Anda di halaman 1dari 6

Indonesian Mining and Energy Journal Vol. 3, No.

1, Mei 2020 : 17 - 22

Analisis Potensi Batubara Kokas di PT X, Sumatera Selatan

Analysis of Cocas Coal Potential in PT X, South Sumatera

Annisa Nufus Haryadi1*, Chairul Nas2, Masagus Ahmad Azizi3

1,2,3
Program Studi Teknik Pertambangan, Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti,
Jalan Kyai Tapa No.1, Tomang, Grogol Petamburan, Jakarta 11440, Indonesia

*Penulis untuk korespondensi (corresponding author): haryadinufus@gmail.com

ABSTRAK – Berdasarkan penggunaannya, batubara digunakan sebagai batubara thermal dan batubara kokas.
Batubara kokas digunakan dalam industri besi dan baja sebagai bahan bakar, reduktor serta penahan beban pada
tungku. PT X merupakan salah satu lapangan batubara neogen yang memiliki peringkat batubara meningkat
secara gradual mulai dari lignit, sub-bituminus, bituminus, semi antrasit, hingga antrasit yang diakibatkan oleh
pengaruh intrusi batuan beku. Sehingga terdapat suatu zona dengan peingkat batubara bituminus yang
berpotensi menjadi batubara kokas. Penentuan indikasi awal sifat batubara kokas dilakukan dengan pengujian
nilai Crucible Swelling Number (CSN) pada sampel batubara. Dalam penelitian ini dilakukan pembuatan peta
zonasi potensi batubara kokas berdasarkan nilai volatile matter (dmmf), nilai pantulan vitrinit maksimum,
dan nilai CSN pada PT X. Berdasarkan peta zonasi yang telah dibuat, lokasi yang bepotensi sebagai batubara
kokas pada PT X terdapat pada Tambang A khususnya pada Pit B dan Pit C dengan nilai pantulan vitrinit
maksimum 0,73-1,63 (%) dan nilai CSN 2,5-9.

Kata kunci: bituminous, batubara kokas, CSN

ABSTRACT – Based on its use, coal is used as thermal coal and coking coal. Coking coal is used in the iron and
steel industry as a fuel, reducing agent and a load-bearing stove. X is one of the neogene coal fields which has
coal ranks increasing gradually starting from lignite, sub-bituminous, bituminous, semi-anthracite, to anthracite
caused by the influence of igneous rock intrusion. So there is a zone with bituminous coal rankers which has the
potential to become coking coal. Determination of the initial indication of the nature of coking coal is done by
testing the value of the Crucible Swelling Number (CSN) on coal samples. In this research a zoning map of the
potential for coking coal was made based on the value of volatile matter (dmmf), the value of maximum vitrinite
reflection, and the value of CSN at PT X. Based on the zoning map that has been made, the potential locations for
coking coal at PT X are in the Mine X, especially in the B Pit and the C Pit with a maximum vitrinite reflection value
of 0.73-1.63 (%) and CSN value 2.5-9

Keywords: bituminous, coking coal, CSN

PENDAHULUAN

Berdasarkan penggunaannya, batubara digunakan sebagai batubara thermal dan batubara kokas.
Batubara kokas digunakan dalam industri besi dan baja sebagai bahan bakar, reduktor serta penahan
beban pada tungku. Area penambangan batubara di PT X merupakan salah satu lapangan batubara
neogen yang memiliki peringkat batubara meningkat secara gradual mulai dari lignit, sub-bituminus,
bituminus, semi antrasit, hingga antrasit yang diakibatkan oleh pengaruh intrusi batuan beku. Adanya
intrusi batuan beku yang terdapat pada PT X dapat menjadi indikasi keberadaan potensi batubara
kokas yang berasal dari batubara bituminous pada daerah tersebut.

Batubara kokas berasal dari spesifikasi peringkat batubara bituminous yang memiliki sifat meng-kokas
atau disebut juga agglomerating, yang dapat digunakan dalam industri pembuatan besi dan baja.
Berdasarkan Tabel AST D388, batubara dengan peringkat bituminous yang memiliki kemampuan

17
Indonesian Mining and Energy Journal Vol. 3, No. 1, Mei 2020 : 17 - 22
menggumpal (agglomerating). Oleh sebab itu diperlukan penelitian mengenai potensi batubara kokas
yang berada pada PT X.

