Anda di halaman 1dari 105

TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN

KARANGSOKON GULUK-GULUK SUMENEP


(KAJIAN LIVING HADIS)

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh:
Ahmad Mahfudz
1112034000032

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
ABSTRAK
Ahmad Mahfudz
Tradisi Pernikahan di Masyarakat Payudan Karangsokon Guluk-Guluk
Sumenep (Kajian Living Hadis)
Pernikahan merupakan suatu cara yang dipilih dalam menyatukan dua
pasangan yang berbeda jenis, sehingga kemudian akan menjadi media terhadap
perkembangan manusia serta menghindari dari hawa nafsu. Sedangkan hadis
merupakan suatu bagian yang penting bagi masyarakat karena didalamnya
terungkap tentang berbagai tradisi pada masa Nabi. Salah satu tradisi pernikahan
yang mengakar di Masyarakat Karangsokon adalah tentang persetujuan
pernikahan yang kemudian seakan-akan mengambil hak berbicara dari seoarang
anak dalam menentukan pasangannya. Serta adanya sebuah upaya untuk
menentukan hari baik (Nyareh Dhinah Begus) setiap akan melangsungkan
pernikahan putrinya bahkan Masjid/Mushalla yang diyakini sebagai tempat suci
juga menjadi bagian untuk tempat berlangsunya pernikahan.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode Living Hadis yang
menggunakan pendekatan sosiologi karena yang menjadi obyek kajiannya adalah
masyarakat, kemudian untuk lebih mendukung penelitian ini maka penulis
menggunakan metode pengumpulan data yaitu dengan metode interview, metode
observasi dan metode dokumentasi. Data yang telah terkumpul kemudian
dideskripsikan secara alami dan dianalisis.
Setelah penulis melakukan penelitian, maka penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa dalam pelaksanaan pernikahan masyarakat Karangsokon
Guluk-Guluk Sumenep masih berdasar pada kepercayaan leluhur yang kemudian
diimbangai dengan dasar Islam. Seperti halnya dalam persetujuan pernikahan,
masyarakat merujuk terhadap hadis Nabi. Walaupun dalam hal tersebut tidak
sesuai dengan yang dianjurkan dalam pengamalannya untuk meminta persetujuan.
Sebab yang terjadi di Masyarakat adalah tidak meminta persetujuan, melainkan
hanya memberitahukan saja (formalitas) tanpa mengindahkan pada jawaban.
Sedangkan pada acara yang lain tidak demikian seperti halnya penentuan hari baik
(Nyareh Dhinah Begus) dalam pelaksanaan pernikahan, dimana acara akad nikah
dengan resepsi pernikahan dilakukan pada waktu yang sama. Kebiasaan
masyarakat Karangsokon ini dimaknai sebagai upaya menghilangkan rasa cemas
dan dapat memberikan keberkahan kepada kedua mempelai. Begitu pula dengan
mushalla yang biasa dijadikan sebagai tempat pernikahan, didasari hadis nabi
yang menganjurkan untuk mengumumkan pernikahan di Masjid/Mushalla.
Berdasar hal itu pula diharapkana kedua menpelai akan mendapatkan keberkahan
dari tempat yang oleh umat Islam dianggap sebagai tempat yang suci, sehingga
kemudian akan menjadikan keluarga yang Sakinah Mawaddah Warahmah.
Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla

iv
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt. Tuhan yang maha membolak
balikkan hati. Dialah yang maha pengasih dan penyayang kepada seluruh
makhluk yang ada di muka bumi. Hanya Dialah yang maha pemberi rahmat dan
maha menentukan atas segala seuatu yang terjadi di alam semesta termasuk
dengan selesainya penulisan skripsi ini. Salawatullah wa salamuhu saya haturkan
kepada Nabi Muhammad Saw. Karena berkat beliaulah saya masih bisa
menikmati adanya agama Islam.

Dalam penyelesaian tulisan ini tentunya juga disertai dengan peran serta
orang lain, seperti halnya keluarga, dosen, kerabat serta beberapa teman yang
selalu membantu baik dengan menyumbangkan ide dan memberikan motivasi
kepada saya. Oleh karenanya, saya mengucapkan terimakasih yang setinggi-
tingginya terhadap segala pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini,
diantaranya:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
Serta Terimakasih pula kepada Dra. Banun Binaningrum, M.Pd selaku
Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
4. Terimakasih kepada segenap dosen serta seluruh civitas akademika yang
berada di lingkungan Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan dukungan
dengan beberapa fasilitas yang disiapkan sehingga memudahkan penulis
ketika sedang membutuhkan sesuatu.
5. Dr. Muhammad Zuhdi Zaini, M, Ag. Beliau yang telah memberikan waktu
luangnya untuk bimbingan, memberikan saran dan kritikan pada penelitian
saya secara teliti demi maksimalnya penulisan skripsi ini. Semua bimbingan
yang telah beliau berikan sangat membantu bagi saya dalam penulisan ini.
6. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada bapak Eva Nugraha, MA, selaku
dosen pembimbing akademik yang juga ikut berpartisipasi menyumbangkan
ide dan saran demi kelancaran skripsi ini.

v
7. Abah Ahmad Syafi’i, Lc dan Umik Thayyibah S.Pd.I serta kakak (Ahmad
Mas Udi, S.Si) dan adik-adik (Alfiyaturrahmaniyah dan Zahraa Zumaikaa)
yang telah memberikan support kepada saya, baik secara materi ataupun
nonmateri yang terkadang membuat saya menjadi terpacu untuk segera
menyelesaikan kuliah. Serta, merekalah yang selalu mengasuh, mendidik dan
juga selalu mendoakan dengan ikhlas dan penuh dengan kasih sayang kepada
saya.
8. Terimakasih juga kepada istri saya (Nailatur Riska Amaliya) yang sudah
menemani dan membatnu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Serta tak
luput juga teruntuk anak saya (Fathimah Naura Qanita) yang juga membantu
dengan tingkah mungilnya.
9. Seluruh teman seperjuangan Prodi Tafsir Hadis angkatan 2012 baik dari kelas
A samapai dengan E yang terkadang juga menjadi teman diskusi,
memberikan saran serta mendengarkan keluh kesah dan kegalauan dalam
pembuatan skripsi ini mulai dari awal hingga sampai selesai.
10. Seluruh teman-teman kelompok KKN KREASI 2015, Fadhil, Atang, Anas,
Irfan, Riska, Harti, Mala, Ina, Dian, Ajip, Salma, dan Nuzroh yang telah
memanas-manasi saya dengan foto wisuda sering dipajang menandakan
bahwa mereka sudah lebih dulu lulus.
11. Tan-Taretan IMABA DPW Jabodetabek yang sebelumnya telah menampung
saya dan juga selalu menjadi teman diskusi pada setiap waktu ketika penulis
sudah mulai kebingunan untuk melanjutkan penelitian ini.
Tidak semua nama yang sudah berjasa dapat saya sebutkan disini, disebabkan
keterbatasan ruang. Oleh karenanya, saya ucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah terlibat dalam penulisan skripsi ini . Semoga Allah Swt.
membalas dan mencatat segala bantuannya sebagai Amal perbuatan yang baik.
Amin.

Ciputat, 30 Maret 2017

Ahmad Mahfudz

vi
PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman

pada buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam buku Pedoman

Akademik Program Strata 1 tahun 2013-2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

a. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan


‫ا‬ tidak dilambangkan

‫ب‬ b be

‫ت‬ t te

‫ث‬ ts te dan es

‫ج‬ j je

‫ح‬ h ha dengan garis di bawah

‫خ‬ kh ka dan ha

‫د‬ d de

‫ذ‬ dz de dan zet

‫ر‬ r er

‫ز‬ z zet

‫س‬ s es

‫ش‬ sy es dan ye

‫ص‬ s es dengan garis di bawah

‫ض‬ d de dengan garis di bawah

‫ط‬ t te dengan garis di bawah

‫ظ‬ z zet dengan garis di bawah

‫ع‬ ´ koma terbalik di atas hadap kanan

‫غ‬ gh ge dan ha

‫ف‬ f ef

‫ق‬ q ki

‫ك‬ k ka

‫ل‬ l el

‫م‬ m em

vii
‫ن‬ n en

‫و‬ w we

‫ه‬ h ha

‫ء‬ apostrof

‫ي‬ y ye
b. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia,

terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau

diftong. Untuk vocal tunggal, ketentuan alihaksaranya adalah sebagai

berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

َ a fathah

َ i kasrah

َ u dammah

Ada pun untuk vokal rangkap, ketentuan alihaksaranya adalah

sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫َي‬ ai a dan i

‫َو‬ au a dan u

Vokal Panjang

Ketentuan alihaksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa

Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

‫ىا‬ â a dengantopi di atas

‫ىي‬ î i dengantopi di atas

viii
‫ىُو‬ û u dengantopi di atas

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan

dengan huruf, yaitu ‫ال‬, dialihaksarakan menjadi hurup /l/, baik diikuti

huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-

rijâl, al-diwân bukan ad-diwân.

Syaddah(Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab

dilambangkan dengan sebuah tanda (ّ), dalam alihaksara ini

dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang

diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang

menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh

huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ‫ الضرورة‬tidak ditulis ad-darûrah

melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.

Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alihaksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat

pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan

menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku

jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2).

Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka

huruf tersebut dialihaksarakan menja dihuruf /t/ (lihat contoh 3).

Contoh:

No TandaVokal Latin Keterangan

1 ‫طريقة‬ tarîqah

ix
2 ‫اجلامعة اإلسالميّة‬ al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah

3 ‫وحدة الوجود‬ Wahdat al-wujûd

Huruf Kapital

Meski pun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,

dalam alihaksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan

mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan

(EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat,

huruf awal, nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting

diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang

ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan

huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan

Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).

Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat

diterapkan dalam alihaksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak

miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu

ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alihaksaranya.

Demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang

berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan

meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis

Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin

al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânirî.

x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL …………………………………………………..
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ……………………........... i
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIAN UJIAN ….................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ..................................................... ......................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................... vii
DAFTAR ISI .............................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Permasalahan .................................................................................... 10
1. Identifikasi Masalah ................................................................... 10
2. Batasan Masalah ......................................................................... 11
3. Rumusan Masalah ...................................................................... 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 11
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 12
E. Metododologi Penelitian ................................................................... 16
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 20
BAB II GAMBARAN UMUM DESA PAYUDAN KARANGSOKON
GULUK-GULUK SUMENEP
A. Sejarah Desa Payudan Karangsokon ……………………………… 23
B. Letak Geografis Desa Payudan Karangsokon .................................. 24
C. Demografi Desa Payudan Karangsokon ........................................... 25
1. Pendidikan Masyarakat ............................................................... 26
2. Sosial budaya Masyarakat ........................................................... 27
3. Ekonomi Masyarakat .................................................................. 28
4. Keberagaman Masyarakat ........................................................... 31
BAB III PERNIKAHAN DI MASYARAKAT PAYUDAN
KARANGSOKON GULUK-GULUK SUMENEP
A. Sekilas Tentang Living Hadis …………………………………… 34

xi
B. Sekilas Tentang Pernikahan ............................................................. 36
C. Prosesi Pernikahan ........................................................................... 39
1. Mintah (Melamar) Perempuan ................................................... 39
a. Pengertian Khithbah ............................................................ 39
b. Pendapat Para Ulama Tentang Persetujuan Pernikahan ...... 40
2. Penentuan Waktu Pernikahan (Nyareh Dhinah Begus) ............. 47
a. Perhitungan Jawa ................................................................. 47
b. Hari Baik Dalam Islam ......................................................... 49
3. Pelaksanaan Pernikahan ............................................................. 51
a. Pengertian Walimah al-Urs .................................................. 51
b. Dasar Hukum Walimah al-Urs ............................................. 53
BAB IV ANALISIS DAN PEMAHAMAN MASYARAKAT
TENTANG PERNIKAHAN DI DESA PAYUDAN
KARANGSOKON
A. Pemahaman Masyarakat Terhadap Persetujuan Pernikahan ........... 57
B. Makna Penentuan Waktu Pernikahan (Nyareh Dhinah Begus)
Menggunakan Perhitungan Jawa .................................................... 64
C. Pemahaman Masyarakat Terhadap Masjid Sebagai Tempat
Pelaksanaan Pernikahan .................................................................. 71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 78
B. Saran .................................................................................................. 79
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 81
LAMPIRAN-LAMPIRAN

xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tradisi (bahasa latin: traditio, artinya diteruskan) secara bahasa
bermakna adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih
dijalankan masyarakat, baik yang menjadi adat kebiasaan atau yang
disesuaikan (peleburan) dengan ritual adat atau agama.1 Biasanya tradisi ini
berlaku secara turun temurun baik dari informasi lisan atau informasi tulisan
yang hal tersebut kemudian dapat tetap tergambar pada generasi berikutnya.
Manusia tidak dapat dilepaskan dari tradisi dan kebudayaan. Mulai dari
Cara berpakaian, cara makan, atau cara berbicara sebuah masyarakat serta
penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang
paling baik dan benar juga merupakan bagian dari tradisi dan kebudayaan
masyarakat tersebut.2
Sudah semestinya, masyarakat Islam berprilaku sebagaimana ajaran-
ajaran yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis. Namun fenomena yang ada
tidak selalu sama dengan apa yang semestinya dipraktikkan dan diamalkan
dalam kehidupan. Ada juga tradisi atau kebiasaan masyarakat Islam yang
dianggap menyimpang, tetapi masih dapat dilacak landasan normatifnya.
Misalnya seperti masalah peret kandung. Kita temui bahwa ada disebagian
daerah ketika kehamilan seorang perempuan memasuki bulan ke empat atau
ke tujuh diadakan upacara peret kandung, seperti halnya dimandikan dengan
air kembang, dipijat dan dibacakan beberapa surah al-Qur’an .3 Atau masalah
lain adalah tentang khitan perempuan. Tradisi khitan telah ditemukan jauh
sebelum Islam datang. Berdasarkan penelitian Ahmad Ramali yang dikutip
oleh M. Alfatih Suryadilaga menunjukkan bahwa khitan sudah pernah
dilakukan masyarakat pengembala di Afrika dan Asia Barat Daya, suku Semit
(Yahudi dan Arab) dan Hamit. Mereka yang dikhitan tidak hanya laki-laki,

1
KBBI
2
Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia (Jakarta: UI Press, 1990), h. 371-372
3
Rafi’uddin, Pembacaan Ayat-Ayat al-Qur’an Dalam Upacara Peret Kandung (Studi
Living Qur’an di Desa Poteran Kec. Talango Kab. Sumenep Madura), (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2013)

1
2

tetapi juga kaum perempuan, khususnya kebanyakan dilakukan suku negro di


Afrika Selatan dan Timur.4
Pada sisi yang lain, masyarakat Islam juga mengalami proses interaksi
dengan sunnah-sunnah Rasulullah Saw yang dibukukan dalam kitab-kitab
hadis, tarikh, sirah Nabawiyyah, ataupun yang lainnya. Pengertian sunnah5
dalam hal ini disamakan dengah hadis, yakni segala sesuatu yang disandarkan
pada Nabi Saw baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan), physic
appearance (sifat fisik) maupun sifat akhlak/karakternya.6 Proses interaksi
tersebut menghasilkan sebuah formulasi yang dinamakan dengan living hadis,
yakni proses revaluasi, reinterpretasi dan reaktualisasi atas teks-teks yang
disandarkan kepada Nabi Saw yang kemudian diwujudkan dalam tindakan
nyata seseorang atau sekolompok orang. Berdasarkan bentuknya living hadis
dapat dibedakan menjadi tiga macam yakni living hadis tulisan,7 living hadis
lisan8, dan living hadis praktek.9

4
Alfatih Suryadilaga, Model-Model Living Hadis, dalam Syahiron Syamsuddin (ed),
Mitodologi Penelitian Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2007), h. 123-124
5
Fazlur Rahman mengkonsepsikan Sunnah sebagai konsep perilaku, atau menurutnya,
Sunnah tidak sekedar hukum tingkah laku, tapi merupakan aturan-aturan tingkah moral yang
bersifat normatif, keharusan moral adalah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari pengertian
konsep sunnah. Sunnah berarti “tingkah laku yang merupakan teladan” atau menjadi konsep
normatif, dan selanjutnya. Sunnah berarti jalan yang ditempuh; Sunnah adalah jalan lurus tanpa
ada pembelokan ke kanan atau kiri yang berarti memberi makna sebagai “penengah di antara hal-
hal ekstrim” atau “jalan tengah” lihat Zuhri. Studi Islam dalam Tafsir Sosial; Tela’ah Sosial
Gagasan KeIslaman Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin
dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2008), h. 27
6
Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), h. 26
7
Tradisi tulis menulis sangat penting dalam perkembangan living hadis. Tulis menulis
tidak hanya sebatas sebagai bentuk ungkapan yang sering terpampang dalam tempat-tempat yang
strategis seperti bus, masjid, sekolahan, pesantren, dan fasilitas umum lainnya. Ada juga tradisi
yang kuat dalam khazanah khas Indonesia yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad saw.
sebagaimana terpampang dalam berbagai tempat tersebut. Tidak semua yang terpampang berasal
dari hadis Nabi Muhammad saw atau diantaranya ada yang bukan hadis namun di masyarakat
dianggap sebagai hadis. Seperti kebersihan itu sebagian dari iman (‫ )اَلنَظَافَةَ َمَنَ َالَ َْيا َْن‬yang bertujuan
untuk menciptakan suasana kenyamanan dan kebersihan lingkungan, mencintai negara sebagaian
dari iman (َ‫بَالْوط ْنَمنَال ْيا ْن‬
ُّ ‫ )ح‬yang bertujuan untuk membangkitkan nasionalisme dan sebagainya.
8
Tradisi lisan dalam living hadis sebenarnya muncul seiring dengan praktik yang
dijalankan oleh umat Islam. Seperti bacaan dalam melaksanakan shalat shubuh di hari jum’at. Di
kalangan pesantren yang kiayinya hafiz al-Qur’an, shalat shubuh hari jum’at relatif panjang karena
di dalam shalat tersebut dibaca dua ayat yang panjag yaitu hāmim al-Sājadah dan al-Insān.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. ‫َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَِِب َش ْيبَةَ َحدَّثَنَا َع ْب َدةُ بْ ُن ُسلَْي ََا ََ َع ْن ُسْيَا ََ َع ْن ََُُّو ِِ بْ ِن‬
3

Konsep Living Hadis yang diutarakan oleh M. Alfatih merupakan


pengembangan dari Living Sunnah Fazlur Rahman. Kedua konsep tersebut
memiliki perangkat metodologi yang berbeda. Living Sunnah menggunakan
pendekatan historis dalam menelusuri jejak tradisi Nabi yang tenggelam,
implikasi dari hadis yang diverbalisasikan.10 Sedangkan Living Hadis lebih
bernuansa fenomenologi dalam mengungkap tradisi dan budaya yang diklaim
bersumber dari hadis Nabi. Kedua perangkat tersebut beroperasi pada wilayah
dan cakupan yang berbeda.11
Kajian living hadis semakin menarik seiring dengan meningkatnya
kesadaran masyarakat Islam terhadap ajaran agamanya. Kita banyak
menjumpai kegiatan-kegiatan keagamaan, baik ditempat-tempat tertentu
seperti di masjid maupun media cetak dan elektronik. Hal yang menarik,
misalnya berkaitan tentang pernikahan yang terjadi di Madura yaitu, bahwa
terdapat sesuatu pengamalan berbeda terhadap hadis Nabi yang hal tersebut
merupakan rujukan otoritatif kedua setelah al-Qur’an. Seperti halnya
pemberitahuan pinangan yang terkesan hanya sebagai bentuk pemberitahuan
formalitas saja, hal ini berbeda dengan penentuan waktu pernikahan dan
pelaksanaan pernikahan.

ِ ِ ِ َّ ‫َِّب صلَّى‬ ِ ‫ني َعن س ِع‬ ِ ِ ٍِ


َ ِِ ُ‫اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ََا ََ ََْ َرأ‬
ُ ‫ص ََة الْ َْ ْْ ِر ََ ْوََ ا ُْْ َُ َعة ام تَ ْن ِز‬
‫َل‬ َ َّ ِ‫ََ الن‬ َّ ‫اس أ‬
ٍ َّ‫يد بْ ِن ُجبَ ٍْْي َع ْن ابْ ِن َعب‬ َ ْ ِ ‫َراشد َع ْن ُم ْسل ٍم الْبَط‬
.‫ورةَ ا ُْْ َُ َع ِة‬ ِ ِ ِِ ُ‫اَّلل َعلَي ِه وسلَّم ََا ََ َ ْرأ‬
َ ‫ص ََة ا ُْْ َُ َعة ُس‬َ ََ َ َ َ ْ َُّ ‫صلى‬
َّ َ ‫َِّب‬ َّ ‫ني ِم ْن‬
َّ ‫الد ْه ِر َوأ‬
َّ ِ‫ََ الن‬ ٌ ‫اَ ح‬
ِ ِ ‫اْلنْس‬ ِ َّ
َ ِْ ‫الس ْْ َدة َو َه ْل أَتَى َعلَى‬
9
Tadisi praktek dalam living hadis ini cenderung banyak dilakukan oleh umat Islam. Hal
ini didasarkan atas sosok Nabi Muhammad saw. dalam menyampaikan ajaran Islam. Salah satu
persoalan yang ada adalah masalah ibadah shalat. Di masyarakat Lombok NTB mengisyaratkan
adanya pemahaman shalat wetu telu dan wetu lima. Padahal dalam hadis Nabi Muhammad saw.
contoh yang dilakukan adalah lima waktu. Lihat Muhammad Alfatih Suryadilaga, Model-Model
Living Hadis, dalam Syahiron Syamsuddin (ed), Mitodologi Penelitian Qur’an dan Hadis
(Yogyakarta: TERAS, 2007), h. 116
10
Menurutnya hadis merupakan verbal tradition, sedangkan Sunnah adalah practical
tradition atau silent tradition. Istilah yang berkembang dalam kajian ini adalah Sunnah dahulu
baru kemudian menjadi istilah hadis. Hadis bersumber dan berkembang dalam tradisi Rasulullah
Saw serta menyebar secara luas seiring dengan menyebarnya Islam. Teladan Nabi Muhammad
Saw telah diaktualisasikan oleh sahabat dan tabi’in menjadi praktek keseharian mereka dengan
menyebutnya sebagai the living tradition atau Sunnah yang hidup. Lihat Fazlur Rahman, Islam
dan Islamic Methodology un History (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965)
11
Living hadis lebih didasarkan atas adanya tradisi yang hidup dimasyarkat yang
disandarkan kepada hadis Nabi Muhammad Saw. Penyandaran terhadap hadis Nabi tersebut bisa
saja merupakan bentuk pembakuan tradisi menjadi suatu yang tertulis bukan menjadi alasan tidak
adanya tradisi yang hidup didasarkan atas hadis. Lihat Muhammad Alfatih Suryadilaga, Model-
Model Living Hadis, dalam Syahiron Syamsuddin (ed), h. 113
4

Pernikahan merupakan sunnatullah yang mengikat batin antara seorang


pria dan wanita yang ditandai dengan akad yang pada umumnya berasal dari
keluarga yang berbeda, terutama berasal dari keluarga asalnya, kemudian
mengikatkan dirinya menjadi satu kesatuan dalam ikatan keluarga12 dan
kemudian menciptakan suasana berbeda bagi keduanya, yaitu beralih
kerisauan laki-laki dan perempuan menjadi ketentraman dan sakinah.13
Sebagaimana Firman Allah Swt dalam Surah an-Nisa’ ayat 1:

‫ث ِم ْن ُه ََا‬
َّ َ‫س َو ِح َد ٍة َو َخلَ َق ِم ْن َها َزْو َج َها َوب‬
ٍ َْ‫اس اتَّ ُْوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذى َخلَ َْ ُك ْم ِم ْن ن‬
ُ َّ‫ََأََ َها الن‬
‫ اِ ََّ للاَ ََا ََ َعلَْي ُك ْم َرقِ ْيبًا‬،َ‫اءلُْو ََ بِ ِه َوالَ ْر َح ْا‬
َ‫س‬
ِ َّ
َ َ‫ َواتَّ ُْ ْوا للاَ الذى ت‬،‫اء‬
ً‫س‬
ِ ِ
َ ‫ِر َج ًال ََث ْي ًرا َون‬
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-
laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang
dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,
dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu (QS. An Nisa ayat 1)14
Dalam menikahkan putrinya Nabi Saw. Memiliki kebiasaan tertentu, yakni
apabila akan menikahkan putri-putrinya terlebih dahulu beliau memberi tahu
mereka. Sebagaimana diriwayatkan dalam Musnad ibn Hanbal, Rasulullah saw.
berkata kepada putrinya: "Sesungguhnya si Fulan menyebut-nyebut namamu.
Kemudian beliau melihat reaksi putrinya itu. Jika dia diam, itu tandanya setuju
dan pernikahan dapat segera dilangsungkan. Namun, jika putrinya menutup tirai
di kamar, itu tandanya tidak suka dan Rasul pun tidak memaksakan
kehendaknya".15
Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa salah satu sahabat bertanya
tentang tanda setujunya seorang perawan:

12
Direktoral Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu
Fiqih Jilid II (Jakarta, 1985), h 49
13
Hal ini senada dengan Firman Allah Swt dalam Surah ar-Rum ayat 21 yang berbunyi:
ََ ‫ت لَِْ ْوٍَ ََتَ َْ َّك ُرْو‬
ٍ ََ‫ك َل‬ِ ِ ِ ِ ‫ وِمن ءاَتِ ِه اَ َْ َخلَ َق لَ ُكم ِمن اَنْ ُْ ِس ُكم اَ ْزو‬yang artinya: “Dan
َ َ ‫اجا لتَ ْس ُكنُ ْوا الَْي َها َو َج َع َل بَ ْي نَ ُك ْم َم َو َّد ًة َوَر ْحَةً ا ََّ ِف ََل‬
ً َ ْ ْ ْ ََ ْ َ
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, suapaya kamu cenderung merasa tenteram kepadanya, dan jadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir (QS. Ar-Rum (30): 21)
14
Departemen Agama, Al Qur’an dan Terjemah (Semarang: PT Karya Toha Putra,
1971), h. 6
15
Taufiq Abu A'lam al-Mishri, Fathimah al-Zahrah (Bandung: Pustaka Pelita, 1999), h.
144
5

َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬


‫ َلتُ ْن َك ُح الَِيُ َح َّّت‬:ِ‫ا‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ َِّ‫ أَ ََّ الن‬،‫َع ْن اَِِب َسلَ ََةَ اَ ََّ اَبَا ُه َرَْ َرَة َح َّدثَ ُه ْم‬
َ ‫ِب‬

‫ت‬ َ َ‫ ق‬،‫ف اِ َْنُ َها‬


ُ ‫اِ اَ َْ تَ ْس ُك‬ َِّ ِ‫و‬
َ ‫ َوََ ْي‬،‫اَّلل‬ َ ‫ قَالُوا ََا َر ُس‬،ََ ََْ‫ َوَلتُ ْن ِك ُح الْبِ ْك ُر َح َّّت تُ ْستَأ‬،‫تُ ْستَأِْم َر‬
Artinya: Dari Abu Salamah, sesungguhnya Abu Hurairah menceritakan kepada
mereka, sesungguhnya Nabi Saw bersabda: “perempuan janda tidak
dinikahkan hingga diajak musyawarah, dan perempuan perawan tidak
dinikahkan hingga dimintai izin” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah,
bagaimana izinnya?” Beliau bersabda, “Dia Diam”.16
Kebiasaan Nabi Saw meminta persetujuan anak gadisnya dalam menikahkan
putrinya merupakan hal baru di kalangan masyarakat Arab. Dalam tatanan
masyarakat Arab ketika itu, perempuan dianggap tidak memiliki dirinya sendiri,
karena itu seluruh keputusan yang berkaitan dengan dirinya termasuk menentukan
pasangan hidupnya tidak perlu dibicarakan dengannya.
Hadis di atas memberikan arahan atau rekomendasi bagi seorang wali untuk
meminta persetujuan dari calon mempelai perempuan sebelum dikawinkan.
Adanya unsur kerelaan calon mempelai perempuan diharapkan mampu
mewujudkan fungsi-fungsi keluarga secara maksimal. Djuju Sudjana sebagaimana
dikutip Mufidah Ch, yang mengatakan bahwa ada tujuh fungsi keluarga, fungsi
biologis, edukatif, religius, protektif, sosialiasi, rekreatif, dan ekonomis.17 Fungsi-
fungsi ini tidak pernah berjalan dengan baik jika tidak didasari asas tersebut.
Berdasarkan teks atau matan hadis di atas, indikator yang menunjukkan
persetujuan itu adalah diamnya seorang perempuan.

