build emosi positifnya bahwa memperluas peikiran dna
tindakan untuk membangu sumber daya pribadi yang berfungsi
sebagai cadangan yang digambarkan untuk memperbaiki peluang
coping yang sukses dalam kelangsungan hidup. Fungsi sumber
daya dari produksi emosi positif akan mempengaruhi kepribadian
individu.
Emosi positif menghasilkan 'organisasi kognitif yang luas
dan fleksibel dan kemampuan untuk mengintegrasikan materi yang
beragam' (Isen, 1990). Isen juga mengatakan bahwa Individu yang
mengalami emosi positif akan menunjukan pola pemikiran yang
tidak bisa dimana mereka memiliki pemikiran yang fleksibel, mudah
mendapatkan solusi dalam sebuah masalah, kreatif, integratif,
efisien, dan terbuka akan informasi.

3. Happiness
Happiness atau kebahagiaan, merupakan hal yang paling
dicari dan diharapkan oleh manusia. Segala cara ditempuh
manusia untuk mendapatkan kebahagiaan, ada yang melalui jalan
yang baik ada juga melalui jalan yang buruk. Dengan cara itu,
seluruh pikiran, tenaga, dan waktu manusia dihabiskan untuk
mengejar yang namanya happiness. Kata happiness atau
kebahagiaan seringkali dikaitkan dengan kondisi emosional dari
seseorang dan bagaimana individu tersebut merasakan diri dan
dunia sekitarnya. Menurut Alan Carr (2004), kebahagiaan
didefinisikan sebagai kondisi psikologis dari seseorang yang positif,
yang ditandai dengan tingginya kepuasan terhadap masa lalu,
tingginya tingkat emosi positif, dan rendahnya tingkat emosi negatif.
Selain itu, menurut Martin E. P. Seligman (2005), kebahagiaan
sesungguhnya merupakan hasil dari bagaimana seorang individu
melakukan penilaian terhadap diri dan hidup mereka, yang memuat
emosi positif seperti kegembiraan dan kenyamanan maupun
aktivitas yang positif. Dalam istilah umum, kebahagiaan merujuk
pada kenikmatan atau kepuasan yang menyenangkan dalam
pemenuhan keinginan, kesejahteraan, dan keamanan. Dengan
kata lain, kebahagiaan adalah pencapaian dari cita-cita atau
harapan yang berhasil didapatkan. Menurut Yeniar Indriana (2012),
kebahagiaan juga merupakan tujuan utama dalam kehidupan
manusia.
Kebahagiaan memiliki dampak positif dalam segala aspek
yang ada dalam hidup dan mengarahkan manusia pada hidup yang
lebih baik. Beberapa tokoh yang pernah mengkaji tentang
kebahagiaan menunjukkan jika sebenarnya kebahagiaan itu
bersifat subyektif dan tergantung dari penilaian masing-masing
individu yang menjadi penilai terbaik mengenai kebahagiaan yang
dirasakan sendiri. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan “this
conceptualization emphasizes the subjective nature of happiness
and hold individual human being to be the single best judges of
their own happiness” (konseptualisasi ini menekankan pada sifat
subjektif kebahagiaan dan individu manusia yang menjadi hakim
tunggal terbaik kebahagiaan mereka sendiri). Dari munculnya
psikologi positif dalam kajian psikologi modern, diharapkan mampu
untuk mendorong manusia untuk menyadari berbagai sifat positif
yang dimiliki. Sehingga, manusia bisa mencapai hidup yang
berkualitas dan lebih bahagia.
Menurut Seligman, terdapat lima aspek utama yang menjadi
sumber kebahagiaan autentik, yaitu:
1. Menjalin hubungan positif dengan orang lain
Menurut John Maxwell (2004), semua keberhasilan pada
hidup kita berasal dari bagaimana kita memulai hubungan dengan
orang yang tepat dan kemudian memperkuat hubungan itu dengan
menggunakan keterampilan yang baik dalam berhubungan.
Dengan kata lain, dari sebuah hubungan dapat membuat kita
berhasil ataupun sebaliknya. Karena dari kualitas suatu hubungan
dengan orang lain juga akan menentukan kesuksesan dari kita.
2. Keterlibatan penuh
Pada dasarnya, bukan hanya pekerjaan dengan penghasilan
banyak yang mampu membuat orang merasa bahagia, tetapi
bagaimana mereka melibatkan diri sepenuhnya pada pekerjaan
yang mereka tekuni. Keterlibatan penuh tidak hanya pada karir
pekerjaan saja, tetapi juga dalam aktivitas sehari-hari seperti
aktivitas dengan keluarga dan hobi. Dengan melibatkan diri secara
penuh, tidak hanya fisik yang menjalani, tetapi pikiran dan perasaan
juga turut terlibat.
3. Temukan makna dalam keseharian
Dalam hubungan yang positif dan keterlibatan penuh dalam
keseharian, ada satu cara lain untuk bisa merasakan bahagia, yaitu
menemukan makna dalam apapun yang kita lakukan. Dua dekade
sebelum Seligman, Abraham Maslow pernah membicarakan salah
satu resep untuk berbahagia. Maslow menyebutnya dengan
pengalaman puncak (peak experience). Menurut Maslow, saat kita
mengalaminya kita akan merasakan luapan emosi yang penuh
dengan rasa haru, syukur, kagum, dan kepuasan yang tidak bisa
digambarkan. Pengalaman puncak ini bisa kita rasakan dalam
keseharian, tidak perlu menunggu momen-momen tertentu.
Contohnya adalah kita bisa merasakan pengalaman puncak saat
menikmati matahari pagi, atau kala menggenggam tangan
pasangan yang telah menemani kita selama ini. Dengan sering
merasakan hal-hal kecil seperti itu, kita bisa menemukan makna
indah dari sepanjang hidup ini.
4. Optimis, namun tetap realistis
Orang yang optimis dalam menjalani hidup akan lebih
bahagia. Karena mereka menjalani hidup dengan penuh harapan,
sehingga tidak mudah untuk merasa cemas. Seperti kita tahu, jika
harapan akan selalu menguatkan. Namun, menurut Schneider
(2002), optimisme yang kita miliki harus tetap memijak bumi.
Dengan kata lain, kita boleh optimis, tapi juga harus realistis.
Dengan menjadi sosok yang optimis, langkah kita dalam kehidupan
akan menjadi lebih ringan. Namun, juga perlu tindakan nyata yang
disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi dari kita.
5. Menjadi pribadi yang resilien
Manusia yang bahagia belum tentu tidak pernah mengalami
yang namanya penderitaan. Karena kebahagiaan tidak selamanya
bergantung dari seberapa banyak peristiwa menyenangkan yang
kita alami, melainkan dari sejauh mana kita memiliki kemampuan
resiliensi. Bagaimana respon kita terhadap peristiwa terpahit
sekalipun dengan meyakini bahwa badai pasti berlalu.

