Anda di halaman 1dari 7

EPIDIMIOLOGI ANEMIA DEFISIENSI BESI

Zadam Maulana Ibrahim, Inesa Malika Dewi, Nuraini Puspa Dewi,


Elok Kholwatul Jannah, Cintya Lamusu, Chikyta Lintang F

Program Studi S1 Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Jember

ABSTRAK
PENDAHULUAN
Anemia adalah kondisi medis yang ditandai dengan jumlah sel darah merah yang
rendah atau kadar hemoglobin yang rendah dalam darah. Hemoglobin adalah protein yang
terdapat dalam sel darah merah dan berfungsi membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh
jaringan tubuh. Kekurangan hemoglobin atau sel darah merah dapat mengganggu
kemampuan tubuh untuk menyediakan oksigen yang cukup kepada sel-sel dan organ-organ
penting.
Anemia adalah masalah kesehatan yang cukup umum di seluruh dunia, dengan
dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup individu serta beban kesehatan masyarakat.
Anemia dapat mempengaruhi semua kelompok usia, tetapi rentan terutama pada anak-anak,
remaja, wanita hamil, dan wanita usia subur.
Penyebab anemia dapat bervariasi, termasuk defisiensi nutrisi seperti zat besi, vitamin
B12, dan asam folat. Selain itu, penyakit dan kondisi tertentu, seperti penyakit kronis,
gangguan genetik, perdarahan kronis, gangguan penyerapan, atau infeksi, juga dapat menjadi
penyebab anemia. Gejala anemia meliputi kelelahan, kelemahan, pusing, sesak napas, pucat,
dan denyut jantung yang cepat. Anemia yang tidak diobati atau terus berlanjut dapat
berdampak negatif pada kualitas hidup, daya tahan tubuh, dan fungsi fisik serta kognitif.
Pencegahan dan penanganan anemia melibatkan pendekatan yang komprehensif.
Upaya pencegahan mencakup edukasi gizi, konsumsi makanan yang kaya nutrisi, dan
pengembangan kebijakan kesehatan yang mendukung. Dalam beberapa kasus, terapi
penggantian nutrisi atau intervensi medis mungkin diperlukan. Penanganan anemia juga
harus memperhatikan penyebab dasarnya, seperti pengobatan penyakit yang mendasari atau
pemberian transfusi darah.
Dalam hal ini, akan dibahas lebih lanjut tentang epidemiologi anemia, serta
pentingnya upaya pencegahan dan penanganan yang tepat. Dengan pemahaman yang lebih
baik tentang anemia, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran, pendeteksian dini, serta
memberikan perawatan yang efektif bagi individu yang terkena dampaknya.

PEMBAHASAN
1) IDENTIFIKASI
a. Antropometri
Tanda-tanda antropometri pada penderita anemia dapat mencakup:
1. Berat badan rendah
Penderita anemia seringkali mengalami penurunan berat badan
yang tidak diinginkan karena kelemahan dan kurangnya nafsu makan.
2. Kekurusan
Karena penurunan berat badan, penderita anemia dapat terlihat
kurus dan tubuhnya kurang subur.

3. Lingkar lengan atas (LiLA) kecil


LiLA dapat digunakan sebagai indikator status gizi dan
kesehatan pada penderita anemia. Kekurangan protein dan energi dapat
menyebabkan penurunan LLA, yang dapat mengindikasikan
kekurangan gizi.
4. Tinggi badan rendah
Anemia pada anak-anak dapat menghambat pertumbuhan dan
perkembangan, sehingga anak-anak dengan anemia seringkali
memiliki tinggi badan yang lebih pendek dari anak-anak yang sehat.

b. Klinis
Anemia adalah kondisi medis yang ditandai oleh jumlah sel darah merah yang
rendah atau kadar hemoglobin yang rendah dalam tubuh. Tanda-tanda klinis yang
umum ditemukan pada penderita anemia meliputi:
1. Kelelahan dan kelemahan
Penderita anemia seringkali merasa lelah yang berlebihan dan
mengalami kelemahan fisik. Mereka mungkin merasa tidak bertenaga untuk
menjalani aktivitas sehari-hari.
2. Sesak napas
Kurangnya sel darah merah atau hemoglobin dapat mengurangi
kemampuan darah untuk mengangkut oksigen, sehingga penderita anemia
seringkali mengalami sesak napas, terutama saat beraktivitas.
3. Pusing dan pingsan
Kekurangan oksigen dalam tubuh dapat menyebabkan penderita
anemia merasa pusing atau bahkan pingsan dalam beberapa kasus.
4. Kulit pucat
Kurangnya sel darah merah dapat membuat kulit terlihat pucat atau
kusam. Selain itu, warna bibir dan gusi juga dapat menjadi pucat.
5. Denyut jantung cepat
Jantung berusaha untuk mengkompensasi kekurangan oksigen dalam
tubuh dengan memompa darah lebih cepat. Hal ini dapat menyebabkan
peningkatan denyut jantung pada penderita anemia.
6. Sakit kepala
Kekurangan oksigen dalam otak dapat menyebabkan sakit kepala pada
penderita anemia.
7. Kehilangan nafsu makan
Beberapa penderita anemia mengalami penurunan nafsu makan atau
mual.
c. Biokimia
Cadangan besi yang kurang merupakan tanda awal dari defisiensi besi.
Feritin serum memiliki spesifisitas yang tinggi untuk diagnosis defisiensi besi,
terutama jika dikombinasi dengan penanda lain seperti hemoglobin. Pemeriksaan
biokimia yang dilakukan dalam manajemen anemia defisiensi besi adalah feritin
serum, Total Iron Cinding capacity (TIBC), saturasi transferin, Zinc Protoporphyrin
(ZPP) dan soluble Transferrin Receptor (sTfR).

