Anda di halaman 1dari 16

Aku, Ulang tahun dan Hidup

Cerpen Karangan: Khalawa Imana

Aku menatap etalase toko kue dengan tatapan


kosong. Berbagai kue dengan macam-macam
rasa dan warna, juga hiasan yang menghiasi
kue itu menjadi lebih indah. Ada kue coklat
spesial, kue bertingkat tinggi, atau kue tart
dengan buah-buahan mahal.
Setelah melihat-lihat berpuluh-puluh menit aku
hanya memesan satu kue kecil polos dan 1
lilin. Mbak penjaga toko kue mungkin bilang
dalam hati kalau anak ini aneh dan buang-buang waktu. Tatapannya padaku seakan
mengatakannya. Sebenarnya aku tidak tau tujuanku membeli kue polosan ini. Hanya menguras
uang jajanku. Tapi biarlah. Aku sudah lama tidak makan kue. Plus hari ini adalah hari ulang
tahunku yang ke enam belas.
Hari ulang tahun, dimana anak-anak merayakannya dengan suka cita bersama orang-orang
tersayang dan balon-balon penuh warna menghiasi rumahnya. Andai aku begitu. Tetapi
terdengar mustahil hahaha.
Terkadang aku lelah, down, putus asa, atau bahkan hampir ingin mengakhiri hidupku. Mengapa
hidupku sangat berbeda Tuhan? Aku tak percaya lagi hidup seperti roda yang berputar. Buktinya
aku tidak pernah ada di posisi atas, Selalu ada di posisi bawah.
Tapi entah mengapa hatiku tetap menahanku untuk melakukannya. Seakan, aku masih ada
semangat walau itu hanya 0,001 persen.
“Happy birthday to me. Semoga, aku bisa merasakan kebahagiaan,” ucapku pelan lalu meniup
lilin
Aku menendang kerikil-kerikil di jalan, menyusuri jalan raya. Petang ini jalan ramai oleh
kendaraan kendaraan orang pulang kantor. Aku menatap kursi jalan di tepi yang diduduki
seorang anak perempuan. Anak perempuan itu dengan pakaian yang lusuh dan compang
camping. Ku mencoba mendekati anak perempuan itu. Ku duduk di sampingnya.
“Mau makan kue bersama?”
Anak perempuan itu terdiam menatapku.
“hari ini ulang tahunku ,” Lanjutku. Anak itu menerima dengan malu malu. Kami pun makan kue
bersama di petang itu.
“Namamu siapa?”
“Kayeela,”
“Cantik,” Pujiku. Kayeela akhirnya tersenyum kecil. Manis wajahnya.
“Aku tidak pernah makan kue seumur hidup,” Kayeela akhirnya bersuara.
“kenapa?”
“Bapak tidak punya uang dan Aku tidak pernah ulang tahun. Kapan aku lahir pun tidak pernah
diberi tahu oleh bapak,” Jawabnya. Kayeela terlihat bersemangat melahap kue walau itu hanya
kue polos.
Aku terkejut bingung. Lalu bertanya mengapa. Kayeela terdiam. Menggeleng tidak tahu.
“Kamu habis dipukuli ya?” tanyaku refleks saat melihat sekujur tubuhnya penuh dengan luka
dan lecet Aku baru menyadari bahwa pertanyaanku sangat tidak mengenakan hati untuk kami
yang baru saling bertemu. Kayeela mengangguk pelan lalu tertawa kecil yang menyedihkan.
“Aku habis diusir sama bapak karena tidak dapat uang hasil mengemis. Aku tahu itu perbuatan
yang sangat buruk. Tapi jika tidak, bapak akan memukulku dengan rotan dan mengusirku
membiarkanku tidur sembarang tempat di jalanan. Tapi jangan khawatir, aku akan diterima
kembali esok sore. Hahaha,”
Suasana hening Ketika kayeela selesai bercerita.
“Ah begitu ya, maaf kalau membuatmu jadi tidak nyaman. Kalau begitu, ini kuenya untukmu
saja sisanya, dan maaf hanya bisa memberi ini,” Aku menyodorkan sebuah air mineral dan roti
manis dari minimarket yang kubeli sepulang membeli kue. Kayeela menerimanya dengan senang
hati.
“Terima kasih banyak kak, kapan-kapan ketemu lagi ya!”
Aku mengangguk senang dan berpisah dengan kayeela.
Entah kapan aku bisa bertemu dengan kayeela lagi. Wajahnya yang manis dan cantik memelukku
sebelum aku pulang. Aku melambaikan tangan dan ia membalasnya dengan riang.
Kayeela, Anak perempuan kuat dan selalu tersenyum. Entah ia berapa usianya tapi ia sudah bisa
menghadapi hidup yang berat. Kita tidak pernah tau apakah yang terjadi dibalik semua cerita
yang ia sampaikan, apakah baik-baik saja atau malah lebih buruk?
Tapi kuharap ia bisa menjalaninya dan menjadi gadis yang tangguh.
Dan sejak kejadian sore itu, Aku jadi tahu, ada banyak anak-anak dibawahku yang tidak
seberuntung aku. Dipaksa bekerja, menghadapi kehidupan yang sulit, dan tidak bisa bersenang-
senang seperti anak-anak lain pada umumnya. Aku akan terus berusaha untuk menjalani hidup
dengan baik dan bersyukur.
Inilah Aku
Cerpen Karangan: Cindy Joselyn

