Anda di halaman 1dari 10

UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)

SEMESTER GASAL 2020/2021

NAMA MAHASISWA : Ahmad Farhan Setiawan


NIM : 122011333111
PROGRAM STUDI : Studi Kejepangan
MATA KULIAH : Pengantar Filsafat (PHB104)
HARI/TANGGAL : Selasa / 27 Oktober 2020
WAKTU / DURASI : Jam ke IV (13:00-15:00) | Pengerjaan 120 menit, unggah 15 menit
RUANG : Daring
SIFAT UJIAN : TUGAS
DOSEN PJMK : Kukuh Yudha Karnanta, S.S., M.Hum.

2. Apa yang disebut sebagai cara berpikir kritis dalam berfilsafat? Uraikan jawaban anda melalui
upaya meletakkan fenomena berpikir kritis dengan menguatnya fenomena konflik antar umat
manusia karena pengaruh ujaran kebencian dan informasi hoax di media sosial? (skor: 30)

jawab :

Cara berpikir kritis dalam berfilsafat

Menurut Franz Magnis Suseno, sifat kritis merupakan merupakan tuntutan internal dari berpikir
filosofis itu sendiri. Filsuf harus selalu kritis, bertanya dan mencari jawaban-jawaban rasional.
Berfilsafat dengan demikian merupakan berpikir kritis; selalu harus bertanya secara fundamental
dan mencari jawaban rasional. Di sinilah terletak tanggung jawab filsafat, yakni dimana Filsafat
secara kritis terus menerus mempertanyakan dan juga harus berani menawarkan jawaban-
jawaban rasionalnya bagi permasalahan-permasalahan manusia. Filsuf bertanggung jawab dalam
mempertanyakan apa yang nampaknya sudah jelas dan juga berani mengajukan jawaban-
jawaban rasionalnya, serta terbuka pada kritik dan pertanyaan. 

“Filsafat berusaha memberikan jawaban yang bisa dipertanggungjawabkan secara


rasional.”Dalam hal ini, filsafat juga terbuka terhadap segala kritik yang menyangkal
jawabannya dan berani mengajukan argumentasi rasional secara objektif, sehingga jawaban yang
diberikan bisa dimengerti secara intersubjektif.

Dengan demikian, filsafat memang sebuah ilmu kritik, seni kritik. Secara eksternal, ia terus-
menerus mengajak ilmu-ilmu lain untuk beranjak dari kemapanan dengan mempertanyakan
klaim-klaim merek;, dan secara internal, ia tidak ‘ajek ‘dalam suatu klaim kebenaran dengan
selalu mempertanyakan dirinya sendiri.
Pembacaan yang lebih kritis akan konflik yang bernuansa agama sebagai
gejala modern sangat kompleks. Ia memiliki matriks yang bersinggungan secara
inhcrcn dengan arus modernisasi dan globalisasi yang memberi ruang dan,
dalam bcberapa hal, memaksa munculnya identitas parokial serta ekspresi
politik berbalut kekerasan. Jangkauan pengaruhnya mengalir paralel dengan
penyebaran modernisasi dan globalisasi.

Maraknya aksi-aksi kekerasan, teror mengatasnamakan jihad dan konflik


atas nama agama pascatumbangnya rezim Orde baru pada 1998 menandai ekspansi dan
meningkatnya pengaruh eksklusivitas agama dalam lanskap politik
Indonesia kontemporer. Dalam konteks ini, dimensi ekonomi politik yang
mewarnai pergeseran lanskap geopolitik global dan ketegangan hubungan
agama-negara yang terjadi dalam ranah polidk domesdk selalu menjadi bagian
penting yang berperan mendorong pertumbuhan konflik atas nama agama.