16
Para ulama berbeda pendapat pada makna lafadz ‫ البكر‬dan ‫ األيم‬pada hadis ini. Imam
Syafi’i, Ibnu Abi Laila, Ahmad, Ishaq dan lainnya berpendapat bahwa meminta persetujuan gadis
itu diperintahkan jika walinya adalah ayahnya sendiri atau kakeknya; maka disunnahkan untuk
meminta izinnya, sekalipun jika dinikahkan tanpa meminta izinnya maka nikahnya tetap sah, hal
itu sebagai wujud kesempurnaan kasih sayang wali terhadap anak perempuannya. Dan jika
walinya bukan dari keduanya (bukan ayah atau kakeknya) maka wajib hukumnya untuk meminta
izin atau persetujuannya untuk menikah dan tidak sah jika pernikahan dilangsungkan sebelum
meminta persetujuan darinya. Imam al-Auza’i, Abu Hanifah, dan para ulama kufah lainnya
berpendapat bahwa wajib hukumnya meminta persetujuan semua gadis yang sudah baligh (Lihat
An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan Suratman, Juz 6,
h.892) perempuan janda yang sudah baligh tidak boleh dinikahkan oleh bapak maupun selainnya
kecuali atas ridhanya. Sedangkan terhadap perempuan janda yang belum baligh terjadi perbedaan
pendapat tentangnya, Malik dan Abu Hanifah berkata “Bapaknya boleh menikahkannya
sebagaimana dia menikahkan gadis”. Namun asy-Syafi’I, Abu Yusuf dan Muhammad berkata
“Bapak tidak boleh menikahkannya (tanpa izinnya) selama keperawanannya sudah hilang karena
jima’, bukan karena sebab lain” dengan alasan bahwa hilangnya keperawanan mengikis pula rasa
malu yang ada pada gadis. (Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari. Penerjemah Amirudin, Juz
25, h. 310)
17
Mufidah Ch., Psikologi Keluarga Berwawasan Gender (Malang: UIN Malang Press,
2008), h. 42-43
6

Sebagian kalangan kemudian mempersoalkan hadis di atas, sebab diamnya


seorang perempuan memiliki berbagai interpretasi. Selain itu, hadis di atas seolah
melegitimasi adanya hegemoni laki-laki-ayah dan kakek sebagai wali- terhadap
anak-anak perempuan mereka. Persoalannya kemudian apakah indikator
persetujuan calon mempelai perempuan di atas diterima begitu saja (taken for
granted) atau melihat konteks historis turunnya hadis (asbab al-wurud)18.
Di kalangan masyarakat Madura, masih berlaku tradisi yang hampir
mengambil hak kebebasan seorang gadis untuk memilih suaminya, bahkan yang
demikian ini bisa terjadi bagi anak yang masih anak-anak. Biasanya anak itu
didikte untuk menikah dengan seseorang yang disenangi oleh ayah atau ibunya,
sedangkan anak gadis itu, alam pembawaanya sebagai anak gadis yang pemalu,
mestinya ia malu untuk menyatakan pendapatnya dalam hal itu. Dan juga karena
suasana masyarakat tempat ia dibesarkan, yang tidak membolehkan anak itu
membantah kehendak ayah atau walinya. Hal yang demikian ini tentunya
berlainan dengan apa yang sudah dicontohkan oleh Nabi Saw.
Dalam perkembangan zaman terjadi sedikit perubahan pola berfikir yang
terjadi dikalangan masyarakat, yaitu bahwa terjadi fase pemberitahuan kepada
anak gadisnya ketika ada seorang laki-laki yang berniat untuk meminangnya.
Akan tetapi hal tersebut hanya sebagai pemberitahuan saja, bukan sebagai
pertanyaan kepada anaknya sebagaimana hadis Nabi tersebut.
Pernikahan dalam kehidupan masyarakat desa, pada umumnya masih
melestarikan tradisi dan budaya. Salah satunya adalah dalam menentukan hari
baik dengan sebutan “nyareh dhinah” yang dalam bahasa Indonesia dikenal
dengan hari baik dalam penentuan hari pernikahan. Apabila calon suami dan calon
istri akan melangsungkan pernikahan, maka keluarga dari kedua belah pihak akan
menentukan hari “H” atau hari dilaksanakannya akad nikah. Kebiasaan yang
dilakukan masyarakat Payudan Karangsokon dalam menentukan hari “H” ini
adalah kedua belah pihak keluarga mengadakan silaturrohim khusus untuk
memilih harinya. Dan calon mempelai beserta orang tua masing-masing sudah
mempunyai kesamaan tujuan tentang pemilihan hari atau bulan apa yang terbaik,

18
Ramadhita, “Latar Historis Indikator Kerelaan Perempuan Dalam Perkawinan,” de
Jure, Volume 7 Nomor 1 (Juni 2015): h. 31-38
7

namun yang lebih dominan dalam hal ini ditentukan oleh keluarga mempelai
perempuan.
Dalam acara akad nikah yang sakral ini, maka acara akad tersebut akan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Sebelum mendatangi Kyai, masyarakat
biasanya lebih dulu ke sesepuh (orang yang paling tua dan dianggap “tahu”),
dengan tujuan nyareh dhinah. Harapannya adalah kedua mempelai akan
memperoleh kebaikan-kebaikan setelah menikah. Dan apabila pada suatu hari
memperoleh keburukan dalam rumah tangganya, mereka tidak akan merasa
bersalah, karena sudah didahului dengan ikhtiyar atau usaha nyareh dhinah, dalam
istilah Bahasa Madura dikenal dengan “ngadhedhi” dan kemudian pasrah atas
kehendak Allah.
Dalam proses penentuan waktu pernikahan Rasulullah memang tidak
menyebutkan secara eksplisit mengenai hal tersebut, akan tetapi ada salah satu
riwayat yang terdapat dalam Shahih Muslim tentang disunnahkannya menikah
pada bulan Syawal. Adapun hadisnya:

‫س ِاء‬ ِ ٍ ٍ َّ ِ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫اَّللُ َعلَْيه َو َسل ْم ِِ َش َّواِ َوبَ َن ِِب ِِ َش َّواِ فَأَي ن‬
َِّ ِ‫و‬
َ ‫اَّلل‬ ْ َ‫َع ْن َعائِ َشةَ قَال‬
َ ‫ت تَ َزَّو َج ِن َر ُس‬

‫شةُ تَ ْستَ ِحب أَ َْ تُ ْد ِخ َل‬


َ ِ‫ت َعائ‬ َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ ْم ََا ََ أَ ْحظَى ِع ْن َدهُ ِم ِن ق‬
ْ َ‫اِ َوََان‬ َّ ‫صلَّى‬ َِّ ِ‫و‬
َ ‫اَّلل‬ ِ ‫ر ُس‬
َ
ِ‫اء َها ِِ َش َّو ٍا‬ ِ
َ‫س‬ َ‫ن‬
19

Artinya: Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah Saw menikahiku pada bulan


syawwal, menggauliku pada bulan syawwal; maka isteri beliau yang manakah
yang lebih beruntung disisinya selain aku? Ia berkata, Aisyah senang jika para
wanita dinikahi pada bulan Syawwal.
Ini merupakan salah satu hadis yang mensunnahkan menikah, menikahkan
orang lain, dan menggauli isteri pada bulan Syawwal. Sahabat-sahabat kami
mensunnahkan hal itu berdasarkan pada hadis ini. Aisyah mengucapkan perkataan
seperti itu; untuk membantah keyakinan kaum jahiliyah dan kepercayaan sebagian
orang awam yang membenci menikah, menikahkan orang lain, dan menggauli

An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan


19

Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 902


8

isteri pada bulan Syawwal.20 Dan bahwa semua itu adalah batil, yang merupakan
peninggalan tradisi orang-orang jahiliyah yang menggantungkan keberuntungan
dan sebagainya berdasarkan bulan; karena Syawwal berarti mengangkat dan
menghilangkan sesuatu.21

ْ َ‫ َوََان‬.ِ‫ َوبَ َن ِِب ِِ َش َّو ٍا‬،ِ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ ْم ِِ َش َّو ٍا‬


‫ت‬ َّ ‫صلَّى‬ َِّ ِ‫و‬َ ‫ت تَ َزَّو َج ِن َر ُس‬ َ ِ‫َع ْن َعائ‬
َ ‫اَّلل‬ ْ َ‫ قَال‬،َ‫شة‬
22
ْ ‫شةُ تَ ْستَ ِحب أَ َْ َُ ْب َن بِنِ َسائِ َها ِف َش َّو‬
.ِ‫ا‬ َ ِ‫َعائ‬

Artinya: Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Saw menikahiku pada bulan


Syawwal dan beliau menggauliku pada bulan Syawwal.” Dan Aisyah senang
menikahkan anak perempuan-perempuannya pada bulan Syawal.
Bulan Syawwal menurut sebagian masyarakat Madura khususnya Desa
Payudan Karangsokon merupaka salah satu diantara bulan yang dijadikan pilihan
ketika akan melangsungkan pernikahan. Hal ini dikarenakan bahwa semua yang
berkaitan dengan ritual-ritual penting seperti ini dilakukan perhitungan secara
terperinci dalam setiap aktivitasnya.

Pelaksanaan pernikahan bagi masyarakat Madura, khususnya Desa Payudan


Karangsokon masih identik dengan menggunakan Mushalla atau Masjid23 sebagai
sarana untuk proses akad nikah dan pelaksanaan upacara pernikahan (Walimah).
ini didasari karena Masjid atau Mushalla sebagai media yang baik dan penuh
Barakah, hal ini terlepas dari bahwa memang di Desa tersebut hampir setiap

20
Pada jaman dahulu bangsa Arab mengenal tentang hari baik dan hari yang tidak baik
atau dikenal dengan hari (na’as) yakni bulan Syawal. Sehingga pada masa tersebut, bulan Syawal
sangat dihindari dalam melaksanakan perkawinan.
21
An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan
Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 903
22
Abu Isa berkata, “Hadis ini hasan shahih. Aku tidak mengetahui hadis ini kecuali dari
ats-Tsauri, dari Ismail bin Umayah. Lihat Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih Sunan at-
Tirmidzi. Penerjemah Ahmad Yuswaji (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h.836
23
Masjid dalam sejarahnya mempunyai arti penting dalam kehidupan umat Islam, hal ini
karena masjid sejak masa Rasulullah Saw, telah menjadi sentra utama seluruh aktivitas umat Islam
generasi awal, bahkan, masjid kala itu menjadi “fasilitas” umat Islam mencapai kemajuan
peradaban. Sejarah masjid bermula sesaat setelah Rasulullah Saw, hijrah di Madinah. Langkah
pertama yang beliau lakukan di Madinah, adalah mengajak pengikutnya, membangun masjid.
Allah SWT ternyata menakdirkan masjid yang dibangun Rasulullah Saw, di Madinah (sebelumnya
disebut Yatsrib) menjadi rintisan peradaban umat Islam. Bahkan tempat dimana masjid ini
dibangun, benar-benar menjadi Madinah (seperti namanya) yang arti harfiahnya adalah “tempat
peradaban” atau paling tidak dari tempat tersebut telah lahir benih-benih peradaban. Lihat Syamsul
Kurniawan, Masjid Dalam Lintasan Sejarah Umat Islam, h. 1
9

kepala keluarga atau perkumpulan rumah memiliki Mushalla sebagai sarana


ibadah bersama (berjamaah).

Rasulullah Saw pernah bersabda Bahwa:

ِ ِ ِ ِ ُ ‫اِ رس‬ َ ِ‫َع ْن َعائ‬


‫اج َعلُوهُ ِف‬ َ ‫ (أَ ْعلنُوا َه َذا الن َك‬:‫وِ للا صلَّى للاُ َعلَْيه َو َسلَّ ْم‬
ْ ‫اح َو‬ ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ت‬
ْ َ‫شةَ قَال‬
24 ِ ُ‫ض ِربوا َعلَي ِه بِالدف‬
)‫وف‬ ِ ِ ‫الَْس‬
ْ ُ ْ ‫ َوا‬، ‫اجد‬ ََ

Artinya: Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Umumkan


pernikahan, adakan akad nikah di masjid dan meriahkan dengan memukul
rebana.”
Syaikh Amr bin Abdul Mun’im Salim mengatakan bahwa masjid
merupakan tempat untuk melakukan ketaatan dan dibangun atas fondasi
ketakwaan.25 Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw berikut:

ِ ِِ ِ
ِ ‫للا مس‬ َ َ‫صلَّى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ ْم ق‬ ِ َ ‫عن أَِب ه ِرَ رَة أَ ََّ رس‬
ُ َ‫اج ُد َها َوأَبْغ‬
‫ض‬ َ َ ‫اِ أَ َحب الْب ََد إ َل‬ َ ‫وِ للا‬ َُ َْ ُ َْ
26 ِ ‫الْبِ ََ ِد إِ َل‬
‫للا أَ ْس َواقُ َها‬

Artinya: Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda,


“Tempata yang paling dicintai Allah Swt masjid-masjid, dan tempat yang paling
dibenci oleh Allah Swt adalah pasar."
Signifikansinya dengan penelitian ini adalah bahwa pola pernikahan
merupakan salah satu bentuk nyata yang dilakukan oleh Masyarakat Payudan
Karangsokon menjadikan Hadis-Hadis tentang pernikahan masuk dalam bagian
kehidupan mereka sehingga lahir beragam persepsi masyarakat terhadap
pernikahan itu sendiri. kajian-kajian semacam ini menjadi penting untuk
menambahkan wawasan keilmuan keislaman serta mengetahui interaksi
masyarakat muslim dengan hadis sebagai rujukan otoritatif setelah al-Qur’an.
Oleh karenanya menurut penulis perlu adanya kajian studi Living Hadis tentang
kebiasaan tersebut, sehingga penulis mengangkat tema yang berjudul “Tradisi

24
Muhammad Aburrahman bin Abdurrahim, Tuhfat al-Ahwadzi bi Syarhi Jāmi’ at-
Tirmidzi (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘arabi, 1995), Juz 7, h.210
25
Syaikh Amir bin Abdul Mun’im Salim, Adab Al-Khitbah wa Al-Zifaf, h. 70.
26
An-nawawi, Syarah Shahih Muslim Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan Suratman
(Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 4, h. 50
10

Penikahan di Masyarakat Desa Payudan Karangsokon Guluk-Guluk Sumenep


(Kajian Living Hadis)”

B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis perlu
mengidentifikasi beberapa masalah yang kemudian akan dilakukan kajian
lebih lanjut berkaitan masalah tersebut:
a. Beberapa ulama hadis sudah mulai melakukan pendekatan hadis yang
tidak hanya dicukupkan pada kajian teks saja, melainkan pada ranah
tata praktek atau bagaimana hadis itu di Masyarakat. Fadzlurrahman
misalnya yang melakukan penelitian hadis dengan menggunakan
pendakatan living sunnah yaitu kajian yang tidak cukup hanya pada
teks saja.
b. Permasalahan mengenai perempuan hingga saat ini masih terus dikaji
baik dari segi politik, ekonomi, budaya serta Agama. Posisi
perempuan dalam Islam mempunyai perkembangan yang tidak begitu
bagus apalagi dalam pernikahan, khususnya bagi perempuan di
Madura yang sepertinya tidak memiliki kebebasan untuk menentukan
langkah hidupnya, baik dalam bidang karir, pendidikan dan
pernikahan.
c. Sebagian ulama hadis berbeda pendapat mengenai hal ihwal yang
berkaitan dengan meminta izin kepada anak perawan dan janda. Ada
yang berpendapat bahwa perlu meminta izin terhadap janda dengan
dasar bahwa janda sudah tidak begitu merasa malu dibandingkan
dengan waktu masih gadis. Sedangkan pendapat yang lain mengatkan
bahwa diperlukan izin terhadap janda ataupun dengan anak gadis.
d. Pernikahan menurut Masyarakat Payudan Karangsokon merupakan
salah satu ibadah yang sakral, atinya bahwa pernikahan itu tidak
dilakukan dengan sembarangan baik dengan waktu dan pelaksanaan
pernikahannya. Oleh karenanya dibutuhkan sebuah perhitungan
khusus untuk mengetahui waktu yang baik untuk pelaksanaannya.
Sedangkan untuk tempat pelaksanaannya masyarakat Payudan
11

Karangsokon masih menggunakan formula yang sama dengan masa


sebelumnya, yakni melaksanakan pernikahan di Mushalla atau Masjid.
2. Batasan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, maka penulis akan menitik
fokuskan penelitian ini pada poin c terkait tentang meminta izin kepada
anak gadis atau janda, meliputi pemahaman masyarakat terhadap hadis
tersebut. Serta pada poin d tentang menentukan waktu pernikahan yang
bertitik fokus pada pemaknaan masyarakat pada kegiatan tersebut dan
pada pemahaman masyarakat terhadap tempat pelaksanaan pernikahan.
3. Rumusan Masalah
Untuk memahami sebuah hadis tentunya tidak cukup hanya dilihat
dari teks dan pemaknaan teksnya saja, melainkan juga diperlukan
pengkajian terhadap bagaimana pemahaman masyarakat terhadap redaksi
hadis-hadis tersebut. Dari batasan masalah yang dikemukan di atas,
penulis merumuskan permasalahan menjadi: Bagaimana fenomana living
hadis pada masyarakat Payudan Karangsokon tentang proses pernikahan?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui fenomana living
hadis pada masyarakat Payudan Karangsokon tentang pernikahan dari
Proses Mintah (Melamar), penentuan waktu pernikahan (Nyareh Dhinah
Begus) dan pelaksanaan pernikahan.
a. Manfaat
Secara akademik, khusunya kajian hadis penelitian ini untuk
memberikan bukti-bukti baru yang belum disebutkan pada penelitian
sebelumnya bahwa pemahaman masyarakat terhadap hadis-hadis Nabi
berbeda-beda khususnya bagi masyarakat Payudan Karangsokon
berkenaan dengan hadis pernikahan.
Adapun manfaatnya secara umum ialah peneliti mengharapkan
penelitian ini dapat memperkaya khasanah penelitian tentang ilmu hadis
khususnya berkaitan dengan living hadis yang masih belum banyak
mendapatkan perhatian bagi banyak peneliti. Kemudian penulis juga
12

mengharapkan agar penelitian ini dapat menjadi acuan untuk peneltian


berikutnya yang berkaitan tentang kajian living hadis.
D. Tinjauan Pustaka
Sepanjang penelusuran yang dilakukan penulis, beberapa penelitian
sejenis yang telah ada antara lain:
1. Kajian terhadap living hadis
Penelitian Muhammad Alfatih Suryadilaga tentang “Pemaknaan
Shalawat dalam Komunitas Joget Shalawat Mataram: Kajian Living
Hadis” menyebutkan bahwa Joget Shalawat Mataram merupakan sebuah
fenomena tradisi sosial-budaya-keagamaan yang dapat dikategorikan
sebagai tarian spiritual atau gerakan spiritual. Selain itu Joget Shalawat
Mataram diyakini sebagai sebuah fenomena living hadis, sebab Joget
Shalawat Mataram merupakan tarian spiritual yang bernafaskan nilai-nilai
Islam. Hadis-hadis Nabi yang dijadikan prinsip dasar Joget Shalawat
Mataram adalah hadis-hadis tentang perintah bershalawat kepada Nabi
SAW dan hadis-hadis tentang perintah meneladani akhlak Nabi. Joget
Shalawat Mataram juga mengandung fenomena “Syiar Budaya Religius”
dan sebagai gerakan sosial.27
Peneilitian yang dilakukan oleh Muhammad Alfatih Suryadilaga ini
memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis, yaitu
bahwa penelitian yang dilakukan ini termasuk dalam kategori penelitian
living hadis akan tetapi objek kajiannya berbeda dengan yang dilakukan oleh
penulis.
Penelitian yang dilakukan oleh Abdul Bashir tentang Seni Pementasan
LESBUMI NU Grobogan (Studi Living Hadis). Penulis dalam penelitian ini
berusaha mengkaji tentang kesenian di Indonesia yang difokuskan pada
kesenian LESBUMI NU Grobogan dengan menggunakan pendekatan
etnografi yang kemudian dianalisis dengan menggunakan teori semiotika Jurij
M. Lotman dengan menghasilkan kesimpulan bahwa penelitian ini
menunjukkan bahwa seni pementasan LESBUMI NU ini merupakan kajian

27
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Pemaknaan Shalawat dalam Komunitas Joget
Shalawat Mataram: Studi Living Hadis”, (Penelitian Dosen Fakultas Ushuluddin, Universitas
Islam Negeri Yogyakarta, 2013)
13

living hadis dengan menggunakan hadis-hadis tentang kesenian sebagai


rujukan dan juga terdapat beberapa simbol akulturatif yang dapat diambil
makna dan pelajarannya dari pementasan seni tersebut.28
Penelitian yang dilakukan oleh Abdul Bashir ini memiliki kesamaan
dengan penelitian penulis yakni bahwa sama-sama kajian living hadis, akan
tetapi objek bahasannya berbeda yakni bahwa Abdul Bashir meneliti tentang
seni sedangkan penulis meneliti tentang budaya pernikahan.
Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Arrofiqi tentang Iplementasi
Hadis Birrul Walidain Setelah Meninggal Dunia Pada Masyarakat
Wonokromo (Studi Living Hadis). penulis dalam skripsi ini mengkaji tentang
salah satu budaya yang terdapat di Jawa, seperti halnya budaya nyandran
yang dijadikan sebagai fokus penelitian. Bahwa nyandran merupakan sebuah
ritual yang dikhususkan kepada para roh nenek moyang yang telah
meninggal, sebagai upaya meminta petunjuk atas beberapa permasalahan bagi
pelaksana. Hal ini karena menurut mereka bahwa arwah nenek moyang itu
lebih dekat kepada Allah Swt sehingga ketika berdo’a akan lebih mudah
untuk dikabulkan. Akan tetapi setelah Islam datang budaya ini sedikit
mengalami perubahan dari sebelumnya, sebab budaya ini tidak dihapus oleh
para wali songo yang telah menyebarkan Islam.29
Kesamaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah bahwa sama-
sama berfokus pada kajian living hadis, akan tetapi budaya yang diteliti tidak
sama dengan penulis serta tempat penelitian juga tidak sama dengan penlitian
yang dilakukan penulis.
Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Alfatih Suryadilaga tentang
Living Hadis Tradisi Sekar Makam. Dalam penelitian ini disampaikan bahwa
salah satu fenomena living hadis yang dapat ditemukan di Yogyakarta adalah
tradisi ziarah kubur di Pemakaman Parembahan Senopati Kotagede, kegiatan
ziarah kubur dimaksud dirujuk melalui hadis Nabi Muhammad Saw
walaupun tidak semuanya mengetahui teks hadis karena sebatas mendapat

28
Abdul Bashir, Seni Pementasan LESBUMI NU Grobogan (Studi Livingf Hadis), (Tesis
S2 Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2015)
29
Ahmad Arrofiqi, Implementasi Hadis Birrul Walidain Setelah Meninggal Dunia Pada
Masyarakat Wonokromo (Studi Living Hadis). (Skripsi S1 Fakultsa Ushuluddin dan Pengkajian
Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2009)
14

pengetahuan dari tokoh agama melalui ceramah. Adapun praktek


pelaksanaannya disesuaikan dengan konteks masyarakat Jawa. Para
pengunjung makam memiliki sikap atau pandangan yang berbeda-beda.
Pelestarian kebiasaan atau tradisi jawa, yaitu mendoakan leluhur, perantara
tuhan dan mencari berkah. Namun ada juga yang lebih dekat, yaitu hanya
sekadar mendoakan ahli kubur yang juga termasuk penyebar agama Islam. 30
Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian Muhammad Alfatih
Suryadilaga adalah terletak pada perbedaan tempat dan kasus yang diteliti
walaupun pada dasaranya penelitian ini sama-sama menggunakan pendekatan
living hadis.
2. Kajian terhadap resepsi hadis
Penelitian yang dilakukan oleh Anis Hidayatullah Imtihanah tentang
Slametan Sebagai Media Resepsi al-Qur’an dan Hadis di Kalangan
Masyarakat. Menyebutkan bahwa Slametan merupakan salah satu bentuk
peradaban dalam lingkungan kebudayaan yang sudah mengakar selama
berabad-abad di masyarakat – Jawa khususnya – sebelum kedatangan Islam.
Dengan demikian Islam yang nota bene sebagai ajaran baru bagi mereka,
senantiasa mengalami penyesuaian dengan lingkungan peradaban dan
kebudayaan setempat. Slametan dalam tradisi Islam Indonesia (khususnya
Jawa) merupakan produk akulturasi antara budaya dan agama. Karena
sebelum Islam datang, agama Hindu dan Budha telah terlebih dulu
bersinggungan langsung dengan masyarakat. Oleh karena itu agama Islam
sebagai culture reformer, mempunyai tugas untuk mereform tradisi yang
sudah ada dengan menanamkan nilai dan ajaran Islam di dalamnya. Hal ini
bertujuan agar ajaran Islam mudah diterima oleh masyarakat. Slametan juga
menjadi wujud aktivitas keagamaan yang menunjang ikatan kolektif sesama
warga.31

30
Muhammad Alfatih suryadilaga, “Living Hadis Dalam Tradisi Sekar Makam,” al-
Risalah, Volume 13 Nomor 1 (Mei 2016)
31
Anis Hidayatullah Imtihan, “Slametan Sebagai Media Resepsi al-Qur’an dan Hadis di
Kalangan Masyarakat,” al-Ahkam, Volume 12 Nomor 3 (Februari 2015).
15