Pagi yang tidak disapa silaunya alam, melainkan


disapa oleh rintikan air beserta sedikit musik dari
langit, membuka hari Senin dengan indah.
Tentunya saja indah bagi para siswa, termasuk
Laila yang berusia 15 tahun dan sekarang sedang
beradaptasi dengan lingkungan, sekolah, teman
dan suasana baru.
Laila dengan bersemangat mendatangi sekolah
dengan impiannya yang rahasia. Namun, saat
sampai di sekolah dia terkejut melihat potongan
rambut temannya yang tidak jelas. Tidak cukup sampai di situ, banyak temannya yang
memasang foto artis Korea ataupun Jepang di buku maupun handphone mereka. Tapi Laila
mengganggap itu hal yang biasa karena itu sedang menjadi trend di kalangan anak muda
sekarang.
Jarum jam terus bergerak, detik demi detik terlewati, pukul 06.45, seorang teman Laila bernama
Puan menghampiri Laila dan berkata, “Hei! Elu Laila kan? Why your rambut diikat seperti ini?
It’s bad! Kayak geng gue dong diurai.” Ucapan Puan yang ketus dan tatapannya yang tajam tidak
dipermasalahkan Laila, namun yang menjadi permasalahnnya itu adalah gaya bicara Puan yang
terkesan aneh. Baru saja Laila ingin mengkritik, lonceng tanda masuk sudah berbunyi. Sontak
semua siswa langsung menempati tempat masing-masing. Hari ini pelajaran pembukanya
merupakan bahasa Indonesia, dengan guru bernama Pak Bambang.
Awalnya pembelajaran berlangsung normal, tapi tiba-tiba terjadi hal mengejutkan, “Kenapa
kalian kebanyakan memakai bahasa tidak baku itu? Gue-lu-lo. Jelaskan secara logis!” sontak
ucapan Pak Bambang membuat sebagian batang hidung menciut.
“Terserah kami la pak, biar gaul gitu loh,” jawab teman Puan yang bernama Khanti sambil
menghentakkan kaki. Suasana seketika mencekam.
“Jangan sampai kami masuk BK hanya karena ketidaksopanan geng Puan itu,” hati Laila
berbisik, sedangkan pikirannya membayangkan emosi Pak Bambang yang sepertinya akan
menggebu-gebu. Ternyata Laila salah, meskipun tampangnya yang dingin, itu tidak berarti
perlakuannya juga sama. Pak Bambang justru membuat hal ini menjadi menarik.
Bagaimana kami bisa tahu? Ternyata keesokan harinya, Bu Cahya selaku guru bahasa Inggris
mengadakan uji kemampuan, baik dalam berbicara maupun menulis. Tentunya bagi Puan dan
temannya itu perkara yang mudah, bahkan dia dengan percaya diri bersorak, “Halah, ini mah
cemen Ma’am, Gue sambil ngupil juga bisa ngerjain. Elo mana bisa Laila, kan elo sukanya
bahasa Indonesia itu. Ga gaul lo! Mana zaman make Indo Indo gitu, cih.” Dengan sikap
meremehkan itu membuat Bu Cahya tersenyum kaku dan Laila hanya bisa mengehela nafas.
Laila juga menyadari itu kebiasaannya, bahkan di grup Whatsaapp dia juga selalu menggunakan
bahasa Indonesia.
Apa yang diucapkan Puan ternyata bukan sekedar kata semata. Dia dapat menyelesaikan hanya
dalam waktu 5 menit dengan predikat A+. Sudah tidak diragukan lagi, Puan akan
menyombongkan dirinya di segala sisi sekolah. Kalian tahu apa respon penghuni sekolah?
Tentunya mereka langsung memuji pencapaian Puan tersebut. Ternyata semua sosial media Puan
juga berisi tulisan bahasa asing. Seketika minggu itu nama “geng Puan” menjadi naik daun,
sampai-sampai tiada seorang pun yang mengosipkan artis lagi.
Dua minggu setelahnya, kejayaan itu tak bertahan lama akibat terpaan edukasi dari Pak
Bambang. Semua murid dikumpulkan secara tiba-tiba dan diberikan pencerahan mengenai topik
yang sedang booming.
“Selamat pagi semua, terima kasih telah bersedia berkumpul disini. Saat ini saya ingin
meluruskan permasalahan yang sedang transparan dimana-mana. Sebelumnya, apakah disini
kalian sudah merasa memiliki sikap cinta tanah air?”
“Tentu sudah donk pak,” jawab semua murid dengan serentak. Tak lupa kepercayaan dirinya
yang masih terisi penuh.
“Baiklah, jawaban yang menggantung seperti cinta kalian terhadap dia,” lawakan Pak Bambang
diikuti sorakan siswa.
“Asiks, soal cinta-cintaan nih. Gue jadi kangen ama bebeb gue,” ucap seseorang yang terkesan
lebay.
“Menurut kalian seperti apa penerapan sikap tersebut?”
Semua siswa terheran-heran, karena bagi mereka itu pertanyaan bodoh. Dengan anggun mereka
berteriak, “Memakai batik dan produk dalam negeri.”
Kali ini giliran Pak Bambang yang tertawa terbahak-bahak. Tentu saja hal itu membuat para
siswa kebingungan. Apakah jawaban mereka salah?
“Jawaban kalian seperti pemikiran anak SD! Ucapan tak sesuai dengan gaya kalian yang
dianggap dewasa dan keren itu. Apa yang kalian banggakan?” seketika suasana menjadi
canggung, seakan-akan Pak Bambang dapat membaca pikiran mereka.
“Cinta tanah air tidak harus mengenai pakaian para anak-anakku sekalian. Cara kalian
menerapkan bahasa Indonesia dengan prosedur yang tepat juga termasuk.” Bu cahya yang tadi
hanya memperhatikan mulai mencairkan suasana.
“Huh, berterima kasihlah kepada Bu Cahya kalian ini. Apa yang dia sampaikan tadi benar
kawan-kawanku. Anggap saja kita sebagai teman agar kita bisa membicarakan ini dengan kepala
dingin.”
“Maksudnya bagaimana pak?” sahut seseorang bertubuh kerdil.