4. Well-being
Well-being (kesejahteraan), merupakan topik dari psikologi
positif. Standar emas untuk mengukur kesejahteraan adalah
flourishing dan tujuan dari psikologi positif itu sendiri adalah to
increase flourishing (Seligman, 2012). Seligman menyebutkan
bahwa well-being memiliki lima elemen yang dapat diukur, yakni
PERMA (Positive Emotion, Engagement, Relationships, Meaning,
dan Achievement). Kelima elemen tersebut masing-masing
berkontribusi untuk mendefinisikan well-being. Dengan kata lain,
setiap orang dapat memperoleh well-being dari masing-masing
elemen ke tingkat yang berbeda-beda.
Positive emotion mengacu pada perasaan bahagia yang
hedonic, misalnya perasaan gembira, puas, dan ceria. Engagement
mengacu kepada hubungan psikologis kepada aktivitas atau
organisasi (seperti terlibat dalam kehidupan). Relationships merujuk
kepada perasan yang terintegrasi secara sosial, seperti
diperhatikan dan didukung oleh orang lain, serta puas dengan
koneksi sosial seseorang. Meaning adalah keyakinan bahwa hidup
seseorang berharga dan merasa terhubung dengan sesuatu yang
lebih besar dari dirinya sendiri. Terakhir, Achievement adalah
proses untuk menuju tujuan, merasa mampu dalam melakukan
aktivitas sehari-hari, dan mempunyai rasa pencapaian (sense of
achievement) (Kern dkk., 2015).
Berbeda dengan Teori Happiness, Seligman (2012)
mengatakan bahwa well-being tidak hanya muncul di dalam pikiran
kita. Well-being adalah gabungan dari perasaan baik (feeling good)
yang disertai dengan makna, hubungan yang baik, dan
pencapaian. Dalam memilih jalan hidup, kita memaksimalkan
kelima elemen tersebut melalui cara yang juga berbeda-beda. Kita
dapat mengerahkan kekuatan tertinggi ke arah emosi yang lebih
positif, lebih bermakna, lebih banyak pencapaian, dan membangun
hubungan yang lebih baik (Seligman, 2012).
Ryff dan Keyes (Kumar dkk., 2016) memandang kesehatan
mental terbentuk dari kombinasi emotional well-being, social well-
being, dan psychological well-being. Sama halnya dengan Keyes
dan Lopez, mereka mengatakan bahwa kesehatan mental terdiri
atas tingkat emotional, social, dan psychological well-being yang
tinggi. Emotional well-being atau subjective well-being adalah
kehadiran afek positif serta ketiadaan afek negatif dan kepuasan
hidup secara keseluruhan. Diener (dalam Lopez dkk., 2019)
menjelaskan bahwa subjective well-being adalah kombinasi dari
afek positif (tanpa adanya afek negatif) dan kepuasan hidup secara
umum (seperti apresiasi subjektif atas penghargaan hidup). Social
well-being berkaitan dengan koherensi sosial, perasaan menjadi
bagian dari masyarakat, kontribusi sosial, dan penerimaan sosial.
Sedangkan, psychological well-being terdiri atas penerimaan diri,
pertumbuhan diri dan tujuan hidup, penguasaan lingkungan, serta
otonomi dan hubungan positif (Kumar dkk., 2016).
Istilah eudaimonic well-being membicarakan tentang
bagaimana hidup harus lebih dari sekedar kesenangan dan
kepuasaan. Kebahagiaan sejati ditemukan dalam ekspresi virtue
dan melakukan apa yang layak untuk dilakukan (Hefferon &
Boniwell, 2011). Eudaimonic sendiri didefinisikan sebagai
memenuhi atau mewujudkan sifat sejati seseorang, seperti
mengembangkan diri dan terlibat dalam aktivitas untuk kepentingan
diri atau melayani institusi yang lebih besar dari diri sendiri (Huta
dalam Hefferon & Boniwell, 2011).

