Anda di halaman 1dari 13

GAYA BAHASA SINDIRAN SEBAGAI BENTUK KOMUNIKASI

TIDAK LANGSUNG DALAM BAHASA LAIYOLO

Satire Language Style As A Form of Communication Indirect in the Laiyolo Language

Nurlina Arisnawati
Balai Bahasa Sulawesi Selatan
Jalan Sultan Alauddin Km 7/Tala Salapang, Makassar
Pos-el: nhana.amran@gmail.com
Naskah diterima tanggal 27 Maret 2020—Direvisi akhir tanggal 23 Mei 2020.—Disetujui tanggal 14 Desember 2020
doi: 10.26499/mm.v18i2.2314

Abstrak
Penggunaan bahasa sindiran dalam kehidupan masyarakat Laiyolo cukup intens. Hal ini karena
dilatarbelakangi oleh sifat masyarakat Laiyolo yang tidak suka berterus terang dengan berpegang teguh
pada sikap tasipakaito ‘saling memanusiakan’ atau posianggarangi ‘saling menghormati. Oleh karena
itu, masyarakat Laiyolo menggunakan gaya bahasa sindiran sebagai bentuk komunikasi tak langsung
mereka kepada orang yang telah melakukan sesuatu hal yang tidak menyenangkannya. Tulisan ini
membahas tentang gaya bahasa sindiran sebagai bentuk komunikasi tidak langsung dalam bahasa
Laiyolo. Tujuan Tulisan ini adalah mendeskripsikan penggunaan gaya bahasa sindiran sebagai bentuk
komunikasi tidak langsung dalam bahasa Laiyolo. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif
melalui teknik pengumpulan data pengamatan, simak-libat cakap, dan pencatatan. Hasil analisis data
menunjukkan bahwa gaya bahasa sindiran sebagai bentuk komunikasi tidak langsung dalam bahasa
Laiyolo dapat dilakukan dengan menggunakan tiga gaya bahasa sindiran, yaitu ironi, sinisme, dan
sarkasme. Ketiga gaya bahasa sindiran ini pada dasarnya bertentangan dengan prinsip kerja sama dan
prinsip sopan santun. Namun, ketiga gaya bahasa sindiran ini dianggap lebih aman dituturkan daripada
mengkritik, menghina, mencaci, mengejek, dan sebagainya.
Kata-kata kunci: Gaya Bahasa Sindiran, Komunikasi Tidak Langsung, Bahasa Laiyolo

Abstract
The use of satire language in Laiyolo people's lives is quite intense. This is because it is motivated by the
nature of the people of Laiyolo who do not like to be frank by sticking to the attitude of tasipakaito,
'humanizing each other' or posianggarangi 'mutual respect'. Therefore, Laiyolo people use satirical
language as a form of indirect communication to people who have done something that is not pleasant.
This paper discusses figure of speech of satire as a form of indirect communication in Laiyolo. The
purpose of this paper is to describe the use of satirical as a form of indirect communication in Laiyolo.
The method used is descriptive qualitative, the data collection technique through observational,
conversation, and recording. The results of the data analysis show that satirical, namely irony, cynicism,
and sarcasm. These three satirical are basically contrary to the principle of cooperation and the principle
of politeness. However, these three satirical are considered safer spoken than criticizing, insulting,
berating, mocking, and so on.
Keywords: Satirical, Indirect Communication, Laiyolo Language

