Kelompok 1 - Positive Emotional State
Kelompok 1 - Positive Emotional State
Tim Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1.
C. Tujuan dan Manfaat
1.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Emosional
1. Positive Affect
Afek adalah respons fisiologis langsung seseorang terhadap suatu
stimulus, dan biasanya didasarkan pada rasa gairah yang mendasarinya. Secara
khusus, Profesor Nico Frijda (1999) beralasan bahwa Afek melibatkan penilaian
suatu peristiwa sebagai menyakitkan atau menyenangkan—yaitu, valensinya—
dan pengalaman gairah otonom. Sementara itu, Afek positif adalah sejauh mana
seseorang mengalami kegembiraan, kepuasan, dan sebagainya. Afek positif
berfungsi sebagai motivasi untuk bertindak, yaitu, perilaku koping aktif yang
mengarah pada kemungkinan besar hasil yang efektif yang membantu individu
untuk melewati stres dengan sukses.
Selanjutnya, para peneliti menemukan bahwa mungkin ada dua jenis Afek
positif itu sendiri (Gilbert et al., 2008). Yang pertama mungkin terkait dengan
sistem dopaminergik, yang mengontrol dorongan / pencarian, sedangkan yang lain
mungkin terkait dengan sistem opiat / oksitosin, yang menginduksi
menenangkan / kepuasan. Gilbert dkk. (2008:182) menemukan bahwa Afek
positif memang dimediasi oleh tiga faktor yang mendasari: afek positif yang
diaktifkan, afek positif yang rileks, dan aman/konten afek positif, dengan yang
terakhir berkorelasi negatif tertinggi dengan depresi, kecemasan, stres, kritik diri,
dan keterikatan yang tidak aman.
David Watson (1988, 2000; Stanton & Watson, 2014) dari Universitas
Notre Dame
2. Positive Emotion
Emosi positif didefinisikan sebagai pengalaman subjektif,
dimana penilaian atau pandangan positif individu mengenai
pengalaman emosi yang ia alami dalam kehidupan dna berdampak
pada perluasan pemikiran dan tindakan sesaat seseorang
(Fredrickson, 2001). Fredrickson juga memaparkan dalam broaden-
and build emosi positifnya bahwa memperluas peikiran dna
tindakan untuk membangu sumber daya pribadi yang berfungsi
sebagai cadangan yang digambarkan untuk memperbaiki peluang
coping yang sukses dalam kelangsungan hidup. Fungsi sumber
daya dari produksi emosi positif akan mempengaruhi kepribadian
individu.
Emosi positif menghasilkan 'organisasi kognitif yang luas
dan fleksibel dan kemampuan untuk mengintegrasikan materi yang
beragam' (Isen, 1990). Isen juga mengatakan bahwa Individu yang
mengalami emosi positif akan menunjukan pola pemikiran yang
tidak bisa dimana mereka memiliki pemikiran yang fleksibel, mudah
mendapatkan solusi dalam sebuah masalah, kreatif, integratif,
efisien, dan terbuka akan informasi.
3. Happiness
Happiness atau kebahagiaan, merupakan hal yang paling
dicari dan diharapkan oleh manusia. Segala cara ditempuh
manusia untuk mendapatkan kebahagiaan, ada yang melalui jalan
yang baik ada juga melalui jalan yang buruk. Dengan cara itu,
seluruh pikiran, tenaga, dan waktu manusia dihabiskan untuk
mengejar yang namanya happiness. Kata happiness atau
kebahagiaan seringkali dikaitkan dengan kondisi emosional dari
seseorang dan bagaimana individu tersebut merasakan diri dan
dunia sekitarnya. Menurut Alan Carr (2004), kebahagiaan
didefinisikan sebagai kondisi psikologis dari seseorang yang positif,
yang ditandai dengan tingginya kepuasan terhadap masa lalu,
tingginya tingkat emosi positif, dan rendahnya tingkat emosi negatif.
