Anda di halaman 1dari 19

ASIMILIASI KEBUDAYAAN SUKU BANGSA

MINANGKABAU DAN SUKU BANGSA MENTAWAI


(Studi Kasus Dusun Pasapuat, Desa Saumanganyak, Pagai
Utara)

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh:
NOFRI BOBY
BP . 1810822033

JURUSAN ANTROPOLOGI SOSIAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG 2022
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial, kehidupan sosial terjadi karena

proses interaksi manusia dengan manusia, kelompok, ras, etnis atau budaya

lain. Interaksi dengan orang-orang yang berbeda kebudayaan merupakan

pengalaman baru yang selalu di hadapi. Tak jarang dari interaksi ini

menyebabkan munculnya budaya baru. (Lestary, 2019: 1). Datangnya

pendatang luar kesuatu wilayah baru tentunya akan membawa budaya baru

mereka, percampuran penduduk lokal dan pendatang ini tentu mengharuskan

merekan melakukan interaksi sosial, dari interaksi ini tak jarang mereka

menggenal budaya yang dibawa oleh pendatang dan penduduk lokal.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Coronese (1986 : 3) menjelaskan

etnis Mentawai menganut sistem kekerabatan patrilineal yang garis

keturunannya diturunkan oleh laki-laki, apabila ada seorang perempuan yang

menikah dengan laki-laki Mentawai maka perempuan tersebut akan ikut masuk

kedalam bagian dari keluarga laki-laki dan menetap di rumah laki-laki, serta

anak yang dilahirkan akan mengikuti suku suaminya. Hal ini berbeda dengan

masyarakat Minangkabau yang menganut paham matrilineal yang garis

keturunannya diwariskan oleh perempuan.

Menurut Coronese (1986) masyarakat Mentawai sulit menerima

kebudayaan asing. Namun faktanya pada saat ini masyarakat Mentawai tidak

menutup diri terhadap budaya asing. Masyarakat Mentawai sudah banyak


mengenal budaya asing, dimana masyarakat Mentawai saat ini udah makan

beras, memakai pakaian berupa baju dan celana serta menggunakan alat-alat

elektronik dalam kehidupan sehari-hari mereka. Berdasarkan hal tersebut

menunjukan bahwa masyarakat Mentawai menerima pendantang asing dan

juga kebudayaan yang mereka bawa. Hal ini memungkinkan masyarakat

Mentawai untuk melakukan pernikahan campuran dengan pendatang.

Perbedaan sistem kekerabatan antara etnis Mentawai dengan etnis

Minangkabau yang dikemukakan oleh Coronese (1986) tidaklah

mengakibatkan sedikitnya jumlah pendatang. Kepulauan Mentawai tidak

hanya didiami oleh etnis Mentawai saja. Namun, ada etnis Minangkabau yang

menjadikan daerah kepualauan Mentawai sebagai daerah rantaunya. Hal

terebut disebabkan karena kebiasaan masyarakat Minangkabau yang gemar

merantau untuk mencari kehidupan baru yang lebih layak atau mengadu nasib

yang menjadikan dirinya sebagai penduduk di suatu wilayah yang ditujunya

tersebut. Apabila dilihat dari hubungan sosial kedua etnis tersebut terdapat

kehidupan yang harmonis antara etnis Mentawai dan etnis Minangkabau yang

ditandai dengan interaksi sehari-harinya. Salah satu contohnya dapat dilihat

pada saat upacara perkawinan. Jika keluarga etnis Mentawai melangsungkan

upacara perkawinan, maka mereka akan mengundang Etnis Minangkabau

untuk ikut serta menghadiri perkawinan tersebut begitu juga sebaliknya.

Berdasarkan fenomena tersebut menunjukan sikap saling menghargai satu


sama lain dapat dilihat dari kebebasan pelaksanaan ibadah dan tradisi

kebudayaan masing-masing.