“Jadi begini nak, mulai sekarang bukalah pandangan kalian tidak hanya dari satu definisi saja.
Cinta kepada negeri kita bisa ditunjukkan dari hal sederhana, seperti yang disampaikan Bu
Cahya tadi. Saya tidak menyalahkan kalian pintar menggunakan bahasa asing, tapi jadikan itu
sebagai pelengkap. Guru disini melihat banyak siswa yang pandai bahasa asing, justru bahasa
negeri sendiri menjadi kebalikannya. Bukan hanya itu, penampilan kalian yang seperti turis, serta
idola, hobi yang siapa itu, apakah itu disebut definisi sikap yang gaul? Memangnya apa sanksi
yang didapat jika tidak gaul? Tadi kalian juga berkata memakai produk dalam negeri, apakah itu
yang kalian terapkan? Silakan jika kalian merasa tersindir atau bahkan membenci saya sehingga
bertambah tidak menyukai pelajaran yang saya ajarkan karena itu tidak gaul, bukankah begitu?
Sekali lagi saya tegaskan, disini saya tidak melarang. Itu hidup dan urusan Anda.”
Semua siswa terdiam dan tertunduk, apalagi Puan. Bagaimana dengan Laila? Apakah dia merasa
bangga? Sepertinya dia merasa akan semakin dijauhi teman sekelasnya.
Dia Ibuku
Cerpen Karangan: Yolanda Tania

Suara jangkrik dan hembusan angin kini


mendominasi pendengaranku, dingin! Hawa
dingin serasa menusuk-nusuk lapisan
kulitku. Tubuhku hanya terbalut kaos polos
serta celana trening yang aku gunakan.
Aku terus menyusuri trotoar jalan yang sepi.
Aku, tidak melihat satu orangpun yang
lewat sekitar sini. Masyarakat sekitar
mengganggapnya tempat rawan, namun aku tetap melewatinya, jika bisa memilih aku akan lewat
jalan lain walaupun harus menghabiskan waktu yang cukup panjang, namun tidak dengan jalan
ini. Gang ini memang satu-satunya jalan yang harus aku lewati supaya sampai ke toko obat.
Aku terus berjalan, mataku sekilas menatap bayangan orang bertubuh tinggi dibalik asap sana,
sungguh aku takut, suasana ini membuatku ingin mundur dan pergi saja. Namun, aku teringat
akan ibuku, dia sedang sakit keras. Aku harus membelikan obat untuknya.
Kini aku mulai memfokuskan penglihatanku, retinaku menangkap jelas sosok lelaki dibalik asap
itu. Aku memandangnya sekilas, ternyata dia bukan penjahat atau begal. Dari penampilannya,
aku bisa menilai dia orang baik.
Netra kita sempat bertemu sekilas, aku langsung membuang pandangan ke arah lain. Tatapannya
sungguh meneduhkan, aku memberanikan mengangkat suara, “Permisi kak,” Dia masih
menatapku lalu tersenyum kecil.