A. Positive Emotional Experiences


Pengalaman emosi positif merupakan suatu peristiwa yang
menghadirkan perasaan menyenangkan, rileks, tenang, dan
lainnya. Menurut Fredrickson (dalam Fajar & Dicky Hastjarjo, 2017)
pengalaman emosi positif adalah pengalaman yang bersifat
subjektif jadi setiap orang mengalami hal atau peristiwa yang
berbeda-beda. hal ini tergantung pada peristiwa atau kejadian apa
saja yang dialami oleh individu. Memiliki pengalaman emosi positif
juga mempengaruhi bagaimana seseorang tbertindak,
mempersepsikan sesuatu, dan jg berpengaruh kondisi
kesejahteraan individu yang cenderung baik.
Pengalaman emosi positif yang dialami oleh manusia
tidaklah muncul secara spontan. Dalam (Ching & Chan, 2020)
dijelaskan bahwa banyak hal yang mempengaruhi individu sampai
bisa mengalami emosi positif yakni dari berbagai kejadian yang
baik, menyenangkan, dan membahagiakan sehingga individu bisa
menikmati dan menjalankan kehidupannya dengan sejahtera.
Next slide
Bahasan ini membahas lebih lanjut tentang bagaimana
umumnya individu dalam menghadapi pengalaman emosi baik
emosi positif maupun negatif dengan cara yang menghasilkan
pengalaman tersebut menjadi emosi yang bersifat positif. Untuk
dapat memiliki kemampuan tersebut maka individu harus belajar
untuk memproses dan menggunakan emosi secara kompeten serta
dapat memilah sisi baik dari emosi buruk agar tidak mempengaruhi
kehidupan. Pengalaman emosi positif mempengaruhi kualitas hidup
individu. Individu yang memiliki pengalaman emosi positif
cenderung memiliki kehidupan sehat secara kondisi fisik maupun
mentalnya (Kumar dkk., 2016). Pengalaman emosi positif berkaitan
erat juga dengan bagaimana seseorang dalam koping emosi yang
terjadi akibat stres yang dialaminya, kecerdasan dalam memahami
emosi, lalu bagaimana seseorang bisa memilah dan memfokuskan
emosi positif untuk kehidupannya kelak, dan sebagainya
.
Selanjutya akan deijelaskan oleh teman saya
a. Emotion-focused Coping
1) Pengertian dan Jenis Emotion Focused Coping
Emotion focused coping merupakan salah satu sub
tipe dari coping style yang diutarakan oleh Lazarus dan
Folkman (1984). Mereka juga mendefinisikan emotion
focused coping sebagai coping yang diarahkan pada
pengaturan respons emosional terhadap masalah. Tujuan
dari coping jenis ini adalah untuk bergulat dengan reaksi
emosional stressor. Biasanya, strategi ini digunakan disaat
individu merasa bahwa dia tidak bisa mengubah keadaannya
(merasa diluar kendalinya) atau saat sumber dari stresnya
tidak jelas dan kurangnya pengetahuan individu dalam
mengatasi masalah. Anette Stantion membagi emotional
focused coping menjadi dua hal, yaitu:
a) Emotional Processing
Fokus dari emotional processing adalah
memahami reaksi dari stressor pemrosesan
emosional terdiri dari pengakuan perasaan,
meluangkan waktu menemukan perasaan seseorang
yang sebenarnya tentang peristiwa tertentu, dan
mengizinkan perasaan untuk hadir ditengah-tengah
gejolak yang sedang dialami.
b) Emotional Expression
Fokus dari emotional expression adalah untuk
mengekspresikan emosi yang berhubungan dengan
stress. Efek yang berhubungan dengan stress pada
jenis emotional focused coping ini disampaikan
dengan cara diartikulasikannya, terlibat dalam
kegiatan seni, atau bahkan menangis.

2) Aspek Emotion Focused Coping


Berikut aspek emotion focused coping yang
dikemukakan oleh Lazarus & Folkman (dalam
Hamidah, 2020).
a) Distancing
Merupakan upaya kognitif individu dalam
menjelaskan usahanya untuk keluar dari sumber
masalah yang mengganggunya.
b) Positive Reappraisal
Merupakan usaha individu untuk
mengembangkan diri dan menemukan hikmah
dibalik peristiwa yang terjadi dalam masa
perkembangan kepribadian. Terkadang bisa
muncul dalam bentuk sifat religius.
c) Accepting Responsibility
Merupakan usaha individu untuk bertanggung
jawab atas apapun yang dimilikinya.
d) Avoidance/escape
Merupakan khayalan yang dilakukan individu
dalam menghadapi masalahnya dengan cara
melarikan atau mengabaikan diri dari situasi.
e) Self-controlling
Merupakan usaha individu dalam melakukan
regulasi perasaan atau tindakannya dalam situasi
yang tidak disukai.

3) Faktor-Faktor Emotion Focused Coping


Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi emotion
focused coping menurut (Hasanah, 2019):
a) Jenis Kelamin
Seperti yang sering kita dengar, wanita
seringkali lebih dominan pada sisi perasaan. Hal ini
juga lah yang dikemukakan dalam penelitian Billings &
Moss; Widyanti (dalam Hasanah, 2019) bahwa wanita
cenderung menggunakan emotion focused coping
daripada wanita.
b) Pengalaman
Pengalaman seseorang dalam hidup akan
berpengaruh terhadap strategi coping yang dipilih.
Mereka yang punya banyak pengalaman hidup
biasanya memiliki banyak alternatif strategi coping.
c) Psikologis Seseorang
Keadaan kejiwaan seseorang mempunyai
pengaruh terhadap strategi coping yang digunakan.
Adapun yang termasuk dalam keadaan psikologis
seseorang menurut Calvin (dalam Hasanah, 2019)
adalah kepribadian, kematangan intelektual, dan
kematangan emosional.

4) Manfaat Emotion Focused Coping


Emotional focused coping memiliki manfaat jika
ditinjau dari psikologi kesehatan, yaitu bisa menjadi
salah satu cara yang efektif dan bijaksana dalam
menghadapi tantangan dari kondisi yang disebabkan
oleh beberapa penyakit, seperti kanker, penyakit
kronis, dan infertilitas. (Austenfield & Stanton, 2004).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Schwartz,
Cedebaum & Yoon (2018), emotion focused coping
dapat menjadi mekanisme yang melindungi orang
dewasa yang mengalami kekerasan semasa dia
menjadi anak-anak dari ide-ide bunuh diri.

