Ahmad Mahfudz-Fuf
Ahmad Mahfudz-Fuf
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
Ahmad Mahfudz
1112034000032
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt. Tuhan yang maha membolak
balikkan hati. Dialah yang maha pengasih dan penyayang kepada seluruh
makhluk yang ada di muka bumi. Hanya Dialah yang maha pemberi rahmat dan
maha menentukan atas segala seuatu yang terjadi di alam semesta termasuk
dengan selesainya penulisan skripsi ini. Salawatullah wa salamuhu saya haturkan
kepada Nabi Muhammad Saw. Karena berkat beliaulah saya masih bisa
menikmati adanya agama Islam.
Dalam penyelesaian tulisan ini tentunya juga disertai dengan peran serta
orang lain, seperti halnya keluarga, dosen, kerabat serta beberapa teman yang
selalu membantu baik dengan menyumbangkan ide dan memberikan motivasi
kepada saya. Oleh karenanya, saya mengucapkan terimakasih yang setinggi-
tingginya terhadap segala pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini,
diantaranya:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
Serta Terimakasih pula kepada Dra. Banun Binaningrum, M.Pd selaku
Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
4. Terimakasih kepada segenap dosen serta seluruh civitas akademika yang
berada di lingkungan Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan dukungan
dengan beberapa fasilitas yang disiapkan sehingga memudahkan penulis
ketika sedang membutuhkan sesuatu.
5. Dr. Muhammad Zuhdi Zaini, M, Ag. Beliau yang telah memberikan waktu
luangnya untuk bimbingan, memberikan saran dan kritikan pada penelitian
saya secara teliti demi maksimalnya penulisan skripsi ini. Semua bimbingan
yang telah beliau berikan sangat membantu bagi saya dalam penulisan ini.
6. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada bapak Eva Nugraha, MA, selaku
dosen pembimbing akademik yang juga ikut berpartisipasi menyumbangkan
ide dan saran demi kelancaran skripsi ini.
v
7. Abah Ahmad Syafi’i, Lc dan Umik Thayyibah S.Pd.I serta kakak (Ahmad
Mas Udi, S.Si) dan adik-adik (Alfiyaturrahmaniyah dan Zahraa Zumaikaa)
yang telah memberikan support kepada saya, baik secara materi ataupun
nonmateri yang terkadang membuat saya menjadi terpacu untuk segera
menyelesaikan kuliah. Serta, merekalah yang selalu mengasuh, mendidik dan
juga selalu mendoakan dengan ikhlas dan penuh dengan kasih sayang kepada
saya.
8. Terimakasih juga kepada istri saya (Nailatur Riska Amaliya) yang sudah
menemani dan membatnu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Serta tak
luput juga teruntuk anak saya (Fathimah Naura Qanita) yang juga membantu
dengan tingkah mungilnya.
9. Seluruh teman seperjuangan Prodi Tafsir Hadis angkatan 2012 baik dari kelas
A samapai dengan E yang terkadang juga menjadi teman diskusi,
memberikan saran serta mendengarkan keluh kesah dan kegalauan dalam
pembuatan skripsi ini mulai dari awal hingga sampai selesai.
10. Seluruh teman-teman kelompok KKN KREASI 2015, Fadhil, Atang, Anas,
Irfan, Riska, Harti, Mala, Ina, Dian, Ajip, Salma, dan Nuzroh yang telah
memanas-manasi saya dengan foto wisuda sering dipajang menandakan
bahwa mereka sudah lebih dulu lulus.
11. Tan-Taretan IMABA DPW Jabodetabek yang sebelumnya telah menampung
saya dan juga selalu menjadi teman diskusi pada setiap waktu ketika penulis
sudah mulai kebingunan untuk melanjutkan penelitian ini.
Tidak semua nama yang sudah berjasa dapat saya sebutkan disini, disebabkan
keterbatasan ruang. Oleh karenanya, saya ucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah terlibat dalam penulisan skripsi ini . Semoga Allah Swt.
membalas dan mencatat segala bantuannya sebagai Amal perbuatan yang baik.
Amin.
Ahmad Mahfudz
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
pada buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam buku Pedoman
a. Padanan Aksara
ب b be
ت t te
ث ts te dan es
ج j je
خ kh ka dan ha
د d de
ر r er
ز z zet
س s es
ش sy es dan ye
غ gh ge dan ha
ف f ef
ق q ki
ك k ka
ل l el
م m em
vii
ن n en
و w we
ه h ha
ء apostrof
ي y ye
b. Vokal
terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau
berikut:
َ a fathah
َ i kasrah
َ u dammah
sebagai berikut:
َي ai a dan i
َو au a dan u
Vokal Panjang
viii
ىُو û u dengantopi di atas
Kata Sandang
dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi hurup /l/, baik diikuti
Syaddah(Tasydîd)
diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang
menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh
Ta Marbûtah
menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku
jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2).
Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka
Contoh:
1 طريقة tarîqah
ix
2 اجلامعة اإلسالميّة al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah
Huruf Kapital
Meski pun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,
huruf awal, nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting
diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan
miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu
Demikian seterusnya.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL …………………………………………………..
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ……………………........... i
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIAN UJIAN ….................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ..................................................... ......................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................... vii
DAFTAR ISI .............................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Permasalahan .................................................................................... 10
1. Identifikasi Masalah ................................................................... 10
2. Batasan Masalah ......................................................................... 11
3. Rumusan Masalah ...................................................................... 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 11
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 12
E. Metododologi Penelitian ................................................................... 16
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 20
BAB II GAMBARAN UMUM DESA PAYUDAN KARANGSOKON
GULUK-GULUK SUMENEP
A. Sejarah Desa Payudan Karangsokon ……………………………… 23
B. Letak Geografis Desa Payudan Karangsokon .................................. 24
C. Demografi Desa Payudan Karangsokon ........................................... 25
1. Pendidikan Masyarakat ............................................................... 26
2. Sosial budaya Masyarakat ........................................................... 27
3. Ekonomi Masyarakat .................................................................. 28
4. Keberagaman Masyarakat ........................................................... 31
BAB III PERNIKAHAN DI MASYARAKAT PAYUDAN
KARANGSOKON GULUK-GULUK SUMENEP
A. Sekilas Tentang Living Hadis …………………………………… 34
xi
B. Sekilas Tentang Pernikahan ............................................................. 36
C. Prosesi Pernikahan ........................................................................... 39
1. Mintah (Melamar) Perempuan ................................................... 39
a. Pengertian Khithbah ............................................................ 39
b. Pendapat Para Ulama Tentang Persetujuan Pernikahan ...... 40
2. Penentuan Waktu Pernikahan (Nyareh Dhinah Begus) ............. 47
a. Perhitungan Jawa ................................................................. 47
b. Hari Baik Dalam Islam ......................................................... 49
3. Pelaksanaan Pernikahan ............................................................. 51
a. Pengertian Walimah al-Urs .................................................. 51
b. Dasar Hukum Walimah al-Urs ............................................. 53
BAB IV ANALISIS DAN PEMAHAMAN MASYARAKAT
TENTANG PERNIKAHAN DI DESA PAYUDAN
KARANGSOKON
A. Pemahaman Masyarakat Terhadap Persetujuan Pernikahan ........... 57
B. Makna Penentuan Waktu Pernikahan (Nyareh Dhinah Begus)
Menggunakan Perhitungan Jawa .................................................... 64
C. Pemahaman Masyarakat Terhadap Masjid Sebagai Tempat
Pelaksanaan Pernikahan .................................................................. 71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 78
B. Saran .................................................................................................. 79
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 81
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tradisi (bahasa latin: traditio, artinya diteruskan) secara bahasa
bermakna adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih
dijalankan masyarakat, baik yang menjadi adat kebiasaan atau yang
disesuaikan (peleburan) dengan ritual adat atau agama.1 Biasanya tradisi ini
berlaku secara turun temurun baik dari informasi lisan atau informasi tulisan
yang hal tersebut kemudian dapat tetap tergambar pada generasi berikutnya.
Manusia tidak dapat dilepaskan dari tradisi dan kebudayaan. Mulai dari
Cara berpakaian, cara makan, atau cara berbicara sebuah masyarakat serta
penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang
paling baik dan benar juga merupakan bagian dari tradisi dan kebudayaan
masyarakat tersebut.2
Sudah semestinya, masyarakat Islam berprilaku sebagaimana ajaran-
ajaran yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis. Namun fenomena yang ada
tidak selalu sama dengan apa yang semestinya dipraktikkan dan diamalkan
dalam kehidupan. Ada juga tradisi atau kebiasaan masyarakat Islam yang
dianggap menyimpang, tetapi masih dapat dilacak landasan normatifnya.
Misalnya seperti masalah peret kandung. Kita temui bahwa ada disebagian
daerah ketika kehamilan seorang perempuan memasuki bulan ke empat atau
ke tujuh diadakan upacara peret kandung, seperti halnya dimandikan dengan
air kembang, dipijat dan dibacakan beberapa surah al-Qur’an .3 Atau masalah
lain adalah tentang khitan perempuan. Tradisi khitan telah ditemukan jauh
sebelum Islam datang. Berdasarkan penelitian Ahmad Ramali yang dikutip
oleh M. Alfatih Suryadilaga menunjukkan bahwa khitan sudah pernah
dilakukan masyarakat pengembala di Afrika dan Asia Barat Daya, suku Semit
(Yahudi dan Arab) dan Hamit. Mereka yang dikhitan tidak hanya laki-laki,
1
KBBI
2
Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia (Jakarta: UI Press, 1990), h. 371-372
3
Rafi’uddin, Pembacaan Ayat-Ayat al-Qur’an Dalam Upacara Peret Kandung (Studi
Living Qur’an di Desa Poteran Kec. Talango Kab. Sumenep Madura), (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2013)
1
2
4
Alfatih Suryadilaga, Model-Model Living Hadis, dalam Syahiron Syamsuddin (ed),
Mitodologi Penelitian Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2007), h. 123-124
5
Fazlur Rahman mengkonsepsikan Sunnah sebagai konsep perilaku, atau menurutnya,
Sunnah tidak sekedar hukum tingkah laku, tapi merupakan aturan-aturan tingkah moral yang
bersifat normatif, keharusan moral adalah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari pengertian
konsep sunnah. Sunnah berarti “tingkah laku yang merupakan teladan” atau menjadi konsep
normatif, dan selanjutnya. Sunnah berarti jalan yang ditempuh; Sunnah adalah jalan lurus tanpa
ada pembelokan ke kanan atau kiri yang berarti memberi makna sebagai “penengah di antara hal-
hal ekstrim” atau “jalan tengah” lihat Zuhri. Studi Islam dalam Tafsir Sosial; Tela’ah Sosial
Gagasan KeIslaman Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin
dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2008), h. 27
6
Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), h. 26
7
Tradisi tulis menulis sangat penting dalam perkembangan living hadis. Tulis menulis
tidak hanya sebatas sebagai bentuk ungkapan yang sering terpampang dalam tempat-tempat yang
strategis seperti bus, masjid, sekolahan, pesantren, dan fasilitas umum lainnya. Ada juga tradisi
yang kuat dalam khazanah khas Indonesia yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad saw.
sebagaimana terpampang dalam berbagai tempat tersebut. Tidak semua yang terpampang berasal
dari hadis Nabi Muhammad saw atau diantaranya ada yang bukan hadis namun di masyarakat
dianggap sebagai hadis. Seperti kebersihan itu sebagian dari iman ( )اَلنَظَافَةَ َمَنَ َالَ َْيا َْنyang bertujuan
untuk menciptakan suasana kenyamanan dan kebersihan lingkungan, mencintai negara sebagaian
dari iman (َبَالْوط ْنَمنَال ْيا ْن
ُّ )حyang bertujuan untuk membangkitkan nasionalisme dan sebagainya.
