Anda di halaman 1dari 25

Tulisan dari ‘Puncak Ilmu Kejawen’ Kategori

PUNCAK ILMU KEJAWEN

Puncak Ilmu Kejawen


Ilmu “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah puncak Ilmu
Kejawen. “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” artinya; wejangan berupa
mantra sakti untuk keselamatan dari unsur-unsur kejahatan di dunia. Wejangan atau
mantra tersebut dapat digunakan untuk membangkitkan gaib “Sedulur Papat” yang
kemudian diikuti bangkitnya saudara “Pancer” atau sukma sejati, sehingga orang yang
mendapat wejangan itu akan mendapat kesempurnaan. Secara harfiah arti dari “Sastra
Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah sebagai berikut; Serat = ajaran,
Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating =
Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau lambang keburukan. Raja
disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu
menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu
menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.Pengertiannya; bahwa Serat
Sastrajendra Hayuningrat adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki
manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu
Sastrajendra adalah ilmu makrifat yang menekankan sifat amar ma’ruf nahi munkar,
sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.
 
Asal-usul Sastra Jendra dan Filosofinya
          Menurut para ahli sejarah, kalimat “Sastra Jendra” tidak pernah terdapat dalam
kepustakaan Jawa Kuno.  Tetapi baru terdapat pada abad ke 19 atau tepatnya 1820.
Naskah dapat ditemukan dalam tulisan karya Kyai Yasadipura dan Kyai Sindusastra
dalam lakon Arjuno Sastra atau Lokapala. Kutipan diambil dari kitab Arjuna Wijaya
pupuh Sinom pada halaman 26;
        Selain daripada itu, sungguh heran bahwa tidak seperti permintaan anak saya
wanita ini, yakni barang siapa dapat memenuhi permintaan menjabarkan “Sastra Jendra
hayuningrat” sebagai ilmu rahasia dunia (esoterism) yang dirahasiakan oleh Sang Hyang
Jagad Pratingkah. Dimana tidak boleh seorangpun mengucapkannya karena mendapat
laknat dari Dewa Agung walaupun para pandita yang sudah bertapa dan menyepi di
gunung sekalipun, kecuali kalau pandita mumpuni. Saya akan berterus terang kepada
dinda Prabu, apa yang menjadi permintaan putri paduka. Adapun yang disebut Sastra
Jendra Yu Ningrat adalah pangruwat segala segala sesuatu, yang dahulu kala disebut
sebagai ilmu pengetahuan yang tiada duanya, sudah tercakup ke dalam kitab suci (ilmu
luhung = Sastra). Sastra Jendra itu juga sebagai muara atau akhir dari segala
pengetahuan. Raksasa dan Diyu, bahkan juga binatang yang berada dihutan belantara
sekalipun kalau mengetahui arti Sastra Jendra akan diruwat oleh Batara, matinya nanti
akan sempurna, nyawanya akan berkumpul kembali dengan manusia yang “linuwih”
(mumpuni), sedang kalau manusia yang mengetahui arti dari Sastra Jendra nyawanya
akan berkumpul dengan para Dewa yang mulia…
        Ajaran “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” mengandung isi yang mistik,
angker gaib, kalau salah menggunakan ajaran ini bisa mendapat malapetaka yang besar.
Seperti pernah diungkap oleh Ki Dalang Narto Sabdo dalam lakon wayang Lahirnya
Dasamuka. Kisah ceritanya sebagai berikut;
Begawan Wisrawa mempunyai seorang anak bernama Prabu Donorejo, yang ingin
mengawini seorang istri bernama Dewi Sukesi yang syaratnya sangat berat, yakni;

1. Bisa mengalahkan paman Dewi Sukesi, yaitu Jambu Mangli, seorang raksasa
yang sangat sakti.
2. Bisa menjabarkan ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”

Prabu Donorejo tidak dapat melaksanakan maka minta bantuan ayahandanya, Begawan
Wisrawa yang ternyata dapat memenuhi dua syarat tersebut. Maka Dewi Sukesi dapat
diboyong Begawan Wisrawa, untuk diserahkan kepada anaknya Prabu Donorejo.
        Selama perjalanan membawa pulang Dewi Sukesi, Begawan Wisrawa jatuh hati
kepada Dewi Sukesi demikian juga Dewi Sukesi hatinya terpikat kepada Begawan
Wisrawa.
“Jroning peteng kang ono mung lali, jroning lali gampang nindakake kridaning priyo
wanito,” kisah Ki Dalang.
        Begawan Wisrawa telah melanggar ngelmu “Sastra Jendra”, beliau tidak kuat
menahan nafsu seks dengan Dewi Sukesi. Akibat dari dosa-dosanya maka lahirlah anak
yang bukan manusia tetapi berupa raksasa yang menakutkan, yakni;

1. Dosomuko
2. Kumbokarno
3. Sarpokenoko
4. Gunawan Wibisono

Setelah anak pertama lahir, Begawan Wisrawa mengakui akan kesalahannya,


sebagai penebus dosanya beliau bertapa atau tirakat tidak henti-hentinya siang malam.
Berkat gentur tapanya, maka lahir anak kedua, ketiga dan keempat yang semakin
sempurna.Laku Begawan Wisrawa yang banyak tirakat serta doa yang tiada hentinya,
akhirnya Begawan Wisrawa punya anak-anak yang semakin sempurna ini menjadi simbol
bahwa untuk mencapai Tuhan harus melalui empat tahapan yakni; Syariat, Tarikat,
Hakekat, Makrifat.
Lakon ini mengingatkan kita bahwa untuk mengenal diri pribadinya, manusia harus
melalui tahap atau tataran-tataran yakni;
1.            Syariat; dalam falsafah Jawa syariat memiliki makna sepadan dengan
Sembah Rogo.
2.            Tarikat; dalam falsafah Jawa maknanya adalah Sembah Kalbu.
3.            Hakikat; dimaknai sebagai Sembah Jiwa atau ruh (ruhullah).
4.            Makrifat; merupakan tataran tertinggi yakni Sembah Rasa atau sir (sirullah).
 
