Anda di halaman 1dari 4

Kesuksesan yang Sejati

Mazmur 127

           


Setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti ingin mengalami kebahagiaan dan
keberhasilan yang terangkum dalam satu kata: kesuksesan. Keinginan untuk sukses dalam diri
manusia menunjukkan bahwa orang itu hidup, dan itu adalah hal yang wajar. Kita bahkan merasa
ada yang aneh dengan seseorang apabila dalam hidupnya, ia tidak memiliki keinginan untuk
meraih kesuksesan. Ia menjalani hidup ini apa adanya, mengalir mengikuti arus kehidupan.
Apakah sebenarnya definisi dan ukuran dari kesuksesan hidup? Ada orang yang
menggambarkan kesuksesannya dengan jumlah kekayaan yang ia miliki. Para mahasiswa
mengukur kesuksesannya dengan menyelesaikan studinya dengan nilai memuaskan dan tepat
waktu, tetapi ada juga yang menambahkan faktor penemuan jodoh. Dalam kehidupan
berkeluarga, kesuksesan terkadang diukur dengan anak-anak yang manis dan tidak bersikap
kurang ajar terhadap orang tua, suami yang tidak pernah menyakiti istri, dan istri yang tidak
cerewet. Kesuksesan adalah hal yang relatif dan bervariasi bagi setiap manusia. Setelah kita
mengetahui makna kesuksesan bagi kita, maka kita akan berusaha mengejarnya dengan cara
apa pun juga. Tetapi sering kali dalam proses pengejaran untuk meraih kesuksesan itu, manusia
lupa bahwa dirinya adalah anak Allah. Padahal sesungguhnya kita perlu mempertimbangkan
apakah standar kesuksesan yang kita miliki sama dengan standar kesuksesan di mata Allah,
sang Pencipta. Jangan sampai ketika kita telah berhasil meraih kesuksesan itu, kita baru
mengetahui bahwa itu bukanlah kesuksesan yang sesungguhnya di mata-Nya, tetapi justru
sebuah kegagalan. Pasangan suami-istri yang sama-sama berkarir mengaku bahwa mereka
sukses dalam hal karir dan keuangan. Tetapi di sisi lain, kesuksesan itu tidak diiringi oleh
kesuksesan dalam berumah tangga. Hidup anak-anak mereka kacau, ada yang pengonsumsi
narkoba, dan ada pula yang hamil di luar nikah.

            Setelah mencapai semua kesuksesan yang kita impikan, kita harus bercermin untuk
melihat apakah kualitas hidup kita pun berubah. Jangan-jangan ketika semua impian itu kita raih,
orang lain justru mendapati kita menjadi orang yang tidak ramah, licik, sombong, dan berbagai
sifat yang baru muncul akibat ambisi yang kita raih itu. Itukah yang disebut dengan kesuksesan?
Apabila pernikahan adalah standar kesuksesan kita, dan kemudian hari ketika kita menjalani
bahtera rumah tangga itu ternyata kita mendapati bahwa kehidupan berumah tangga tidak
seindah yang kita bayangkan, kita akan merasa bahwa kesuksesan kita itu bersifat semu. Oleh
sebab itu mari kita menelisik apa yang firman Allah katakan mengenai kesuksesan hidup serta
standar yang ditetapkan Allah. Hal ini demikian penting untuk membuat segala usaha kita untuk
mengejar kesuksesan itu tidak sia-sia manakala kita berhadapan dengan-Nya. Tentu kita tidak
ingin menghadap Dia dengan membawa kesuksesan itu dan kemudian ditolak-Nya karena tidak
sesuai dengan standar-Nya. Yang lebih menyakitkan adalah manakala kesuksesan itu kita bayar
dengan harga yang sangat mahal, ternyata harga itu terlalu mahal jika dibandingkan dengan
kesuksesan itu sendiri; kita kehilangan relasi yang baik dengan orang lain, sifat kita berubah
menjadi jauh lebih buruk, dan lain sebagainya.

            Mazmur 127 mengajak kita untuk melihat makna kesuksesan dalam perspektif Allah.
Mazmur ini adalah nyanyian ziarah, yang dalam konteks kebiasaan bangsa Israel pada waktu itu
adalah perjalanan menuju Yerusalem untuk melakukan penyembahan. Perjalanan yang
dilakukan secara massal dan dengan berjalan kaki (kecuali bagi mereka yang tidak kuat berjalan
bisa menunggangi keledai) ini memakan waktu yang cukup lama. Tetapi mereka menikmati
perjalanan ini dengan menyanyikan puji-pujian yang mengingatkan mereka akan berkat Allah.