8
Tradisi lisan dalam living hadis sebenarnya muncul seiring dengan praktik yang
dijalankan oleh umat Islam. Seperti bacaan dalam melaksanakan shalat shubuh di hari jum’at. Di
kalangan pesantren yang kiayinya hafiz al-Qur’an, shalat shubuh hari jum’at relatif panjang karena
di dalam shalat tersebut dibaca dua ayat yang panjag yaitu hāmim al-Sājadah dan al-Insān.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَِِب َش ْيبَةَ َحدَّثَنَا َع ْب َدةُ بْ ُن ُسلَْي ََا ََ َع ْن ُسْيَا ََ َع ْن ََُُّو ِِ بْ ِن
3
ث ِم ْن ُه ََا
َّ َس َو ِح َد ٍة َو َخلَ َق ِم ْن َها َزْو َج َها َوب
ٍ َْاس اتَّ ُْوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذى َخلَ َْ ُك ْم ِم ْن ن
ُ َََّأََ َها الن
اِ ََّ للاَ ََا ََ َعلَْي ُك ْم َرقِ ْيبًا،َاءلُْو ََ بِ ِه َوالَ ْر َح ْا
َس
ِ َّ
َ َ َواتَّ ُْ ْوا للاَ الذى ت،اء
ًس
ِ ِ
َ ِر َج ًال ََث ْي ًرا َون
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-
laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang
dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,
dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu (QS. An Nisa ayat 1)14
Dalam menikahkan putrinya Nabi Saw. Memiliki kebiasaan tertentu, yakni
apabila akan menikahkan putri-putrinya terlebih dahulu beliau memberi tahu
mereka. Sebagaimana diriwayatkan dalam Musnad ibn Hanbal, Rasulullah saw.
berkata kepada putrinya: "Sesungguhnya si Fulan menyebut-nyebut namamu.
Kemudian beliau melihat reaksi putrinya itu. Jika dia diam, itu tandanya setuju
dan pernikahan dapat segera dilangsungkan. Namun, jika putrinya menutup tirai
di kamar, itu tandanya tidak suka dan Rasul pun tidak memaksakan
kehendaknya".15
Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa salah satu sahabat bertanya
tentang tanda setujunya seorang perawan:
12
Direktoral Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu
Fiqih Jilid II (Jakarta, 1985), h 49
13
Hal ini senada dengan Firman Allah Swt dalam Surah ar-Rum ayat 21 yang berbunyi:
ََ ت لَِْ ْوٍَ ََتَ َْ َّك ُرْو
ٍ ََك َلِ ِ ِ ِ وِمن ءاَتِ ِه اَ َْ َخلَ َق لَ ُكم ِمن اَنْ ُْ ِس ُكم اَ ْزوyang artinya: “Dan
َ َ اجا لتَ ْس ُكنُ ْوا الَْي َها َو َج َع َل بَ ْي نَ ُك ْم َم َو َّد ًة َوَر ْحَةً ا ََّ ِف ََل
ً َ ْ ْ ْ ََ ْ َ
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, suapaya kamu cenderung merasa tenteram kepadanya, dan jadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir (QS. Ar-Rum (30): 21)
14
Departemen Agama, Al Qur’an dan Terjemah (Semarang: PT Karya Toha Putra,
1971), h. 6
15
Taufiq Abu A'lam al-Mishri, Fathimah al-Zahrah (Bandung: Pustaka Pelita, 1999), h.
144
5
16
Para ulama berbeda pendapat pada makna lafadz البكرdan األيمpada hadis ini. Imam
Syafi’i, Ibnu Abi Laila, Ahmad, Ishaq dan lainnya berpendapat bahwa meminta persetujuan gadis
itu diperintahkan jika walinya adalah ayahnya sendiri atau kakeknya; maka disunnahkan untuk
meminta izinnya, sekalipun jika dinikahkan tanpa meminta izinnya maka nikahnya tetap sah, hal
itu sebagai wujud kesempurnaan kasih sayang wali terhadap anak perempuannya. Dan jika
walinya bukan dari keduanya (bukan ayah atau kakeknya) maka wajib hukumnya untuk meminta
izin atau persetujuannya untuk menikah dan tidak sah jika pernikahan dilangsungkan sebelum
meminta persetujuan darinya. Imam al-Auza’i, Abu Hanifah, dan para ulama kufah lainnya
berpendapat bahwa wajib hukumnya meminta persetujuan semua gadis yang sudah baligh (Lihat
An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan Suratman, Juz 6,
h.892) perempuan janda yang sudah baligh tidak boleh dinikahkan oleh bapak maupun selainnya
kecuali atas ridhanya. Sedangkan terhadap perempuan janda yang belum baligh terjadi perbedaan
pendapat tentangnya, Malik dan Abu Hanifah berkata “Bapaknya boleh menikahkannya
sebagaimana dia menikahkan gadis”. Namun asy-Syafi’I, Abu Yusuf dan Muhammad berkata
“Bapak tidak boleh menikahkannya (tanpa izinnya) selama keperawanannya sudah hilang karena
jima’, bukan karena sebab lain” dengan alasan bahwa hilangnya keperawanan mengikis pula rasa
malu yang ada pada gadis. (Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari. Penerjemah Amirudin, Juz
25, h. 310)
17
Mufidah Ch., Psikologi Keluarga Berwawasan Gender (Malang: UIN Malang Press,
2008), h. 42-43
6
18
Ramadhita, “Latar Historis Indikator Kerelaan Perempuan Dalam Perkawinan,” de
Jure, Volume 7 Nomor 1 (Juni 2015): h. 31-38
7
namun yang lebih dominan dalam hal ini ditentukan oleh keluarga mempelai
perempuan.
Dalam acara akad nikah yang sakral ini, maka acara akad tersebut akan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Sebelum mendatangi Kyai, masyarakat
biasanya lebih dulu ke sesepuh (orang yang paling tua dan dianggap “tahu”),
dengan tujuan nyareh dhinah. Harapannya adalah kedua mempelai akan
memperoleh kebaikan-kebaikan setelah menikah. Dan apabila pada suatu hari
memperoleh keburukan dalam rumah tangganya, mereka tidak akan merasa
bersalah, karena sudah didahului dengan ikhtiyar atau usaha nyareh dhinah, dalam
istilah Bahasa Madura dikenal dengan “ngadhedhi” dan kemudian pasrah atas
kehendak Allah.
Dalam proses penentuan waktu pernikahan Rasulullah memang tidak
menyebutkan secara eksplisit mengenai hal tersebut, akan tetapi ada salah satu
riwayat yang terdapat dalam Shahih Muslim tentang disunnahkannya menikah
pada bulan Syawal. Adapun hadisnya:
س ِاء ِ ٍ ٍ َّ ِ َّ صلَّى
َ اَّللُ َعلَْيه َو َسل ْم ِِ َش َّواِ َوبَ َن ِِب ِِ َش َّواِ فَأَي ن
َِّ ِو
َ اَّلل ْ ََع ْن َعائِ َشةَ قَال
َ ت تَ َزَّو َج ِن َر ُس
isteri pada bulan Syawwal.20 Dan bahwa semua itu adalah batil, yang merupakan
peninggalan tradisi orang-orang jahiliyah yang menggantungkan keberuntungan
dan sebagainya berdasarkan bulan; karena Syawwal berarti mengangkat dan
menghilangkan sesuatu.21
20
Pada jaman dahulu bangsa Arab mengenal tentang hari baik dan hari yang tidak baik
atau dikenal dengan hari (na’as) yakni bulan Syawal. Sehingga pada masa tersebut, bulan Syawal
sangat dihindari dalam melaksanakan perkawinan.
21
An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan
Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 903
22
Abu Isa berkata, “Hadis ini hasan shahih. Aku tidak mengetahui hadis ini kecuali dari
ats-Tsauri, dari Ismail bin Umayah. Lihat Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih Sunan at-
Tirmidzi. Penerjemah Ahmad Yuswaji (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h.836
23
Masjid dalam sejarahnya mempunyai arti penting dalam kehidupan umat Islam, hal ini
karena masjid sejak masa Rasulullah Saw, telah menjadi sentra utama seluruh aktivitas umat Islam
generasi awal, bahkan, masjid kala itu menjadi “fasilitas” umat Islam mencapai kemajuan
peradaban. Sejarah masjid bermula sesaat setelah Rasulullah Saw, hijrah di Madinah. Langkah
pertama yang beliau lakukan di Madinah, adalah mengajak pengikutnya, membangun masjid.
Allah SWT ternyata menakdirkan masjid yang dibangun Rasulullah Saw, di Madinah (sebelumnya
disebut Yatsrib) menjadi rintisan peradaban umat Islam. Bahkan tempat dimana masjid ini
dibangun, benar-benar menjadi Madinah (seperti namanya) yang arti harfiahnya adalah “tempat
peradaban” atau paling tidak dari tempat tersebut telah lahir benih-benih peradaban. Lihat Syamsul
Kurniawan, Masjid Dalam Lintasan Sejarah Umat Islam, h. 1
9
ِ ِِ ِ
ِ للا مس َ َصلَّى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ ْم ق ِ َ عن أَِب ه ِرَ رَة أَ ََّ رس
ُ َاج ُد َها َوأَبْغ
ض َ َ اِ أَ َحب الْب ََد إ َل َ وِ للا َُ َْ ُ َْ
26 ِ الْبِ ََ ِد إِ َل
للا أَ ْس َواقُ َها
24
Muhammad Aburrahman bin Abdurrahim, Tuhfat al-Ahwadzi bi Syarhi Jāmi’ at-
Tirmidzi (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘arabi, 1995), Juz 7, h.210
25
Syaikh Amir bin Abdul Mun’im Salim, Adab Al-Khitbah wa Al-Zifaf, h. 70.
26
An-nawawi, Syarah Shahih Muslim Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan Suratman
(Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 4, h. 50
10
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis perlu
mengidentifikasi beberapa masalah yang kemudian akan dilakukan kajian
lebih lanjut berkaitan masalah tersebut:
a. Beberapa ulama hadis sudah mulai melakukan pendekatan hadis yang
tidak hanya dicukupkan pada kajian teks saja, melainkan pada ranah
tata praktek atau bagaimana hadis itu di Masyarakat. Fadzlurrahman
misalnya yang melakukan penelitian hadis dengan menggunakan
pendakatan living sunnah yaitu kajian yang tidak cukup hanya pada
teks saja.
b. Permasalahan mengenai perempuan hingga saat ini masih terus dikaji
baik dari segi politik, ekonomi, budaya serta Agama. Posisi
perempuan dalam Islam mempunyai perkembangan yang tidak begitu
bagus apalagi dalam pernikahan, khususnya bagi perempuan di
Madura yang sepertinya tidak memiliki kebebasan untuk menentukan
langkah hidupnya, baik dalam bidang karir, pendidikan dan
pernikahan.
c. Sebagian ulama hadis berbeda pendapat mengenai hal ihwal yang
berkaitan dengan meminta izin kepada anak perawan dan janda. Ada
yang berpendapat bahwa perlu meminta izin terhadap janda dengan
dasar bahwa janda sudah tidak begitu merasa malu dibandingkan
dengan waktu masih gadis. Sedangkan pendapat yang lain mengatkan
bahwa diperlukan izin terhadap janda ataupun dengan anak gadis.
d. Pernikahan menurut Masyarakat Payudan Karangsokon merupakan
salah satu ibadah yang sakral, atinya bahwa pernikahan itu tidak
dilakukan dengan sembarangan baik dengan waktu dan pelaksanaan
pernikahannya. Oleh karenanya dibutuhkan sebuah perhitungan
khusus untuk mengetahui waktu yang baik untuk pelaksanaannya.