Selain itu, menurut Martin E. P. Seligman (2005), kebahagiaan
sesungguhnya merupakan hasil dari bagaimana seorang individu
melakukan penilaian terhadap diri dan hidup mereka, yang memuat
emosi positif seperti kegembiraan dan kenyamanan maupun
aktivitas yang positif. Dalam istilah umum, kebahagiaan merujuk
pada kenikmatan atau kepuasan yang menyenangkan dalam
pemenuhan keinginan, kesejahteraan, dan keamanan. Dengan
kata lain, kebahagiaan adalah pencapaian dari cita-cita atau
harapan yang berhasil didapatkan. Menurut Yeniar Indriana (2012),
kebahagiaan juga merupakan tujuan utama dalam kehidupan
manusia.
Kebahagiaan memiliki dampak positif dalam segala aspek
yang ada dalam hidup dan mengarahkan manusia pada hidup yang
lebih baik. Beberapa tokoh yang pernah mengkaji tentang
kebahagiaan menunjukkan jika sebenarnya kebahagiaan itu
bersifat subyektif dan tergantung dari penilaian masing-masing
individu yang menjadi penilai terbaik mengenai kebahagiaan yang
dirasakan sendiri. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan “this
conceptualization emphasizes the subjective nature of happiness
and hold individual human being to be the single best judges of
their own happiness” (konseptualisasi ini menekankan pada sifat
subjektif kebahagiaan dan individu manusia yang menjadi hakim
tunggal terbaik kebahagiaan mereka sendiri). Dari munculnya
psikologi positif dalam kajian psikologi modern, diharapkan mampu
untuk mendorong manusia untuk menyadari berbagai sifat positif
yang dimiliki. Sehingga, manusia bisa mencapai hidup yang
berkualitas dan lebih bahagia.
Menurut Seligman, terdapat lima aspek utama yang menjadi
sumber kebahagiaan autentik, yaitu:
1. Menjalin hubungan positif dengan orang lain
Menurut John Maxwell (2004), semua keberhasilan pada
hidup kita berasal dari bagaimana kita memulai hubungan dengan
orang yang tepat dan kemudian memperkuat hubungan itu dengan
menggunakan keterampilan yang baik dalam berhubungan.
Dengan kata lain, dari sebuah hubungan dapat membuat kita
berhasil ataupun sebaliknya. Karena dari kualitas suatu hubungan
dengan orang lain juga akan menentukan kesuksesan dari kita.
2. Keterlibatan penuh
Pada dasarnya, bukan hanya pekerjaan dengan penghasilan
banyak yang mampu membuat orang merasa bahagia, tetapi
bagaimana mereka melibatkan diri sepenuhnya pada pekerjaan
yang mereka tekuni. Keterlibatan penuh tidak hanya pada karir
pekerjaan saja, tetapi juga dalam aktivitas sehari-hari seperti
aktivitas dengan keluarga dan hobi. Dengan melibatkan diri secara
penuh, tidak hanya fisik yang menjalani, tetapi pikiran dan perasaan
juga turut terlibat.
3. Temukan makna dalam keseharian
Dalam hubungan yang positif dan keterlibatan penuh dalam
keseharian, ada satu cara lain untuk bisa merasakan bahagia, yaitu
menemukan makna dalam apapun yang kita lakukan. Dua dekade
sebelum Seligman, Abraham Maslow pernah membicarakan salah
satu resep untuk berbahagia. Maslow menyebutnya dengan
pengalaman puncak (peak experience). Menurut Maslow, saat kita
mengalaminya kita akan merasakan luapan emosi yang penuh
dengan rasa haru, syukur, kagum, dan kepuasan yang tidak bisa
digambarkan. Pengalaman puncak ini bisa kita rasakan dalam
keseharian, tidak perlu menunggu momen-momen tertentu.
