Anda di halaman 1dari 9

Seorang pemuda bernama Wira yang merasa iri dengan orang lain

dan melampiaskan ke Ayahnya, hingga waktu membuatnya tersadar


akan kesalahannya.

SCENE 1 (Pulang Sekolah – Siang)

“Wira itu kebanggaan Bapak,anak paling hebat yang bapak didik


sepenuh hati...”

Ayah Aldi : (Datang menjemput)

Aldi : (Melihat ayah Aldi datang) Wira, aku pulang dulu ya!
(Berjalan pergi)

Wira : (Mengangguk) Hati-hati!

Wira : (Melihat jam di tangan) Haishh lama banget sih


bapak! (Menggerutu)

Ayah Wira : Le!! (Melambaikan tangan kearah Wira)

Wira :(Berjalan dengan wajah cemberut) Lama banget sih,


Pak?

Ayah Wira : (Tersenyum maklum) Iya, Maaf ya, Nak.

Wira : (Menghela nafas)

SCENE 2 (Dalam Rumah - Siang)

“Wira inget gak Cita-cita Wira waktu kecil? Udah lupa, ya?.
Tapi, Bapak gak akan lupa. Sampai kapanpun...”
Wira : Pak! Bapak!! (Berteriak)

Ayah Wira : Apa nak?

Wira : Temen-temenku tadi pada mabar game, Pak!

Ayah Wira : Mabar ki opo, Le?

Wira : Ish, Mabar... Main Bareng

Ayah Wira : Ooooo, Terus kenapa, Wira pengen juga ya?

Wira : Iya, Pak. Hehe

Ayah Wira : Yasudah sana main.

Wira : (Menengadahkan tangan)

Ayah Wira : (Menyalimi Wira)

Wira : (Bingung) Kok salim sih pak? Minta uang...

Ayah Wira : (Tertawa Kecil) Owalah, Tak kiro. ( Merogoh saku


celana dan memberikan Uang Rp. 5.000)

Wira : Ih, mana cukup pak... buat beli HP baru, HP Wira


yang sekarang gak bisa buat main game, Pak! Harus ganti baru.
Ayah Wira : Ooooo, Besok ya nak. Bapak kalo sekarang belum ada
uang.

Wira : Besok kapan, Pak? (Tidak sabaran)


Ayah Wira : Secepatnya (Mengusap kepala Wira)

Wira : Bulan depan ya!!

Ayah Wira : (Tersenyum) Iya, Insya Allah ya, Nak.

Wira : Yeay! Makasih Bapak!! Yaudah aku main dulu, ya.


Assalamu’alaikum

Ayah Wira : Waalaikumsalam

Wira : (Berbalik) Oh iya, ini buat aku ya? (Menunjukkan


uang Rp.5.000 sambil tersenyum)

Ayah Wira : (Tertawa Kecil) Iya.., udah sana main. Jangan pulang
sore sore.

Wira : Siap, Komandan! (Hormat lalu berjalan pergi)

SCENE 3 (Ruang Kelas – Pagi)

“Waktu kecil kamu bilang kalau Cita-citamu mau jadi orang baik.
Terus bapak tanya, Orang baik yang seperti apa. Kamu jawab,
seperti bapak... Nak, Sampai sekarang. Bapak masih ngerasa kalau
bapak itu buruk. Bapak yang Buruk, Nak. Bapak gagal memberikan
anak yang bapak banggakan ini fasilitas yang memadai untuk
segala kebutuhannya...”

Aldi : Wira, bulan lalu katanya mau beli hape baru? Mabar
yuk!

Wira : Eh, Belum, Di. Emm... Mungkin minggu depan deh beli
nya.
Farhan : Bulan lalu Katanya Bulan depan, sekarang udah lewat
1 Bulan loh. Kamu Boong ya?

Wira : (Murung)

Aldi : Ngomong apa sih, Han? Bulan lalu bulan depan Bulan
Juni, Sailor Moon kamu?

Farhan : Hah?

Aldi : Oh iya, Kamu udah ngerjain Pr dari Pak Dennis Belum,


Wir?

Wira : (terkejut) Astagfirulloh. Lupa, Di! Haduh. Eh aku


nyontek dong, kamu udah kan?

Aldi : Ck, Kebiasaan, Untung kamu punya temen Ganteng,


Rajin dan Baik Hati kayak aku (Berpose pede)
Wira : Iya deh, Iya. Mas Aldean Fahreza yang paling ganteng
se kamar kalo lagi sendirian di kamar. Nyontek dong!

Aldi : (Memukulkan buku tulisnya ke kepala Wira) Gak ikhlas


banget muji nya. Nih.

Wira : Hehehe, Makasih !

SCENE 4 (Dalam Rumah – Siang)

Wira : Assalamu’alaikum, Pak. Wira pulang (menyalimi Ayah


Wira)

Ayah Wira : Waalaikumsalam, Udah makan, Nak?


Wira : Udah, Pak. Oh iya. Pak, kapan beli HP baru nya? Ini
udah sebulan lebih loh. Aku malu dibilang pembohong sama temen-
temen.

Ayah Wira : Minggu depan ya, Nak?

Wira : Kok minggu depan terus sih, Pak?? (Mengomel)

Ayah Wira : Maafin Bapak ya, Nak. Harga beras sekarang lagi
mahal, Nak. Jadi bapak ngambil sebagian uang buat beliin kamu
HP dulu buat beli beras.

