Anda di halaman 1dari 4

Di Tangan Sang Penjunan (Yeremia 18:1-6)

Saya sering mengantar istri saya berbelanja kebutuhan sehari-hari, dan sering
kali pula saya memerhatikan begitu banyak barang yang dijual dengan harga
yang sangat murah di berbagai toko tertentu. Seperti di toko yang menjual
semua barang dagangannya dengan satu harga. Kita bisa mendapatkan arloji,
vas bunga, bahkan jam dinding seharga sepuluh ribu rupiah. Tentu saja kita tahu
bahwa barang-barang itu tidak akan bertahan lama karena kualitas yang tidak
baik, dan kita pun tidak akan berpikir panjang untuk membuangnya dan
menggantinya dengan yang baru. Tetapi apabila kita memiliki sebuah jam
dinding antik warisan turun-temurun yang mungkin usianya beberapa kali lipat
usia kita, maka kita akan berusaha menjaga kondisi jam dinding itu. Kita akan
memerbaikinya manakala ada kerusakan yang membuatnya tidak dapat
berfungsi dengan baik. Kita menyayangi benda itu karena kita menghargai
sejarah hadirnya benda itu di dalam hidup kita, serta mengasihi orang yang
memberikannya kepada kita.
Ada dua hal yang membuat manusia begitu menghargai benda yang dimilikinya.
Pertama karena kita membelinya dengan harga yang cukup atau bahkan sangat
mahal sehingga kita merasa sayang untuk membiarkannya tidak terawat. Tetapi
bisa jadi, dari segi non-materi, kita dapat menghargai sesuatu karena makna
yang terkandung di dalamnya, oleh sebab itu kita merawat serta menjagainya
agar tidak rusak. Demikian pula yang terjadi dengan bangsa Israel di mata Allah.
Secara obyektif mungkin mereka adalah bangsa yang tidak berbeda dengan
bangsa-bangsa lainnya, bahkan mereka memiliki berbagai kelemahan yang
banyak dikisahkan di dalam Perjanjian Lama. Walaupun demikian, Allah telah
memilih untuk mengasihi bangsa Israel, oleh sebab itu apa pun juga yang terjadi
di dalam bangsa itu, Allah tetap mengasihi dan menghargai mereka. Mereka
berharga di mata-Nya tanpa pengecualian, bahkan manakala mereka
memberontak terhadap Allah, dengan kesadaran penuh membelakangi serta
memermalukan diri-Nya, Dia pun tetap menganggap mereka berharga di mata-
Nya.
Sejak Allah memanggil bangsa Israel, sejarah bangsa ini dipenuhi oleh berbagai
pertanyaan dan pergumulan yang mendalam. Manakala mereka baru saja lepas
dari cengkeraman bangsa Mesir, mereka sudah mulai mempertanyakan
kehadiran Allah di dalam hidup mereka. Tidak cukup itu saja, mereka sering
melakukan perselingkuhan rohani. Mereka membuat berhala dan
menyembahnya. Kondisi ini tidak berbeda dengan apa yang terjadi pada zaman
nabi Yeremia. 17 pasal awal dari Kitab yang ditulisnya berisi tentang teguran
keras Allah atas pemberontakan bangsa Israel, dosa-dosa mereka, ketidakadilan
yang mereka lakukan terhadap orang lain, ketidakpedulian mereka terhadap
yang lemah, ibadah mereka yang kosong karena tidak dilakukan dengan
segenap hati. Yeremia yang dipakai Allah untuk menyampaikan perkataan-Nya
kepada bangsa Israel merasa bahwa teguran Allah yang disampaikannya
bagaikan uap yang naik dan lenyap begitu saja. Begitu kerasnya hati bangsa
Israel pada waktu itu sehingga Yeremia – di dalam 17 pasal pertama yang
ditulisnya— menyatakan ratapan, kemarahan, kekesalan, dan keputusasaannya
memberitakan firman Allah sebanyak lebih dari tiga kali. Itulah sebabnya di
dalam keputusasaan itu ia berkata, "Celaka aku, ya ibuku, bahwa engkau
melahirkan aku," (Yeremia 15:10). Apabila seorang hamba Tuhan dapat menjadi
demikian frustasi, lelah dengan kekerasan hati bangsa Israel, maka kita dapat
membayangkan seberapa parahnya mereka memerlakukan Allah. Yeremia telah
berbicara begitu keras tetapi semua perkataannya bagaikan angin lalu.