Sudah menjadi kodrat alam, sejak dilahirkan manusia ditakdirkan

untuk saling berpasangan-pasangan agar hidup bersama untuk membentuk

suatu keluarga melalui ikatan perkawinan. Ikatan perkawinan merupakan

ikatan lahir batin seorang pria dan wanita dengan tujuan untuk membentuk

sebuah keluarga (rumah tangga). Ikatan perkawainan ini memiliki tujuan

untuk mencapai keluarga yang harmonis, sakral, penuh kasih sayang,

kebijakan dan saling menyantuni, membangun, membina dan memelihara

hubungan kekerabatan (Evalina 2007:1)

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus

kehidupan dan menjadi proses terbentuknya keluarga kecil baru sebagai

proses pelanjut keturunan. Bagi laki-laki Etnis Minangkabau, perkawinan

menjadi proses untuk memasuki lingkaran kehidupan yang baru, yakni pihak

keluarga istrinya. Sedangkan bagi pihak keluarga perempuan, menjadi proses

penambahan anggota keluarga di komunitas rumah gadang mereka.

Rangkaian proses upacara perkawinan adat Minangkabau biasa disebut

Baralek. Terdapat beberapa tahapan umum yang dilakukan. Pertama

maminang (meminag), manjapuik marapulai (menjemput penganti pria),

sampai basandiang (bersanding di pelaminan). Menurut adat Etnis

Minangkabau, orang-orang yang telah melakukan akad tapi belum baralek

tidak dibenarkan tinggal serumah, karena belum dianggap resmi oleh adat,
mereka dibolehkan tinggal serumah bila telah melakukan perkawinan secara

adat baralek (Navis, 1984:198).

Dalam upacara perkawinan Etnis Minangkabau terdapat dua tata cara

perkawinan, yakni menurut syarak ( syari’at agama) dan adaik (adat).

Menurut syarak pernikahan adalah dilakukan dengan cara akad di depan

penghulu dan dihadiri oleh beberapa orang saksi agar pernikahan tersebut

dapat dikatakan sah. Sedangkan menurut adaik pernikahan adalah proses alek.

Alek ini bertujuan untuk memberitahu atau mengumumkan bahwa anak atau

kemenakan yang dimaksud telah menikah, prosesi alek ini dilaksanakan

setelah proses akad nikah. (Navis, 1984:196).

Rangkaian proses upacara perkawinan ada Mentawai disebut dengan

punen panegekat. Sebelum perayaan dilakukan terlebih dahulu dilakukan

perundingan pada sore hari di rumah perempuan. Kedua mempelai dan

keluarga pergi mandi dan mempersiapkan diri, ke esokan harinya mempelai

perempuan akan di antarkan kerumah mertuanya pagi pagi sekali untuk

membantu memasak gette. Inti dari upacara perkawinan ini dengan

melakukan proses “Iliaake gongon ka tubudda” dimana pengantin laki-laki

memegang seekor ayam lalu melekatkan kedadanya dan pengantin perempuan

dan terus bergilir ke para tamu yang hadir searah jarum jam. Kemudian

pengantin laki-laki membaca mantra “sukat” dalam menghalau ayam

“simatulutaleget” supaya memperoleh ramalan yang baik. Lalu ayam tersebut


akan di sembelih oleh sikerei dan hatinya dipersembahkan kepada roh roh

buluat. (Coronese 1986:126).

Pembauran masyarakat kedaerah yang memiliki daya tarik ekonomi

menjadikan salah satu faktor terjadinya perkawinan campuran. Pernikahan

campuran tentunya akan menciptakan asimilasi dua budaya yang berbeda,

akibat dari percampuran dua kebudayaan tersebut akan menghasilkan budaya

baru didalam masyarakat.

Asimilasi merupakan proses sosial pada kelompok manusia yang

memiliki kebudayaan berbeda sehingga menyebabkan terbentuknya budaya

baru akibat percampuran kedua budaya yang berbeda tersebut. Asimilasi

dapat terjadi setelah orang yang berbeda kebudayaan melakukan interaksi

secara intensif. Asimilasi tidak terjadi begitu saja namun harus memenuhi

beberapa syarat-syarat tertentu agar proses asimilasi berjalan dengan baik.