Wira : Terserah deh. (Berjalan Pergi)

“Wira anak Bapak yang paling hebat. Besok kalau gede... Jangan
jadi kayak bapak, ya?”

Ayah Wira : (Duduk) Wira!! Kamu mau kemana jam segini??

Wira : (Diam dan tetap berjalan sambil membawa tas)

Ayah Wira : WIRA!!

Wira : (Berhenti lalu berbalik menatap tajam Ayah Wira)


Apa?!

Ayah Wira : (Terkejut) Kamu mau kemana, nak? Ini udah malam...

Wira : Aku mau kerja ke tempat temenku.

Ayah Wira : Ngapain kok kamu mau kerja? Malam malam begini? Bawa
tas lagi.
Wira : Menurut bapak kenapa?

Ayah Wira : Kenapa, Nak? Bapak masih sanggup nafkahin kamu, lho.
Kalau kamu emang suka bisnis nggak papa, Nak. Tapi jangan malam
hari begini.

Wira : (Tersenyum meremehkan) Yakin, pak? Sanggup?

Ayah Wira : (Terdiam) Yakin, Nak.

Wira : Aku mau HP baru. Sekarang.

Ayah Wira : (Terdiam)

Wira : Udah deh, Pak. Aku tau permintaan ku ini terlalu


berat buat Bapak. Jadi biar aku sendiri yang cari uang buat beli
HP Baru. Aku berangkat.

Ayah Wira : (Menatap Sedih)


SCENE 5

(Wira kembali ke rumah setelah sekian lama ia pergi.

Ia terkejut melihat rumahnya kini di penuhi oleh orang orang


desa. Dengan wajah yang cemas, Wira mempercepat langkah kakinya.
Tas dan bingkisan yang ia bawa tak lagi ia perdulikan. Rasa
cemas melanda di hati nya. Jantung nya berdebar kencang. Rasa
takut yang tak pernah ia bayangkan kini menghantam dengan sangat
keras.

Hanya 5 langkah menuju rumahnya, tapi seakan pintu rumahnya


berlari menjauh menuju ujung dunia. 3 langkah lagi, tapi kaki
nya terasa sangat berat seperti ada banyak beban yang terikat
di kakinya.

Pikiran Wira kacau. Tak karuan. Begitu pula hati nya. Seakan
dunia telah runtuh. Rasa sesak yang membuatnya tercekik dan
tubuhnya yang terasa mati rasa.

Tatapan yang sangat Wira benci hari itu juga. Tatapan kesedihan
yang tak ia harapkan hadir membuat air matanya turun begitu
saja. Wajah yang sangat ia kenal. Wajah yang dulu selalu nampak
ekspresif dan penuh kehangatan itu kini telah tergantikan oleh
wajah pucat nan kaku.

Baju kaos yang biasa dipakai kini terlipat rapi di lemari


digantikan dengan kain berwarna putih polos.

Didekapnya dengan erat raga tak bernyawa itu. Dekapan yang penuh
akan rasa rindu, penyesalan, amarah dan kesedihan bercampur
menghasilkan sebuah pemandangan yang sangat memilukan.

Erangan dan teriakan. Meronta-ronta menolak menerima kenyataan.


Tak ada yang berani memisahkan pelukan itu. Mereka semua
terhenyuk dalam kesedihan yang mendalam)
SCENE 6
(Dalam Kamar dan di Sebelahnya ada tirai menghasilkan siluet)

Wira : Bapak!! ( Terbangun dari tidurnya dengan nafas


terengah-engah)

Wira : (Melihat bingkisan HP yang masih belum di buka, lalu


beralih menatap langit)

Wira : Pak, Bapak bahagia gak disana? (Lirih)

Ayah Wira : Bahagia kok, Nak. Kamu?

Wira : (Menggelengkan kepala) Aku nggak mau bahagia.

Ayah Wira : Kenapa, Nak?

Wira : Aku nggak mau... Aku nggak mau lupain bapak. Nggak
mau lupain rasa bersalahku ke bapak. Sampai kapanpun. (Penuh
penekanan dan amarah pada diri sendiri)

Ayah Wira : Kenapa? Padahal banyak loh kenangan bahagia yang


bisa kamu ingat? (Sendu)

Wira : Aku simpan kenangan bahagia kita di hati terdalamku,


pak. Nggak akan aku ingat sampai aku bisa bayar rasa bersalahku
ini.

Ayah Wira : Jangan gitu, Nak. Bapak bahagia. Bapak Ikhlas, Nak.

Wira : (Mencari surat di dalam laci) Kenapa, Pak? Kenapa


baru ngasih tau Wira waktu Wira udah nggak bisa minta maaf ke
bapak? Kenapa pak?? Kenapa?? (Menangis)
Wira : (Menunjuk surat dari Ayah Wira) Kenapa di surat ini
Bapak nyuruh Wira buat nggak jadi kayak bapak? Padahal Bapak
adalah orangtua terhebat di dunia.

Wira : Aku mau jadi orang tua kayak Bapak. Jadi ayah yang
sabar, pantang menyerah, Perhatian dan nggak pernah ngeluh
meskipun harus membesarkan anak kayak aku sendirian. (Menyeka
air matanya)

Wira : Aku sekarang udah punya Toko gede loh, Pak. Cabang
nya udah banyak. Bapak bangga kan sama Wira? (Tersenyum)

Wira : (Diam) Bapak pasti seneng bisa ketemu Ibuk di sana,


ya kan?

Wira : Bapak, Ibuk... Tungguin Wira ya...

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai