Anda di halaman 1dari 10

ANTOLOGI PUISI UJIAN PRAKTIK KELAS 9

CIPASUNG
Karya: Acep Zamzam Noor

Di lengkung alis matamu sawah-sawah menguning


Seperti rambutku padi-padi semakin merundukkan diri
Dengan ketam kupanen terus kesabaran hatimu
Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental
Langit yang menguji ibadahku meneteskan cahaya redup
Dan surauku terbakar kesunyian yang dinyalakan rindu
Aku semakin mendekat pada kepunahan yang disimpan bumi
Pada lahan-lahan kepedihan masih kutanam bijian hari
Segala tumbuhan dan pohonan membuahkan pahala segar
Bagi pagar-pagar bambu yang dibangun keimananku
Mendekatlah padaku dan dengarkan kasidah ikan-ikan
Kini hatiku kolam yang menyimpan kemurnianmu

Hari esok adalah perjalananku sebagai petani


Membuka ladang-ladang amal dalam belantara yang pekat
Pahamilah jalan ketiadaan yang semakin ada ini
Dunia telah lama kutimbang dan berulang kuhancurkan
Tanpa ketam masih ingin kupanen kesabaranmu yang lain
Atas sajadah lumpur aku tersungkur dan terkubur.
LAGU PEJALAN LARUT
Karya: Acep Zamzam Noor

Ingin kembali mencium rumputan


Bau tanah sehabis hujan, jejak-jejak pagi di pematang
Dua puluh tiga tahun aku dibakar matahari, digarami
Keringat bumi. Ingin kembali, ingin kembali
Mengairi sawah dan perasaan, menabur benih-benih ketulusan.

“Pejalan larut, di manakah kampungmu?”


Langit membara sepanjang padang-padang
Sabana. Pondok-pondok membukakan pintu dan jendela
Tungku-tungku menyalakan waktu. Dua puluh tiga tahun
Aku memburu utara, mengejar selatan, tersesat di barat
Dan kehilangan timur. Beri aku cangkul! Beri aku kerbau!

“Pejalan larut, berapa usiamu sekarang?”

Ingin kembali, ingin kembali mencium rumputan


Bau tanah sehabis hujan, jejak-jejak pagi di pematang.
Peringatan
Karya: Widji Tukul

Jika rakyat pergi


Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
BUNGA DAN TEMBOK
Karya: Widji Tukul

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga


Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!

Dalam keyakinan kami


Di manapun - tirani harus tumbang!
DIPONEGORO
Karya: Chairil Anwar

Di masa pembangunan ini


Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
MAJU
ni barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Februari 1943)
SENJA DI PELABUHAN KECIL
Karya: Chairil Anwar
Untuk: Sri Aryati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta


di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang


menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan


menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
DOA SEORANG SERDADU SEBELUM PERANG
Karya: W.S. Rendra

Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa


Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti


sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku


adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan


oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
BAGAIMANA KALAU
Karya: Topik Ismail

Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam, tapi buah alpukat

Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat

Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah, dan kepada Koes Plus kita
beri mandat

Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi, dan ibukota Indonesia Monaco

Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas, salju turun di Gunung Sahari

Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin dan Ali
Wardhana ternyata pengarang‐pengarang lagu pop

Bagaimana kalau hutang‐hutang Indonesia dibayar dengan pementasan Rendra

Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi, dan segala yang terjadi
pernah kita rancangkan

Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di


kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki pengungsi,
gemuruh banjir dan gempa bumi serta suara‐suara percintaan anak muda, juga
bunyi industri presisi dan margasatwa Afrika

Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil


mempertimbangkan protes itu

Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita pelihara
ternak sebagai pengganti

Bagaimana kalau sampai waktunya kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.
BAYI LAHIR BULAM MEI 1998
Karya: Taopik Ismail

Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga


Suaranya keras, menangis berhiba-hiba
Begitu lahir ditating tangan bidannya
Belum kering darah dan air ketubannya
Langsung dia memikul hutang di bahunya
Rupiah sepuluh juta

Kalau dia jadi petani di desa


Dia akan mensubsidi harga beras orang kota
Kalau dia jadi orang kota
Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya
Kalau dia bayar pajak
Pajak itu mungkin jadi peluru runcing
Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing

Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga


Mulutmu belum selesai bicara
Kau pasti dikencinginya.
PERJALANAN KUBUR
Karya: Sutardji Calzoum Bachri

luka ngucap dalam badan


kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung
ke bintang-bintang
lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku
untuk kuburmu Alina
untuk kuburmu Alina
aku menggali-gali dalam diri
raja dalam darah mengaliri sungai-sungai mengibarkan bendera hitam
menyeka matahari membujuk bulan
teguk tangismu Alina

sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur


laut pergi ke sungai membawa kubur-kubur
sungai pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga
membawa kuburmu Alina

Anda mungkin juga menyukai