Contohnya adalah kita bisa merasakan pengalaman puncak saat
menikmati matahari pagi, atau kala menggenggam tangan
pasangan yang telah menemani kita selama ini. Dengan sering
merasakan hal-hal kecil seperti itu, kita bisa menemukan makna
indah dari sepanjang hidup ini.
4. Optimis, namun tetap realistis
Orang yang optimis dalam menjalani hidup akan lebih
bahagia. Karena mereka menjalani hidup dengan penuh harapan,
sehingga tidak mudah untuk merasa cemas. Seperti kita tahu, jika
harapan akan selalu menguatkan. Namun, menurut Schneider
(2002), optimisme yang kita miliki harus tetap memijak bumi.
Dengan kata lain, kita boleh optimis, tapi juga harus realistis.
Dengan menjadi sosok yang optimis, langkah kita dalam kehidupan
akan menjadi lebih ringan. Namun, juga perlu tindakan nyata yang
disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi dari kita.
5. Menjadi pribadi yang resilien
Manusia yang bahagia belum tentu tidak pernah mengalami
yang namanya penderitaan. Karena kebahagiaan tidak selamanya
bergantung dari seberapa banyak peristiwa menyenangkan yang
kita alami, melainkan dari sejauh mana kita memiliki kemampuan
resiliensi. Bagaimana respon kita terhadap peristiwa terpahit
sekalipun dengan meyakini bahwa badai pasti berlalu.
4. Well-being
Well-being (kesejahteraan), merupakan topik dari psikologi
positif. Standar emas untuk mengukur kesejahteraan adalah
flourishing dan tujuan dari psikologi positif itu sendiri adalah to
increase flourishing (Seligman, 2012). Seligman menyebutkan
bahwa well-being memiliki lima elemen yang dapat diukur, yakni
PERMA (Positive Emotion, Engagement, Relationships, Meaning,
dan Achievement). Kelima elemen tersebut masing-masing
berkontribusi untuk mendefinisikan well-being. Dengan kata lain,
setiap orang dapat memperoleh well-being dari masing-masing
elemen ke tingkat yang berbeda-beda.
Positive emotion mengacu pada perasaan bahagia yang
hedonic, misalnya perasaan gembira, puas, dan ceria. Engagement
mengacu kepada hubungan psikologis kepada aktivitas atau
organisasi (seperti terlibat dalam kehidupan). Relationships merujuk
kepada perasan yang terintegrasi secara sosial, seperti
diperhatikan dan didukung oleh orang lain, serta puas dengan
koneksi sosial seseorang. Meaning adalah keyakinan bahwa hidup
seseorang berharga dan merasa terhubung dengan sesuatu yang
lebih besar dari dirinya sendiri. Terakhir, Achievement adalah
proses untuk menuju tujuan, merasa mampu dalam melakukan
aktivitas sehari-hari, dan mempunyai rasa pencapaian (sense of
achievement) (Kern dkk., 2015).
Berbeda dengan Teori Happiness, Seligman (2012)
mengatakan bahwa well-being tidak hanya muncul di dalam pikiran
kita. Well-being adalah gabungan dari perasaan baik (feeling good)
yang disertai dengan makna, hubungan yang baik, dan
pencapaian. Dalam memilih jalan hidup, kita memaksimalkan
kelima elemen tersebut melalui cara yang juga berbeda-beda. Kita
dapat mengerahkan kekuatan tertinggi ke arah emosi yang lebih
positif, lebih bermakna, lebih banyak pencapaian, dan membangun
hubungan yang lebih baik (Seligman, 2012).