Sedangkan untuk tempat pelaksanaannya masyarakat Payudan
11
27
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Pemaknaan Shalawat dalam Komunitas Joget
Shalawat Mataram: Studi Living Hadis”, (Penelitian Dosen Fakultas Ushuluddin, Universitas
Islam Negeri Yogyakarta, 2013)
13
28
Abdul Bashir, Seni Pementasan LESBUMI NU Grobogan (Studi Livingf Hadis), (Tesis
S2 Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2015)
29
Ahmad Arrofiqi, Implementasi Hadis Birrul Walidain Setelah Meninggal Dunia Pada
Masyarakat Wonokromo (Studi Living Hadis). (Skripsi S1 Fakultsa Ushuluddin dan Pengkajian
Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2009)
14
30
Muhammad Alfatih suryadilaga, “Living Hadis Dalam Tradisi Sekar Makam,” al-
Risalah, Volume 13 Nomor 1 (Mei 2016)
31
Anis Hidayatullah Imtihan, “Slametan Sebagai Media Resepsi al-Qur’an dan Hadis di
Kalangan Masyarakat,” al-Ahkam, Volume 12 Nomor 3 (Februari 2015).
15
32
Indana Zulfa, Pandangan Hadis terhadap Tatayyur (Studi Kasus Tradisi Pemilihan
Pasangan dan Hari Pernikahan dengan Perhitungan Jawa di Desa Dukuhkembar Kecamatan
Dukuh Kabupaten Gresik), (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta,
2015)
16
33
Sirojuddin dan Mohammad Bashri Asyari, “Tradisi Nyareh Dhina Dalam Penentuan
Hari Pernikahan Perspektif Hukum Islam di Desa Larangan Badung,” al-Hikam, Vol. 9 No.1
(Juni 2014)
34
Hasan Hamka, Metodologi Penelitian Tafsir Hadis (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah, 2008), h.45
17
3. Waktu Penelitian
Aktivitas penelitian ini oleh penulis dibagi menjadi tiga periode
yang kemudian dilakukan secara sistematis. Pertama, periode persiapan
yang dilakukan semenjak bulan September s.d Oktober 2016 yang
meliputi survey dan pengamatan awal hingga pembuatan proposal skripsi.
Kedua, periode inti yang meliputi kegiatan observasi dan wawancara yang
dilakukan pada bulan November s.d Desember 2016 serta proses
bimbingan skripsi. Ketiga, periode akhir yang berupa penulisan skripsi,
35
Moh. Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama (Yogyakarta:
SUKA Press, 2010) h. 119
18
36
Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial (Bandung: Mandar Maju, 1996),
h. 187
37
Sutrisno Hadi, Metodologo Jilid I (Yogyakarta: Andi Offets, 1999), h. 193
19
38
Moh. Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama (Yogyakarta:
SUKA Press, 2010) h. 91-92
39
Arikunto, S. Prosedur Penelitian, Edisi Revisi (Jakarta: PT Renika Cipta, 2006), h. 123
40
Lihat Moh. Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama
(Yogyakarta: SUKA Press, 2010) h. 114
20
yang sudah dibentuk oleh peneliti, sehingga pada tahap ini data yang
diperoleh lebih fokus dan ringkas serta sudah terbagi-bagi.
Kedua, display data atau penyajian data, pada tahap ini peneliti
melakukan organisasi data, mengaitkan hubungan-hubungan tertentu
antara data yang satu dengan yang lainnya. Peneliti sudah menyajikan
data yang lebih konkret dari tahap sebelumnya serta telah diklasifikasikan
pada tema-tema yang dirancang oleh peneliti.
Ketiga, proses verifikasi, pada tahap ini peneliti melakukan
penafsiran (interpretasi) terhadap data yang sudah peneliti proleh dan
sudah dilakukan reduksi dan penyajian, sehingga data yang sudah
memiliki makna dengan cara membandingkan, pencatatan tema-tema dan
pola-pola, pengelompokan melihat kasus-perkasus dan melihat hasil
41
wawancara dengan informan dan hasil observasi. Proses ini juga
menghasilkan sebuah hasil analisis yang telah dikaitkan dengan kerangka
teoritis yang ada. Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisa yang
ketiga, yaitu analisi penafiran.
6. Metode Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini, penulis merujuk pada Pedoman
Penulisan Skripsi yang terdapat dalam buku pedoma Program Strata Satu
2012/2013.42 Serta penulis menggunakan Pedoman Transliterasi
Romanisasi Standar bahasa Arab (Romanization of Arabic) tahun 1991
dari American Library Association (ALA) dan Library Congress.
F. Sistematika Penulisan
Sebagai bentuk fokus dan konsistensi dalam penelitian yang hendak
peneliti lakukan ini serta supaya tidak keluar dari rumusan masalah yang
penulis angkat, maka perlu disusun secara sistematis dalam penulisan ini.
Bab Pertama berisi pendahuluan yang meliputi beberapa sub bab, yaitu:
latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka,
metode penelitian dan sistemitika penulisan.
41
Moh. Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama, h. 115
42
Tim penyusun, Pedoman Akademik Program Strata Satu 2012/2013 (Ciputat: UIN
Syarif Hidayatullah jakarta, 2012)
21
Entah dari mana asal muasal nama Payudan diambil. Yang jelas
setelah gua tersebut bernama Gua payudan, daerah sekitarnya juga mendapat
sebutan payudan. Konon putri kuninglah yang menamai gua tersebut dengan
payudan. Seorang putri berkulit putih bertubuh molek, dan cantik menawan.
Putri Kuning merupakan keturunan dari raja sumenep, Kesempurnaan
tubuhnya menjadi idaman pria dan decak kagum para wanita, bahkan menjadi
ikon kecantikan wanita Madura yang melegenda hingga saat ini.
Dari sebuah nama yaitu ―Payudan‖, Desa ini kembali melalui sejarah
panjang. Sejarah yang menorehkan ciri khas tersendiri bagi warganya, hingga
suatu saat orang-orang lebih mengenal daerah ini dengan sebutan ―Payudan
Karangsokon‖. Nama yang diambil dari nama sebuah pohon yanng biasanya
tumbuh besar dan tinggi serta memberikan kehidupan bagi berbagai mahluk
disekelilingnya dengan buah yang dapat dimanfaatkan dan diolah menjadi
beberapa macam.
1
Wawancara pribadi dengan H. Hasan Hamid, Karangsokon 01 Nopember 2016
23
24
didaerah ini. Sebutan tersebut berlangsung begitu lama hingga daerah ini
menjadi sebuah desa.2
2
Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016
3
Sumber Data Monografi Desa Payudan karangsokon, Kabupaten Sumenep, Tahun 2014.
Pada Tanggal 02 Nopember 2016
25
tempuh ke ibu kota kabupaten adalah ± 45 km, yang dapat ditempuh dengan
waktu sekitar ± 55 menit.4
C. Demografi Desa Payudan Karangsokon
TABEL I
JUMLAH PENDUDUK BERDASARKAN USIA
No Usia Laki-laki Perempuan Jumlah Prosentase
4
Sumber Data Monografi Desa Payudan karangsokon, Kabupaten Sumenep, Tahun 2014.
Pada Tanggal 02 Nopember 2016
5
Sumber Data Monografi. Pada Tanggal 02 Nopember 2016
26
1. Pendidikan Masyarakat
Pendidikan adalah satu hal yang penting dalam memajukan tingkat
SDM (sumberdaya manusia) yang dapat berpengaruh dalam jangka
panjang pada peningkatan perekonomian. Dengan tingkat pendidikan
yang tinggi maka akan mendongkrak tingkat kecakapan masyarakat yang
pada gilirannya akan mendorong tumbuhnya keterampilan kewirauasahan
dan lapangan kerja baru, sehingga akan membantu program pemerintah
dalam mengentaskan pengangguran dan kemiskinan.
Pada generasi-generasi sebelumnya respon masyarakat terhadap
pendidikan tampak terbalik. Masyarakat menganggap pendidikan hanya
layak diperoleh orang-orang tertentu saja. Antara anak laki-laki dan
perempuan terlihat ada perlakuan yang berbeda dalam hal pendidikan.
Oleh karena itu pendidikan masyarakat hingga saat ini masih tergolong
minim. Terbukti dengan masih banyaknya masayarakat yang buta huruf,
terutama huruf latin dari pada arab.6
Untuk mengukur tinggi rendahnya kemajuan suatu masyarakat
adalah tergantung dari tinggi dan rendahnya pendidikan yang dimiliki
oleh masyarakatnya. Semakin tinggi pendidikan suatu masyarakat,
semakin baik pula tatanan kehidupan masyarakat tersebut. Masyarakat
Payudan Karangsokon setelah dilihat dari data yang peneliti peroleh
bahwa mayoritas penduduknya berpendidikan SD/sederajat dengan
kecenderungan bahwa masyarakat masih sedikit sekali yang
pendidikannya di atas itu. Hal ini dapat dilihat dengan penduduk yang
usia 10 tahun ke atas yang buta huruf tidak ada akan tetapi yang
sekolahnya tidak tamat SD/sederajat sejumlah 823 orang, penduduk yang
tamat SD/sederajat sejumlah 654 orang, penduduk yang SLTP/sederajat
sejumlah 593 orang, penduduk yang tamat SLTA/sederajat sebanyak
1.153 orang, penduduk tamat D-1 sebanyak 15 orang, penduduk tamat D-
6
Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016
27
7
Sumber Data Monografi. Pada Tanggal 02 Nopember 2016
8
Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016
9
Latif Wiyata, Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, (Yogyakarta:
LKiS, 2006), h. 47-48
28
10
A. Dardiri Zubairi, Rahasia Perempuan Madura; Esai-Esai Remeh Seputar
Kebudayaan Madura, (Surabaya: Andhep Asor, 2013), h. 5
11
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, ter.
Machmoed Effendhie dan Punang Amaripuja (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), h. 27
12
Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016
29
TABEL II
No Kondisi Jumlah
1. Miskin 430 kk
2. Pra-sejahtera 298 kk
3. Sejahtera I 10 kk
4. Sejahtera II 12 kk
5. Sejahtera III 105 kk
6. Sejahtera III (plus) 95 kk
Jumlah 950 kk
Sumber Data: Monografi Desa Payudan Karangsokon
13
Sumber Data Monografi. Pada Tanggal 02 Nopember 2016
14
Sumber Data Monografi. Pada Tanggal 02 Nopember 2016
15
Tanaman tembakau di Madura dikenal dengan nama nicotiana tabacum, termasuk
famili solanaceae, dari genus nicotiana. Nicotiana tabacum lebih disenangi oleh produsen dan
konsumen dibanding dengan nicotiana rustica, nicotiana silvestris, nicotiana glutinosa, dan
nicotiana petunoides. Nicotiana rustica mengandung kadar nikotin yang besar, sedangkan
nicotiana silves tris, nicotiana glutinosa, dan nicotiana petunoides, tumbuh secara liar dan tidak
dibudidayakan karena tidak mempunyai nilai ekonomi. (Lihat Thomas Santoso, Tata Niaga
30
TABEL II
Mata Pencaharian dan Jumlahnya
No Mata Pencaharian Jumlah Prosentase
2. Jasa/perdagangan
Tembakau di Madura, Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 3, No. 2, September 2001: 96-
105 dan pada Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, h.
47
16
Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016
31
17
Agus Afandi, dkk., Catatan Pinggir di Tiang Pancang Suramadu, (Yogyakarta: Ar-
Ruzz, 2006), h. 11-12
32
18
Wawancara Pribadi dengan Abd Hamid, Karangsokon 30 Oktober 2016
19
Wawancara Pribadi dengan KH. Abd Majid, Karangsokon 31 Oktober 2016
20
Melalui kharisma yang melekat padanya, Kyai dijadikan imam dalam bidang
„ubûdiyyah dan sering diminta kehadirannya untuk menyelesaikan problem yang menimpa
masyarakat. Rutinitas ini semakin memperkuat peran kyai dalam masyarakat, sebab kehadirannya
diyakini membawa berkah. Misalnya, tidak jarang kyai diminta mengobati orang sakit,
memberikan ceramah agama, diminta do’a untuk melariskan barang dagangan dan lain sebagainya.
Sebagai implikasi dari peran yang dimainkan kyai ini, kedudukan pesantren menjadi multi fungsi.
(Lihat Edi Susanto, Kepemimpinan (Kharismatik) Kyai Dalam Perspektif Masyarakat Madura,
Jurnal Karsa, Vol. XI No.1, April 2007
33
21
ada tingkatan penghormatan dalam masyarakat Madura, yaitu buppa’ (ayah), babu’
(ibu), guru (guru), dan rato (pemerintah). Sikap hormat dimulai dari bapak dan ibu (orang tua di
rumah), guru dan pemerintah, serta penghormatan kepada orang lain (Lihat Hasan Busri, Kearifan
Lokal Budaya Madura dalam Dinamika Sosial. Disertasi tidak Diterbitkan. (Malang: Pascasarjana
UniversitasNegeri Malang, 2010), h. 70
22
Huub De Jonge, Madura Dalam Empat Zaman; Pedagang, Perkembangan Ekonomi,
dan Islam, ter. KITLV-LIPI (Jakarta: PT Gramedia, 1989), 240.
23
Agus Afandi, dkk., Catatan Pinggir di Tiang Pancang Suramadu, h.13
BAB III
1
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Model-Model Living Hadis, dalam Syahiron
Syamsuddin (ed), Mitodologi Penelitian Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2007), h. 107
2
Nikmatullah, “Review Buku Dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks”
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015, h. 227
3
Jajang A Rohmana, “Pendekatan Antropologi Dalam Studi Living Hadis Di Indonesia:
Sebuah Kajian Awal” Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015, h. 254
4
Fazlur Rahman, Islam dan Islamic Methodology un History. Penerjemah Ahsin
Muhammad (Bandung: Pustaka, 1994), h. 141
34
35
mereka. Praktek ini muncul dari penafsiran yang bersifat individual terhadap
teladan Nabi.5 Suryadi menambahkan bahwa living Sunnah adalah Sunnah
Nabi yang secara bebas ditafsirkan oleh para ulama, penguasa dan hakim
sesuai dengan situasi yang mereka hadapi.6
Adanya pergeseran pandangan tentang tradisi Nabi Muhammad Saw
yang berujung pada adanya pembakuan dan menjadikan hadis sebagai sesuatu
yang mempersempit akupan, menyebabkan kajian living hadis menarik untuk
dikaji secara serius dan mendalam. Sedangkan living hadis lebih didasarkan
atas adanya tradisi yang hidup di masyarakat yang disandarkan kepada hadis.
Penyandaran tersebut bisa saja hanya difokuskan terhadap daerah khusus saja
atau bahkan bisa lebih diluaskan lagi dalam cakupan pelaksanaannya.7
Sementara Barbara D. Metcalf sebagaimana yang dikutip Nikmatullah
menyatakan bahwa living hadis mempunyai makna ganda yang mencakup
pemahaman terhadap hadis dan internalisasi tertulis/teks yang didengar ke
dalam kehidupan nyata.8
Melihat dari gambaran di atas maka penulis menarik sebuah asumsi bahwa,
living sunnah merupakan suatu kegiatan yang bukan hanya difokuskan pada
Rasulullah saja melainkan juga dikaitkan pada pengamalan setelahnya, seperti
halnya pada masa sahabat, tabi’’i dan generasi berikutnya. Sedangkan living hadis
merupakan suatu fenomena sosial-budaya yang bersumber dari pemaknaan terhadap
teks-teks hadis serta menyangkut juga praktek sosial keagamaan sebagai bentuk
pengamalan seorang hamba dalam kehidupa sehari-harinya. Sehingga pada umunya
dalam pendekatannya tidak jauh berbeda seperti halnya penelitian sosial keagamaan
pada umumnya.
5
Contoh dari living Sunnah adalah tentang harta rampasan perang, dimana pada kegiatan
tersebut terjadi pengamalan yang berbeda antara masa kepempinan Nabi Muhammad Saw dan
Sahabatnya. Lihat Nikmatullah, “Review Buku Dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan
Konteks” Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015, h. 228 Contoh lainnya
adalah masalah unta yang terlepas dari pemiliknya. Lihat Suryadi, Dari Living Sunnah ke Living
Hadis, dalam Syahiron Syamsuddin (ed), h. 93
6
Suryadi, Dari Living Sunnah ke Living Hadis, dalam Syahiron Syamsuddin (ed),
Mitodologi Penelitian Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2007), h. 93
7
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Model-Model Living Hadis, dalam Syahiron
Syamsuddin (ed), Mitodologi Penelitian Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2007), h. 113-
114
8
Nikmatullah, “Review Buku Dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks”
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015, h. 229
36
B. Pengertian Pernikahan
Istilah nikah berasal dari akar kata Arab nakaha, yankihu, nikahan,
yang artinya “adh-Dham, al-Wath’u dan al-Aqdu”.9 Misalnya ketika
dikatakan “tanakahat al-Asyjār” maksudnya adalah “idzā tamayalat wa al-
dhamma ba’dun ila ba’din”, artinya “ketika pohon-pohon saling condong,
kemudian mereka saling berkumpul satu sama lainnya”.10
Pengertian pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan
membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan yang bukan mahram.
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam
pergaulan atau masyarakat yang sempurna.11 Pernikahan itu bukan saja
merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah
tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju
pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu
akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan
yang lainnya.12
Secara arti kata nikah berarti bergabung “ammu” hubungan kelamin
wath’u dan juga berarti “akad” aqdun adanya dua kemungkinan yaitu
hubungan kelamin dan akad nikah, meskipun ada dua kemungkinan arti kata
“nakaha” akan tetapi masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Perkawinan dalam pengertian bahasa Arab adalah nikah, nikah secara
( االشجارpohon-pohon itu saling berhimpun antara satu dengan yang lain) jika
suatu bagian pohon itu saling berhimpun antara satu dengan yang lainnya).
9
an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Kitab Nikah, Juz: 9, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 171
dijelaskan juga oleh Syihabuddin Ahmad al-Qastalani dalam Kitab Irsyadu al-Sari li Syarhi
Shahihi al-Bukhari, Kitab Nikah, Juz: 11, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 382
10
Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terfikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam
Islam, (Bandung: Mizan, 2001), h. 149
11
arti nikah adalah akad yang membolehkan seorang laki-laki bergaul bebas dengan
perempuan tertentu dan pada waktu akad menggunakan lafaz “nikāh” atau “Tazwij”, atau
terjemahannya. Adapun “zawāj” atau “tazwij” bermakana sama dengan nikah (Lihat Peunoh Daly,
Hukum Perkawinan Islam Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus Sunnah dan Negara-negara
Islam, cet. ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 104.)
12
H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2014), h. 374
37
Jika suatu bagian pohon dengan bagian pohon yang lainnya saling berhimpun
atau berkumpul.13
Perkawinan dalam Islam merupakan sunnatullah yang sangat
dianjurkan karena perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah Swt. untuk
melestarikan kehidupan manusia dalam mencapai kemaslahatan dan
kebahagiaan hidup.14 Perkawinan diartikan dengan suatu akad persetujuan
antara seorang pria dan seorang wanita yang mengakibatkan kehalalan
pergaulan (hubungan) suami-istri, keduanya saling membantu dan
melengkapi satu sama lain dan masing-masing dari keduanya memperoleh
hak dan kewajiban.15
Golongan Ulama Syâfi’îyah berpendapat bahwa kata nikah berarti akad
dalam arti sebenarnya (hakiki); dapat berarti juga untuk hubungan kelamin,
namun arti tidak sebenarnya (arti majâzî). Sebaliknya, Ulama Hānafiyah
berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung arti secara hakiki untuk
hubungan kelamin.16 Pengertian perkawinan menurut istilah ilmu fiqih sering
memakai lafaz “nikah” dan “zawaj”. Menurut bahasa, nikah dapat
mengandung makna haqiqi, yaitu “dhām” , yang berarti menghimpit atau
berkumpul dapat pula mengandung makna majâzî, yaitu “wala”, yang berarti
bersetubuh atau aqad (mengadakan perjanjian pernikahan).17
Sedangkan nikah menurut istilah, ada beberapa pengertian yaitu:
1. Menurut M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syâfi’ah AM., nikah adalah
sesuatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan
perempuan yang bukan muhrim.18
2. Ulama Hânâfiyah, mendefinisikan pernikahan sebagai suatu akad yang
berguna untuk memiliki muth’ah dengan sengaja. Artinya seorang laki-
13
Taqiyuddin Abu Bakar Bin Ahmad Al Husaini, Kifayat al-Akhyār, Juz II, (Indonesia:
Darul Ihya Kutubil Arabiyah, tth) h.3
14
As-Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Anbi, 1973), 11: 6
15
Abu Zahrah, al-Ahwāl asy-Syakshiyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1957) VIII: 6513
16
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan cet.ke.-I. (jakarta : kencana 2006), h. 36-37.
17
Kamal Muktar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, cet ke.-3 (Jakarta: Bulan
Bintang, 1993), h. 1.
18
M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994, cet. 1), h. 249.
38
19
Slamet Abidin dan Aminudin, fiqih Munakahat 1 ( Bandung: Pustaka setia, 1999 ),
h.11.
20
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, h 741
21
Undang-Undang Perkawinan No. I Tahun 1974 Tentang Perkawianan. Bab I Pasal 2
ayat (2)
22
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam. cet. ke-9 (Yogyakarta: UII PreSs,
1999), h. 11.
23
Lili Rasjidi, Pekawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: PT
Remaja Rosda Karya,1991), h. 7.
39
C. Prosesi Pernikahan
1. Mintah (Melamar) Perempuan
a. Pengertian Khithbah
Kata peminangan berasal dari kata pinang, meminang (kata
kerja). Meminang sinonimnya adalah melamar yang dalam bahasa
Arab disebut Khitbah. Menurut etimologi, meminang atau melamar
artinya (antara lain) “meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri
sendiri atau orang lain)”.24
Peminangan dalam Ilmu fiqih dikenal dengan istilah khitbah,
secara etimologi berasal dari suku kata yaitu:25 خطب – خيطب – خطبا
24
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
bintang, 1974) h, 28-29
25
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut:Dar Al-Kitab Al-‘arabi,1977), h. 25
26
Cahyadi Takariawan Izinkan Aku Meminangmu, (Solo: Era Intermedia, 2004), h. 35
27
Abu Zahroh, al-Ahwāl as-Syakhsiyah, (Beirut: Dar Fikr, th), h. 27
40
28
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve,
199), h. 927
29
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Penerjemah Mudzakkir As, Jilid VI (Bandung: PT. al-
Ma’rifah, 1980), h. 30-31
30
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, alih bahasa oleh Abdul Hayyie al-
Kattani, (Jakarta:Gema Insani, 2011), h. 21
41
31
Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi Memahami Islam secara
Fenonenologis, Penerjemah Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1996), h. 22-23.