136
PENDAHULUAN dalam rangka membentuk, mengembangkan,
Manusia sebagai makhluk sosial dan mewariskan kebudayaannya dalam artian
memiliki saling ketergantungan dengan yang yang seluas-luasnya.
lainnya, baik secara ekonomis, psikis, intelektual Sindiran yang ditandai dengan
ataupun sosial. Oleh karena itu, manusia penggunaan kata-kata sindiran mempunyai
memerlukan komunikasi satu sama lainnya agar kedudukan yang sangat sentral dalam aktivitas
bisa saling mengungkapkan gagasan, perasaan, berkomunikasi secara verbal sebagai salah satu
maupun keinginannya yang tentunya melalui sarana untuk menjalankan fungsi emotif bahasa.
instrumen komunikasi yang dinamakan bahasa. Fungsi emotif bahasa yang dimaksud adalah
Bahasa merupakan suatu cara komunikasi yang fungsi untuk menyatakan perasaan yang dalam
bisa memberikan pengaruh langsung bagi kedua hal ini dilatarbelakangi oleh adanya rasa tidak
belah pihak, penutur dan lawan tutur. suka atau tidak senang, jengkel, benci, dendam,
Bahasa sebagai alat komunikasi dan sebagainya yang disampaikan melalui kata-
berfungsi menyampaikan pesan dari penutur kata sindiran. Sindiran adalah ujaran yang
(komunikator) kepada mitra tutur (komunikan). mengungkapkan kebalikan dari fakta yang
Akan tetapi, tidak semua dapat tersampaikan sebenarnya yang biasanya digunakan untuk
dengan baik. Kadang-kadang terjadi mencela orang secara implisit atau tidak
ketidaksepahaman atau perbedaan pendapat langsung (Suprobo, 2015).
yang disebabkan oleh adanya “pemandegan” Berbicara tentang bahasa sindiran
komunikasi. Komunikasi yang dibangun tidak sebagai pemenuhan atas fungsi emotif bahasa,
efektif sehingga jauh dari hal saling memahami Jakobson (dalam (Wijana, I Dewa Putu, dan
pesan yang ada. Bahkan, tidak jarang kita jumpai Rohmadi, 2006)) mengatakan bahwa fungsi
terjadinya konflik di mana-mana. Konflik yang emotif merupakan salah satu fungsi bahasa yang
terjadi itu, bahkan carut marut dalam bidang terpenting, di samping lima fungsi lainnya,
hukum, politik, dan lain-lain, serta banyaknya seperti fungsi konatif, referensial, metalingual,
demonstrasi yang terjadi saat ini, merupakan poetik, dan fatis. Sementara Leech (dalam
wujud dari komunikasi yang tidak efektif (Wijana, I Dewa Putu, dan Rohmadi, 2006))
(Pamungkas, 2012). Dalam situasi yang mengungkapkan lima rumusan yang berbeda
demikian, adakalanya manusia tidak saling tentang fungsi bahasa, yaitu fungsi
memahami yang memicu terjadinya perdebatan informasional, ekspresif, direktrif, estetik, dan
atau perbedaan pendapat, perselisihan yang pada fatis. Sindiran merupakan realisasi dari fungsi
akhirnya melahirkan bahasa-bahasa yang ekspresif.
berfungsi untuk menyindir satu sama lainnya. Masyarakat Laiyolo pun mengenal
Padahal, manusia pada umumnya berinteraksi bahasa sindiran. Bahkan frekuensi pemakaian
untuk membina kerja sama antarsesamanya bahasa sindiran ini pun cukup intens dalam
137 |
kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini karena menyimpulkan bahwa gaya bahasa metafora
dilatarbelakangi oleh sifat masyarakat Laiyolo dalam novel “Laskar Pelangi” mengungkapkan
yang tidak suka berterus terang dan berpegang ungkapan secara tidak langsung berupa
teguh pada sikap tasipakaito ‘saling perbandingan analogis. Penelitian serupa juga
memanusiakan’ atau posianggarangi ‘saling dilakukan oleh (Solekhati, 2016) dengan judul
menghormati’ dan sipohargai ‘saling Pemakaian Gaya Bahasa Sindiran pada Acara
menghargai’. Oleh karena itu, masyarakat “Sentilan Sentilun” di Televisi, yang
Laiyolo menggunakan bahasa sindiran sebagai menyimpulkan bahwa: 1) jenis gaya bahasa
bentuk komunikasi tak langsung mereka kepada sindiran pada acara ”Sentilan Sentilun” di
orang yang telah melakukan sesuatu hal yang televisi ini terdapat 155 gaya bahasa sindiran
tidak menyenangkannya. yang dianalisis berdasakan jenis gaya bahasa
Masyarakat Laiyolo menggunakan satire, sarkasme, sinisme, ironi, dan inuendo; 2)
bahasa sindiran untuk melepaskan rasa tidak makna gaya bahasa sindiran dikelompokkan
puas dalam hati atau sesuatu yang tidak menjadi jenis makna, dan sebab perubahan
menyenangkan. Biasanya, bahasa sindiran ini makna. Jenis makna pada gaya bahasa sindiran
digunakan untuk menyadarkan orang yang dibedakan menjadi dua yaitu makna primer dan
disindir atau setidak-tidaknya orang yang sekunder. Selain itu, dalam penelitian ini
disindir mengetahui tentang perasaan atau ditemukan 91 sebab perubahan makna yang
suasana hati si penyindir agar tidak melakukan terdiri atas sebab perkembangan sosial budaya,
hal atau perbuatan yang serupa kepada si perbedaan bidang pemakaian, asosiasi
penyindir. penyingkatan, pengembangan istilah dan proses
Belakangan ini, artikel atau penelitian gramatikal; dan 3) gaya bahasa sindiran pada
yang mengkaji tentang sindiran telah banyak acara “Sentilan Sentilun” dalam penelitian ini
dikaji, di antaranya oleh (Wahyuni & Kulup, memiliki enam fungsi bahasa yang terdiri atas
2013) yang berjudul Sindiran dalam Wayang fungsi personal, instrumental, interpersonal,
Durangpo. Hasil penelitiannya menyimpulkan metalinguistik, referensial dan imajinatif. Fungsi
bahwa gaya bahasa sindiran dalam Wayang bahasa yang mendominasi acara “Sentilan
Durangpo merupakan bentuk kritik sosial yang Sentilun” dalam penelitian ini adalah fungsi
terjadi di masyarakat dan sedang hangat- instrumental karena bahasa digunakan untuk
hangatnya dibicarakan. Sindiran dalam Wayang menyampaikan gagasan, agar pendengar
Durangpo berupa sindiran ironi, sinisme, dan melakukan suatu kegiatan sesuai dengan