Ryff dan Keyes (Kumar dkk., 2016) memandang kesehatan
mental terbentuk dari kombinasi emotional well-being, social well-
being, dan psychological well-being. Sama halnya dengan Keyes
dan Lopez, mereka mengatakan bahwa kesehatan mental terdiri
atas tingkat emotional, social, dan psychological well-being yang
tinggi. Emotional well-being atau subjective well-being adalah
kehadiran afek positif serta ketiadaan afek negatif dan kepuasan
hidup secara keseluruhan. Diener (dalam Lopez dkk., 2019)
menjelaskan bahwa subjective well-being adalah kombinasi dari
afek positif (tanpa adanya afek negatif) dan kepuasan hidup secara
umum (seperti apresiasi subjektif atas penghargaan hidup). Social
well-being berkaitan dengan koherensi sosial, perasaan menjadi
bagian dari masyarakat, kontribusi sosial, dan penerimaan sosial.
Sedangkan, psychological well-being terdiri atas penerimaan diri,
pertumbuhan diri dan tujuan hidup, penguasaan lingkungan, serta
otonomi dan hubungan positif (Kumar dkk., 2016).
Istilah eudaimonic well-being membicarakan tentang
bagaimana hidup harus lebih dari sekedar kesenangan dan
kepuasaan. Kebahagiaan sejati ditemukan dalam ekspresi virtue
dan melakukan apa yang layak untuk dilakukan (Hefferon &
Boniwell, 2011). Eudaimonic sendiri didefinisikan sebagai
memenuhi atau mewujudkan sifat sejati seseorang, seperti
mengembangkan diri dan terlibat dalam aktivitas untuk kepentingan
diri atau melayani institusi yang lebih besar dari diri sendiri (Huta
dalam Hefferon & Boniwell, 2011).
b. Emotional Intelligence
Kecerdasan emosional atau Emotional Intelligence
(EI) menurut Salovey dan Mayer (1990: 189) adalah
kemampuan untuk memantau perasaan dan emosi diri
sendiri dan orang lain, untuk membedakan di antara mereka,
dan menggunakan informasi ini untuk membimbing
pemikiran dan tindakan seseorang. Sedangkan, menurut
Goleman, EI didefinisikan sebagai kemampuan untuk secara
adaptif memahami, memahami, mengatur, dan
memanfaatkan emosi dalam diri dan orang lain (Goleman,
1996; Schutte et al., 2002). Setelah terobosan teori
kecerdasan ganda (Gardner, 1993), orang mulai melihat
bahwa kecerdasan bukan hanya tentang IQ, tetapi beberapa
jenis kecerdasan. Pelopor dalam pengujian kecerdasan
emosional adalah John Mayer, Peter Salovey, dan David
Caruso mengembangkan Model EQ Mayer-Salovey-Caruso,
yaitu 5 tes kecerdasan emosional berbasis tugas (MSCEIT)
141-item (Mayer et al ., 2003). EI menjadi populer melalui
Daniel Goleman (1996), tetapi teori dan penelitian di balik EI
adalah karya ketiga orang ini. Saat ini, ada dua kelompok
model kecerdasan emosional, yaitu The Ability Emotional
Intelligence Model atau Model EI Kemampuan dan Mixed
Emotional Intelligence Model atau Model EI Campuran.
A. Model EI Kemampuan
Model ini dianggap paling kuat dalam hal klasifikasi
objektif. Menurut model Mayer-Solovey-Caruso ini, EI adalah
seperangkat kompetensi atau keterampilan mental yang
mencakup empat tahap (Bracket et al., 2009).
1. Memahami Emosi
Kemampuan memahami dalam bagian ini adalah
kemampuan persepsi untuk mengenali emosi baik dalam diri
sendiri maupun orang lain. Untuk mengembangkan area ini,
tanyakan pada diri kita: Bagaimana perasaan kita?
Bagaimana perasaan orang lain?. Dengan mengenali isyarat
emosional yang halus ini, individu lebih siap untuk
menghadapi keadaan sosial.