Di dalam kondisi yang ada pada saat itu, Allah memerintahkan Yeremia
untuk memperhatikan pekerjaan seorang tukang periuk. Ia melihat manakala
seorang tukang periuk sedang membuat sebuah bejana yang ternyata tidak
sesuai dengan bentuk yang diingininya, maka ia akan kembali mengulangi
proses pembuatannya dari awal. Apabila masih saja tidak sesuai dengan
keinginannya, ia akan terus merombaknya dari awal sampai ia mendapatkan
bentuk yang sempurna. Tatkala Yeremia melihat pengulangan proses
pembuatan sampai bentuk terakhir itu, firman Allah datang kepadanya,
"Sungguh, seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kamu di
tangan-Ku, hai kaum Israel!" (Yeremia 18:6). Sebenarnya gambaran apakah
yang hendak diberikan Allah kepada Yeremia untuk menghibur hatinya sekaligus
menegur umat-Nya yang keras kepala itu? Sesungguhnya, itulah gambaran
hubungan Allah dengan umat Israel. Pada saat Yeremia melihat si tukang periuk
yang terus-menerus mengulangi proses pembuatan bejana itu, sesungguhnya
seperti itulah cara Allah memerlakukan mereka. Bukankah ada gambaran
ketelatenan seorang tukang periuk di dalam pekerjaannya? "Telaten" adalah
sebuah kata yang berasal dari bahasa Jawa yang sebenarnya sulit untuk dicari
padanannya dalam bahasa Indonesia. "Telaten" dapat berarti sabar, sekaligus
cermat dan pantang menyerah. Ketelatenan dapat dilihat dari seseorang yang
mau terus mengerjakan sesuatu yang rumit yang tidak ingin dikerjakan oleh
orang lain. Kita juga dapat menyebut seseorang telaten apabila ia dengan sabar
dan cermat, mampu menghadapi seseorang yang sangat menyebalkan dan
dijauhi orang lain.
Di dalam tulisan nabi Yeremia, Allah digambarkan sebagai tukang periuk
yang membentuk bangsa Israel dengan ketelatenan yang telah saya jabarkan
sebelumnya. Allah telaten mengerjakan perbuatan tangan-Nya atas bangsa
Israel karena Dia sangat mengasihi mereka. Biasanya jika kita ingin
mendapatkan sesuatu yang mudah dan murah, kita tidak akan memerlukan
ketelatenan. Walaupun demikian, ketelatenan Tuhan yang membentuk bangsa
Israel berulang kali merupakan gambaran nyata yang dilihat oleh nabi Yeremia.
Tetapi kita tidak boleh berpikir bahwa ketelatenan Allah senantiasa diwujudkan
dalam bentuk kesabaran dan kelembutan semata, tetapi sekaligus dapat
berbentuk disiplin. Hal itu dapat dilihat dalam Yeremia 18:7 dan seterusnya,
manakala ketelatenan Tuhan digambarkan dengan tindakan yang siap untuk
mendisiplin bangsa ini apabila mereka tidak bertobat. Ketelatenan bukan hanya
sekadar keluwesan dan kelembutan, tetapi di dalamnya terkandung juga
ketegasan dan disiplin. Ketelatenan selalu melibatkan proses, dan apabila kita
berbicara mengenai proses, maka diperlukan waktu yang tidak sebentar.
Ketelatenan selalu membawa kita pada proses yang panjang dan tidak mudah.
Tetapi itulah yang dilakukan oleh Tuhan yang kita yakini dan percayai, Tuhan
orang Israel yang senantiasa membentuk umat-Nya berulang kali.
Dari manakah muncul ketelatenan? Sikap itu hanya akan lahir dari sosok
ibu yang bernama cinta atau kasih. Kasih Allah terhadap orang Israel melahirkan
ketelatenan-Nya atas mereka. Ketika saya akan menikah dengan istri saya,
terdapat proses yang panjang di dalamnya. Kami melalui proses berpacaran
selama tujuh tahun, dan selama itu –seingat saya— kami nyaris memutuskan
hubungan lebih dari tujuh kali. Itulah sebabnya teman-teman saya terkejut tatkala
saya mengumumkan kepada mereka bahwa kami akan menikah. Bagaimana
mungkin saya dapat menikah dengan seseorang yang sering berbeda pendapat
dengan saya? Alasannya klise saja: karena kami saling mengasihi. Saya dapat
melihat cinta istri saya dari ketelatenan dia dalam menghadapi dan
memerlakukan saya. Dengan perbedaan karakter yang kami miliki, kami dapat
melihat bahwa kami saling mengasihi dari ketelatenan yang kami miliki terhadap
masing-masing.
Sama seperti ketelatenan Allah terhadap bangsa Israel, Dia pun bersikap
telaten terhadap kita. Acap kali kita menganggap bahwa semua "kesialan",
ketidakberhasilan, dan kegagalan di dalam hidup kita disebabkan oleh Allah.