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah pada objek


resepsi hadis, dalam penelitian ini berkatan dengan Slametan (Shadaqah)
sedangkan yang akan peneliti kaji tentang pernikahan.
3. Kajian terhadap Pernikahan
Pada dasarnya penelitian tentang pernikahan sudah banyak dilakukan
oleh para peneliti sebelumnya, sehingga pencarian dengan kata ini akan
menemukan beragam penelitian, baik berbentuk jurnal, skripsi, thesis dan
sebagainya. Berikut sebagian penelitian tersebut:
Penelitian yang dilakukan oleh Indana Zulfa tentang Pandangan Hadis
terhadap Tatayyur (Studi Kasus Tradisi Pemilihan Pasangan dan Hari
Pernikahan dengan Perhitungan Jawa di Desa Dukuhkembar Kecamatan
Dukuh Kabupaten Gresik). Menyebutkan bahwa masyarakat Dukuhkembar
mempercayai ramalan perhitungan jawa untuk menentukan kecocokan
pasangan dan mencari hari baik dalam pernikahan dengan cara mendatangi
seorang ahli perhitungan jawa. Hal itu dilakukan agar keluarga kedua belah
pihak menjadi keluarga yang bahagia. Kesimpulan dari penelitian ini adalah
Kepercayaan masyarakat Dukuhkembar terhadap ramalan perhitungan Jawa
sama dengan perbuatan Masyarakat Pra-Islam yang percaya dengan nasib sial
karena burung (tatayyur).32
Perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dengan peneliti ini berada
pada masalah yang dikaji, tempat penelitian serta pada metode yang
digunakan dalam penelitian ini, sedangkan kesamaan penelitian ini dengan
penelitian yang akan penulis kaji terdapat pada metode penentuan hari baik
dalam melangsungkan pernikahan.
Penelitian yang dilakukan oleh Sirojuddin dan Mohammad Bashri Asyari
tentang Tradisi Nyareh Dhina Dalam Penentuan Hari Pernikahan Perspektif
Hukum Islam di Desa Larangan Badung. Menyebutkan bahwa
Tradisi nyareh dhinah yang berkembang dalam masyarakat Larangan
Badung adalah sebagai awal dari perencanaan penentuan, baik hari atau bulan

32
Indana Zulfa, Pandangan Hadis terhadap Tatayyur (Studi Kasus Tradisi Pemilihan
Pasangan dan Hari Pernikahan dengan Perhitungan Jawa di Desa Dukuhkembar Kecamatan
Dukuh Kabupaten Gresik), (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta,
2015)
16

untuk melangsungkan acara pernikahan yang biasanya dalam masyarakat


Larangan Badung, akad nikah serta walimah dilaksanakan dalam satu waktu.
Kebiasaan masyarakat Larangan Badung dalam tradisi nyareh dhinah
mempunyai harapan dengan melaksanakan hari pernikahan di hari yang baik
yakni meminta petunjuk pada Kyai maka akan memperoleh kebaikan bagi
kedua mempelai yang melangsungkan pernikahan, sebagaimana harapan
banyak orang dalam bentuk keluarga yang Sakinah, Mawaddah Warahmah
serta untuk mendapatkan keturunan shaleh shalehah yang akan mereka didik
nantinya.33
Perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dengan peneliti ini berada
pada ranah kajian yang digunakan dan tempat penelitiannya, sedangkan
penelitian memiliki kesamaan tentang kebiasaan Nyareh Dhina yang
dilakukan masyarakat Madura sebagai uapaya mencari barokah.
Berdasarkan penelusuran dari berbagai literatur, maka belum ditemukan
adanya penelitian tentang living hadis dalam pernikahan yang berfokus pada
pelaksanaan Khithbah (mintah), yakni proses untuk mengetahui mau atau
tidaknya perempuan, kemudian mencari waktu yang baik (nyareh dhina
begus) dan pelaksanaan pernikahan. Oleh karenanya, penelitian ini dapat
dikategorikan dalam penlitian baru pada ranah kajian pernikahan.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian lapangan
(field reseacrh). Pernulis terjun langsung ke lapangan atau obyek
penelitian untuk mengetahui secara jelas terhadap kondisi di lapangan,
dalam hal ini Pernikahan di Masyarakat Payudan Karangsokon untuk
kemudian dideskripsikan secara alami34 dan dianalisis sehingga dapat
menjawab persoalan yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.
2. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah:

33
Sirojuddin dan Mohammad Bashri Asyari, “Tradisi Nyareh Dhina Dalam Penentuan
Hari Pernikahan Perspektif Hukum Islam di Desa Larangan Badung,” al-Hikam, Vol. 9 No.1
(Juni 2014)
34
Hasan Hamka, Metodologi Penelitian Tafsir Hadis (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah, 2008), h.45
17

a. Tokoh Masyarakat Desa Payudan Karangsokon (Kyai dan Kepala


Desa)
b. Keluarga yang melakukan pernikahan dipandang dari Izin Nikah bagi
anak gadis atau janda, penentuan waktu dan pelaksanaan pernikahan
c. Sebagian masyarakat yang dianggap tahu tentang tradisi ini

Subjek penelitian di atas yaitu orang-orang yang akan


diwawancarai langsung untuk memperoleh data dan informasi berkaitan
dengan tradisi pernikahan ini mulai dari sejarah awal hingga saat ini.
Informant yang telah disebutkan bisa saja bertambah sesuai dengan apa
yang diterima dan dialami oleh peneliti selama proses pengumpulan data.

Sedangkan objek penelitian ini yaitu tradisi pernikahan yang


dilakukan di Desa Payudan Karangsokon yang menggunakan tradisi
sebagaimana yang telah digambarkan di atas. Sebagai penelitian
lapangan, maka objek penelitian dan subjek penelitian (informan) ini
lebih pada wilayah yang sempit, kasus yang dipilihpun terjadi pada
wilayah yang relatif kecil yaitu studi atas tradisi pernikahan yang ada di
Desa Payudan Karangsokon, termasuk wilayah Madura pada kabupaten
paling timur. Akan tetapi sebagi penelitian lapangan, jumlah informan
dan cakupan wilayah objek penelitian tidak menjadi hal yang penting
dalam penelitian, melainkan lebih menekankan pada kedalaman penelitian
itu sendiri.35

3. Waktu Penelitian
Aktivitas penelitian ini oleh penulis dibagi menjadi tiga periode
yang kemudian dilakukan secara sistematis. Pertama, periode persiapan
yang dilakukan semenjak bulan September s.d Oktober 2016 yang
meliputi survey dan pengamatan awal hingga pembuatan proposal skripsi.
Kedua, periode inti yang meliputi kegiatan observasi dan wawancara yang
dilakukan pada bulan November s.d Desember 2016 serta proses
bimbingan skripsi. Ketiga, periode akhir yang berupa penulisan skripsi,

35
Moh. Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama (Yogyakarta:
SUKA Press, 2010) h. 119
18

bimbingan dan peng-croscekan hasil penelitian dengan beberapa


narasumber penelitian.
4. Metode Pengumpulan data
a. Interview
Wawancara atau interview adalah suatu percakapan, tanya
jawab lisan antara dua orang atau lebih yang duduk berhadapan atau
bertatap muka secara fisik dan diarahkan pada suatu masalah
tertentu,36 sedangkan menurut Hadi metode interview adalah sebagai
alat pengumpulan data, yaitu interview dapat dipandang sebagai
metode pengumpul data dengan jalan tanya jawab secara sistematis
dan berlandaskan pada tujuan penyelidikan.37
Dalam konteks penelitiam ini, jenis interview yang peneliti
gunakan adalah interview bebas terpimpin. Dimana penyusun
mendatangi langsung kerumah atau tempat tinggal tokoh atau orang
yang akan diwawancarai untuk menanyakan secara langsung berkaitan
dengan hal-ha yang sekiranya perlu ditanyakan. Namun, tidak semua
masyarakat Payudan Karangsokon akan penulis wawancarai,
melainkan yang akan menjadi Narasumbernya hanya pada tokoh
Masyarakat, Keluarga yang melakukan proses pernikahan dipandang
dari izin nikah bagi anak gadis atau janda, penentuan waktu dan
pelaksanaan pernikahan serta sebagian masyarakat yang dipandang
mengerti dengan tradisi ini.
b. Observasi
Observasi (pengamatan) adalah alat pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat sistematika gejala-
gejala yang diselidiki. Observasi dilaksanakan pada waktu proses
penelitian ini berlangsung dan penulis menggunakan observasi
partisipatif (participant observation) yaitu dilakukan oleh peneliti
dengan terjun langsung dalam kegiatan dan observasi kebetulan
(incindental observation) yaitu observasi yang dilakukan melalui

36
Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial (Bandung: Mandar Maju, 1996),
h. 187
37
Sutrisno Hadi, Metodologo Jilid I (Yogyakarta: Andi Offets, 1999), h. 193
19

pengamatan kegiatan terhadap objek secara kebetulan tanpa


direncanakan.38
Dalam proses pengumpulan data dilakukan secara terlibat
langsung dengan objek penelitian yang hendak akan dilakukan.
Peneliti akan ikut terlibat secara langsung dengan proses Mintah
(melamar), penentuan waktu pernikahan dan pelaksanaannya.
Sehingga dengan demikian peneliti akan mengetahui bagaimana
sebenarnya proses yang terjadi.
c. Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah mencari data yang mengenai hal-
hal atau variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar,
majalah, prestasi, notulen rapat, agenda dan sebagainya.39
Dalam hal ini peneliti akan mengambil gambar-gambar yang
memiliki hubungan tentang tradisi pernikahan ini. Peneliti juga akan
mendokumentasikan semua aktivitas yang berhubungan dengan tradisi
pernikahan, seperti lamaran (mintah), penentuan waktu dan
pelaksnaannya.
5. Analisis data
Dalam rangka menganilisis data yang peneliti peroleh selama proses
pengumpulan data, peneliti melakukan tiga tahapan. Pertama, tahap
reduksi data, pada tahap ini peneliti melakukan proses penyeleksian,
pemfokusan dan abstraksi data yang berhubungan dengan pelaksanaan
pernikahan sebagaimana yang dibutuhkan penulis dari hasil catatan
lapangan.40 Semua data yang peneliti peroleh selama dalam proses
pengumpulan data dikumpulkan secara keseluruhan kemudian
diklasifikasikan sesuai dengan konsep penelitian yang telah dirancang
sebelumnya agar data yang diperoleh menjadi data yang sudah terbagi
pada kelompok-kelompok tertentu sesuai dengan konsep (bagian-bagian)

38
Moh. Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama (Yogyakarta:
SUKA Press, 2010) h. 91-92
39
Arikunto, S. Prosedur Penelitian, Edisi Revisi (Jakarta: PT Renika Cipta, 2006), h. 123
40
Lihat Moh. Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama
(Yogyakarta: SUKA Press, 2010) h. 114
20

yang sudah dibentuk oleh peneliti, sehingga pada tahap ini data yang
diperoleh lebih fokus dan ringkas serta sudah terbagi-bagi.
Kedua, display data atau penyajian data, pada tahap ini peneliti
melakukan organisasi data, mengaitkan hubungan-hubungan tertentu
antara data yang satu dengan yang lainnya. Peneliti sudah menyajikan
data yang lebih konkret dari tahap sebelumnya serta telah diklasifikasikan
pada tema-tema yang dirancang oleh peneliti.
Ketiga, proses verifikasi, pada tahap ini peneliti melakukan
penafsiran (interpretasi) terhadap data yang sudah peneliti proleh dan
sudah dilakukan reduksi dan penyajian, sehingga data yang sudah
memiliki makna dengan cara membandingkan, pencatatan tema-tema dan
pola-pola, pengelompokan melihat kasus-perkasus dan melihat hasil
41
wawancara dengan informan dan hasil observasi. Proses ini juga
menghasilkan sebuah hasil analisis yang telah dikaitkan dengan kerangka
teoritis yang ada. Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisa yang
ketiga, yaitu analisi penafiran.
6. Metode Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini, penulis merujuk pada Pedoman
Penulisan Skripsi yang terdapat dalam buku pedoma Program Strata Satu
2012/2013.42 Serta penulis menggunakan Pedoman Transliterasi
Romanisasi Standar bahasa Arab (Romanization of Arabic) tahun 1991
dari American Library Association (ALA) dan Library Congress.
F. Sistematika Penulisan
Sebagai bentuk fokus dan konsistensi dalam penelitian yang hendak
peneliti lakukan ini serta supaya tidak keluar dari rumusan masalah yang
penulis angkat, maka perlu disusun secara sistematis dalam penulisan ini.
Bab Pertama berisi pendahuluan yang meliputi beberapa sub bab, yaitu:
latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka,
metode penelitian dan sistemitika penulisan.

41
Moh. Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama, h. 115
42
Tim penyusun, Pedoman Akademik Program Strata Satu 2012/2013 (Ciputat: UIN
Syarif Hidayatullah jakarta, 2012)
21

Latar belakang berisi alasan penting penulis mengangkat topik yang


diteliti. Permasalahan dibagi dalam tiga pembahasan yaitu identifikasi
terhadap permasalahan, pembatasan masalah dan rumusan masalah yang
berisi poin-poin penting yang akan menjadi pembahasan. Tujuan dan manfaat
penelitian merupakan bentuk pemaparan urgensi penelitian yang hendak akan
dilakukan mengenai topik yang diangkat. Kajian pustaka berisi beberapa
literatur yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan
pokok permasalah yang akan dikaji. Dari beberapa literatur yang ada
diungkapkan secara garis besar dari isi guna menemukan spesifikasi dalam
penelitian yang hendak dilakukan dengan penelitian-penelitian yang sudah
dilakukan sebelumnya. Metode penelitian menyebutkan metode-metode
ataupun langkah-langkah yang akan digunakan dalam penelitianini dalam
rangka memperoleh informasi mengenai pokok penelitian, dan yang terakhir
sistematika penulisan yang berisi mengenai susuna bahasan dari hasil
penelitian.
Bab kedua berisi gambaran umum tentang Desa Payudan Karangsokon
sebagai tempat yang dijadikan fokus penelitian oleh penulis yang berisikan
tentang penjelasan mengenai letak geografis Desa dan Demografi Desa.
Bab Ketiga penulis akan membahas tentang pernikahan masyarakat
karangsokon, baik dari segi pengertian prtnikahan, prosesi pernikahan yang
meliputi tentang khithbah dilihat dari pengertian dan pendapat para ulama
mengenai persetujuan pernikahan, penentuan waktu pernikahan pada
perhitungan jawa dan tentang hari baik dalam Islam, serta tentang
pelaksanaan pernikahan dari pengertian walimah dan dasarn hukumnya.
Bab Keempat memaparkan tetang analisis dan pemahaman masyarakat
terhadap pernikahan, dengan perincian tentang pemahaman masyarakat
tentang persetujuan pernikahan, makna penentuan waktu pernikahan dan
pemahaman masyarakat terhadap masjid sebagai tempat pelaksanaan
pernikahan.
Bab Kelima merupakan bab terakhir (penutup) yang berisi kesimpulan
dan saran-saran. Kedua-duanya perlu diletakkan pada setiap akhir dari
pembahasan sebagai kesimpulan atau ringkasan dari semua pembahasan dan
22

berisi tentang saran-sarang agar pembahasan yang disajikan mendapat saran


bahkan kritikan supaya hasil penelitian ini lebih bersifat ilmiah.
BAB II
GAMBARAN UMUM DESA PAYUDAN KARANGSOKON
GULUK-GULUK SUMENEP
A. Sejarah Desa

Entah dari mana asal muasal nama Payudan diambil. Yang jelas
setelah gua tersebut bernama Gua payudan, daerah sekitarnya juga mendapat
sebutan payudan. Konon putri kuninglah yang menamai gua tersebut dengan
payudan. Seorang putri berkulit putih bertubuh molek, dan cantik menawan.
Putri Kuning merupakan keturunan dari raja sumenep, Kesempurnaan
tubuhnya menjadi idaman pria dan decak kagum para wanita, bahkan menjadi
ikon kecantikan wanita Madura yang melegenda hingga saat ini.

―Putri Kuning‖ merupakan putri kesayangan raja. dia tidak saja


dikenal cantik jelita, namun juga melegenda sebagai wanita yang gemar
bertapa. Dan tempat dimana dia bertapa inilah, beliau menamainya
―Payudan‖. Sejak saat itu orang-orang menyebut Gua tersebut dengan gua
payudan. Nama yang diyakini akan membawa keberkahan tersendiri bagi
warga gua payudan dan sekitarnya, karena diberikan oleh putri raja yang
gemar bertapa.1

Dari sebuah nama yaitu ―Payudan‖, Desa ini kembali melalui sejarah
panjang. Sejarah yang menorehkan ciri khas tersendiri bagi warganya, hingga
suatu saat orang-orang lebih mengenal daerah ini dengan sebutan ―Payudan
Karangsokon‖. Nama yang diambil dari nama sebuah pohon yanng biasanya
tumbuh besar dan tinggi serta memberikan kehidupan bagi berbagai mahluk
disekelilingnya dengan buah yang dapat dimanfaatkan dan diolah menjadi
beberapa macam.

Konon, untuk memudahkan menyebut lokasi yang dulu dikenal


sebagai bagian dari payudan ini, masyarakat luas mengkonotasikannya
dengan Pohon Sokon, yang pada waktu itu tumbuh besar, tinggi, dan rindang

1
Wawancara pribadi dengan H. Hasan Hamid, Karangsokon 01 Nopember 2016

23
24

didaerah ini. Sebutan tersebut berlangsung begitu lama hingga daerah ini
menjadi sebuah desa.2

Adapun Kepala Desa yang penah menjabat hingga masa sekarang


adalah sebagai berikut : K. Barsidan (tahun –s.d 1945), Mursidi P. Samam
(1945 s.d 1960), Ali Wardi (tahun 1960 s.d 1990), Abdul Karib (tahun 1990
s.d 1998), H. Hasan Hamid (tahun s.d 1999 s.d 2013) dan Hj. Sutiana (tahun
2013-sekarang).3

B. Letak Geografis Desa Payudan Karangsokon


Penelitian ini dilakukan di desa Payudan Karangsokon, dengan
pertimbangan lokasi dimana dirasakan masih kental dengan upacara-uacara
keagamaan walaupun dengan kondisi masyarakat yang sudah mulai bergeser
menjadi masyarakat yang berpendidikan. Desa Payudan Karangsokon adalah
desa yang terbilang subur dibandingkan dengan desa-desaa disebelahnya serta
cocok untuk dijadikan daerah pertanian, perdagangan serta beberapa hal yang
berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat.
Secara geografis Desa Payudan karangsokon terletak pada posisi
7o21’-7o31’ lintang selatan dan 110o10-111o40 bujur timur. Topografi
ketinggian desa ini adalah berupa daratan sedang yaitu sekitar 256 m di atas
permukaan air laut.
Secara administratif, Desa Payudan Karangsokon terletak di wilayah
kecamatan Guluk-Guluk kabupaten Sumenep dengan posisi dibatasi oleh
wilayah Desa-desa tetangga. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa
Payudan Daleman dan Batuampar Guluk-Guluk, di sebelah barat berbatasan
dengan Desa Batuampar di sisi selatan selatan berbatasan dengan Desa
Bakeong Kecamatan Guluk-Guluk, sedang di sisi timur berbatasan dengan
Desa Payudan Daleman kecamatan Guluk-Guluk
Jarak tempuh Desa Payudan karangsokon ke kecamatan adalah ± 15
km, yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar ± 20 menit. Sedangkan jarak

2
Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016
3
Sumber Data Monografi Desa Payudan karangsokon, Kabupaten Sumenep, Tahun 2014.
Pada Tanggal 02 Nopember 2016
25

tempuh ke ibu kota kabupaten adalah ± 45 km, yang dapat ditempuh dengan
waktu sekitar ± 55 menit.4
C. Demografi Desa Payudan Karangsokon

Berdasarkan data administrasi pemerintahan Desa, penduduk desa


payudan karangsokon adalah 3.079 terdiri dari 950 kk, dengan jumlah total
3.079 jiwa, dengan rincian 1531 laki-laki dan 1548 perempuan5 sebagaimana
tertera pada tabel berukut :

TABEL I
JUMLAH PENDUDUK BERDASARKAN USIA
No Usia Laki-laki Perempuan Jumlah Prosentase

1 0-4 120 115 235 7,63%

2 5-9 134 101 235 7,63%

3 10-14 97 97 194 6,30%

4 15-19 107 97 204 6,62%

5 20-24 125 145 270 8,76%

6 25-29 106 117 223 7,24%

7 30-34 151 142 293 9,51%

8 35-39 109 109 218 7,08%

9 40-44 97 110 207 6,72%

10 45-49 170 150 320 10,39%

11 50-54 90 105 195 6,33%

12 55-58 60 85 145 4,70%

13 >59 165 175 340 11,04%

4
Sumber Data Monografi Desa Payudan karangsokon, Kabupaten Sumenep, Tahun 2014.
Pada Tanggal 02 Nopember 2016
5
Sumber Data Monografi. Pada Tanggal 02 Nopember 2016
26

Jumlah Total 1531 1548 3079 100,00%

Sumber Data: Monografi Desa Payudan karangsokon

1. Pendidikan Masyarakat
Pendidikan adalah satu hal yang penting dalam memajukan tingkat
SDM (sumberdaya manusia) yang dapat berpengaruh dalam jangka
panjang pada peningkatan perekonomian. Dengan tingkat pendidikan
yang tinggi maka akan mendongkrak tingkat kecakapan masyarakat yang
pada gilirannya akan mendorong tumbuhnya keterampilan kewirauasahan
dan lapangan kerja baru, sehingga akan membantu program pemerintah
dalam mengentaskan pengangguran dan kemiskinan.
Pada generasi-generasi sebelumnya respon masyarakat terhadap
pendidikan tampak terbalik. Masyarakat menganggap pendidikan hanya
layak diperoleh orang-orang tertentu saja. Antara anak laki-laki dan
perempuan terlihat ada perlakuan yang berbeda dalam hal pendidikan.
Oleh karena itu pendidikan masyarakat hingga saat ini masih tergolong
minim. Terbukti dengan masih banyaknya masayarakat yang buta huruf,
terutama huruf latin dari pada arab.6
Untuk mengukur tinggi rendahnya kemajuan suatu masyarakat
adalah tergantung dari tinggi dan rendahnya pendidikan yang dimiliki
oleh masyarakatnya. Semakin tinggi pendidikan suatu masyarakat,
semakin baik pula tatanan kehidupan masyarakat tersebut. Masyarakat
Payudan Karangsokon setelah dilihat dari data yang peneliti peroleh
bahwa mayoritas penduduknya berpendidikan SD/sederajat dengan
kecenderungan bahwa masyarakat masih sedikit sekali yang
pendidikannya di atas itu. Hal ini dapat dilihat dengan penduduk yang
usia 10 tahun ke atas yang buta huruf tidak ada akan tetapi yang
sekolahnya tidak tamat SD/sederajat sejumlah 823 orang, penduduk yang
tamat SD/sederajat sejumlah 654 orang, penduduk yang SLTP/sederajat
sejumlah 593 orang, penduduk yang tamat SLTA/sederajat sebanyak
1.153 orang, penduduk tamat D-1 sebanyak 15 orang, penduduk tamat D-

6
Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016
27

2 sebanyak 25 orang, penduduk tamat D-3 sebanyak 30 orang, penduduk


tamat S-1 sebanyak 132 orang, penduduk tamat S-2 sebanyak 2 orang,
dan penduduk tamat S-3 belum ada.7
Adapun untuk prasarana pendidikan formal terdapat 4 jenis yang
berjenjang yaitu mulai dari Taman kanak-kanak (TK) ada 5 buah
bangunan yang baik, SD/sederajat ada 5 buah bangunan yang baik,
SLTP/sederajat ada 3 buah bangunan yang baik, dan SLTA/sederajat ada
2 buah bangunan yang baik. Selain prasarana pendidikan formal ada pula
prasarana pendidikan keterampilan yaitu kursus komputer ada 1 buah.
2. Sosial Budaya Masyarakat
Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai kecendrungan untuk
hidup bersama, sesama keluarga, masyarakat dan antara sesama manusia
pada umumnya. Secara garis besar, stratifikasi atau lapisan sosial
masyarakat Payudan Karangsokon meliputi tiga lapis, yaitu orang kéné‟
sebagai lapis terbawah; pongghaba sebagi pelapis menengah; dan parjajih
(Priayi) sebagai lapis paling atas.8 Namun, jika stratifikasi sosial ini
dilihat dari dimensi agama hanya terdiri dari dua lapisan, yaitu santré
(santri), dan banné santré (bukan santri).
Lapisan sosial paling bawah yang disebut dengan oréng kéné‟
(orang kecil) adalah kelompok masyarakat biasa atau kebanyakan. Orang-
orang ini biasanya bekerja sebagai petani, pengrajin, dan sejenisnya;
bahkan juga termasuk di dalamnya adalah orang-orang yang tidak
mempunyai pekerjaan atau para pengangguran. Lapisan sosial menengah
atau pongghaba meliputi para pegawai, terutama yang bekerja sebagai
birokrat, mulai dari tingkatan bawah hingga tinggi. Secara harfiah, kata
pongghaba berarti pegawai atau orang yang bekerja pada institusi-institusi
formal, khususnya kantor-kantor pemerintah. Lapisan sosial yang paling
atas adalah para bangsawan, yang tidak saja secara genealogis merupakan
keturunan langsung raja-raja di Sumenep.9

7
Sumber Data Monografi. Pada Tanggal 02 Nopember 2016
8
Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016
9
Latif Wiyata, Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, (Yogyakarta:
LKiS, 2006), h. 47-48
28

Dalam kehidupan sosial masyarakat Madura tak terkecuali


masyarakat Payudan Karangsokon yang juga temasuk Madura sebenarnya
menekankan hidup harmonis. Hal ini bisa dilihat dari ungkapan Rempak‟
naong beringin korong. Ungkapan tersebut menganjurkan untuk saling
tolong-menolong dan pentingnya solidaritas sosial juga sangat di
tekankan seperti ungkapan gu‟teggu‟ sabbu‟ atau song-osong lombung.
Ungkapan tersebut memilik arti senafas dengan gotong royong.10
3. Ekonomi Masyarakat
Masalah ekonomi timbul bersamaan dengan tumbuhnya manusia di
muka Bumi. Karena ekonomi pada hakekatnya adalah upaya manusia
untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Manusia dalam kehidupannya tidak
akan lepas dari kebutuhan-kebutuhan untuk melengkapai hidupnya, baik
sandang maupun pangan, hal tersebut merupakan sunnatullah karena
manusia lahir dengan sejumlah besar kebutuhan dan berusaha keras
dengan jalan apapun untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Seperti daerah-daerah lainnya yang ada di Madura, iklim di desa
Payudan Karangsokon terbagi atas dua musim, yaitu musing nemor
(kemarau), dan musim nampere‟ (penghujan). Musim penghujan berjalan
dari bulan Nopember sampai bulan April, dan musim kemarau dari bulan
Mei sampai bulan Oktober.11
Secara ekonomi, Desa Payudan Karangsokon merupakan mayoritas
masyarakatnya yang berprofesi sebagai petani. Area pertaniannya dengan
pola tegalan dan sawah tadah hujan, dengan kondisi keadaan tanah yang
sebagian kering dan sebagian lagi ada yang Basah, maka pendapatan
perekonomian masyarakat Payudan Karangsokon masih terasa sangat
kurang baik (minus).12 Berikut adalah table kondisi perekonomian
berdasarkan KK.