Asimilasi bisa terjadi dari perbedaan dua budaya antara satu kelompok dengan

kelompok lain. Perkawinan antara suku etnis yang berbeda juga termasuk

kedalam proses asmiliasi karena dari pernikahan ini akan melahirkan etnis

atau ras yang baru.

Kecamatan Pagai utara merupakan salah satu kecamatan yang

menerima masuknya pendatang ke daerah mereka. Hal ini tidak menutup

kemungkinan terjadinya proses asimilasi di masyarakatnya dikarenakan

terjadinya pembauran masyarakat asli dengan masyarakat pendatang. Dusun

Pasapuat merupakan salah satu dusun yang menerapkan proses asimilasi,


proses asimililasi ini dapat dilihat dari pemakaian acara pernikahan dimana

masyarakatnya memakai adat Minangkabau seperti pemakaian marawa saat

pesta perkawinan. Pemakaian marawa tersebut memperlihatkan bahwa

masyarakat Mentawai yang berada di Dusun Pasapuat tidak lagi menerapkan

adat pernikahan mereka. Dari observasi awal peneliti yang waktu itu

berkesempatan menemani salah satu alumni antropologi unand yang bekerja

di Dusun Pasapuat. Peneliti mendapat kesempatan bertemu masyarakat

Pasapuat dan sedikit berbincang mengenai keunikan adat mereka dalam

pernikahan yang menggunakan adat suku Minangkabau. Namun, dalam

penurunan sukunya tidak diturunkan berdasarkan garis keturunan ibu dengan

marga Mentawai melainkan dari garis keturunan ayah. Hal ini sangat berbeda

dari kebudayaan Minangkabau dalam sistem kekerabatannya yang dimana

garis keturunan seharusnya diwariskan oleh ibu dikarenakan Minangkabau

memakai sistem kekerabatan matrilineal. Berangkat dari inilah peneliti ingin

melakukan penelitian terhadap proses asimilasi yang terjadi di Dusun

Pasapuat dimana masyarakatnya dalam acara pernikah menggunakan adat

Minangkabau serta pemakaian suku/marga Minangkabau yang garis

keturunannya diwarikan dari garis keturunan ayah.

B. Rumusan Masalah

Terjadinya percampuran penduduk di Kabupaten Mentawai khususnya

Desa Saumanganyak memungkinkan terjadinya pernikahan campuran antar


etnis. Salah satunya terjadi di Dusun Pasapuat dimana awal mula terbentuknya

Dusun tersebut di awali oleh kedatangan perantau Minangkabau yang

menetap dan menikahi perempuan asli Mentawai. lalu, Pasangan ini membuka

lahan untuk di tempati yang dimana lambat laun berkembang menjadi sebuah

dusun yang bernama Dusun Pasapuat. Pada saat ini masyarakat di Dusun

Pasapuat menjalani acara adat pernikahan menerapkan adat Minangkabau

bukan dengan adat Mentawai. berangkat dari hal tersebut untuk lebih

memudahkan peneliti dalam melihat persoalan tersebut maka perlu

merumuskan dalam beberapa pertanya penelitian, yaitu :

1. Bagaimana terjadinya proses asimilasi dalam adat perkawinan Etnis

Mentawai dengan Etnis Minangkabau di Dusun Pasapuat, Desa

Saumanganyak?

2. Bagaimana perenapan sistem kekerabatan yang terjadi pada

masyaraka Pasapuat?

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan proses asimilasi dalam acara perkawinan di Dusun

Pasapuat

2. Mengindentifikasi sistem kekerabatan yang diterapkan masyarakat

Pasapuat dalam kehidupannya.