Pun diceritakan dalam kisah Dewa Ruci, di mana diceritakan perjalanan Bima
(mahluk Tuhan) mencari “air kehidupan” yakni sejatinya hidup. Air kehidupan atau tirta
maya, dalam bahasa Arab disebut sajaratul makrifat. Bima harus melalui berbagai
rintangan baru kemudian bertemu dengan Dewa Ruci (Dzat Tuhan) untuk mendapatkan
“ngelmu”.
Bima yang tidak lain adalah Wrekudara/AryaBima, masuk tubuh Dewa Ruci
menerima ajaran tentang Kenyataan “Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke
dalam tubuhku”, kata Dewa Ruci. Sambil tertawa Bima bertanya :”Tuan ini bertubuh
kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin
masuk”. Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:”besar mana dirimu dengan dunia ini,
semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat
masuk ke dalam tubuhku”.
Atas petunjuk Dewa Ruci, Bima masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri.
Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak
tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang,
tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari,
nyaman rasa hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Bima, yaitu hitam, merah kuning dan
putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci:”Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu
namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu,
maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan
hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu,
untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang
berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati. 
Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan
menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala
keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan.
Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang
tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam,
merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan
Suksma Mulia.
Lalu Bima melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat
yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air
suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang
menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak
tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya
berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu
dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di
tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika
berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu
merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati
hidup, mengakui rahasia zat.
Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana
bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang
ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-
sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan
bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih,
jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.
Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak
mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat,
peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat
pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab.
Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda
dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia,
mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti.
Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa
antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan
untuk memainkan panggungnya.
Bila seseorang mempelajari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” berarti
harus pula mengenal asal usul manusia dan dunia seisinya, dan haruslah dapat
menguraikan tentang sejatining urip (hidup), sejatining Panembah (pengabdian kepada
Tuhan Yang Maha Esa), sampurnaning pati (kesempurnaan dalam kematian), yang
secara gamblang disebut juga innalillahi wainna illaihi rojiuun, kembali ke sisi Tuhan
YME dengan tata cara hidup layak untuk mencapai budi suci dan menguasai panca
indera serta hawa nafsu untuk mendapatkan tuntunan Sang Guru Sejati.
Uraian tersebut dapat menjelaskan bahwa sasaran utama mengetahui “Sastra
Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah untuk mencapai Kasampurnaning Pati,
dalam istilah RNg Ronggowarsito disebut Kasidaning Parasadya atau pati prasida, bukan
sekedar pati patitis atau pati pitaka. “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”
seolah menjadi jalan tol menuju pati prasida.
Bagi mereka yang mengamalkan “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”
dapat memetik manfaatnya berupa Pralampita atau ilham atau wangsit (wahyu) atau
berupa “senjata” yang berupa rapal. Dengan rapal atau mantra orang akan memahami
isi Endra Loka, yakni pintu gerbang rasa sejati, yang nilainya sama dengan sejatinya Dzat
YME dan bersifat gaib. Manusia mempunyai tugas berat dalam mencari Tuhannya
kemudian menyatukan diri ke dalam gelombang Dzat Yang Maha Kuasa. Ini diistilahkan
sebagai wujud jumbuhing/manunggaling kawula lan Gusti, atau warangka manjing
curiga. Tampak dalam kisah Dewa Ruci, pada saat bertemunya Bima dengan Dewa Ruci
sebagai lambang Tuhan YME. Saat itu pula Bima menemukan segala sesuatu di dalam
dirinya sendiri.
Itulah inti sari dari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” sebagai Pungkas-
pungkasaning Kawruh. Artinya, ujung dari segala ilmu pengetahuan atau tingkat
setinggi-tingginya ilmu yang dapat dicapai oleh manusia atau seorang sufi. Karena ilmu
yang diperoleh dari makrifat ini lebih tinggi mutunya dari pada ilmu pengetahuan yang
dapat dicapai dengan akal.
Dalam dunia pewayangan lakon “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”
dimaksudkan untuk lambang membabarkan wejangan sedulur papat lima pancer. Yang
menjadi tokoh atau pelaku utama dalam lakon ini adalah sbb;
Begawan Wisrawa menjadi lambang guru yang memberi wejangan ngelmu Sastrajendra
kepada Dewi Sukesi. Ramawijaya sebagai penjelmaan Wisnu  (Kayun; Yang Hidup), yang
memberi pengaruh kebaikan terhadap Gunawan Wibisono (nafsul mutmainah),
Keduanya sebagai lambang dari wujud jiwa dan sukma yang disebut Pancer. Karena
wejangan yang diberikan oleh Begawan Wisrawa kepada Dewi Sukesi ini bersifat sakral
yang tidak semua orang boleh menerima, maka akhirnya mendapat kutukan Dewa
kepada anak-anaknya.
 

1. Dasamuka (raksasa) yang mempunyai perangai jahat, bengis, angkara murka,


sebagai simbol dari nafsu amarah.
2. Kumbakarna (raksasa) yang mempunyai karakter raksasa yakni bodoh, tetapi
setia, namun memiliki sifat pemarah. Karakter kesetiannya membawanya pada
watak kesatria yang tidak setuju dengan sifat kakaknya Dasamuka. Kumbakarno
menjadi lambang dari nafsu lauwamah.
3. Sarpokenoko (raksasa setengah manusia) memiliki karakter suka pada segala
sesuatu yang enak-enak, rasa benar yang sangat besar, tetapi ia sakti dan suka
bertapa. Ia menjadi simbol nafsu supiyah.
4. Gunawan Wibisono (manusia seutuhnya); sebagai anak bungsu yang
mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan semua kakaknya. Dia
meninggalkan saudara-saudaranya yang dia anggap salah dan mengabdi kepada
Romo untuk membela kebenaran. Ia menjadi perlambang dari nafsul
mutmainah.

 
Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam
pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia.
Misal kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden
Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang
bernama Sukrasana. Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh
Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Betari Uma disumpah
menjadi raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan
dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma
dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “ Betara Kala
“ (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar
Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat
tersendiri yang disebut “ Kayangan Setragandamayit “. Wujud Betari Durga adalah
raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.
Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih
dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur.
Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian mahluk
ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan
paling sempurna. Bahkan ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar
gambaran dzat-Nya. Filosof Timur Tengah Al Ghazali menyebutkan bahwa manusia
seperti Tuhan kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk
bersujud. Sekalipun manusia terbuat dari dzat hara berbeda dengan jin atau malaikat
yang diciptakan dari unsur api dan cahaya. Namun manusia memiliki sifat sifat yang
mampu menjadi “ khalifah “ (wakil Tuhan di dunia).
Namun ilmu ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Wisrawa seorang
satria berwatak wiku yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna untuk
mendapat anugerah rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat  Diyu.
Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata
sehingga memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Sifat
ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir
dan kegemaran berbagi ilmu. Sebelum “ madeg pandita “ ( menjadi wiku ) Wisrawa telah
lengser keprabon menyerahkan tahta kerajaaan kepada sang putra Prabu Danaraja.
Sejak itu sang wiku gemar bertapa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah
menahan nafsu duniawi untuk memperoleh kelezatan ukhrawi nantinya. Kebiasaan ini
membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama namun juga para dewata.
Sifat Manusia Terpilih
Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah Sastra
Jendra, para dewata bertanya pada sang Betara Guru. “ Duh, sang Betara agung, siapa
yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya. “Bethara guru
menjawab “ Pilihanku adalah anak kita Wisrawa “. Serentak para dewata bertanya “
Apakah paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bila diserahkan pada manusia
yang tidak mampu mengendalikannya. Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa
menjadi pelajaran bagi kita semua”
Kemudian sebagian dewata berkata “ Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang
lebih mulia dibanding manusia “.
Seolah menegur para dewata sang Betara Guru menjawab “Hee para dewata,
akupun mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa
bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan pada manusia. Bukankah tertulis dalam
kitab suci, bahwa malaikat mempertanyakan pada Tuhan mengapa manusia yang
dijadikan khalifah padahal mereka ini suka menumpahkan darah“. Serentak para dewata
menunduk malu “ Paduka lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui”. Kemudian,
Betara Guru turun ke mayapada didampingi Betara Narada memberikan Serat Sastra
Jendra kepada Begawan Wisrawa.
“ Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan
memberi amanah Serat Sastra Jendra kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia”
Mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan “ Ampun, sang Betara agung, bagaimana
mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini “.
Betara Narada mengatakan “ Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada 2 (dua). Pertama,
harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung
martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena
terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik.
“ Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.
Setelah menerima anugerah Sastrajendra maka sejak saat itu berbondong bondong
seluruh satria, pendeta, cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan
ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa melamar
menjadi cantrik untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang
dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang
mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, satria harus menerima kenyataan bahwa
hanya orang-orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya.
        Demikian lah pemaparan tentang puncak ilmu kejawen yang adiluhung, tidak
bersifat primordial, tetapi bersifat universal, berlaku bagi seluruh umat manusia di muka
bumi, manusia sebagai mahluk ciptaan Gusti Kang Maha Wisesa, Tuhan Yang Maha
Kuasa. Yang Maha Tunggal. Janganlah terjebak pada simbol-simbol atau istilah yang
digunakan dalam tulisan ini. Namun ambilah hikmah, hakikat, nilai yang bersifat
metafisis dan universe dari ajaran-ajaran di atas. Semoga bermanfaat.
 
Semoga para pembaca yang budiman diantara orang-orang yang terpilih dan pinilih
untuk meraih ilmu sejatinya hidup.
 