“Bu, ini obatnya. Aku taruh di atas meja yah Bu,” ungkapku lirih, tidak ada respon apapun yang
ibu tunjukkan, aku memandang sekilas wajahnya, terlihat sangat jelas lekungan hitam di
matanya. Tanpa sadar, aku menyentuh pipi halusnya dan mengecup keningnya singkat.
Wanita paruh baya di depanku, masih terlihat sangat cantik. Wajahnya yang anggun
membuatnya terlihat lebih muda dari orang-orang seumurannya. Ibuku bernama Vellia, nama
yang sangat indah bukan? Sama seperti rupanya. Banyak orang menyebut ibuku sebagai sosok
bidadari yang tersesat di bumi, hehe ada-ada saja.
Aku tersentak kaget saat beliau membuka matanya, dia langsung mendorong tubuhku hingga
tersungkur ke lantai, “Jangan dekat-dekat saya, anak sialan!” omelnya keras, dia sangat
membenciku bahkan dia pernah mencoba menghabisiku namun gagal.
Alasannya hanya satu, ayah meninggal karena menyelamatkan nyawaku, kejadian 15 tahun silam
masih tergambar jelas di pikiran ibuku, dia sangat sulit untuk melupakan.
Perlahan air mataku mulai turun, aku tidak sanggup melihat tingkah ibu yang selalu memarahiku,
aku selalu salah di matanya. “Maaf, Bu. Tania hanya membelikan ibu obat, supaya cepat
membaik.” ujarku lirih, dadaku masih bergerak naik turun, nafasku tidak teratur menahan isak
tangis.
“Cepat pergi! Atau gelas ini saya layangkan ke muka kamu!” ancamnya lagi, aku menggeleng
kecil. Walau bagaimanapun, aku harus menyaksikan ibu meminum obatnya supaya lekas
membaik. Dia sangat kelelahan akibat banting tulang untuk menghidupi keluarganya.
“Dasar anak pembangkang!” Tanpa jeda waktu, serpihan gelas kaca sudah berhamburan di
depanku, aku mencoba menghindar, namun pipiku tersayat kecil. Aku merintis kesakitan dan
mencoba membersihkan serpihan gelas itu.
“Sekali lagi maaf Bu, Tania izin pamit dulu. Ibu jangan lupa minum obatnya,” ujarku sambil
membawa serpihan gelas itu.
Namaku Tania Syailendra, nama Syailendra adalah nama turun temurun yang diberikan oleh
keluarga ayah. Aku anak tunggal dari pasangan Vellia dan Wisnu. Ya, mereka adalah ibu dan
Ayahku, usiaku sekarang menginjak 17 tahun. Aku menempuh pendidikan SMA, dan bekerja
part time di sebuah cafe.
Ayahku seorang pilot, sedangkan ibuku seorang manajer di salah satu perusahaan fashion.
Hidupku sudah berkecukupan, ibu selalu memberiku jatah uang jajan, bahkan keperluan lainnya.
Tapi, aku tidak membutuhkan semua itu, aku hanya menginginkan ibu kembali seperti dulu,
seperti ibu yang aku kenal.
Hari ini, hari pertama aku kembali bersekolah, setelah liburan. Aku menempuh tahun ajaran
baru, menduduki kelas 12.
Jika kalian bertanya bagaimana sifatku? Aku akan menjawabnya introvert. Memang benar, aku
sangat membenci keramaian, aku selalu menyendiri, hanya buku dan Tiffa yang menemaniku
sampai saat ini.
Tiffa, salah satu sahabatku yang berteman semenjak masa biru putih, dia mengetahui semua
seluk-beluk tentang aku, dan keluargaku. Hanya dia yang bisa mengerti, dan menenangkan
pikiranku.
Hari ini, aku bercerita kepadanya tentang kejadian semalam, dia terkejut dan mengulas singkat
pipi yang aku tutupi menggunakan perban dan plester.
“Yang sabar, Tan. Ibu kamu pasti bakal kembali kaya dulu kok,” terangnya. Aku merasa lega
dan segera menghamburkan peluk kepadanya.
Bel sekolah kini terdengar nyaring, banyak siswa berhamburan untuk memasuki kelasnya
masing-masing, aku dan Tiffa memang beda jurusan. Aku masuk MIPA sedangkan dua masuk
IPS.
Aku tergolong siswa berprestasi, aku dimasukkan ke dalam kelas unggulan. Sesampainya di
kelas, pandanganku menyapu seluruh isi kelas, tidak ada bangku kosong! Naas nasibku tidak
baik sekarang, kenapa aku menghabiskan waktu untuk bercerita dibanding meraih tempat duduk
lebih awal? Ah sial, aku menepuk pelan jidatku.
“Aw sakit,” rintihku kecil, tanpa sengaja pandanganku menemukan sosok pria yang aku temui
semalam, dia melambaikan tangan dan memintaku duduk bersamanya.
Aku mendekatinya, dia mempersilakan kursi disampingnya untuk ditempati olehku. Aku terdiam
sejenak, lalu mengulas senyum singkat. ‘semoga dia orang baik’ ucapku dalam hati.
Bel pulang kini terdengar sangat nyaring di telingaku, seperti biasa aku menyaksikan banyak
siswa berhamburan keluar. Aku menunggu sampai keadaan sekolah benar-benar sepi.
Fazran Fahreza, cowok yang duduk bersamaku. Nama yang bagus, seperti rupanya. Aku juga
gadis normal yang bisa tertarik kepada lawan jenis, dia terlihat pendiam bahkan sangat pendiam.
Tapi, aku belum bisa menebaknya langsung, dia pendiem atau memang dingin. Seharian tadi, dia
hanya menyungging senyum kecil. Aku mengetahui namanya saat melihat Nick yang ia kenakan
di baju.
Aku berlari secepat mungkin, saat mendengar suara barang dibanting dari depan rumah. Benar
saja, ibuku sedang mengamuk dan membanting alat-alat rumah tangga, bahkan beliau
membanting bingkai foto keluarga, dimana ada ayah, ibu, dan aku kecil.
Sungguh miris melihat keadaan ibu sekarang, dia sangat mencintai ayah begitupun sebaliknya.
Namun, takdir memisahkan mereka berdua. Ibuku mengalam depresi berat, penyakitnya bisa
kambuh kapan saja.
Pertahananku mulai runtuh kembali, aku tidak sanggup menahan air mata. Aku mendekati ibu,
tidak mempedulikan konsekuensi yang aku terima nantinya.
Mata ibuku terlihat sebab dan merah, tentu saja beliau sedang menangis, bahkan berteriak
histeris menyebut ayahku.
Prang…
Aku lagi lagi tersentak, baru saja ibu membanting vas bunga, dan mengarahkan pecahan itu ke
hadapanku. Aku mencoba menghindar, dan berlari secepat mungkin. Namun, pergelangan
tanganku sudah dikuasai oleh ibu, aku berteriak histeris, berusaha meminta tolong.
“Jangan Bu, aku Tania! Anak ibu! Jangan sakiti aku,” pintaku. Namun ibu tidak
menghiraukanku, detik berikutnya aku melihat banyak darah bercucuran dari pergelangan
tanganku, aku terkulai lemas dan jatuh ke lantai.
Aku mengerjapkan mata berulang kali, mencoba memfokuskan pandangan. Masih terlihat samar
tentang ruangan ini, ruangan yang didominasi warna putih dan berbau ciri khas, aku sudah
menebaknya tempat ini adalah rumah sakit.
Retinaku, kini mulai fokus. Dan betapa terkejutnya aku, saat melihat ibu tertidur di ranjangku.
Ini mimpi? Aku mencoba menyubit pipiku pelan, “Aww sakit.” erangku kecil, ini bukan mimpi!
Tanpa sadar, pergerakanku membuat ibu terbangun. Dia menatapku sendu dan iba, aku mencoba
mencari sebuah kebencian dipandangnya, namun hasilnya nihil. Apakah ibu, sudah
memaafkanku? Aku bersorak ria dalam hati.