sarkasme; (Purwati, Rosdiani, Lestari, & keinginan penutur.
Firmansyah, 2018) dengan judul Menganalisis Penelitian yang memfokuskan pada
Gaya Bahasa Metafora dalam Novel “Laskar bahasa Laiyolo, di antaranya: Konservasi
Pelangi” Karya Andrea Hirata, yang Bahasa Daerah Laiyolo yang Hampir Punah di
138
Kabupaten Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan bidang ilmu pengetahuan dengan menjadi bahan
oleh (Muhsin, 2016). Penelitian ini acuan atau alternatif materi dalam pengajaran di
mengungkapkan tentang konservasi bahasa bidang linguistik, serta sebagai bentuk
Laiyolo agar tidak mengalami kepunahan. dokumentasi terhadap bahasa Laiyolo agar tidak
Penelitian bahasa Laiyolo lainnya, yaitu mengalami kepunahan.
Antonimi Majemuk dalam Bahasa Laiyolo oleh
(Rahmatiah, 2017), dan Deskripsi Morfem LANDASAN TEORI
Pelaku dalam Bahasa Laiyolo oleh (Arisnawati, Berbicara tentang sindiran, maka
2017). Kedua penelitian ini membahas aspek kerangka teori yang digunakan dalam tulisan ini
morfologi. Namun, penelitian tentang bahasa akan bermula pada gaya bahasa karena bahasa
Laiyolo yang bersentuhan dengan aspek gaya sindiran merupakan bagian dari gaya bahasa.
bahasa dan teori pragmatik terutama prinsip Gaya bahasa dalam retorika dikenal
kerja sama dan sopan santun masih sangat dengan istilah style yang berasal dari kata Latin,
terbatas. Oleh karena itu, tulisan atau penelitian stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada
ini penting untuk dilakukan agar dapat lempengan lilin dan pada perkembangannya,
mengetahui gaya bahasa sindiran sebagai bentuk gaya bahasa atau style ini menjadi masalah atau
komunikasi tidak langsung dalam bahasa bagian dari diksi atau pilihan kata yang
Laiyolo. Selain itu, bahasa Laiyolo merupakan mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata,
salah satu bahasa yang ada di Sulawesi Selatan frasa atau klausa tertentu untuk menghadapi
yang terancam mengalami kepunahan karena situasi tertentu (Keraf, 2009). Lebih lanjut
jumlah penuturnya yang semakin berkurang. dikatakan bahwa gaya bahasa memungkinkan
Gaya bahasa sindiran yang dibahas kita dapat menilai pribadi, watak, dan
dalam hal ini adalah jenis gaya bahasa kemampuan seseorang yang mempergunakan
berdasarkan teori Keraf yang dikaitkan dengan bahasa itu. Semakin baik gaya bahasanya,
teori pragmatik, yaitu prinsip kerja sama dan semakin baik pula penilaian orang terhadapnya;
prinsip sopan santun dengan mengetengahkan semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin
sebuah masalah, yaitu bagaimana penggunaan buruk pula penilaian diberikan padanya. Oleh
gaya bahasa sindiran sebagai bentuk komunikasi karena itu, gaya bahasa dapat dibatasi dengan
tidak langsung dalam bahasa Laiyolo? cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa
Tujuannya adalah untuk mendeskripsikan secara khas yang memperlihatkan jiwa dan
tentang penggunaan gaya bahasa sindiran kepribadian penulis (pemakai bahasa). Gaya
sebagai bentuk komunikasi tidak langsung bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur
dalam bahasa Laiyolo. Selain untuk melengkapi berikut, yaitu: kejujuran, sopan-santun, dan
penelitian yang ada, penelitian ini juga menarik (Keraf, 2009).
diharapkan dapat memberikan kontribusi di
139 |
Terkait dengan pernyataan tersebut, Dale menyatakan makna bertentangan, dengan
et al (dalam (Tarigan, 2009)), mengungkapkan maksud berolok-olok. Maksud itu dapat dicapai
bahwa penggunaan gaya bahasa tertentu dapat dengan mengemukakan: 1) makna yang
mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu. berlawanan dengan makna yang sebenarnya, 2)
Sementara (Tarigan, 2009) menyatakan bahwa ketaksesuaian antara suasana yang
gaya bahasa dan kosakata mempunyai hubungan diketengahkan dan kenyataan yang
erat, hubungan timbal balik. Semakin kaya mendasarinya, dan 3) ketaksesuaian antara
kosakata seseorang, semakin beragam pula gaya harapan dan kenyataan (Moeliono dalam
bahasa yang dipakainya. Peningkatan pemakaian (Tarigan, 2009)).
gaya bahasa jelas memperkaya kosakata Sekaitan dengan hal di atas, (Keraf,
pemakainya. Salah satu gaya bahasa yang cukup 2009) mengelompokkan gaya bahasa sindiran
intens pemakaiannya dalam kehidupan sehari- dalam tiga bagian, yaitu: 1) ironi, adalah suatu
hari adalah sindiran. acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan
Sindiran merupakan perkataan yang makna atau maksud berlainan dari apa yang
ditujukan untuk menyatakan sesuatu maksud terkandung dalam rangkaian kata-katanya; 2)
kepada seseorang, tidak disebutkan atau sinisme, adalah suatu sindiran yang berbentuk
dinyatakan secara tepat, tetapi hanya kesangsian yang mengandung ejekan terhadap
disampaikan secara sinis dengan dikias-kiaskan keikhlasan atau ketulusan hati; dan 3) sarkasme,
atau dilambangkan kepada perkara lain, adalah suatu acuan yang lebih kasar dari ironi
sedangkan (Munsyi, 2011) mengatakan bahwa dan sinisme. Ia adalah suatu acuan kepahitan dan
sindiran adalah perkataan untuk mengata, celaan yang getir. Gaya ini selalu akan menyakiti
mengejek atau mencela seseorang (Munsyi, hati dan kurang enak didengar. Sementara
2011). Tidak jauh berbeda dengan pernyataan (Suprobo, 2015) mengatakan bahwa sindiran
tersebut, Merriam-Webster Dictionary dalam biasanya selain digunakan untuk mengejek lawan
(Suprobo, 2015) menjelaskan bahwa sindiran tuturnya, tetapi sindiran juga memiliki tujuan lain
‘tease’ atau ‘allusion’ dan menyindir ‘to tease’ selain mengejek, yaitu untuk memprotes, untuk
yaitu menertawakan atau mengkritik seseorang mengungkapkan ketidakpercayaan,

