Kumpulan Cerpen
Kumpulan Cerpen
“Jadi begini nak, mulai sekarang bukalah pandangan kalian tidak hanya dari satu definisi saja.
Cinta kepada negeri kita bisa ditunjukkan dari hal sederhana, seperti yang disampaikan Bu
Cahya tadi. Saya tidak menyalahkan kalian pintar menggunakan bahasa asing, tapi jadikan itu
sebagai pelengkap. Guru disini melihat banyak siswa yang pandai bahasa asing, justru bahasa
negeri sendiri menjadi kebalikannya. Bukan hanya itu, penampilan kalian yang seperti turis, serta
idola, hobi yang siapa itu, apakah itu disebut definisi sikap yang gaul? Memangnya apa sanksi
yang didapat jika tidak gaul? Tadi kalian juga berkata memakai produk dalam negeri, apakah itu
yang kalian terapkan? Silakan jika kalian merasa tersindir atau bahkan membenci saya sehingga
bertambah tidak menyukai pelajaran yang saya ajarkan karena itu tidak gaul, bukankah begitu?
Sekali lagi saya tegaskan, disini saya tidak melarang. Itu hidup dan urusan Anda.”
Semua siswa terdiam dan tertunduk, apalagi Puan. Bagaimana dengan Laila? Apakah dia merasa
bangga? Sepertinya dia merasa akan semakin dijauhi teman sekelasnya.
Dia Ibuku
Cerpen Karangan: Yolanda Tania
Ibu, mengulas dan mengecup kepalaku lama. Aku senang sekaligus kaget apa yang ibu lakukan
terhadapku.
“Maafkan Ibu, nak,” ucapnya singkat. Apa? Aku tidak salah dengar kan? Dia menyebut dirinya
sebagai ibu, aku merasa sangat senang.
Lagi-lagi aku menggeleng singkat, “Ibu engga salah, Tania yang jadi sumber masalah dalam
kehidupan ibu sama Ayah. Andai dulu Tania ngga minta ayah buat jalan, pasti kejadiannya tidak
seperti ini,” ucapku.
Jari telunjuk ibu, menyentuh bibirku. Dia mengisyaratkan agar aku berhenti bicara, detik
berikutnya dia menghambur pelukan kepadaku, bahkan dia mendekapku lebih erat, aku bahagia
sekali. Ternyata, ini pelukan ternyaman yang ibu berikan kepadaku.
Setelah melewati masa rawat inap, aku diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Tanganku sudah
kembali normal dan bisa beraktifitas seperti biasanya, aku sangat senang kini kehidupanku mulai
kembali normal. Ibu, yang sangat menyayangiku, bahkan selalu memperhatikanku.
Baru beberapa langkah, kedatanganku disambut oleh pesta petasan kecil. Aku melihat Tiffa
bersama sosok lelaki yang menggunakan hoddie, sebentar! Aku mulai meneliti sosok di depanku,
dia? Fazran? Aku kembali melekatkan pandangan, ternyata benar, dia Fazran.
Beberapa Minggu kemudian, aku dan Fazran mulai dekat. Ternyata dia sudah mengenalku sejak
lama, dia juga yang memberitahu ibu tentang kejadian yang aku alami selama ini.
Fazran, sekaligus sosok misterius yang selalu mengirimku pesan. Dia mengerti segala aktifitas
dan masalah yang sedang aku hadapi.
“Aku selama ini mengagumimu, hanya saja nyaliku sangat kecil untuk mendekatimu,” ungkap
Fazran singkat. Aku hanya tersenyum mendengar penuturan Fazran. Detik berikutnya dia meraih
pergelangan tanganku dan berjongkok di hadapanku.
“Tania, kamu mau jadi pacarku?” ucapnya lantang, aku terharu mendengar ucapannya. Tanpa
menunggu lama, aku mengangguk singkat dan menerima bunga yang Fazran berikan.
“Di dunia ini hanya 3 cinta yang aku miliki, tuhan, keluarga, dan kamu.” ucapnya lagi.
Inilah kisahku, si anak malang yang dibenci ibunya sendiri. Tapi aku tau, skenario tuhan lebih
mengejutkan ketimbang pemikiran manusia, tuhan bisa membolak-balikan pikiran dan hati
manusia. Aku sosok gadis yang berfikir bahwa hidupku akan selamanya sad, namun skenario
yang tuhan berikan sungguh menakjubkan. Terimakasih tuhan, maafkan umatmu jika selama ini
mengeluh dan terus mengeluh.
Metamorfosis Sempurna
Cerpen Karangan: Kanema
Aku bagai tertimpa langit yang runtuh ketika Israfil meniup sangkakalanya. Aku terduduk lemas
beberapa langkah dari Zhea. Hatiku porak-poranda. Aku kecewa mengetahui kami menyukai
orang yang sama.