D. Manfaat Penelitian
Adapun Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Seacara akademik khususnya jurusan Antropologi Sosial adanya penelitian ini

diharapkan dapat mengetahui bagi para pembaca mengenai bagaimana

antropolog memehami asimilasi kebudayaan dalam perkawinan Etnis

Minangkabau dan Etnis Mentawai yang terjadi di Dusun Pasapuat.

2. Secara praktis dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

sumbangan ilmu pemikiran lain dalam mengembangkan penelitian selanjutnya

mengenai masalah ini.

E. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan studi kepustakaan yang sudah dilakukan, ada beberapa

tulisan yang menjadi rujukan dalam penelitian ini yaitu: pertama penelitian

yang dilakukan oleh penelitian yang dilakukan oleh Mardiana Lestary dari

jurusan Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik

Universitas Medan Area (2019) yang berjudul “Asimilasi Suku Jawa dan Suku

Tamil di Sei Serayu Gang Buntu, Kecamatan Medan Sunggal, Sumatera

Utara” penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya percampuran dua

kebudayaan di satu lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

kominikasi interpersonal dalam asimilasi suku Jawa dan suku Tamil di gang
Buntu, untuk mengetahui apa saja faktor yang menjadi penunjang dan

penghalang proses asimilasi suku Jawa dan suku Tamil di gang Buntu,

Kecamatan Medan Sunggal, Sumatera Utara. Penelitian ini menggunakan

metode penelitian kualitatif dengan analisis deskriptif. Hasil dari tulisannya

disebutkan bahwa golongan masyarakat suku Jawa sebagai mayoritas dan

suku Tamil sebagai minoritas yang berasimilasi melalui proses perkawinan.

Perkawinan campuran masyarakat suku Jawa dan suku Tamil menghasilkan

pembauran kebudayaan dimana masyarakat sukut Tamil menerima

kebudayaan dari masyarakat suku Jawa. Percampuran ini terjadi akibat dari

faktor toleransi sehingga munculnya hubungan ketergantungan timbal balik

yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak.

Kedua, kajian yang dilakukan oleh Akmal Syafii Ritonga dari jurusan

sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau (2017) yang

berjudul “Asimilasi Budaya Melayu Terhadap Budaya Pendatang di

Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru” penelitian memiliki bertujuan untuk

(1) mengetahui proses asimilasi antara Budaya Melayu dengan kebudayaan

pendatang di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru. (2) Untuk mengetahui

faktor-faktor apa saja yang menjadi pendorong dan penghambat dalam proses

asimilasi antara budaya Melayu dan kebudayaan pendatang di Kecamatan

Senapelan Kota Pekanbaru. Hasil dari penelitian ini faktor-faktor yang

menjadi pendorong asimilasi budaya yang terjadi dikehidupan masyarakat di


Senapelan dan Pekan Baru yang menjadi faktor utama dalam terjadinya proses

asimilasi antara budaya Melayu dan Kebudayaan pendatang adalah sikap

toleransi antar masyarakat dalam menyesuaikan diri antar Etnis, kemanfaatan

secara timbal-balik dalam berbagai aspek kehidupan dan adanya rasa simpati

terhadap sesama.

Ketiga, studi yang dilakukan oleh Retno Winarni dari Fakultas ilmu

Budaya Universitas Jember (2017) yang berjudul “Asimilasi Perkawinan

Etnis Cina dengan Pribumi di Jawa: Fokus Studi di Jember Situbondo dan

Tulungagung” penelitian ini mengunakan metode historis yang meliputi

heuristic, kritik, interpretasi dan historiografi. Hasil dari penelitian

menunjukan bahwa asimilasi perkawinan orang Cina dan pribumi Jawa terjadi

sejak orang-orang Cina merantau ke indonesia dalam waktu yang lama, tetapi

asimilasi perkawinan ini mengalami penuruna pada akhir abad-18 dan awal

abad ke-19. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya perempuan

perempuan asli Cina yang juga ikut merantau ke indonesia (Jawa), sehingga

banyak keturuan cina yang menikahi perempua-perempuan cina asli, bukan

berate asimilasi ini hilang sama sekali. Sejak terjadinya era Orba asimilasi

perkawinan ini kembali banyak terjadi, dimana asimilasi perkawainan ini

dipengaruhi oleh anjuran pemerintah untuk melakukan asimilasi kebudayaan

lewat perkawinan. Asimilasi perkawinan ini memberikan dampak terhadap


pembauran tradisi dan budaya dikarenakan terjadinya percampuran dua Etnis

dalam satu keluarga.