baik secara bersahabat atau bercanda maupun mengekspresikan berbagai macam emosi seperti

secara kasar. Sementara (Sugono, 2008) dalam marah, sedih, kesal, keluhan, dan lain sebagainya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan Pengungkapan bahasa sindiran dalam

bahwa sindiran adalah perkataan (gambar dsb) masyarakat juga dapat dilihat dari situasi dan

yang bermaksud menyindir orang; celaan kondisi saat terjadinya komunikasi. Situasi dan

(ejekan dsb) yang tidak langsung. kondisi yang dimaksud adalah latar belakang

Sindiran dikenal juga dengan istilah terjadinya komunikasi dan interaksi

ironi, yaitu majas atau gaya bahasa yang antarpemakai bahasa. Dalam kondisi tertentu,
140
pemahaman bahasa tidak akan lengkap dan tepat menggariskan bahwa setiap peserta pertuturan
jika konteks tuturan tidak dipahami, sehingga harus meminimalkan kerugian orang lain, atau
konteks tuturan berpengaruh besar dalam memaksimalkan keuntungan bagi orang lain; 2)
penentuan dan tujuan-tujuan berbahasa. maksim penerimaan, menghendaki setiap
Sementara dalam kajian pragmatik, terutama peserta pertuturan untuk memaksimalkan
dalam retorika antarpribadi, prinsip ironi kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan
(sindiran) mengambil tempat di sisi prinsip kerja keuntungan diri sendiri; 3) maksim kemurahan,
sama dan prinsip sopan santun (Tarigan, 2009). menuntut setiap peserta pertuturan untuk
Dalam kajian pragmatik, prinsip itu disebut memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain
dengan maksim, yaitu pernyataan ringkas yang dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada
mengandung ajaran atau kebenaran. orang lain; 4) maksim kerendahan hati, menuntut
Terkait dengan prinsip kerja sama, Gries setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan
(dalam (Chaer, 2010)) mengatakan bahwa setiap ketidakhormatan pada diri sendiri, dan
penutur harus menaati empat maksim kerja meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri; 5)
sama, yaitu 1) maksim kuantitas, yaitu maksim maksim kecocokan, menghendaki agar setiap
yang menghendaki setiap peserta tutur hanya penutur dan lawan tutur memaksimalkan
memberikan kontribusi yang secukupnya saja kesetujuan di antara mereka dan meminimalkan
atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawannya ketidaksetujuan di antara mereka; dan 6) maksim
(tidak berlebihan); 2) maksim kualitas, yaitu kesimpatian, mengharuskan semua peserta
maksim yang menghendaki agar peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati,
pertuturan itu mengatakan hal yang sebenarnya, dan meminimalkan rasa antipasti kepada lawan
hal yang sesuai dengan data dan fakta; 3) tuturnya.
maksim relevansi, yaitu maksim yang Prinsip ironi (sindiran) bersifat parasit
mengharuskan setiap peserta pertuturan terhadap keduanya. Dalam pengertian bahwa
memberikan konstribusi yang relevan dengan prinsip ironi (sindiran) merupakan suatu ‘prinsip
masalah atau tajuk pertuturan; dan 4) maksim urutan kedua’ yang memungkinkan seorang
cara, yaitu maksim yang mengharuskan penutur pembicara menjadi tidak sopan, tetapi kelihatan
dan lawan tutur berbicara secara langsung, tidak seolah-olah sopan; hal itu dapat terjadi dengan
kabur, tidak ambigu, tidak berlebih-lebih dan melanggar prinsip kerja sama secara luaran,
runtut. Sedangkan terkait dengan prinsip sopan tetapi pada akhirnya tidak mempertahankannya.
santun, Leech (dalam (Chaer, 2010)) Jika prinsip sopan santun memperkembangkan
mengatakan bahwa sebuah tuturan dianggap suatu prasangka terhadap rasa hormat lebih
santun apabila memenuhi enam maksim daripada konflik dalam hubungan-hubungan
kesopanan (kesantunan), yaitu 1) maksim sosial, prinsip ironi (sindiran) memungkinkan
kebijaksanaan, yaitu maksim yang kita menghindari kesopansantunan,
141 |
mempromosikan penggunaan bahasa yang diseleksi dan diklasifikasikan tersebut kemudian
bersifat ‘antisosial’. Hal tersebut pada akhirnya dianalis berdasarkan teori tentang prinsip kerja
memunculkan pelanggaran terhadap maksim, sama dan prinsip kesantunan.
terutama maksim kuantitas atau lebih sering lagi
maksim kualitas. PEMBAHASAN
Prinsip Iironi pada dasarnya mempunyai Menyindir atau sindiran merupakan
fungsi positif dalam mengizinkan agresi tindakan mencela atau mengeritik secara tidak
memanifestasikan dirinya dalam bentuk ucapan langsung atau tidak terus terang (KBBI, 2008,
yang kurang berbahaya daripada kritik langsung, hlm. 1311). Selain digunakan untuk mencari
cacian, cercaan, ancaman, dan sebagainya. kelemahan dan kekurangan seseorang atau
Cacian dapat secara mudah memancing cacian sekelompok orang, sindiran dapat memperkuat
balasan, tetapi sindiran (ironi) tidak mudah posisi dan eksistensi atau keberadaan pihak yang
menjawabnya dengan ucapan yang setimpal. Hal memberikan sindiran. Dengan memberikan
ini karena sindiran memiliki seni menyerang sindiran, seolah-olah pihak tersebut memiliki
dengan kekuatan kata-kata dan disertai dengan sikap, tindakan dan pandangan yang lebih baik
sikap tidak bersalah sebagai bentuk pembelaan daripada pihak yang mendapatkan sindiran.
diri. Sindiran dalam bahasa Laiyolo dikenal dengan
istilah pseksindirik ‘menyindir/sindiran’.
METODE PENELITIAN
Penggunaan sindiran dalam masyarakat Laiyolo
Penelitian ini menggunakan metode
bisa dikatakan cukup tinggi. Hal ini