32
Ketika melihat kondisi sekarang ini bisa dikatakan bahwa 9 tahun sudah bisa haid
dengan beberapa unsur yang sudah mulai bergeser dari zaman sebelumnya kepada kehidupan
sekarang ini, sehingga menyebabkan beberapa anak mengalami haid lebih awal dari gambaran
yang ditentukan disini.
33
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan cet.ke.-I. (jakarta : kencana, 2006), h. 38
34
Hal ini didukung pernyataan ulama Al-syafi’iyyah bahwa apabila bapak sebagai wali
tidak perlu lagi meminta izin kepada anak gadisnya apabila telah memenuhi ketujuh syarat berikut:
pertama, antara bapak dengan anak tidak ada permusuhan. Kedua, anatara si anak gadis dengan
calon suaminya tidak ada permusuhan. Ketiga, calon suaminya sekufu’. Keempat, calon suami
sanggup memberikan mahar. Kelima, mahar yang sesuai. Keenam, mahar merupakan mata uang
setempat, ketujuh mahar dibayar kontan, lihat ‘Abdul ar-Rahman al-Jaziri, al-Fiqih ‘ala al-
Mazahib al-Arba‘ah (Beirut: Dar al-Afkar, t.t) h, 35
42
َوشاورهمَفَاالمر
2) Maliki
Dalam kaitan persetujuan dan kebebasan wanita dalam
memilih pasangan (calon suami), imam Malik membedakan antara
janda dengan gadis. Untuk janda harus ada persetujuan dengan tegas
sebelum akad nikah. Adapun gadis dan janda yang belum dewasa
yang belum digauli oleh suaminya ada perbedaan antara bapak
sebagai wali dengan wali selain bapak. Bapak sebagai wali menurut
imam Malik beliau berhak memaksa anak gadisnya dan janda yang
35
Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, alih bahasa As’ad Yasin, cet. II, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), h. 467.
36
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, cet. I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.
3
37
Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Juz 25, h. 310
43
belum dewasa (hak ijbar) untuk nikah, sedangkan wali selain bapak
tidak mempunyai hak ijbar. Dengan kata lain, seorang bapak boleh
menikahkan anak gadis dan janda yang belum dewasa walaupun
tanpa persetujuan keduanya.38 Otoritas yang dimiliki bapak itu lanjut
imam Malik karena memang syara’ mengkhususkan demikian, atau
karena kasih sayang seperti yang dimiliki seorang bapak tidak akan
dimiliki oleh wali yang lain.39
Kemudian az-Zarqanî menuliskan dua pandangan ‘Iyad
tentang pembahasan ini, pertama bahwa wanita yang masih gadis,
walinyalah yang lebih berhak dalam menentukan persetujuan dalam
perkawinannya. kedua, sedangkan wanita janda lebih berhak dalam
menentukan persetujuan dalam perkawinannya.40 Kedua pendapat ini
didasarkan pada hadis Nabi:
َعن َابن َعباس َأن َالنِب َصلىَهللا َعليه َوسلم َقال َاَلَيَ َاَحَقَ َبَنَفَسَهَاَمَنَ َ َولَيَهَا
41
َوالبكرَتستأذنَِفَن فسهاَوإذن هاَصمات هاَقالَن عم
Artinya:
Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, “Janda
lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan gadis perawan
diminta izinnya (dalam urusan nikahnya), sedangkan tanda ia
mengizinkan adalah bila ia diam?”. Malik menjawab, “Ya”.
Pendapat pertama, dengan mengambil mafhum mukhalafah
dari hadis ini, sedangkan pendapat kedua dengan menghubungkan
hadis ini dengan hadis Nabi:
َ 42 ََالَنَكَاحََاَالَبَ َوال:َقالَرسولَهللاَصلىَهللاَعليهَوسلم:عنَأِبَموسىَقال
38
Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I)
(Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004), h. 70
39
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, h. 407
40
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, h. 71
41
An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan
Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 88
44
Artinya:
Dari Abi Musa, ia berkata, Rasulullah Saw bersabdda: “Tidak
ada nikah kecuali dengan wali”
3) Hanbali
Dalam al-Mugni, Ibn Qudamah seorang ulama besar dari
mazhab Hanbali ini mengklaim, bahwa ulama sepakat adanya hak
ijbar wali untuk menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita
itu senang atau tidak, dengan syarat sekufu. Ibn Qudamah sendiri
cenderung berpendapat, bahwa bapak berhak memaksa anak
gadisnya baik dewasa atau belum, menikah dengan pria sekufu
walaupun wanita tersebut tidak setuju.43 Menurut beliau, dasar
bolehnya menikahkan gadis yang belum dewasa adalah firman Allah
dalam Surah ath-Thalaq (65): 4:
Artinya:
“Permepuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) diantara
istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka
idahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan
yang tidak haid. (QS. Ath-Thalaq (65): 4)
Pada prinsipnya ayat ini berbicara tentang masa ‘iddah
seorang wanita yang belum haid atau wanita yang sudah putus haid.
Logika sederhana adalah ‘iddah muncul karena talak, dan talak
muncul karena nikah.44 Dasar pendapat ini sesuai dengan hadis fi‘li
Nabi Saw:
42
Abi ‘Isa Muhammad bin Sawrah, Sunan at-Tirmizi, Beirut: Dar al-Fikr, 1408/1988),
III: 407, hadis nomor 1101, “Kitab an-Nikah”, “Bab Ma Ja'a illa bi Waliyyi", Sanad hadis ini
marfu‘ muttasil, hadis dari ‘Ali bin Hujr diceritakan Syarik bin ‘Abdullah dari Abi Ishaq.
43
Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), h.
88
44
Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), h.
89
45
َ 45 ََواَنَاَبَنَتََتَسَعََسَنَي
َ َِب
Artinya:
Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Saw menikahiku ketika aku
berusia enam tahun, dan aku menggaulinya ketika aku berusia
sembilan tahun”.
Menurut ibn Qudamah, disamping sebagai dalil bolehnya
menikahkan gadis yang belum dewasa, hadis ini juga menunjukkan
tidak adanya permintaan izin dari Abu Bakr (bapak/wali) kepada
‘Aisyah.
4) Hanafi
Menurut Abu Hanifah, persetujuan wanita (calon istri) gadis
atau janda harus ada dalam perkawinan. Sebaliknya, kalau mereka
tidak setuju, maka akad nikah tidak boleh dilanjutkan. Walaupun
yang menjadi wali adalah bapak kandung mereka sendiri.
َ 46
فجاءتَرسولَهللاَصلىَهللاَعليهَوسلمَفذكرتَذلكَلهَف ردَنكاحها
Artinya:
Diriwayatkan oleh Khansa binti Khidzami al-Anshariyah,
“sesungguhnya ayahnya telah menikahkannya, saat itu
statusnya dalam keadaan perawan. Ia tidak menyukai perilaku
ayahnya yang demikian, kemudian ia mendatangi Rasulullah
Saw dan menceritakan apa yang dialaminya, maka pernikahan
yang dilakukan oleh sang bapak tersebut ditolak oleh Nabi
Saw.”
45
An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan
Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 896
46
Bukhari, Shahih Bukhari, cet. III, V Beirut: Dar al-Fikr, 1401/1981,: 135, “Kitab an-
Nikah”, “Bab Iza Zawwajahu Ibnatahu wa Hiya Karihah fa Nikahuhu Mardud”. Sanad hadis ini
marfu‘ muttasil, hadis diceritakan oleh Ismail diceritakan Malik dari Abdul ar-Rahman.
46
ََ َ"اَنَ َجَ َاريَةَ َ(بكرا) َاَتَتَ َالنَبَ َصلَى َاهللا:ََوِفَ َالسَنَنَ َمَنَ َحَدَيثَ َابَنَ َعَبَاس
Artinya:
Dalam hadis sunan dari ibn Abbas Ra: “Sesunguhnya seorang
wanita datang kepada Nabi Saw, kemudian ia menceritakan
kepada Nabi Saw bahwa ayahnya telah menikahkannya, dan ia
tidak menyukai perkawinannya. Maka Nabi pun memberikan
wanita tersebut hak untu memilih.”
Adapun dasar penetapan harus adanya persetujuan gadis
dalam perkawinan, menurut abu Hanifah adalah kasus di masa Nabi
yang menyatakan bahwa Nabi menolak perkawinan seorang gadis
yang dinikahkan bapaknya, karena gadis tersebut tidak menyetujui,
yakni kasus yang terjadi pada al-Khansa’. dalam kasus ini, al-
Khansa’ menemui dan melaporkan kasus yang menimpa dirinya,
yakni dia dinikahkan bapaknya kepada saudara bapaknya yang tidak
ia senangi, pada saat itu Nabi balik bertanya “apakah kamu diminta
izin (persetujuan)?” al-Khansa’ menjawab “saya tidak senang
dengan pilihan bapak”. Nabi lalu menetapkan perkawinannya
sebagai perkawinan yang tidak sah, seraya bersabda/berpesan
“nikahlah dengan orang yang kamu senangi”. al-Khansa’
berkomentar, “bisa saja aku menerima pilihan bapak, tetapi aku
ingin agar para wanita mengetahui bahwa bapak tidak berhak untuk
memaksakan kehendaknya untuk menikahkan anak wanitanya dan
nabi menyetujuinya. Ditambah lagi oleh al-Khansa’, “nabi tidak
minta keterangan apakah saya gadis atau janda”, seperti dicatat
sebelumnya.
47
Abu Daud, Sunan Abi Daud, cet. I, II , Beirut: Dar al-Fikr,t.t.,h 232, hadis nomor 2096,
”Kitab an-Nikah”, “Bab al-Bikr Yuzawwijuha Abuha wa la Yasta’miruha.” sanad hadis ini marfu‘
muttasil, hadis diceritakan oleh Usman bin Abi Syaibah diceritakan oleh Husain bin Muhammad
diceritakan oleh Jarir bin Hazim.
47
48
Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), h.
77
49
Fahmi Kamal, Perkawinan Adat Jawa Dalam Kebudayaan Indonesia, Jurnal Khasanah
Ilmu Vol. 5 No. 2 September 2014, h. 40
48
50
Dalam pelaksanaan hari perkawinan, ada dhina, baik hari atau bulan yang memang
khusus dianjurkan untuk melaksanakan acara tersebut, misalnya mengikuti jejak Rasulullah SAW.
Seperti apa yang telah diceritakan Siti Aisyah R.A. bahwasanya Rasulullah menikahiku bulan
Syawal, dan menyetubuhiku bulan syawal, maka dari itu Siti Aisyah menganjurkan para suami
untuk menggauli istri untuk pertama kalinya di bulan Syawal. (Lihat Fadli Bahri, Ensiklopedi
Muslim (Jakarta: PT Darul Falah, 200), 581
51
L. Canifah AG, Primer dan Horoskop (Jakarta: CV Bintang Pelajar, T.th), h. 7
52
Neptu Dina: Akad (Neptune: 5), Senen (Neptune: 4), Selasa (Neptune: 3), Rabu
(Neptune: 7), Jum’at (Neptune: 6) dan Sabtu (Neptune: 9)
53
Neptu Pasaran: Kliwon (Neptune: 8), Legi (Neptune: 5), Pahing (Neptune: 9), Pon
(Neptune: 7), dan Wage (Neptune: 4.5)
54
Neptu Bulan: Sura (Neptune: 7), Sapar (Neptune: 2), Rabiul Awal (Neptune: 3), Rabiul
Akhir (Neptune: 5), Jumadil Awal (Neptune: 6), Jumadil Akhir (Neptune: 1), Rejeb (Neptune: 2),
Ruwah (Neptune: 4), Poso (Neptune: 5), Sawal (Neptune: 7), Dzulqa’dah (Neptune: 1) dan Besar
(Neptune: 3)
55
Neptu Windu: Alip (Neptune: 1), Ehe’ (Neptune: 5), Jimawal (Neptune: 3), Je’
(Neptune: 7), Dal (Neptune: 4), Be’ (Neptune: 2), Wawu (Neptune: 6) dan Jimakir (Neptune: 3).
(Lihat Tjakraningrat, KPH, Primbon Bental Jemur Adammakna (Yogyakarta: dihimpun oleh R.
Soemodibjo), h.7
49
selasa, rabu, kamis, jum’at dan sabtu. Neptu Pasaran ialah suatu
perhitungan dalam adat istiadat Jawa berdasarkan ketentuan nilai
pasaran, yaitu pahing, pon, wage, kliwon dan legi. Neptu bulan ialah
suatu perhitungan dalam istiadat Jawa berdasarkan ketentuan nilai
bulan, yaitu suro, sapar, syawal, dzulqa’dah, dan besar. Neptu tahun
ialah suatu perhitungan dalam adat istiadat Jawa berdasarkan
ketentuan nilai tahun, yaitu alip, ehe’, jimawal, je’, be’, wawu dan
jimakir.56
b. Hari Baik Dalam Islam
Pada dasarnya setiap hari adalah baik, namun dalam jumlah hari
dalam satu minggu ada hari-hari yang dianggap istimewa oleh
sebagian masyarakat, dalam satu tahun ada bulan-bulan yang dinggap
karomah. Dalam Islam, memang terdapat hari-hari atau bulan-bulan
tertentu yang diagungkan, sebab pada hari atau bulan tersebut terdapat
sebuah keutamaan-keutamaan tersendiri. seperti bulan yang dianggap
bulan penuh berkah yakni bulan Ramadlon, Dzulhijjah, hari Arafah
dan Asyuro’, bulan Muharram.57
Menurut Bangsa Arab bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram
dan Rajab dikategorikan sebagai bulan yang suci atau yang dikenal
dengan sebutan Asysyahrul Hurum, karena bulan-bulan tersebut
merupakan rentang waktu pelaksanaan ibadah haji menuju Bait Allah
yang merupakan tempat suci. Sementara pada bulan Rajab adalah
waktu pelaksanaan Umrah.58 Sebagaimana dijelaskan dalam hadis
Nabi Saw berikut:
ََعَنََابَنََعَبَاسََقَالََقَالَََرسَولََهللاَصلَىَهللاَعليهَوسلَمَمَاَمَنََأَيَامََ َالعَمَلََالصَالَح
56
Kisuro, Primbon Jawi Lengkap Edisi Bahasa Indonesia, cet. 1 (Solo: UD Mayasari,
1995), h. 3
57
Muhammad Abdussalam al-Syaqiry, Bid’ah-bid’ah yang Dianggap Sunnah, Cet III
(Jakarta: Qisthi Press, 2004), h. 149
58
Khalil Abdul Karim, Syari’ah Sejarah Perkelahiran dan Pemakaman (Yogyakarta:
LKIS, 2003), h.10
50
ََمَوالَ َاجلَهَادَ َِفَ َسَبَيَلَ َهللاَ َاَالَ ََرجَ ٌَل َخَ َرج
َ َسولَ َهللاَ َصلَىَهللاَعليهَوسل
َ هللاَ َفَقَالَ ََر
59
َبَنَفَسَهََ َومَالَهََفَلَمََيََرجَعََمَنََذَلَكََبَشَيَء
Artinya:
Dari Ibnu Abbas berkat, Rasulullah Saw bersabda: “tidak ada hari-
hari untuk berbuat Amal shalih yang lebih Allah cintai kecuali
sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah” para sahabat
bertanya,wahai Rasulullah, sekalipun Jihad fi Sabilillah? Rasulullah
Saw menjawab “seskalipun jihad fi sabilillah, kecuali seorang
lelaki yang pergi berjjihad dengan harta dan jiwanya lalu tidak
kembali sedikitpun dari keduanya”.
Selain itu, Nabi juga pernah menikahkan putrinya dibulan
tertentu, namun hal tersebut memang disengaja tanpa
memperhitungkannya terlebih dahulu. Artinya, sebelum menikahkan
putrinya Nabi tidak memilih bulan yang cocok dan baik untuk
pernikahan putrinya, namun karena memang sudah waktunya menikah
hal tersebut dilakukan.60 Namun pada bulan ini Nabi juga pernah
melangsungkan pernikahannya dengan Siti Aisyah sebagaimana hadis
yang dikisahkan oleh Siti Aisyah R.A.:
ََعَنَ َعَائَشَةَ َقَالَتَ َتَ َزَوجَنَ ََرسَولَ َاّللَ َصَلَىَاّللَ َعَلَيَهَ َ َوسَلَمَ َفَ َشَ َوالَ َ َوبَنَ َِبَ َف
ََشَ َوالَ َفَأَيَ َنَسَاءَ َرسول َاّللَ َصلى َاّلل َعَلَيَهَ َ َوسَلَمَََكَانَ َأَحَظَى َعَنَدَهَ َمَنَ َقَال
َ 61
ََوكَانَتََعَائَشَةََتَسَتَحَبََأَنََتَدَخَلََنَسَاءَهَاَفََشَ َوال
Artinya:
Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah Saw menikahiku pada bulan
syawwal, menggauliku pada bulan syawwal; maka isteri beliau
yang manakah yang lebih beruntung disisinya selain aku? Ia
berkata, Aisyah senang jika para wanita dinikahi pada bulan
Syawwal.
59
Abu Isa al-Tirmidzi, al-Jāmi’ al-Shahih li al-Tirmidzi (Beirut: Dar al-Fikr, 1936), h.
205
60
Khalil Abdul Karim, Syari’ah Sejarah Perkelahiran dan Pemakaman (Yogyakarta:
LKIS, 2003), h.10
61
An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan
Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 903
51
62
Sirojuddin dan Mohammad Bashri Asyari, Tradisi Nyareh Dhina Dalam Penentuan
Hari Pernikahan Perspektif Hukum Islam di Desa Larangan Badung. Jornal al-Hikam Vol. 9 No.
1 Juni 2014, h. 25 Lihat Pula An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun,
Suharlan dan Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 903
63
Maulana Muhammad Zakariya al-Kandahlâwî, Fadilah al-A’mâl, penerjemah Musthafa
Sayani (Bandung: Pustaka Ramadhan, tt), h. 574-575
52
64
Abu Yasid, Fiqih Realitas Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam
Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 247.
65
Abdul Aziz Dahlan (eds), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Houve,
1996), h. 1917.
66
Syams al-Din Muhammad bin Abi Abbas al-Ansari, Nihayah al-Muhtâj ila Syarh al-
Minhâj, (Beirut: Dar al-Fikr, t,th), h.369.
67
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/ Penafsir Al-Qur'an, 1973), h. 260
68
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), h.
430.
69
Muchtar Effendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, (Palembang : Universitas Sriwijaya,
2001), h. 400.
70
Ashad Kusuma Djaya, Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2001), h.133-134
53
71
Teungku Muhammad Hsbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2001) h. 158
72
Mahmud Mahdi al-Istanbuli, Kado Perkawinan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2012), h. 236
54
ََالرحَنَ َبَن
َ َ َمَرأَىَعَلَىَعَبَد
َ َعَنَ َأَنَسَ َبَنَ َمَالَكَ َأَنَ ََرسَولَ َهللاَ َصلَىَهللاَعليهَوسل
ََىَوَزنََنَ َواةََمَن
َ َامرأَةََعَل
َ ََعَ َوفََأَثَرََصَفََرةََفَقَالََمَاهَذَاَقَالََيارسولَهللاَإَنََتَ َزَوجَت
73
ََ َولَ َوبَشَاة،ََأول،َذَهَبََفَقَالََبَ َاركََهللاََلَك
Artinya:
“Dari Anas bin malik, bahwa Rasulullah Saw. Telah melihat
bekas kekuning-kuningan pada Abdurrahman bin Auf, maka
Rasulullah Saw. Bertanya, apa ini? Abdurrahman menjawab,
sesungguhnya saya telah menikah dengan seorang perempuan
dengan mas kawin seberat satu biji emas. Kemudian Rasulullah
Saw. bersabda, semoga Allah Swt memberkatimu, adakanlah
walimah sekalipun dengan seekor kambing”
Perintah nabi untuk mengadakan walimah dalam hadis ini tidak
mengandung kewajiban, akan tetapi dipahami oleh jumhur ulama
sebagai kesunnahan karena demikian hanya merupakan tradisi yang
hidup melanjutkan tradisi yang sudah ada pada kalangan masyarakat
Arab semenjak Islam belum datang. Pelaksanaan walimah pada masa
sebelum Islam itu diakui oleh Nabi bahwa hal tersebut perlu
dilanjutkan, namun juga disertai dengan perubahan yang sesuai
dengan yang diajarkan dalam agama Islam.74
73
Muhammad bin Isa bin Saurah al-Tirmidzi, Shahih Sunan al-Tirmidzi, Kitab al-Nikah
Bab Mā Jāa Fi al-Walimah (Riyad: al-Ma’arif li al-Nasyri wa al-Tauzi’, 2000), h. 555
74
Imam al-Ghazali, Etika Perkawinan (Membentuk Keluarga Bahagia), terj. (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1993), h. 65
55
75
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2006), h. 156
76
Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Um, (Beirut: Dar al-Wafa’, 2001), h.213
77
Ibnu Hazm, al-Muhalla, Juz IX (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 450
78
Abdul Aziz dahlan (eds), Ensiklopedi Hukum islam (Jakarta: Ictiah baru van Houve,
1996), h. 1917
79
Imam Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar, Juz II (Semarang: Toha Putra, t.th), h. 68
56
80
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat I (bandung: CV Pustaka Setia,
1999), h. 159
BAB IV
1
Imam an-Nawawi, terj Syarah Shahih Muslim (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz.
6, h. 893
57
58
2
Ibnu Rusyd, ad-Dharuri fi Ushul Fiqh aw Mukhtashar al-Mustashfa, ( Beirut : Dar al-
Gharbu al-Islamiy, 1994), h.4
3
Wawancara Pribadi dengan KH. Nor Kholis, Karangsokon 25 Desember 2016
4
Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016
5
Wawancara Pribadi dengan Muzanni, Karangsokon 27 Desember 2016
59
dengan perempuan pada masa sebelumnya yang akan patuh dan akan tetap
menjaga keinginan orang tuanya.
Memusyawarahkan atau meminta pendapat seorang anak juga
merupakan salah satu media untuk mengajarkan kepada seorang anak untuk
mempertimbangkan setiap langkah yang akan dilangsungkan pada kemudian
hari. Sehingga dengan demikian menurutnya seoarang anak jika terdapat
sesuatu pertentangan pada lain waktu akan merundingkannya dengan pihak
keluarga dan suaminya.6
Ali ibn Adam ibn Musa berpendapat bahwa ada pemisahan antara al-
tsayyib dengan al-bikr. Penggunaan bahasa yang digunakan untuk keduanya
juga berbeda. Kalimat al-Isti’māra menunjukkan adanya musyawarah,
sedangkan ista’dzana untuk menggambarkan indikator yang jelas dari gadis,
baik melalui ucapan dan sikap diam, karena terkadang gadis itu pemalu.7
Pada dasarnya untuk mengetahui sesuatu yang tidak tampak memang
sangat sulit untuk dipahami, sama halnya dengan diamnya seorang
perempuan, sebab tidak dapat dapat dilihat sebagaimana dimensi eksoterik.