2) FAKTOR PENYEBAB
a. Langsung
Faktor penyebab terjadinya anemia antara lain adalah asupan yang tidak
adekuat, hilangnya sel darah merah karena trauma, infeksi, perdarahan kronis,
menstruasi, dan penurunan atau kelainan pembentukan sel, seperti: hemoglobinopati,
talasemia, sferositosis herediter, dan defisiensi glukosa 6 fosfat dihidrogenase.
Penelitian Simamora, Kartasurya, & Pradigdo (2018), kurangnya kadar zat besi dalam
darah dan kondisi tubuh yang terinfeksi penyakit adalah penyebab langsung anemia.
b. Tidak langsung
Penyebab tidak langsung anemia adalah rendahnya perhatian keluarga,
tingginya aktivitas, dan kurang tepatnya pola distribusi makanan dalam keluarga.
Terakhir, penyebab mendasar anemia adalah rendahnya pendidikan, status sosial,
pendapatan dan sulitnya lokasi geografis tempat tinggal.

3) JUMLAH DAN DISTRIBUSI


a. Jumlah Insiden
WHO memperkirakan bahwa 40% anak usia 6-59 bulan, 37% wanita hamil,
dan 30% wanita usia 15-49 tahun di seluruh dunia mengalami anemia.
b. Jumlah prevalensi
Angka kejadian anemia di Indonesia terbilang masih cukup tinggi.
Berdasarkan data Riskesdas 2018, prevalensi anemia pada remaja sebesar 32 %,
artinya 3-4 dari 10 remaja menderita anemia. Hal tersebut dipengaruhi oleh kebiasaan
asupan gizi yang tidak optimal dan kurangnya aktifitas. Prevalensi kejadian anemia
remaja putri di Asia mencapai 191 juta orang dan Indonesia berada pada urutan ke-8
dari 11 negara di Asia dengan prevalensi anemia remaja putri sebanyak 7,5 juta orang
pada usia 10-19 tahun (WHO, 2011 dalam Sari, 2020). Menurut data Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2014 menyatakan bahwa prevalensi anemia
pada balita sebesar 40,5%, ibu hamil sebesar 50,5%, ibu nifas sebesar 45,1%, remaja
putri usia 10 -18 tahun sebesar 57,1% dan usia 19 -45 tahun sebesar 39,5%.
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, prevalensi anemia di Indonesia mencapai
21,7% dengan penderita anemia berusia 5-14 tahun sebesar 26,4% dan 18,4%
penderita berusia 15-24 tahun. Penderita anemia dengan jenis kelamin perempuan
sebanyak 23,9% (Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018,
prevalensi anemia di Indonesia mencapai 23,7%. Dari kelompok umur 5-14 tahun
sebanyak 26,8% dan 32,0% terdapat pada kelompok umur 15-24 tahun. Sebanyak
84,6% anemia pada ibu hamil terjadi pada kelompok umur 15-24 tahun. Proporsi
kejadian anemia di Indonesia lebih tinggi pada perempuan (27,2%) dibandingkan
pada laki-laki (20,3%). Proporsi penderita anemia di perdesaan sebanyak 25,0% dan
22,7% di perkotaan (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Berdasarkan data Riskesdas
tahun 2016 prevalensi anemia pada remaja di Provinsi Bali sebanyak 27,1%
(Kementerian kesehatan RI, 2016). Berdasarkan data tersebut menunjukan bahwa
penderita anemia mengalami peningkatan. Prevalensi anemia dunia berkisar 40-88%.
Jumlah penduduk usia remaja (10-19 tahun) di Indonesia sebesar 26,2% yang terdiri
dari 50,9% laki-laki dan 49,1% perempuan (Kemenkes RI, 2013).
c. Distribusi menurut jenis kelamin
Menurut World Health Organization (WHO), sekitar 32% wanita di seluruh
dunia menderita anemia. WHO juga melaporkan bahwa prevalensi anemia pada
wanita hamil sekitar 38%. Penyebab anemia pada wanita umumnya terkait dengan
kekurangan zat besi akibat menstruasi yang berlebihan, kehamilan, dan kekurangan
gizi. Prevalensi anemia pada pria umumnya lebih rendah dibandingkan dengan
wanita. Penyebab anemia pada pria biasanya berkaitan dengan penyakit kronis,
defisiensi zat besi, atau masalah penyerapan nutrisi.
d. Distribusi menurut geografis
Prevalensi anemia di Indonesia masih cukup tinggi (Fakhidah & Putri, 2016).
