Anda di halaman 1dari 7

EPIDIMIOLOGI KEKURANGAN ENERGI PROTEIN(KEP)

Zadam Maulana Ibrahim, Inesa Malika Dewi, Nuraini Puspa Dewi,


Elok Kholwatul Jannah, Cintya Lamusu, Chikyta Lintang F

Program Studi S1 Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Jember

ABSTRACT
Protein energy deficiency (PEM) is a condition that occurs when the intake of energy
and protein in the diet does not meet the body's needs. PEM is a serious form of malnutrition
and can negatively affect an individual's growth, development and health. Protein energy
deficiency can cause various health problems, especially in children's growth and
development. In adults, PEM can lead to decreased muscle mass, decreased endurance, and
decreased organ function. Basic health research (Riskesdas) from the Ministry of Health in
2018 reported that the prevalence of PEM in Indonesia based on weight-for-age
measurements was 17.7% with a percentage of underweight category of 13.0% and
malnutrition category of 3.9%. Meanwhile, the target of the National Medium-Term
Development Plan (RPJMN) in 2019 is 17 percent.
ABSTRAK
Kekurangan energi protein (KEP) adalah kondisi yang terjadi ketika asupan energi
dan protein dalam makanan tidak mencukupi kebutuhan tubuh. KEP merupakan salah satu
bentuk malnutrisi yang serius dan dapat berdampak negatif pada pertumbuhan,
perkembangan, dan kesehatan individu. Kekurangan energi protein dapat menyebabkan
berbagai gangguan kesehatan, terutama pada pertumbuhan dan perkembangan anak-anak.
Pada dewasa, KEP dapat menyebabkan penurunan massa otot, penurunan daya tahan tubuh,
dan penurunan fungsi organ. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) dari Kementrian Kesehatan
tahun 2018 melaporkan prevalensi KEP di Indonesia berdasarkan pengukuran berat badan
terhadap usia sebesar 17,7% dengan presentase kategori gizi kurang (underweight) sebesar
13,0% dan kategori gizi buruk sebesar 3,9%. Sedangkan target dari RPJMN (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun 2019 adalah 17 persen.
PENDAHULUAN
Kekurangan energi protein (KEP) adalah kondisi yang terjadi ketika asupan energi
dan protein dalam makanan tidak mencukupi kebutuhan tubuh. KEP merupakan salah satu
bentuk malnutrisi yang serius dan dapat berdampak negatif pada pertumbuhan,
perkembangan, dan kesehatan individu.
Protein adalah salah satu nutrisi esensial yang penting bagi tubuh. Fungsi protein
meliputi pembentukan jaringan, sintesis enzim dan hormon, serta berperan dalam menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit. Kekurangan energi protein dapat menyebabkan berbagai
gangguan kesehatan, terutama pada pertumbuhan dan perkembangan anak-anak. Pada
dewasa, KEP dapat menyebabkan penurunan massa otot, penurunan daya tahan tubuh, dan
penurunan fungsi organ.
KEP dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kurangnya asupan makanan
yang seimbang dan bergizi, kondisi lingkungan yang tidak mendukung, ketidakmampuan
tubuh untuk mencerna dan menyerap protein dengan baik, serta kondisi kesehatan tertentu
yang membutuhkan kebutuhan protein yang lebih tinggi, seperti infeksi atau penyakit kronis.
Upaya pencegahan dan penanganan KEP melibatkan pendekatan yang komprehensif.
Pada tingkat primer, upaya pencegahan meliputi edukasi gizi kepada individu dan masyarakat
tentang pentingnya asupan makanan yang seimbang dan bergizi, termasuk konsumsi protein
yang cukup. Peningkatan akses terhadap sumber pangan yang kaya protein dan diversifikasi
diet juga penting.
Pada tingkat sekunder, penanganan KEP melibatkan identifikasi dini dan intervensi
yang tepat. Tim medis, termasuk ahli gizi dan profesional kesehatan lainnya, dapat
melakukan evaluasi status gizi individu dan menyusun rencana pengobatan yang sesuai.
Rekomendasi pemberian suplemen protein atau pengobatan medis tergantung pada tingkat
keparahan KEP dan kondisi kesehatan individu.
Dalam hal ini, akan dibahas lebih lanjut tentang prevalensi KEP, faktor risiko, serta
dampak kesehatan yang terkait. Selain itu, akan dibahas juga upaya pencegahan dan
penanganan KEP yang dapat dilakukan pada berbagai tingkatan. Dengan pemahaman yang
lebih baik tentang KEP, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran, deteksi dini, serta
memberikan intervensi yang tepat untuk mengurangi beban KEP di masyarakat.