Salam
Sabdalangit
 
BERDIRINYA MATARAM & HUBUNGAN MISTIS DENGAN RATU KIDUL

 
 Gerbang Pasarean Agung Raja-Raja Mataram
Kota Gede Yogyakarta

 
SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA MATARAM
DAN HUBUNGAN MISTIS DENGAN KANJENG RATU KIDUL
 
 
            Kyai Ageng Pemanahan bergelar Kyai Ageng Mataram. Mataram adalah nama
daerah yang dihadiahkan kepadanya oleh Sultan Sultan Hadiwijoyo, Sultan di Kerajaan
Pajang. Karena Kyai Ageng Mataram bersama putranya Hangabehi Loring Pasar (Danang
Sutowijoyo) telah dapat mengalahkan Raden Adipati Aryo Penangsang pada tahun 1527
M di Jipang Panolan.
            Kyai Ageng Pemanahan selanjutnya minta ijin kepada Sultan untuk menempati
daerah Mataram itu. Sultan Hadiwijoyo mengizinkan dan berpesan,” Seorang gadis dari
Kalinyamat itu supaya diasuh dan dijaga baik-baik. Apalagi sudah dewasa hendaklah
dibawa masuk ke Istana”.
            Pesan itu disanggupi oleh Kyai Ageng Pemanahan, tetapi ia memohon agar
diperkenankan mengajak putra Sultan Hangabehi Loring Pasar untuk pindah ke
Mataram. Kyai Ageng Pemanahan sekeluarga berangkatlah menuju tlatah Mataram
disertai dua orang menantunya, yakni Raden Dadap Tulis dan Tumenggung Mayang.
Ditambah pula Nyi Ageng Nis istri Kyai Ageng Mataram dan penasehatnya Ki Ageng Juru
Martani. Peristiwa ini terjadi pada hari Kamis Pon tanggal 3 Rabiulawal tahun Jimawal.
Dalam perjalanan mereka singgah berziarah ke Istana Pengging sehari semalam.
            Kyai Ageng sekeluarga melakukan doa dan sembahyang, memohon petunjuk
kepada Tuhan, melakukan semedi dan shalat hajat, doanya ternyata diterima Tuhan,
muncul pertanda pepohonan seketika menjadi condong, tetapi pohon serat tinggal tetap
tegap. Setelah sembahyang subuh mereka berangkat menuju Mataram dan berhenti di
desa Wiyoro. Selanjutnya membangun sebuah desa yakni desa Karangsari setelah
singgah sementara waktu Kyai Ageng Pemanahan dan Ki Juru Mertani mencari pohon
beringin yang telah ditanam oleh Sunan Kali Jogo untuk tetenger di sanalah letaknya
wilayah Mataram dimaksud.
            Terdapatlah pohon tersebut di sebelah barat daya Wiyoro. Lalu memilih tanah
sebelah selatan beringin yang hendak dipakai sebagai halaman dan rumah untuk
bertempat tinggal Kyai Ageng Pemanahan beserta keluarga. Mereka bekerja keras,
hingga pembangunan rumah beliau selesai dalam waktu singkat. Kemudian rumah baru
segera  ditempati Kyai Ageng Pemanahan yang kemudian tersohor namanya dengan
gelar Kyai Ageng Mataram. Banyak saudara asing ke Mataram sehingga menambah
ramai dan makmurnya Mataram (sekarang dikenal dengan nama Kotagede, pusat
kerajinan perak di Yogyakarta).
            Sahdan gadis pingitan Sinuhun Sultan Hadiwijoyo yang berasal dari Kalinyamat
kini telah dewasa. Ngabehi Loring  Pasar (Raden Danang Sutowijoyo) pun telah dewasa.
Ia mengganggu gadis pingitan tersebut. Hal ini segera diketahui oleh ayahnya Ki Ageng
Mataram. Anaknya dipanggil lalu bersabda:
Ki Ageng Mataram; Anakku..mengapa kamu berani mengganggu gadis pingitan, alangkah
amarahnya Sinuhun nanti apabila mengetahui.
Raden Sutowijoyo berkata; ”Saya berani melakukan hal itu, karena telah menerima
wahyu.
KAM : Bagaimana kamu dapat mengatakan demikian itu ?
R.S : Ya. Demikianlah ketika mendengar daun nyiur jatuh ayah Sultan terkejut, lagi pula
ketika hendak minum air kelapa itu terkejut pula.
            Kyai Ageng Mataram menyatakan, kini belum masanya dan mengajak putranya
mengharap untuk berjanji tetap setia. Keduanya berangkat, pergi ke kasultanan Pajang.
Sinuhun Sultan Hadiwijoyo sedang bercengkerama dihadap para putranya dan
keluarganya. Melihat kedatangan Kyai Ageng Mataram diantar putranya. Lalu sesudah
berjabat tangan Ngabehi Loring Pasar pun menghadap menghaturkan sembah-bakti.
Sinuhun bertanya dengan keheranan mengapa datang menghadap bukan waktunya
menghadap. Kyai Ageng Mataram menyatakan bahwa menghadapnya itu karena
putranya telah berdosa besar berani melanggar dan mengganggu gadis pingitan dari
Kalinyamat.
            Dengan bijaksana Sinuhun Sultan Hadiwijoyo berkata,”Anak tidak berdosa, kalau
demikian memang salah saya, tidak memikirkan anak yang telah dewasa. Oleh karena
sudah terlanjur kamipun ikut menyetujui. Tetapi anak jangan dimurka, pinta Sinuhun
kepada Ki Ageng Mataram.
            Waktu sudah berjalan sekian lama, karena usianya sudah uzur, Ki Ageng Mataram
gering lalu mangkat pada hari Senin Pon 27 Ruwah tahun Je 1533. Dimakamkan di
sebelah barat Istana Mataram di Kotagede, Yogyakarta. Sementara itu, Ki Jurumartani
pergi ke negeri Pajang menghadapkan putra Ki Ageng Mataram. Sinuhun lalu
bercengkerama dengan Ki Jurumartani memberitahukan tentang mangkatnya Ki Ageng
Mataram, Sinuhun terkejut hatinya dan bersabda;
            “Kakak Jurumartani, sebagai ganti dari penghuni Mataram ialah Ngabehi Loring
Pasar dan harap dimufakati dengan nama Pangeran Haryo Mataram Senopati Pupuh”. Ki
Jurumartani menyanggupi lalu mohon ijin kembali, peristiwa ini terjadi pada tahun 1540.
Lalu Pangeran Haryo Mataram diangkat pada tahun Dal 1551 bergelar Kanjeng
Panembahan Senopati ing Ngalogo yang menguasai tanah Jawa. Kemudian menurunkan
raja-raja Surakarta dan Yogyakarta, demikian pula para Bupati di pantai-pantai Jawa
hingga sekarang.
            Kanjeng Panembahan Senopati memegang kekuasaan kerajaan 13 tahun
lamanya. Sesudah gering kemudian mangkat, pada hari Jumat Pon bulan Suro tahun
Wawu 1563. Dimakamkan di sebelah barat Masjid di bawah ayahandanya. Selanjutnya
putranya yang menggantikan dengan gelar Kanjeng Susuhunan Prabu Hanyokrowati.
Penobatannya dalam bulan yang bersamaan dengan wafatnya Kanjeng Panembahan
Senopati.
            Pada suatu hari, Kanjeng Susuhunan pergi berburu rusa ke hutan. Dengan tiada
terasa telah berpisah dengan para pengantar dan pengawalnya, kemudian beliau
diserang punggungnya oleh rusa dan beliau jatuh ke tanah. Sinuhun diangkat ke istana
dan ia perintahkan memanggil kakanda Panembahan Purboyo.
            Sinuhun bersabda, “Kakanda, andaikata kami sampai meninggal, oleh karena
Gusti Hadipati sedang bepergian, putramu Martopuro harap ditetapkan sebagai wakil
menguasai Negeri Mataram. Amanat tersebut disanggupi, Sinuhun terkenal dengan
gelar Sinuhun Seda Krapyak. Beliau mangkat pada bulan Besar, tuhan Jimawal 1565 dan
dimakamkan di sebelah bawah makan ayahandanya, Panembahan Senopati.
            Demikian sejarah singkat kerajaan Mataram, yang sampai saat ini terbukti masih
berdiri kokoh. Lalu dari keturunan manakah raja-raja besar Mataram ? Berikut ini saya
paparkan silsilah  leluhur kerajaan Mataram:
1.    Sinuhun Brawijaya V, raja kerajaan Majapahit terakhir berputera Raden Bondan
Kejawan yang   bergelar Kyai Ageng Tarub ke III.
2.    Kyai Ageng Tarub III mempunyai putra yakni Kyai Ageng Getas Pandowo.
3.    Kyai Ageng Getas Pandowo berputera Ki Ageng  Selo.
4.    Kyai Ageng Selo berputera Ki Ageng Nis.
5.    Ki Ageng Nis berputera Ki Ageng Pemanahan (Ki Ageng Mataram).
6.    Ki Ageng Pemanahan berputera Kanjeng Panembahan Senopati ing Ngalogo.
7.    Kanjeng Panembahan Senopati ing Ngalogo berputera Sinuhun Prabu
Hanyokrowati.
8.    Sinuhun Prabu Hanyokrowati berputera Kanjeng Sultan Agung Prabu
Hanyokrokusumo Kalipatullah  Panetep Panatagama Senopati ing Prang.
 