Dalam Mazmur ini ada 3 aspek yang hendak ditekankan. Yang pertama adalah: "Jikalau bukan
Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya," (ayat 1a). Hal
pertama yang mereka akui adalah rumah, sebagai tanda kehadiran-Nya. Aspek kedua adalah:
"Jikalau bukan Tuhan yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga," (ayat 1b), yaitu
kota yang terjaga keamanannya. Selanjutnya, hal terakhir yang mereka syukuri adalah anak-
anak (ayat 3-5). Ketiga hal di atas adalah gambaran akan kesuksesan yang utuh. Rumah adalah
simbol kemapanan secara finansial. Seseorang yang dapat membangun dan memiliki rumah
sendiri dianggap sebagai orang yang berkecukupan dan mampu bertanggung jawab secara
finansial. Kehidupan manusia masa kini pun memiliki pandangan yang sama. Walaupun rumah
itu tidak besar dan luas, dibeli dengan proses kredit, tetapi ada kepuasan dan kelegaan tersendiri
manakala kita berhasil bernaung di rumah kita sendiri. Bangsa Israel mensyukuri kemampuan
untuk membangun rumah yang Allah berikan kepada mereka, serta penyertaan yang dilakukan-
Nya dalam proses pembangunan itu. Kota yang terkawal adalah hal kedua yang mereka syukuri.
Keamanan pada saat itu adalah hal yang sangat vital bagi bangsa Israel, karena musuh mereka
bisa muncul setiap saat dari arah mana pun juga. Ketika mereka melihat benteng yang cukup
luas mengelilingi kota mereka, mereka merasa aman dan damai. Kota yang terkawal adalah
simbol ketenteraman hati oleh karena kedamaian dan keamanan yang Allah berikan kepada
mereka. Sedangkan anak-anak adalah hal ketiga yang mereka syukuri, karena anak-anak adalah
gambaran kebahagiaan dan sukacita di dalam sebuah keluarga. 

            Nyanyian bangsa Israel di dalam perikop ini ingin menyatakan bahwa sebuah kesuksesan
adalah kesatuan atau perpaduan dari ketiga hal di atas: kemapanan secara finansial (bukan
berarti kondisi yang kaya raya), rasa aman serta kedamaian dan ketenteraman hati, dan
kebahagiaan di dalam keluarga. Ketiga hal inilah yang dipakai umat Israel sebagai rujukan
kesuksesan di dalam Allah. Mereka tidak mencari yang satu dan mengabaikan yang lain.
Sebaliknya, mereka melihat ketiga hal ini sebagai kesatuan yang tidak boleh terabaikan salah
satunya. Hal ini sungguh berbeda dengan pandangan modern mengenai kesuksesan yang
menganggap kemapanan finansial dan banyaknya materi sebagai kerucut atau titik akhir
pencapaian sebuah kesuksesan. Padahal hal ini hanyalah salah satu dari tiga aspek utama
sebuah kesuksesan. Apabila Anda menganggap kekayaan secara finansial adalah satu-satunya
takaran kesuksesan, maka saya akan mengajak Anda untuk menengok rumah sakit jiwa. Di sana
terdapat banyak orang yang dahulu adalah orang yang kaya raya, tetapi tidak memiliki
ketenangan di dalam batinnya. Kondisi ini membuat pikiran mereka menjadi galau dan tidak
waras. Kita pun tentunya banyak mendapati orang yang berkelimpahan secara materi, tetapi
keluarganya berantakan, tidak harmonis. Apakah ini semua dapat dikatakan sebagai
kesuksesan? Sedemikian mahalkah harga yang harus dibayar demi pengejaran materi sehingga
harus mengorbankan keluarga dan ketenangan batin?

            Semua ini membawa saya kembali ke masa lampau, ketika terjadi sebuah pengalaman
mengharukan yang tidak terlupakan. Mungkin apabila seorang yang tidak kaya secara materi
berkata bahwa materi bukanlah segala-galanya, kita tidak akan terkejut dengan hal itu. Tetapi
perkataan ini pernah terucap dari bibir seseorang yang bukan orang biasa saja. Bertempat di
sebuah kafe di Denpasar, waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, seorang pengusaha kaya
yang mengajak saya ke tempat itu ingin berbicang-bincang dengan saya. Pengusaha kaya raya
ini berusia sekitar 40 tahun, dan cara berpaiakannya mirip seorang penyanyi rock. Ia berkisah
mulai dari awal, ketika ia hijrah ke Denpasar dan memulai usahanya dari nol dengan membuka
kios kecil, sampai akhirnya ia berhasil menjadi seorang eksportir. Setelah beberapa saat, ia
mengajak saya ke sudut ruangan agar kami mendapatkan suasana yang lebih tenang. Kemudian
di tengah kisahnya mengenai jatuh-bangun kehidupannya, ia menangis. Di tengah gelimang
harta dan karir yang cemerlang, ia merasa tidak ada kedamaian di dalam hatinya. Selain
menyadari bahwa ada kalanya ia menjalani usahanya dengan cara yang kotor, ia pun bercerita
bahwa suatu saat istrinya meminta cerai karena ia tidak dapat merasakan kehadiran seorang
ayah maupun suami di tengah keluarga mereka. Demikian pula perlakuan anaknya terhadapnya
tatkala suatu hari ia pulang lebih awal dari biasanya. Si anak dengan polos berkata bahwa ia
tidak memiliki ayah, dan ia pun memanggilnya dengan sebutan "om". Pada akhirnya ia
menyimpulkan bahwa apa yang dahulu ia anggap sebagai kesuksesan, yaitu kelimpahan materi,
tidak berarti lagi dalam hidupnya.
            Melalui bacaan kita, pemazmur mengajak kita untuk melihat keutuhan dalam hidup ini.
Tidak dapat disangkal bahwa kita memerlukan materi untuk hidup. Tetapi tatkala keluarga yang
seharusnya turut menikmati kekayaan itu tidak lagi berada di sekeliling kita, dan mereka
menjauhi kita karena kita telah menjadi orang yang berbeda dari yang mereka kenal selama ini;
dan pada sisi yang lain, batin kita dipenuhi gejolak ketidaktenangan, apakah gunanya semua itu?
Apakah itu yang dapat disebut sebagai kesuksesan sejati? Dunia ini menuntut kita untuk
senantiasa bekerja keras demi meraih materi sebanyak mungkin. Tetapi sesungguhnya materi
bukanlah satu-satunya hal yang paling penting di dunia ini. Kedamaian hati jauh lebih penting
dari berapa pun banyaknya uang yang kita peroleh. Kebahagiaan keluarga bernilai jauh lebih
berharga dari semua materi yang kita miliki. Oleh sebab itu, mari kita kembali mengevaluasi
perspektif kita mengenai kesuksesan hidup berdasarkan ketiga hal tersebut.

            Di dalam pemahaman akan ketiga aspek kesuksesan yang telah saya uraikan di atas,
pemazmur memiliki perspektif yang unik. Dalam Mazmur 127, kata "sia-sia" disebutkan sebanyak
3 kali. Pemazmur hendak mengajar kita bahwa di dalam pencapaian kesuksesan hidup di dalam
ketiga aspek penting tersebut, ada perpaduan dua unsur yang tidak akan terpisahkan: usaha dan
kerja keras manusia di satu sisi, serta berkat Allah di sisi yang lain. Hal ini dibuktikan dengan
kalimat, "Jikalau bukan Tuhan, ..."yang menunjukkan bahwa sesungguhnya kesuksesan memiliki
dua sayap: kerja keras kita dan berkat-Nya. Apabila salah satu sayap tidak berfungsi, maka
kesuksesan pun tidak akan pernah terengkuh. Sama seperti seorang penjual kue yang
mengandalkan doanya agar Tuhan mendatangkan pembeli baginya, tanpa berusaha
mempromosikan dagangannya. Memang tidak salah apabila kita memiliki doa seperti itu. Namun
kita perlu ingat bahwa Tuhan memberkati tangan yang bekerja keras, bukan tangan yang
menganggur. Jadi apabila ia melarikan diri dari tanggung jawabnya dengan alasan yang rohani
seperti itu, maka Tuhan pun akan segan memberkatinya. Dia membekali manusia dengan akal
budi serta kemampuan untuk melakukan sesuatu, dalam hal ini penjual kue itu dapat belajar
mengenai strategi pemasaran. Jadi Dia pun tidak akan memberkati orang yang sebenarnya
dapat melakukan sesuatu, tetapi tidak mengerjakannya. Saya menyadari bahwa bangsa kita saat
ini adalah bangsa pemimpi, yang tidak ingin banyak berusaha, tetapi bermimpi untuk
mendapatkan rezeki nomplok.

            Izinkan saya berkisah mengenai Nasrudin dari Timur Tengah. Di dalam kemiskinannya, ia
berdoa kepada Tuhan agar Dia membuatnya menang undian. Ia senantiasa mendoakan hal yang
sama, tetapi sepertinya Tuhan tidak menggubrisnya. Ia tidak pernah menang undian. Hal ini
membuatnya murka dan memertanyakannya kepada Tuhan. Lalu ada suara dari langit yang
berkata, "Bagaimana mungkin Aku menjawab doamu dengan membuatmu menang undian,
sedangkan kau sendiri tidak pernah membeli lotre?"