METODE

Batubara kokas berasal dari spesifikasi peringkat batubara bituminous yang memiliki sifat meng-kokas
atau disebut juga agglomerating, yaitu ketika batubara dipanaskan dalam keadaan tanpa udara (inert)
dalam suhu tinggi, batubara akan melembut (soften), menjadi plastis, mengembang (swell), dan
mengalami resolidifikasi sehingga menjadi material karbon berpori, yang dapat digunakan dalam
industri pembuatan baja (Hower, 2002). Tidak semua batubara memiliki sifat untuk mengkokas,
batubara yang memiliki sifat mengkokas disebut sebagai caking coal sedangkan batubara yang tidak
memiliki sifat mengkokas disebut sebagai non-caking coal yaitu batubara yang ketika dipanaskan tidak
melembut (soften), menjadi plastis, mengembang (swell), dan mengalami resolidifikasi. Dalam
penentuan sifat kokas pada batubara, diperlukan pengujian khusus untuk mengetahui sifat batubara
yang dapat diklasifikasikan menjadi batubara kokas. Metode yang umumnya digunakan dalam
penentuan sifat kokas adalah Crucible Swelling Number (CSN), Gray-King Assay, Roga Assay, uji
dilatometer, dan uji Gieseler Plastometer.

Crucible Swelling Number (CSN) merupakan uji paling sederhana yang dilakukan untuk mengevaluasi
apakah batubara berpotensi untuk pembentukan kokas. Uji ini dapat menjadi uji awal antara batubara
kokas dan bukan kokas. Uji ini juga memiliki beberapa pengujian dari karakteristik reaktif kokas. Uji ini
melibatkan pemanasan cepat dari sedikit sampel batubara yang dihancurkan pada cawan standar
dengan suhu 800°C. setelah pemanasan, sedikit “button” atau tombol kokas tersisa dalam cawan.
Tombol kokas (ukuran dan bentuk) yang tersisa dalam cawan ini dibandingkan dengan serangkaian
standar dengan nomor 1-9 dengan ½ kenaikan yang dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Standar pembanding CSN (Sumber: Konsultan PT Y)

Batubara berdasarkan peringkatnya dapat diklasifikasikan mulai dari lignit, sub-bituminous,


bituminous, semi antrasit hingga antrasit sesuai dengan proses pembentukannya. Penentuan
peringkat batubara dapat diklasifikasikan berdasarkan ketentuan ASTM D-388 menggunakan
parameter nilai Fixed Carbon (FC), Volatile Matter (VM), dan Calorie Value (CV). Dalam ASTM D-388
penentuan peringkat batubara diklasifikasikan menggunakan dua cara, yaitu klasifikasi berdasarkan
nilai CV dalam basis moist mineral matter free (mmmf) untuk batubara dengan peringkat rendah mulai
dari lignit hingga sub-bituminous, dan klasifikasi berdasarkan nilai FC dan VM dalam basis dry mineral
matter free (dmmf) untuk batubara dengan peringkat tinggi mulai dari bituminous hingga antrasit.
Dalam tabel klasifikasi peringkat batubara berdasarkan ASTM D-388 batubara dengan kemampuan
agglomerating (menggumpal) terdapat pada peringkat batubara bituminous. Oleh sebab itu dalam
tabel klasifikasi peringkat batubara, sifat kokas yang paling baik ada pada batubara bituminous.

Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode yang digunakan adalah
penelitian deskriptif. Pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian deskriptif dimulai dengan
18
Indonesian Mining and Energy Journal Vol. 3, No. 1, Mei 2020 : 17 - 22
menganalisa data-data yang diperoleh dari laporan hasil uji laboraturium proksimat batubara PT X
dengan merubah basis perhitungan batubara dari ad menjadi dmmf dengan parameter yang diubah
berupa data nilai FC, FM, dan CV menggunakan persamaan dalam ASTM D-388 untuk
mengklasifikasikan peringkat batubara, dilanjutkan dengan pembuatan peta zonasi dengan parameter
nilai VM, pantulan vitrinit maksimum, dan nilai CSN menggunakan software Surfer dan Minescape 5.7
untuk mengetahui lokasi yang memiliki potensi batubara kokas.

Pada umumnya, hasil uji laboraturium pengujian sampel batubara baik proksimat ataupun ultimat
menggunakan basis ad ataupun adb. Untuk merubah basis tersebut menjadi basis dmmf, maka
digunakan persamaan berdasarkan ASTM D-388 sebagai berikut:

FC (dmmf) =100(FC-0,15S)/[100-(M+1,08A+0,55S)] (1)

VM (dmmf) =100- FC (dmmf) (2)

CV (mmmf) =100(Btu-50S)/[100-(1,08A+0,55S)] (3)

Keterangan:
Btu = Nilai kalori (Btu/lb)
FC = Fixed Carbon (% adb)
VM = Volatile Matter (% adb)
M = Moisture (% adb)
A = Ash (% adb)
S = Sulfur (% adb)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Klasifikasi Batubara