deskriptif kualitatif untuk menggambarkan
dilatarbelakangi oleh sikap masyarakat Laiyolo
tentang bahasa sindiran sebagai bentuk
yang biasa mengucapkan kalimat secara basa-
komunikasi tidak langsung dalam bahasa
basi atau tidak langsung kepada mitra tuturnya.
Laiyolo.
Hal itu bertujuan menjaga perasaan mitra tutur
Data dalam penelitian ini adalah bahasa
agak tidak tersinggung dengan tuturan penutur.
sindiran dalam bahasa Laiyolo yang diperoleh
Dalam bahasa Laiyolo, ternyata bahasa sindiran
melalui bahasa lisan yang dituturkan oleh
ini bisa dikatakan cukup bertingkat karena dalam
penutur bahasa Laiyolo dan relevan dengan
pengucapannya ternyata ada sindiran yang
objek kajian dalam penelitian ini, yaitu tentang
diucapkan dengan menggunakan kata-kata yang
tuturan menyindir. Teknik pengumpulan data
halus yang biasa dikenal dengan istilah ironi, ada
dilakukan dengan cara pengamatan, simak-libat-
sindiran yang berbentuk kesangsian yang
cakap, dan pencatatan. Data yang telah
mengandung ejekan atau dikenal dengan istilah
dikumpulkan kemudian diseleksi dan
sinisme, dan ada sindiran yang diucapkan dengan
diklasifikasikan menurut jenis atau tipe sindiran
menggunakan kata-kata kasar yang dikenal
(ironi, sinisme, dan sarkasme). Data yang telah
dengan istilah sarkasme. Penggunaan ketiga
142
tingkatan gaya bahasa sindiran tersebut dapat
dilihat seperti berikut ini. Contoh (1-5) merupakan contoh tuturan
1) Ironi sindiran yang dituturkan secara tidak langsung
Ironi adalah sejenis gaya bahasa yang dengan menggunakan gaya bahasa ironi. Pada
mengimplikasikan sesuatu yang berbeda, bahkan tuturan (1), secara tidak langsung penutur
ada kalanya bertentangan dengan apa yang menyindir mitra tuturnya dengan mengatakan
sebenarnya dikatakan. Ironi dianggap sebagai sesuatu yang bertolak belakang dari hal yang
sindiran yang lebih halus jika dibandingkan sebenarnya, yaitu Kakika innya to menape puu
dengan sinisme dan sarkasme. Adapun contoh helona, ka sangi lagirengea paranga ito ‘Kok
penggunaan bahasa sindiran dengan gaya bahasa sifatnya bagus sekali ya, dia tengkari orang
Ironi ini adalah sebagai berikut. terus’. Padahal, dari tuturannya itu, penutur
(1) Kakika innya to menape puu helona, ka bermaksud menyindir mitra tuturnya sebagai
sangi lagirengea paranga ito. orang yang memiliki sifat yang buruk karena
‘mengapa ada ya bagus sekali sifat,
suka bertengkar. Hal yang sama terjadi pada
terus dia tengkari orang’
(Kok sifatnya bagus sekali ya, dia contoh tuturan (2) Addoh, ballona nilai
tengkari orang terus.) laporokngu Nak, melek i lele. ‘Aduh, Nilai
(2) Addoh, ballona nilai laporokngu Nak, rapormu bagus Nak, rata-rata merah’. Secara
melek i lele.
tidak langsung, penutur bermaksud menyindir
‘aduh bagusnya nilai rapormu Nak,
rata-rata merah. mitra tuturnya yang tak lain adalah anaknya
(Aduh, Nilai rapormu bagus Nak, rata- sebagai anak yang bodoh karena nilai rapornya
rata merah)
buruk dengan rata-rata merah. Begitu pula
(3) Sia ninro lambabo, gessingakda petokai
doeknga. dengan tuturan (3—4), yaitu Sia ninro lambabo,
‘dia tidak boros, kuat cuma habisi gessingakda petokai doeknga. ‘Dia tidak boros,
uangnya.’ cuma kuat habisi uangnya’ (3) dan Merajin puu
(Dia tidak boros, cuma kuat habisi
dua koo, maong pinjengu ninro poli mubessuki
uangnya.)
(4) Merajin puu dua koo, maong pinjengu ‘Kamu rajin sekali, biar piringmu tidak bisa juga
ninro poli mubessuki kamu cuci’ (4). Kedua tuturan tersebut
‘rajin sekali kamu, biar piringmu tidak
bermaksud menyindir mitra tuturnya yang dalam
juga kamu bisa mencucinya.’
(Kamu rajin sekali, biar piring tidak hal ini adalah adik penutur sendiri bahwa mitra
bisa juga kamu cuci.) tuturnya itu adalah orang yang boros karena
(5) Ballo dua tulisengu, ninro sania labaca tidak tahu menyimpan uang. Dengan perkataan
ito.
lain bahwa mitra tuturnya itu suka berfoya-foya
‘bagus sekali tulisan kamu, tidak bisa
baca orang.’ atau menghabis-habiskan uang (3), dan
(Tulisanmu bagus sekali, orang tidak bermaksud menyindir mitra tuturnya sebagai
bisa membacanya.)
pribadi yang pemalas (4). Sebagai seorang
143 |
perempuan seharusnya terbiasa dengan 2) Sinisme
pekerjaan rumah, termasuk mencuci piring. Sinisme adalah gaya bahasa yang berupa
Akan tetapi, karena mitra tuturnya itu tergolong sindiran, berbentuk kesangsian dan mengandung
pemalas, cucian piring pun dibiarkan bertumpuk ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati.
yang tentu saja menghasilkan pemandangan Adapun contoh penggunaan bahasa sindiran
yang tidak menarik di dapur. dengan gaya bahasa sinisme ini adalah sebagai
Pada tuturan (5), yaitu Ballo dua berikut.
tulisengu, ninro sania labaca ito. ‘Tulisanmu (6) Poro pereha numbolombu dekdua
bagus, orang tidak bisa membacanya’ penutur kasangi pelonga akea sipo ri ito.
‘barang murah juga ternyata selalu
bermaksud menyindir mitra tuturnya yang
terus dipamer-pamer ke orang.’
memiliki tulisan yang jelek yang mengakibatkan (Ternyata barang murah juga selalu
orang lain sulit untuk membacanya. dipamer-pamer ke orang.)
(7) Kumengngeng dua kulongea, maong
Dengan mengungkapkan hal yang
gaheeng melombu ninroda poli
bertolak belakang dari fakta atau kenyataannya, lagahea.
tuturan (1-5) ini dianggap melanggar prinsip ‘capek saya lihatnya, biar pekerjaan
kerja sama, terutama maksim kualitas yang mudah tidak juga bisa dikerjakan.’
(Saya capek melihatnya, Pekerjaan