Saya tidak sedang ingin berkata bahwa saya membenarkan tindakan judi seperti ini. Tetapi
amanat dari kisah ini adalah sebuah kritik dari sia-sianya sebuah doa tanpa disertai usaha yang
menolong kita untuk meraihnya. Allah tidak berkenan menjawab doa orang yang hanya
berpasrah pada kebaikan dan berkat-Nya tanpa semangat untuk melakukan apa pun dengan
tangannya. Itulah mengapa kalimat "ora et labora" atau "berdoa dan bekerja" menjadi pepatah
yang sangat populer dan bermakna. Di mata Allah, kesuksesan adalah sebuah perjuangan
manusia yang diberkati oleh-Nya.

            Mungkin Anda mengenal orang-orang yang kelihatan sukses dari ketiga aspek
kesuksesan yang telah kita bahas tadi, tetapi mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal
Allah. Harta mereka berkelimpahan, keluarga mereka tenang dan bahagia, batin mereka pun
tenteram. Mereka percaya bahwa apa yang mereka raih bukanlah berasal dari Tuhan, melainkan
berdasarkan keuletan serta keseimbangan hukum alam. Bagi saya, orang-orang seperti ini
adalah orang yang buta terhadap diri sendiri. mereka lupa bahwa napas yang mereka pakai
untuk mengatakan bahwa kesuksesan itu tidak berasal dari Tuhan justru berasal dari-Nya.
Mereka tidak dapat membeli napas hidup dan memerpanjang hidupnya dengan harta sebanyak
apa pun juga. Bukankah Tuhan yang memberikan semua itu kepada mereka? Kelak apabila
mereka sudah mendekati ajal, barulah mereka menyadari siapa diri mereka yang sesungguhnya.
Saya banyak melihat orang yang selama hidupnya tidak pernah membaca Alkitab dan buku-buku
rohani, tetapi di dalam penantiannya akan maut, dalam kondisi yang tidak berdaya, justru buku-
buku itulah yang menemani hari-hari mereka. Dan pada saat penyesalan terjadi, mereka mulai
membuat banyak janji, "Jika saya sembuh nanti, saya akan banyak melakukan pelayanan, saya
akan memberikan perpuluhan, ...." Tetapi setelah Allah bermurah hati menyembuhkan mereka,
kebiasaan lama terulang kembali, seolah-olah mereka lupa bahwa mereka pernah berjanji di
hadapan-Nya untuk berubah. Mereka menganggap bahwa saat itu belumlah waktunya untuk
pergi dari dunia ini selamanya, lupa bahwa Allah yang mengerjakan kebaikan itu. Hal ini
mencerminkan keangkuhan manusia; manakala ia berada "di atas", ia percaya bahwa semua itu
berkat perjuangannya sendiri. Ia buta akan realita hidupnya yang menunjukkan adanya kuasa
yang jauh lebih besar dari dirinya sendiri, yang berkuasa untuk membuat perjuangannya berhasil.
Rasa percaya diri yang begitu besar akan keberhasilan yang telah teraih dengan tangannya
membuat manusia bersikap sangat memuakkan, berubah dari kondisi awal ketika ia belum
memiliki apa-apa.

            Manakala manusia lupa bahwa kesuksesan selalu memiliki dua sayap, yaitu kerja keras
dan berkat Allah, maka ia akan menikmati kesuksesan itu dengan caranya sendiri. tetapi cara
itulah yang membuatnya terjatuh. Kesadaran akan adanya dua sayap dalam kesuksesan
membuat hidup kita seimbang. Selain menyadari bahwa kesuksesan kita berasal dari kerja keras
kita, kita pun menyadari bahwa berkat Allah adalah sisi penyeimbangnya; sehingga kesadaran
itulah yang membuat hidup kita terjaga keseimbangannya. Kita tetap merasa bahwa kita dapat
menikmati segala kesuksesan yang telah kita raih di dalam koridor hukum Allah. Kesuksesan itu
dapat berjalan langgeng karena kita eling atau ingat kepada sang Pemberi berkat, tetapi ia dapat
lenyap jika kita tidak lagi bersikap eling. Ingatlah akan semua hal ini manakala Anda sedang
berjuang untuk memeroleh kesuksesan. Ingatkanlah diri Anda untuk tidak hanya mengejar harta,
tetapi juga kedamaian hati dan kebahagiaan di dalam keluarga. Jangan pula lupa bahwa
kesuksesan itu selalu memiliki dua sayap yang akan senantiasa menjaga kesuksesan di dalam
hidup Anda

Anda mungkin juga menyukai