2. Menggunakan Emosi
Kemampuan menggunakan emosi untuk memfasilitasi
suasana hati. Misalnya, saat melakukan pekerjaan yang sulit
kita bisa membawa diri kita dalam keadaan tenang dan tidak
terangsang untuk mempersempit fokus. Sebaliknya, jika
perlu melakukan pekerjaan kreatif kita dapat mengangkat
perasaan kita melalui musik atau self-talk untuk
meningkatkan perasaan positif dan dengan demikian
memfasilitasi pola berpikir yang lebih luas. Untuk
mengembangkan area ini, tanyakan pada diri kita:
Bagaimana suasana hati kita memengaruhi pemikiran?
Bagaimana pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan
kita?
3. Memahami Emosi
Orang-orang yang dapat memahami emosi adalah
orang yang hebat karena emosi itu kompleks, misalnya kita
tidak hanya merasakan satu emosi, tapi bisa campuran dari
seluruh perasaan itu. Suatu emosi juga dapat berubah
seiring waktu, misalnya marah dapat berubah menjadi malu
atau penyesalan. Untuk mengembangkan area ini, tanyakan
pada diri kita: Mengapa kita merasakan ini? Apa yang
dimaksud dengan emosi-emosi ini? Apa yang menyebabkan
hal itu bagi kita? Ke mana emosi itu akan pergi?
4. Mengelola Emosi
Kemampuan untuk mengelola, atau mengatur diri
sendiri, dan emosi kita. Dengan demikian, kita dapat
mengidentifikasi kapan dan di mana tidak pantas untuk
mengekspresikan emosi tertentu dan menunggu sampai
waktu yang tepat. Tidak semua orang yang bisa mengelola
emosinya bisa mengelola emosinya pada orang lain. Tetapi,
orang yang mendapat skor tinggi dalam pengelolaan
emosinya, juga dapat mengelola emosinya pada orang lain
dengan baik. Untuk mengembangkan area ini, tanyakan
pada diri kita: Apa yang dapat Anda lakukan? Bagaimana
emosi ini bisa diatur?
Manfaat dari model ini adalah dapat memprediksi
beberapa hasil seperti kesejahteraan, harga diri, lebih
banyak perilaku pro-sosial, lebih sedikit merokok dan
penggunaan alkohol, meningkatkan suasana hati positif,
perilaku kurang kekerasan, keinginan akademis yang lebih
besar dan kinerja kepemimpinan yang lebih tinggi (Salovey
et al., 2002; Brackett et al., 2009).
B. Model Campuran EI
Model ini memandang EI sebagai kombinasi dari
keterampilan emosional dan kepribadian yang dirasakan.
Menurut Goleman, EI penting karena kemampuannya untuk
memprediksi keberhasilan akademis, pekerjaan dan
hubungan lebih baik daripada IQ tradisional (Goleman,
1996). Namun, data longitudinal diperlukan untuk
mengkonfirmasi hubungan sebab akibat antara kinerja dan
EI (Roberts et al., 2001). Untuk mengukur jenis EI ini, peneliti
menggunakan Emotional and Social Competence Inventory,
atau ESCI (2007).
Menurut teori kecerdasan Goleman ada lima bidang
utama dalam model ini, yaitu:
1. Mengelola Emosi
Dimana seseorang terlibat dalam membingkai ulang
kecemasan dan berusaha menghilangkan perasaan
tertekan.
2. Menggunakan Emosi untuk Motivasi Diri
Dimana seseorang menjadi mahir dalam menunda
kepuasan untuk kesuksesan di masa depan.
3. Mengenali Emosi Orang Lain
Dimana seseorang memiliki kemampuan untuk
menunjukkan empati, yang penting untuk hubungan sosial.
4. Mengelola Emosi Orang Lain
Dimana seseorang mampu membantu orang lain
dengan kesusahan mereka atau mendorong motivasi.
5. Kesadaran Diri Emosional
Dimana seseorang mampu memahami dan
mengidentifikasi emosinya sendiri.