 
RIWAYAT BALOK
 Balok Kayu Jati bernama Kyai Tunggul Wulung

Foto Balok Kyai Tunggul Wulung

Panjang 5 m (diamater 25×25 cm)


Foto Kyai Tunggul Wulung

            Bagi kebanyakan masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta dan Solo, percaya
dengan kisah mistik raja-raja Mataram yang berhubungan erat dengan Kanjeng Ratu
Kidul. Kanjeng Ratu Kidul entitasnya bukan lah sejenis jin, siluman atau setan, tetapi
merupakan wujud panitisan dari bidadari, yang turun ke dalam dimensi gaibnya bumi
(bukan alam ruh/barzah), berperan menjaga keseimbangan alam semesta khususnya
sepanjang pesisir selatan Jawa dan wilayah samodra selatan Nusantara. Menjaga
kelestarian alam dengan mencegah atau menghukum manusia yang tidak menghormati
alam semesta ciptaan Tuhan YME, atau manusia yang merusak keseimbangan alam
dengan cara mengambil kekayaan alam secara serakah dan tamak. Kanjeng Ratu Kidul
sebagaimana raja atau ratu gung binatara yang bijaksana dan sakti mandraguna,
manembah tunduk kepada Gusti Ingkang Akaryo jagad. Namun demikian, Kanjeng Ratu
Kidul tetap sebagai entitas mahluk halus, dalam arti tidak memiliki raga atau jasad dalam
bentuk fisik.
            Kisah mistis di atas tidak terlepas dari sejarah pusaka balok kayu jati yang
bernama Kyai Tunggulwulung. Saat ini diletakkan di sebelah timur makam Gusti Kanjeng
Panembahan Senopati yang membujur ke utara, panjangnya 5 meter diameter 25 cm.
Balok tersebut adalah bekas titihan (kendaraan/perahu) ketika Panembahan Senopati
bertapa menghanyutkan diri di sungai Opak hingga sampai di kratonnya jagad halus,
ialah Kanjeng Ratu Kidul. Kemudian mempunyai wilayah jajahan di jagad halus. Seperti
ditulis dalam kitab Wedhatama karya KGPAA Mangkunegoro IV, dalam tembang Sinom,
yang artinya sebagai berikut ;
1)    Sekalipun Kanjeng Ratu Kidul dapat menguasai samodra, apa pun kehendaknya
terlaksanan. Akan tetapi masih kalah wibawa dengan Gusti Kanjeng
Panembahan Senopati.
2)    Kanjeng Ratu Kidul sangat mengharapkan bisanya terjalin persahabatan antara
kerajaan mahluk halus dengan kerajaan Senopaten. Selanjutnya memohon agar
sekali tempo Gusti Kanjeng Panembahan Senopati sudi mengadakan pertemuan
di dalam dunia mahluk halus. Sekalipun dengan susah payah Panembahan
Senopati menyanggupi hingga sampai turun temurun.
Selanjutnya wawancara antara Gusti Panembahan Senopati (GPS) dengan Kanjeng Ratu
Kidul (KRK), begini:
KRK    : “…Marilah Kangmas Priyagung agigit, bersama dengan kami, tinggalkan saja Sang
Permaisuri serta abdi sentana putri. Anda di alam kami akan mendapatkan ganti yang
lebih memuaskan hati. Pindahlah dari Mataram, hamba akan menerima dengan senang
hati. Di dalam kerajaan kami Paduka akan penuh wibawa, kami sembah dan kami siap
mengabdi sampai akhir zaman.
GPS     : “…Karena sudah demikian cinta Dinda dengan saya, saya pun tidak akan menyia-
nyiakan, saya sambut uluran kasih persahabatan Dinda. Tetapi leluhur kami berpesan,
bangsa manusia itu karena berasal dari bumi sebaiknya sampai akhir hayatnya juga
dikubur di bumi. Tidak pantas dan merupakan pantangan kami merubah jenis menjadi
mahluk halus. Oleh karena itu jangan khawatir saya ingkar janji, setiap hari selalu
terbayang kecantikan wajah Adinda. Dalam waktu tertentu kita sekali tempo
mengadakan pertemuan saja”.
            Demikian sekilas riwayat balok Mataram, yang sedikit banyak dapat menguak
sejatinya hubungan gaib kerajaan Mataram secara turun temurun dengan kerajaan
dunia halus di laut selatan. Bagaimana menempatkan secara tepat dan bijaksana antara
manusia dengan mahluk halus yang juga ciptaan Gusti Allah Yang Maha Wisesa. Dapat
sebagai contoh bagi generasi sekarang bagaimana cara memahami hubungan manusia
dengan mahluk gaib. Seyogyanya manusia dapat bersikap bijaksana dan tidak sombong,
menempatkan mereka yang gaib sebagaimana interaksi dengan manusia saling
menghargai dan menghormati sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan. Karena masih
sebagai mahluk Tuhan, mahluk halus tetap memiliki karakter seperti halnya manusia,
ada yang baik ada yang jahat, ada yang manembah kepada Tuhan, tetapi ada pula yang
membangkang.
 
RIWAYAT SOKO GURU
 

Foto Soko Guru

            Soko Guru adalah tiang penyangga atap rumah berbahan kayu jati yang dikelilingi
ukiran halus dan indah, terletak di Pasarean Mataram, disebelah timur dan di pacak suji,
sbb;
            Ketika Kerajaan Kartasura yang bertahta adalah Ingkang Sinuhun Kanjeng
Susuhunan (ISKS) Mangkurat Amral tahun 1606 M, wilayah terkena bencana kelaparan,
banyak orang yang sengsara dan menderita kelaparan. ISKS sangat sedih hatinya,
kemudian memanggil adik Dalem Gusti Pangeran Puger. Adik Dalem lalu sowan
menghadap, Sinuhun bertitah,” kalau terus begini Dimas, saya hendak bunuh diri saja
dan saya minta diri. Saya sangat malu disembah rakyat senegara tetapi tidak dapat
membuat rakyat bahagia. Yang hina dina adalah nama ratu. Gusti Pangeran Puger
berkata, “Sabarlah dahulu Kangmas, jangan mudah putus asa. Saya mohon diri dari
Praja, hendak memohon pertolongan Tuhan, hendak sowan (ziarah) ke Pasarean
(makam) Mataram. Sinuhun mengijinkan, dan bersabda,”Saya hanya dapat mengurangi
makan dan tidur untuk membantu Dimas”. Sang pangeran Puger mohon diri, terus
mengundurkan diri dan mampir di Dalem Pugeran, untuk ganti pakaian seperti santri
desa. Menghimpit golok, memakai tongkat, dan membawa tasbih, kemudian mampir ke
Pleret.
            Sesudah shalat Isya’ terus menuju barat laut ke Kotagede, langsung menuju di
bawah ringin sepuh Mataram. Sesudah tengah malam lalu sesuci di sungai Gajahwong,
kemudian kembali duduk di bawah ringin sepuh Mataram. Masuk waktu subuh terus ke
Masjid, sesudah Subuh lalu sowan di Pasarean. Duduk berdekatan dengan tiang di
sebelah tenggara dan terus berdoa. Setelah selama empat puluh hari empat puluh
malam Pangeran Puger bertapa, maka makbul lah doanya, dilihatnya tepat di atas
tempat duduk ada tompo (gayung beras) yang bergantung pada tiang tepat di atasnya.
Kemudian tompo diambil dan dihimpit terus dibawa pulang ke negara Kartasura.
            Di tengah perjalanan dari Pasarean Agung Mataram di Kotagede menuju
Kartasura, Pangeran Puger mampir ke pasar-pasar yang dilewatinya, menanyakan
kepada para bakul-bakul, dijawab bahwa sekarang beras dan sandang sudah murah.
Sesampainya di negara Kartasura, Pangeran Puger langsung sowan menghadap ke
kraton, Sinuhun baru dihadap para sentana. Melihat Rayi Dalem, Sinuhun terus
merangkul dan berkata, “Dimas, terkabullah permohonanmu”.
            Dari tulisan di atas dapat diambil benang merah bahwa, Raja atau penguasa yang
pantas menjadi sesembahan kawula adalah raja atau penguasa yang siap berkorban
untuk kesejahteraan rakyatnya. Raja/penguasa bijaksana adalah yang selalu sadar
bahwa kekuasaannya itu membutuhkan dukungan rakyatnya, tanpa rakyat maka tidak
akan ada raja yang menduduki tahta kerajaan. Begitulah antara lain contoh pelajaran
tentang  manunggaling kawula lan gusti, pada aras horisontal/habluminannas.
 

