Anda di halaman 1dari 2

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FK UNPAD/RSHS BANDUNG

Subdivisi : Respirologi
Oleh : dr. Tri Gumilar
Pembimbing : Prof. Dr. Heda Melinda N. Nataprawira, dr., Sp.A(K)., M.Kes
Prof. Cissy B. Kartasasmita, dr., Sp.A(K)., M.Sc., PhD
dr. Sri Sudarwati, Sp.A(K)
dr.Diah Asri Wulandari,Sp.A(K)

Drug Induced Liver Injury : Causative Agents and Predictors for the Outcome – A Retrospective Study at Tanta University Hospital, Egypt
N.E Helal, M. Elkadeem, S.M Elbastawesy, S.A Mashaal

Abstrak
Latar Belakang: Frekuensi, tingkat keparahan, dan perjalanan efek samping (ES) obat anti tuberkulosis (TB) masih menjadi perhatian. Studi
terkini bertujuan untuk mengetahui insidensi, faktor risiko, dan efek obat anti tuberkulosis (OAT) pada anak dengan TB
Metode : Studi prospektif longitudinal dilakukan di Provinsi Sindh, Pakistan. Total 508 anak dengan TB di rumah sakit multisenter yang
diterapi dengan OAT ditinjau kejadian ES. Naranjo Causality Assessment dan Hartwig’s Severity Assessment Scale digunakan dalam studi.
Hasil: Sebanyak 105 ES dilaporkan pada 67 (13,2%) dari 508 pasien. Gangguan saluran pencernaan adalah ES yang paling sering terjadi
(65,7%), diikuti oleh artralgia (24,8%). Sekitar 65 (61,9%) ES diidentifikasi sebagai kemungkinan dan 78 (74,3%) sebagai ES ringan pada saat
penelitian. Terdapat empat kasus hepatotoksisitas ringan yang diamati pada anak-anak. Dalam analisis multivariat, variabel independen yang
memiliki hubungan positif yang signifikan secara statistik dengan ES adalah wanita (OR; 2,66, P = 0,004), pengobatan ulang (OR; 22,32, P ≤
0,001), dan ketiadaan bekas vaksin BCG (OR; 17,84, P = 0,001).
Kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemantauan yang ketat terhadap pasien perempuan, pasien yang sebelumnya menjalani
pengobatan TB, dan mereka yang tidak memiliki vaksin BCG diperlukan di lokasi penelitian.
Kata Kunci: Efek samping, Anak, Faktor risiko, Tuberkulosis

PENDAHULUAN
Efek samping (ES) anti tuberkulosis memiliki insidensi bervariasi 5,3%-83,5%. ES pada anak lebih jarang dibanding dewasa. Gejala ES yang
dapat muncul, yaitu artralgia, reaksi alergi, hepatotoksik, gangguan neurologis, dan gangguan saluran pencernaan. ES berdampak pada
peningkatan biaya pengobatan, kegagalan pengobatan, resistensi didapat, peningkatan kasus TB dan kematian. Efek samping anti tuberkulosis
umumnya ditangani dengan penggantian obat atau penghentian obat. Kondisi tersebut menyebabkan penurunan kepatuhan pengobatan dan
peningkatan morbiditas dan mortalitas TB. Studi sebelumnya menujukkan bahwa kelompok yang berisiko mengalami ES yaitu jenis kelamin
perempuan, riwayat efek samping sebelumnya, konsumsi alkohol, faktor genetik, kekurangan gizi, >50 tahun, merokok, riwayat pengobatan
TB, dan komorbiditas. Efek samping anti tuberkulosis merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Data tentang kejadian ES pada
anak-anak terbatas. Studi ini bertujuan untuk mempelajari kejadian, faktor risiko, dan efek pengobatan anti TB pada anak dengan tuberkulosis.

METODE
Desain studi berupa studi longitudinal prospektif yang dilakukan antara Juni-November 2016. Kriteria inklusi yaitu anak usia ≤14 tahun di 5
pusat DOTS pada 3 kota di Pakistan (Hyderabad, Jamshara, Matiari). TB kasus baru diobati dengan kategori I (INH, RIF dan PZA selama 2
bulan + INH, RIF selama 4 bulan). TB kasus relaps, gagal, default diterapi dengan kategori II (INH, RIF, PZA, EMB selama 3 bulan + INH,
RIF selama 5 bulan). Dosis ditentukan menurut BB : 5-7 kg, 8-14 kg, 15-20 kg, dan 21-30 kg. Anak dengan BB <5 kg dosis individual, anak
<30 dengan dosis dewasa. Setiap bulan dilakukan visit oleh peneliti dan dokter anak, atau pengasuh/orangtua ditanyakan mengenai kejadian
ES. Kejadian ES didasarkan pada hasil pemeriksaan laboratorium dan investigasi pada pengasuh. Penilaian kausalitas ES menggunakan skala
Naranjo menjadi definiti, probable, possible, dan meragukan. Severitas ES dihitung dengan skala penilaian severitas Hartwig menjadi ringan,
sedang dan berat. Terapi TB diberikan secara gratis oleh pusat DOTS sebagai lokasi studi.
Definisi Efek Samping
ES didefinisikan sebagai respons yang tidak diharapkan dari obat dengan dosis normal yang digunakan untuk profilaksis, diagnosis, terapi,
atau modifikasi fungsi fisiologis suatu penyakit. Arthralgia merupakan nyeri atau bengkak pada sendi yang dilaporkan pasien dan ditemukan
dokter dengan/tanpa arthritis dengan peningkatan asam urat >7 mg/dL. Hepatotoksi yaitu peningkatan AST dan ALT >3x batas atas dengan
gejala seperti anoreksia, nyeri perut, mual, muntah, dan peningkaan >5x tanpa gejala, dan/atau bilirubin total >2 mg/dL. Ikterik merupakan
kulit, membran mukosa, dan sklera menguning karena deposit bilirubin (>34,2 umol/L atau 2 mg/dL). Reaksi dermatologis yaitu kemerahan
dan/atau gatal pada kulit dengan atau tanpa ruam. Anemia yaitu >1g/dL tetes dalam konsentrasi hemoglobin setelah memulai terapi.
Analisa Statistik
Analisa statistik menggunakan perangkat lunak SPSS statistik 24 (IMB). Variabel kategorikal ditampilkan dalam frekuensi dan presentase.
Variabel kontinyu ditampilkan dalam rata-rata dan standar deviasi, serta median. Nilai p <0,05 signifikan secara statistiik.
Persetujuan Etik
Studi disetujui oleh Institutional Research and Ethic Boards RS Shah Bhitae Latifabad, Universitas Hyderabad Liaquat,
Hyderabad/Jamshoro, Pakistan. Inform consent oral diberikan kepada orangtua/pengasuh anak. Nama dan identitas partisipan dihindari pada
kuesioner dan hasil studi.