Aku berkata ketus pada Zhea. “Kenapa kamu tidak mengatakannya?” aku mencengkram erat
rumput yang ada di sampingku.
“Bagaimana aku bias mengatakaannya Kia? Kau tau kita tidak ikut campur dalaam urusan
asmara kita masing-masing.”
“What? I don’t care Zhea. Kau seharusnya tau dia orang yang aku tuju. Bukankah aku sering
memperhatikannya ketika kita bersama. Sudahlah, aku tidak lagi butuh penjelasanmu.” Aku
berlalu meninggalkan Zhea.
Zhea meneriakiku beberapa kali. Aku tidak mengubris panggilannya. Aku tetap melangkah
menjauh darinya. Meninggalkan Zhea terpaku sendirian menatap kepergianku.
Beberapa hari kemudian, aku tetap tidak bertegur sapa dengannya. Meskipun Zhea beberapakali
berusaha mendekatiku. Aku tidak mempedulikannya. Aku sangat kecewa padanya. Kenapa kami
harus menyukai orang yang sama, Tanyaku dalam hati. Aku menuju ke pojok sekolah. Duduk
sendiri di bawah pohon linden yang sangat rindang di pojokan sekolah. Aku menatap kosong
kedepan, pikiranku menerawang jauh. Saat aku sedang asik dengan kesendirianku. Seseoreng
datang dan duduk menghampiriku. Aku terkejut ketika menoleh kesamping. Abi sedang duduk
santai merentangkan tangannya. Dialah orang yang menjadi biang masalah antara aku dan Zhea.
“Hai Kia, sedang apa?” Tanya abi dengan santai.
“Kenapa kemari? Mau apa?” Tanya kia kembali tanpa menoleh sedikitpun pada Abi.
“Maaf Kia, aku dengar kau bertengkar dengan Zhea gara-gara aku. Aku tidak bermaksud
memberi harapan ke pada kalian berdua. Zhea sudah menceritakan semuanya padaku. Harus kau
tau kia, Aku memang care pada semua orang. Dan aku sangat-sangat minta maaf. Aku benar-
benar tidak menaruh perasaan pada kalian berdua. Semua yang kulakukan padamu dan pada
Zhea murni hanya karna aku peduli sama kalian dan juga pada semua orang. Jadi seharusnya kau
tidak menganggap kepedulianku adalah perlakuan istimewa buatmu. Aku benar-benar minta
maaf Kia.”
Aku tidak bisa berkata-kata. Mendung di mataku sudah turun deras sedari Abi memulai
penjelasannya. Ia menyapu lembut bahuku. Mencoba menenangkanku. Saat itulah Zhea datang
menyeka air mataku, menyapu lembut pipiku dan memelukku dengan hangat. Aku mencair di
pelukan Zhea. Zhea saja bisa mengikhlaskannya, kenapa aku tidak?. Kami sudah lama
bersahabat. Tidak seharusnya kami bertengkar hanya karna seseorang yang sedikit pun tidak
menaruh perasaan pada kami berdua. Aku sadar, aku memang selalu egois dan gegabah dalam
hal apapun. Aku melepas pelukan Zhea dengan hati-hati. Sembari menyeka air mataku, aku
meminta maaf pada Zhea.
“Zhea, maaf aku tidak mempedulikamu beberapa hari ini. Maaf, aku selalu bertindak bodoh
sebelum befikir. Maafkan aku Zhea, tidak seharusnyacinta monyet seperti ini memecahkan kita
berdua.”
“Iya Kia…” Saat itulah Abi menyela pembicaraan kami
“Maaf girls, sepertinya kalian berdua sudah berbaikan. Aku harap kita bias menjadi teman. Dan
ingat! Jangan bertengkar hanya karna seseorangyang kalian anggap istimewa. Usahakan kalian
lebih mementingkan persahabatan kalian dari seseorang yang kalian anggap istimewa.
Baiklaaaah aku tiggalkan kalian berdua. Berbaikanlah, dan ingat pesanku.” Abi berlalu
meninggalkan aku dan Zhea.
Kami berdua mengulum senyum mendrngar perkataan Abi. Zhea duduk di sampingku, menatap
lurus kedepan dan melanjutkan kata-katanya.
“Kia, aku juga minta maaf atas sikapku padamu. Abi benar kita harus lebih mengutamakan
persahabatan.”
“Kau benar Zhea, persahabatan kita lebih penting dari perasaan kita. Daaan, bila kita menaruh
hati pada seseorang. Kurasa kita harus mengatakan namanya. Agar kita tidak berselisih paham
seperti ini.” Ungkapku dengan tulus.
“Yah, benar juga. Tentunya agar kita tidak menyukai orang yang sama lagi. Oleh sebab itu kita
harus jujur untuk masalah hati. Seperti Pepatah Arab “Hakku Waalau Kana Murran” kau tau
bukan?”. Tanya Zhea padaku.