b. Emotional Intelligence
Kecerdasan emosional atau Emotional Intelligence
(EI) menurut Salovey dan Mayer (1990: 189) adalah
kemampuan untuk memantau perasaan dan emosi diri
sendiri dan orang lain, untuk membedakan di antara mereka,
dan menggunakan informasi ini untuk membimbing
pemikiran dan tindakan seseorang. Sedangkan, menurut
Goleman, EI didefinisikan sebagai kemampuan untuk secara
adaptif memahami, memahami, mengatur, dan
memanfaatkan emosi dalam diri dan orang lain (Goleman,
1996; Schutte et al., 2002). Setelah terobosan teori
kecerdasan ganda (Gardner, 1993), orang mulai melihat
bahwa kecerdasan bukan hanya tentang IQ, tetapi beberapa
jenis kecerdasan. Pelopor dalam pengujian kecerdasan
emosional adalah John Mayer, Peter Salovey, dan David
Caruso mengembangkan Model EQ Mayer-Salovey-Caruso,
yaitu 5 tes kecerdasan emosional berbasis tugas (MSCEIT)
141-item (Mayer et al ., 2003). EI menjadi populer melalui
Daniel Goleman (1996), tetapi teori dan penelitian di balik EI
adalah karya ketiga orang ini. Saat ini, ada dua kelompok
model kecerdasan emosional, yaitu The Ability Emotional
Intelligence Model atau Model EI Kemampuan dan Mixed
Emotional Intelligence Model atau Model EI Campuran.
A. Model EI Kemampuan
Model ini dianggap paling kuat dalam hal klasifikasi
objektif. Menurut model Mayer-Solovey-Caruso ini, EI adalah
seperangkat kompetensi atau keterampilan mental yang
mencakup empat tahap (Bracket et al., 2009).
1. Memahami Emosi
Kemampuan memahami dalam bagian ini adalah
kemampuan persepsi untuk mengenali emosi baik dalam diri
sendiri maupun orang lain. Untuk mengembangkan area ini,
tanyakan pada diri kita: Bagaimana perasaan kita?
Bagaimana perasaan orang lain?. Dengan mengenali isyarat
emosional yang halus ini, individu lebih siap untuk
menghadapi keadaan sosial.
2. Menggunakan Emosi
Kemampuan menggunakan emosi untuk memfasilitasi
suasana hati. Misalnya, saat melakukan pekerjaan yang sulit
kita bisa membawa diri kita dalam keadaan tenang dan tidak
terangsang untuk mempersempit fokus. Sebaliknya, jika
perlu melakukan pekerjaan kreatif kita dapat mengangkat
perasaan kita melalui musik atau self-talk untuk
meningkatkan perasaan positif dan dengan demikian
memfasilitasi pola berpikir yang lebih luas. Untuk
mengembangkan area ini, tanyakan pada diri kita:
Bagaimana suasana hati kita memengaruhi pemikiran?
Bagaimana pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan
kita?
3. Memahami Emosi
Orang-orang yang dapat memahami emosi adalah
orang yang hebat karena emosi itu kompleks, misalnya kita
tidak hanya merasakan satu emosi, tapi bisa campuran dari
seluruh perasaan itu. Suatu emosi juga dapat berubah
seiring waktu, misalnya marah dapat berubah menjadi malu
atau penyesalan. Untuk mengembangkan area ini, tanyakan
pada diri kita: Mengapa kita merasakan ini? Apa yang
dimaksud dengan emosi-emosi ini? Apa yang menyebabkan
hal itu bagi kita? Ke mana emosi itu akan pergi?
4. Mengelola Emosi
Kemampuan untuk mengelola, atau mengatur diri
sendiri, dan emosi kita. Dengan demikian, kita dapat
mengidentifikasi kapan dan di mana tidak pantas untuk
mengekspresikan emosi tertentu dan menunggu sampai
waktu yang tepat. Tidak semua orang yang bisa mengelola
emosinya bisa mengelola emosinya pada orang lain. Tetapi,
orang yang mendapat skor tinggi dalam pengelolaan
emosinya, juga dapat mengelola emosinya pada orang lain
dengan baik. Untuk mengembangkan area ini, tanyakan
pada diri kita: Apa yang dapat Anda lakukan? Bagaimana
emosi ini bisa diatur?
Manfaat dari model ini adalah dapat memprediksi
beberapa hasil seperti kesejahteraan, harga diri, lebih
banyak perilaku pro-sosial, lebih sedikit merokok dan
penggunaan alkohol, meningkatkan suasana hati positif,
perilaku kurang kekerasan, keinginan akademis yang lebih
besar dan kinerja kepemimpinan yang lebih tinggi (Salovey
et al., 2002; Brackett et al., 2009).

B. Model Campuran EI
Model ini memandang EI sebagai kombinasi dari
keterampilan emosional dan kepribadian yang dirasakan.
Menurut Goleman, EI penting karena kemampuannya untuk
memprediksi keberhasilan akademis, pekerjaan dan
hubungan lebih baik daripada IQ tradisional (Goleman,
1996). Namun, data longitudinal diperlukan untuk
mengkonfirmasi hubungan sebab akibat antara kinerja dan
EI (Roberts et al., 2001). Untuk mengukur jenis EI ini, peneliti
menggunakan Emotional and Social Competence Inventory,
atau ESCI (2007).
Menurut teori kecerdasan Goleman ada lima bidang
utama dalam model ini, yaitu:
1. Mengelola Emosi
Dimana seseorang terlibat dalam membingkai ulang
kecemasan dan berusaha menghilangkan perasaan
tertekan.
2. Menggunakan Emosi untuk Motivasi Diri
Dimana seseorang menjadi mahir dalam menunda
kepuasan untuk kesuksesan di masa depan.
3. Mengenali Emosi Orang Lain
Dimana seseorang memiliki kemampuan untuk
menunjukkan empati, yang penting untuk hubungan sosial.
4. Mengelola Emosi Orang Lain
Dimana seseorang mampu membantu orang lain
dengan kesusahan mereka atau mendorong motivasi.
5. Kesadaran Diri Emosional
Dimana seseorang mampu memahami dan
mengidentifikasi emosinya sendiri.
Kekurangan dari model ini adalah mengenai laporan
diri EI bahwa dapat berpotensi tidak akurat, tidak tersedia
untuk interpretasi sadar, rentan terhadap pengaruh
keinginan sosial, penipuan dan manajemen kesan (Roberts
et al., 2001). Selain itu, karya Goleman ini telah dicap hanya
sebagai psikologi pop (Mayer et al., 2008).