Di era internet ini, masyarakat secara bebas bisa menyampaikan pendapat atau opininya, baik
melalui lisan, media cetak, maupun media elektronik/online. Namun, hal yang perlu diingat
bahwa kebebasan berpendapat kalau tidak berbudaya dan beretika akan membawa konsekuensi
hukum bagi pelakunya, untuk itu masyarakat harus berhati-hati. Selanjutnya ada hal lain yang
juga tidak kalah pentingnya untuk di waspadai yaitu penyampaian opini yang menimbulkan
dampak ketidak nyamanan bagi pihak lain. Seringkali hal tersebut dikenal sebagai ujaran
kebencian, yaitu tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam
bentuk provokasi, hasutan ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain.
Sehubungan dengan hal ini maka diperlukan suatu kegiatan penyuluhan kepada masyarakat
terkait bahaya yang ditimbulkan oleh hal tersebut.

Tim PKM menggunakan metode penyuluhan dengan melibatkan beberapa pihak dan instansi
terkait demi efektifitas hasil yang hendak dicapai. Secara umum bisa disimpulkan bahwa dampak
kegiatan penyuluhan ini sangat penting dengan semakin tumbuh dan kuatnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya mewaspadai bahaya yang ditimbulkan oleh penyebaran berita Hoax
dan Ujaran kebencian melalui medsos, maka masyarakat diharapkan lebih bijak dalam
memanfaatkan media sosial. Misalnya, dengan cara memastikan terlebih dahulu akurasi konten
yang akan dibagikan, mengklarifikasi kebenarannya, memastikan manfaatnya, baru kemudian
menyebarkannya.

4. Salah satu doktrin filsafat Karl Marx adalah materialisme dialektik dan atau materialisme
historis. Uraikan secara mendalam apa pengertian dari kedua jenis materialisme tersebut,
apakah keduanya memiliki hubungan satu sama lain. Jawaban saudara akan menjadi lebih
tepat jika dihubungkan kondisi aktual saat ini?

Jawab :

Materialisme dialektis adalah sebuah filsafat ilmu dan alam, yang didasarkan pada tulisan-


tulisan Karl Marx dan Friedrich Engels.

Materialisme dialektis mengadaptasi dialektika Hegel terhadap materialisme tradisional, yang


menyelidiki hubungan antar subjek di dunia di dalam lingkungan yang dinamis dan evolusioner,
sementara materialisme metafisis menyelidiki dunia di dalam lingkungan yang statis dan
terisolasi.

Materialisme dialektis meyakini keberadaan perubahan di dunia dan kemunculan sifat-sifat baru
di setiap tahap perkembangan. Seperti yang dikatakan oleh Z. A. Jordan, "Engels sering kali
menggunakan sudut pandang metafisis bahwa tingkatan keberadaan yang lebih tinggi muncul
dari dan mengakar dari yang lebih rendah; bahwa tingkatan yang lebih tinggi merupakan tatanan
baru dengan hukum-hukum yang tidak dapat direduksikan; dan proses kemajuan evolusioner ini
diperintah oleh hukum-hukum perkembangan yang melambangkan sifat-sifat dasar 'materi dalam
pergerakan secara keseluruhan'."

Perumusan materialisme dialektis dan historis versi Soviet (seperti di buku Josef Stalin yang


berjudul Materialisme Dialektis dan Historis) pada tahun 1930-an menjadi penafsiran
"resmi" Marxisme ala Soviet. Penafsiran ini dipopulerkan di dalam buku-buku teks yang menjadi
bacaan wajib di Uni Soviet dan beberapa negara Eropa Timur. Penafsiran ini juga menyebar ke
Tiongkok.

Materialisme Historis adalah pandangan sejarah dialektik dalam proses kerja dan laju
perkembangan ekonomi yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Dalam
pandangan ini, bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, tetapi keadaan
sosial mereka yang menentukan kesadaran mereka. Keadaan sosial manusia merupakan
produksinya. Hal ini berarti manusia ditentukan oleh produksi mereka, baik apa yang diproduksi
maupun cara mereka berproduksi. Cara manusia berpikir ditentukan oleh cara ia bekerja. Oleh
karena itu, kita tidak perlu memperhatikan apa yang dipikirkan manusia, tetapi cukup melihat
bagaimana cara ia bekerja.