mengharuskan peserta pertuturan mengatakan
mudah pun tidak bisa dikerjakan.)
hal yang sebenarnya dan juga melanggar prinsip (8) Melombuda laka kaha itu jabatang,
sopan santun, terutama maksim kemurahan yang seppekiada komandang itu.
menuntut setiap peserta pertuturan untuk ‘mudah juga ternyata
mendapatkannya jabatan, didekati
memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain
saja bos/pimpinan.’
dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada (Ternyata mudah mendapatkan
orang lain. Terlepas dari pelanggaran prinsip jabatan, dekati saja bos/ pimpinan.)
(9) Pesaniku to ninro kedakko itona sabak
kerja sama dan prinsip sopan santun, tuturan ini
lacerakdek poranga meruna kane
dianggap jauh lebih baik dan lebih sopan lapeppau.
daripada mengkritik, menghina, mencaci, ‘Saya kira tidak pelit orangnya sebab
mencerca, mengejek mitra tutur secara langsung. pintar dan lembut kalau berbicara.’
(Saya kira orangnya tidak pelit sebab
Alasan keduanya bahwa dengan bertutur secara
pintar dan lembut kalau berbicara.)
bertolak belakang dengan fakta yang ada yaitu
tidak langsung menohok mitra tutur sehingga Contoh (6-9) merupakan contoh tuturan
tidak mudah bagi mitra tutur untuk membalas. sindiran yang dituturkan secara tidak langsung
Berbeda halnya jika penutur menyampaikan dengan menggunakan gaya bahasa sinisme. Pada
secara langsung berupa kritikan, hinaan, cercaan, tuturan (6), secara tidak langsung, penutur
ejekan, tentu mudah bagi mitra tutur menyindir mitra tuturnya dengan mengatakan
memberikan serangan balik berupa pembalasan. sesuatu yang bertujuan mengejek seperti Poro
144
pereha numbolombu dekdua kasangi pelonga menyindir mitra tuturnya sebagai orang yang
akea sipo ri ito. ‘ternyata barang murah juga pelit, dan sangat berbeda dengan dugaan si
selalu dipamer-pamer ke orang’. Tuturan penutur selama ini tentang sikap mitra tutur yang
tersebut disampaikan dengan nada sinis yang dianggapnya sebagai orang yang pintar, lembut,
mengandung ejekan kepada mitra tutur. Dalam dan penyayang. Orang yang memiliki sikap yang
tuturan ini, secara tidak langsung, penutur demikian, biasanya memiliki jiwa yang
bermaksud menyindir mitra tuturnya sebagai dermawan. Akan tetapi, fakta yang didapatkan
orang yang suka pamer dan mau dikata, penutur berbeda, mitra tuturnya yang tergolong
sementara barang yang dipamerkan ternyata pintar, lembut dan penyayang ternyata kurang
hanyalah barang murah, yang alih-alih semua dermawan.
orang bisa memilikinya. Sementara tuturan (7), Tuturan sindiran secara atau dengan gaya
Kumengngeng dua kulongea, maong gaheeng sinisme seperti pada tuturan (6-9) dianggap
melombu ninroda poli lagahea, ‘saya capek melanggar prinsip kerja sama, terutama maksim
melihatnya, pekerjaan mudah pun tidak bisa kualitas yang mengharuskan peserta pertuturan
dikerjakan’. Secara tidak langsung penutur mengatakan hal yang sebenarnya; hal yang
menyindir mitra tuturnya dengan cara mengejek sesuai dengan data dan fakta dan maksim cara
dan menyangsikan kemampuan mitra tuturnya yang mengharuskan penutur dan mitra tutur
dalam menyelesaikan pekerjaan yang cukup berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak
mudah dilakukan. Dalam hal ini, secara tidak ambigu, tidak berlebih-lebih dan runtut. Selain
langsung penutur menyindir mitra tuturnya itu, tuturan (6-9) juga melanggar prinsip sopan
sebagai pribadi yang malas, kurang cekatan, dan santun, terutama maksim kemurahan yang
tidak mampu bekerja. menuntut setiap peserta pertuturan untuk
Pada tuturan (8) Melombuda laka kaha memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain
itu jabatang, seppekiada komandang itu dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada
‘ternyata mudah mendapatkan jabatan, dekati orang lain dan juga maksim kerendahan hati
saja bos/pimpinan’. Secara tidak langsung yang menuntut setiap peserta pertuturan untuk
penutur menyindir mitra tuturnya yang tak lain memaksimalkan ketidakhormatan pada diri
adalah rekan kerjanya sebagai orang yang sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri
mendapatkan jabatan melalui sistem pendekatan, sendiri serta maksim kesimpatian yang
tanpa melihat pengalaman dan prestasi kerja. mengharuskan semua peserta pertuturan untuk
Pada tuturan (9) Pesaniku to ninro kedakko itona memaksimalkan rasa simpati, dan
sabak lacerakdek poranga meruna kane meminimalkan rasa antipati kepada mitra
lapeppau, ‘saya kira orangnya tidak pelit sebab tuturnya. Namun, terlepas dari pelanggaran
pintar dan lembut kalau berbicara’, secara tidak prinsip kerja sama dan prinsip sopan santun,
langsung dan dengan nada sinis, penutur tuturan ini juga dianggap jauh lebih baik dan
145 |
lebih sopan karena tidak menohok mitra 2009:143—144). Adapun contoh penggunaan
tuturnya. Tuturan sindiran seperti tuturan (6-9) bahasa sindiran dengan gaya bahasa sarkasme ini
ini dianggap lebih aman untuk dituturkan misalnya sebagai berikut.
daripada harus mengkritik, menghina, mencaci, (10) Penassea kane mu peppau, nee mu
mencerca, mengejek mitra tutur secara langsung. sembau to mepepe.
‘kasi jelas kalau bicara kamu, jangan
Tuturan sindiran seperti tuturan (6-9) ini
kamu seperti orang bisu.’
biasa dilakukan sebagai salah satu alternatif (Perjelas kalau kamu bicara, kamu
untuk menyerang mitra tutur dengan resiko yang jangan seperti orang bisu.)