c. Socioemotional Selectivity

Kemampuan unik manusia untuk memonitor waktu


pada seluruh rentang hidup mereka juga dapat menentukan
seberapa banyak energi yang telah diberikan untuk tujuan
emosional. Seorang psikolog Stanford, Laura Carstensen
yang terkenal dengan “socioemotional selectivity theory”-nya
(1998, Carstensen & Charles) berpendapat bahwa
kehidupan kita pada tahun-tahun berikutnya (the golden
years) akn menjadi bernilai apabila kita tidak terlalu banyak
berfokus pada emosi negatif, tetapi lebih bersahabat dengan
konten emosional setiap hari nya dan menikmati hal-hal baik
dalam hidup. Alasan Carstensen mengemukakan
pendapatnya adalah karena adanya kemungkinan besar kita
akan berpikir di hari tua nanti, bahwa kita hidup hanya sekali
dengan waktu yang tidak tersisa banyak.

Carstensen telah mendemonstrasikan kaum muda


dan rekan mereka yang lebih tua mengelola materi sarat
emosi dengan cara yang berbeda. Dengan tes perhatian
terhadap rangsangan, misalnya peserta yang lebih muda
memperhatikan gambar negatif lebih cepat daripada peserta
lebih tua yang ternyata lebih cepat berorientasi pada gambar
yang sarat dengan emosi positif seperti wajah tersenyum,
bayi bahagia, dan seekor anak anjing (Charles, Mather, &
Carstensen, 2003). Pada kasus mengingat peristiwa
emosional, kaum muda (usia kuliah dan sedikit lebih tua)
tampak mengingat materi positif dan negatif pada tingkat
yang sama. akan tetapi, orang yang lebih tua memiliki bias
positif di mana mereka dapat mengingat materi positif lebih
cepat daripada materi negatif.

Reed dan Carstensen (2012) menyatakan,


“Kepositifan muncul ketika sumber daya kognitif tersedia,
ketika tugas eksperimental atau rangsangan tidak
mengaktifkan pemrosesan otomatis, dan ketika pemrosesan
informasi tidak dibatasi oleh faktor eksternal seperti instruksi
tugas”. Selain itu, ketika tekanan atau risiko kegagalan
tinggi, efek positif tampak menghilang.
Carstensen dan rekannya menemukan bahwa
terdapat efek kelompok usia untuk bagaimana kita
menangani pengalaman hidup sehari-hari yang positif dan
negative. Setelah memantau suasana hati dari 184 orang
(usia 18 tahun ke atas) selama seminggu, Carstensen, dkk.
(2000) menemukan bahwa peserta penelitian yang lebih tua
tidak hanya tidak memusingkan hal-hal kecil tetapi juga
menikmati peristiwa positif seperti mengalami sisa peristiwa
positif yang baik untuk waktu yang lebih lama daripada
rekan-rekan mereka yang lebih muda. Dengan temuan ini,
tampaknya pengalaman positif dan emosi positif menjadi
prioritas kita seiring bertambahnya usia dan
mempertimbangkan kematian kita. Bertentangan dengan
ketertarikan anak muda dengan tujuan berorientasi masa
depan yang berkaitan dengan memperoleh informasi dan
memperluas wawasan, orang tua tampaknya berorientasi
pada tujuan “sekarang” yang menumbuhkan makna
emosional lebih dalam (Kennedy, Fung, & Carstensen, 2001;
Reed & Carstensen, 2012). Selektivitas terhadap
rangsangan positif ini mungkin dapat digunakan dalam
mempromosikan perilaku positif lainnya pada orang dewasa
atau yang lebih tua.

Notthoff dan Carstensen (2014, 2017) menunjukkan


penggunaan pesan positif seperti; “Berjalan dapat memiliki
manfaat kesehatan kardiovaskular yang penting.” untuk
memotivasi orang tua agar lebih dapat berolahraga dengan
berjalan, lebih sukses daripada penggunaan pesan negatif
seperti; “Tidak cukup berjalan dapat menyebabkan
peningkatan risiko penyakit kardiovaskular.” Jenis pesan ini
mungkin memiliki implikasi untuk mendorong orang dewasa
yang lebih tua menjadi terlibat dalam perilaku bermanfaat
lainnya. Selain itu, dengan memperhatikan kekuatan
(sebagai lawan dari kelemahan) pada orang dewasa yang
lebih tua dapat membantu mereka untuk tetap menjadi
bagian dari angkatan kerja (Carstensen, Beals, & Deevy,
2015).

Kecenderungan untuk lebih banyak mengingat


informasi positif daripada informasi negative dapat
digeneralisasikan ke budaya lain. Studi menunjukkan bahwa
orang dewasa China memiliki pola memori gambar positif
dan negatif yang sama (Chung & Lin, 2012), meskipun
mereka tidak sepenuhnya memiliki pola sama dalam
memperhatikan visual gambar positif (Fung et al., 2008).
Dalam studi yang dilakukan oleh Chung dan Lin, orang
dewasa China mengingat sedikit gambar negatif
dibandingkan dengan gambar positif dan mereka mengingat
lebih sedikit gambar negatif dibandingkan dengan rekan-
rekan mereka di AS. Para peneliti berhipotesis bahwa,
mungkin sebagian karena pandangan yang lebih negatif
tentang penuaan yang dipegang oleh orang dewasa yang
lebih tua di Amerika Serikat dibanding dengan pandangan
tentang penuaan di Cina.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, beberapa


hasil yang menunjukkan mungkin merupakan hasil dari
persepsi orang dewasa yang lebih tua bahwa waktu secara
umum berkurang bagi mereka. Ersner-Hershfield dkk. (2008)
membandingkan pengalaman kepedihan (emosi campur
aduk terkait kehilangan sesuatu yang berarti) pada orang
dewasa yang lebih muda dan lebih tua. Hasil menunjukkan
bahwa usia bukanlah faktor yang signifikan dalam
pengalaman kepedihan (Ersner Hershfield et al., 2008).