Foto Ki Ageng Pemanahan/Ki Ageng Mataram


 

Foto Lukisan Panembahan Senopati

Foto Lukisan Kanjeng Sultan Agung

Keterangan dihimpun dari hasil wawancara Jurukunci Pasarean (makam) Agung


Mataram di Kotagede dan di Imogiri Bantul dan sebagaimana dikisahkan para abdidalem
di dua Pasarean Agung tersebut. Referensi; Mantri Jurukunci R.Ng. Martohastono.
AJARAN SYEH SITI JENAR & KEJAWEN Dalam Memandang Ketuhanan,
Dosa/Neraka, Pahala/Surga

PERBANDINGAN ANTARA
AJARAN SYEH SITI JENAR
Dan PANDANGAN KEJAWEN
Mengenai Ketuhanan, Alam, dan Manusia
 
 
 
Syeh Siti Jenar (Lemah Abang) dalam Mengenal Tuhan
    Ajaran Siti Jenar memahami Tuhan sebagai ruh yang tertinggi, ruh maulana yang
utama, yang mulia yang sakti, yang suci tanpa kekurangan. Itulah Hyang Widhi, ruh
maulana yang tinggi dan suci menjelma menjadi diri manusia.
    Hyang Widhi itu di mana-mana, tidak di langit, tidak di bumi, tidak di utara atau
selatan. Manusia tidak akan menemukan biarpun keliling dunia. Ruh maulana ada dalam
diri manusia karena ruh manusia sebagai penjelmaan ruh maulana, sebagaimana dirinya
yang sama-sama menggunakan hidup ini dengan indera, jasad yang akan kembali pada
asalnya, busuk, kotor, hancur, tanah. Jika manusia itu mati ruhnya kembali bersatu ke
asalnya, yaitu ruh maulana yang bebas dari segala penderitaan. Lebih lanjut Siti Jenar
mengungkapkan sifat-sifat hakikat ruh manusia adalah ruh diri manusia yang tidak
berubah, tidak berawal, tidak berakhir, tidak bermula, ruh tidak lupa dan tidak tidur,
yang tidak terikat dengan rangsangan indera yang meliputi jasad manusia.
    Syeh Siti Jenar mengaku bahwa, “aku adalah Allah, Allah adalah aku”. Lihatlah, Allah
ada dalam diriku, aku ada dalam diri Allah.  Pengakuan Siti Jenar bukan bermaksud
mengaku-aku dirinya sebagai Tuhan Allah Sang Pencipta ajali abadi, melainkan
kesadarannya tetap teguh sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan. Siti Jenar merasa
bahwa dirinya bersatu dengan “ruh” Tuhan. Memang ada persamaan antara ruh
manusia dengan “ruh” Tuhan atau Zat. Keduanya bersatu di dalam diri manusia.
Persatuan antara ruh Tuhan dengan ruh manusia terbatas pada persatuan manusia
denganNya. Persatuannya merupakan persatuan Zat sifat, ruh bersatu dengan Zat sifat
Tuhan dalam gelombang energi dan frekuensi yang sama. Inilah prinsip kemanunggalan
dalam ajaran tentang manunggaling kawula Gusti atau jumbuhing kawula Gusti.
Bersatunya dua menjadi satu, atau dwi tunggal. Diumpamakan wiji wonten salebeting
wit.
 
Pandangan Syeh Lemah Abang Tentang Manusia
    Dalam memandang hakikat manusia Siti Jenar membedakan antara jiwa dan akal. Jiwa
merupakan suara hati nurani manusia yang merupakan ungkapan dari zat Tuhan,
maka hati nurani harus ditaati dan dituruti perintahnya. Jiwa merupakan kehendak
Tuhan, juga merupakan penjelmaan dari Hyang Widdhi (Tuhan) di dalam jiwa, sehingga
raga dianggap sebagai wajah Hyang Widdhi. Jiwa yang berasal dari Tuhan itu
mempunyai sifat zat Tuhan yakni kekal, sesudah manusia raganya mati maka lepaslah
jiwa dari belenggu raganya. Demikian pula akal merupakan kehendak, tetapi angan-
angan dan ingatan yang kebenarannya tidak sepenuhnya dapat dipercaya, karena selalu
berubah-ubah.
    Menurut sabdalangit, perbedaan karakter jiwa dan akal yang bertolak belakang dalam
pandangan Siti Jenar, disebabkan oleh adanya garis demarkasi yang menjadi pemisah
antara sifat hakikat jiwa dan akal-budi. Jiwa terletak di luar nafsu, sementara akal-budi
letaknya berada di dalam nafsu. Mengenai perbedaan jiwa dan akal, dalam wirayat
Saloka Jati diungkapkan bahwa akal-budi umpama kodhok kinemulan ing leng atau wit
jroning wiji (pohon ada di dalam biji). Sedangkan jiwa umpama kodhok angemuli ing
leng atau wiji jroning wit (biji ada di dalam pohon).
    Bagi Syeh Siti Jenar, proses timbulnya pengetahuan datang secara bersamaan dengan
munculnya kesadaran subyek terhadap obyek. Maka pengetahuan mengenai kebenaran
Tuhan akan diperoleh seseorang bersama dengan penyadaran diri orang itu. Jika ingin
mengetahui Tuhanmu, ketahuilah (terlebih dahulu) dirimu sendiri. Syeh Lemah bang
percaya bahwa kebenaran yang diperoleh dari hal-hal di atas ilmu pengetahuan,
mengenai wahyu dan Tuhan bersifat intuitif. Kemampuan intuitif ini ada bersamaan
dengan munculnya kesadaran dalam diri seseorang.
 
Pandangan Syeh Lemah Bang Tentang Kehidupan Dunia
    Pandangan Syeh Jenar tentang dunia adalah bahwa hidup di dunia ini sesungguhnya
adalah mati. Dikatakan demikian karena hidup di dunia ini ada surga dan neraka yang
tidak bisa ditolak oleh manusia. Manusia yang mendapatkan surga mereka akan
mendapatkan kebahagiaan, ketenangan, kesenangan. Sebaliknya rasa bingung, kalut,
muak, risih, menderita itu termasuk neraka.  Jika manusia hidup mulia, sehat, cukup
pangan, sandang, papan maka ia dalam surga. Tetapi kesenangan atau surga di dunia ini
bersifat sementara atau sekejap saja, karena betapapun juga manusia dan sarana
kehidupannya pasti akan menemui kehancuran.
    Syeh Jenar mengumpamakan bahwa manusia hidup ini sesungguhnya mayat yang
gentayangan untuk mencari pangan pakaian dan papan serta mengejar kekayaan yang
dapat menyenangkan jasmani. Manusia bergembira atas apa yang ia raih, yang
memuaskan dan menyenangkan jiwanya, padahal ia tidak sadar bahwa semua
kesenangan itu akan binasa. Namun begitu manusia suka sombong dan bangga atas
kepemilikan kekayaan, tetapi tidak menyadari bahwa dirinya adalah bangkai. Manusia
justru merasa dirinya mulia dan bahagia, karena manusia tidak menyadari bahwa harta
bendanya merupakan penggoda manusia yang menyebabkan keterikatannya pada
dunia.
    Jika manusia tidak menyadari itu semua, hidup ini sesungguhnya derita. Pandangan
seperti itu menjadikan  sikap dan pandangan Siti Jenar menjadi ekstrim dalam
memandang kehidupan dunia. Hidup di dunia ini adalah mati, tempat baik dan buruk,
sakit dan sehat, mujur dan celaka, bahagia dan sempurna, surga dan neraka, semua
bercampur aduk menjadi satu. Dengan adanya peraturan maka manusia menjadi
terbebani sejak lahir hingga mati. Maka Syeh Siti Jenar sangat menekankan pada upaya
manusia untuk hidup yang abadi agar tahan mengalami hidup di dunia ini. Siti Jenar
kemudian mengajarkan bagaimana mencari kamoksan (mukswa/mosca) yakni mati
sempurna beserta raganya lenyap masuk ke dalam ruh (warongko manjing curigo).
Hidup ini mati, karena mati itu hidup yang sesungguhnya karena manusia bebas dari
segala beban dan derita. Karena hidup sesudah kematian adalah hidup yang sejati, dan
abadi.
 