Ibu, mengulas dan mengecup kepalaku lama. Aku senang sekaligus kaget apa yang ibu lakukan
terhadapku.
“Maafkan Ibu, nak,” ucapnya singkat. Apa? Aku tidak salah dengar kan? Dia menyebut dirinya
sebagai ibu, aku merasa sangat senang.
Lagi-lagi aku menggeleng singkat, “Ibu engga salah, Tania yang jadi sumber masalah dalam
kehidupan ibu sama Ayah. Andai dulu Tania ngga minta ayah buat jalan, pasti kejadiannya tidak
seperti ini,” ucapku.
Jari telunjuk ibu, menyentuh bibirku. Dia mengisyaratkan agar aku berhenti bicara, detik
berikutnya dia menghambur pelukan kepadaku, bahkan dia mendekapku lebih erat, aku bahagia
sekali. Ternyata, ini pelukan ternyaman yang ibu berikan kepadaku.
Setelah melewati masa rawat inap, aku diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Tanganku sudah
kembali normal dan bisa beraktifitas seperti biasanya, aku sangat senang kini kehidupanku mulai
kembali normal. Ibu, yang sangat menyayangiku, bahkan selalu memperhatikanku.
Baru beberapa langkah, kedatanganku disambut oleh pesta petasan kecil. Aku melihat Tiffa
bersama sosok lelaki yang menggunakan hoddie, sebentar! Aku mulai meneliti sosok di depanku,
dia? Fazran? Aku kembali melekatkan pandangan, ternyata benar, dia Fazran.
Beberapa Minggu kemudian, aku dan Fazran mulai dekat. Ternyata dia sudah mengenalku sejak
lama, dia juga yang memberitahu ibu tentang kejadian yang aku alami selama ini.
Fazran, sekaligus sosok misterius yang selalu mengirimku pesan. Dia mengerti segala aktifitas
dan masalah yang sedang aku hadapi.
“Aku selama ini mengagumimu, hanya saja nyaliku sangat kecil untuk mendekatimu,” ungkap
Fazran singkat. Aku hanya tersenyum mendengar penuturan Fazran. Detik berikutnya dia meraih
pergelangan tanganku dan berjongkok di hadapanku.
“Tania, kamu mau jadi pacarku?” ucapnya lantang, aku terharu mendengar ucapannya. Tanpa
menunggu lama, aku mengangguk singkat dan menerima bunga yang Fazran berikan.
“Di dunia ini hanya 3 cinta yang aku miliki, tuhan, keluarga, dan kamu.” ucapnya lagi.
Inilah kisahku, si anak malang yang dibenci ibunya sendiri. Tapi aku tau, skenario tuhan lebih
mengejutkan ketimbang pemikiran manusia, tuhan bisa membolak-balikan pikiran dan hati
manusia. Aku sosok gadis yang berfikir bahwa hidupku akan selamanya sad, namun skenario
yang tuhan berikan sungguh menakjubkan. Terimakasih tuhan, maafkan umatmu jika selama ini
mengeluh dan terus mengeluh.

Metamorfosis Sempurna
Cerpen Karangan: Kanema

Aku memiliki seorang sahabat, kami


bersahabat sejak kelas 1 SD dan kebetulan
kami tinggal di satu kampung yang sama.
Di situlah kami tumbuh bersama hingga
saat ini. Kami sekarang sudah beranjak
SMA dan terdapat perbedaan di antara
kami. Aku masih kelas 1 SMA sedangkan
dia sudah kelas 2 SMA. Dialah orang yang
sangat mengerti kepribadianku. Ketika
moodku sedang buruk, dia akan berusaha
menghiburku dengan membuat lelucon hingga ahirnya aku tertawa terbahak-bahak dan
melupakan masalahku sejenak. Apalagi jika aku sedang marah dengannya, dia selalu mengalah
untukku, meskipun aku yang salah. Aku tahu, aku sangat egois untuk hal ini. Untungnya dia jauh
lebih dewasa dalam menyikapi dan memahami masalahku. Bagiku dia bukan hanya seorang
sahabat. Tapi, dia sudah seperti kakak yang selalu ada di sampingku, menghiburku,
memotivasiku, dan dialah orang yang selalu memberi tanggapan di setiap pertanyaanku. Dialah
Zhea, seorang sahabat yang tak pernah mementingkan diri sendiri dan selalu mengutamakan
kebahagiaan orang-orang yang di sayanginya.
Hingga di suatu hari tanpa sengaja aku menemukan seseorang yang membuatku sangat
terkagum-kagum padanya. Setiap hari yang kulewati selalu berharap-harap cemas agar dapat
melihat wajahnya. Kurasa aku jatuh cinta untuk kesekian kalinya. Setiap melihat wajahnya, aku
bagai menemukan sepotong hati yang baru. Akupun bercerita tentang hal ini kepada Zhea. Zhea
sangat antusias menanggapi cerita asmaraku. Aku bertanya hal yang sama yang aku ceritakan
padanya. Aku sedikit terkejut saat dia menjawab pertanyaanku, ternyata ia juga sedang menyukai
seseorang. Kami berdua tertawa mendengar kesamaan kami. Jatuh cinta bersamaan. Konyol
sekali bukan? Jatuh cinta disaat yang bersamaan. Itu sangat aneh. Kami tetap menjaga privasi
kami tentang nama orang yang kami sukai. Di sinilah keunikan persahabatan kami berdua. Kami
tidak mencampri urusan asmara masing-masing. Jika kehidupan asmara kami sedang
menghadapi konflik. Kami akan memberikan pendapat, saran, dukungan dan kritik satu sama
lain.
Siang hari yang sangat terik. Aku tidak bisa lagi menahan perasaanku yang menggebu-gebu. Aku
membetitahukan pada Zhea nama orang yang kusukai, dan aku mengatakan padanya bahwa
orang itu juga menyukaiku. Zhea terdiam beberapa saat setelah mendengar pernyataanku. Aku
harus sampai menyentuhnya agar dia sadar dari lamunannya.
“Apa kamu yakin dia orang yang kamu sukai dan dia juga suka padamu seperti apa yang kamu
ceritakan Kia?” Tanya Zhea dengan bibir bergetar.
Aku menjawab dengan gembira dan meyakinkan.
“Yaaa ampun Zhea, tentu saja aku yakin dia orang yang kusukai. Dia sangat perhatian padaku.
Memangnya kenapa Zhea?”
Zhea terdiam sejenak dan matanya berkaca-kaca. Bulir-bulir kecil mulai menggenangi kelopak
matanya. Aku langsung mengerti ketika melihat raut wajah Zhea yang terlihat sedih.
“Jangan bilang dia juga orang yang kau sukai Zhea?” aku bertanya dengan hati-hati.
Tangis Zhea meledak. Ia terduduk dan menangis tersedu-sedu.
“Maaf Kia, aku akan berkata YA untuk pertanyaanmu” jawab Zhea sembari menyeka air
matanya.