Dengan mengingat pengalaman positif, menikmati


saat-saat indah dalam hidup, dan menetapkan serta
berinvestasi dalam tujuan yang berfokus pada emosi secara
sistematis mempengaruhi preferensi sosial, regulasi emosi,
dan pemrosesan kognitif. Oleh karena itu, secara
keseluruhan, melihat proses penuaan dalam berbagai
kelompok budaya mungkin dapat memberi kita informasi
berharga tentang cara terbaik untuk berjuang demi
kehidupan emosional yang lebih dalam.

d. Emotional Storytelling
Paradigma Pennebaker sebagai Sarana Memproses
Emosi Negatif yang Intens. Sesekali, kita mengalami
peristiwa kehidupan yang mengguncang kita sampai ke inti
kita. Peristiwa traumatis yang menyebabkan pergolakan
emosional dapat melampaui sumber daya baik yang
berfokus pada emosi, yang cerdas secara emosional, dan
tua dan muda. Sangat mungkin (dengan probabilitas 95%)
bahwa, ketika kita mengalami peristiwa emosional yang luar
biasa, kita akan berbagi pengalaman dengan teman atau
anggota keluarga dalam hari yang sama dengan kejadian itu,
biasanya dalam beberapa jam pertama (Rime, 1995).).
Hampir seolah-olah kita dipaksa untuk menceritakan kisah
penderitaan emosional kita. Mungkinkah kita telah belajar
bahwa tidak membicarakan emosi kita yang intens memiliki
konsekuensi yang mengerikan? Pertanyaan ini dan banyak
hipotesis penelitian terkait telah menjadi pendorong bagi
pekerjaan psikolog Universitas Texas James Pennebaker.
Pada tahun 1989, Dr. Pennebaker memulai bidang penelitian
ini dengan mengajukan permintaan berikut dari peserta
penelitian sarjana dalam kelompok eksperimen studi:
Selama empat hari kedepan, saya ingin ... Anda
menulis tentang pikiran dan perasaan terdalam Anda
tentang pengalaman paling traumatis dalam hidup Anda.
Dalam tulisan Anda, saya ingin Anda benar-benar
melepaskan dan mengeksplorasi emosi dan pikiran terdalam
Anda. Anda mungkin mengaitkan topik Anda dengan
hubungan Anda, termasuk orang tua, kekasih, teman, atau
kerabat. Anda mungkin juga ingin menghubungkan
pengalaman Anda dengan masa lalu, masa kini, atau masa
depan Anda, atau dengan siapa Anda dulu, siapa yang Anda
inginkan, atau siapa Anda sekarang. Anda dapat menulis
tentang masalah atau pengalaman umum yang sama pada
semua hari menulis, atau tentang trauma yang berbeda
setiap hari. Semua tulisan Anda akan sepenuhnya
dirahasiakan. (hal. 215)
Peserta kelompok kontrol diminta untuk menulis
selama 15 menit sehari selama 4 hari tetapi tentang topik
nonemosional (misalnya, deskripsi ruangan tempat mereka
duduk). Semua peserta diminta untuk menulis terus
menerus, tanpa memperhatikan ejaan, tata bahasa, dan
struktur kalimat. Efek langsung dari dua intervensi
sedemikian rupa sehingga kelompok eksperimen lebih
tertekan. Kemudian, seiring waktu (dimulai 2 minggu setelah
penelitian), anggota kelompok bercerita emosional
mengalami banyak manfaat kesehatan, termasuk kunjungan
dokter yang lebih sedikit selama tahun berikutnya,
dibandingkan dengan anggota kelompok kontrol.
Peneliti lain telah menemukan bahwa fitur tertentu
dalam narasi yang dibangun untuk tujuan ini dapat
memprediksi hasil kesehatan (Ramírez-Esparza &
Pennebaker, 2006). Para peneliti ini telah menemukan
bahwa ketika orang menggunakan lebih banyak kata-kata
dengan emosi positif (seperti bahagia atau tertawa) sebagai
bagian dari tulisan ekspresif, kesehatan mereka meningkat
lebih baik. Selain itu, peserta yang menggunakan kata-kata
kognitif yang secara khusus terkait dengan wawasan atau
kausalitas membuat terobosan yang lebih besar menuju
kesehatan yang lebih baik juga. Jadi, bagaimana dan apa
yang kita tulis dapat mempengaruhi manfaat dari teknik ini.
Menulis ekspresif secara emosional mungkin memiliki
manfaat di banyak populasi. Menulis tentang emosi dan
pengalaman emosional mungkin sangat bermanfaat bagi
individu yang lebih suka menggunakan gaya pendekatan
emosi untuk mengatasi masalah dalam hidup mereka
(Austenfeld & Stanton, 2008). Prosedur penelitian ini hanya
melibatkan tindakan pengungkapan tertulis dari pergolakan
emosional yang biasa kita sebut sebagai penceritaan
emosional yang sekarang disebut sebagai paradigma
Pennebaker (pengungkapan tertulis yang sistematis di
seluruh sesi singkat). Teknik ini telah digunakan untuk
mengatasi emosi yang terkait dengan kehilangan pekerjaan,
diagnosis penyakit, dan putusnya hubungan (ditinjau dalam
Pennebaker, 1997).
Beberapa juga telah menemukan manfaat dari
menggunakan mendongeng untuk mengajar anak-anak
bagaimana mengembangkan kerangka emosional mereka
sendiri dan mungkin mempengaruhi keterikatan yang lebih
baik dengan orang tua (Frude & Killick, 2011). Ketika orang
tua membiarkan respons emosional mereka sendiri terhadap
karakter dalam sebuah cerita untuk dilihat, selain
mendiskusikan emosi potensial dari karakter itu sendiri,
anak-anak mungkin lebih mampu mengatasi berbagai emosi
dalam kehidupan mereka sendiri melalui pemodelan ini.
Kami percaya penjelasan tentang potensi penceritaan
emosional ini dapat disimpulkan sebagai bekerja secara
strategis dengan emosi dalam konteks sosial.