PEMBAHASAN
1) IDENTIFIKASI
a. Antropometri
Salah satu parameter dari antropometri adalah tinggi badan dan berat badan.
Parameter tersebut termasuk dalam klasifikasi status gizi yang didasarkan pada
standar data baku WHO-NCHS. Paramter lainnya adalah dengan indeks berat badan
menurut umur (BB/U),tinggi badan menurut umut (TB/U), dan berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB) yang disajikan dalam dua versi yakni persentil (persentile) dan
skor simpang baku (standar deviation score = z).
b. Klinis
Beberapa tipe Kurang Energi Protein (KEP) dapat disebutkan, bahwa KEP
atau gizi buruk pada tingkat ringan atau sedang, belum menunjukkan gejala sakit.
Masih seperti anak-anak lain, masih bermain dan sebagainya, tetapi bila diamati
dengan seksama badannya mulai kurus. Sedangkan bagi KEP yang tingkat berat yang
disertai dengan gejala klinis disebut marasmus atau kwashiorkor, dimasyarakat lebih
dikenal sebagai “busung lapar”.
Jika kondisi KEP cukup berat dikenal dengan istilah marasmus dan
kwashiorkor, masing–masing dengan gejala yang khas, dengan kwashiorkor dan
marasmik ditengah-tengahnya. Pada semua derajat maupun tipe KEP ini terdapat
gangguan pertumbuhan disamping gejala-gejala klinis maupun biokimiawi yang khas
bagi tipenya. Klasifikasi KEP digunakan untuk menentukan prevalensi KEP disuatu
daerah dengan melihat derajat beratnya KEP, hingga dapat ditentukan persentase gizi
kurang dan berat di daerah tersebut (Pudjiadi, 2005).

2) JUMLAH DISTRIBUSI
a. Jumlah prevalensi
Riset kesehatan dasar (Riskesdas) dari Kementrian Kesehatan tahun 2018
melaporkan prevalensi KEP di Indonesia berdasarkan pengukuran berat badan
terhadap usia sebesar 17,7% dengan presentase kategori gizi kurang (underweight)
sebesar 13,0% dan kategori gizi buruk sebesar 3,9%. Sedangkan target dari RPJMN
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun 2019 adalah 17 persen
b. Distribusi menurut jenis kelamin
WHO melaporkan bahwa lebih dari 2 miliar orang di dunia mengalami
kekurangan energi protein. Data dari Riskesdas tahun 2018 menunjukkan bahwa
prevalensi kekurangan energi protein pada wanita dewasa di Indonesia adalah 16,7%,
sedangkan pada pria dewasa adalah 12,9%. Meskipun prevalensi kekurangan energi
protein pada pria mungkin lebih rendah secara umum, pria juga dapat mengalami
kekurangan protein.
c. Distribusi menurut usia
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan
2018 menunjukkan 17,7% bayi usia di bawah 5 tahun (balita) masih mengalami
masalah gizi. Angka tersebut terdiri atas balita yang mengalami gizi buruk sebesar
3,9% dan yang menderita gizi kurang sebesar 13,8%.
d. Distribusi menurut status sosial ekonomi
Anak-anak yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah
mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang lebih sedikit daripada anak-anak dari
keluarga dengan status ekonomi lebih baik. Dengan demikian, mereka pun
mengkonsumsi energi dan zat gizi dalam jumlah yang lebih lebih sedikit. Studi
mengenai ststus gizi menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang kurang
mampu memiliki berat badan dan tinggi badan yang lebih rendah dibandingkan anak-
anak yang ekonominya baik. Dalam hasil studi, ditemukan bahwa perbedaan tinggi
badan lebih besar daripada perbedaan berat badan. Studi juga menunjukkan bahwa
anak-anak yang hidup di daerah yang mengalami kekurangan suplai makanan
memiliki tinggi badan yang lebih rendah daripada mereka yang tinggal di daerah yang
memiliki suplai makanan cukup (Pipes, 1985). Ayah yang bekerja akan
mempengaruhi jumlah pendapatan keluarganya.