Aku bagai tertimpa langit yang runtuh ketika Israfil meniup sangkakalanya. Aku terduduk lemas
beberapa langkah dari Zhea. Hatiku porak-poranda. Aku kecewa mengetahui kami menyukai
orang yang sama.

Aku berkata ketus pada Zhea. “Kenapa kamu tidak mengatakannya?” aku mencengkram erat
rumput yang ada di sampingku.
“Bagaimana aku bias mengatakaannya Kia? Kau tau kita tidak ikut campur dalaam urusan
asmara kita masing-masing.”
“What? I don’t care Zhea. Kau seharusnya tau dia orang yang aku tuju. Bukankah aku sering
memperhatikannya ketika kita bersama. Sudahlah, aku tidak lagi butuh penjelasanmu.” Aku
berlalu meninggalkan Zhea.
Zhea meneriakiku beberapa kali. Aku tidak mengubris panggilannya. Aku tetap melangkah
menjauh darinya. Meninggalkan Zhea terpaku sendirian menatap kepergianku.

Beberapa hari kemudian, aku tetap tidak bertegur sapa dengannya. Meskipun Zhea beberapakali
berusaha mendekatiku. Aku tidak mempedulikannya. Aku sangat kecewa padanya. Kenapa kami
harus menyukai orang yang sama, Tanyaku dalam hati. Aku menuju ke pojok sekolah. Duduk
sendiri di bawah pohon linden yang sangat rindang di pojokan sekolah. Aku menatap kosong
kedepan, pikiranku menerawang jauh. Saat aku sedang asik dengan kesendirianku. Seseoreng
datang dan duduk menghampiriku. Aku terkejut ketika menoleh kesamping. Abi sedang duduk
santai merentangkan tangannya. Dialah orang yang menjadi biang masalah antara aku dan Zhea.
“Hai Kia, sedang apa?” Tanya abi dengan santai.
“Kenapa kemari? Mau apa?” Tanya kia kembali tanpa menoleh sedikitpun pada Abi.
“Maaf Kia, aku dengar kau bertengkar dengan Zhea gara-gara aku. Aku tidak bermaksud
memberi harapan ke pada kalian berdua. Zhea sudah menceritakan semuanya padaku. Harus kau
tau kia, Aku memang care pada semua orang. Dan aku sangat-sangat minta maaf. Aku benar-
benar tidak menaruh perasaan pada kalian berdua. Semua yang kulakukan padamu dan pada
Zhea murni hanya karna aku peduli sama kalian dan juga pada semua orang. Jadi seharusnya kau
tidak menganggap kepedulianku adalah perlakuan istimewa buatmu. Aku benar-benar minta
maaf Kia.”

Aku tidak bisa berkata-kata. Mendung di mataku sudah turun deras sedari Abi memulai
penjelasannya. Ia menyapu lembut bahuku. Mencoba menenangkanku. Saat itulah Zhea datang
menyeka air mataku, menyapu lembut pipiku dan memelukku dengan hangat. Aku mencair di
pelukan Zhea. Zhea saja bisa mengikhlaskannya, kenapa aku tidak?. Kami sudah lama
bersahabat. Tidak seharusnya kami bertengkar hanya karna seseorang yang sedikit pun tidak
menaruh perasaan pada kami berdua. Aku sadar, aku memang selalu egois dan gegabah dalam
hal apapun. Aku melepas pelukan Zhea dengan hati-hati. Sembari menyeka air mataku, aku
meminta maaf pada Zhea.

“Zhea, maaf aku tidak mempedulikamu beberapa hari ini. Maaf, aku selalu bertindak bodoh
sebelum befikir. Maafkan aku Zhea, tidak seharusnyacinta monyet seperti ini memecahkan kita
berdua.”
“Iya Kia…” Saat itulah Abi menyela pembicaraan kami
“Maaf girls, sepertinya kalian berdua sudah berbaikan. Aku harap kita bias menjadi teman. Dan
ingat! Jangan bertengkar hanya karna seseorangyang kalian anggap istimewa. Usahakan kalian
lebih mementingkan persahabatan kalian dari seseorang yang kalian anggap istimewa.
Baiklaaaah aku tiggalkan kalian berdua. Berbaikanlah, dan ingat pesanku.” Abi berlalu
meninggalkan aku dan Zhea.
Kami berdua mengulum senyum mendrngar perkataan Abi. Zhea duduk di sampingku, menatap
lurus kedepan dan melanjutkan kata-katanya.
“Kia, aku juga minta maaf atas sikapku padamu. Abi benar kita harus lebih mengutamakan
persahabatan.”
“Kau benar Zhea, persahabatan kita lebih penting dari perasaan kita. Daaan, bila kita menaruh
hati pada seseorang. Kurasa kita harus mengatakan namanya. Agar kita tidak berselisih paham
seperti ini.” Ungkapku dengan tulus.
“Yah, benar juga. Tentunya agar kita tidak menyukai orang yang sama lagi. Oleh sebab itu kita
harus jujur untuk masalah hati. Seperti Pepatah Arab “Hakku Waalau Kana Murran” kau tau
bukan?”. Tanya Zhea padaku.
“Tentu saja Katakanlah Kebenaran Sekalipun Pahit” Benarkan?.”