Pada saat kita menganggap Dia sebagai biang kerok dari semua kegagalan kita,
sebenarnya pada saat itu pulalah Allah sangat terluka. Pun ketika kita secara
tidak langsung menuduh-Nya tidak becus dalam mengatur dunia ini, kita merasa
seolah-olah kita dapat menggantikan Dia melakukannya. Tetapi apabila kita
merenungkan kembali apa yang telah menjadi respons Allah atas kemarahan
dan keegoisan kita selama ini, terhadap pemberontakan kita; pernahkah Allah
meladeni kemarahan kita dengan emosional sehingga Dia menghancurkan kita
saat itu juga? Jika memang itu yang terjadi setiap kali Allah merespons dengan
amarah-Nya, maka saya yakin bahwa pasti tidak ada orang yang bertahan hidup
sampai saat ini. Tetapi seperti yang kita harus akui, Tuhan bersikap telaten. Dia
sabar, tekun, dan cermat. Dia sabar manakala kita menghujat dan melupakan
Dia, mengabaikan Dia dan membuat-Nya cemburu karena kita menyembah
"Allah" yang lain. Pun Allah cermat dalam melihat semua peluang di dalam hidup
kita untuk dapat membentuk kita. Kesabaran dan kecermatan itulah yang
membuat Dia seolah-olah lambat dalam bertindak. Dia selalu bertindak di saat
yang tepat. Kecermatan-Nya membuat Allah tahu apa yang harus dilakukan
terhadap masing-masing pribadi manusia. Ketelatenan Allah juga dapat
digambarkan seperti ketelatenan seorang pemburu yang dengan sabar
mengawasi buruannya, sehingga ketika buruannya itu berada tepat di sasaran
bidiknya, dengan hanya satu tarikan pelatuk, hewan itu mati di tangannya.
Ketelatenan Tuhan atas hidup kita membuat-Nya senantiasa bersabar atas
proses yang harus kita lalui. Sedangkan kecermatan Tuhan membuat Dia
mengetahui titik-titik celah yang dapat dipakai-Nya untuk memroses ulang hidup
kita.
Sesungguhnya sikap telaten Allah menimbulkan dampak ganda bagi kita.
Yang pertama adalah perasaan "aman" dan "nyaman" karena kita dengan yakin
merasa bahwa toh Tuhan tidak membuang kita manakala kita melakukan dosa,
karena selalu ada pengampunan bagi kita. Tetapi ketelatenan itu dapat juga
menggelisahkan hati kita. Apabila Allah demikian bersabar dan telaten terhadap
kita, bukankah itu berarti bahwa kita senantiasa berada di dalam tangan-Nya
untuk senantiasa pula dibentuk berulang kali oleh-Nya? Ini berarti bahwa pada
saat itu di dalam hidup kita terjadi berbagai pergumulan untuk melepaskan hal-
hal yang "tidak indah" demi menjadi bejana yang indah di hadapan Allah. Hal ini
menggelisahkan kita karena Allah tidak pernah selesai berurusan dengan kita,
sehingga kita tidak pernah dapat berkata, "saya telah selesai menjalani proses
pembentukan oleh Allah." Oleh karena itu kita pun tidak pernah dapat berkata
bahwa kita telah menjadi bentukan terbaik Tuhan sehingga kita tidak perlu lagi
berurusan dengan-Nya. Hal itu tidak akan pernah terjadi, karena seumur hidup
kita adalah masa yang senantiasa menjadi proses pembentukan sang Penjunan
terhadap kita, bejana-Nya. Bukankah kesediaan kita untuk dibentuk oleh Tuhan
serta untuk menjalani proses itu bersama dengan-Nya merupakan tanda utama
yang menunjukkan bahwa kita hidup di dalam persekutuan yang erat bersama
dengan Dia?
Mereka yang mengaku mencintai Tuhan saat ini berada dalam perjalanan
bersama dengan-Nya untuk senantiasa dibentuk oleh-Nya. Bacaan kita
mengingatkan kita bahwa Tuhan ingin membentuk kita dengan ketelatenan-Nya,
karena Dia ingin membentuk kita menjadi seperti yang dikehendaki-Nya, bukan
seperti yang kita harapkan atau cita-citakan. Oleh sebab itu apabila kita
menyadari bahwa kita senantiasa berada dalam proses pembentukan yang tak
berkesudahan, maka kita pun dapat memahami bahwa orang lain pun
merupakan bejana-bejana yang juga sedang dibentuk oleh Tuhan. Dunia ini
mengalami banyak masalah hanya karena satu orang merasa dirinya lebih baik
daripada orang lain, merasa lebih matang dan benar sedangkan orang lain selalu
salah. Kesadaran bahwa Tuhan sedang memroses hidup kita secara terus-
menerus akan memampukan kita untuk melihat sesama sebagai bejana-bejana
di tangan sang Penjunan.
Terhadap sebuah jam dinding seharga sepuluh ribu rupiah yang telah
rusak, kita dapat memilih untuk membuangnya tanpa merasa sayang. Tetapi
apakah kita dapat melakukan hal yang sama terhadap bejana-bejana yang
sedang dikerjakan oleh Tuhan. Apabila kita tidak merasa cocok, akankah kita
menggantinya? Apabila kita tidak menyukainya, akankah kita membuangnya?
Apabila tenaganya telah habis, akankah kita mencampakkannya? Selama ini kita
hidup semata-mata berkat ketelatenan Tuhan di dalam hidup kita, karena
kesabaran-Nya atas kelakuan kita, karena kecermatan-Nya dalam membentuk
kita. Jadi marilah kita memandang orang lain dengan ketelatenan yang sama.

Anda mungkin juga menyukai