10
A. Dardiri Zubairi, Rahasia Perempuan Madura; Esai-Esai Remeh Seputar
Kebudayaan Madura, (Surabaya: Andhep Asor, 2013), h. 5
11
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, ter.
Machmoed Effendhie dan Punang Amaripuja (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), h. 27
12
Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016
29

TABEL II

KONDISI PEREKOMIAN BERDASARKAN KK

No Kondisi Jumlah
1. Miskin 430 kk
2. Pra-sejahtera 298 kk
3. Sejahtera I 10 kk
4. Sejahtera II 12 kk
5. Sejahtera III 105 kk
6. Sejahtera III (plus) 95 kk
Jumlah 950 kk
Sumber Data: Monografi Desa Payudan Karangsokon

Melihat dari perincian tersebut maka dapat dikatakan bahwa tingkat


kemiskinan di Desa Payudan Karangsokon termasuk tinggi. Jika kk
golongan pra-sejahtera digolongkan sebagai kk golongan miskin, maka
lebih 23,96% kk Desa Payudan karangsokon adalah keluarga miskin.13

Di desa Karangsokon ada tiga macam lahan yang digunakan cocok


tanam: Pertama, sawah yang memungkinkan ditanami padi dan tembakau.
Kedua, paningkin (tegal) tanah yang hanya menghasilkan tanaman
jagung, singkong, dan tembakau.14
Mayoritas masyarakat Payudan Karangsokon sangat
menghandalkan hasil panen tembakau karena tembakau disana memiliki
mutu spesifik yang sangat dibutuhkan oleh pabrik rokok sebagai bahan
baku utama. Oleh karena itu, tembakau msyarakat Payudan Karangsokon
ditanam secara terus menerus pada berbagai tipe lahan, mulai lahan sawah
sampai lahan tegal.15

13
Sumber Data Monografi. Pada Tanggal 02 Nopember 2016
14
Sumber Data Monografi. Pada Tanggal 02 Nopember 2016
15
Tanaman tembakau di Madura dikenal dengan nama nicotiana tabacum, termasuk
famili solanaceae, dari genus nicotiana. Nicotiana tabacum lebih disenangi oleh produsen dan
konsumen dibanding dengan nicotiana rustica, nicotiana silvestris, nicotiana glutinosa, dan
nicotiana petunoides. Nicotiana rustica mengandung kadar nikotin yang besar, sedangkan
nicotiana silves tris, nicotiana glutinosa, dan nicotiana petunoides, tumbuh secara liar dan tidak
dibudidayakan karena tidak mempunyai nilai ekonomi. (Lihat Thomas Santoso, Tata Niaga
30

Perekonomian masyarakat Payudan Karangsokon menengah


kebawah, sebagian kecil jug ada yang menengah keatas. Hal ini
dikarenakan kurangnya ketersediaan lapangan pekerjaan yang terdapat di
Desa Payudan Karangsokon, sehingga banyak sebagian kepala keluarga
yang memilih kerja di luar kota seperti di Jakarta, Malaysia, Kalimantan,
saudi dan beberapa tempat lainnya. Namun dari pemerintahan Desa sudah
mengupayakan yang lebih baik dalam hal pembangunan perekonomian
masyrakat, hal ini terbukti dengan diberdirikannya pasar dan ruko pada
akhir tahun 2015 kemaren.16
Tingkat pendapatan rata-rata penduduk desa payudan karangsokon
Rp. 30.000,- secara umum mata pencaharian warga masyarakat desa
payudan karangsokon dapat teridentifikasi ke dalam beberapa sektor yaitu
pertanian, jasa /perdagangan, industri dan lain-lain. Berdasarkan data
yang ada, masyarakat yang bekerja disektor pertanian berjumlah 1.114
orang, yang bekerja disektorjasa berjumlah 306 orang, yang bekerja
disektor industri 65 orang, yang bekerja disektor lain-lain 1.600 orang.
Dengan demikian jumlah penduduk yang mempunyai mata pencaharian
berjumlah 3.079 orang. Berikut ini adalah tabel jumlah penduduk
berdasarkan mata pencaharian. Berikut ini adalah tabel jumlah penduduk
berdasarkan mata pencaharian

TABEL II
Mata Pencaharian dan Jumlahnya
No Mata Pencaharian Jumlah Prosentase

1. Pertanian 1.114 orang 36,18%

2. Jasa/perdagangan

1. Jasa pemerintahan 10 orang 0,32%


2. Jasa perdagangan
83 orang 2,69%

Tembakau di Madura, Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 3, No. 2, September 2001: 96-
105 dan pada Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, h.
47
16
Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016
31

3. Jasa angkutan 70 orang 2,27%


4. Jasa keterampilan
23 orang 0,74%
5. Jasa lainnya
120 orang 3,89%

3. Sektor industri hume 65 orang 2,11%

4. Sektor lain 1.600 orang 51,96%

Jumlah 3.079 orang 100%

Sumber Data: Monografi Desa payudan karangsokon

Dengan minusnya perekonomian masyarakat Payudan


Karangsokon maka sifat ulet, pantang menyerah, tidak pernah pilih-pilih
pekerjaan, dan suka tantangan, merupakan bagian dari etos kerja mereka.
Ada pepatah Madura yang mengatakan ―sapa atane “bakal atana‟”
(siapa yang tekun bertani akan menanak nasi), “sapa adegeng bakal
adaging” (siapa berdagang akan berdaging/sehat), “ollena alako berre‟
apello koneng‖ (hasil dari bekerja keras berkeringat kuning—memperoleh
emas). Kerja keras tersebut sudah mulai awal menjadi prinsip dasar
masyarakat Madura untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekundernya.
Selain itu, hemat dan halal juga termasuk dalam prinsip kerja
masyarakatnya, meski sebagian ada yang didapat dari hasil pekerjaan
yang tidak halal.17
4. Keberagamaan Masyarakat
Bentuk keberagamaan masyarakat Payudan Karangsokon tampak
pada kehidupan kemasyarakat yang religius. Seperti masyarakat Madura
pada umumnya, masyarakat Payudan Karangsokon juga dikenal patuh
mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Bahkan Islam dijadikan bagian dari
ethnic identity, sehingga keberagamaan masyarakat Payudan
Karangsokon memiliki ciri khas kedaerahan yang sangat kental
sebagaimana beberapa desa sekitar.

17
Agus Afandi, dkk., Catatan Pinggir di Tiang Pancang Suramadu, (Yogyakarta: Ar-
Ruzz, 2006), h. 11-12
32

Paham keagamaan masyarakat Payudan Karangsokon


diapresiasikan dalam bentuk simbol, seperti sarung, kopyah, dan sorban
bagi pria. Serta sarung, kebaya dan kerudung bagi wanita sebagai atribut
yang digunakan dalam setiap harinya kecuali pada kegiatan yang memang
mengharuskan menggunakan atribut selain hal tersebut. Seperti halnya
bersawah, sekolah SD, SMP dan SMA, serta beberapa kegiatan yang
lainnya.18
Keberagaman masyarakat Payudan Karangsokon juga diwujudkan
dalam sikap kolot dan fanatik terhadap sesuatu hal yang merupakan
kebiasaan. Sikap kolot nampak pada keharusan menggunakan kopyah dan
sarung ketika menjalankan shalat, seolah sarung dan kopyah menjadi
syarat sah shalat. Bahkan bukan hanya dalam hal demikian saja, dalam
tatacara atau model pakaian yang digunakan dalam shalat juga harus
terkesan rapi, mulai dari pemakaian kancing dan sebagainya. Sikap
fanatik terlihat juga pada sikap masyarakat yang tidak mau menerima
paham selain Nahdlatul Ulama’, entah hal tersebut dikarenakan karena
mempertahankan warisan para leluhur atau yang lainnya, sehingga
menyebabkan fanatisme keyakinan itu sangatlah kental. Demikian pula
sikap fanatik tercermin pada taatnya pada satu kyai walaupun di Desa
tersebut yang menjadi tokoh bukan hanya satu orang saja, akan tetapi
sikap fanatik dan penggolongan terhadap kyai tersebut masih sangat
kental.19
Bagi masyarakat Payudan Karangsokon, sosok seorang Kyai
merupakan segala-galanya, yang menjadi tempat untuk meminta jalan
keluar atas persoalan dan kesulitan hidup yang mereka hadapi.20
Masyarakat Payudan Karangsokon sangat taat dan patuh kepada figur atau

18
Wawancara Pribadi dengan Abd Hamid, Karangsokon 30 Oktober 2016
19
Wawancara Pribadi dengan KH. Abd Majid, Karangsokon 31 Oktober 2016
20
Melalui kharisma yang melekat padanya, Kyai dijadikan imam dalam bidang
„ubûdiyyah dan sering diminta kehadirannya untuk menyelesaikan problem yang menimpa
masyarakat. Rutinitas ini semakin memperkuat peran kyai dalam masyarakat, sebab kehadirannya
diyakini membawa berkah. Misalnya, tidak jarang kyai diminta mengobati orang sakit,
memberikan ceramah agama, diminta do’a untuk melariskan barang dagangan dan lain sebagainya.
Sebagai implikasi dari peran yang dimainkan kyai ini, kedudukan pesantren menjadi multi fungsi.
(Lihat Edi Susanto, Kepemimpinan (Kharismatik) Kyai Dalam Perspektif Masyarakat Madura,
Jurnal Karsa, Vol. XI No.1, April 2007
33

tokoh tradisonal (ulama/kyai) daripada kepada figur atau tokoh formal.


Hal ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena dalam kehidupan sosial
budaya masyarakat Payudan Karangsokon terdapat ungkapan buppa'
(bapak), babu' (ibu), guruh (guru), dan ratoh (rato).21 Makna ini
menunjukkan kepatuhan dan ketaatan masyarakat Payudan Karangsokon
pertama-tama kepada kedua orangtua, kemudian berturut-turut kepada
guru (figur ulama/kyai), dan terakhir kepada figur rato (pemimpin
formal). Dengan demikian, dapat disebut di sini bahwa seorang Kyai dan
Ulama dalam kultur masyarakat Payudan Karangsokon merupakan sosok
pemimpin formal dan informal, yang keberadaannya turut memberikan
warna dalam harmoni kehidupan masyarakat Payudan Karangsokon.22
Dengan demikian, citra tentang kepatuhan, ketaatan, atau
kefanatikan masyarakat Payudan Karangsokon pada agama Islam yang
dianut tentu sudah lama terbentuknya. Secarah harfiah mereka memang
sangat patuh menjalankan syariat agama seperti melakukan sembahyang
lima waktu, berpuasa, berzakat (pemberian wajib) dan bersedekah
(pemberian sukarela). Hasrat mereka untuk menunaikan kewajiban naik
haji besar sekali, sebagaimana juga dengan keinginan untuk belajar agama
di pesantren alih-alih belajar ilmu keduniawian di sekolah umum.
Sehingga secara keseluruhan ajaran Islam sangat pekat mewarnai budaya
dan peradaban desa Payudan Karangsokon. Ketaatan masyarakat Payudan
Karangsokon kepada elit agama (ulama/kyai) ini merupakan indikasi
bahwa masyarakat Payudan Karangsokon adalah masyarakat yang sangat
taat beragama. Selain ikatan kekerabatan, agama menjadi unsur penting
sebagai penanda identitas etnik Payudan Karangsokon.23

21
ada tingkatan penghormatan dalam masyarakat Madura, yaitu buppa’ (ayah), babu’
(ibu), guru (guru), dan rato (pemerintah). Sikap hormat dimulai dari bapak dan ibu (orang tua di
rumah), guru dan pemerintah, serta penghormatan kepada orang lain (Lihat Hasan Busri, Kearifan
Lokal Budaya Madura dalam Dinamika Sosial. Disertasi tidak Diterbitkan. (Malang: Pascasarjana
UniversitasNegeri Malang, 2010), h. 70
22
Huub De Jonge, Madura Dalam Empat Zaman; Pedagang, Perkembangan Ekonomi,
dan Islam, ter. KITLV-LIPI (Jakarta: PT Gramedia, 1989), 240.
23
Agus Afandi, dkk., Catatan Pinggir di Tiang Pancang Suramadu, h.13
BAB III

PERNIKAHAN MASYARAKAT DESA PAYUDAN KARANGSOKON


GULUK-GULUK SUMENEP

A. Sekilas Tentang Living Hadis


Nabi Muhammad Saw sebagai penjelas (mubayyin) al-Qur’an dan
musyari’ menempati posisi yang penting dalam agama Islam. Selain dua hal
tersebut, nabi berfungsi sebagai ontoh teladan bagi umatnya. Dalam rangka
itulah, apa yang dikatakan, diperbuat dan ditetapkan oleh Nabi Muhammad
Saw dikenal dengan hadis yang di dalam ajaran Islam sebagai sumber kedua
setelah al-Qur’an.1 Hadis yang menyebar dikalangan umat Islam dan
diaktualisasikan dalam konteks tradisi dan budaya local inilah yang disebut
dengan living hadis.2
Kajian living hadis di Indonesia bermula dari fenomena Qur’an
and hadith in daily life yang marak satu dekade belakangan. Istilah
living hadis awalnya memang tidak bisa dilepaskan dari kajian living Qur’an,
mengingat keduanya secara teologis tidak dapat dipisahkan.3
Fazlurrahman memiliki pemahaman yang berbeda tehadap hadis,
bahwa hadis merupakan verbal tradition dan Sunnah merupakan pratical
tradition atau silent tradition. Istilah yang berkembang dalam kajian ini
adalah Sunnah dahulu baru kemudian menjadi istilah hadis. Hadis bersumber
dan berkembang dalam tradisi Rasulullah Saw serta menyebar secara luas
seiring dengan menyebarnya Islam. Teladan Nabi Muhammad Saw telah
diaktualisasikan oleh sahabat dan tabi’in menjadi praktek keseharian mereka
dengan menyebutnya sebagai the living tradition atau Sunnah yang hidup.4
Living Sunnah dimaknai sebagai teladan Nabi Muhammad Saw yang
telah diaktualisasikan oleh sahabat dan tabiin menjadi praktek keseharian

1
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Model-Model Living Hadis, dalam Syahiron
Syamsuddin (ed), Mitodologi Penelitian Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2007), h. 107
2
Nikmatullah, “Review Buku Dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks”
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015, h. 227
3
Jajang A Rohmana, “Pendekatan Antropologi Dalam Studi Living Hadis Di Indonesia:
Sebuah Kajian Awal” Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015, h. 254
4
Fazlur Rahman, Islam dan Islamic Methodology un History. Penerjemah Ahsin
Muhammad (Bandung: Pustaka, 1994), h. 141

34
35

mereka. Praktek ini muncul dari penafsiran yang bersifat individual terhadap
teladan Nabi.5 Suryadi menambahkan bahwa living Sunnah adalah Sunnah
Nabi yang secara bebas ditafsirkan oleh para ulama, penguasa dan hakim
sesuai dengan situasi yang mereka hadapi.6
Adanya pergeseran pandangan tentang tradisi Nabi Muhammad Saw
yang berujung pada adanya pembakuan dan menjadikan hadis sebagai sesuatu
yang mempersempit akupan, menyebabkan kajian living hadis menarik untuk
dikaji secara serius dan mendalam. Sedangkan living hadis lebih didasarkan
atas adanya tradisi yang hidup di masyarakat yang disandarkan kepada hadis.
Penyandaran tersebut bisa saja hanya difokuskan terhadap daerah khusus saja
atau bahkan bisa lebih diluaskan lagi dalam cakupan pelaksanaannya.7
Sementara Barbara D. Metcalf sebagaimana yang dikutip Nikmatullah
menyatakan bahwa living hadis mempunyai makna ganda yang mencakup
pemahaman terhadap hadis dan internalisasi tertulis/teks yang didengar ke
dalam kehidupan nyata.8
Melihat dari gambaran di atas maka penulis menarik sebuah asumsi bahwa,
living sunnah merupakan suatu kegiatan yang bukan hanya difokuskan pada
Rasulullah saja melainkan juga dikaitkan pada pengamalan setelahnya, seperti
halnya pada masa sahabat, tabi’’i dan generasi berikutnya. Sedangkan living hadis
merupakan suatu fenomena sosial-budaya yang bersumber dari pemaknaan terhadap
teks-teks hadis serta menyangkut juga praktek sosial keagamaan sebagai bentuk
pengamalan seorang hamba dalam kehidupa sehari-harinya. Sehingga pada umunya
dalam pendekatannya tidak jauh berbeda seperti halnya penelitian sosial keagamaan
pada umumnya.

5
Contoh dari living Sunnah adalah tentang harta rampasan perang, dimana pada kegiatan
tersebut terjadi pengamalan yang berbeda antara masa kepempinan Nabi Muhammad Saw dan
Sahabatnya. Lihat Nikmatullah, “Review Buku Dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan
Konteks” Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015, h. 228 Contoh lainnya
adalah masalah unta yang terlepas dari pemiliknya. Lihat Suryadi, Dari Living Sunnah ke Living
Hadis, dalam Syahiron Syamsuddin (ed), h. 93
6
Suryadi, Dari Living Sunnah ke Living Hadis, dalam Syahiron Syamsuddin (ed),
Mitodologi Penelitian Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2007), h. 93
7
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Model-Model Living Hadis, dalam Syahiron
Syamsuddin (ed), Mitodologi Penelitian Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2007), h. 113-
114
8
Nikmatullah, “Review Buku Dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks”
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015, h. 229
36

B. Pengertian Pernikahan
Istilah nikah berasal dari akar kata Arab nakaha, yankihu, nikahan,
yang artinya “adh-Dham, al-Wath’u dan al-Aqdu”.9 Misalnya ketika
dikatakan “tanakahat al-Asyjār” maksudnya adalah “idzā tamayalat wa al-
dhamma ba’dun ila ba’din”, artinya “ketika pohon-pohon saling condong,
kemudian mereka saling berkumpul satu sama lainnya”.10
Pengertian pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan
membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan yang bukan mahram.
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam
pergaulan atau masyarakat yang sempurna.11 Pernikahan itu bukan saja
merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah
tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju
pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu
akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan
yang lainnya.12
Secara arti kata nikah berarti bergabung “ammu” hubungan kelamin
wath’u dan juga berarti “akad” aqdun adanya dua kemungkinan yaitu
hubungan kelamin dan akad nikah, meskipun ada dua kemungkinan arti kata
“nakaha” akan tetapi masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Perkawinan dalam pengertian bahasa Arab adalah nikah, nikah secara

bahasa berarti ‫( اجلمع‬menghimpun) dan ‫( الضم‬mengumpulkan) dikatakan ‫نكحت‬

‫( االشجار‬pohon-pohon itu saling berhimpun antara satu dengan yang lain) jika

suatu bagian pohon itu saling berhimpun antara satu dengan yang lainnya).

9
an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Kitab Nikah, Juz: 9, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 171
dijelaskan juga oleh Syihabuddin Ahmad al-Qastalani dalam Kitab Irsyadu al-Sari li Syarhi
Shahihi al-Bukhari, Kitab Nikah, Juz: 11, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 382
10
Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terfikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam
Islam, (Bandung: Mizan, 2001), h. 149
11
arti nikah adalah akad yang membolehkan seorang laki-laki bergaul bebas dengan
perempuan tertentu dan pada waktu akad menggunakan lafaz “nikāh” atau “Tazwij”, atau
terjemahannya. Adapun “zawāj” atau “tazwij” bermakana sama dengan nikah (Lihat Peunoh Daly,
Hukum Perkawinan Islam Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus Sunnah dan Negara-negara
Islam, cet. ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 104.)
12
H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2014), h. 374
37

Jika suatu bagian pohon dengan bagian pohon yang lainnya saling berhimpun
atau berkumpul.13
Perkawinan dalam Islam merupakan sunnatullah yang sangat
dianjurkan karena perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah Swt. untuk
melestarikan kehidupan manusia dalam mencapai kemaslahatan dan
kebahagiaan hidup.14 Perkawinan diartikan dengan suatu akad persetujuan
antara seorang pria dan seorang wanita yang mengakibatkan kehalalan
pergaulan (hubungan) suami-istri, keduanya saling membantu dan
melengkapi satu sama lain dan masing-masing dari keduanya memperoleh
hak dan kewajiban.15
Golongan Ulama Syâfi’îyah berpendapat bahwa kata nikah berarti akad
dalam arti sebenarnya (hakiki); dapat berarti juga untuk hubungan kelamin,
namun arti tidak sebenarnya (arti majâzî). Sebaliknya, Ulama Hānafiyah
berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung arti secara hakiki untuk
hubungan kelamin.16 Pengertian perkawinan menurut istilah ilmu fiqih sering
memakai lafaz “nikah” dan “zawaj”. Menurut bahasa, nikah dapat
mengandung makna haqiqi, yaitu “dhām” , yang berarti menghimpit atau
berkumpul dapat pula mengandung makna majâzî, yaitu “wala”, yang berarti
bersetubuh atau aqad (mengadakan perjanjian pernikahan).17
Sedangkan nikah menurut istilah, ada beberapa pengertian yaitu:
1. Menurut M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syâfi’ah AM., nikah adalah
sesuatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan
perempuan yang bukan muhrim.18
2. Ulama Hânâfiyah, mendefinisikan pernikahan sebagai suatu akad yang
berguna untuk memiliki muth’ah dengan sengaja. Artinya seorang laki-

13
Taqiyuddin Abu Bakar Bin Ahmad Al Husaini, Kifayat al-Akhyār, Juz II, (Indonesia:
Darul Ihya Kutubil Arabiyah, tth) h.3
14
As-Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Anbi, 1973), 11: 6
15
Abu Zahrah, al-Ahwāl asy-Syakshiyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1957) VIII: 6513
16
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan cet.ke.-I. (jakarta : kencana 2006), h. 36-37.
17
Kamal Muktar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, cet ke.-3 (Jakarta: Bulan
Bintang, 1993), h. 1.
18
M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994, cet. 1), h. 249.
38

laki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk


mendapatkan kesenangan dan kepuasan.
3. Ulama Syāfi’iyah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad
dengan menggunakan lafal nikah atau zauj yang menyimpan arti
memiliki. Artinya dengan pernikahan seseorang dapat memiliki atau
mendapatkan kesenangan dari pasangannya.19
4. Menurut Harun Nasution, yang dimaksud nikah menurut istilah ialah
suatu akad yang dengannya hubungan kelamin antara pria dan wanita
yang melakukan akad (perjanjian) tersebut menjadi halal.20
5. Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wania sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.21
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa arti perkawinan atau
pernikahan adalah suatu akad perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin
antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian hidup
keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan mencari
ridha Allah SWT.22 Perkawianan merupakan sesuatu ikatan yang suci yang
dianggap luhur untuk dilakukan. oleh karena itu, apabila seseorang hendak
melangsungkan perkawinan dengan tujuan yang mencari ridha Allah dan
perintah agama sementara seolah-olah sebagai tindakan permainan, maka
agama Islam tidak memperkenankannya. Perkawinan hendaknya dinilai
sebagai sesuatu yang suci, yang hanya dilakukan oleh orang-orang dengan
tujuan yang luhur dan suci. Hanya dengan demikian tujuan perkawinan dapat
tercapai.23

19
Slamet Abidin dan Aminudin, fiqih Munakahat 1 ( Bandung: Pustaka setia, 1999 ),
h.11.
20
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, h 741
21
Undang-Undang Perkawinan No. I Tahun 1974 Tentang Perkawianan. Bab I Pasal 2
ayat (2)
22
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam. cet. ke-9 (Yogyakarta: UII PreSs,
1999), h. 11.
23
Lili Rasjidi, Pekawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: PT
Remaja Rosda Karya,1991), h. 7.
39

C. Prosesi Pernikahan
1. Mintah (Melamar) Perempuan
a. Pengertian Khithbah
Kata peminangan berasal dari kata pinang, meminang (kata
kerja). Meminang sinonimnya adalah melamar yang dalam bahasa
Arab disebut Khitbah. Menurut etimologi, meminang atau melamar
artinya (antara lain) “meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri
sendiri atau orang lain)”.24
Peminangan dalam Ilmu fiqih dikenal dengan istilah khitbah,
secara etimologi berasal dari suku kata yaitu:25 ‫خطب – خيطب – خطبا‬

Kata “khitbah” , dalam terminologi Arab memiliki akar kata


yang sama dengan al-khithāb dan al-khathāb. Kata al-khathāb berarti
“pembicaraan”. Apabila dikatakan takhāthaba maksudnya “dua
orang yang sedang berbincang-bincang”. Jika dikatakan khāthabahu
fi amr artinya “ia memperbincangkan sesuatu persoalan pada
seseorang”. Jika khitbah (pembicaraan) ini berhubungan dengan
ihwal perempuan, maka makna yang pertama kali ditangkap adalah
pembicaraan yang berhubungan dengan persoalan pernikahannya.26
Dalam pangertian lain Khitbah adalah:

ََ‫َوالتَقَدَمَ َاَلَيهَا َنَ َويَهَا َبَبَيَانَ َحَالَة‬


َ ‫الرجَلَ َيَدَ َامََرأَةَ َمَعَيَنةَ َلَلتَ َزَوجَ َبَا‬
َ َ َ‫طَلَب‬
27
َ‫اوضَتَهمَفََأَمرََالعَقدََ َومَطَالَبَةََ َومَطَالَبَهمَبَشَاعَنَه‬
َ َ‫َومَف‬
Artinya:
“Permintaan seorang pria kepada seorang wanita tertentu secara
langsung untuk memperistrikannya atau kepada walinya dengan
menjelaskan hal dirinya dan pembicaraan mereka dengan
masalah akad, harapan-harapannya dan harapan mereka
mengenai perkawinan”.