3) FAKTOR PENYEBAB
a. Langsung
1. Asupan makanan yang tidak mencukupi
2. Kualitas makanan yang rendah
3. Penyakit atau infeksi
b. Tidak langsung
Adapun faktor penyebab KEP secara tidak langsung yaitu:
1. Tingkat pendidikan orang tua
Pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang penting dalam
tumbuh dan kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik maka
orangtua dapat menerima segala informasi dari luar terutamatentang cara
pengasuhan anak yang baik. Seorang ibu dengan pendidikanyang tinggi
akan dapat merencanakan menu makan yang sehat dan bergizibagi dirinya
dan keluarganya.
2. Tingkat pendapatan dan pekerjaan orang tua
Tingkat pendapatan juga ikut menentukan jenis pangan apa yangakan
dibeli. Keluarga yang pendapatannya rendah membelanjakansebagian
besar untuk serealia, sedangkan keluarga dengan pendapatanyang tinggi
cenderung membelanjakan sebagian besar untuk hasil olah susu. Jadi,
penghasilan merupakan faktor penting bagi kuantitas dankualitas makanan.
Antara penghasilan dan gizi jelas ada hubungan yangmenguntungkan.
Pengaruh peningkatan penghasilan terhadap perbaikankesehatan dan
kondisi keluarga lain yang mengadakan interaksi denganstatus gizi yang
berlaku hampir universal.
3. Besar anggota keluarga
Jumlah anak yang banyak pada keluarga yang keadaan sosial
ekonominya cukup akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan kasih
sayang yang diterima anak, lebih-lebih kalau jarak anak terlalu dekat.
Adapun pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi yang kurang,
jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan kurangnya kasih sayang
dan perhatian pada anak, juga kebutuhan primer seperti makanan, sandang,
papan tidak terpenuhi.

4) DETERMINAN
a. Agent
b. Host
Dapat disebabkan dengan kebiasaan hidup yang tidak seimbang, konsumsi
protein harian yang tidak cukup. Defisiensi asupan kalori dan protein, yang
dikarenakan kurangnya makanan yang mengandung kalori maupun protein dan
adanya hambatan utilisasi/absorpsi zat gizi (Maulina, dkk, 2018). Asupan energi zat
gizi yang kurang berawal dari asupan makanan yang kurang, baik kuantitas dan
kualitasnya, yang dikarenakan tidak cukupnya persediaan pangan atau pola asuh anak
yang tidak memadai. Penyebab kedua yaitu adanya penyakit infeksi terkait higiene
sanitasi dan pelayanan kesehatan. Penyakit infeksi dan/atau investasi cacing pada
tubuh mengakibatkan terjadinya hambatan utilisasi/absorpsi zat gizi (Adriani, dkk.,
2012).
c. Environment

5) RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT


a. Fase rentan
Asupan energi dan protein yang tidak memadai menyebabkan gangguan pada
keseimbangan energi tubuh dan penurunan kadar protein dalam tubuh. Pada tahap ini,
biasanya tidak ada gejala yang terlihat secara jelas, tetapi proses ketidakseimbangan
gizi telah dimulai.
b. Fase subklinis
Tahap ini ditandai dengan tanda-tanda dan gejala yang lebih nyata.
Kekurangan energi protein yang lebih berat dapat menyebabkan penurunan berat
badan, penurunan massa otot, kelemahan, penurunan daya tahan tubuh, dan
penurunan pertumbuhan pada anak-anak. Pada tahap ini, kemungkinan terjadi
defisiensi gizi lebih lanjut, seperti kekurangan vitamin dan mineral.
c. Fase klinis
Jika kekurangan energi protein terus berlanjut dan tidak diatasi, tahap klinis
dapat terjadi. Pada tahap ini, gejala dan komplikasi yang lebih serius muncul. Gejala
dapat meliputi penurunan berat badan yang signifikan, pembengkakan ekstremitas
(edema), berkurangnya massa otot, kelemahan yang parah, gangguan pertumbuhan
pada anak-anak, dan risiko infeksi yang lebih tinggi.
d. Fase terminal
Jika kekurangan energi protein tidak segera diatasi, tahap akut dapat terjadi.
Pada tahap ini, kondisi menjadi sangat parah dan dapat mengancam nyawa. Gejala
meliputi berat badan yang sangat rendah, kelelahan yang berat, pembengkakan yang
luas, kegagalan organ, dan risiko tinggi terhadap penyakit dan infeksi serius.

6) PENCEGAHAN
Berikut adalah upaya pencegahan kekurangan energi protein dari beberapa
tahap:
Primordial Prevention:
1. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya nutrisi seimbang.
2. Pendidikan gizi.
3. Promosi akses terhadap sumber makanan yang berkualitas.
4. Pengembangan kebijakan gizi yang komprehensif.
Primary Prevention:
1. Pemenuhan Gizi yang Baik
Memastikan asupan protein yang cukup melalui konsumsi makanan
yang kaya protein, seperti daging, unggas, ikan, telur, produk susu, kacang-
kacangan, dan biji-bijian. Menerapkan pola makan yang seimbang dan
bervariasi sangat penting untuk mencegah kekurangan energi protein.
2. Edukasi Gizi
Memberikan edukasi gizi kepada individu dan masyarakat tentang
pentingnya asupan protein yang cukup dan nutrisi seimbang secara umum.
Edukasi ini dapat dilakukan melalui program-program kesehatan masyarakat,
kampanye pendidikan, atau konseling gizi.
Secondary Prevention:
1. Pemantauan Status Gizi
Melakukan pemantauan dan evaluasi rutin terhadap status gizi individu
dan populasi. Ini dapat meliputi pemeriksaan antropometri (seperti
pengukuran berat badan dan tinggi badan), analisis darah, dan tes laboratorium
lainnya untuk mendeteksi kekurangan energi protein.
2. Intervensi Gizi
Jika kekurangan energi protein terdeteksi, langkah-langkah intervensi
seperti pemberian makanan tambahan, suplementasi protein, atau pengobatan
medis dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan individu.
3. Peningkatan Akses dan Ketersediaan Makanan
Meningkatkan akses dan ketersediaan makanan yang kaya protein di
daerah yang rentan terhadap kekurangan energi protein. Ini melibatkan upaya
dalam sektor pertanian, distribusi pangan, dan kebijakan pangan yang
berfokus pada keamanan pangan dan ketahanan pangan.
Tertiary Prevention:
1. Rehabilitasi gizi yang komprehensif.
2. Pengobatan penyakit yang mendasari.
3. Perawatan medis yang adekuat.
4. Dukungan psikososial yang tepat.
Rehability:
1. Pemantauan kesehatan berkala.
2. Pendidikan lanjutan mengenai nutrisi dan asupan protein.
3. Pengembangan kebijakan dan program yang mendukung gizi yang opt