Keempat, kajian yang dilakukan oleh Lyudmita Karolina Marito Bakara,

dkk dari jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (2020) Yang

berjudul “Perkawinan Campuran Antara Etnis Batak-Dayak di Kalimantan

Barat” penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif secara

deskriptif. Data, yang diperoleh berupa informasi tentang sistem kekerabatan,

budaya yang digunakan dalam acara pernikahan serta sistem kekerabatan yang

diteruskan kepada keturunannya, pengumpulan data dilakukan dengan

wawancara dan observasi. Berdasarkan data yang diperoleh, menujukan

perbedaan budaya sistem kekerabatan yang dianut oleh Etnis Batak dengan

Etnis Dayak yang sangat jauh berbeda, sehingga adat dan sistem penurunan

kekerabatannya sangat berbeda. Keluarga yang melakukan proses pernikahan

campuran menggunakan satu budaya dan ditemukan juga mereka yang

menggunakan kedua budaya secara bergiliran. Pada umumnya sistem

kekerabatan Batak mendominasi dalam meneruskan sistem kekerabatan

kepada keturunannya.

Kelima, tulisan yang dilakukan oleh Nurjannah, Arti Galuh Ayu dari

jurusan Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri

Medan (2016) dengan judul “Akulturasi Budaya pada Upacara Perkawinan


Masyarakat Jawa Desa Perlis Kecamatan Branda Barat”. Penelitian ini

mengunakan metode kualitatif dengan narasumber tokoh-tokoh masyarakat

dan adat. Data dikumpulkan berdasarkan teknik: observasi, wawancara dan

dokumentasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa terbentuknya Desa Perlis

dikarenakan adanya migrasi dari Perlis Malaysia dengan tujuan untuk

mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Etnis Jawa yang berasal dari pulau

Jawa menjadikan Desa Perlis sebagai tujuan migrasi untuk mendapatkan

kehidupan yang lebih baik, hal ini kemudian penyebab terjadinya interaksi

interaksi yang mengakibatkan kontak budaya yaitu akulturasi. Akulturasi ini

dapat dilihat dari Etnis Jawa yang mengadopsi budaya Melayu Perlis dalam

prosesi acara pernikahan. Corak akulturasi pada proses perkawinan

masyarakat Jawa di Desa Perlis dapat dilihat dari prosesi malam barinai dan

bersanding satu yang dilakukan sebelum prosesi inti dilakukan. Proses terebut

tidak dilakukan oelh masyarakat Jawa yang tingal di Kecematan Branda Barat

ataupun yang tinggal di Pulau Jawa. Akulturasi Ini dipengaruhi oleh beberapa

faktor yaitu adanya migrasi, interaksi, adaptasi dan perkawinan campuran.

Tulisan ini menjadi rujukan karena memiliki aspek bahasan yang sama

yakni mengenai asimilasi budaya, perbedaannya adalah penelitian yang akan

dilakukan adalah mengenai asimilasi kebudayaan suku Minangkabau dengan

suku Mentawai pada upacara pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat di

Dusun Pasapuat.
F. Kerangka Pemikiran

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif dengan pilihan metode studi kasus yang bertujuan mencari data-data

dan informasi tentang kata-kata dan tinfdakan masyarakat yang berkenan dengan

fokus penelitian. Pendekatan penelitian kualitatif merupakan pendekatan

penelitian ilmu-ilmu social yang mengumpulkan serta menganalisis data berupa

kata-kata (lisan dan tulisan) dan perbuatan manusia serta peneliti tidak berusaha

menghitung atau mengkuatitatifkan data kualitatif yang telah diperoleh dan

demikian tidak menganalisis angka-angka (Afrizal, 2014:13).

