Anda di halaman 1dari 2

KASUS CANTIKA

TEORI & TEKNIK INTERVENSI: BEHAVIORISTIK & KOGNITIF

Cantika (perempuan, 19 tahun) adalah seorang mahasiswa yang saat ini sedang menempuh pendidikan di
Fakultas Psikologi (semester 2). Ia adalah anak tunggal dalam keluarganya, dengan latar belakang sosial
ekonomi yang bisa digolongkan menengah ke atas. Seperti remaja yang sudah mulai memasuki masa
dewasa awal pada umumnya, Cantika memiliki rutinitas dan kegiatan layaknya rekan-rekan seusianya.
Sehari-hari ia disibukkan dengan berbagai kegiatan perkuliahan, kegiatan organisasi, serta kegiatan-
kegiatan lain untuk tujuan bersosialisasi maupun bersenang-senang, seperti menonton bioskop, berjalan-
jalan di mall, berkumpul di café, serta aktif di sosial media pada berbagai kesempatan. Sebagai remaja
yang merupakan pendatang dari kota kecil, Cantika sangat terkesima dengan kemegahan Surabaya
sebagai kota Metropolitan. Menurutnya orang-orang di Surabaya, khususnya remaja-remaja seusianya
sangatlah ‘gaul”, menarik dan modis (fashionable) dalam membawakan diri di pergaulan. Cantika sebagai
pendatang yang tentu saja ingin bisa diterima dengan baik di lingkup pergaulannya, berusaha untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi tersebut, mengingat kota tempat tinggalnya selama ini
tergolong bertolak belakang (khususnya dalam hal penampilan yang tergolong sederhana, tidak telalu
mengikuti perkembangan mode dan juga sosial media).
Sejak akhir semester 1, Cantika sudah mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan pergaulannya. Ia mulai
memiliki kelompok-kelompok pertemanan di kuliah maupun di kos tempat tinggalnya. Sejak akhir
semester 1 ini pula, Cantika juga sudah mulai mencoba menggunakan mode-mode pakaian yang up to
date seperti teman-temannya. Bahkan ia juga sudah mulai belajar mengaplikasikan make up kepada
dirinya. Sejak ia mulai menggunakan pakaian dan asesoris yang up to date serta make up pada beberapa
acara (misalnya undangan pesta dan jalan-jalan ke mall), ia mendapatkan komentar-komentar positif dari
teman-teman maupun orang lain di sekitarnya. Ia mendapatkan pujian bahwa ia terlihat lebih cantik,
terlihat lebih modis, terlihat lebih gaul dan juga terlihat lebih ‘berkelas’ dalam pergaulan. Beberapa kali
bahkan ia mendapatkan perhatian dan pujian lebih spesifik, misalnya terkait dengan pilihan bajunya yang
asyik atau aplikasi make up-nya yang natural dan sekaligus chic (stylish). Dengan perubahan pada mode
pakaian yang up to date dan juga penggunaan make up serta asesoris, Cantika merasa lebih mudah
diterima dalam lingkungan pergaulan. Tak jarang ia menjadi pusat perhatian dan bahkan sesekali menjadi
trendsetter di kalangan teman-temannya. Memang ia merasakan juga bahwa dengan mengikuti trend
mode yang ada, ia menjadi lebih ‘boros’ dalam hal keuangan, karena tidak dipungkiri bahwa untuk gaya
hidup yang fashionable tersebut dibutuhkan biaya lebih. Ia seringkali meminta tambahan uang jajan
kepada orangtuanya dengan berbagai alasan atau kepentingan.
Memasuki perkuliahan di semester 2 ini, Cantika merasakan adanya kecemasan yang sangat kuat
terhadap penampilannya. Pada situasi pergaulan sehari-hari di kampus, kantin, mall, cafe atau di
beberapa tempat umum lainnya, Cantika secara otomatis merasakan kecemasan yang kuat ketika teman
maupun orang lain memandang dirinya ataupun memberikan komentar terhadap penampilannya.
Meskipun komentar yang diberikan tergolong netral, Cantika akan langsung berpikir bahwa ada yang
salah dengan pilihan bajunya ataupun cara berdandannya ( make up), sehingga ia akan langsung merasa
gelisah dan segera memeriksa penampilannya (menggunakan cermin pribadi maupun cermin di fasilitas
umum yang tersedia). Suatu hal yang lumrah apabila sekelompok remaja saling bertanya dan
memberikan komentar terkait penampilan teman-temannya, misalnya dengan bertanya “kayaknya ada
yang beda deh dengan kamu hari ini”, atau pertanyaan “ini baju model apa ya?”, atau bisa juga dalam
bentuk pernyataan “kayaknya lipstikmu agak kurang match deh dengan bajunya” dan berbagai bentuk
pertanyaan maupun pernyataan lainnya. Namun bagi Cantika, komentar, pertanyaan dan pernyataan
semacam ini langsung akan membuatnya gelisah, cemas dan khawatir bahwa ada yang salah dengan