Pola persebaran serta lokasi persebaran peringkat batubara berdasarkan data lubang bor dengan
kontur nilai VM (dmmf) pada PT X yang telah diklasifikasikan berdasarkan ASTM D-388 dapat dilihat
pada Gambar 2. Batubara dengan peringkat sub-bituminous ditandai dengan lingkaran berwarna
kuning, dimana jumlahnya jauh lebih banyak dan lebih meyebar serta menjauhi area yang terkena
intursi batuan beku, sedangkan batubara dengan peringkat bituminous ditandai dengan lingkaran
berwarna hijau dimana jumlahnya lebih sedikit dan terlihat berkumpul di area yang jaraknya dekat
dengan intrusi batuan beku yang tetrdapat pada PT X. Jumlah batubara sub-bituminous yang lebih
banyak dikarenakan lapangan batubara PT X merupakan batubara Neogen, dimana batubara Neogen
merupakan batubara dengan rank rendah dengan peringkat lignit sampai sub-bituminous (Nas, 2010).

Sedangkan, jumlah batubara bituminous yang lebih sedikit dan memiliki pola yang berkumpul disuatu
tempat dikarenakan hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa adanya intrusi batuan beku
dapat meningkatkan temperatur sehingga peringkat batubara meningkat secara signifikan mulai dari
sub-bituminous, bituminous hingga antrasit. Aktivitas intrusi tersebut menyebabkan material organik
dalam batubara menjadi semakin matang dengan waktu cepat.

19
Indonesian Mining and Energy Journal Vol. 3, No. 1, Mei 2020 : 17 - 22

Gambar 2. Persebaran klasifikasi batubara

Gambar 3. Peta Zonasi Batubara Kokas

Zonasi Potensi Batubara Kokas

Analisis nilai CSN dan pantulan vitrinit maksikmum pada sampel batubara digunakan sebagai indikasi
awal keterdapatan sifat kokas pada batubara. Dalam peta zonasi tiap seam batubara memikili nilai CSN
dan pantulan vitrinit maksminum yang berdeda. Salah satu faktor yang dapat mengakibatkan
perbedaan nilai tersebut adalah lokasi sampel ataupun seam batubara yang berdekatan dengan
intrusi, dimana nilai CSN dan pantulan vitrinit maksimum akan semakin tinggi mendekati intrusi
dikarenakan terjadinya perubahan kualitas batubara yang semakin matang akibat pengaruh intrusi.

Pembuatan peta zonasi potensi batubara kokas dengan menggunakan parameter nilai VM (dmmf),
nilai pantulan vitrinit maksimum, dan nilai CSN pada seam batubara dapat dilihat pada Gambar 3 dan
Tabel 1. Pada peta zonasi dapat terlihat bahwa untuk kontur dengan nilai volatile matter (dmmf) yang
ideal untuk batubara kokas ditandai dengan Warna orange hingga warna biru muda yang tersebar pada
Pit A, Pit B, dan Pit C. Dari hasil data uji CSN didapatkan nilai CSN yang berkisar antara 2-9, untuk nilai
CSN yang angkanya lebih besar terdapat pada TSBC dimana angka CSN berkisar antara 2,5 hingga 9
20
Indonesian Mining and Energy Journal Vol. 3, No. 1, Mei 2020 : 17 - 22
dan untuk Pit C nilai CSN berkisar antara 2 dan 5,5. Pada Pit A tidak terdapat data nilai CSN. Hal ini
menunjukan bahwa terdapat potensi batubara kokas yang ada pada PT X berdasarkan uji awal yang
dilakukan untuk penentuan sifat kokas batubara berupa nilai CSN menunjukan angka yang tinggi.
Berdasarkan peta zonasi juga dapat diketahui bahwa potensi batubara kokas dengan nilai CSN yang
tinggi ada pada TSBC sehingga TSBC memiliki potensi batubara kokas yang lebih besar dibandingkan
dengan Pit C. Nilai pantulan maksimum vitrinit pada peta zonasi berkisar antara nilai 0,44-0,87 (%)
Pada peta zonasi terlihat bahwa lokasi pengambilan sampel yang sangat dekat dengan intrusi batuan
beku sehingga menyebabkan nilai pantulan vitrinitnya lebih besar dibandingkan dengan lokasi sampel
yang menjauhi intrusi. Kenaikan nilai pantulan vitrinit maksimum juga terlihat meningkat seiring
dengan lokasinya yang mendekati intrusi.