Kekurangan dari model ini adalah mengenai laporan
diri EI bahwa dapat berpotensi tidak akurat, tidak tersedia
untuk interpretasi sadar, rentan terhadap pengaruh
keinginan sosial, penipuan dan manajemen kesan (Roberts
et al., 2001). Selain itu, karya Goleman ini telah dicap hanya
sebagai psikologi pop (Mayer et al., 2008).
c. Socioemotional Selectivity
d. Emotional Storytelling
Paradigma Pennebaker sebagai Sarana Memproses
Emosi Negatif yang Intens. Sesekali, kita mengalami
peristiwa kehidupan yang mengguncang kita sampai ke inti
kita. Peristiwa traumatis yang menyebabkan pergolakan
emosional dapat melampaui sumber daya baik yang
berfokus pada emosi, yang cerdas secara emosional, dan
tua dan muda. Sangat mungkin (dengan probabilitas 95%)
bahwa, ketika kita mengalami peristiwa emosional yang luar
biasa, kita akan berbagi pengalaman dengan teman atau
anggota keluarga dalam hari yang sama dengan kejadian itu,
biasanya dalam beberapa jam pertama (Rime, 1995).).
Hampir seolah-olah kita dipaksa untuk menceritakan kisah
penderitaan emosional kita. Mungkinkah kita telah belajar
bahwa tidak membicarakan emosi kita yang intens memiliki
konsekuensi yang mengerikan? Pertanyaan ini dan banyak
hipotesis penelitian terkait telah menjadi pendorong bagi
pekerjaan psikolog Universitas Texas James Pennebaker.
Pada tahun 1989, Dr. Pennebaker memulai bidang penelitian
ini dengan mengajukan permintaan berikut dari peserta
penelitian sarjana dalam kelompok eksperimen studi:
Selama empat hari kedepan, saya ingin ... Anda
menulis tentang pikiran dan perasaan terdalam Anda
tentang pengalaman paling traumatis dalam hidup Anda.
Dalam tulisan Anda, saya ingin Anda benar-benar
melepaskan dan mengeksplorasi emosi dan pikiran terdalam
Anda. Anda mungkin mengaitkan topik Anda dengan
hubungan Anda, termasuk orang tua, kekasih, teman, atau
kerabat. Anda mungkin juga ingin menghubungkan
pengalaman Anda dengan masa lalu, masa kini, atau masa
depan Anda, atau dengan siapa Anda dulu, siapa yang Anda
inginkan, atau siapa Anda sekarang. Anda dapat menulis
tentang masalah atau pengalaman umum yang sama pada
semua hari menulis, atau tentang trauma yang berbeda
setiap hari. Semua tulisan Anda akan sepenuhnya
dirahasiakan. (hal. 215)
Peserta kelompok kontrol diminta untuk menulis
selama 15 menit sehari selama 4 hari tetapi tentang topik
nonemosional (misalnya, deskripsi ruangan tempat mereka
duduk). Semua peserta diminta untuk menulis terus
menerus, tanpa memperhatikan ejaan, tata bahasa, dan
struktur kalimat. Efek langsung dari dua intervensi
sedemikian rupa sehingga kelompok eksperimen lebih
tertekan. Kemudian, seiring waktu (dimulai 2 minggu setelah
penelitian), anggota kelompok bercerita emosional
mengalami banyak manfaat kesehatan, termasuk kunjungan
dokter yang lebih sedikit selama tahun berikutnya,
dibandingkan dengan anggota kelompok kontrol.
Peneliti lain telah menemukan bahwa fitur tertentu
dalam narasi yang dibangun untuk tujuan ini dapat
memprediksi hasil kesehatan (Ramírez-Esparza &
Pennebaker, 2006). Para peneliti ini telah menemukan
bahwa ketika orang menggunakan lebih banyak kata-kata
dengan emosi positif (seperti bahagia atau tertawa) sebagai
bagian dari tulisan ekspresif, kesehatan mereka meningkat
lebih baik. Selain itu, peserta yang menggunakan kata-kata
kognitif yang secara khusus terkait dengan wawasan atau
kausalitas membuat terobosan yang lebih besar menuju
kesehatan yang lebih baik juga. Jadi, bagaimana dan apa
yang kita tulis dapat mempengaruhi manfaat dari teknik ini.