H. Hasan mengatakan bahwa diam itu belum tentu menandakan sebagai
bentuk peng-iyaan atas tawarannya, melainkan karena ketidak berdayaan
seorang gadis untuk menolak keinginan keluarganya yang terkadang juga
merasa bingung terhadap lamaran tersebut, karena masih memiliki ikatan
kekeluargaan.
Lebih lanjut H. Hasan mengatakan bahwa, ketika yang melamar
seorang gadis masih memiliki ikatan famili maka keluarga perempuan akan
enggan untuk menolaknya dikarenakan takut terjadi sesuatu yang nantinya
akan memecahkan hubungan silaturrahmi mereka.8
Annemarie Schimmel mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat
dimensi eksoterik yang dapat dilihat melalui panca indera dan dimensi
isoterik yang bersifat abstrak, tidak terlihat, tetapi bisa dirasakan. aspek-aspek
6
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafi’i, Karangsokon 30 Desember 2016
7
Ali ibn Adam ibn Musa al-Atyubi al-Wallawi, Syarh Sunan al-Nasa’i Juz 29 (Makkah:
Maktabah al-‘Arabiyah, 2007), h. 219
8
Wawancara Pribadi dengan H. Hasan Hamid, Karangsokon 28 Desember 2016
60
،ب اَ َحق بينَ ْف يس َها يم ْن َوليي َها َح َّدثَنَا ابْن أيَِب ُعمر َح َّدثَنَا ُس ْفيَا ْن يِبَ َذا ا يإل ْسنَا ْد وقَ َ ي
ُ َّال اَلث َ ََ ُ
ي ي ي
ص ْمتُ َها إيقْ َر ُارَها َ َوالبي ْك ُر يُ ْستَأْذنُ َها أَبُ ْو َها يف نَ ْفس َها َوا ْذنُ َها
َ َص َماتُ َها َوُرَّّبَا ق
َ ال َو
11
Artinya:
“Janda lebih berhak atas dirinya sendiridari pada walinya, dan seorang
gadis, maka ayahnya yang meminta izinnya (dalam urusan nikahnya),
tanda ia mengizinkannya adalah bila ia diam.
Tidak perlunya meminta persetujuan terhadap seorang gadis tetaplah
menjadi perdebatan, akan tetapi ketika melihat pada pendapat yang dianut
oleh madzhab al-Syāfi’i masih perlu adanya persetujuan seorang gadis
apabila perempuan tersebut sudah baligh, walaupun pada dasarnya orang tua
masih jauh lebih berhak daripada anaknya.12
Madzhab al-Syāfi’i mengkategorikannya menjadi tiga kelompok, yaitu:
pertama, gadis yang belum dewasa yang dimaksud adalah perempuan yang
belum haid dengan ketentuan bahwa seorang bapak boleh menikahkan
putrinya tanpa adanya persetujuan dengan syarat harus menguntungkan bagi
anaknya. Kedua, gadis dewasa adalah yang sudah haid dengan ketentuan
antara anak memiliki hak sama, namun hak tersebut masih lebih
diperuntukkan kepada bapaknya walaupun dianjurkan musyawarah antara
keduanya (anak dan bapak). Ketiga, janda yang dalam hal tersebut harus
mendapatkan persetujuan dari yang bersangkutan.
Madzhab al-Syāfi’i merupakan madzhab yang dijadikan sebagai
pedoman oleh Masyarakat Karangsokon dalam segala kegiatannya, akan
9
Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi Memahami Islam secara
Fenonenologis, Terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1996), h. 22-23.
10
Wawancara Pribadi dengan KH. Nor Kholis, Karangsokon 25 Desember 2016
11
Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan
Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 889
12
Lihat Abdul ar-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahibi al-Arba’ah, Juz IV (Beirut:
Dar al-Afkar, tt), h. 35
61
13
Wawancara pribadi dengan Hasibah, Karangsokon 27 Desember 2016
62
14
Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016
15
Imam al-Ghazali, Etika Perkawinan (Membentuk Keluarga Bahagia), terj. (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1993), h. 58
63
(formalitas) agar supaya tahu bahwa anak gadis tersebut sudah ada yang
melamar sehingga putrinya tidak terkejut ketika sudah sampai pada hari
pernikahan.
B. Makna Tradisi Penentuan hari baik (Nyareh Dhinah Begus) bagi
Masyarakat Payudan Karangsokon
Pernikahan merupakan sesuatu yang sangat sakral dan agung, sebab
dalam berbagai ritual yang dilakukan didalamnya semenjak dimulainya
lamaran hingga kemudian sampai pada acara ijab qabul memiliki makna
tersendiri. Hal ini dikarenakan pernikahan merupakan pangkal dari
pembentukan rumah tangga yang nantinya akan menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat.
Pelaksanaan dari pernikahan tersebut tentunya akan diupayakan dan
disiapkan sebaik mungkin. Salah satu yang menjadi bagian penting menurut
masyarakat Payudan Karangsokon adalah menentukan waktu yang baik dari
pelaksanaan acara pernikahan tersebut dengan keyakinan bahwa hal tersebut
akan menjadi penunjang keberlangsungan rumah tangganya.
Dalam pelaksanaan perkawinan yang perlu diperhitungkan adalah hari
dan tanggalnya pada saat pelaksanaan ijab kabul atau akad nikah. Sebab ijab
kabul merupakan acara inti dari perkawinan, sedangkan untuk pesta
perkawinan merupakan salah bentuk rasa syukur atas berlangsungnya akad
tersebut. Saat pelaksanaan akad pernikahan perlu diperhitungkan dengan
seksama, hal ini sebagaimana adat Jawa yaitu adanya perhitungan hari
kelahiran atau weton (Bahasa jawa) kedua belah pihak calon pengantin.18
Semenjak dahulu di berbagai daerah mempunyai anggapan bahwa hari
dan bulan tertentu terdapat waktu yang tidak baik untuk melangsungkan
sebuah acara, apalagi acara pernikahan. Kalau hari atau waktu yang dikatakan
tidak baik itu didasari dari keradaan ruhani kedua mempelai yang
bersangkutan.
Pada dasarnya, mencari waktu yang baik atau yang paling baik
bukanlah termasuk dari bagian sesuatu yang disyaratkan dalam setiap
melangsungkan akad nikah. Namun dalam tradisi yang terjadi di Masyarakat
18
Fahmi Kamal, Perkawinan Adat Jawa Dalam Kebudayaan Indonesia, Jurnal Khasanah
Ilmu Vol. 5 No. 2 September 2014, h. 40
65
19
Wawancara Pribadi dengan K Muzakki, Karangsokon 29 Desember 2016
20
Muhammad Fairûz Nadhir Amrullah, Terjemahan Qurratul ‘Uyun, (Surabaya: Pustaka
Media, t.t.) h. 44
21
Tabloid Genie, (Jakarta: Pranata Komunikasi Massa, 2006), (16 juli 2006), h. 39.
66
22
Hildred Geertz, Keluarga Jawa (jakarta: Grafiti Perss, 1985), h. 63
67
24
Di dalam kitab tersebut dijelaskan mengenai semua hari yang baik dalam pernikahan
yang dikhususkan dalam pembahasan tentang pemiliharan hari. Lihat Syaikh al-Jalîl Radî al-dîn
Abî Nashr al-Hasan bin al-Fadhl al-thabrasî, Makârîm al-Akhlâq (Quwait: Maktabat al-alfayni, t.t),
h.60-601
25
Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016
69
barat, timur atau pun selatan dari rumah laki-laki tersebut yang menurut
mereka kemudian akan mempermudah bagi seorang laki-laki untuk
mengucapkan kalimat ketika ijab dan qabul.
Berbeda dengan pendapat tersebut, Nor Kholis menuturkan bahwa
perhitungan hari baik yang digunakan oleh sebagian kyai adalah dengan
menggunakan hitungan tanggal, yaitu: 1. بسم هللا2. ألحمد هلل3. انا هللdan
seterusnya. Dia menuturkan bahwa pada dasarnya setiap hari itu adalah baik,
hanya saja orang masih percaya dengan sebutan hari yang baik sehingga
seakan-akan mengkonotasikan bahwa terdapat hari yang tidak baik.26
Berikut yang merupakan Bulan-bulan yang dianggap tidak baik: (1)
Muharrom (Sorah), yang diyakini bahwa jika untuk perkawinan wataknya:
bertengkar dan mengalami kerusakan (2) Rabi’ul Awwal (Mulod) kalau
untuk perkawinan diyakini: Mati salah satu (mati dalam arti luas) (3) Bulan
Romadhan (pasah) yang diyakini Celaka besar jika melakukan pernikahan
pada bulan ini. (4) Bulan Dzul Qa’dah (takepek) diyakini Banyak musuh dan
sakit-sakitan. (5) Bulan Safar (sappar) Kekurangan dan banyak hutang. Boleh
dilakukan (6) Bulan Robi’ul Akhir (Mandil Akher) selalu dicacat dan menjadi
pergunjingan yang tidak baik. Boleh dilakukan; (7) Bulan Jumadil Awal
(Mandiwel) sering kehilangan, kena tipu dan banyak musuh. Boleh
dilakukan; (8) Bulan Sawal (sabel) kekurangan dan banyak hutang. Boleh
dilakukan.27
Melihata dari uraian tersebut terdapat bulan-bulan yang tidak boleh dan
boleh untuk melaksanakan pernikahan, walaupun ketika dilihat masih
terdapat keterangan pada setiap bulannya. Akan tetapi walaupun terdapat
penjelasan yang kurang baik pada beberapa bulan yang dibolehkan menikah
itu menunjukkan bahwa tidak semua hari atau tanggal yang terdapat pada
bulan tersebut tidak baik, oleh karenanya diperlukan kematangan dalam
pemilihan waktunya,
26
Wawancara Pribadi dengan KH. Nor Kholis, Karangsokon 25 Desember 2016
27
Sirojuddin, dan Mohammad Bashri Asyari, Tradisi “ Nyare Dhina” Dalam Penentuan
Hari Pernikahan Perspektif Hukum Islam Di Desa Larangan Badung. Journal al-Hikmah Vol. 9
No. 1 Juni 2014
70
Dilihat dari perincian di atas, maka sisa empat bulan yang dianggap
baik. Namun yang dianggap sebagai bulan pernikahan oleh masyarakat
Karangsokon adalah bulan Jumadi Tsani (Rasol) dan Bulan Dzul Hijjah. Pada
dua bulan tersebut tadi, akan dijadikan pilihan utama ketika ada yang akan
melangsungkan pernikahan. Bahkan terkadang pada kedua bulan tersebut bisa
tiga perkawinan yang dilakukan dalam satu harinya, sebab bulan ini benar-
benar diyakini sebagai bulan yang baik.
Hal lain yang terkadang juga menjadi pertimbangan oleh Masyarakat
Karangsokon adalah melihat pada bulan pelaksanaan pernikahan orang tua
dari calon kedua mempelainya, artinya adalah tidak boleh melaksanakan
acara pernikahan pada bulan yang sama dengan bulan yang telah
dilangsungkan oleh orang tua mereka sebelumnya, walaupun dalam
perhitungan jawa menunjukkan bahwa waktu tersebut baik untuk
melangsungkan pernikahan. Sebab mereka meyakini bahwa hal tersebut akan
terjadi sesuatu yang tidak baik bagi calon kedua mempelai, seperti tidak
langgengnya pernikahan dan sebagainya.