Kesadaran dan cita-cita manusia ditentukan oleh kedudukannya dalam kelas sosial. Keanggotaan
dalam kelas sosial tertentu akan menentukan cara kita memandang dunia, apa yang kita harapkan
dan kita khawatirkan. Sejarah tidak ditentukan oleh pikiran manusia, tetapi oleh cara manusia
menjalankan produksinya. Oleh sebab itu, perubahan masyarakat tidak dapat terjadi dari
perubahan pikiran, tetapi dari perubahan dalam cara produksi.

Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis

“Materialisme adalah konsepsi filsafat Marxis, sedang dialektika adalah metode-nya” sedangkan
“materialisme historis adalah penerapan atau pengenaan materialisme dialektik ke alam sejarah
manusia”—demikian tutur Njoto dalam kuliahnya di tahun 1961. Melalui uraian atas pokok-
pokok ini kita akan mengerti apa yang dimaksud sebagai “berpikir dengan pendekatan
materialisme dialektis dan historis”.

kini kita dapat beranjak menuju pemahaman akan materialisme dialektis dan historis—atau apa
yang kerap disebut sebagai MDH. Kita akan mulai dengan uraian tentang asal-usul term.16
Tentang materialisme dialektis, term ini sendiri tidak ada dalam corpus Marx-Engels: Marx
hanya bicara tentang “metode dialektis” sementara Engels tentang “dialektika materialis”.
Ekspresi “materialisme dialektis” pertama kali dipakai oleh Joseph Dietzgen di tahun 1887, salah
seorang kawan koresponden Marx. Lenin lah yang mempergunakan term ini secara sistematis—
sesuatu yang, dalam Materialism and Empirio-Criticism (1908), ia elaborasi dari karya-karya
Engels.

Sesudah Lenin, wacana Marxisme Soviet terbagi oleh dua orientasi pemikiran: “dialektis”
(Deborin) dan “mekanis” (Bukharin). Untuk mengatasi perdebatan yang tak kunjung selesai di
antara kedua kubu ini, Sekretaris Jendral Partai Stalin mengeluarkan dekrit di tahun 1931 yang
memutuskan bahwa materialisme dialektis adalah sama dengan Marxisme-Leninisme. Lantas,
pada tahun 1938, Stalin menjalankan kodifikasi atas ajaran tersebut secara lebih lanjut di dalam
pamfletnya, Dialectical and Historical Materialism. Kodifikasi Stalin inilah yang dikenal sebagai
sistem diamat (singkatan dari dialectical materialism) dan diterapkan di sebagian besar negara
Komunis. Koreksi penting atas kodifikasi Stalin ini datang dari Mao Tse-Tung. Dalam esainya
dari tahun 1937, On Contradiction, Mao menolak ide Stalin tentang “hukum-hukum dialektika”
dan justru memberikan penekanan pada kompleksitas kontradiksi.

Kontradiksi, dalam pandangan Mao, tidak tunggal melainkan memiliki struktur ganda: di satu
sisi terdapat kontradiksi pokok, yakni kontradiksi yang tak dapat diperdamaikan (misalnya,
kontradiksi antara borjuis dengan proletar), dan di sisi lain terdapat kontradiksi tidak pokok yang
dapat diselesaikan dengan negosiasi (misalnya, kontradiksi antara buruh dan petani). Dari
penafsiran Mao atas kontradiksi inilah nantinya Althusser mengelaborasi konsep overdeterminasi
yang tadi telah kita bahas secara singkat sebagai kritik atas pembacaan historisis tentang Marx.