PENUTUP
Kesimpulan
Kekurangan energi protein (KEP) adalah kondisi yang terjadi ketika asupan energi
dan protein dalam makanan tidak mencukupi kebutuhan tubuh. KEP merupakan salah satu
bentuk malnutrisi yang serius dan dapat berdampak negatif pada pertumbuhan,
perkembangan, dan kesehatan individu. Protein adalah salah satu nutrisi esensial yang
penting bagi tubuh. Fungsi protein meliputi pembentukan jaringan, sintesis enzim dan
hormon, serta berperan dalam menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit. KEP dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kurangnya asupan makanan yang seimbang dan
bergizi, kondisi lingkungan yang tidak mendukung, ketidakmampuan tubuh untuk mencerna
dan menyerap protein dengan baik, serta kondisi kesehatan tertentu yang membutuhkan
kebutuhan protein yang lebih tinggi, seperti infeksi atau penyakit kronis. Pada tingkat
sekunder, penanganan KEP melibatkan identifikasi dini dan intervensi yang tepat. Tim medis,
termasuk ahli gizi dan profesional kesehatan lainnya, dapat melakukan evaluasi status gizi
individu dan menyusun rencana pengobatan yang sesuai. Beberapa tipe Kurang Energi
Protein (KEP) dapat disebutkan, bahwa KEP atau gizi buruk pada tingkat ringan atau sedang,
belum menunjukkan gejala sakit. Masih seperti anak-anak lain, masih bermain dan
sebagainya, tetapi bila diamati dengan seksama badannya mulai kurus. Sedangkan bagi KEP
yang tingkat berat yang disertai dengan gejala klinis disebut marasmus atau kwashiorkor,
dimasyarakat lebih dikenal sebagai “busung lapar”.

DAFTAR PUSTAKA
World Health Organization. (2020). Protein-energy malnutrition. Diakses dari:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/protein-energy-malnutrition-(pem)
Golden, M. H. (2014). Protein energy malnutrition. In Handbook of Clinical Nutrition (4th
ed.).
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2018. Diakses
dari: https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/info-terkini/hasil-riskesdas-
2018.pdf
WHO. (2007). Protein and amino acid requirements in human nutrition. Diakses dari:
https://www.who.int/nutrition/publications/nutrientrequirements/WHO_TRS_935/en/
World Health Organization. (2011). Protein and amino acid requirements in human nutrition:
report of a joint FAO/WHO/UNU expert consultation. Diakses dari:
https://www.who.int/nutrition/publications/nutrientrequirements/WHO_TRS_935/en/
Lachat, C., Nago, E., Verstraeten, R., et al. (2018). Effectiveness of a diet and physical
activity promotion strategy on the prevention of micronutrient deficiencies among
adolescent girls: a controlled before-and-after study. Nutrients, 10(12), 1973.
World Health Organization. (2017). Nutritional anaemias: tools for effective prevention and
control. Diakses dari:
https://www.who.int/nutrition/publications/micronutrients/anaemias-tools-prevention-
control/en/
Bhutta, Z. A., Ahmed, T., Black, R. E., et al. (2008). What works? Interventions for maternal
and child undernutrition and survival. The Lancet, 371(9610), 417-440.
Development Initiatives. (2015). Global nutrition report 2015: Actions and accountability to
advance nutrition and sustainable development. Diakses dari:
https://globalnutritionreport.org/reports/global-nutrition-report-2015/
Hanandita, W. and Tampubolon, G. (2015). The double burden of malnutrition in Indonesia:
Social determinants and geographical variations.SSMPopulation Health, 1, pp.16-25
Resna, Nanti (2021). “Memahami KEK pada Ibu Hamil dan Cara Mengatasinya”,
https://www.sehatq.com/artikel/memahami-kek-pada-ibu-hamil-dan-
caramengatasinya, diakses pada 4 September 2022 pukul 20.54
World Health Organization. (2007). Protein and amino acid requirements in human nutrition:
Report of a joint WHO/FAO/UNU expert consultation. World Health Organization.
Golden, M. H. (2009). Protein deficiency, energy deficiency, and the oedema of malnutrition.
European Journal of Clinical Nutrition, 63(3), 303-305.
Mannar, M. G. V., & Dunn, J. T. (Eds.). (2012). Salt iodization for the elimination of iodine
deficiency. Oxford University Press.
Kerac, M., & Golden, M. H. (2011). Kwashiorkor and marasmus: evolution and
distinguishing features. Current Opinion in Clinical Nutrition and Metabolic Care,
14(3), 258-262.

Anda mungkin juga menyukai