Kemenkes RI (2013) menunjukkan angka prevalensi anemia secara nasional pada
semua kelompok umur adalah 21,70%. Prevalensi anemia pada perempuan relatif
lebih tinggi (23,90%) dibanding laki-laki (18,40%). Prevalensi anemia berdasarkan
lokasi tempat tinggal menunjukkan tinggal di pedesaan memiliki persentase lebih
tinggi (22,80%) dibandingkan tinggal di perkotaan (20,60%), sementara prevalensi
anemia pada perempuan usia 15 tahun atau lebih adalah sebesar 22,70%. Hasil
penelitian Listiana (2016) menunjukkan bahwa prevalensi anemia defisiensi zat besi
pada remaja putri di tahun pertama menstruasi sebesar 27,50%, dengan rata-rata usia
pertama kali mengalami menstruasi pada usia 13 tahun.
e. Distribusi menurut usia
Hasil Riskesdas 2013, prevalensi anemia secara nasional untuk semua
kelompok umur adalah 21,7%. Prevalensi anemia pada perempuan relatif lebih tinggi
(23,9%) dibanding laki-laki (18,4%). Berdasarkan lokasi tempat tinggal, prevalensi
anemia di perdesaan lebih tinggi (22,8%) dibandingkan di perkotaan (20,6%).
f. Distribusi menurut status sosial ekonomi
Status ekonomi juga merupakan faktor yang sangat mempengaruhi terjadinya
anemia pada kehamilan. Ibu hamil dengan keluarga yang memiliki pendapatan yang
rendah akan mempengaruhi kemampuan untuk menyediakan makanan yang adekuat
dan pelayanan kesehatan untuk mencegah dan mengatasi kejadian anemia. Semakin
tinggi status ekonomi ibu hamil untuk mengatasi kejadian anemia, maka ibu hamil
mengetahui bagaimana cara mengatasinya. Begitu sebaliknya,semakin rendah status
ekonomi ibu hamil, maka ibu hamil kurang mengetahui bagaimana cara
mengatasinya. Dengan kata lain kejadian anemia akan lebih sedikit ditemukan pada
ibu hamil yang memiliki pendapatan rendah dibandingkan dengan pendapatan yang
sedang.

4) DETERMINAN
a. Host
 Kesalahan dalam pola makan
 Kondisi fisiologis
 Usia
 Kebiasaan pengolahan makan yang salah
 Kehamilan
 Higine personal
 Wanita > pria
 Menstruasi atau pendarahan
b. Agent
 Konsentrasi Fe rendah
 Eklamsia
 Inhibitor
 Sickle cell
 Defisiensi vit.C
c. Environment
 Daya beli rendah
 Pelayanan kesehatan kurang
 Tempat tinggal kumuh
 Kondisi tanah (kandungan mineral/Fe rendah)

5) RIWAYAT PENYAKIT ALAMIAH


a. Fase rentan
 Menstruasi
 Tidak terbiasa mengkonsumsi makanan yang menggandung fe
b. Fase subklinis
Pada umumnya tanda-tanda anemia akan tampak jelas apabila kadar
hemoglobin (Hb) <7gr/dl. Gejala anemia dapat berupa kepala pusing,perubahan
jaringan epitel kuku, palpitasi, berkunang-kunang, pucat, perubahan jaringan epitel
kuku, lesu, lemah, gangguan system neuromuskular, lelah, disphagia, kurang nafsu
makan, menurunnyakebugaran tubuh, dan gangguan penyembuhan luka, serta
pembesaran kelenjar limpa (Irianto, 2014).
Menurut Syaftrudin (2011) tanda dan gejala anemia bermula dengan
berkurangnya konsentrasi Hb selama masa kehamilan mengakibatkan suplai oksigen
keseluruh jaringan tubuh berkurang sehingga menimbulkan tanda dan gejala anemia.
Pada umumnya gejala yang dialami oleh ibu hamil anemia antara lain, ibu mengeluh
merasa lemah, lesu, letih, pusing, tenaga berkurang, pandangan mata berkunang-
kunang terutama bila bangkit dari duduk. Selain itu, melalui pemeriksaan fisik akan di
temukan tanda-tanda pada ibu hamil seperti, pada wajah di selaput lendir kelopak
mata, bibir, dan kuku penderita tampak pucat. Bahkan pada penderita anemia yang
berat dapat berakibat penderita sesak napas atau pun bisa menyebabkan lemah
jantung.
c. Fase klinis
 Status gizi kurang
d. Fase terminal
Pada remaja anemia terus terjadi dapat menyebabkan keguguran dan
pendarahan ketika hamiil,dapat juga berakhir dengan stroke dan serangan jantung
serta mengalami kematian jika anemia remaja tersebut sangat parah.