24
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
bintang, 1974) h, 28-29
25
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut:Dar Al-Kitab Al-‘arabi,1977), h. 25
26
Cahyadi Takariawan Izinkan Aku Meminangmu, (Solo: Era Intermedia, 2004), h. 35
27
Abu Zahroh, al-Ahwāl as-Syakhsiyah, (Beirut: Dar Fikr, th), h. 27
40

Menurut Abdul Azis Dahlan makna Khitbah adalah suatu


langkah pendahuluan menuju kearah pernikahan antara seorang pria
dan wanita.28 Pengertian ini sama halnya dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Sayyid Sabiq yang lebih condong memaknai
Khithbah sebagai permintaan seorang lelaki terhadap seorang wanita
untuk kemudian dijadikan sebagai isterinya dengan melalui tahapan
yang sudah berlaku dikalangan Masyarakat.29
Sedangkan menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaily, yang dimaksud
Khithbah adalah memperlihatkan keinginan untuk menikah terhadap
seorang perempuan tertentu dengan memberitahukan niat baiknya
kepada perempuan tersebut beserta walinya. Pemberitahuan tersebut
bisa dilakukan secara langsung oleh laki-laki yang hendak
mengkhitbah, atau bisa dengan cara memakai perantara keluarganya.
Jika si perempuan yang hendak dikhitbah atau keluarganya setuju
maka tunangan dinyatakan sah.30
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik pemahaman
bahwa proses khithbah merupakan salah satu dari bagian untuk
menyampaikan keinginan seoranng laki-laki maupun perempuan
terhadap lawan jenisnya untuk dijadikan sebagai seseorang yang akan
menjadi pendamping kehidupannya dikemudian hari. Hal yang
demikian ini bisa saja orang tersebut langsung mengutarakan niatnya
terhadap keluarga wanita maupun melalui orang lain dalam
menyampaikannya.
b. Pendapat Para Ulama Tentang Persetujuan Pernikahan
Dalam diri manusia terdapat dimensi eksoterik yang dapat dilihat
melalui panca indera dan dimensi isoterik yang bersifat abstrak, tidak
terlihat, tetapi bisa dirasakan. Menurut Annemarie Schimmel, aspek-
aspek ruhaniah dari kehidupan hanya dapat diungkapkan melalui

28
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve,
199), h. 927
29
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Penerjemah Mudzakkir As, Jilid VI (Bandung: PT. al-
Ma’rifah, 1980), h. 30-31
30
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, alih bahasa oleh Abdul Hayyie al-
Kattani, (Jakarta:Gema Insani, 2011), h. 21
41

aspek-aspek yang terinderai. Misalnya, angin hanya dapat dilihat


melalui gerakan rumput. Debu yang terlihat dari jauh di gurun pasir,
menyembunyikan seorang penunggang kuda.31
Berikut penjelasan mengenai persetujuan gadis dewasa dalam
perkawinanaya menurut pendapat para ulama adalah sebagai berikut :
1) Madzhab al-Syāfi’i
Imam Syāfi’i membuat klasifikasi terkait dengan kebebasan
wanita dan persetujuannya kepada tiga kelompok, yakni: pertama,
gadis yang belum dewasa, kedua, gadis dewasa, dan ketiga, janda.
Untuk gadis yang belum dewasa, batasan umurnya adalah belum
lima belas tahun (15) atau belum haid, maka seorang bapak dalam
hal ini menurut beliau boleh menikahkan si gadis walaupun tanpa
seizinnya, dengan syarat perkawinan itu menguntungkan bagi si anak
gadis.32 Pandangan beliau ini didasarkan pada tindakan Abu Bakar
yang menikahkan ‘Aisyah kepada Nabi, dan umur ‘‘Aisyah ketika
itu baru sekitar tujuh tahun”.33
Adapun perkawinan gadis dewasa, ada hak berimbang antara
bapak (wali) dengan anak gadisnya. Hak bapak didasarkan pada
mafhum mukhalafah hadis yang menyatakan “janda lebih berhak
terhadap dirinya”. Menurut imam asy- Syāfi‘i mafhum mukhalafah
hadis ini bapak lebih berhak menentukan urusan perkawinan anak
gadisnya,34 meskipun dianjurkan musyawarah antara bapak dengan

31
Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi Memahami Islam secara
Fenonenologis, Penerjemah Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1996), h. 22-23.
32
Ketika melihat kondisi sekarang ini bisa dikatakan bahwa 9 tahun sudah bisa haid
dengan beberapa unsur yang sudah mulai bergeser dari zaman sebelumnya kepada kehidupan
sekarang ini, sehingga menyebabkan beberapa anak mengalami haid lebih awal dari gambaran
yang ditentukan disini.
33
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan cet.ke.-I. (jakarta : kencana, 2006), h. 38
34
Hal ini didukung pernyataan ulama Al-syafi’iyyah bahwa apabila bapak sebagai wali
tidak perlu lagi meminta izin kepada anak gadisnya apabila telah memenuhi ketujuh syarat berikut:
pertama, antara bapak dengan anak tidak ada permusuhan. Kedua, anatara si anak gadis dengan
calon suaminya tidak ada permusuhan. Ketiga, calon suaminya sekufu’. Keempat, calon suami
sanggup memberikan mahar. Kelima, mahar yang sesuai. Keenam, mahar merupakan mata uang
setempat, ketujuh mahar dibayar kontan, lihat ‘Abdul ar-Rahman al-Jaziri, al-Fiqih ‘ala al-
Mazahib al-Arba‘ah (Beirut: Dar al-Afkar, t.t) h, 35
42

si anak gadis, berdasarkan firman Allah dalam Surah al-Imran (3)


ayat 159:

َ‫وشاورهمَفَاالمر‬

Dari penjelasan al-Syāfi’i, akhirnya bisa dilihat bahwa dalam


kasus gadis dewasa pun hak bapak sebagai wali masih melebihi hak
gadis. Kesimpulan ini didukung oleh ungkapan al-Syāf’i sendiri
yang menyatakan bahwa persetujuan gadis bukanlah suatu keharusan
(‫ )فرض‬tetapi hanya sekedar pilihan (‫)اختيار‬.

Adapun perkawinan seorang janda al-Syāfi’i menurut beliau


harus ada persetujuan yang jelas dari yang bersangkutan. Keharusan
ini didasarkan pada kasus perkawinan yang ditolak Nabi karena ia
dinikahkan oleh walinya dengan seorang laki-laki yang tidak
disenangi ditambah lagi tanpa diminta persetujuannya terlebih
dahulu.35 Dengan demikian, hadis ini menurut beliau menyatakan
seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dari walinya. Ketetapan
ini diperkuat hadis lain.36 Dengan menyebut lebih berhak pada
dirinya (‫ )احق بنفسها‬berarti untuk sempurnanya perkawinan harus
dengan persetujuannya dan tidak ada orang lain yang berhak untuk
mencegahnya untuk nikah.37

2) Maliki
Dalam kaitan persetujuan dan kebebasan wanita dalam
memilih pasangan (calon suami), imam Malik membedakan antara
janda dengan gadis. Untuk janda harus ada persetujuan dengan tegas
sebelum akad nikah. Adapun gadis dan janda yang belum dewasa
yang belum digauli oleh suaminya ada perbedaan antara bapak
sebagai wali dengan wali selain bapak. Bapak sebagai wali menurut
imam Malik beliau berhak memaksa anak gadisnya dan janda yang
35
Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, alih bahasa As’ad Yasin, cet. II, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), h. 467.
36
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, cet. I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.
3
37
Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Juz 25, h. 310
43

belum dewasa (hak ijbar) untuk nikah, sedangkan wali selain bapak
tidak mempunyai hak ijbar. Dengan kata lain, seorang bapak boleh
menikahkan anak gadis dan janda yang belum dewasa walaupun
tanpa persetujuan keduanya.38 Otoritas yang dimiliki bapak itu lanjut
imam Malik karena memang syara’ mengkhususkan demikian, atau
karena kasih sayang seperti yang dimiliki seorang bapak tidak akan
dimiliki oleh wali yang lain.39
Kemudian az-Zarqanî menuliskan dua pandangan ‘Iyad
tentang pembahasan ini, pertama bahwa wanita yang masih gadis,
walinyalah yang lebih berhak dalam menentukan persetujuan dalam
perkawinannya. kedua, sedangkan wanita janda lebih berhak dalam
menentukan persetujuan dalam perkawinannya.40 Kedua pendapat ini
didasarkan pada hadis Nabi:

َ‫عن َابن َعباس َأن َالنِب َصلىَهللا َعليه َوسلم َقال َاَلَيَ َاَحَقَ َبَنَفَسَهَاَمَنَ َ َولَيَهَا‬
41
َ‫والبكرَتستأذنَِفَن فسهاَوإذن هاَصمات هاَقالَن عم‬

Artinya:
Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, “Janda
lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan gadis perawan
diminta izinnya (dalam urusan nikahnya), sedangkan tanda ia
mengizinkan adalah bila ia diam?”. Malik menjawab, “Ya”.
Pendapat pertama, dengan mengambil mafhum mukhalafah
dari hadis ini, sedangkan pendapat kedua dengan menghubungkan
hadis ini dengan hadis Nabi:

َ 42 َ‫َالَنَكَاحََاَالَبَ َوال‬:‫َقالَرسولَهللاَصلىَهللاَعليهَوسلم‬:‫عنَأِبَموسىَقال‬

38
Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I)
(Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004), h. 70
39
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, h. 407
40
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, h. 71
41
An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan
Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 88
44

Artinya:
Dari Abi Musa, ia berkata, Rasulullah Saw bersabdda: “Tidak
ada nikah kecuali dengan wali”
3) Hanbali
Dalam al-Mugni, Ibn Qudamah seorang ulama besar dari
mazhab Hanbali ini mengklaim, bahwa ulama sepakat adanya hak
ijbar wali untuk menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita
itu senang atau tidak, dengan syarat sekufu. Ibn Qudamah sendiri
cenderung berpendapat, bahwa bapak berhak memaksa anak
gadisnya baik dewasa atau belum, menikah dengan pria sekufu
walaupun wanita tersebut tidak setuju.43 Menurut beliau, dasar
bolehnya menikahkan gadis yang belum dewasa adalah firman Allah
dalam Surah ath-Thalaq (65): 4:

َ َ‫َوالَئىَيَئَسَنََمَنََالَحَيَضََمَنََنَسَائَكَمََإَنََ َارتَبَتَمََفَعَدَتَهَنََثَلَثَةََاَشَهَرََ َوالَئَىَلََيَضَن‬

Artinya:
“Permepuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) diantara
istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka
idahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan
yang tidak haid. (QS. Ath-Thalaq (65): 4)
Pada prinsipnya ayat ini berbicara tentang masa ‘iddah
seorang wanita yang belum haid atau wanita yang sudah putus haid.
Logika sederhana adalah ‘iddah muncul karena talak, dan talak
muncul karena nikah.44 Dasar pendapat ini sesuai dengan hadis fi‘li
Nabi Saw:

42
Abi ‘Isa Muhammad bin Sawrah, Sunan at-Tirmizi, Beirut: Dar al-Fikr, 1408/1988),
III: 407, hadis nomor 1101, “Kitab an-Nikah”, “Bab Ma Ja'a illa bi Waliyyi", Sanad hadis ini
marfu‘ muttasil, hadis dari ‘Ali bin Hujr diceritakan Syarik bin ‘Abdullah dari Abi Ishaq.
43
Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), h.
88
44
Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), h.
89
45

َ‫عَنََعَائَشَةََقَالَتََتَ َزَوجَنََالنَِبََصَلَىَهللاََعَلَيَهََ َوسَلَمََ َواَنَاَبَنَتََسَتََسَنَيََ َوبَن‬

َ 45 َ‫َواَنَاَبَنَتََتَسَعََسَنَي‬
َ َ‫ِب‬

Artinya:
Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Saw menikahiku ketika aku
berusia enam tahun, dan aku menggaulinya ketika aku berusia
sembilan tahun”.
Menurut ibn Qudamah, disamping sebagai dalil bolehnya
menikahkan gadis yang belum dewasa, hadis ini juga menunjukkan
tidak adanya permintaan izin dari Abu Bakr (bapak/wali) kepada
‘Aisyah.

4) Hanafi
Menurut Abu Hanifah, persetujuan wanita (calon istri) gadis
atau janda harus ada dalam perkawinan. Sebaliknya, kalau mereka
tidak setuju, maka akad nikah tidak boleh dilanjutkan. Walaupun
yang menjadi wali adalah bapak kandung mereka sendiri.

َ‫ب َفكرهت َذلك‬


ٌ ‫عن َخنساء َبنت َخذام َالنصاريةَ َأن َأباهاَزوجهاَوهي َث ي‬

َ 46
‫فجاءتَرسولَهللاَصلىَهللاَعليهَوسلمَفذكرتَذلكَلهَف ردَنكاحها‬

Artinya:
Diriwayatkan oleh Khansa binti Khidzami al-Anshariyah,
“sesungguhnya ayahnya telah menikahkannya, saat itu
statusnya dalam keadaan perawan. Ia tidak menyukai perilaku
ayahnya yang demikian, kemudian ia mendatangi Rasulullah
Saw dan menceritakan apa yang dialaminya, maka pernikahan
yang dilakukan oleh sang bapak tersebut ditolak oleh Nabi
Saw.”

45
An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan
Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 896
46
Bukhari, Shahih Bukhari, cet. III, V Beirut: Dar al-Fikr, 1401/1981,: 135, “Kitab an-
Nikah”, “Bab Iza Zawwajahu Ibnatahu wa Hiya Karihah fa Nikahuhu Mardud”. Sanad hadis ini
marfu‘ muttasil, hadis diceritakan oleh Ismail diceritakan Malik dari Abdul ar-Rahman.
46

ََ‫ َ"اَنَ َجَ َاريَةَ َ(بكرا) َاَتَتَ َالنَبَ َصلَى َاهللا‬:َ‫َوِفَ َالسَنَنَ َمَنَ َحَدَيثَ َابَنَ َعَبَاس‬

ََ‫اَوهَيَََكَ َارهَ َةٌ َفَخَيََرهَاَالنَبَ َصلَىَهللاَ َعَلَيه‬


َ َ‫عَلَيَهَ َ َوسَلَمَفََذكََرتَ َاَنَ َاَبَاهَا ََزَوجَه‬
47
‫َوسَلَم‬

Artinya:
Dalam hadis sunan dari ibn Abbas Ra: “Sesunguhnya seorang
wanita datang kepada Nabi Saw, kemudian ia menceritakan
kepada Nabi Saw bahwa ayahnya telah menikahkannya, dan ia
tidak menyukai perkawinannya. Maka Nabi pun memberikan
wanita tersebut hak untu memilih.”
Adapun dasar penetapan harus adanya persetujuan gadis
dalam perkawinan, menurut abu Hanifah adalah kasus di masa Nabi
yang menyatakan bahwa Nabi menolak perkawinan seorang gadis
yang dinikahkan bapaknya, karena gadis tersebut tidak menyetujui,
yakni kasus yang terjadi pada al-Khansa’. dalam kasus ini, al-
Khansa’ menemui dan melaporkan kasus yang menimpa dirinya,
yakni dia dinikahkan bapaknya kepada saudara bapaknya yang tidak
ia senangi, pada saat itu Nabi balik bertanya “apakah kamu diminta
izin (persetujuan)?” al-Khansa’ menjawab “saya tidak senang
dengan pilihan bapak”. Nabi lalu menetapkan perkawinannya
sebagai perkawinan yang tidak sah, seraya bersabda/berpesan
“nikahlah dengan orang yang kamu senangi”. al-Khansa’
berkomentar, “bisa saja aku menerima pilihan bapak, tetapi aku
ingin agar para wanita mengetahui bahwa bapak tidak berhak untuk
memaksakan kehendaknya untuk menikahkan anak wanitanya dan
nabi menyetujuinya. Ditambah lagi oleh al-Khansa’, “nabi tidak
minta keterangan apakah saya gadis atau janda”, seperti dicatat
sebelumnya.

47
Abu Daud, Sunan Abi Daud, cet. I, II , Beirut: Dar al-Fikr,t.t.,h 232, hadis nomor 2096,
”Kitab an-Nikah”, “Bab al-Bikr Yuzawwijuha Abuha wa la Yasta’miruha.” sanad hadis ini marfu‘
muttasil, hadis diceritakan oleh Usman bin Abi Syaibah diceritakan oleh Husain bin Muhammad
diceritakan oleh Jarir bin Hazim.
47

Kasus al-Khansa’ ini menjadi salah satu dalil tidak adanya


perbedaan antara janda dengan gadis tentang harus adanya
persetujuan dari yang bersangkutan dalam perkawinan.
Perbedaannya hanya terletak pada tanda persetujuan itu sendiri;
kalau gadis cukup dengan diamnya saja, sementara janda harus
tegas.48

Melihat dari pendapat dari berbagai madzhab tersebut,


penulis sejalan terhadap pemikiran madzhab Hanafi yang
mengatakan bahwa harus ada persetujuan. Oleh karenanya jika
orang tuanya berniat untuk menikahkan anak perempuaannya maka
harus mendapatkan persetujuan dari anaknya tersebut, baik dia
dalam keadaan janda maupun masih perawan.

2. Penentuan Waktu Pernikahan (Nyareh Dhinah Begus)


a. Perhitungan Jawa
Dalam pelaksanaan perkawinan yang perlu diperhitungkan
adalah hari dan tanggalnya pada saat pelaksanaan ijab kabul atau akad
nikah. Saat ijab kabul merupakan acara inti dari perkawinan,
sedangkan untuk pesta perkawinan merupakan salah bentuk rasa
syukur atas berlangsungnya akad tersebut. Saat pelaksanaan akad
pernikahan waktu perlu diperhitungkan dengan seksama, hal ini
sebagaimana adat Jawa yaitu adanya perhitungan hari kelahiran atau
weton (Bahasa jawa) kedua belah pihak calon pengantin.49
Setelah lamaran seorang laki-laki terhadap seorang perempuan
diterima, maka kemudian selanjutnya kedua belah pihak biasanya
melakukan perundingan untuk mencari hari baik untuk pelaksanaan
akad nikahnya yang didasari dari tanggal, bulan dan tahun lahir dari
keduanya untuk kemudian dijadikan acuan untuk menentukan hari
baik.

48
Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), h.
77
49
Fahmi Kamal, Perkawinan Adat Jawa Dalam Kebudayaan Indonesia, Jurnal Khasanah
Ilmu Vol. 5 No. 2 September 2014, h. 40
48

Sejak dahulu masyarakat Jawa telah pandai meramal dengan


berpedoman pada neptu dina dan meptu pasaran, neptu bulan serta
neptu tahun, sebagaimana orang Yunani ataupun Romawi kuno
pandai meramal dengan menggunakan pedoman planet-planet, maka
ramalan itu wajar bila ada yang benar dan ada yang salah.50
Kepandaian tersebut didapat karena mereka tekun dalam penelitian
dan mencatat peristiwa-peristiwa yang dianggap perlu, maka
penelitian itu kemudian dijadikannya patokan. Lalu patokan-patokan
ini dihubungkan dengan penangguhan-penangguhan adat Jawa.
Kepandaian orang Jawa dalam hal “neptu dina, pasaran, bulan
dan petung tahun” sudah dikenal sejak lama. Bermula dari tahun 1387
dari tahun Jawa. Ada pula yang mengatakan bahwa bermula dari
kerajaan Majapahit, sejak Hayam Waruk menjadi Raja.51
Dalam adat istiadat Jawa, neptu merupakan salah satu faktor
yang amat penting, hal ini karena erat hubungannya dengan aktifitas
kehidupan sehari-hari. Diantaranya adalah untuk memperhitungkan
atau menentukan pelaksanaan di hari pernikahannya. Adapun
perhitungan (petung Jawa) menurutt perhitungan pujangga itu terbagi
pada neptu dina52, pasaran53, sasi54 dan tahun.55
Neptu Dina ialah suatu perhitungan dalam adat istiadat Jawa
yang berdasarkan atas ketentuan nilai hari, yaitu minggu, senin,

50
Dalam pelaksanaan hari perkawinan, ada dhina, baik hari atau bulan yang memang
khusus dianjurkan untuk melaksanakan acara tersebut, misalnya mengikuti jejak Rasulullah SAW.
Seperti apa yang telah diceritakan Siti Aisyah R.A. bahwasanya Rasulullah menikahiku bulan
Syawal, dan menyetubuhiku bulan syawal, maka dari itu Siti Aisyah menganjurkan para suami
untuk menggauli istri untuk pertama kalinya di bulan Syawal. (Lihat Fadli Bahri, Ensiklopedi
Muslim (Jakarta: PT Darul Falah, 200), 581
51
L. Canifah AG, Primer dan Horoskop (Jakarta: CV Bintang Pelajar, T.th), h. 7
52
Neptu Dina: Akad (Neptune: 5), Senen (Neptune: 4), Selasa (Neptune: 3), Rabu
(Neptune: 7), Jum’at (Neptune: 6) dan Sabtu (Neptune: 9)
53
Neptu Pasaran: Kliwon (Neptune: 8), Legi (Neptune: 5), Pahing (Neptune: 9), Pon
(Neptune: 7), dan Wage (Neptune: 4.5)
54
Neptu Bulan: Sura (Neptune: 7), Sapar (Neptune: 2), Rabiul Awal (Neptune: 3), Rabiul
Akhir (Neptune: 5), Jumadil Awal (Neptune: 6), Jumadil Akhir (Neptune: 1), Rejeb (Neptune: 2),
Ruwah (Neptune: 4), Poso (Neptune: 5), Sawal (Neptune: 7), Dzulqa’dah (Neptune: 1) dan Besar
(Neptune: 3)
55
Neptu Windu: Alip (Neptune: 1), Ehe’ (Neptune: 5), Jimawal (Neptune: 3), Je’
(Neptune: 7), Dal (Neptune: 4), Be’ (Neptune: 2), Wawu (Neptune: 6) dan Jimakir (Neptune: 3).
(Lihat Tjakraningrat, KPH, Primbon Bental Jemur Adammakna (Yogyakarta: dihimpun oleh R.
Soemodibjo), h.7
49

selasa, rabu, kamis, jum’at dan sabtu. Neptu Pasaran ialah suatu
perhitungan dalam adat istiadat Jawa berdasarkan ketentuan nilai
pasaran, yaitu pahing, pon, wage, kliwon dan legi. Neptu bulan ialah
suatu perhitungan dalam istiadat Jawa berdasarkan ketentuan nilai
bulan, yaitu suro, sapar, syawal, dzulqa’dah, dan besar. Neptu tahun
ialah suatu perhitungan dalam adat istiadat Jawa berdasarkan
ketentuan nilai tahun, yaitu alip, ehe’, jimawal, je’, be’, wawu dan
jimakir.56
b. Hari Baik Dalam Islam
Pada dasarnya setiap hari adalah baik, namun dalam jumlah hari
dalam satu minggu ada hari-hari yang dianggap istimewa oleh
sebagian masyarakat, dalam satu tahun ada bulan-bulan yang dinggap
karomah. Dalam Islam, memang terdapat hari-hari atau bulan-bulan
tertentu yang diagungkan, sebab pada hari atau bulan tersebut terdapat
sebuah keutamaan-keutamaan tersendiri. seperti bulan yang dianggap
bulan penuh berkah yakni bulan Ramadlon, Dzulhijjah, hari Arafah
dan Asyuro’, bulan Muharram.57
Menurut Bangsa Arab bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram
dan Rajab dikategorikan sebagai bulan yang suci atau yang dikenal
dengan sebutan Asysyahrul Hurum, karena bulan-bulan tersebut
merupakan rentang waktu pelaksanaan ibadah haji menuju Bait Allah
yang merupakan tempat suci. Sementara pada bulan Rajab adalah
waktu pelaksanaan Umrah.58 Sebagaimana dijelaskan dalam hadis
Nabi Saw berikut:

ََ‫عَنََابَنََعَبَاسََقَالََقَالَََرسَولََهللاَصلَىَهللاَعليهَوسلَمَمَاَمَنََأَيَامََ َالعَمَلََالصَالَح‬

ََ‫اَرسَولَ َهللاَ َ َوالَ َاجلَهَادَ َِفَ َسَبَيَل‬


َ َ‫فَيَهَنَ َأَحَبَ َاَلَ َهللاَ َمَنَ َهَذَهَ َالَيَامَ َالعَشَرَ َفَقَالَ َواَي‬

56
Kisuro, Primbon Jawi Lengkap Edisi Bahasa Indonesia, cet. 1 (Solo: UD Mayasari,
1995), h. 3
57
Muhammad Abdussalam al-Syaqiry, Bid’ah-bid’ah yang Dianggap Sunnah, Cet III
(Jakarta: Qisthi Press, 2004), h. 149
58
Khalil Abdul Karim, Syari’ah Sejarah Perkelahiran dan Pemakaman (Yogyakarta:
LKIS, 2003), h.10
50

ََ‫مَوالَ َاجلَهَادَ َِفَ َسَبَيَلَ َهللاَ َاَالَ ََرجَ ٌَل َخَ َرج‬
َ َ‫سولَ َهللاَ َصلَىَهللاَعليهَوسل‬
َ ‫هللاَ َفَقَالَ ََر‬
59
َ‫بَنَفَسَهََ َومَالَهََفَلَمََيََرجَعََمَنََذَلَكََبَشَيَء‬
Artinya:
Dari Ibnu Abbas berkat, Rasulullah Saw bersabda: “tidak ada hari-
hari untuk berbuat Amal shalih yang lebih Allah cintai kecuali
sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah” para sahabat
bertanya,wahai Rasulullah, sekalipun Jihad fi Sabilillah? Rasulullah
Saw menjawab “seskalipun jihad fi sabilillah, kecuali seorang
lelaki yang pergi berjjihad dengan harta dan jiwanya lalu tidak
kembali sedikitpun dari keduanya”.
Selain itu, Nabi juga pernah menikahkan putrinya dibulan
tertentu, namun hal tersebut memang disengaja tanpa
memperhitungkannya terlebih dahulu. Artinya, sebelum menikahkan
putrinya Nabi tidak memilih bulan yang cocok dan baik untuk
pernikahan putrinya, namun karena memang sudah waktunya menikah
hal tersebut dilakukan.60 Namun pada bulan ini Nabi juga pernah
melangsungkan pernikahannya dengan Siti Aisyah sebagaimana hadis
yang dikisahkan oleh Siti Aisyah R.A.:

ََ‫عَنَ َعَائَشَةَ َقَالَتَ َتَ َزَوجَنَ ََرسَولَ َاّللَ َصَلَىَاّللَ َعَلَيَهَ َ َوسَلَمَ َفَ َشَ َوالَ َ َوبَنَ َِبَ َف‬

ََ‫شَ َوالَ َفَأَيَ َنَسَاءَ َرسول َاّللَ َصلى َاّلل َعَلَيَهَ َ َوسَلَمَََكَانَ َأَحَظَى َعَنَدَهَ َمَنَ َقَال‬

َ 61
َ‫َوكَانَتََعَائَشَةََتَسَتَحَبََأَنََتَدَخَلََنَسَاءَهَاَفََشَ َوال‬

Artinya:
Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah Saw menikahiku pada bulan
syawwal, menggauliku pada bulan syawwal; maka isteri beliau
yang manakah yang lebih beruntung disisinya selain aku? Ia
berkata, Aisyah senang jika para wanita dinikahi pada bulan
Syawwal.