Kami berdiri bersama dan berlalu meninggalkan pohon linden di pojokan sekolah dengan
bergandengan tangan.

Sepatu Satu Juta


Cerpen Karangan: Rahmah Yulia

Menjadi orang kaya mungkin menjadi


impian semua orang, begitupun dengan
harapan akan terlahir menjadi anak di
keluarga kaya. Di keheningan malam,
seringkali Juli berkhayal menjadi salah satu
anak beruntung seperti yang ia harapkan di
atas becak milik ayahnya. Banyaknya
nyamuk yang hinggap bergantian di
tubuhnya setiap malam tidak menjadi
penghalang. Ayahnya pun sudah enggan
menyuruh Juli untuk masuk ke rumah, ia
sudah lelah karena sudah bekerja dari pagi
hingga sore untuk membanting tulang demi
Juli.
Juli gemar mengunggah foto kesehariannya di media sosial. Foto yang ia unggah di sana sangat
jauh berbeda dengan kehidupan aslinya. Ia seringkali memposting foto ketika ia sedang pergi ke
tempat yang terbilang mahal untuk golongan orang sepertinya sampai teman-temannya mengira
jika Juli adalah anak yang terlahir dari keluarga kaya raya. Padahal, ayahnya hanya seorang
tukang becak.
Saat itu, Juli sedang asyik melakukan panggilan telepon bersama teman-temannya melalui
ponsel. Mereka sedang membahas sepatu keluaran terbaru dari salah satu merek sepatu luar
negeri. Harga sepatu itu mahal untuknya, tetapi temannya sudah ada yang memiliki sepatu
tersebut. Tak mau kalah, Juli juga berniat untuk membeli sepatu yang sedang mereka bahas dan
memberitahu kepada teman-temannya bahwa ia akan memiliki sepatu itu minggu depan. Karena
Juli belum bekerja sehingga ia belum memiliki penghasilan, ia tidak tahu harus mendapatkan
uang darimana selain meminta uang untuk membeli sepatu kepada ayahnya.
“Yah, Juli boleh minta uang untuk beli sepatu? Sepatu Juli sudah jelek, nih.”
Juli sebenarnya sudah tahu jawaban apa yang akan diucapkan oleh ayahnya. Juli merengek,
berharap ayahnya iba dan masih memiliki sedikit tabungan sehingga dapat membeli barang yang
tadi ia minta. Ayahnya tidak mau membelikan Juli sepatu, karena kondisi sepatunya masih layak
pakai. Ayahnya sempat menawarkan agar sepatunya dibawa ke tukang sol saja untuk
memperbaiki bagian sepatunya yang hampir lepas, namun Juli tidak mau. Dengan muka yang
tertekuk, Juli kembali ke kamarnya karena ia merasa kesal dan sangat sedih.
Juli mengecek dompet, tas, lemari, hingga kolong kasur. Kamarnya yang tadinya rapih, kini
menjadi sedikit berantakan. Bagaimana tidak, ia mengeluarkan semua barang dengan harapan
akan menemukan uang yang terselip di sudut-sudut barang di kamarnya. Usahanya cukup
membuahkan hasil. Akan tetapi, uang yang ia temukan hanya sejumlah dua ratus ribu rupiah.
Dengan nominal yang hanya segitu, ia tidak mungkin bisa membeli sepatu keinginannya, yang
harganya satu juta rupiah.
“Apa aku beli sepatu kw saja?”
Ide itu tiba-tiba terbesit di pikirannya. Itu adalah satu-satunya cara agar Juli bisa menunjukkan
kepada teman-temannya jika ia mampu membeli sepatu tersebut dan dapat menepati kata-
katanya yang akan memiliki sepatu itu minggu depan.
Juli segera mengambil ponselnya untuk membuka aplikasi belanja dan mencari barang yang
semirip mungkin dengan aslinya. Tanpa membutuhkan waktu lama, ia dapat langsung
menemukannya dan langsung memesan barang tersebut. Barang seharga seratus enam puluh
sembilan ribu rupiah itu akan ia bayar ketika barang itu sampai dan barang itu akan datang paling
lama dalam waktu tiga hari.
Keesokan harinya, Juli masih marah dengan ayahnya. Ia sama sekali tidak berbicara dengan
ayahnya. Saat ayahnya pergi untuk bekerja hari ini, Juli tidak bersalaman, tidak seperti yang ia
dan anak-anak lain seharusnya lakukan ketika melihat orangtuanya pergi bekerja. Sikapnya yang
seperti itu memang sudah menjadi kebiasaan apabila ayahnya tidak mau menuruti keinginannya.
Di hari yang sama, teman Juli mengajaknya untuk makan sate di pinggir kota. Juli ingin menolak
ajakan temannya karena ia tidak mau memakai uang yang seharusnya digunakan untuk
membayar sepatu yang telah ia pesan untuk membeli makanan. Tapi di sisi lain, ia juga ingin
makan bersama temannya.
“Aku punya dua ratus ribu. Harga sepatu itu seratus enam puluh sembilan ribu. Oke, aku masih
punya sisa uang tiga puluh satu ribu,” katanya dalam hati.
Akhirnya, Juli menerima ajakan temannya itu. Mereka berdua segera pergi menuju tempat
makan dengan mengendarai motor. Temannya itu seorang pria. Namanya Amru. Rupanya, Amru
memang sedang mendekati Juli. Juli pun mneyadari hal itu. Kedekatan antara mereka berdua
sebagai teman sudah lama, tetapi jika sebagai gebetan, hal itu belum lama terjadi.
Selama di motor, mereka memperbincangkan banyak hal. Mulai dari lagu favorit, makanan,
hingga membahas tempat yang mereka ingin kunjungi secara masing-masing. Saat membahas
makanan, raut muka Juli terlihat seperti berbohong. Amru sudah tahu betul bagaimana sifat Juli
yang tidak ingin terlihat miskin karena Juli takut teman-teman akan menjauhinya. Oleh karena
itu, Amru harus benar-benar memastikan hal itu tidak terjadi kepada Juli.
“Totalnya jadi berapa, Bang?”
“Tujuh puluh ribu, Mas.”
Mereka berdua telah selesai makan. Juli tidak ingin jika makanannya dibayari oleh Amru karena
ia merasa tidak enak kepada Amru. Amru menolak uang yang Juli sodorkan kepadanya.
“Kan, gue yang ajak makan. Jadi, biar gue yang bayar.”
Dua hari telah berlalu. Di sore hari, terdengar suara pria berjaket jingga berdiri di depan rumah
Juli membawa sebuah kotak persegi panjang dilapisi plastik hitam. Juli segera menyiapkan uang.
Sepatunya telah datang. Sepatunya tidak buruk. Tetapi, karena barang yang dibelinya bukan
produk asli, Juli tidak merasa begitu senang ketika membuka paketnya yang baru datang itu.