Syeh Siti Jenar Mengkritik Ulama dan Para Santrinya
    Alasan yang mendasari mengapa Syeh Siti Jenar mengkritik habis-habisan para ulama
dan santrinya karena dalam kacamata Syeh Siti, mereka hanya berkutat pada amalan
syariat (sembah raga). Padahal masih banyak tugas manusia yang lebih utama harus
dilakukan untuk mencapai tataran kemuliaan yang sejati. Dogma-dogma, dan ketakutan
neraka serta bujuk rayu surga justru membelenggu raga, akal budi, dan jiwa manusia.
Maka manusia menjadi terkungkung rutinitas lalu lupa akan tugas-tugas beratnya.
Manusia demikian menjadi gagal dalam upaya menemukan Tuhannya.  
 
Kritik Syeh Lemah Bang Atas Konsep Surga-Neraka
    Konsep surga-neraka dalam ajaran Siti Jenar berbeda sekali dengan apa yang diajarkan
oleh para ulama. Menurut Syeh Siti Jenar, surga dan neraka adalah dalam hidup ini.
Sementara para ulama mengajarkan surga dan neraka merupakan balasan yang
diberikan kepada manusia atas amalnya yang bakal diterima kelak sesudah kematian
(akherat).
    Menurut Syeh Siti, orang mukmin telah keliru karena mengerjakan shalat jungkir balik,
mengharap-harap surga, sedang surga sesudah kematian itu tidak ada, shalat itu tidak
perlu dan orang tidak perlu mengajak orang lain untuk shalat. Shalat minta apa, minta
rizki ? Tuhan toh tidak memberi lantaran shalat.
    Santri yang menjual ilmu dengan siapa pun mau menyembah Tuhan di masjid, di
dalamnya terdapat Tuhan yang bohong. Para ulama telah menyesatkan manusia dengan
menipu mereka jungkir balik lima kali, pagi, siang, sore, malam hanya untuk memohon-
mohon imbalan surga kelak. Sehingga orang banyak tergiur oleh omongan palsunya, dan
orang menjadi gelisah tak enak ketika terlambat mengerjakan shalat. Orang seperti itu
sungguh bodoh dan tak tau diri, jikalau pun seseorang menyadari bahwa shalat itu
dilakukan karena merupakan kebutuhan diri manusia sendiri untuk menyembah
Tuhannya, manusia ternyata tidak menyadari keserakahannya; dengan minta-minta
imbalan/hadiah surga. Orang-orang telah terbius oleh para ulama, sehingga mereka
suka berzikir, dan disibukkan oleh kegiatan menghitung-hitung pahalanya tiap hari.
Sebaliknya, lupa bahwa sejatinya kebaikan itu harus diimplementasikan kepada sesama
(habluminannas).
    Lebih lanjut Syekh Siti Jenar menuduh para ulama dan murid mereka sebagai orang
dungu dan dangkal ilmu, karena menafsirkan surga sebagai balasan yang nanti diterima
di akhirat. Penafsiran demikian adalah penafsiran yang sangat sempit. Hidup para ulama
adalah hidup asal hidup, tidak mengerti hakekat, tetapi jika disuruh mati mereka
menolak mentah-mentah. Surga dan neraka letaknya pada manusia masing-masing.
Orang bergelimang harta, hidupnya merasa selalu terancam oleh para pesaing bisnisnya,
tidur tak nyeyak, makan tak enak, jalan pun gelisah, itulah neraka. Sebaliknya, seorang
petani di lereng gunung terpencil, hasil bercocok tanam cukup untuk makan sekeluarga,
menempati rumah kecil yang tenang, tiap sore dapat duduk bersantai di halaman rumah
sambil memandang hamparan sawah hijau menghampar, hatinya sesejuk udaranya,
tenang jiwanya, itulah surga. Kehidupan ini telah memberi manusia mana surga mana
neraka.
    Syeh Siti Jenar memandang alam semesta sebagai makrokosmos dan mikrokosmos
(manusia) sekurangnya kedua hal ini merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang sama-
sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi. Manusia terdiri  atas jiwa
dan raga yang intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan zat Tuhan.
    Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yang dilengkapi pancaindera, sebagai
organ tubuh seperti daging, otot, darah, dan tulang. Semua aspek keragaan atau
ketubuhan adalah barang pinjaman yang suatu saat, setelah manusia terlepas dari
kematian di dunia ini, akan kembali berubah asalnya yaitu unsur bumi (tanah).
Syeh Lemah Bang, mengatakan bahwa;
    “Bukan kehendak angan-angan, bukan ingatan, pikiran atau niat, hawa nafsu pun
bukan, bukan pula kekosongan atau kehampaan. Penampilanku sebagai mayat baru,
andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur debu, nafasku terhembus di segala
penjuru dunia, tanah, api, air, kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru.
Bumi langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, manusialah yang
memberi nama”.
 
Kesimpulan
    Pandangan Syeh Lemah Bang; tentang terlepasnya manusia dari belenggu alam
kematian yakni hidup di alam dunia ini, berawal dari konsepnya tentang  ketuhanan,
manusia dan alam. Manusia adalah jelmaan zat Tuhan. Hubungan jiwa dari Tuhan dan
raga, berakhir sesudah  manusia menemui ajal atau kematian duniawi. Sesudah itu
manusia bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian. Pada saat itu semua bentuk
badan wadag (jasad) atau kebutuhan jasmanisah ditinggal karena jasad merupakan
barang baru (hawadist) yang dikenai kerusakan dan semacam barang pinjaman yang
harus dikembalikan kepada yang punya yaitu Tuhan sendiri.
    Terlepas dari ajaran Siti Jenar yang sangat ekstrim memandang dunia sebagai bentuk
penderitaan total yang harus segera ditinggalkan rupanya terinspirasi oleh ajaran
seorang sufi dari Bagdad, Hussein Ibnu Al Hallaj, yang menolak segala kehidupan dunia.
Hal ini berbeda dengan konsep Islam secara umum yang memadang hidup di dunia
sebagai khalifah Tuhan.
 
Pandangan Kejawen Tentang Kehidupan di Dunia
Pandangan Kejawen tentang makna hidup manusia  dunia ditampilkan secara
rinci, realistis, logis dan mengena di dalam hati nurani; bahwa hidup ini diumpamakan
hanya sekedar mampir ngombe, mampir minum, hidup dalam waktu sekejab, dibanding
kelak hidup di alam keabadian setelah raga ini mati. Tetapi tugas manusia sungguh
berat, karena jasad adalah pinjaman Tuhan. Tuhan meminjamkan raga kepada ruh,
tetapi ruh harus mempertanggungjawabkan “barang” pinjamannya itu. Pada awalnya
Tuhan Yang Mahasuci meminjamkan jasad kepada ruh dalam keadaan suci, apabila
waktu “kontrak” peminjaman sudah habis, maka ruh diminta tanggungjawabnya, ruh
harus mengembalikan jasad pinjamannya dalam keadaan yang suci seperti semula. Ruh
dengan jasadnya diijinkan Tuhan “turun” ke bumi, tetapi dibebani tugas yakni menjaga
barang pinjaman tersebut agar dalam kondisi baik dan suci setelah kembali kepada
pemiliknya, yakni Gusti Ingkang Akaryo Jagad. Ruh dan jasad menyatu dalam wujud
yang dinamakan manusia. Tempat untuk mengekspresikan dan mengartikulasikan diri
manusia adalah tempat pinjaman Tuhan juga yang dinamakan bumi berikut segala
macam isinya; atau mercapada. Karena bumi bersifat “pinjaman” Tuhan, maka bumi
juga bersifat tidak kekal.
Betapa Maha Pemurahnya Tuhan itu, bersedia meminjamkan jasad, berikut
tempat tinggal dan segala isinya menjadi fasilitas manusia boleh digunakan secara gratis.
Tuhan hanya menuntut tanggungjawab manusia saja, agar supaya menjaga semua
barang pinjaman Tuhan tersebut, serta manusia diperbolehkan memanfaatkan semua
fasilitas yang Tuhan sediakan dengan cara tidak merusak barang pinjaman dan semua
fasilitasnya.
Itulah tanggungjawab manusia yang sesungguhnya hidup di dunia ini; yakni
menjaga barang “titipan” atau “pinjaman”, serta boleh memanfaatkan semua fasilitas
yang disediakan Tuhan untuk manusia dengan tanpa merusak, dan tentu saja
menjaganya agar tetap utuh, tidak rusak, dan kembali seperti semula dalam keadaan
suci. Itulah “perjanjian” gaib antara Tuhan dengan manusia makhlukNya. Untuk menjaga
klausul perjanjian tetap dapat terlaksana, maka Tuhan membuat rumus atau “aturan-
main“ yang harus dilaksanakan oleh pihak peminjam yakni manusia. Rumus Tuhan ini
yang disebut pula sebagai kodrat Tuhan; berbentuk hukum sebab-akibat. Pengingkaran
atas isi atau “klausul kontrak” tersebut berupa akibat sebagai konsekuensi logisnya.
Misalnya; keburukan akan berbuah keburukan, kebaikan akan berbuah kebaikan pula.
Barang siapa menanam, maka mengetam. Perbuatan suka memudahkan akan berbuah
sering dimudahkan. Suka mempersulit akan berbuah sering dipersulit.
 