“Tentu saja Katakanlah Kebenaran Sekalipun Pahit” Benarkan?.”
Kami berdiri bersama dan berlalu meninggalkan pohon linden di pojokan sekolah dengan
bergandengan tangan.
Juli pun memakai sepatu yang baru saja ia beli untuk dipamerkan ke teman-temannya. Teman-
temannya banyak yang memujinya. Banyak pertanyaan yang ditujukan untuknya mengenai
sepatu yang ia kenakan. Juli tidak memberikan respon. Ia hanya tersenyum lebar dan segera
menuju ke kantin. Ia takut jika ada yang menyadari bahwa barang yang ia beli adalah sepatu kw.
Saat di kantin, ketika Juli ingin memesan makanan, ia menemukan sebuah dompet berwarna
coklat. Ia membuka dompet tersebut. Dalam dompet itu, tidak terdapat apa-apa selain sepuluh
lembar uang seratus ribu rupiah. Karena pemilik dompet tersebut tidak diketahui, Juli
memutuskan untuk mengambil dompet tersebut. Juli tidak berniat untuk mencuri, ia takut jika
uang tersebut jatuh ke tangan orang yang salah.
Sesampainya di rumah, ruang obrolan di media sosial kelas sedang sibuk membahas sepatu yang
ia kenakan. Ada rumor yang mengatakan jika Juli mengenakan sepatu kw. Mendengar kabar ini,
Juli benar-benar takut. Dilihatnya dompet yang baru saja ia temukan, Juli berencana untuk
membeli sepatu yang sama menggunakan uang di dalam dompet itu. Lagipula, pemilik dompet
itu juga tidak diketahui. Juli telah membulatkan niatnya. Ia pun membeli sepatu asli
menggunakan uang di dompet itu. Ia tidak ingin rumor itu semakin menyebar, karena hal itu
akan mengungkap identitas yang selama ini telah ia sembunyikan di depan teman-temannya.
Tidak memiliki teman adalah rasa takut terbesarnya.
Juli mengenakan sepatu itu lagi. Tetapi, sekarang ia sudah tidak mengenakan sepatu kw miliknya
itu. Sayang sekali, tidak ada satu pun yang menotis dirinya. Kelas sedang ramai
memperbincangkan dompet yang hilang. Dompet itu milik bendahara kelas. Di situlah tempat
bendahara menyimpan uang. Uangnya senilai satu juta rupiah. Bendahara kelas beserta anak-
anak akan mencari dompet itu di jam istirahat. Karena nominal uang dan ciri dompetnya sangat
persis, Juli menjadi sangat yakin jika dompet coklat yang ia temukan kemarin itu adalah dompet
milik bendahara kelasnya.
Kaki Juli gemetar. Badannya pucat. Sungguh, ia berniat akan mengganti uang yang telah ia
gunakan. Ayahnya mengajarkannya untuk selalu bersikap jujur. Tapi, nasi sudah menjadi bubur.
Ia tetap bersalah. Ia tidak berani mengaku kepada teman-teman jika ia telah menemukan dompet
dan telah menghabiskan uang milik kelas. Jadi, ia berpura-pura tidak tahu dan ikut mencari
dompet agar tidak ada yang mencurigainya.
Lima jam telah berlalu. Dompet tak kunjung ditemukan. Hari pun juga sudah malam. Tapi,
kampus masih cukup ramai oleh mahasiswa yang menghabiskan waktunya untuk kerja
kelompok, organisasi, atau sekedar nongkrong bersama teman di kantin. Akan makin sulit untuk
melakukan pencarian ketika kantin sedang ramai. Akhirnya, salah satu anak pun mengusulkan
kami untuk mengecek CCTV. Aku pasrah, tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menyiapkan
mental karena sebentar lagi aku akan terciduk.
Saat melakukan pemeriksaan di CCTV, memang ada seorang perempuan berambut panjang
mengenakan kemeja kotak-kotak yang mengambil dompet tersebut. Tapi, karena CCTV yang
letaknya membelakangi pelaku, muka Juli jadi tidak terlihat. Namun, pakaian yang ia kenakan
sudah membuktikan semuanya. Kini, semua orang di tempat itu tahu jika Juli yang telah
mengambil dompet itu. Setelah semuanya terbukti, Juli pun menjelaskan kronologi mengenai
uang yang ada di dompet itu. Ketakutannya menjadi kenyataan. Satu per satu temannya
menjauhinya, begitu juga Amru. Ini semua adalah akibat dari sikap ketidakjujurannya. Yang
tetap berada di sisinya sekarang hanya ayahnya. Meski ayahnya harus mengganti uang yang telah
dipakai anaknya untuk membeli sepatu. Juli merasa sangat menyesal dan berjanji agar tidak
mengulangi kesalahan yang sama.