Menulis ekspresif secara emosional mungkin memiliki
manfaat di banyak populasi. Menulis tentang emosi dan
pengalaman emosional mungkin sangat bermanfaat bagi
individu yang lebih suka menggunakan gaya pendekatan
emosi untuk mengatasi masalah dalam hidup mereka
(Austenfeld & Stanton, 2008). Prosedur penelitian ini hanya
melibatkan tindakan pengungkapan tertulis dari pergolakan
emosional yang biasa kita sebut sebagai penceritaan
emosional yang sekarang disebut sebagai paradigma
Pennebaker (pengungkapan tertulis yang sistematis di
seluruh sesi singkat). Teknik ini telah digunakan untuk
mengatasi emosi yang terkait dengan kehilangan pekerjaan,
diagnosis penyakit, dan putusnya hubungan (ditinjau dalam
Pennebaker, 1997).
Beberapa juga telah menemukan manfaat dari
menggunakan mendongeng untuk mengajar anak-anak
bagaimana mengembangkan kerangka emosional mereka
sendiri dan mungkin mempengaruhi keterikatan yang lebih
baik dengan orang tua (Frude & Killick, 2011). Ketika orang
tua membiarkan respons emosional mereka sendiri terhadap
karakter dalam sebuah cerita untuk dilihat, selain
mendiskusikan emosi potensial dari karakter itu sendiri,
anak-anak mungkin lebih mampu mengatasi berbagai emosi
dalam kehidupan mereka sendiri melalui pemodelan ini.
Kami percaya penjelasan tentang potensi penceritaan
emosional ini dapat disimpulkan sebagai bekerja secara
strategis dengan emosi dalam konteks sosial.
Penulis
Michael W. White, Nazia Khan, Jennifer S. Deren,
Jessica J. Sim dan Elizabeth A. Majka
Jurnal
The Journal of Positive Psychology
Tahun
2022
Vol, No.
Volume 4, Issue 4
DOI
https://doi.org/10.1080/17439760.2021.1897871
Analisis
Dari jurnal tersebut dapat dilihat bahwa memuaskan
kebutuhan untuk memiliki adalah yang terpenting untuk
kesejahteraan (Baumeister & Leary,1995) dan memiliki
hubungan sosial yang kuat adalah karakteristik utama dari
orang-orang yang 'paling bahagia' (Diener & Seligman,2002;
Diener dkk., 2018). Sejalan dengan ini, pemilik hewan
peliharaan dapat membelanjakan hewan peliharaan mereka
sebagai strategi berbasis bukti tambahan untuk
meningkatkan kesejahteraan mereka. Ini penting karena
kebahagiaan memprediksi hasil pribadi dan organisasi yang
positif (Boehm & Lyubomirsky,2008). Pada saat yang sama,
literatur kebahagiaan menunjukkan berbagai kegiatan yang
disengaja yang dapat digunakan orang untuk meningkatkan
kebahagiaan mereka. Misalnya, orang dapat
mengungkapkan rasa syukur dan menghitung berkat
mereka, melakukan tindakan baik, bermeditasi, berolahraga,
dan memvisualisasikan diri ideal mereka (Lyubomirsky dkk.,
2005; Sheldon & Lyubomirsky, 2019). Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa bahagia dapat dicapai dengan banyak
cara dengan sumber yang berbeda-beda.
b. Jurnal 2
Tahun : 2020
DOI : https://doi.org/10.32584/jikj.v3i4.645
Fajar, Y., & Dicky Hastjarjo, T. (2017). Peran Pandangan Dunia dan
Emosi Positif terhadap Kepribadian Multikultural. GADJAH MADA
JOURNAL OF PSYCHOLOGY, 3(2), 110–122.