Konsep Kejawen Tentang Pahala dan Dosa
dan Pandangan Kejawen tentang Kebaikan-Keburukan
 
    Ajaran Kejawen tidak pernah menganjurkan seseorang menghitung-hitung pahala
dalam setiap beribadat. Bagi Kejawen, motifasi beribadat atau melakukan perbuatan
baik kepada sesama bukan karena tergiur surga. Demikian pula dalam melaksanakan
sembahyang manembah kepada Tuhan Yang Maha Suci bukan karena takut neraka dan
tergiur iming-iming surga. Kejawen memiliki tingkat kesadaran bahwa kebaikan-
kebaikan yang dilakukan seseorang kepada sesama bukan atas alasan ketakutan dan
intimidasi dosa-neraka, melainkan kesadaran kosmik bahwa setiap perbuatan baik
kepada sesama merupakan sikap adil dan baik pada diri sendiri. Kebaikan kita pada
sesama adalah KEBUTUHAN diri kita sendiri. Kebaikan akan berbuah kebaikan. Karena
setiap kebaikan yang kita lakukan pada sesama akan kembali untuk diri kita sendiri,
bahkan satu kebaikan akan kembali pada diri kita secara berlipat. Demikian juga
sebaliknya, setiap kejahatan akan berbuah kejahatan pula. Kita suka mempersulit
orang lain, maka dalam urusan-urusan kita akan sering menemukan kesulitan. Kita
gemar menolong dan membantu sesama, maka hidup kita akan selalu mendapatkan
kemudahan.
Menurut pandangan Kejawen, kebiasaan mengharap dan menghitung pahala
terhadap setiap perbuatan baik hanya akan membuat keikhlasan seseorang menjadi
tidak sempurna. Kebiasaan itu juga mencerminkan sikap yang serakah, lancang, picik,
dan tidak tahu diri. Karena menyembah Tuhan adalah kebutuhan manusia, bukan
kebutuhan Tuhan. Mengapa seseorang masih juga mengharap-harap pahala dalam
memenuhi kebutuhan pribadinya sendiri ? Dapat dibayangkan, jika kita menjadi
mahasiswa maka butuh bimbingan dalam menyusun skripsi dari dosen pembimbing,
maka betapa lancang, serakah, dan tak tahu diri jika kita masih berharap-harap supaya
dosen pembimbing tersebut bersedia memberikan uang kepada kita sebagai upah.
Dapat diumpamakan pula misalnya; kita mengharap-harapkan upah dari seseorang yang
bersedia menolong kita..?
Ajaran Kejawen memandang bahwa seseorang yang menyembah Tuhan
dengan tanpa pengharapan akan mendapat pahala atau surga dan bukan atas alasan
takut dosa atau neraka, adalah sebuah bentuk KEMULIAAN HIDUP YANG SEJATI.
Sebaliknya, menyembah Tuhan, berangkat dari kesadaran bahwa manusia hidup di
dunia ini selalu berhutang kenikmatan dan anugrah dari Tuhan. Dalam satu detik
seseorang akan kesulitan mengucapkan satu kalimat sukur, padahal dalam sedetik itu
manusia adanya telah berhutang puluhan atau bahkan ratusan kenikmatan dan
anugerah Tuhan. Maka seseorang menjadi tidak etis, lancang dan tak tahu diri jika dalam
bersembahyang pun manusia masih menjadikannya sebagai sarana memohon sesuatu
kepada Tuhan. Tuhan tempat meminta, tetapi manusia lah yang tak tahu diri tiada
habisnya meminta-minta. Dalam sikap demikian ketenangan dan kebahagiaan hidup
yang sejati akan sangat sulit didapatkan.
Sembahyang tidak lain sebagai cara mengungkapkan rasa berterimakasihnya
kepada Tuhan. Namun demikian ajaran Kejawen memandang bahwa rasa sukur kepada
Tuhan melalui sembahyang atau ucapan saja tidak lah cukup, tetapi lebih utama harus
diartikulasikan dan diimplementasikan ke dalam bentuk tindakan atau perbuatan baik
kepada sesama dalam kehidupan sehari-harinya. Jika Tuhan memberikan kesehatan
kepada seseorang, maka sebagai wujud rasa sukurnya orang itu harus membantu dan
menolong orang lain yang sedang sakit atau menderita.
Itu lah pandangan yang menjadi dasar Kejawen bahwa menyembah Tuhan, dan
berbuat baik pada sesama, bukanlah KEWAJIBAN (perintah) yang datang dari Tuhan,
melainkan diri kita sendiri yang mewajibkan
Letak 'Pandawa Lima' dan 'Kurawa' di Tubuh Manusia

AJARAN Kejawen sangat sarat dengan sanepo/sanepan/perumpamaan dan juga filosofi.


Setidaknya orang Jawa mesti memahami beberapa cerita wayang baik wayang kulit
maupun wayang purwa. Dari kata-kata wayang saja, orang Jawa seharusnya sudah
memahaminya karena wayang bermakna "wewayangan" /"ayang-ayang" (bayang-
bayang). Bayangan siapa? Ya bayangan kehidupan seluruh manusia di dunia ini.

Dalam wayang terdapat beberapa filosofi seperti Pandawa yang juga sering disebut
Pandawa Lima karena jumlahnya lima orang yang terdiri dari 1. Yudhistira; 2.
Bima/Sena/Werkudara; 3. Arjuna/Janaka; 4. Nakula dan 5. Sadewa (Nakula dan Sadewa)
disebut merupakan saudara kembar. Pandawa lima merupakan sosok penjelmaan dewa.

Disamping sosok yang berjiwa ksatrian dan merupakan penjelmaan dewa, terdapat pula
filosofi sosok yang melambangkan angkara murka yang digambarkan lewat 100 sosok
Kurawa/Korawa. Ke 100 sosok Kurawa tersebut antara lain 1. Duryodana (Suyodana);
2.Dursasana (Duhsasana); 3. Abaswa; 4. Adityaketu; 5. Alobha; 6. Anadhresya
(Hanyadresya); 7. Anudhara (Hanudhara); 8. Anuradha; 9. Anuwinda (Anuwenda); 10.
Aparajita; 11. Aswaketu; 12. Bahwasi (Balaki); 13. Balawardana; 14. Bhagadatta
(Bogadenta); 15.Bima; 16. Bimabala; 17. Bimadewa; 18.Bimarata (Bimaratha); 19.
Carucitra; 20. Citradharma; 21. Citrakala; 22. Citraksa; 23. Citrakunda; 24. Citralaksya;
25. Citrangga; 26. Citrasanda; 27. Citrasraya; 28. Citrawarman; 29. Dharpasandha; 30.
Dhreksetra; 31. Dirgaroma; 32. Dirghabahu; 33. Dirghacitra; 34. Dredhahasta; 35.
Dredhawarman; 36. Dredhayuda; 37. Dretapara; 38. Duhpradharsana; 39. Duhsa; 40.
Duhsah; 41. Durbalaki; 42. Durbharata; 43. Durdharsa; 44. Durmada; 45. Durmarsana;
46. Durmukha; 47. Durwimocana; 48. Duskarna; 49. Dusparajaya; 50. Duspramana; 51.
Hayabahu; 52. Jalasandha; 53. Jarasanda; 54. Jayawikata; 55. Kanakadhwaja; 56.
Kanakayu; 57.Karna; 58. Kawacin; 59. Krat; 60. Kundabhedi; 61. Kundadhara; 62.
Mahabahu; 63. Mahacitra; 64. Nandaka; 65. Pandikunda; 66. Prabhata; 67; Pramathi; 68.
Rodrakarma (Rudrakarman); 69. Sala; 70. Sama; 71. Satwa; 72. Satyasanda; 73. Senani;
74. Sokarti; 75. Subahu; 76; Sudatra; 77. Suddha (Korawa); 78. Sugrama; 79. Suhasta; 80.
Sukasananda; 81. Sulokacitra; 82. Surasakti; 83. Tandasraya; 84. Ugra; 85. Ugrasena; 86.
Ugrasrayi; 87. Ugrayudha; 88. Upacitra; 89. Upanandaka; 90. Urnanaba; 91. Wedha; 92.
Wicitrihatana; 93.Wikala; 94. Wikatanana; 95. Winda; 96. Wirabahu; 97. Wirada; 98.
Wisakti; 99. Wiwitsu (Yuyutsu); dan 100. Wyudoru (Wiyudarus).