B. Isu Terkini Berkaitan dengan Topik


a. Jurnal 1

Identitas Jurnal Judul


Give a dog a bone: Spending money on pets
promotes happiness

Penulis
Michael W. White, Nazia Khan, Jennifer S. Deren,
Jessica J. Sim dan Elizabeth A. Majka

Jurnal
The Journal of Positive Psychology

Tahun
2022

Vol, No.
Volume 4, Issue 4

DOI
https://doi.org/10.1080/17439760.2021.1897871

Tujuan Untuk mengetahui kemungkinan bahwa


Penelitian mengeluarkan uang untuk hewan peliharaan dapat
meningkatkan kebahagiaan.

Metode Penelitian ini menggunakan dua metode


Penelitian eksperimen. Pada eksperimen pertama (recall
experiment), partisipan (pemilik hewan peliharaan)
secara acak diinstruksikan untuk mengingat kembali
terakhir kali mereka menghabiskan uang (sekitar 5
dolar) untuk salah satu dari tiga opsi pilihan (diri
mereka sendiri, hewan peliharaan mereka, atau
orang lain). Partisipan kemudian
mendeskripsikannya secara mendetail dengan
beberapa kalimat. Setelah itu, dilakukan pengukuran
happiness dan dianalisis menggunakan one-way
ANOVA. Hasil dari eksperimen pertama memberi
bukti bahwa partisipan lebih merasa bahagia setelah
mengingat kembali bagaimana mereka
menghabiskan 5 dolarnya untuk hewan peliharaan
daripada diri sendiri (pribadi). Sementara itu,
pengeluaran untuk orang lain (prososial spending;
memberikan hadiah dsb.) tidak menunjukkan tingkat
kebahagiaan yang lebih tinggi daripada pengeluran
pribadi.
Pada eksperimen kedua (field experiment), peneliti
melakukan replikasi dan memperluas temuan dari
eksperimen pertama menggunakan sampel
komunitas serta mengatasi kemungkinan kesalahan
dalam mengingat kembali dan bias dalam memori
dengan memeriksa pembelian aktual. Hal ini
dilakukan dengan cara partisipan secara acak diberi
5 dolar dan diminta untuk menghabiskannya kepada
tiga opsi tadi. Peneliti melakukan pengukuran
positive affect untuk mengeksplor apakah
keuntungan afektif dengan menghabiskan uang
untuk hewan peliharaan spesifik kepada perasaan
bahagia atau meluas kepada emosi positif secara
umum. Setelah membelanjakan uangnya, partisipan
mengisi survei pengukuran dan peneliti melanjutkan
datanya dengan one-way ANOVA dan tes posthoc.
Hasil dari eksperimen kedua adalah partisipan yang
menghabiskan uangnya untuk hewan peliharaannya
lebih bahagia daripada yang menghabiskannya
untuk pribadi dan orang lain. Tidak ada perbedaan
kebahagiaan yang signifikan antara pembelian
pribadi dan prososial (orang lain).
Hasil Penelitian Kedua eksperimen mendukung hipotesis penelitian
bahwa mengeluarkan uang untuk hewan peliharaan
dapat meningkatkan kebahagiaan. Penelitian ini
juga dapat memberikan strategi untuk meningkatkan
kesejahteraan (well-being) dengan memanfaatkan
hubungan mereka dengan hewan peliharaannya.

Kesimpulan Memberikan hewan peliharaan hadiah tidak


mengubah pemilik dari sedih menjadi bahagia.
Namun, penemuan pada penelitian ini dapat
berpeluang untuk mengalami kebahagiaan yang
lebih besar.

Analisis
Dari jurnal tersebut dapat dilihat bahwa memuaskan
kebutuhan untuk memiliki adalah yang terpenting untuk
kesejahteraan (Baumeister & Leary,1995) dan memiliki
hubungan sosial yang kuat adalah karakteristik utama dari
orang-orang yang 'paling bahagia' (Diener & Seligman,2002;
Diener dkk., 2018). Sejalan dengan ini, pemilik hewan
peliharaan dapat membelanjakan hewan peliharaan mereka
sebagai strategi berbasis bukti tambahan untuk
meningkatkan kesejahteraan mereka. Ini penting karena
kebahagiaan memprediksi hasil pribadi dan organisasi yang
positif (Boehm & Lyubomirsky,2008). Pada saat yang sama,
literatur kebahagiaan menunjukkan berbagai kegiatan yang
disengaja yang dapat digunakan orang untuk meningkatkan
kebahagiaan mereka. Misalnya, orang dapat
mengungkapkan rasa syukur dan menghitung berkat
mereka, melakukan tindakan baik, bermeditasi, berolahraga,
dan memvisualisasikan diri ideal mereka (Lyubomirsky dkk.,
2005; Sheldon & Lyubomirsky, 2019). Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa bahagia dapat dicapai dengan banyak
cara dengan sumber yang berbeda-beda.

b. Jurnal 2

Identitas Jurnal Judul :Emosi Positif Berhubungan dengan


Kualitas Hidup Pasien Kanker

Penulis : Ema Yuliani, Ah. Yusuf, dan Ni Ketut


Alit Armini

Jurnal : Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa

Tahun : 2020

Vol, No. : 3(4)

DOI : https://doi.org/10.32584/jikj.v3i4.645

Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui


Penelitian hubungan antara emosi positif dengan kualitas
hidup pasien kanker di Rumah Singgah Pasien
Surabaya melalui penelitian kuantitatif.