59
Abu Isa al-Tirmidzi, al-Jāmi’ al-Shahih li al-Tirmidzi (Beirut: Dar al-Fikr, 1936), h.
205
60
Khalil Abdul Karim, Syari’ah Sejarah Perkelahiran dan Pemakaman (Yogyakarta:
LKIS, 2003), h.10
61
An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan
Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 903
51

Dengan riwayat tersebut Sitti Aisyah ingin meluruskan asumsi


masyarakat Arab yang menghindari bulan Syawal untuk
melaksanakan pernikahan, bahkan menganjurkannya. Sebab Pada
jaman dahulu bangsa Arab mengenal tentang hari yang baik dan tidak
baik atau dikenal dengan hari (na’as) yakni bulan Syawal. Sehingga
pada masa tersebut, bulan Syawal sangat dihindari dalam
melaksanakan perkawinan.62 Hal yang serupa juga sebagaimana
pernikahan Rasulullah Saw dengan Saudah binti Zam’ah yang
dilaksanakan pada bulan Syawal tahun kesepuluh dari kenabian.63

Pada dasarnya semua bulan dalam Islam memiliki keutamaan


masing-masing. Hari, bulan dan Tahun yang telah Allah ciptakan
semuanya baik, tidak ada hari yang na’as, karena kecelakaan dan
kesialan merupakan takdir dari Allah Swt yang mana hal tersebut
tidak diketahui oleh Manusia kecuali setelah hal tersebut terjadi.
Menganggap waktu sebagai penyebab kesialan suatu usaha
sebenarnya merupakan mitos yang terjadi di Masyarakat Pra-Islam.
Pada masa itu mereka sering berkumpul diberbagai kesempatan untuk
berbincang-bincang berkaitan dengan berbagai hal, dan dalam
perbicangan tersebut terlontar ucapan-ucapan yang menjadikan waktu
sebagai penyebab kesialan usaha mereka, atau ketika mereka terkena
musibah yang lain.
3. Pelaksanaan Pernikahan
a. Pengertian Walimah al-Urs
Walimah berasal dari kata walm yang berarti berkumpul. Sebab,
kebiasaan orang berkumpul, ketika ada walimah. Sedangkan secara
syara’ walimah digunakan pada makanan yang disediakan untuk
mengungkapkan rasa bahagia yang sedang dirasakan. Baik rasa

62
Sirojuddin dan Mohammad Bashri Asyari, Tradisi Nyareh Dhina Dalam Penentuan
Hari Pernikahan Perspektif Hukum Islam di Desa Larangan Badung. Jornal al-Hikam Vol. 9 No.
1 Juni 2014, h. 25 Lihat Pula An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun,
Suharlan dan Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 903
63
Maulana Muhammad Zakariya al-Kandahlâwî, Fadilah al-A’mâl, penerjemah Musthafa
Sayani (Bandung: Pustaka Ramadhan, tt), h. 574-575
52

bahagia tersebut didasari atas sesuatu yang telah terjadi maupun


sesuatu hal yang akan terjadi.64
Adapun walimah dalam arti yang khusus dinamakan walimah
al-Urs yang mengandung pengertian peresmian pernikahan yang
bertujuan untuk memberitahukan kepada khalayak umum bahwa
kedua pengantin telah resmi menjadi suami istri dan sekaligus sebagai
rasa syukur keluarga kedua belah pihak atas berlangsungnya
pernikahan tersebut.65
Walimah al-Urs terdiri dari dua kata, yaitu walimah dan al-Urs.
walimah secara etimologi berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata ،‫اولم‬
‫ وليمة‬،‫ ومولم‬،‫ إيالما‬،‫ يولم‬dalam bahasa Indonesia berarti kenduri atau
pesta. Jama’ kata ‫ وليمة‬adalah ‫والئم‬.66
Sedangkan al-Urs secara etimologi juga berasal dari bahasa
arab, yaitu ‫ عرس‬dan jama’nya adalah ‫ اعراس‬yang berarti perkawinan
atau makanan pesta.67 Walimah al-Urs secara terminologi adalah
suatu pesta yang mengiringi akad pernikahan,68 atau perjamuan karena
sudah menikah.69
Walimah atau pesta nikah adalah satu hal yang dilakukan untuk
memberi kesan bagi suami isteri yang segera memasuki jenjang
keluarga. Ia merupakan perayaan suci bagi lahirnya kekuatan baru
yang merupakan gabungan dua kekuatan cinta. Semacam deklarasi
kasih sayang pada segenap handai taulan bahwa mereka sanggup
mengemban amanah suci.70

64
Abu Yasid, Fiqih Realitas Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam
Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 247.
65
Abdul Aziz Dahlan (eds), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Houve,
1996), h. 1917.
66
Syams al-Din Muhammad bin Abi Abbas al-Ansari, Nihayah al-Muhtâj ila Syarh al-
Minhâj, (Beirut: Dar al-Fikr, t,th), h.369.
67
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/ Penafsir Al-Qur'an, 1973), h. 260
68
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), h.
430.
69
Muchtar Effendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, (Palembang : Universitas Sriwijaya,
2001), h. 400.
70
Ashad Kusuma Djaya, Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2001), h.133-134
53

Menurut Ibn Atsir, walimah hanya khusus bagi jamuan yang


dilakukan berkenaan dengan pernikahan saja. Dan dapat dikatakan,
bahwasanya walimah yang dimaksud hanya walimah al-Urs saja.
Dijelaskan bahwa walimah ialah jamuan yang diadakan kaena
peristiwa atau acara yang diadakan dengan mengundang orang untuk
menghadirinya.71
Di dalam melaksanakan resepsi pernikahan tidaklah harus
dengan bermewah-mewahan, akan tetapi cukup dengan
menghidangkan makanan semampunya, sekalipun tidak terdapat
makanan berupa daging atau roti. Karena pada saat Rasulullah Saw.
Mengadakan resepsi perkawinannya dengan Siti Shafiah hanya
menghidangkan makanan kurma, keju serta minyak samin dan para
shabatpun merasa puas (kenyang) dengannya.72
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat pahami
bahwa walimah al-Urs merupakan sebuah acara sebagai tanda syukur
atas akad nikah yang sudah dilaksanakan serta sebagai upaya untuk
pemberitahuan atau mengumumkan kepada masyarakat bahwa
anaknya sudah memiliki pasangan. Serta menyediakan jamuan
makanan yang khsus disiapkan untuk para tamu, dengan penyajian
sesuai dengan kemampuannya.
b. Dasar Hukum Walimah al-Urs
Para ulama berbeda pendapat mengenai pelaksanaan pernikahan
ini, hal ini dilatar belakangi anjuran Rasulullah Saw. Terhadap para
sahabat untuk melaksanakan walimah walaupun hanya dengan seekor
kambing saja. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw berikut:

71
Teungku Muhammad Hsbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2001) h. 158
72
Mahmud Mahdi al-Istanbuli, Kado Perkawinan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2012), h. 236
54

ََ‫الرحَنَ َبَن‬
َ َ َ‫مَرأَىَعَلَىَعَبَد‬
َ َ‫عَنَ َأَنَسَ َبَنَ َمَالَكَ َأَنَ ََرسَولَ َهللاَ َصلَىَهللاَعليهَوسل‬

ََ‫ىَوَزنََنَ َواةََمَن‬
َ َ‫امرأَةََعَل‬
َ ََ‫عَ َوفََأَثَرََصَفََرةََفَقَالََمَاهَذَاَقَالََيارسولَهللاَإَنََتَ َزَوجَت‬
73
َ‫َ َولَ َوبَشَاة‬،َ‫َأول‬،َ‫ذَهَبََفَقَالََبَ َاركََهللاََلَك‬

Artinya:
“Dari Anas bin malik, bahwa Rasulullah Saw. Telah melihat
bekas kekuning-kuningan pada Abdurrahman bin Auf, maka
Rasulullah Saw. Bertanya, apa ini? Abdurrahman menjawab,
sesungguhnya saya telah menikah dengan seorang perempuan
dengan mas kawin seberat satu biji emas. Kemudian Rasulullah
Saw. bersabda, semoga Allah Swt memberkatimu, adakanlah
walimah sekalipun dengan seekor kambing”
Perintah nabi untuk mengadakan walimah dalam hadis ini tidak
mengandung kewajiban, akan tetapi dipahami oleh jumhur ulama
sebagai kesunnahan karena demikian hanya merupakan tradisi yang
hidup melanjutkan tradisi yang sudah ada pada kalangan masyarakat
Arab semenjak Islam belum datang. Pelaksanaan walimah pada masa
sebelum Islam itu diakui oleh Nabi bahwa hal tersebut perlu
dilanjutkan, namun juga disertai dengan perubahan yang sesuai
dengan yang diajarkan dalam agama Islam.74

Ulama berbeda pendapat dengan jumhur ulama adalah Zahiriyah


mengatakan bahwa diwajibkan atas setiap orang yang melaksanakan
perkawinan untuk kemudian melaksanakan acara walimah al-Urs,
baik dengan acara yang sederhana maupun dengan acara yang cukup
mewah sebagaimana dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-
masing keluarga. Pendapat ini didasarkan terhadap hadis yang

73
Muhammad bin Isa bin Saurah al-Tirmidzi, Shahih Sunan al-Tirmidzi, Kitab al-Nikah
Bab Mā Jāa Fi al-Walimah (Riyad: al-Ma’arif li al-Nasyri wa al-Tauzi’, 2000), h. 555
74
Imam al-Ghazali, Etika Perkawinan (Membentuk Keluarga Bahagia), terj. (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1993), h. 65
55

dikemukakan di atas dengan pemahaman bahwa perintah yang


terdapat dalam hadis tersebut sebagai perintah yang wajib.75

Pendapat yang demikian juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i


dalam kitabnya al-Um bahwa mengadakan walimah al-Urs itu adalah
wajib, hal ini berlandasakan karena Rasulullah Saw. sendiri selalu
mengadakan walimah terhadap para istrinya baik ketika Rasulullah
Saw. sedang dalam kondisi bepergian ataupun dalam kondisi sedang
menetap.76

Ibn Hazm mengatakan bahwa hukum pelaksanaannya adalah


wajib. Hal ini didasari pada hadis-hadis yang membicarakan tentang
walimah al-Urs menunjukkan bahwa dalam melaksanakannya adalah
wajib terutama terhadap hadis yang telah dikemukakan di atas tentang
perintah Rasulullah terhadap Abdurrahman bin Auf.77 Serta ia juga
menolak yang menyatakan bahwa hukum pelaksanaan walimah adalah
Sunnah.78

Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa hukumnya adalah


Sunnah, dengan landasan bahwa disuguhkannya makanan pada acara
walimah itu dikarenakan untuk menggambarkan bahwa sedang
terdapat suatu kebahagiaan yang dirasakan suatu keluarga. Oleh
karenanya hukum pelaksanaannya disamakan sebagaimana hukum
walimah-walimah pada umunya (sunnah). Pendapat yang demikian ini
juga dikemukakan oleh Imam Taqiyuddin, sebab sesungguhnya
walimah al-Urs adalah makanan yang tidak dikhususkan bagi orang
yang membutuhkan, maka diserupakan dengan qurban dan hukum
tersebut diqiyaskan terhadap walimah yang lainnya.79

75
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2006), h. 156
76
Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Um, (Beirut: Dar al-Wafa’, 2001), h.213
77
Ibnu Hazm, al-Muhalla, Juz IX (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 450
78
Abdul Aziz dahlan (eds), Ensiklopedi Hukum islam (Jakarta: Ictiah baru van Houve,
1996), h. 1917
79
Imam Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar, Juz II (Semarang: Toha Putra, t.th), h. 68
56

an-Nawi menyatakan bahwa pendapat yang masyhur pada


kalangan sahabat adalah hukum Sunnah, dengan merujuk pada
pemahaman bahwa amar yang terdapat dalam hadis di atas
menunjukkan terhadap hukum yang Sunnah. Hal ini juga senada
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam Malik bahwa hadis
Nabi ‫ أولم ولو بشاة‬menunjukkan bahwa hal tersebut adalah Sunnah.80

80
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat I (bandung: CV Pustaka Setia,
1999), h. 159
BAB IV

ANALISIS PEMAHAMAN MASYARAKAT TENTANG PERNIKAHAN DI


DESA PAYUDAN KARANGSOKON

A. Pemahaman Masyarakat Terhadap Persetujuan pernikahan


Wanita dalam istilah Arab dikategorikan menjadi dua status yakni gadis
(al-bikr) dan janda (as-tsayyib). Kedua status tersebut mempunyai
konsekwensi hukum berbeda, sehingga terjadi perdebatan dikalangan fuqaha’
terhadap bagaimana langkah ketika akan menikahkan putrinya sebagaimana
yang telah penulis kemukakan sebelumnya.
Perdebatan yang terjadi dikalangan ulama umumnya berkaitan dengan
persetujuan perempuan perawan ketika akan dinikahkan yang terkadang
masih identik dengan kemaluannya, sehingga ketika orang tuanya
menanyakan terhadap dirinya ada yang diam dan tidak. Oleh karenanya perlu
atau tidaknya orang tua meminta persetujuan terhadapnya ketika terdapat
seseorang laki-laki yang berniat meminangnya menjadi bagian yang ikut
dikaji oleh para ulama.
Sebagian sahabat berpendapat, apabila walinya adalah ayah atau
kakeknya sendiri, maka meminta persetujuannya disunnahkan dan bisa
diketahui bila ia diam. Dan jika walinya adalah selain keduanya, maka tanda
ia setuju adalah dengan ucapannya, karena seorang gadis biasanya sangat
malu kepada ayah atau kakeknya daripada orang lain. Jumhur ulama
berpendapat bahwa cukuplah persetujuannya diketahui bila ia diam saja dan
berlaku bagi semua wali, berdasarkan keumuman lafadz hadis; karena
perawan mempunyai sifat pemalu dibandingkan lainnya.1
Perdebatan para ulama akan hal tersebut bersumber terhadap ‘illat yang
digunakan oleh para ulama itu sendiri. Dalam kaitan ini ada dua ‘illat yang
dipakai ulama sebagai dasar argumennya, masing-masing ‘illat mempunyai

1
Imam an-Nawawi, terj Syarah Shahih Muslim (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz.
6, h. 893

57
58

konsekwensi hukum yang berbeda. ‘illat yang dimaksud adalah kegadisan


seorang wanita dan kedewasaannya.2
Nor Kholis yang merupakan salah satu tokoh mengatakan bahwa terjadi
perbedaan pemahaman yang dianut oleh masyarakat Karangsokon. Yakni ada
yang minta persetujuan anaknya, merundingkan akan tetapi pendapat anak
tidak begitu dipentingkan serta ada pula yang tidak meminta persetujuan.
Menurutnya perbedeaan pemikiran tersebut didasari dari dua aspek,
yaitu kebiasaan yang terjadi turun temurun dalam masyarakat dan
meningkatnya intelektual masyarakat. Sehingga ada yang mempertahankan
kebiasaan tidak meminta persetujuan dan ada yang merubah cara tersebut.
Pada generasi anak mereka juga sudah mulai mengalami sedikit perbedaan
dimana yang sebelumnya hanya diam atas pilihan orang tuanya, lambat laun
mulai melontarkan pendapatnya terhadap calon pasangannya.3
Kholis dalam hal ini berpendapat bahwa, tidak perlu meminta
persetujuan perempuan gadis. Sebab menurutnya, orang tua lebih tahu mana
yang lebih baik dan lebih buruk untuk anaknya karena tidak mungkin orang
tua akan menjerumuskan anaknya pada sesuatu yang tidak baik. 4 Hal yang
senada juga diungkapkan Muzanni, bahwa tidak perlu meminta persetujuan
gadis dikarenakan tingkat emosional yang dimilikinya belum begitu stabil,
sehingga ketika mengambil keputusan terkadang tanpa melalui proses
pemikiran yang matang terhadap langkahnya, sehingga terkadang malah
berdampak pada penyesalan yang begitu tinggi.5
Hal yang berbeda diungkapkan oleh Ahmad Syafi’I, bahwa perlu
adanya persetujuan dari seorang gadis. Hal ini dikarenakan yang akan
menjalani kehidupan selanjutnya adalah putrinya, ia takut dikemudian hari
terjadi ketidak cocokan antara keduanya yang menyebabkan rusaknya rumah
tangga mereka. Menurutnya, ketika gadis diberikan kesempatan untuk
berbicara maka dia tentunya akan mencoba untuk menyampaikan
keinginannya. Sebab perempuan masa sekarang tentunya tidak akan sama

2
Ibnu Rusyd, ad-Dharuri fi Ushul Fiqh aw Mukhtashar al-Mustashfa, ( Beirut : Dar al-
Gharbu al-Islamiy, 1994), h.4
3
Wawancara Pribadi dengan KH. Nor Kholis, Karangsokon 25 Desember 2016
4
Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016
5
Wawancara Pribadi dengan Muzanni, Karangsokon 27 Desember 2016
59

dengan perempuan pada masa sebelumnya yang akan patuh dan akan tetap
menjaga keinginan orang tuanya.
Memusyawarahkan atau meminta pendapat seorang anak juga
merupakan salah satu media untuk mengajarkan kepada seorang anak untuk
mempertimbangkan setiap langkah yang akan dilangsungkan pada kemudian
hari. Sehingga dengan demikian menurutnya seoarang anak jika terdapat
sesuatu pertentangan pada lain waktu akan merundingkannya dengan pihak
keluarga dan suaminya.6
Ali ibn Adam ibn Musa berpendapat bahwa ada pemisahan antara al-
tsayyib dengan al-bikr. Penggunaan bahasa yang digunakan untuk keduanya
juga berbeda. Kalimat al-Isti’māra menunjukkan adanya musyawarah,
sedangkan ista’dzana untuk menggambarkan indikator yang jelas dari gadis,
baik melalui ucapan dan sikap diam, karena terkadang gadis itu pemalu.7
Pada dasarnya untuk mengetahui sesuatu yang tidak tampak memang
sangat sulit untuk dipahami, sama halnya dengan diamnya seorang
perempuan, sebab tidak dapat dapat dilihat sebagaimana dimensi eksoterik.
H. Hasan mengatakan bahwa diam itu belum tentu menandakan sebagai
bentuk peng-iyaan atas tawarannya, melainkan karena ketidak berdayaan
seorang gadis untuk menolak keinginan keluarganya yang terkadang juga
merasa bingung terhadap lamaran tersebut, karena masih memiliki ikatan
kekeluargaan.
Lebih lanjut H. Hasan mengatakan bahwa, ketika yang melamar
seorang gadis masih memiliki ikatan famili maka keluarga perempuan akan
enggan untuk menolaknya dikarenakan takut terjadi sesuatu yang nantinya
akan memecahkan hubungan silaturrahmi mereka.8
Annemarie Schimmel mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat
dimensi eksoterik yang dapat dilihat melalui panca indera dan dimensi
isoterik yang bersifat abstrak, tidak terlihat, tetapi bisa dirasakan. aspek-aspek

6
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafi’i, Karangsokon 30 Desember 2016
7
Ali ibn Adam ibn Musa al-Atyubi al-Wallawi, Syarh Sunan al-Nasa’i Juz 29 (Makkah:
Maktabah al-‘Arabiyah, 2007), h. 219
8
Wawancara Pribadi dengan H. Hasan Hamid, Karangsokon 28 Desember 2016
60

ruhaniah dari kehidupan hanya dapat diungkapkan melalui aspek-aspek yang


terinderai.9
Nor Kholis menyampaikan bahwa tanda persetujuan seorang gadis bisa
pada diamnya, hal ini dikarenakan rasa percaya diri seorang gadis masih
cukup rendah sehingga untuk menyampaikan perasaannya masih tidak bisa.10
Hal ini didasari dengan hadis Nabi yang berbunyi:

،‫ب اَ َحق بينَ ْف يس َها يم ْن َوليي َها‬ ‫َح َّدثَنَا ابْن أيَِب ُعمر َح َّدثَنَا ُس ْفيَا ْن يِبَ َذا ا يإل ْسنَا ْد وقَ َ ي‬
ُ َّ‫ال اَلث‬ َ ََ ُ
‫ي ي‬ ‫ي‬
‫ص ْمتُ َها إيقْ َر ُارَها‬ َ ‫َوالبي ْك ُر يُ ْستَأْذنُ َها أَبُ ْو َها يف نَ ْفس َها َوا ْذنُ َها‬
َ َ‫ص َماتُ َها َوُرَّّبَا ق‬
َ ‫ال َو‬
11

Artinya:
“Janda lebih berhak atas dirinya sendiridari pada walinya, dan seorang
gadis, maka ayahnya yang meminta izinnya (dalam urusan nikahnya),
tanda ia mengizinkannya adalah bila ia diam.
Tidak perlunya meminta persetujuan terhadap seorang gadis tetaplah
menjadi perdebatan, akan tetapi ketika melihat pada pendapat yang dianut
oleh madzhab al-Syāfi’i masih perlu adanya persetujuan seorang gadis
apabila perempuan tersebut sudah baligh, walaupun pada dasarnya orang tua
masih jauh lebih berhak daripada anaknya.12
Madzhab al-Syāfi’i mengkategorikannya menjadi tiga kelompok, yaitu:
pertama, gadis yang belum dewasa yang dimaksud adalah perempuan yang
belum haid dengan ketentuan bahwa seorang bapak boleh menikahkan
putrinya tanpa adanya persetujuan dengan syarat harus menguntungkan bagi
anaknya. Kedua, gadis dewasa adalah yang sudah haid dengan ketentuan
antara anak memiliki hak sama, namun hak tersebut masih lebih
diperuntukkan kepada bapaknya walaupun dianjurkan musyawarah antara
keduanya (anak dan bapak). Ketiga, janda yang dalam hal tersebut harus
mendapatkan persetujuan dari yang bersangkutan.
Madzhab al-Syāfi’i merupakan madzhab yang dijadikan sebagai
pedoman oleh Masyarakat Karangsokon dalam segala kegiatannya, akan
9
Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi Memahami Islam secara
Fenonenologis, Terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1996), h. 22-23.
10
Wawancara Pribadi dengan KH. Nor Kholis, Karangsokon 25 Desember 2016
11
Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan
Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 889
12
Lihat Abdul ar-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahibi al-Arba’ah, Juz IV (Beirut:
Dar al-Afkar, tt), h. 35
61

tetapi dalam persetujuan gadis tidak demikian sebagaimana yang semestinya.


Hal ini dikarenakan karena kentalnya budaya terdahulu tentang menikahkan
putrinya yang tidak memerlukan persetujuan anaknya. Bahkan malah
mengarah pada perjodohan terhadapnya yang disandingkan dengan
kerabatnya baik yang dekat ataupun yang jauh, dengan alasan untuk
mempererat tali silaturrahmi.
Hasibah mengatakan bahwa kebiasaan tidak meminta persetujuan pada
gadis itu tentunya memiliki kekurangan dan kelebihan tersendiri. Sebab
menurutnya ketika seorang gadis tidak dimintai persetujuan atau bahkan
kiranya seperti berjodohan akan berdampak pada mental seorang gadis, baik
rasa takut, tidak tenang dan beberapa perasaan lainnya. Bahkan tak ayal
terkadang ketika sudah dilangsungkan resepsi pernikahan masih banyak
seorang gadis yang kemudian menangis ketika akan disandingkan
dipelaminan, ironisnya lagi ketika dipertemukan sang gadis seakan hanya
menjaga agar orang tuanya tidak malu didepan orang banyak. Sebab ketika
sang gadis dipertemukan dengan suaminya setalah akad nikah, sepertinya
tidak sedikitpun merespon akan kedatangan suaminya tersebut.
Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa ketika gadis tahu bahwa ia sudah
dipasangkan dengan seorang laki-laki terbersit keinginan untuk
menggagalkan ikatan tersebut. Namun kebanyakan dari mereka tidak
memiliki keberanian untuk menyampaikan perasaannya tersebut. Sehingga
kemudian berdampak pada keseharian mereka yang berubah, seperti halnya
murung, tidak begitu bisa makan atau bahkan dalam kesehariannya selalu
menagis.
Sikap yang demikian tersebut didasari dengan pemikiran mereka,
bahwa ketika sudah memiliki pasangan maka tidak akan lama lagi mereka
akan dinikahkan bahkan walaupun sedang menjalani masa pendidikan.
Sehingga tentunya bagi seorang gadis yang masi ingin untuk melanjutkan
pendidikan yakin bahwa ia tidak kan lagi bisa belajar ke jenjang yang lebih
tinggi. Oleh karenanya ada sebagian mereka malah terbersit untuk kabur dari
rumahnya agar tidak dapat dilangsungkan pernikahan.13

13
Wawancara pribadi dengan Hasibah, Karangsokon 27 Desember 2016
62

Kholis mengatakan bahwa pentingnya menikahkan puterinya dengan


laki-laki yang masih memiliki ikatan family, selain karena nasab dan
bagaimana tingkah laku anak tersebut sudah diketahui juga dikarenakan untuk
semakin mempererat hubungan kekerabatan yang sudah ada.14
Kebiasaan memasangkan antara sanak famili ini diidentikkan terhadap
famili yang memiliki ikatan agak jauh dengan keyakinan akan semakin
mengikat terhadap persaudaraan tersebut (makle ta’ elang). Begitulah yang
diyakini sebagian warga, akan tetapi ada pula yang hanya beda dua langkah
antara satu rumah dengan yang satunya (settong tanian) dan yang demikian
tidak memiliki hubungan yang jauh melainkan terkadang hanya sepupu saja.
Pernikahan dengan saudara yang masih dekat diyakini oleh sebagian
masyarakat bahwa hal itu akan menyebabkan akan lemahnya syahwat, hal ini
dikarenakan menurut mereka keseringan bertemu dan bersama menjadikan
keduanya tidak memiliki perasaan apapun, sebab syahwat itu hanyalah akan
bangkit jika mendapatkan dorongan dari kekuatan indera. Keyakinan yang
demikian ini juga pernah disabdakan Nabi Saw: “janganlah kamu menikahi
(wanita) yang masih kerabat dekat, karena anak terlahir (tercipta) dalam
keadaan kurus.”15
H. Hasan menambahkan bahwa ketika seoarang anak dipasangkan
dengan yang maih memiliki ikatan keluarga, maka kedua belah pihak tidak
perlu mengkhawatirkan tentang keadaan nasab antar keduanya. Tentunya
mereka sudah saling mengetahui, berbeda dengan ketika seorang anak
memilih pasangannya sendiri yang sebelumnya tidak dikethui kedua orang
tuanya.
Sebab menurutnya ketika orang tua akan menikahkan putrinya atau
bahkan menikahkan putranya harus melihat pada bagaimana kondisi nasab
yang ada pada kedua keluarga. Hal ini sebagaimana yang diajarkan agama
bahwa ketika ada seorang laki-laki ingin melamar seorang gadis harus dilihat
dari beberapa aspek yang diantaranya adalah Linasabiha (keadaan
keluarganya).