Sejatinya, filosofi sosok Pandawa Lima dan Kurawa yang sangat berlawanan itu bukan
hanya cerita semata. Semua itu ada dalam tubuh setiap manusia.

Filosofi Pandawa Lima dalam tubuh setiap manusia yakni

1. Yudhistira (Lokasi perumpamaan Yudhistira di tubuh manusia adalah di OTAK)


Yudhistira merupakan saudara Pandawa yang paling tua dan penjelmaan dewa Yama.
Sifatnya sangat bijaksana, memiliki moral yang sangat tinggi, suka memaafkan dan
mengampuni musuh yang sudah menyerah.

FILOSOFI: Jika manusia ingin mulia dalam hidupnya, maka pergunakanlah otak secara
bijaksana dan tidak mengumbar ambisi untuk meraihnya, melainkan mengutamakan
strategi untuk meraih kemuliaan hidup di dunia.

2. Bima/Sena/Werkudara (Lokasi perumpamaan Bima/Sena/Werkudara di tubuh


manusia adalah pada MATA)

Bima merupakan putra kedua yang merupakan penjelmaan dari dewa Bayu sehingga
sering dijuluki Bayusutha. Tubuhnya tinggi, dan berwajah paling sangar diantara
saudara-saudaranya. Meskipun demikian, ia memiliki hati yang baik. Lantaran
kekuatannya, Bima sangat ditakuti oleh sosok Kurawa dan musuh-musuhnya.

FILOSOFI: Satu hal yang membuat manusia ditakuti adalah matanya. Ketika manusia
marah dan matanya melotot, maka orang lain pun akan sedikit gemetar melihat sorot
matanya.

3. Arjuna/Janaka (Lokasi perumpamaan Arjuna/Janaka di tubuh manusia adalah pada


HATI KECIL/HATI NURANI)

Arjuna merupakan penjelmaan dewa Indra yang juga dewa perang. Sifat utama dari
Arjuna adalah sering bertapa, mendekatkan diri pada Sang Pencipta dan tidak pernah
berbohong.

FILOSOFI: Kegemarannya bertapa membuat Arjuna sangat dekat dengan SANG


PENCIPTA. Manusia yang sering mendengarkan hati kecilnya (nurani) maka ia cenderung
memiliki keinginan mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH. 

4-5 Nakula dan Sadewa (Lokasi perumpaan Nakula dan Sadewa di tubuh manusia
adalah pada BUAH PELER KEMALUAN yang kembar).
Baik Nakula dan Sadewa adalah penjelmaan dewa Aswin yang merupakan dewa
pengobatan. Keduanya memiliki sifat bijaksana dan senang melayani.

FILOSOFI: Manusia hendaknya bijaksana dalam menggunakan alat kelaminnya (tidak


gonta-ganti pasangan). Dan memiliki kesetiaan untuk melayani pasangan hidupnya. 

Itulah sanepan/perumpaan lokasi Pandawa Lima di tubuh anak Adam. Lha terus
dimanakah sanepan atau perumpamaan untuk Kurawa di tubuh manusia?

Sanepan/perumpamaan dan filosofi seratus sosok Kurawa itu ternyata berlokasi di hati
besar manusia. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, manusia itu memiliki 2 hati yaitu
hati besar dan kecil (hati nurani). Kedua hati itu memiliki kecenderungan yang sangat
bertolak belakang. Hati besar senantiasa dipenuhi dengan sifat buruk, iri, dengki, ambisi,
nafsu berbuat kejahatan dll. Sementara hati nurani cenderung mengajak untuk berbuat
kebajikan, suka perdamaian, manembah pada GUSTI ALLAH dan menolong sesama.

Setiap hari dalam kehidupan sehari-hari di tubuh manusia, hati besar dan hati kecil
(nurani) senantiasa berperang. Hati besar (yang dikuasai 100 sosok Kurawa yang penuh
hawa nafsu itu) berperang melawan hati nurani (yang hanya terdapat Arjuna saja).
Pertanyaannya, Bagaimana seorang Arjuna dapat mengalahkan 100 sosok Kurawa? Hal
itulah yang membuat manusia cenderung untuk lebih mendengarkan hati besarnya
daripada hati kecil (nuraninya). Namun satu hal yang perlu dicatat, meskipun hanya
seorang diri dimana Arjuna harus melawan 100 sosok Kurawa, namun Arjuna bisa
meraih kemenangan. Caranya, semuanya tergantung manusia itu sendiri untuk lebih
mendengarkan suara 'Arjuna' di hati kecil (nurani) dan mengabaikan suara hati besar.(*)
(0) Nol, Kunci Mendekatkan Diri Pada GUSTI ALLAH

Kebanyakan manusia tidak memahami bagaimana sebuah perjalanan untuk


mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH. Bahkan banyak diantara manusia yang
bertanya,"saya ini sudah berkali-kali meminta pada GUSTI ALLAH, tetapi kenapa kok
belum juga dikabulkan?" Mungkin pertanyaan seperti ini sering kita dengar. Sebenarnya
dalam manembah, memuji dan meminta pada GUSTI ALLAH itu memiliki kunci
tersendiri. Kuncinya adalah pada 0 (nol).

Jika pikiran manusia saat sholat dan manembah GUSTI ALLAH masih belum bisa nol,
maka mustahil doa tersebut bakal cepat terkabul. Kalaupun doa itu terkabul, maka
waktunya akan lama. Tetapi jika manusia itu mampu menjadikan pikirannya nol, maka
doanya insyaallah akan cepat terkabul. Dari sini kita bisa mengaji, bahwa saat
menghadap GUSTI ALLAH itu tidak seharusnya kita masih memikirkan bab dunia.

Artinya, kalau mau menghadap, manembah dan meminta pada GUSTI ALLAH maka
tinggalkanlah hal-hal yang berbau keduniaan untuk sementara waktu. Pikiran manusia
harus 0 (nol) untuk bisa menuju pada GUSTI ALLAH. Ada seorang teman yang
mengatakan bahwa meneng tanpo mikir (semedi) merupakan hal yang paling sulit
dilakukan. Sebenarnya, caranya mudah yakni dengan mematikan pikiran yang ada pada
otak kita. Bukankah kita selalu ditipu oleh otak yang senantiasa mengejawantahkan
sejuta angan-angan yang berasal dari karsa (keinginan) kita. Padahal, angan-angan itu
kalau dikejar akan lari seperti halnya bayang-bayang kita yang akan terus berlari kalau
kita kejar.

Ketika melakukan semedi, seseorang hendaknya mematikan pikirannya. Ia tidak lagi


memikirkan masalah pekerjaan, rumah tangga, hutang dan lain-lainnya yang
berhubungan dengan bab duniawi. Konsentrasinya hanya tertuju pada GUSTI ALLAH.
Itupun bisa dilakukan dengan berdzikir dalam hati dengan menyebut asma GUSTI ALLAH
atau yang lebih lazim adalah mengucapkan Laa Illahaillallah dalam hati sesuai dengan
napas kita.

Dengan terus berkonsentrasi pada GUSTI ALLAH, maka kita akan menemukan yang
dinamakan hening. Di saat kondisi hening itulah, konsentrasi pada GUSTI ALLAH tidak
boleh memudar. Di situlah kita akan menemukan titik nol. Artinya, kita sudah tidak lagi
memikirkan tentang hal-hal lain selain GUSTI ALLAH. Ketika seseorang berada dalam
kondisi 0 (nol) maka mata batinnya akan lebih tajam. Tentu saja untuk bisa berada
dalam kondisi tersebut perlu latihan dan ibadah yang terus menerus (istiqomah).

Anda mungkin juga menyukai