penampilannya. Hal ini membuatnya akan langsung fokus memeriksa bajunya, make up-nya, maupun
tatanan rambutnya untuk memastikan bahwa semuanya sudah sempurna. Awalnya hal ini hanya terjadi
ketika ada teman atau orang yang bertanya dan memberikan komentar atas penampilannya. Namun
seiring berjalannya waktu, hampir setiap waktu Cantika akan memeriksa dandanan dan penampilannya,
entah menggunakan cermin pribadi yang dibawanya kemana-mana, atau dengan mencari cermin yang
bisa ditemukan di sekitarnya (kamar mandi, etalase toko). Bahkan ketika ia melihat ada orang lain yang
sedang bercermin, maka ia sulit mengendalikan diri untuk tidak turut serta mengambil cermin dan
memeriksa penampilannya.
Saat ini, bisa dikatakan bahwa perilaku Cantika untuk bercermin memeriksa dandanan dan penampilan
menjadi semakin sering dan sulit dikendalikan. Ketika di kelas perkuliahan, selang sepuluh sampai lima
belas menit, ia akan mengeluarkan cermin dan memeriksa dandanannya. Bahkan tidak jarang ia juga
meminta ijin ke kamar mandi untuk memeriksa penampilan atau dandanannya secara lebih seksama. Hal
ini juga terjadi di luar kelas, entah itu di kantin, perpustakaan, ruang dosen maupun di halte bus. Teman-
teman dekatnya mulai terganggu dengan hal ini, dan mulai menegurnya secara langsung ataupun
menyindirnya secara halus, misalnya dengan mengatakan “Wis ayu kok Can” atau dengan berkomentar
“Emang kalau diliatin terus bisa tambah ayu kah?” dan berbagai komentar lainnya. Terkadang Cantika
merasa risih dengan komentar-komentar tersebut, namun baginya lebih tidak menyenangkan mendapat
komentar yang bernuansa negatif tentang penampilannya dibandingkan komentar tentang perilakunya
tersebut.
Perilaku yang berfokus pada dandanan dan penampilan ini juga membuat Cantika seringkali terlambat
berangkat kuliah atau terlambat untuk appointment dengan teman maupun orang lain (misalnya untuk
kerja kelompok, berangkat beribadah, berangkat nonton bioskop, jalan-jalan ke mall, dsb). Hal ini
dikarenakan ia membutuhkan waktu lama untuk mematut-matut diri di cermin dan mencoba semua
koleksi bajunya untuk menemukan baju yang ‘tepat’. Belum lagi waktu yang dipakainya untuk
mengaplikasikan make up secara ‘sempurna’. Hal ini berdampak pada komplain dari teman-teman dan
juga bakan kemarahan atau teguran dari dosen yang sedang mengajar. Namun sekali lagi, meskipun
Cantika merasa malu dan sungkan, namun baginya perasaan malu dan sungkan tersebut tidak bisa
dibandingkan dengan perasaan cemas dan gelisah yang ia rasakan terkait dengan penampilannya.
Sejak beberapa bulan terakhir ini, orangtua Cantika juga sudah mulai bertanya dan menegur Cantika
terkait pengeluaran bulanannya yang dirasa semakin besar dari waktu ke waktu. Selama ini, orangtua
Cantika memang tidak pernah mempersoalkan pengaturan dan penggunaan uang bulanan yang mereka
kirimkan kepada Cantika, bahkan sebagai anak tunggal dari keluarga yang berkecukupan, Cantika cukup
mudah mendapatkan akses terkait kebutuhan finansial. Namun karena semakin lama Cantika meminta
semakin banyak dan semakin sering, maka orangtuanya mulai curiga dan menegurnya. Cantika sendiri
menyadari tentang pengeluarannya yang ‘membengkak’, akibat kebutuhannya akan baju, asesoris dan
alat make up yang dirasa bisa menunjang penampilannya. Namun ia lebih merasa takut dengan komentar
negatif terhadap penampilannya dibandingkan teguran dan kemarahan dari orangtuanya.
Sekilas terkait masa kecilnya, Cantika memiliki pengalaman yang secara tidak disadari membuatnya
berpikir bahwa ia harus bisa tampil ‘cantik’ karena namanya adalah Cantika. Baginya jikalau ia tidak
‘cantik’, maka ia akan menjadi olok-olok di keluarga besar dan teman-temannya. Cukup banyak saudara
atau teman-teman yang mengatakan bahwa “Untung Cantika itu cukup cantik, jadi nggak keberatan
nama”. Pengalaman dan komentar semacam itu, membuatnya berpikir bahwa akan menjadi beban mental
untuk memiliki nama Cantika jikalau ia sampai dianggap tidak cantik. Namun sejauh ini (sebelum ia kuliah
di Surabaya), hal ini tidak menjadi masalah karena hampir tidak ada teman-teman atau orang lain yang
memberikan komentar semacam itu, serta tidak terlalu tinggi ‘standar’ untuk dianggap cantik di kota
tempat tinggalnya tersebut.

Anda mungkin juga menyukai