Penentuan hari baik (Nyareh Dhinah Begus) menurut masyarakat
Karangsokon adalah sebagai upaya untuk menghindari sesuatu yang tidak
baik pada kemudian hari setelah pernikahan dilangsungkan dan tentunya hal
tersebut sebagai untuk mendapatka Barokah dari Allah Swt jika acara yang
dilangsungkan didasari dengan perhitungan yang baik dan matang. Sehingga
dari hal itu kemudian akan menambahkan keberkahan terhadap rumah tangga
anaknya.
Sebagian masyarakat mengatakan bahwa dengan adanya upaya
menentukan hari baik (nyareh dhina begus) ini menimbulkan dampak positif
yang dirasakan oleh masyarakat setempat, seperti halnya menghilangkan rasa
ragu, menciptakan kedamaian dan saling mengerti baik diantara orang tua
masing-masing serta bagi kedua pasangan pengantin.
Kholis mengatkan bahwa mentukan hari baik ini merupakan upaya
yang baik, karena semua sesuatu yang dianggap baik oleh orang Islam maka
di hadapana Allah Swt juga baik dan juga sebalinya. Ungkapan ini ia dasari
قَبييحا فَ هو يع ْن َد ي
للا قَبيْيح َُ ْ (sesuatu yang dilihat oleh orang Islam baik, maka
dihadapan Allah juga baik dan sesuatu yang dilihat jelek oleh orang Islam
maka dihadapan Allah juga jellek).28
Oleh karenanya dapat difahami bahwa pemaknaan masyarakat
Karangsokon terhadap penentuan hari baik ini adalah untuk menghilangkan
rasa cemas dan was-was bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak baik
kemudian harinya.
C. Pemahaman Masyarakat Terhadap Penggunaan Masjid Sebagai Tempat
Pelaksanaan Pernikahan
Upacara pernikahan merupakan acara lanjutan setelah menentukan hari
baik dan proses khitbah. Kegiatan ini merupakan bentuk rasa syukur
masyarakat atas pernikahan anaknya dan juga sebagai media untuk
memberitahukan bahwa anaknya sudah memiliki pasangan yang sah secara
hukum Islam, sebab jika tidak demikian dimungkinkan akan adanya
pembicaraan yang kurang baik terhadap anaknya ketika dilihat oleh seseorang
sedang bersamaan dengan seseorang yang berlainan jenis.
Upacara pernikahan lebih masyhur dengan sebutan Walimah al-‘Urs
yang memiliki arti peresmian pernikahan untuk memberitahukan kepada
orang banyak bahwa pasangan tersebut telah resmi menjadi suami istri
sekaligus sebagai bentuk rasa syukur keluarga kedua belah pihak atas
berlangsungnya pernikahan putra-putrinya.29
Dalam pelaksanaannya, calon suami tidak akan lansgsung disandingkan
dengan calon istrinya sebagaimana kebiasaan sebagian masyarakat yang lain.
Keduanya akan dipertemukan setelah laki-laki tersebut selesai mengucapkan
ijab dan qabul.
Kholis mengatatakan bahwa Walimah yang dipahami masyarakat
Karangsokon adalah merupakan acara tasyakkuran dan do’a atas pernikahan
yang dilangsungkan, sehingga pada acara tersebut mengundang para ulama,
asatidz, kerabat serta tetangga untuk ikut mendo’akan mempelai berdua agar
28
Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016
29
Abdul Aziz Dahlan (eds), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Houve,
1996), h. 1917.
72
30
Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016
73
31
Ridwan al-Makssary dan Ahmad Gaus Af, Benih-Benih Islam Radikal di Masjid (Studi
Kasus di Jakarta dan Solo), (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h.xxi-xxii pada kata
pengantar.
32
Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016
33
Drs. Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka
Antara, 1983) h. 276
74
manusia kepada Allah Swt, sang pencipta dan penguasa seluruh makhluk.
Karena itu, sekali lagi, setiap perkara diluar kepentingan untuk tunduk kepada
Allah Swt diletakkan di luar masjid, hal itu hanya semata-mata untuk
menghormati masjid sebagai tempat yang suci.
Upacara pernikahan yang terjadi pada masyarakat Karangsokon
memiliki dua ciri, yaitu di rumah mempelai wanita dan dimasjid. Pelaksanaan
pernikahan di rumah mempelai wanita itu dilaksanakan jika pada rumah
wanita tersebut jauh dari Masjid atau bahkan di rumahnya tidak memiliki
Mushalla yang pada umumnya kepala Keluarga memiliki Mushalla untuk
dijadian tempat beribadah bersama dengan tetangga yang berada disekitarnya.
Akan tetapi jika keluarga dilingkungan keluarga mempelai perempuan
terdapat Mushalla atau Masjid, maka upacara pernikahan akan dilangsungkan
pada tempat tersebut.34
Ahmad syafi’I menambahkan bahwa kebiasaan yang terjadi adalah
pelaksanaan acara tersebut dilakukan di Masjid atau Mushalla sebagaimana
yang terjadi pada masa Rasulullah dahulu. Faktor lain yang melatar belakangi
pelaksanaan tersebut adalah budaya nenek moyang yang sudah diwariskan
pada generasinya.
Pelaksanaan pernikahan di Masjid atau Mushalla tentunya akan lebih
meminimalisir atas biaya yang harus dikeluarkan untuk melangsungkannya,
tentunya berbeda dengan gedung yang masih membutuhkan biaya sewa yang
terkadang tidak sedikit serta juga akan mengurangi pada kesempurnaan
(kasampornaan panganggep) pada tamu yang sudah diundang.35
Tempat merupakan saksi bisu atas berlangsungnya pernikahan, serta
tempat juga diharapkan dapat memberikan keberkahan atas terlaksananya
acara tersebut yang tentunya jika bersamaan seizin Allah Swt. Oleh
karenanya acara tersebut lebih identic dilangsungkan di Masjid atau Mushalla
dengan harapan keberkahan tempat tersebut sebagai tempat yang suci dapat
mengalir pula pada kedua mempelai.
Nor kholis mengatakan bahwa kebiasaan masyarakat melangsungkan
pernikahan di Masjid merupakan media untuk mengharapkan sebuah
34
Wawancara Pribadi dengan H. Hasan Hamid, Karangsokon 28 Desember 2016
35
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafi’i, Karangsokon 30 Desember 2016
75
Artinya:
Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Umumkan pernikahan,
adakan akad nikah di masjid dan meriahkan dengan memukul rebana.”
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa menurutnya tempat itu sangat baik,
karena dengan pemilihan tempat yang baik maka tempat itu dapat
mengingatkan antara kedua pasangan untuk kemudian saling mengingatkan
dalam setiap keadaan walaupun terkadang mereka belum saling mengenal dan
tahu satu sama lain.
Kebiasaan sebagian warga dalam pembacaan Shalawat diba’ ini
biasanya juga dibarengi dengan pemukulan hadrah yang khusus mereka
undang untuk meramaikan dan melantunkan tabuhan rebananya. Hal ini
dirasa menurut warga lebih nyaman dan dirasa akan menjadikan nuansa
upacara pernikahan yang lebih baik dan nyaman.37
Ahmad Syafi’i menambahkan pada masa terdahulu masjid dijadikan
sebagai tempat untuk pengucapan janji, seperti halnya pernikahan yang
diyakini bahwa dengan pengikraran di masjid akan menambahkan
pengamalan terhadap janji. Baik bagi orang yang mengucapkan janji itu
ataupun terhadap seseorang yang turut menjadi saksi dalam ikrar tersebut.38
36
Muhammad Aburrahman bin Abdurrahim, Tuhfa al-Ahwadzi bi Syarhi Jāmi’ at-
Tirmidzi (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘arabi, 1995), Juz 7, h.210
37
Wawancara Pribadi dengan KH. Nor Kholis, Karangsokon 25 Desember 2016
38
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafi’i, Karangsokon 30 Desember 2016
76
39
Wawancara Pribadi dengan H. Hasan Hamid, Karangsokon 28 Desember 2016
77
ketika seorang mempelai mendpatkan barokah dari guru dan majlis acara
maka tentunya orang tua akan merasakan kepuasan batin tersendiri.40
Penghormatan masyarakat terhadap guru memang sangat kuat, sebab
masyarakat yang notabene anaknya adalah tamatan pesantren kemudian
mengamalkannya sesuai dengan yang telah diajarkan ketika masih di
Pesantren. Dimana menghormati seorang guru diposisikan sebagai bagian
terpenting dalam tingkah laku kesehariannya dengan motifasi bahwa
“kesopanan lebih tinggi nilainya dari pada kecerdasan”.
Sebagaimaa disebutkan di atas bahwa selain di mushalla pernikahan
dilakukan pada rumah mempelai perempuan. Hal ini sudah masyhur
dikalangan masyarakat, sebab pada waktu pernikahan juga disertai dengan
beberapa seserahan yang memang sudah terbiasa disediakan atau dihaturkan
pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
Kebiasaan yang lain terkadang sebagian mereka membawa
seserahannya pada hari sebelum pernikahan, seperti hal-hal beberapa
keperluan rumah tangga. Sedangkan pada waktu pernikahan mebawa barang-
barang yang dikhususkan untuk mempelai perempuan serta beberapa
seserahan lainnya yang memang lumrah dibawa oleh pihak laki-laki.
40
Wawancara Pribadi dengan Rahemah, Karangsokon 31 Desember 2016
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan
oleh penulis di atas, maka penulis dapat mearik kesimpulan dari tradisi
pernikahan yang dilakukan di Masyarakat Desa Payudan Karangsokon
Guluk-Guluk Sumenep sebagai berikut:
terhadap hadits ini tidaklah sama persis, yakni bahwa tidak ada penberitahuan
kepada anaknya. Karena menurut mereka orang tua berhak memilih apa yang
terbaik untuk putrinya kelak, serta orang tua jauh lebih tahu apakah
pasangannya itu baik atau tidak. Bukan hanya tanpa meminta persetujuan,
melainkan hal tersebut seperti sebagai perjodohan terhadap putrinya yang
ketika dipinang bahkan tidak tahu atau bahkan sebelumnya tidak pernah kenal
dengan calon pasangannya itu.
Musyawarah yang dilakukan antara orang tua dan anaknya ini hanya
sebagai suatu bentuk pemberitahuan saja, tanpa memerlukan respon atau
jawaban dari anaknya berkaitan dengan proses khitbah yang dilakukan lelaki
tesebut. Artinya adalah bahwa persetujuan yang dimaksud hanya dijadikan
sebagai formalitas saja.
78
79
B. Saran-saran
Penelitian tentang pernikahan ini hanya penulis fokuskan terhadap tiga
kegiatan yang merupakan bagian dari pernikahan. Penelitian pada tiga
kegiatan tersebut hanya penulis kaji dari sudut pandang yang tidak begitu
dalam serta hanya fokus pada penggunaan metode living hadits yang
notebenenya menggunakan pendekatan field research saja.
Berangkat dari hal tersebut penulis sangat menyarankan kepada para
pembaca untuk kemudian melakukan penelitian terhadap tradisi-tradisi yang
terjadi di Masyarakat Payudan Karangsokon tentunya dengan menggunakan
pendekatan dan metode yang sekiranya mampu untuk menjawab persoalan-
persoalan tersebut. seperti halnya apakah terdapat pengaruh yang signifikan
80
81
82
DOKUMENTASI
1. Pernikahan di Mushallah
2. Pemukulan Rebana