(11) Ritee mu taua matamu, sekeddippo mu
sangat minim. Artinya, mitra tutur tidak mudah
linra aku.
memberikan serangan balik berupa kemarahan, ‘Di mana kamu simpan mata kamu,
kebencian, ataupun memberikan sindiran balik hampir saja kami kamu injak.’
itu sendiri karena sindiran seperti sinisme ini, (Di mana kamu simpan matamu, kamu
hampir saja menginjak kami.)
tidak langsung tepat sasaran. Artinya, mitra tutur
(12) Sembau ko to dakang telingamu, ninro
juga harus cerdas dalam mencerna dan mina mu penrango apea nuripaukako.
memahami maksud perkataan si penutur. Selain ‘seperti kalau kamu tidak ada
itu, juga dibutuhkan kecerdasan dalam memilih telingamu, tidak kamu dengarkan
kalau ada diberitahukanmu.’
dan menyusun kata jika ingin memberikan
(kamu seperti tidak bertelinga, kamu
serangan sindiran balik. Sementara bagi penutur, tidak mendengarkan apa yang
setiap tuturan sindirannya itu tentu memiliki diberitahukan.)
(13) Merate dua bengkengu be, ninro mina
maksud, setidak-tidaknya menyadarkan mitra
mu taang ri sapo
tuturnya tentang hal yang tidak berkenan ‘panjang juga kakimu ya, tidak pernah
dihatinya. Faktanya, kadang-kadang ada mitra kamu tinggal di rumahmu.’
tutur yang bersikap masa bodoh atau pura-pura (Kakimu panjang juga ya, kamu tidak
pernah tinggal di rumah.)
tidak tahu dengan tujuan sengaja ingin membuat
kesal si penutur atau memang mitra tuturnya
Contoh (10-13) merupakan contoh
yang kurang peka dengan situasi di sekelilingnya
tuturan sindiran yang dituturkan secara tidak
meskipun sudah disindir berkali-kali.
langsung dengan menggunakan gaya bahasa
3) Sarkasme
sarkasme. Pada tuturan (10), Penassea kane mu
Sarkasme merupakan suatu acuan yang
peppau, nee mu sembau to mepepe ‘perjelas
lebih kasar dari ironi dan sinisme yang
kalau kamu bicara, kamu jangan seperti orang
merupakan suatu acuan yang mengandung
bisu’. Secara tidak langsung, penutur menyindir
kepahitan dan celaan yang getir. Sarkasme dapat
mitra tuturnya seperti orang bisu, tidak jelas dan
saja bersifat ironis, dapat juga tidak, tetapi yang
tidak dimengerti ketika berbicara. Meskipun
jelas adalah bahwa gaya ini selalu akan
terdengar kasar dan menyakitkan hati, tuturan ini
menyakiti hati dan kurang enak didengar (Keraf,
146
tidak langsung menuding atau menghina mitra kamu tidak pernah tinggal di rumah’. Secara
tuturnya sebagai orang bisu, tetapi seakan-akan tidak langsung, penutur juga menyindir mitra
melarang mitra tuturnya untuk bertutur atau tuturnya sebagai tukang jalan atau suka
berbicara seperti orang bisu. Oleh karena itu, keluyuran. Tuturan ini pun dianggap lebih baik
tuturan sindiran seperti ini pun dianggap lebih daripada harus bertutur secara langsung dengan
sopan bila dibandingkan dengan menghina atau mengejek atau menghina mitra tutur sebagai
mengejek secara langsung mitra tuturnya sebagai orang yang tidak bertelinga (12) dan sebagai
orang bisu seperti: sembauko to mepepe kane tukang jalan atau suka keluyuran (13). Tuturan
peppau ‘kamu seperti orang bisu kalau (12-13) ini tidak langsung menohok mitra
berbicara’. Hal yang sama juga terjadi pada tuturnya karena menggunakan kata
tuturan (11) Ritee mu taua matamu, sekeddippo perumpamaan, yaitu sembau ‘sepertinya’ (12)
mu linra aku, ‘di mana kamu simpan matamu, dan kalimat yang meminta persetujuan mitra
kamu hampir saja menginjak kami’. Secara tidak tutur seperti Merate dua bengkengu be ‘kakimu
langsung penutur menyindir mitra tuturnya panjang juga ya’ (13). Dengan demikian, tuturan
sebagai orang buta karena hampir menginjak si (12-13) ini pun dianggap lebih sopan dan lebih
penutur. Tuturan ini pun dianggap lebih baik aman digunakan daripada harus mencaci,
daripada harus bertutur secara langsung dengan mengejek, menghina, dan sebagaimya yang
mengejek atau menghina mitra tutur sebagai secara langsung dapat menyakiti hati mitra tutur.
orang buta seperti mulinra aku hilo ‘kau Meskipun tuturan ini dianggap melanggar
menginjakku buta’. Hal ini tentu akan lebih prinsip kerja sama dan sopan santun.
menyakitkan dan berpotensial untuk
memunculkan serangan balik berupa kemarahan, PENUTUP
kebencian yang ditandai dengan serangan Bahasa sindiran merupakan salah satu
ucapan atau kata-kata kasar yang mungkin lebih media yang baik untuk dijadikan sebagai alat
pahit daripada apa yang dituturkan oleh si untuk menegur dan menasihati seseorang.
penutur. Namun begitu, kita perlu peka dengan keadaan
Pada tuturan (12) Sembau ko to dakang sekeliling sebelum menggunakannya. Hal ini
telingamu, ninro mina mu penrango apea karena sindiran yang diujarkan dalam keadaan
nuripaukako, ‘kamu seperti tidak bertelinga, tidak sadar akan menyebabkan suatu hubungan
kamu tidak mendengarkan apa yang tidak harmonis. Bahasa sindiran sebagai bentuk
diberitahukan’ secara tidak langsung penutur komunikasi tidak langsung dalam bahasa
menyindir mitra tuturnya tidak bertelinga karena Laiyolo dapat dilakukan dengan menggunakan
tidak mau mendengarkan nasihat dan pada tiga gaya bahasa sindiran, yaitu ironi, sinisme,
tuturan (13) Merate dua bengkengu be, ninro dan sarkasme. Meskipun ketiga gaya bahasa
mina mu taang ri sapo, ‘kakimu panjang juga ya, sindiran tersebut melanggar prinsip kerja sama
147 |
dan prinsip sopan santun, ketiga gaya bahasa Metafora dalam Novel “Laskar Pelangi” Karya
sindiran tersebut dianggap sebagai media yang Andrea Hirata. Parole (Jurnal Pendidikan