Juli pun memakai sepatu yang baru saja ia beli untuk dipamerkan ke teman-temannya. Teman-
temannya banyak yang memujinya. Banyak pertanyaan yang ditujukan untuknya mengenai
sepatu yang ia kenakan. Juli tidak memberikan respon. Ia hanya tersenyum lebar dan segera
menuju ke kantin. Ia takut jika ada yang menyadari bahwa barang yang ia beli adalah sepatu kw.

Saat di kantin, ketika Juli ingin memesan makanan, ia menemukan sebuah dompet berwarna
coklat. Ia membuka dompet tersebut. Dalam dompet itu, tidak terdapat apa-apa selain sepuluh
lembar uang seratus ribu rupiah. Karena pemilik dompet tersebut tidak diketahui, Juli
memutuskan untuk mengambil dompet tersebut. Juli tidak berniat untuk mencuri, ia takut jika
uang tersebut jatuh ke tangan orang yang salah.

“Harus kuapakan dompet ini? Ya sudah, biar aku bawa saja.”

Sesampainya di rumah, ruang obrolan di media sosial kelas sedang sibuk membahas sepatu yang
ia kenakan. Ada rumor yang mengatakan jika Juli mengenakan sepatu kw. Mendengar kabar ini,
Juli benar-benar takut. Dilihatnya dompet yang baru saja ia temukan, Juli berencana untuk
membeli sepatu yang sama menggunakan uang di dalam dompet itu. Lagipula, pemilik dompet
itu juga tidak diketahui. Juli telah membulatkan niatnya. Ia pun membeli sepatu asli
menggunakan uang di dompet itu. Ia tidak ingin rumor itu semakin menyebar, karena hal itu
akan mengungkap identitas yang selama ini telah ia sembunyikan di depan teman-temannya.
Tidak memiliki teman adalah rasa takut terbesarnya.
Juli mengenakan sepatu itu lagi. Tetapi, sekarang ia sudah tidak mengenakan sepatu kw miliknya
itu. Sayang sekali, tidak ada satu pun yang menotis dirinya. Kelas sedang ramai
memperbincangkan dompet yang hilang. Dompet itu milik bendahara kelas. Di situlah tempat
bendahara menyimpan uang. Uangnya senilai satu juta rupiah. Bendahara kelas beserta anak-
anak akan mencari dompet itu di jam istirahat. Karena nominal uang dan ciri dompetnya sangat
persis, Juli menjadi sangat yakin jika dompet coklat yang ia temukan kemarin itu adalah dompet
milik bendahara kelasnya.

Kaki Juli gemetar. Badannya pucat. Sungguh, ia berniat akan mengganti uang yang telah ia
gunakan. Ayahnya mengajarkannya untuk selalu bersikap jujur. Tapi, nasi sudah menjadi bubur.
Ia tetap bersalah. Ia tidak berani mengaku kepada teman-teman jika ia telah menemukan dompet
dan telah menghabiskan uang milik kelas. Jadi, ia berpura-pura tidak tahu dan ikut mencari
dompet agar tidak ada yang mencurigainya.

Lima jam telah berlalu. Dompet tak kunjung ditemukan. Hari pun juga sudah malam. Tapi,
kampus masih cukup ramai oleh mahasiswa yang menghabiskan waktunya untuk kerja
kelompok, organisasi, atau sekedar nongkrong bersama teman di kantin. Akan makin sulit untuk
melakukan pencarian ketika kantin sedang ramai. Akhirnya, salah satu anak pun mengusulkan
kami untuk mengecek CCTV. Aku pasrah, tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menyiapkan
mental karena sebentar lagi aku akan terciduk.

Saat melakukan pemeriksaan di CCTV, memang ada seorang perempuan berambut panjang
mengenakan kemeja kotak-kotak yang mengambil dompet tersebut. Tapi, karena CCTV yang
letaknya membelakangi pelaku, muka Juli jadi tidak terlihat. Namun, pakaian yang ia kenakan
sudah membuktikan semuanya. Kini, semua orang di tempat itu tahu jika Juli yang telah
mengambil dompet itu. Setelah semuanya terbukti, Juli pun menjelaskan kronologi mengenai
uang yang ada di dompet itu. Ketakutannya menjadi kenyataan. Satu per satu temannya
menjauhinya, begitu juga Amru. Ini semua adalah akibat dari sikap ketidakjujurannya. Yang
tetap berada di sisinya sekarang hanya ayahnya. Meski ayahnya harus mengganti uang yang telah
dipakai anaknya untuk membeli sepatu. Juli merasa sangat menyesal dan berjanji agar tidak
mengulangi kesalahan yang sama.

Anda mungkin juga menyukai