6) PENCEGAHAN
Pencegahan anemia melibatkan upaya dari beberapa tahap. Berikut adalah
beberapa pencegahan yang dapat dilakukan pada setiap tahap:
Primordial Prevention:
1. Promosi gaya hidup sehat.
2. Pemenuhan nutrisi yang memadai,
3. Memeriksa kesehatan secara keseluruhan untuk mencegah berkembangnya
faktor risiko seperti pola makan yang buruk, kekurangan nutrisi, atau penyakit
kronis yang dapat menyebabkan anemia.
Primary Pervention:
1. Pemenuhan Gizi yang Baik
Konsumsi makanan yang seimbang dan nutrisi yang mencukupi,
termasuk sumber zat besi, vitamin B12, folat, dan vitamin C. Ini meliputi
asupan makanan seperti daging, unggas, ikan, sayuran berdaun hijau, kacang-
kacangan, biji-bijian, dan buah-buahan.
2. Suplementasi Zat Besi dan Asam Folat
Untuk individu yang berisiko tinggi mengalami defisiensi zat besi atau
asam folat, suplementasi dapat direkomendasikan. Hal ini khususnya penting
selama kehamilan atau pada individu dengan kebutuhan nutrisi yang
meningkat.
Secondary Prevention:
1. Pemantauan Kesehatan Rutin
Melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur untuk mendeteksi
dini dan mengatasi kondisi yang dapat menyebabkan anemia, seperti penyakit
radang, gangguan penyerapan, atau gangguan produksi sel darah.
2. Identifikasi Faktor Risiko
Mengidentifikasi dan mengatasi faktor risiko yang dapat menyebabkan
anemia, seperti pendarahan kronis, kekurangan nutrisi, atau penyakit kronis
tertentu. Misalnya, mengatasi perdarahan menstruasi yang berlebihan atau
mengobati penyakit gastrointestinal yang menyebabkan pendarahan.
3. Penanganan Kondisi Kesehatan Mendasar
Mengelola dan mengobati kondisi kesehatan yang mendasari, seperti
penyakit ginjal, gangguan autoimun, atau penyakit kronis lainnya yang dapat
menyebabkan anemia.
4. Edukasi dan Kesadaran
Menyediakan edukasi tentang pentingnya nutrisi yang seimbang,
pentingnya pemantauan kesehatan secara rutin, serta pengenalan gejala dan
tanda-tanda awal anemia bagi individu dan profesional kesehatan.
Tertiary Prevention:
1. Memberikan perawatan medis yang tepat, seperti transfusi darah atau terapi
khusus, kepada individu dengan anemia berat untuk meningkatkan kualitas
hidup mereka dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Rehability:
1. Perawatan medis yang berkelanjutan.
2. Pemantauan kadar hemoglobin.
3. Kepatuhan terhadap rencana pengobatan.
4. Modifikasi gaya hidup untuk mencegah kekambuhan atau eksaserbasi anemia.

DAFTAR PUSTAKA
World Health Organization. (2021). Micronutrient deficiencies: Iron-deficiency anaemia.
Diakses dari: https://www.who.int/nutrition/topics/ida/en/
Camaschella, C. (2015). Iron-deficiency anemia. The New England Journal of Medicine,
372(19), 1832-1843.
Kassebaum, N. J., Jasrasaria, R., Naghavi, M., et al. (2014). A systematic analysis of global
anemia burden from 1990 to 2010. Blood, 123(5), 615-624.
World Health Organization. (2011). Iron deficiency anaemia: assessment, prevention, and
control: a guide for programme managers. Diakses dari:
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/44539/9789241596107_eng.pdf
Milman, N. (2011). Anemia—still a major health problem in many parts of the world! Annals
of Hematology, 90(4), 369-377. doi: 10.1007/s00277-010-1154-2
GBD 2015 Disease and Injury Incidence and Prevalence Collaborators. Global, regional, and
national incidence, prevalence, and years lived with disability for 310 diseases and
injuries, 1990-2015: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study
2015. Lancet. 2016;388(10053):1545-1602.

Anda mungkin juga menyukai