14
Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016
15
Imam al-Ghazali, Etika Perkawinan (Membentuk Keluarga Bahagia), terj. (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1993), h. 58
63

Menurutnya jikalau seorang anak sudah memilih sendiri, maka orang


tuanya ketika terjadi sesuatu diantara kedua pasangan terkadang merasa
enggan dan tidak akan ikut campur seakan-akan acuh dengan apa yang terjadi
antara kedua anaknya pada waktu tersebut. Serta sebagian keluarga juga
meyakini bahwa jika memilih sendiri maka hubungannya tidak akan
berlangsung lama (langgeng). Sebab menurut mereka, pilihan tersebut hanya
didasari dari rasa emosional saja yang mereka rasa pemilihan yang ada
didasari dengan nafsu itu hanya bersifat sementara.16
Tidak semua orang tua memilih untuk menikahkan putrinya dengan
laki-laki yang masih memiliki ikatan famili, dengan pengakuan bahwa
mereka khawatir jika pada kemudian hari terjadi perpecahan anatara
keduanya. Karena jika hal tersebut sampai terjadi maka akan sulit untuk
menghindari kesenjangan diantara kedua keluarga, walaupun terkadang
diantara kedua putra dan putrinya tidak mempermasalahkan akan hal tersebut.
Akan tetapi tidak demikian dengan orang tua mereka.
Ahmad Syafi’i menambahkan bahwa untuk mempererat hubungan
antara famili bukan hanya dengan menikahkan anaknya saja, melainkan
dengan berbagai hal yang lain. Sebab menurutnya jika disandingkan dengan
yang masih memiliki hubungan famili akan terjadi kecangguungan antara
kedua anak, seperti halnya terhadap panggilan kesehariannya sebelum mereka
dinikahkan Semisal laki-lakinya terbiasa memanggil cebbing (ponakan) dan
perempuannya memanggil paman (Majedik) maka panggilan tersebut akan
tetap seperti itu walaupun sudah menikah. Sehingga dengan sebutan tersebut
seakan-akan terdapat kesenjangan anatar pasangan tersebut.17
Kebiasaan Masyarakat Payudan Karangsokon tidak meminta
persetujuan gadis sebelum dinikahkan merupakan tradisi yang sudah
berlangsung semenjak dahulu, walaupun sudah mengalami sedikit pergesaran
untuk mengajak putrinya berunding terkait dengan calon pasangannya, akan
tetapi walaupun demikian terkadang pendapatnya tetap tidak dijadikan
pertimbangan untuk mengambil suatu keputusan. Artinya adalah bahwa
perundingan yang dimaksud hanya sebatas untuk memberitahukan saja
16
Wawancara Pribadi dengan H. Hasan Hamid, Karangsokon 28 Desember 2016
17
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafi’i, Karangsokon 30 Desember 2016
64

(formalitas) agar supaya tahu bahwa anak gadis tersebut sudah ada yang
melamar sehingga putrinya tidak terkejut ketika sudah sampai pada hari
pernikahan.
B. Makna Tradisi Penentuan hari baik (Nyareh Dhinah Begus) bagi
Masyarakat Payudan Karangsokon
Pernikahan merupakan sesuatu yang sangat sakral dan agung, sebab
dalam berbagai ritual yang dilakukan didalamnya semenjak dimulainya
lamaran hingga kemudian sampai pada acara ijab qabul memiliki makna
tersendiri. Hal ini dikarenakan pernikahan merupakan pangkal dari
pembentukan rumah tangga yang nantinya akan menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat.
Pelaksanaan dari pernikahan tersebut tentunya akan diupayakan dan
disiapkan sebaik mungkin. Salah satu yang menjadi bagian penting menurut
masyarakat Payudan Karangsokon adalah menentukan waktu yang baik dari
pelaksanaan acara pernikahan tersebut dengan keyakinan bahwa hal tersebut
akan menjadi penunjang keberlangsungan rumah tangganya.
Dalam pelaksanaan perkawinan yang perlu diperhitungkan adalah hari
dan tanggalnya pada saat pelaksanaan ijab kabul atau akad nikah. Sebab ijab
kabul merupakan acara inti dari perkawinan, sedangkan untuk pesta
perkawinan merupakan salah bentuk rasa syukur atas berlangsungnya akad
tersebut. Saat pelaksanaan akad pernikahan perlu diperhitungkan dengan
seksama, hal ini sebagaimana adat Jawa yaitu adanya perhitungan hari
kelahiran atau weton (Bahasa jawa) kedua belah pihak calon pengantin.18
Semenjak dahulu di berbagai daerah mempunyai anggapan bahwa hari
dan bulan tertentu terdapat waktu yang tidak baik untuk melangsungkan
sebuah acara, apalagi acara pernikahan. Kalau hari atau waktu yang dikatakan
tidak baik itu didasari dari keradaan ruhani kedua mempelai yang
bersangkutan.
Pada dasarnya, mencari waktu yang baik atau yang paling baik
bukanlah termasuk dari bagian sesuatu yang disyaratkan dalam setiap
melangsungkan akad nikah. Namun dalam tradisi yang terjadi di Masyarakat
18
Fahmi Kamal, Perkawinan Adat Jawa Dalam Kebudayaan Indonesia, Jurnal Khasanah
Ilmu Vol. 5 No. 2 September 2014, h. 40
65

tidaklah sama mengatakan demikian, bahwa menentukan hari dalam akad


nikah adalah sesuatu tindakan yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja.
Kepercayaan yang sudah mengakar di Masyarakat mengatakan bahwa nyareh
dhinah begus (mencarai hari baik) adalah media mencari berkah Allah dalam
pelaksanaan akad nikah untuk kebahagian anaknya, serta untuk
menghilangkan prasangka atau praduga buruk yang biasanya muncul pada
diri Masyarakat ketika akan melangsungkan acara.19
Perhitungan hari baik yang digunakan oleh masyarakat Desa Payudan
Karangsokon masih tetap menggunakan perhitungan Jawa yang sudah
dilestarikan semenjak masa nenek moyang, proses pencarian tersebut bisa
melalui perantara tokoh masyarakat atau dengan melakukan perhitungan
sendiri jikalau orang tersebut mengetahui tentang proses perhitungannya.
Perhitungan jawa yang dimaksud memiliki dua macam, diantaranya:
pertama buku primbon: kebiasaan dalam masyarakat untuk mempermudah
mengetahui hari yang baik dengan berpedoman padanya. Setelah melakukan
penghitungan jumlah hari dan pasaran dari suami serta istri, lalu ditemukan
neptu dari tanggal lahir keduanya, Seperti halnya dengan tradisi Kejawen
yang mana dalam tradisi tersebut banyak hitung-hitungan hari baik atau hari
yang membawa keberuntungan atau hari yang tidak baik atau hari yang
membawa sial.20
Kedua ramalan pada era modern ini muncul banyak paranormal yang
menguasai ilmu nujum yakni ilmu perbintangan yang dalam istilah
maduranya adalah “tokang tebbek”. Misalnya dalam tanggal kelahiran 22 Juni
sampai 22 Juli disebut dengan bintang cancer dimana dalam bulan tersebut
seseorang diramal tidak baik dan tergesa-tergesa dalam segala urusannya dan
akan disesali di kemudian hari, sehingga dianjurkan untuk membenahi dan
banyak memerlukan waktu untuk evaluasi.21 Sedangkan yang masyhur
digunakan Masyarakat Karangsokon adalah pada bagian petama diatas
tentang neptu.

19
Wawancara Pribadi dengan K Muzakki, Karangsokon 29 Desember 2016
20
Muhammad Fairûz Nadhir Amrullah, Terjemahan Qurratul ‘Uyun, (Surabaya: Pustaka
Media, t.t.) h. 44
21
Tabloid Genie, (Jakarta: Pranata Komunikasi Massa, 2006), (16 juli 2006), h. 39.
66

Proses penentuan yang dilakukan oleh masyarakat adalah terbiasa


dengan cara mendatangi seorang tokoh yang dianggap mempunyai
pengetahuan lebih mendalam mengenai agama dan perhitungan tersebut.
Serta mereka juga mendatangi seorang kyai yang tentunya menurut mereka
faham, kemudian apa yang menurut kyai atau tokoh tersebut baik maka itu
yang kemudian dilaksanakan oleh masyarakat.
Kebiasaan mendatangi kyai atau tokoh ini umumnya dilakukan oleh
pihak perempuan, yakni setelah seorang dari pihak keluarga laki-laki datang
untuk memberitahukan bahwa akan melangsungkan pernikahan. Namun dari
pihak laki-laki terbiasa juga membawa waktu yang juga sudah dirundingkan,
setelah itu maka pihak perempuan meminta pertimbangan kembali kepada
tokoh tersebut untuk memperkuat bahwa waktu tersebut memang sudah
merupakan yang terbaik. Dan apabila pada suatu hari memperoleh keburukan
dalam rumah tangganya, mereka tidak akan merasa bersalah, karena sudah
didahului dengan ikhtiyar atau usaha nyare dhina, dalam istilah madura
dikenal dengan “ngadhedhi” dan kemudian pasrah atas kehendak Allah.
Terdapat beberapa aturan yang perlu diperhatikan mengenai penentuan
waktu pernikahan, hal tersebut tentunya harus diperhatikan dan akan selalu
dilakukan oleh Masyarakata, yaitu menyangkut hari-hari lahir antara kedua
calon pasangannya. Hal ini dikarenakan dari hari lahir dapat dilihat tentang
waktu yang baik untuk melangsungkan pernikahannya, sebab dalam
perhitungan Jawa. tanggal, bulan dan tahun kelahiran merupakan rujukan
awal bagi mereka.22
Dalam melakukan hajat pernikahan, kebanyakan Masyarakat
Karangsokon berpedoman dengan melihat pada neptu saja tanpa
menggunakan Ramalan. Seperti halnya neptu dina, neptu pasaran, neptu
bulan dan tahun yang dalam adat istiadat Jawa merupakan salah satu faktor
yang amat penting, hal ini karena neptu memiliki kaitan yang erat dengan
aktifitas kehidupan sehari-hari.
Berikut hari dan pasaran yang dipahami oleh masyarakat Karangsokon:
Jum’at 6 Pahing (Paeng) 9

22
Hildred Geertz, Keluarga Jawa (jakarta: Grafiti Perss, 1985), h. 63
67

Sabtoh 9 Pon (Pon) 7


Ahad 5 Wage (Begih) 4
Senin 4 Kliwon (Klebun) 8
Selasa 3 Legi (Manis) 5
Rebu 7
Kemmis 8
Adapun Nama Bulan-Bulan dalam Kalender Madura dan Hijriah,
sebagai berikut:

No Bulan Hijriah Bulan Madura


1 Muharrom Sorah
2 Safar Sapar
3 Rabi’ul Awwal Molod
4 Rabi’ul Akhir Rasol
5 Jumadil Awwal Mandiwel
6 Jumadil Akhir Mandil Akher
7 Rajab Rejeb
8 Sya’ban Rebbe
9 Ramadhan Pasah
10 Syawal Syabel
11 Dzul Qa’dah Tekepek (Ellak)
12 Dzul Hijjah Hajji
Masyarakat Karangsokon pada umumnya menganggap Jumat sebagai
hari terpenting diantara hari-hari yang lain. sehingga dalam bitongan
diletakkan dalam urutan pertama, oleh karenanya perhitungan hari dalam satu
minggu (samingguh) dimulai dari hari jum’at dan diakhiri dengan hari kamis.
Sedangkan dalam gan pasaran, klebun diletakkan dianggap paling penting
dan ditempatkan dalam jejer pertama sehingga hari pasaran dimulai dari
klebun. Kenapa orang Madura (dan Jawa) mengistimewakan malam jum’at
kliwon karena kedua jejer pertama bertemu dan ini hanya terjadi dalam 35
hari sekali.23
Diutamakannya hari Jum’at oleh masyarakat Karangsokon seperti
halnya umat Islam juga mengutamakannya, biasanya pada malam tersebut
digunakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan rohani. Seperti halnya
melakukan Khatmi al-Qur’an, membaca surah-surah khusus dan beberapa
23
Iksan Sari, “Bitongan dan Pena’asen: Numerologi Bangsa Madura,” artikel diakses
pada 4 Maret 2017 dari https://web.facebook.com/notes/iksan-sahri/bitongan-dan-penaasen-
numerologi-bangsa-madura/10156544316905612
68

kegiatan yasinan yang terbiasa dilakukan oleh beberapa kepala keluarga


untuk mendo’akan para sesepuh dan mengharap agar terhindar dari kesialan.
Kholis dalam hal ini mengatakan bahwa hari, tanggal, bulan dan tahun
sama-sama dihitung. Ia menambahkan bahwa terdapat tanggal-tanggal khusus
yang biasanya digunakan oleh Masyarakat untuk melangsungkan pernikahan.
Yaitu pada tanggal 4, 5, 10 dan 14 dan juga menghindari tanggal 3, 7 dan 25
serta juga terdapat bulan-bulan yang dianggap baik dan tidak baik.
Perhitungan yang dilakukan oleh masyarakat untuk menentukan hari
yang baik dalam melaksanakan pernikahan adalah melihat pada neptu
kelahiran calon suami dan istri beserta hari jumlahnya juga harus
dijumlahkan. Misalnya: seorang laki-laki lahir pada hari Kamis Pon,
perempuan lahir pada hari Selasa Wage untuk akad nikah pada Rebbo
Pahing. Maka, Kamis (8) Pon (7) berjumlah (15). Selasa (3) Wage (4)
jumllah (7), kemudian Rebbu (7) Pahing (9) dengan jumlah (16). Ketika
dijumlahkan seluruhnya adalah 15 + 7 + 16 = 38 kemudian dikurangi lima-
lima sampai habis. 38 – (5x7) = 3. Seperti halnya yang dikemukan kholis di
atas, maka hasil tersebut tidak baik sebab merupakan angka yang dihindari.
Disebutkan dalam kitab Makârîm al-akhlâq bahwa tanggal yang baik
untuk pernikahan dalam setiap bulannya adalah pada tanggal 23 dan 26,
beliau mengatakan pada waktu itu sangat baik untuk dijadikan pilihan dalam
melaksanakan pernikahan, perdagangan dan pemerintahan.24
Selain dari hal tersebut diatas, waktu pelaksanaan ijab qabul juga ikut
diperhitungkan sehingga ketika akan melaksanakan ijab qabul harus sesuai
dan sama persis dengan waktu yang sudah ditentukan. Sebab jika tidak
demikian, maka akan timbul perbincangan dan prasangka yang tidak baik
pada diri masing-masing orang tua.25
Rasa fanatik masyarakat Karangsokon untuk menentukan waktu yang
baik untuk ijab qabul saja, melainkan tempat keluar yang baik untuk seorang
laki-laki keluar rumah sama-sama diperhitungkan pula. Baik dari sisi kanan,

24
Di dalam kitab tersebut dijelaskan mengenai semua hari yang baik dalam pernikahan
yang dikhususkan dalam pembahasan tentang pemiliharan hari. Lihat Syaikh al-Jalîl Radî al-dîn
Abî Nashr al-Hasan bin al-Fadhl al-thabrasî, Makârîm al-Akhlâq (Quwait: Maktabat al-alfayni, t.t),
h.60-601
25
Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016
69

barat, timur atau pun selatan dari rumah laki-laki tersebut yang menurut
mereka kemudian akan mempermudah bagi seorang laki-laki untuk
mengucapkan kalimat ketika ijab dan qabul.
Berbeda dengan pendapat tersebut, Nor Kholis menuturkan bahwa
perhitungan hari baik yang digunakan oleh sebagian kyai adalah dengan
menggunakan hitungan tanggal, yaitu: 1. ‫ بسم هللا‬2. ‫ ألحمد هلل‬3. ‫ انا هلل‬dan
seterusnya. Dia menuturkan bahwa pada dasarnya setiap hari itu adalah baik,
hanya saja orang masih percaya dengan sebutan hari yang baik sehingga
seakan-akan mengkonotasikan bahwa terdapat hari yang tidak baik.26
Berikut yang merupakan Bulan-bulan yang dianggap tidak baik: (1)
Muharrom (Sorah), yang diyakini bahwa jika untuk perkawinan wataknya:
bertengkar dan mengalami kerusakan (2) Rabi’ul Awwal (Mulod) kalau
untuk perkawinan diyakini: Mati salah satu (mati dalam arti luas) (3) Bulan
Romadhan (pasah) yang diyakini Celaka besar jika melakukan pernikahan
pada bulan ini. (4) Bulan Dzul Qa’dah (takepek) diyakini Banyak musuh dan
sakit-sakitan. (5) Bulan Safar (sappar) Kekurangan dan banyak hutang. Boleh
dilakukan (6) Bulan Robi’ul Akhir (Mandil Akher) selalu dicacat dan menjadi
pergunjingan yang tidak baik. Boleh dilakukan; (7) Bulan Jumadil Awal
(Mandiwel) sering kehilangan, kena tipu dan banyak musuh. Boleh
dilakukan; (8) Bulan Sawal (sabel) kekurangan dan banyak hutang. Boleh
dilakukan.27
Melihata dari uraian tersebut terdapat bulan-bulan yang tidak boleh dan
boleh untuk melaksanakan pernikahan, walaupun ketika dilihat masih
terdapat keterangan pada setiap bulannya. Akan tetapi walaupun terdapat
penjelasan yang kurang baik pada beberapa bulan yang dibolehkan menikah
itu menunjukkan bahwa tidak semua hari atau tanggal yang terdapat pada
bulan tersebut tidak baik, oleh karenanya diperlukan kematangan dalam
pemilihan waktunya,

26
Wawancara Pribadi dengan KH. Nor Kholis, Karangsokon 25 Desember 2016
27
Sirojuddin, dan Mohammad Bashri Asyari, Tradisi “ Nyare Dhina” Dalam Penentuan
Hari Pernikahan Perspektif Hukum Islam Di Desa Larangan Badung. Journal al-Hikmah Vol. 9
No. 1 Juni 2014
70

Dilihat dari perincian di atas, maka sisa empat bulan yang dianggap
baik. Namun yang dianggap sebagai bulan pernikahan oleh masyarakat
Karangsokon adalah bulan Jumadi Tsani (Rasol) dan Bulan Dzul Hijjah. Pada
dua bulan tersebut tadi, akan dijadikan pilihan utama ketika ada yang akan
melangsungkan pernikahan. Bahkan terkadang pada kedua bulan tersebut bisa
tiga perkawinan yang dilakukan dalam satu harinya, sebab bulan ini benar-
benar diyakini sebagai bulan yang baik.
Hal lain yang terkadang juga menjadi pertimbangan oleh Masyarakat
Karangsokon adalah melihat pada bulan pelaksanaan pernikahan orang tua
dari calon kedua mempelainya, artinya adalah tidak boleh melaksanakan
acara pernikahan pada bulan yang sama dengan bulan yang telah
dilangsungkan oleh orang tua mereka sebelumnya, walaupun dalam
perhitungan jawa menunjukkan bahwa waktu tersebut baik untuk
melangsungkan pernikahan. Sebab mereka meyakini bahwa hal tersebut akan
terjadi sesuatu yang tidak baik bagi calon kedua mempelai, seperti tidak
langgengnya pernikahan dan sebagainya.
Penentuan hari baik (Nyareh Dhinah Begus) menurut masyarakat
Karangsokon adalah sebagai upaya untuk menghindari sesuatu yang tidak
baik pada kemudian hari setelah pernikahan dilangsungkan dan tentunya hal
tersebut sebagai untuk mendapatka Barokah dari Allah Swt jika acara yang
dilangsungkan didasari dengan perhitungan yang baik dan matang. Sehingga
dari hal itu kemudian akan menambahkan keberkahan terhadap rumah tangga
anaknya.
Sebagian masyarakat mengatakan bahwa dengan adanya upaya
menentukan hari baik (nyareh dhina begus) ini menimbulkan dampak positif
yang dirasakan oleh masyarakat setempat, seperti halnya menghilangkan rasa
ragu, menciptakan kedamaian dan saling mengerti baik diantara orang tua
masing-masing serta bagi kedua pasangan pengantin.
Kholis mengatkan bahwa mentukan hari baik ini merupakan upaya
yang baik, karena semua sesuatu yang dianggap baik oleh orang Islam maka
di hadapana Allah Swt juga baik dan juga sebalinya. Ungkapan ini ia dasari

‫سنا َوَم َاراَهُ الُ ْس يل ُم ْو َن‬ ‫ي ي‬ ‫ي‬


pada hadis yang berbunyi: َ ‫سنا فَ ُه َو ع ْن َد للا َح‬
َ ‫َم َاراَهُ الُ ْسل ُم ْو َن َح‬
71

‫قَبييحا فَ هو يع ْن َد ي‬
‫للا قَبيْيح‬ َُ ْ (sesuatu yang dilihat oleh orang Islam baik, maka

dihadapan Allah juga baik dan sesuatu yang dilihat jelek oleh orang Islam
maka dihadapan Allah juga jellek).28
Oleh karenanya dapat difahami bahwa pemaknaan masyarakat
Karangsokon terhadap penentuan hari baik ini adalah untuk menghilangkan
rasa cemas dan was-was bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak baik
kemudian harinya.
C. Pemahaman Masyarakat Terhadap Penggunaan Masjid Sebagai Tempat
Pelaksanaan Pernikahan
Upacara pernikahan merupakan acara lanjutan setelah menentukan hari
baik dan proses khitbah. Kegiatan ini merupakan bentuk rasa syukur
masyarakat atas pernikahan anaknya dan juga sebagai media untuk
memberitahukan bahwa anaknya sudah memiliki pasangan yang sah secara
hukum Islam, sebab jika tidak demikian dimungkinkan akan adanya
pembicaraan yang kurang baik terhadap anaknya ketika dilihat oleh seseorang
sedang bersamaan dengan seseorang yang berlainan jenis.
Upacara pernikahan lebih masyhur dengan sebutan Walimah al-‘Urs
yang memiliki arti peresmian pernikahan untuk memberitahukan kepada
orang banyak bahwa pasangan tersebut telah resmi menjadi suami istri
sekaligus sebagai bentuk rasa syukur keluarga kedua belah pihak atas
berlangsungnya pernikahan putra-putrinya.29
Dalam pelaksanaannya, calon suami tidak akan lansgsung disandingkan
dengan calon istrinya sebagaimana kebiasaan sebagian masyarakat yang lain.
Keduanya akan dipertemukan setelah laki-laki tersebut selesai mengucapkan
ijab dan qabul.
Kholis mengatatakan bahwa Walimah yang dipahami masyarakat
Karangsokon adalah merupakan acara tasyakkuran dan do’a atas pernikahan
yang dilangsungkan, sehingga pada acara tersebut mengundang para ulama,
asatidz, kerabat serta tetangga untuk ikut mendo’akan mempelai berdua agar

28
Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016
29
Abdul Aziz Dahlan (eds), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Houve,
1996), h. 1917.
72

menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah yang dikemas dengan


acara Aqdun Nikah. Pada acara tersebut biasanya diisi layaknya beberapa
acara formal seperti pembukaan, pembacaan ayat suci al-Qur’an, Ijab Qabul,
pembacaan shalawat, sambutan dan pembacaan do’a bersama yang
dilanjutkan dengan proses silaturrahmi antara keluarga.30
Setelah sampai pada pembacaan shalawat Nabi, maka mempelai laki-
laki kemudian menyalami semua tamu undangan yang hadir pada majelis
tersebut. Kemudian setelah itu mempelai laki-laki dibawa untuk menemui
mempelai perempuannya dengan diantarkan oleh pihak perempuan menuju
kamar sang istri. Namun pertemuan itu tidaklah berlangsung lama, sebab
kebiasaan yang terjadi adalah bahwa mempelai laki-laki harus menyambut
tamu undangan dan bisa bersama dengan istrinya kembali ketika sudah
menjelang waktu maghrib yang pada waktu itu biasanya tidak ada lagi tamu
yang datang.
Dalam pelaksanaan acara tersebut sangat berfareasi dikalangan
masayarakat pada umumnya tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak,
akan tetapi umumnya kegiatan ini dilaksanakan dirumah mempelai
perempuan. Namun ada juga yang lebih memilih untuk melangsungkan
upacara pernikahan di gedung yang besar dengan kapasitas bisa menampung
orang banyak. Sebagian lagi ada yang lebih memilih untuk melangsungkan
pernikahannya di masjid (mushalla) yang hal tersebut biasanya terjadi pada
masyarakat pedesaan.
Melangsungkan akad nikah di masjid merupakan pilihan yang biasa
dilakukan oleh kaum muslimin pada umumnya, selain mereka melakukan
pernikahan di KUA dirumah maupun beberapa tempat lain yang diyakini
sebagai tampat yang baik oleh masing-masing daerah dengan keyakinan dan
pengamalan yang memang sudah terbiasa dilaksankan.
Di samping masjid, di Indonesia memang mengenal surau atau oleh
masyarakat Karangsokon disebut dengan langgar. Pada dasarnya tidak ada
perbedaan fungsi dan peran langgar dengan masjid, akan tetapi yang berbeda
hanyalah ukuran bangunan. Langgar pada umumnya bentuknya lebih kecil

30
Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016
73

dari masjid. Oleh karenanya masyarakat dapat membangun langgar sesuai


dengan keinginannya sendiri, sehingga tak heran jika beberapa keluarga
memiliki langgar sendiri dan dengan ukuran dan fareasi sesuai dengan yang
diinginkan.31
Pelaksanaan yang demikian ini tentunya tidak akan memberatkan pada
pihak keluarga yang melangsungkan acara pernikahan, walaupun pelaksanaan
tersebut akan membutuhkan bantuan banyak orang tentunya untuk
mempersiapkan dan menghidangkan segala sesuatunya. Akan tetapi
kebiasaan masyarakat Karangsokon masih mengutamakan gotong royonga,
sehingga pihak keluarga tidak perlu kebingungan untuk mencari tenaga
bantuan yang dibutuhkan dalam acara tersebut.32
Masjid yang notabenenya dipahami sebagai tempat ibadah lebih
diidentikkan hanya pada ibadah shalat saja yang sepertinya mulai mengalami
pergesaran pemahaman pada sebgaian daerah sebagaimana yang terjadi pada
masa Rasulullah Saw sebelumnya. Namun tentunya hal tersebut bisa juga
dilatar belakangi dengan jauhnya perbedaan sosial masyarakat jika
dibandingkan dengan waktu masa Rasulullah.
Masjid pada masa Rasulullah Saw, menjadi tempat yang paling suci
untuk mengucap janji pernikahan. Difungsikannya masjid sebagai tempat
melangsungkan pernikahan ditujukan agar pihak keluarga yang
melangsungkan acara pernikahan kala itu dapat menampung banyaknya tamu
yang hadir. Selain itu, pasangan pengantin yang melangsungkan akad nikah
di masjid diharapkan lebih dapat menjaga ikatan tali pernikahan mereka.
Demikian pula para saksi, dapat memelihara persaksian atas pernikahan
tersebut.33
Masjid selalu diidentikkan dengan citra yang sakral. Di mihrabnya, para
takmir menyerukan ayat-ayat suci, sabda Nabi, nasihat para ulama. Sesuai
dengan namanya, masjid adalah tempat untuk bersujud-simbol ketundukan

31
Ridwan al-Makssary dan Ahmad Gaus Af, Benih-Benih Islam Radikal di Masjid (Studi
Kasus di Jakarta dan Solo), (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h.xxi-xxii pada kata
pengantar.
32
Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016
33
Drs. Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka
Antara, 1983) h. 276
74

manusia kepada Allah Swt, sang pencipta dan penguasa seluruh makhluk.
Karena itu, sekali lagi, setiap perkara diluar kepentingan untuk tunduk kepada
Allah Swt diletakkan di luar masjid, hal itu hanya semata-mata untuk
menghormati masjid sebagai tempat yang suci.
Upacara pernikahan yang terjadi pada masyarakat Karangsokon
memiliki dua ciri, yaitu di rumah mempelai wanita dan dimasjid. Pelaksanaan
pernikahan di rumah mempelai wanita itu dilaksanakan jika pada rumah
wanita tersebut jauh dari Masjid atau bahkan di rumahnya tidak memiliki
Mushalla yang pada umumnya kepala Keluarga memiliki Mushalla untuk
dijadian tempat beribadah bersama dengan tetangga yang berada disekitarnya.
Akan tetapi jika keluarga dilingkungan keluarga mempelai perempuan
terdapat Mushalla atau Masjid, maka upacara pernikahan akan dilangsungkan
pada tempat tersebut.34
Ahmad syafi’I menambahkan bahwa kebiasaan yang terjadi adalah
pelaksanaan acara tersebut dilakukan di Masjid atau Mushalla sebagaimana
yang terjadi pada masa Rasulullah dahulu. Faktor lain yang melatar belakangi
pelaksanaan tersebut adalah budaya nenek moyang yang sudah diwariskan
pada generasinya.
Pelaksanaan pernikahan di Masjid atau Mushalla tentunya akan lebih
meminimalisir atas biaya yang harus dikeluarkan untuk melangsungkannya,
tentunya berbeda dengan gedung yang masih membutuhkan biaya sewa yang
terkadang tidak sedikit serta juga akan mengurangi pada kesempurnaan
(kasampornaan panganggep) pada tamu yang sudah diundang.35
Tempat merupakan saksi bisu atas berlangsungnya pernikahan, serta
tempat juga diharapkan dapat memberikan keberkahan atas terlaksananya
acara tersebut yang tentunya jika bersamaan seizin Allah Swt. Oleh
karenanya acara tersebut lebih identic dilangsungkan di Masjid atau Mushalla
dengan harapan keberkahan tempat tersebut sebagai tempat yang suci dapat
mengalir pula pada kedua mempelai.
Nor kholis mengatakan bahwa kebiasaan masyarakat melangsungkan
pernikahan di Masjid merupakan media untuk mengharapkan sebuah
34
Wawancara Pribadi dengan H. Hasan Hamid, Karangsokon 28 Desember 2016
35
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafi’i, Karangsokon 30 Desember 2016
75

keberkahan atas acara yang dilangsungkan. Sebab mereka meyakini bahwa


Masjid merupakan salah satu tempat yang sakral dan suci, sehingga menurut
mereka akan menambahkan keberkahan dan kebaikan pada kedua mempelai
jika pernikahan tersebut dilangsungkan di Masjid.
Kemudian ia menambahkan bahwa, kebiasaan masyarakat Karangsokon
melangsungkan pernikahan di Masjid berdasarkan pada salah satu hadis yang
berbunyi:

‫ي‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫ال رس ُ ي‬ ْ َ‫َع ْن َعائي َشةَ قَال‬


‫اج َعلُوهُ يف‬ َ ‫ (أَ ْعلنُوا َه َذا الن َك‬:‫ول للا صلَّى للاُ َعلَْيه َو َسلَّ ْم‬
ْ ‫اح َو‬ ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ت‬
‫ض يربوا َعلَي يه بيالدفُ ي‬
)‫وف‬ ‫الْمس ي ي‬
ْ ُ ْ ‫ َوا‬، ‫اجد‬
36
ََ