lebih baik dan lebih aman digunakan daripada Bahasa Dan Sastra Indonesia), 1(3), 291–302.
Rahmatiah, N. (2017). Antonimi Majemuk dalam
mengkritik, menghina, mencaci, mengejek, dan
Bahasa Laiyolo. SAWERIGADING, 23(2),
sebagainya.
151. https:
//doi.org/10.26499/sawer.v23i2.255
DAFTAR PUSTAKA
Solekhati, N. F. (2016). Pemakaian gaya bahasa
Arisnawati, N. (2017). Deskripsi morfem pelaku
sindiran pada acara “sentilan sentilun ” di
dalam bahasa laiyolo. 23(1), 139–150.
televisi. Bahasa Dan Sastra Indonesia, 5(5), 1–
Chaer, A. (2010). Kesantunan Berbahasa. Jakarta:
13.
Rineka Cipta.
Sugono, D. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia
Keraf, G. (2009). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT
(keempat). Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Gramedia Pustaka Utama.
Utama.
Muhsin, M. A. (2016). Konservasi Bahasa Daerah
Suprobo, G. D. W. (2015). Sindiran dalam serial tv
Laiyolo yang Hampir Punah di Kabupaten
kath and kim ganggas dwi woro suprobo.
Selayar Sulawesi Selatan. Retrieved from
Retrieved from http://etd. repository.
http://www.ghbook.ir/ index. php? name
ugm.ac.id/
=‫ف ره نگ‬ ‫و‬ ‫ر سان ه‬ ‫های‬
Tariga, H. G. (2009). Pengajaran Pragmatik.
‫&ن وی ن‬option=com_dbook&task=readonline
Bandung: Angkasa.
&book_id=13650&page=73&chkhashk=ED9
Tarigan, H. G. (2009). Pengajaran Gaya Bahasa.
C9491B4&Itemid=218&lang=fa&tmpl=comp
Bandung: Angkasa.
onent
Wahyuni, L. I. D., & Kulup, L. I. (2013). Sindiran
Munsyi. (2011). Bahasa Sindiran. Retrieved from
dalam Wayang Durangpo. Jurnal Buana
ww.adap.com.my/info.php?id=271
Pendidikan, 9(16), 1–8.
Pamungkas, S. (2012). Bahasa Indonesia dalam
Wijana, I.D.P., dan Rohmadi, M. (2006).
Berbagai Perspektif. Yogyakarta: Andi.
Sosiolinguisti, Kajian Teori dan Analisis.
Purwati, Rosdiani, R., Lestari, R. D., & Firmansyah,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
D. (2018). Menganalisis Gaya Bahasa

148

Anda mungkin juga menyukai