Apapun penafsiran para komentator tentang materialisme dialektis dan historis, ada satu yang
tetap, yakni bahwa semuanya mengakui bahwa materialisme dialektis dan materialisme historis
merupakan ajaran yang internal dalam pemikiran Marx sendiri walaupun Marx tak pernah
menggunakan term-term tersebut secara sistematis. Oleh karena pembahasan mengenai
materialisme dialektis dan historis ini mengandaikan rekonstruksi atas keseluruhan teks Marx,
maka kami di sini hanya akan membatasi pada pengertian tentang kedua term tersebut berangkat
dari klarifikasi yang telah kita lakukan atas term materialisme, dialektika dan historisitas.

Materialisme dialektis merupakan cara berpikir Marx tentang realitas, yakni pengertian bahwa
realitas tersusun oleh materi yang memiliki relasi langsung dengan subyektivitas dan relasi ini
pun bergerak dalam untaian determinasi resiprokal. Dalam pengertian yang lebih sederhana,
realitas adalah efek dari mekanisme perjuangan kelas. Jika, mengikuti Njoto, materialisme
historis merupakan penerapan materialisme dialektis kepada kenyataan yang menyejarah, maka
materialisme historis dapat kita mengerti sebagai gugus pemahaman tentang sejarah sebagai
ikhwal yang tersusun oleh determinasi resiprokal antar subyek dan antara subyek dengan materi
obyektif. Atau dalam arti yang dipermudah, sejarah adalah efek perjuangan kelas—sebuah efek
yang bergerak dalam arah ganda, kepada sejarah dan kepada kelas itu sendiri.

5. Uraikan konsep dasar eksistensialisme, dan hubungkan penjelasan saudara dengan kajian
bahasa/sastra!

Jawab :

Eksistensialisme merupakan gerakan filosofis yang menganut paham bahwa tiap orang harus
menciptakan makna di alam semesta yang tak jelas, kacau, dan tampak hampa ini.
Eksistensialisme berasal dari kata "eksistensi" dengan akar kata eks "keluar" dansistensi
"berdiri", menempatkan (diturunkan dari kata kerja sisto). Oleh karena itu, kata "eksistensi"
diartikan: manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa
dirinya ada. Yang dianggap sebagai pelopor atau bapak eksistensialisme adalah Soren Aabye
Kierkegaard (1813—1855). Namun juga tidak dapat diingkari adanya pengaruh filsafat lain
terhadap eksistensialisme, yaitu fenomenologi dari Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844—1900),
Edmund Husserl (1859—1941), Nicolas Alexandrovitch Berdyaev (1874—1948), Karl Jaspers
(1883—1969), Jean-Paul Sartre (1905--1980), dan metafisika modern. Pokok-pokok filsafat
eksistensialisme adalah menganggap bahwa hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi
merupakan cara khas manusia mengada. Perhatian utama diarahkan pada manusia dan oleh
karena itu, filsafat ini bersifat humanistis, bereksistensi harus diartikan secara dinamis.

Pengertian bereksistensi berarti bahwa manusia menciptakan dirinya secara aktif, berbuat,
menjadi dan merencanakan, manusia ditinjau sebagai "sesuatu" yang terbuka dan manusia adalah
realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk, dan filsafat ini memberi tekanan pada
pengalaman yang konkret yang berbeda-beda. Martin Heidegger (1889—1976) memberi tekanan
pada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu. Dikatakan oleh Heidgger bahwa di dalam
kesibukan dan kecintaan untuk memelihara manusia merasa cemas akan ketiadaan karena
ketiadaan ini mengancam ada. Kematian ini adalah akhir yang selalu hadir, maka eksistensi
manusia adalah eksistensi yang menuju ke kematian.

Gabriel Marcel (1889 –1973) memberi tekanan pada pengalaman keagamaan dan hal yang
transendental. Ini ditunjukkan melalui ajarannya mengenai adanya "Engkau yang tertinggi", yang
tidak dapat dijadikan obyek oleh manusia. Karl Jaspers (1883—1969) memberi tekanan pada
pengalaman saling pertentangan dalam eksistensi yang sulit didamaikan. Eksistensi masih
mengandung di dalamnya hal-hal yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah. Sifat-
sifat hakiki eksistensi ini lebih-lebih dialami dalam situasi perbatasan yang tidak dapat dihindari
yaitu kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan.