Artinya:
Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Umumkan pernikahan,
adakan akad nikah di masjid dan meriahkan dengan memukul rebana.”
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa menurutnya tempat itu sangat baik,
karena dengan pemilihan tempat yang baik maka tempat itu dapat
mengingatkan antara kedua pasangan untuk kemudian saling mengingatkan
dalam setiap keadaan walaupun terkadang mereka belum saling mengenal dan
tahu satu sama lain.
Kebiasaan sebagian warga dalam pembacaan Shalawat diba’ ini
biasanya juga dibarengi dengan pemukulan hadrah yang khusus mereka
undang untuk meramaikan dan melantunkan tabuhan rebananya. Hal ini
dirasa menurut warga lebih nyaman dan dirasa akan menjadikan nuansa
upacara pernikahan yang lebih baik dan nyaman.37
Ahmad Syafi’i menambahkan pada masa terdahulu masjid dijadikan
sebagai tempat untuk pengucapan janji, seperti halnya pernikahan yang
diyakini bahwa dengan pengikraran di masjid akan menambahkan
pengamalan terhadap janji. Baik bagi orang yang mengucapkan janji itu
ataupun terhadap seseorang yang turut menjadi saksi dalam ikrar tersebut.38

36
Muhammad Aburrahman bin Abdurrahim, Tuhfa al-Ahwadzi bi Syarhi Jāmi’ at-
Tirmidzi (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘arabi, 1995), Juz 7, h.210
37
Wawancara Pribadi dengan KH. Nor Kholis, Karangsokon 25 Desember 2016
38
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafi’i, Karangsokon 30 Desember 2016
76

Keadaan perekonomian masyarakat Karangsokon yang notabene


sebagai seorang petani juag menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
masyarakat tidak melangsungkan acara pernikahannya di gedung yang
megah. Sebab jika demikian maka mereka harus menyiapkan biaya yang
tentunya tidaklah sedikit hanya untuk menyewanya, belum lagi untuk biaya
yang lainnya. Namun faktor tersebut sebenarnya tidak menjadi masalah bagi
sebagian kalangan yang memiliki cukup keuangan, akan tetapi pilihan
tersebut tidak dimanfaatkannya seperti demikian.
H. Hasan mengatakan bahwa melangsungkan pernikahan di Mushalla
masih menjadi pilihan utama bagi masyarakat. Walaupun secara berangsur
sudah banyak warga yang mulai berkembang dalam perekenomiannya yang
telah dihasilkan dengan usaha mereka merantau ke berbagai daerah. Namun
walaupun demikian tidak bisa merubah kebiasaan untuk melangsungkan
pernikahan di Masjid atau Mushalla yang memang sudah menjadi kebiasaan
dan tradisi yang sudah ada semenjak nenek moyang mereka. Bahkan mereka
lebih memilih untuk memperbagus pengkemasan acara tersebut dengan
konsep dan suguhan yang seuai dengan kemampuan mereka.39
Sependapat dengan yang dikemukakan Hasan di atas, Rahemah
menambahka bahwa bagi keluarga yang putrinya pernah berada di pondok
atau bahkan orang tuanya yang pernah mondok di Pesantren lebih memilih
untuk melaksanakan pernikahan di mushalla yang ada disekitar rumahnya.
Selain diharapkan akan mendapatkan barokah dari tempat yang suci, sebagian
masyarakat lebih memilih untuk mengundang guru (kyai) semasa masih
dipondok. Sehingga ketika demikian maka rasa penghormatan kepada guru
dirasa lebih baik dari pada ditempat-tempat yang lain.
Ia menambahkan bahwa jika melaksanakan pernikahan dan kemudian
mengundang gurunya ditempatkan pada selain masjid (gedung misalnya)
dirasa akan mengurangi rasa penghormatan dan ta’dzimnya kepada seorang
guru. Sebab menurutnya menghormati dan menghadirkan gurunya akan
menambahkan keberkahan pada berlangsungnya pernikahan. Oleh karaenya,

39
Wawancara Pribadi dengan H. Hasan Hamid, Karangsokon 28 Desember 2016
77

ketika seorang mempelai mendpatkan barokah dari guru dan majlis acara
maka tentunya orang tua akan merasakan kepuasan batin tersendiri.40
Penghormatan masyarakat terhadap guru memang sangat kuat, sebab
masyarakat yang notabene anaknya adalah tamatan pesantren kemudian
mengamalkannya sesuai dengan yang telah diajarkan ketika masih di
Pesantren. Dimana menghormati seorang guru diposisikan sebagai bagian
terpenting dalam tingkah laku kesehariannya dengan motifasi bahwa
“kesopanan lebih tinggi nilainya dari pada kecerdasan”.
Sebagaimaa disebutkan di atas bahwa selain di mushalla pernikahan
dilakukan pada rumah mempelai perempuan. Hal ini sudah masyhur
dikalangan masyarakat, sebab pada waktu pernikahan juga disertai dengan
beberapa seserahan yang memang sudah terbiasa disediakan atau dihaturkan
pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
Kebiasaan yang lain terkadang sebagian mereka membawa
seserahannya pada hari sebelum pernikahan, seperti hal-hal beberapa
keperluan rumah tangga. Sedangkan pada waktu pernikahan mebawa barang-
barang yang dikhususkan untuk mempelai perempuan serta beberapa
seserahan lainnya yang memang lumrah dibawa oleh pihak laki-laki.

40
Wawancara Pribadi dengan Rahemah, Karangsokon 31 Desember 2016
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan
oleh penulis di atas, maka penulis dapat mearik kesimpulan dari tradisi
pernikahan yang dilakukan di Masyarakat Desa Payudan Karangsokon
Guluk-Guluk Sumenep sebagai berikut:

Pertama, pemahamam masyarakat Desa Payudan Karangsokon tentang


tidak perlunya persetujuan gadis adalah selain merupakan bentuk pengamalan
terhadap tradisi yang sudah ada semenjak nenek moyang juga didasari

terhadap redaksi hadits yang berbunyi: َ َ‫َوالبَكَر‬


َ ،‫اَلثَيَبَ َاَحَقَ َبَنَفَسَهَا َمَنَ َ َولَيَهَا‬

‫َواَذَنَهَا َصَمَاتَهَا َورَّبا َقال َوصَمت ها َِق رارها‬


َ ‫يَسَتَأَذَنَهَا َأَبَ َوهَا َفَ َنَفَسَهَا‬. Pengamalan

terhadap hadits ini tidaklah sama persis, yakni bahwa tidak ada penberitahuan
kepada anaknya. Karena menurut mereka orang tua berhak memilih apa yang
terbaik untuk putrinya kelak, serta orang tua jauh lebih tahu apakah
pasangannya itu baik atau tidak. Bukan hanya tanpa meminta persetujuan,
melainkan hal tersebut seperti sebagai perjodohan terhadap putrinya yang
ketika dipinang bahkan tidak tahu atau bahkan sebelumnya tidak pernah kenal
dengan calon pasangannya itu.

Musyawarah yang dilakukan antara orang tua dan anaknya ini hanya
sebagai suatu bentuk pemberitahuan saja, tanpa memerlukan respon atau
jawaban dari anaknya berkaitan dengan proses khitbah yang dilakukan lelaki
tesebut. Artinya adalah bahwa persetujuan yang dimaksud hanya dijadikan
sebagai formalitas saja.

Kedua, penentuan hari baik dalam pernikahan menurut masyarakat desa


payudan Karangsokon merupakan bagian penting untuk mempersiapkan acara
yang akan dilangsungkan dengan pemaknaaan bahwa dengan adanya proses
tersebut akan mengurangi beberapa rasa khawatir yang biasa muncul pada
masyarakat ketika akan melangsungkan sebuah acara yang dianggap penting.

78
79

Selain untuk menghilangkan kekhawatiran, perhitungan tersebut juga untuk


menghindari dari waktu-waktu yang diyakini tidak baik ketika akan
melangsungkan acara, termasuk pernikahan yang diyakini sebagai proses
yang sakral dan penting dalam suatu kehidupan.

Persiapan yang baik tentunya akan menghasilkan sesuatu yang baik


pula, sehingga dengan persiapan tersebut sering berdampak akan langgennya
pernikahan yang sudah dilangsungkan, rasa damai dan saling pengertian
diantara keduanya setelah menjalani kehidupan bersama. Upaya tersebut
sebagai salah satu untuk mendapat keberkahan dalam pernikahan sehigga
tercipta keluarga yang Sakinah Mawaddah Warahmah. adapun antara waktu
ijab dan qabul juga bersamaan dengan waktu pelaksanaan upacara pernikahan
(walimah).

Ketiga, dasar dari pelaksanaan pernikahan di Masjid oleh Masyarakat


payudan Karangsokon adalah berdasarkan terhadap hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Tirmidzi dalam kitabnya Tuhfa al-Ahwadzi bi Syarhi Jāmi at-
Tirmidzi dalam bab pelaksanaan pernikahan, pengamalan tersebut juga
didasari sebagaimana penggunaan masjid pada masa Rasulullah Saw dan para
sahabat yang menggunakan Masjid sebagai tempat pengucapan janji dengan
kepercayaan bahwa masjid sebagai tempat yang suci sehingga pengikraran
dan persaksiannya dapat lebih diresapi.

B. Saran-saran
Penelitian tentang pernikahan ini hanya penulis fokuskan terhadap tiga
kegiatan yang merupakan bagian dari pernikahan. Penelitian pada tiga
kegiatan tersebut hanya penulis kaji dari sudut pandang yang tidak begitu
dalam serta hanya fokus pada penggunaan metode living hadits yang
notebenenya menggunakan pendekatan field research saja.
Berangkat dari hal tersebut penulis sangat menyarankan kepada para
pembaca untuk kemudian melakukan penelitian terhadap tradisi-tradisi yang
terjadi di Masyarakat Payudan Karangsokon tentunya dengan menggunakan
pendekatan dan metode yang sekiranya mampu untuk menjawab persoalan-
persoalan tersebut. seperti halnya apakah terdapat pengaruh yang signifikan
80

terhadap penentuan hari baik tersebut terhadap berlangsunya rumah tangga


yang bahagia.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis ini tentunya jauh dari
kesempurnaan, sehingga memungkinkan untuk memiliki kesalahan baik dari
penyajian ataupun substansinya. Oleh karenanya, penulis sangat terbuka
terhadap kritik dan saran yang dapat dijadikan sebagai masukan atau
pertimbangan untuk kemudian dapat memberikan hasil yang lebih baik. Dan
terakhir, penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat serta
dapat menjadi rujukan dan pelengkap kajian yang sudah ada, baik untuk
kalangan akademik pada khususnya maupun umat Islam secara umum.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet dan Aminudin. fiqih Munâkahât 1. Bandung: Pustaka setia,
1999.
Afandi, Agus. dkk. Catatan Pinggir di Tiang Pancang Suramadu. Yogyakarta:
Ar-Ruzz, 2006.
Amrullah, Muhammad Fairûz Nadhir. Penerjemahemahan Qurratul ‘Uyun.
Surabaya: Pustaka Media, t.t.
Arikunto, S. Prosedur Penelitian Edisi Revisi. Jakarta: PT Renika Cipta, 2006.
al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Bâri fi Syarhi Shahîh Bukhârî. Beirut: Dar al-
Ma’rifah, 1997.
Bakry, Hasbullah. Pedoman Islam di Indonesia. Jakarta: UI Press, 1990.
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam. cet. ke-9, Yogyakarta: UII
Prees, 1999.
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ictiar Baru Van
Hoeve, 1999.
Departemen Agama, al-Qur’an dan Penerjemahemah. Semarang: PT Karya
Toha Putra, 1971.
Geertz, Hildred. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Perss, 1985.
Gazalba, Sidi. Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka
Antara, 1983.
Hadi, Sutrisno. Metodologo Jilid I. Yogyakarta: Andi Offets, 1999.
Hamka, Hasan. Metodologi Penelitian Tafsir Hadis. Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah, 2008.
Hasyim, Syafiq. Hal-Hal yang Tak Terfikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan
Dalam Islam. Bandung: Mizan, 2001.
Jonge, Huub De. Madura Dalam Empat Zaman; Pedagang, Perkembangan
Ekonomi, dan Islam, ter. KITLV-LIPI. Jakarta: PT Gramedia, 1989
Kamal, Fahmi. Perkawinan Adat Jawa Dalam Kebudayaan Indonesia. Jurnal
Khasanah Ilmu Vol. 5 No. 2 September 2014
al-Kandahlâwî, Maulana Muhammad Zakariya. Fadilah al-A’mâl. Penerjemah
Musthafa Sayani. Bandung: Pustaka Ramadhan, t.t.

81
82

Karim, Khalil Abdul. Syari’ah Sejarah Perkelahiran dan Pemakaman.


Yogyakarta: LKIS, 2003.
Kartono, Kartini. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: Mandar Maju,
1996.
Kurniawan, Syamsul. Hadis Jampi-Jampi dalam Kitab Mujarrabat Melayu dan
Taj al-Muluk Menurut Pandangan Masyarakat Kampung Seberang Kota
Pontianak Propinsi Kalbar. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2005.
Kuntowijoyo. Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940,
ter. Machmoed Effendhie dan Punang Amaripuja. Yogyakarta: Mata
Bangsa, 2002.
al-Makssary, Ridwan dan Ahmad Gaus Af. Benih-Benih Islam Radikal di Masjid
(Studi Kasus di Jakarta dan Solo). Jakarta: CSRC UIN Syarif
Hidayatullah, 2010.
al-Mishri, Taufiq Abu A'lam. Fathimah al-Zahrah. Bandung: Pustaka Pelita,
1999.
Mufidah Ch., Psikologi Keluarga Berwawasan Gender. Malang:UIN Malang
Press, 2008.
Muktar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. cet ke.-3. Jakarta:
Bulan Bintang, 1993.
Najmuddin, “Pemahaman Masyarakat Bayan Terhadap al-Qur’an (Studi
Perbandingan antara Masyarakat Penganut ajaran Islam Wetu Tellu
dengan Penganut ajrang Agama Islam Wetu Lima).” Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta,
2005.
an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan
Suratman Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013.
Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis. Damaskus: Dar al-Fikr, 1997.
Qardhawi, Yusuf. Fatwa-Fatwa Kontemporer. alih bahasa As’ad Yasin. Jakarta:
Gema Insani Press, 1996.
al-Qastalani, Syihabuddin Ahmad. Irsyadu al-Sari li Syarhi Shahihi al-Bukhari.
Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
83

Ramadhita, Latar Historis Indikator Kerelaan Perempuan Dalam Perkawinan.


de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum. Volume 7 Nomor 1, Juni 2015
Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam (Hukum Fiqh Lengkap). Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2014.
Rasjidi, Lili. Pekawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia. Bandung:
PT Remaja Rosda Karya,1991.
Robson, James Magic Cures in Popular Islam. dalam Samuel M. Zweemer (ed),
Moslem World. Vol XXIV New York: Karuss Reprint Corporation, 1996.
Rusyd, Ibnu, ad-Dharuri fi Ushul Fiqh aw Mukhtashar al-Mustashfa. Beirut :
Dar al-Gharbu al-Islamiy, 1994.
Sabiq, As-Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Anbi, 1973
Schimmel, Annemarie. Rahasia Wajah Suci Ilahi Memahami Islam secara
Fenonenologis. Penerjemah. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1996.
Saedi, Saedah. Research Approach and Data Collection Technique. Leeds
Metropolitan Unisversity, 2002.
Sari, Iksan. “Bitongan dan Pena’asen: Numerologi Bangsa Madura.” Artikel
pada 04 Maret 2016 dari https://web.facebook.com/notes/iksan-
sahri/bitongan-dan-penaasen-numerologi-bangsa-
madura/10156544316905612
as-Silmi, Muhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa at-Tirmidzi. al-Jami as-Shahih Sunan
Tirmidzi. Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘arabi, 1998.
Sirojuddin dan Mohammad Bashri Asyari, Tradisi Nyareh Dhina Dalam
Penentuan Hari Pernikahan Perspektif Hukum Islam di Desa Larangan
Badung. Jornal al-Hikam Vol. 9 No. 1 Juni 2014.
Suhendi, Hendi. Fiqih Muâmalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Suryadilaga, Muhammad Alfatih. Model-Model Living Hadis. dalam Syahiron
Syamsuddin (ed), Mitodologi Penelitian Qur’an dan Hadis. Yogyakarta:
TERAS, 2007.
Susanto, Edi. “Kepemimpinan (Kharismatik) Kyai Dalam Perspektif Masyarakat
Madura.” Jurnal Karsa, Vol. XI No.1, (April 2007)
Sutrisno. Hadi, Metodologo Jilid I. Yogyakarta: Andi Offets, 1999.
84

Soehadha, Moh. Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama.


Yogyakarta: SUKA Press, 2010.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta : kencana 2006.
al-Syaqiry, Muhammad Abdussalam. Bid’ah-bid’ah yang Dianggap Sunnah.
Jakarta: Qithi Press, 2004.
Takariwan, Cahyadi. Izinkan Aku Meminangmu. Solo: Era Intermedia 2004.
Tim Penyusun, Pedoman Akademik Program Strata Satu 2012/2013. Ciputat:
UIN Syarif Hidayatullah jakarta, 2012.
Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016
Wawancara Pribadi dengan H. Hasan, Karangsokon 01 Nopember 2016
Wawancara Pribadi dengan KH. Abd Majid, Karangsokon 31 Oktober 2016
Wawancara Pribadi dengan KH. Noer Kholis, Karangsokon 25 Desember 2016
Wawancara Pribadi dengan olis, Karangsokon 27 Desember 2016
Wawancara Pribadi dengan Muzanni, Karangsokon 27 Desember 2016
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafi’i, Karangsokon 30 Desember 2016
Wawancara Pribadi dengan Hasibah, Karangsokon 27 Desember 2016
Wawancara Pribadi dengan Rahemah, Karangsokon 31 Desember 2016
Wiyata, Latif. Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura.
Yogyakarta: LKiS, 2006.
Zahrah, Abu. al-Ahwal asy-Syakshiyah. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1957.
Zubairi, A. Dardiri. Rahasia Perempuan Madura; Esai-Esai Remeh Seputar
Kebudayaan Madura. Surabaya: Andhep Asor, 2013.
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqh al-Islam wa Adillatuhu. alih bahasa oleh Abdul
Hayyie AlKat.tani. Jakarta:Gema Insani, 2011.
Zuhri. “Studi Islam dalam Tafsir Sosial; Tela’ah Sosial Gagasan KeIslaman
Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun.” Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta,
2008.
Zulfa, Indana. “Pandangan Hadis terhadap Tatayyur (Studi Kasus Tradisi
Pemilihan Pasangan dan Hari Pernikahan dengan Perhitungan Jawa di
85

Desa Dukuhkembar Kecamatan Dukuh Kabupaten Gresik)”. Skripsi S1


Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2015.
Lampiran I
PEDOMAN WAWANCARA
(Orang Tua Anak)
A. IDENTITAS DIRI
Nama :
Pekerjaan :
B. DAFTAR PERTANYAAN
1. Persetujuan Pernikahan
a. Apakah anda merundingkan dengan putri anda ketika ada orang yang
meminangnya?
b. Apa yang melatarbelakangi terjadinya perjodohan itu?
c. Dalam perjodohan tersebut, mengapa harus dengan sesama saudara?
d. Apakah terdapat perbedaan antara anak yang masih memiliki ikatan
famili dengan yang tidak dalam mencapai tujuan pernikahan?
e. Menurut anda perlukah meminta persetujuan terhadap anak ketika ada
seseorang yang berniat meminangnya?
2. Proses Penentuan Hari Baik (Nyareh Dhinah Begus)
a. Apakah masyarakat masih menggunakan kultur jawa khususnya dalam
hal yang berkaitan dengan waktu pernikahan?
b. Dalam penentuan hari baik itu apakah hanya memperhitungkan harinya
saja atau juga dengan waktu, hari dan bulannya juga?
c. Dalam perhitungan hari baik itu dilakukan sendiri oleh keluarga yang
bersangkutan atau meminta bantuan orang lain dalam proses
pencapaiannya?
d. Bagaimana proses perhitungan hari baik dalam penentuan pernikahan?
e. Apakah dalam penentuan hari baik itu dihasilkan dengan proses
perundingan antara keluarga laki-laki dan perempuan atau hanya
ditentukan oleh keluarga perempuan saja?
f. Apakah ada bulan-bulan khusus yang dianggap tidak boleh untuk
melangsungkan acara pernikahan?
g. Apakah yang mendasari adanya perhitungan hari baik itu?
h. Apakah urgensi atau manfaat dari pencapaian penentuan hari baik
tersebut?
i. Apakah dampak yang akan terjadi jika pernikahan itu dilangsungkan
pada bulan ataupun waktu yang tidak diperbolehkan tersebut?
3. Pelaksanaan Walimah
a. Dimanakan acara Walimah itu dilaksanakan?
b. Apakah dirumah anda terdapat Mushallah atau masjid?
c. Apakah terdapat makna khusus terhadap tempat yang menjadi tempat
pelaksanaan acara walimah, sehingga harus dilaksanakan pada tempat
tersebut?
d. Bagaimana proses pelaksanaa walimah?
e. Apakah dalam pemilihan tempat pelaksanaan walimah masih melalui
perhitungan terlebih dahulu?
f. Apakah tempat pelaksanaan walimah juga memberikan pengaruh
terhadap langgengnya pernikahan?
4. Bagaimana anda memaknai terhadap,
a. Hadis tentang perlunya meminta persetujuan terhadap anak perempuan
ketika ada orang berniat mengawininya?
b. Penentuan waktu pernikahan (Nyareh dhinah begus) yang didalam hadis
Nabi telah disebutkan mengenai bulan-bulan yang baik?
c. Masjid atau Mushallah menjadi tempat pelaksanaan walimah yang hal
tersebut merupakan salah satu anjuran dari Nabi?
PEDOMAN WAWANCARA
(Anak yang Dijodohkan)
A. IDENTITAS DIRI
Nama :
Usia Pernikahan Anda :
B. DAFTAR PERTANYAAN
1. Ketika ada seseorang yang meminang anda, apakah anda dimintai
pendapat terkait tentang setuju atau tidak terhadap pinangan tersebut?
2. Bagaimana perasaan anda ketika tahu bahwa anda di jodohkan dan
bagaimana pengaruhnya dalam keseharian anda?
3. Pernahkan ada keinginan untuk membatalkan ikatan tersebut?
4. Menurut anda apakah akan ada perbedaan antara pasangan yang anda
pilih sendiri dengan pasangan yang dipilih orang tua anda?
5. Bagaimana pendapat anda tentang perjodohan itu?
6. Orang yang dijodohkan dengan anda apakah masih memiliki ikatan
keluarga atau tidak?
7. Apakah terdapat perbedaan dalam keluarga anda terhadap anak laki-laki
dan perempuan dalam pemilihan pasangan?
8. Menurut anda perlukah orang tua itu meminta pendapat ketika ada
seseorang yang meminang putrinya, sertakan dengan alasannya?
9. Bagaimana solusi yang anda lakukan ketika anda sudah dijodohkan,
agar supaya bisa menerima akan hal tersebut? Sehingga hal tersebut
tidak mempengaruhi terhadap kehidupan rumah tangga anda nantinya?
PEDOMAN WAWANCARA
(Tokoh Masyarakat)
C. IDENTITAS DIRI
Nama :
Pekerjaan :
D. DAFTAR PERTANYAAN
1. Menurut pengetahuan anda, bagaimana pengetahuan masyarakat terhadap
hadis Nabi?
2. Seberapa banyak hadis itu mempengaruhi dalam kehidupan masyarakat?
3. Persetujuan Pernikahan
a. Apa yang melatarbelakangi terjadinya perjodohan itu?
b. Bagaimana sejarah perjodohan tersebut?
c. Menurut anda perlukah meminta persetujuan terhadap anak ketika ada
seseorang yang berniat meminangnya?
d. Dalam pengamatan anda apakah ada perbedaan antara keluarga yang
dijodohkan dengan keluarga hasil dari pilihannya sendiri?
e. Menurut anda, kebiasaan seseorang keluarga tidak merundingkan dengan
anaknya dalam hal pasangan hidupnya pelu dipertahnkan atau tidak?
4. Proses Penentuan Hari Baik (Nyareh Dhinah Begus)
a. Apakah masyarakat masih menggunakan kultur jawa khususnya dalam
hal yang berkaitan dengan waktu pernikahan?
b. Dalam penentuan hari baik itu apakah hanya memperhitungkan harinya
saja atau juga dengan waktu, hari dan bulannya juga?
c. Dalam perhitungan hari baik itu dilakukan sendiri oleh kedua calon
keluarga atau masih melibatkan kyai atau orang yang lainnya?
d. Bagaimana proses perhitungan hari baik dalam penentuan pernikahan?
e. Apakah masyarakat Payudan Karangsokon memiliki rasa fanatik
terhadap bulan-bulan tertentu, sertakan dengan alasannya?
f. Apakah urgensi atau manfaat dari pencapaian penentuan hari baik
tersebut?
g. Bagaimana sejarah penentuan hari baik itu sejauh yang anda ketahui?
5. Pelaksanaan Walimah
a. Dimanakah acara Walimah itu dilaksanakan?
b. Apakah terdapat makna khusus terhadap tempat yang menjadi tempat
pelaksanaan acara walimah, sehingga harus dilaksanakan pada tempat
tersebut?
c. Bagaimana pemaknaan masyarakat Payudan Karangsokon terhadap
Mushallah yang menjadi salah satu tanda keagamaan yang kerap kali
juga dijadikan sebagai tempat pelaksanaan walimah?
d. Apakah setiap kepala keluarga memiliki Mushallah?
6. Bagaimana anda memaknai terhadap,
a. Hadis tentang perlunya meminta persetujuan terhadap anak perempuan
ketika ada orang berniat mengawininya?
b. Penentuan waktu pernikahan (Nyareh dhinah begus) yang didalam hadis
Nabi telah disebutkan mengenai bulan-bulan yang baik?
c. Masjid atau Mushallah menjadi tempat pelaksanaan walimah yang hal
tersebut merupakan salah satu anjuran dari Nabi?
Lampiran II

DATA RESPONDEN WAWANCARA

No Nama Status Alamat


1. KH. Abdul Majid Tokoh Dusun Benyato
2. KH. Noer Kholis Tokoh Dusun Benyato
3. H. Hasan Kepala Desa Dusun Be’regih
4. Hj. Sutiana Kepala Desa Dsun Be’regih
5. H. Ahmad Syafi’i Tokoh Dusun Somber Rajeh
6. Hj. Rahemah Tokoh Dusun Somber Rajeh
7. Noer Khalis Orang Tua Anak Dusun Benyato
8. Siri Orang Tua Anak Dusun Benyato
9. Hasibah Anak Dusun Benyato
10. Halimatus Sa’diyah Anak Dusun Benyato
11. Ida Ubaidatul Hasanah Anak Dusun Be’regih
12. Mujasit Orang Tua Anak Dusun Be’regih
13. Qomaruddin Orang Tua Anak Dusun Be’regih
14. Ulfatul Muslimah Anak Dusun Benyato
15. Dalilah Anak Dusun Benyato
16. Rusdi Orang Tua Anak Dusun Benyato
17. Abdul Jalal Orang Tua Anak Dusun Banyukalong
18. Juwaini Tokoh Dusun Be’regih
19. Syamsuri Orang Tua Anak Dusun Banyukalong
20. H. Sahari Orang Tua Anak Dusun Banyukalong
Lampiran III

DOKUMENTASI

1. Pernikahan di Mushallah

2. Pemukulan Rebana

3. Rombongan yang Membawa Seserahan

Anda mungkin juga menyukai