Metode Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif


Penelitian analitik dengan pendekatan cross-sectional.
populasi penelitian adalah seluruh pasien kanker
yang tinggal di Rumah Singgah Pasien Surabaya.
Subjek penelitian dipilih menggunakan teknik
Consecutive sampling merupakan pasien yang
tinggal di Rumah Singgah Pasien pada 1 Januari
2020 sampai 30 April 2020 dengan kriteria pasien
berusia 26-45 tahun, mempunyai kesadaran
komposmentis, dapat membaca dan menulis, dan
dapat mengoperasikan android.

Jumlah sampel dihitung menggunakan rumus


sampel slovin dengan taraf signifikansi 0,1 dan
didapatkan sampel sebesar 45,05 yang kemudian
disesuaikan dengan hasil sampling sehingga jumlah
sampel menjadi 43 pasien.

Penelitian juga dilakukan langsung di Rumah


Singgah Pasien IZI Jatim dan Rumah SInggah
Pasien Sasana Marsudi Husada pada 18 Mei hingga
28 Mei 2020. Teknik pengambilan data dilakukan
secara daring dengan menggunakan platform
google form.

Alat ukur variabel emosi positif menggunakan 20


aitem modified Differential Emotions Scale yang
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan dilakukan uji validitas dan reliabilitas oleh
peneliti pada 30 responden yang berbeda dari
subjek penelitian, namun dilakukan di rumah
singgah yang sama.

Skor emosi positif dan emosi negatif dihitung


sebagai rata-rata total skor jawaban dari 10 item
yang berkisar 0-4, dengan skor lebih tinggi
menunjukkan pengalaman emosi positif atau emosi
negatif yang lebih tinggi (Gloria & Steinhardt, 2016).
Pada variabel kualitas hidup diukur menggunakan
kuesioner EORTC QLQ-C30, skor yang didapat
diukur dengan rumus transformasi linier.
Kemudian, data diolah dan di uji dengan uji statistik
non-parametric korelasi spearman.

Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai hubungan emosi


positif dengan kualitas hidup menunjukkan
bahwa emosi positif dan kualitas hidup
memiliki hubungan searah

Kesimpulan Adanya hubungan yang signifikan antara emosi


positif dan kualitas hidup pasien kanker di Rumah
Singgah Pasien Surabaya. Semakin tinggi tingkat
pengalaman emosi positif maka semakin tinggi
kualitas hidup pasien kanker. Sedangkan pada
hubungan yang lemah dipengaruhi oleh faktor
demografi responden.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Ching, C. L., & Chan, V. L. (2020). Positive emotions, positive feelings


and health: A life philosophy. Linguistics and Culture Review, 4(1), 1-
14. https://doi.org/10.37028/lingcure.v4n1.16

Fajar, Y., & Dicky Hastjarjo, T. (2017). Peran Pandangan Dunia dan
Emosi Positif terhadap Kepribadian Multikultural. GADJAH MADA
JOURNAL OF PSYCHOLOGY, 3(2), 110–122.

Hefferon, K., & Boniwell, I. (2011). Positive psychology: Theory, research


and applications. Open University Press.

Sarmadi, S. (2018). PSIKOLOGI POSITIF. Titah Surga.

Kern, M. L., Waters, L. E., Adler, A., & White, M. A. (2015). A


multidimensional approach to measuring well-being in students:
Application of the PERMA framework. The Journal of Positive
Psychology, 10(3), 262–271.
https://doi.org/10.1080/17439760.2014.936962

Kumar, U., Archana, A., & Parkash, V. (2016). Positive psychology:


Applications in work, health, and well-being. Pearson.

Lopez, S. J., Pedrotti, J. T., & Snyder, C. R. (2019). Positive psychology:


The scientific and practical explorations of Human Strengths. SAGE
Publications, Inc.

Seligman, M. (2012). Flourish: A visionary new understanding of


happiness and well-being. Atria.

Schwartz, A. ,Cedebaum, J. A. & Yoon, Y., (2018). Chilhood Sexual Abuse


and Current Suicidical Ideation Among Alosescents: Problem
Focused and Emotion Focused Coping Skills. Journal of
Adolescents, 67, 120-128.
https://doi.org/10.1016/j.adolescence.2018.06.009.

Compton, W.C. & Hoffman, E.(2012).Possitive Pshycology : The Science of


Happiness and Flourishing 2ed.Wadsworth Cengage Learning.

Hamidah, S. P. (2020). Hubungan antara Emotion Focuses Coping (EFC)


dengan Prokrastinasi Akademik pada Mahasiswa.
Skripsi.Universitas Islam Negeri Sunan Ampel.

Hasanah, U. (2019). Hubungan Hardiness dengan Emotion Focused


Coping pada Anak dan Remaja yang sedang Berhadapan dengan
Hukum (ABH).Jurnal An-Nafs-Kajian Penelitian Psikologis, 4(1), 53-
69.
LAMPIRAN

Nama NIM Kontribusi Persentase

Annisa 15000120140224 Menyusun 11,1%


menganalisis
Risfitriasari
jurnal dan
mencari materi
emotional
intelligence

Eka Putri A 15000120140186 Membuat PPT 11,1%


dan mencari
materi
Happiness

Fatkhiya 15000120140090 Menyusun 11,1%


menganalisis
Khoirunnisa
jurnal dan
mencari materi
socioemotional
selectivity

Jhon Aldo De 15000120130099 Menyusun 11,1%


menganalisis
Britto
jurnal dan
mencari materi
Positive affect

Nabilah Larashati 15000120140187 Menyusun 11,1%


menganalisis
jurnal dan
mencari materi
well being

Shafa' Kamilah 15000120110082 Menyusun 11,1%


makalah,
Rizal
Membuat Cover
dan mencari
materi Positive
emotion

Shilfia 15000120130151 Menyusun 11,1%


makalah dan
Faiqotulmuna
mencari materi
emotional
storytelling

Vania Fesyandha 150 Membuat PPT 11,1%


dan mencari
Winata 001
materi Positive
201 emotional
experiences
302
61

Zaroul Firdaus 15000120130200 Membuat ppt & 11,1%


mencari materi
emotional
focused coping

Anda mungkin juga menyukai