Jean Paul Sartre (1905—1980) memberi tekanan pada kebebasan manusia. Manusia tidak lain
daripada bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri. "Man is nothing else but what he makes of
himself". Maka manusia itu bebas dalam arti yang sebenarnya, ia menciptakan masa depannya
dan karena itu ia bertanggung jawab bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Tanggung jawab ini
tidak dapat dibebankan kepada orang lain ataupun Tuhan. Gerakan pemikiran eksistensialisme
ini dipandang sebagai reaksi balik terhadap kecenderungan idealisme dan kecenderungan sistem
dan penghancuran manusia yang mewarnai Eropa awal abad XX. Dalam karya sastra di
Indonesia, Iwan Simatupang dengan novelnya Ziarah yang absurd menampilkan warna
eksistensialisme. Masalah ini disajikan dengan cara yang mengagumkan.

Pemikiran dan sikap eksistensialisme terungkap juga dalam puisi Chairil Anwar dan dalam
beberapa puisi Sitor Situmorang, seperti "Catedral des Chartes". Dick Hartoko pernah mengulas
pikiran eksistensialisme Chairil Anwar. Selain itu, Mangunwijaja pernah mengulas karya
Kuntowijoyo Khotbah di Atas Bukit dan karya Putu Wijaya Telegram dalam Sastra dan
Religiusitas yang menyimpulkan bahwa kedua karya pengarang itu memperlihatkan ciri
eksistensialisme dalam sastra. Dick Hartoko dalam Tonggak Perjalanan Budaya mengatakan "…
filsafat eksistensialistis tidak merupakan satu aliran filsafat yang bulat, yang tunggal dan
monolistis, seperti kita dapat berbicara tentang filsafat Aristoteles, Plato atau Hegel. Di bawah
judul eksistensialisme bernaunglah macam-macam aliran dan macam-macam tokoh, yang
kadang-kadang saling berlawanan yang sering dalam pergaulan sehari-hari disebut pandangan
eksistensialistis adalah filsafat Jean Paul Sartre, salah satu dari filsuf-filsuf eksistensialistis.

Bahkan Sartre bukanlah tokoh utama aliran ini, apalagi tokoh yang paling representatif (1986)".
Lebih lanjut Dick mengatakan "pada umumnya filsafat dan pandangan eksistensialis di sini baru
mulai diketahui di Indonesia sesudah Perang Dunia II, tegasnya sesudah perjuangan
kemerdekaan kita selesai, jadi sesudah tahun 1949. Namun, sekalipun pengaruh dari luar tak
dapat ditunjukkan, faktumnya ada, bahwa dalam karya Chairil (Chairil Anwar) kita dengar nada-
nada yang membuat kita teringat akan pandangan eksistensialis (1986)".

Selain itu, dalam bidang bahasa/sastra pemikiran eksistensialisme juga menghasilkan berbagai
karya sastra, buku/bacaan yang dapat di kaji seperti :
1. Jean Paul Sartre
-Transendence de l’ego/ Transendensi Ego (1936)
- L’imagination / Imajinasi dan Esquisse d’une Théorie des Émotions / Garis-garis Besar Suatu
Teori tentang Emosi (1939)
- L’Imaginaire/ Yang Imaginer (1940)
- La Nausée (Rasa Muak) (1938)
- L’être et le Néant. Essai d’Ontologie Phenomenologique / Ada dan Ketiadaan (1938)
- Essay Suatu Ontologi Fenomenologis (1943)
- L’existentialisme est un Humanism / Eksistensialisme suatu Humanisme (1946)

2. Sooren Kierkagaard
- Concluding Unscientific Postcript (1846)
- Either/Or (1843)
- Fear and Trembling (1843)
- The Sickness Unto Death (1849)
- Stages on life’s way (1845)

Anda mungkin juga menyukai