Menurut Creswell, dalam tradisi penilitian kunatitatif dikenal terminologi

studi kasus (case study) sebagai jenis penelitian. Menurut Creswell (1998: 37-

38), fokus studi kasus adalah spesifikasi kasus dalam kejadian, baik itu yang

mencakup individu, kelompok budaya ataupun suatu potret kehidupan.

Tipe studi kasus dalam penelitian ini adalah tipe intrinsik, yaitu studi

untuk mendapatkan pemahan yang lebih baik dari kasus yang khusus, karena

seluruh kekhususan dan keluar biasaan kasus itu sendiri menarik perhatian.
Penelitian menggunakan metode ini untuk mengamati secara mendalam

mengenai fenomena proses terjadinya asimilasi kebudayaan antara etnik

Mentawai dengan etnik Minangkabau.

Dilapangan peneliti menggunakan metode wawancara dan dokumentasi.

Metode tersebut mampu memberikan gambaran mengenai asimilasi di Dusun

Pasapuat. Penelitian ini akan mempelajri kasu mengenai fenomena asimilasi

yang terjadi di Dusun Pasapuat dan sistem kekerabatan yang mereka terapkan

dalam kehidupan. Oleh karena iu penggunaan metode studi kasus dalam

penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan secara rinci bagaimana proses

asimilasi terjadi dan sistem kekerabatan yang diterapkan oleh masyarakat Dusun

Pasapuat.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Dusun Pasapuat, Desa Saumanganyak,

Kecamatan Pagai Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai. alasan memilih lokasi

ini berdasarkan observasi awal peneliti bahwa lokasi ini memiliki koherensi

terhadap kajian yang akan peneliti angkat.

3. Informan Penelitian

Menurut Afrizal (2014: 139), informan penelitian merupakan orang


yang memberikan informasi mengenai dirinya maupun orang lain atau suatu
kejadian satu hal kepada penelitian atau pewawancaraan mendalam.
Adapun teknik dalam perikan informan dalam penelitian ini

menggunakan teknik purposive sampling dimana informan akan dipilih

berdasarkan sesuai dengan tujuan dari penelitian. Sejalan yang dikatakan oleh

Ruslan (2003:156) purposive sampling sebagai pemilihan sample berdasarkan

karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai sangkut pautnya dengan

karakteristik populasi yang sudah diketahui sebelumnya.

Dalam memudahkan peneliti dalam mengambil data maka peneliti

membedakan informan berdasarkan dua kategori yaitu informan kunci dan

informan biasa. Adapun informan kunci ini merupakan orang yang

mempunyai pengetahuan luas dan orang yang memiliki pengaruh besar

terhadap beberapa masalah yang ada dalam masyarakat yang berkaitan dengan

penelitian. Informasi kunci ini merupakan narasumber yang ahli dan relevan

terhadap topik penelitian dan mereka akan ditempatkan sebagai informan

kunci, sedangkan informan biasa adalah informan yang memiliki pengetahuan

dasar tentang hal yang akan diteliti.

4. Teknik Pengumpulan Data


Untuk mendapatkan informasi yang relevan dengan tujuan penelitian

data yang dicari dikelompokkan menjadi dua yakni data primer dan data

sekunder. Data premier merupakan data yang dikumpulkansewaktu penelitian

yang diperoleh dari wawancara dan observasi. Sedangkan data sekunder

merupakan data yang didapt dari sumber-sumber tertulis baik berupa laporan,
artikel, koran, maupun buku-buku lainnya yang berkaitan dengan penelitian.