Tabel 1. Nilai CSN dan pantulan vitrinit maksimum

HOLENAME SEAM EASTING NORTHING CSN Max Reflectance (%)

TS16 A1 363576.174 9584276.934 2.5 0.83

TS10 A1 362821.144 9584459.819 9 0.75

TS10 A2 362821.144 9584459.819 3.5 0.6

TS13 A2 363088.12 9584160.029 3.5 0.55

TS16 B 363576.174 9584276.934 2.5 0.87

TS21 B 364108.886 9583893.933 2 0.44

TS23 B1 364549.149 9583994.292 3 0.73

TS23 B2 364549.149 9583994.292 5.5 0.69

TS22 B2 364108.886 9583893.933 2.5 0.6

TS16 C 363576.174 9584276.934 6 0.62

TS09 C 362879.3704 9584738.779 3 0.62

TS13 C 363088.12 9584160.029 4 0.76

Hal ini disebabkan batubara yang jaraknya dekat dengan intrusi akan matang lebih cepat sehingga
kandungan vitrinit yang ada pada batubara juga akan meningkat. Batubara dengan nilai pantulan
vitrinit yang tinggi kebanyakan akan menunjukan sifat kokas natural (Amijaya and Littke, 2006).
Kandungan vitrinit yang tinggi pada batubara kokas berfungsi sebagai perekat disaat batubara
dipanaskan dalam keadaan tanpa udara, namun perbandingan nilai maseral lainnya seperti liptinite
dan inertinite juga harus seimbang dikarenakan liptinite dalam batubara merupakan maseral yang
paling reaktif sehingga saat batubara dipanaskan jumlah liptinite akan berkurang secara drastis.
Sedangkan inertinite merupakan maseral batubara yang paling tidak reaktif saat batubara dipanaskan
dan berfungsi sebagai pembentukan kekuatan pada dinding kokas. Jumlah nilai vitrinit dan intertinit
yang seimbang akan menghasilkan kualitas batubara kokas yang baik.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan bahwa berdasarkan peta
zonasi prediksi batubara kokas, terdapat potensi batubara kokas yang terdapat pada Pit C dan TSBC
berdasarkan uji awal sifat kokas dengan nilai CSN berkisar antara 2-9. Potensi batubara kokas dengan

21
Indonesian Mining and Energy Journal Vol. 3, No. 1, Mei 2020 : 17 - 22
nilai CSN yang lebih besar terdapat pada TSBC dengan nilai 2.5-9 sehingga Pit TSBC memiliki potensi
batubara kokas yang lebih besar dibandingkan dengan Pit C dengan nilai CSN 2-5.5 dengan kisaran nilai
pantulan vitrinit 0,44-0,87 (%) hal ini menunjukan bahwa terdapat potensi batubara kokas yang ada
pada PT X berdasarkan uji awal yang dilakukan untuk penentuan sifat kokas batubara berupa nilai CSN
menunjukan angka yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Amijaya, H., and Littke, R. (2005): Microfacies and depositional environment of Tertiary Tanjung Enim
low rank coal, South Sumatra Basin, Indonesia, International Journal of Coal Geology, 61(3–4), 197–
221. https://doi.org/10.1016/j.coal.2004.07.004

Amijaya, H., and Littke, R. (2006): Properties of thermally metamorphosed coal from Tanjung Enim
Area, South Sumatra Basin, Indonesia with special reference to the coalification path of macerals,
International Journal of Coal Geology, 66(4), 271–295. https://doi.org/10.1016/j.coal.2005.07.008

ASTM, C. D. (2010) : ASTM D388 Standard classification of coals by rank, Annual Book of ASTM
Standards, Vol 05-06., 05 (January 2000), 1-7. https;//doi.org/10.1520/d0388-12.2

Hower, J. C. (2002): Coal Geology, International Journal of Coal Geology, 53, 65–67.
https://doi.org/10.1016/s0166-5162(02)00182-9

Kwiecińska, B., and Petersen, H. I. (2004): Graphite, semi-graphite, natural coke, and natural char
classification-ICCP system, International Journal of Coal Geology, 57(2), 99–116.
https://doi.org/10.1016/j.coal.2003.09.003

JA Pajares and MA Diez. 2014. “Coal and Coke”, Instituto Nacional del Carbon (INCAR). Elsevier Inc.
Spain

Nas, Chairul. Hidartan. 2010. “Quality Of Kalimantan Coking Coals, Indonesia”. Proceedings Of
Symposium On The Geology Of The Sydney Basin. Faculty of Earth Technology and Energy, Trisakti
University. Hunter Valley, NSW, May 6-7.

Susilawati, R., and Ward, C. R. (2006): Metamorphism of mineral matter in coal from the X deposit,
south Sumatra, Indonesia, International Journal of Coal Geology, 68(3–4), 171–195.
https://doi.org/10.1016/j.coal.2006.02.003

Tanggara, D., Amijaya, D. H., and Surjono, S. S. (2018): Evaluation of coking properties bituminous
medium volatile coal, Batu Ayau Formation, Kutai Basin, Central Kalimantan, IOP Conference Series:
Earth and Environmental Science, 212(1), 0–10. https://doi.org/10.1088/1755-1315/212/1/012032

22

Anda mungkin juga menyukai