Semua proses pengumpulan data itu dilakukan bertahap yaitu:

 Observasi dan Partisipasi

Observasi adalah suatu teknik pengumpulan data dimana seseorang

peneliti melakukan pengamatan pada masyarakat yang menjadi objeknya.

Dalam observasi peneliti tidak terlibat ke dalam masyarakat tersebut.

Melainkan hanya melihat dan mengamati saja. Interaksi sosial antara informan

dan penelitian sama sekali tidak terjadi. Sedangkan observasi partisipasi

dimaksudkansebagai pengamatan langsung dengan melibatkan diri dalam

kegiatan masyarakat yang teliti, hubungan antara peneliti dengan informan akan

menciptakan suatu rapport (bungin. 2010).

 Wawancara

Penggunaan metode wawancara digunakan untuk tujuan tertentu.

Mencoba untuk mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari

seorang informan. Dengan bercakap cakap berhadapan dengan muka orang itu.

Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi

(koentjaraningrat. 1997:129). Wawancara merupakan suatu bagian penting atau

sentral dalam penelitian ini, karena tanpa wawancara peneliti tidak akan

mendapatkan suatu informasi.

 Dokumentasi
Dokumentasi merupakan perekaman dalam bentuk foto kamera untuk

mendapatkan hasil berupa gambar dan foto. Selain itu, perekaman dalam bentuk

foto kamera ini juga akan sangat membantu peneliti dalam menganalisis data,

karena dengan adanya foto, akan memudahkan peneliti dalam mengingat

kejadian atau realita yang terjadi di lapangan.

5. Analisis Data

Miles dan Guberman menguraikan bahwa analisis data dalam penelitian

kualitatif ada tiga tahap. Tahap pertama adalah tahap kodifikasi data yang

merupakan tahap koding terhadap data. Pada tahap pertamadalam analisis data,

peneliti menulis ulang catatan catatan lapangan yang dibuat ketika wawancara

mendalam dilakukan. Apabila wawancara direkam maka tahap awal adlah

mentranskrip hasil rekaman. Setelah catatan lapngan ditulis secara rapi dan

setelah rekaman ditranskrip. Peneliti membaca keseluruhan catatan lapangan

atau transkrip (disebut verbatin) untuk memilih informasi yang penting dan data

yang tidak penting dengan cara memberikan tanda-tanda.

Kemudian, tahap kedua merupakan tahap lanjutan analisis dimana

peneliti melakukan kategorisasi data atau pengelompokan data ke dalam

klasifikasi-klasifikasi. Berdasarkan kodifikasi data, yang menentukan data

penting dan tidak penting pada tahap pertama, peneliti membuat kategori-

kategori dari data yang dikumpulkan. Tahap ketiga adalah suatu tahap lanjutan
dimana pada tahap ini peneliti mencari hubungan antara kategori kategori yang

telah dibuat sebelumnya (Afrizal, 2005).

Setelah itu pertanyaan penelitian akan ditanyakan kembali kepada

informan pada waktu yang berbeda, jarak waktu yang tidak terlalu lama dan

tidak terlalu dekat. Tidak semua pertanyaan penelitian ditanyakan kembali

kepada informan. Hal ini akan menghemat waktu, tenaga dan biaya. Selain itu

peneliti juga akan memanfaatkan hubungan yang baik dengan informan-

informan sehingga data yang diharapkan dari informan dapat didalami dengan

baik.

Data yang diperoleh secepatnya dianalisa dengan tujuan agar data yang

diperoleh itu tidak tertumpuk. Dengan cara yang demikian akan dapat

mempermudah penelitian dalam mengkategorikan data relevan yang sesuai

dengan topik yang diangat dan data mana yang tidak relevan atau tidak sesuai

dengan permasalahan yang akan diteliti. Data yang tidak relevan disisihkan,

tetap disimpan jika sewaktu waktu dibutuhkan. Analisis data ini dilakukan di

awal sampai berakhirnya penelitian.

Anda mungkin juga menyukai