HASIL
Total terdapat 150 ES yang ditemukan pada 67 (13,2%) dari 508 pasien. ES paling umum adalah gangguan gastrointestinal diikuti arthralgia.
441 pasien tidak mengalami ES sama sekali. 38, 22 dan 7 pasien mengalami 1,2,3 ES berturut-turut. Tidak ada pasien yang tergolong ES
meragukan menurut skala kausalitas Naranjo. Severitas paling umum adalah derajat ringan, dan tidak ada ES dengan derajat berat. Terdapat 4
kasus tipe hepatotoksik. Seluruh kasus tergolong ringan, yaitu Grade I dan Grade II. Tidak ada kasus hepatotoksik berat. Tatalaksana ES sesuai
panduan WHO. Prinsip terapi dengan suportif. Diskontinyu pengobatan permanen merupakan pilihan terakhir. ES berat dilakukan identifikasi
obat penyebab dan penghentian sementara obat suspek atau penghentian seluruh ketiga obat diikuti restorasi bertahap dari obat. Studi analisis
multivariat menunjukkan prediktor ES meliputi jenis kelamin perempuan, reterapi, dan tidak adanya bekas luka vaksinasi BCG. Pasien dengan
ES berisiko tinggi gagal pengobatan. Tingkat kegagalan, kematian, loss to follow up dan transferred out lebih tinggi pada pasien dengan ES.

PEMBAHASAN
Studi ini menemukan insidensi ES sejalan dengan insidensi umum yang telah dilaporkan sebelumnya, namun lebih tinggi dibanding di Cina
dan lebih rendah dibanding studi di Republik Kongo. Pada studi ini gangguan gastrointestinal merupakan ES paling umum, sejalan dengan
studi lain pada orang dewasa. Seluruh ES dalam studi diberikan terapi suportif. Mual, muntah dihindari dengan cara memberikan OAT setelah
makan dan pemberian obat anti-emetik, berupa Dimenhidrinat. Metronidazole diberi untuk nyeri perut. Mual, muntah dan nyeri perut
umumnya disebabkan oleh INH dan RIF. Gejala membaik setelah pemberian OAT setelah makan dan terapi suportif.
Studi ini menemukan bahwa arthralgia ditemukan 24,8% tanpa arthritis. Sejalan dengan studi TB dewasa di India yaitu 22%, dan studi di
Jepang yaitu 17,6%. PZA merupakan penyebab utama artharlgia. Mekanismenya yaitu dengan asam pyrazinoic menghambat sekresi asam urat
dari tubulus renal menyebabkan hiperurisemia, sehingga arthralgia dan arthritis. Seluruh arthralgia diberi ibuprofen dan tidak dilakukan
penghentian PZA. Gulbay et al melakukan penghentian PZA pada pasien arthralgia dengan hiperurisemia.
INH dihentikan pada pasien hepatitis, setelah hasil dan gejala kembali normal, INH kembali diberikan. Hepatotoksik terkait OAT
mematikan jika tidak segera diidentifikasi, terapi atau dihentikan, sehingga pentingnya pemantauan fungsi hati setiap bulan. Pemantauan
dengan lab setiap bulan dapat meningkatkan biaya pasien. Diperlukan metode yang dapat mengenali faktor risiko penyebab hepatotoksik.
Faktor risiko orang dewasa yaitu perempuan, usia lanjut, malnutrisi, infeksi HIV, penyakit hepar, alkoholisme, dan penggunaan bersamaan
obat hepatotoksik.
Reaksi kulit paling umum disebabkan oleh RIF, jarang oleh PZA. Studi ini menemukan reaksi kulit rendah dibanding studi lain (3,8%),
sejalan dengan studi di Iran, yang mana kejadian reaksi kulit rendah. Seluruh pasien diterapi dengan anti histamin (cetirizine). Gullbay et al
melakukan penghentian OAT jika muncul reaksi kutan. Yee et al menghentikan RIF dan PZA secara komplit pada pasien yang muncul reaksi
kutan.
INH, RIF dan PZA menyebabkan anemia. Pada studi ini anemia tidak terdeteksi, mungkin karena nutrisi yang kurang dan status sosio
ekonomi pasien. Sirup multivitamin diberikan pada pasien anemia dan anoreksia. ES umumnya terjadi pada fase intensif. Hepatotoksik lebih
sering pada fase lanjutan. Studi ini menemukan bahwa 87,6% ES terjadi pada fase intensif, dengan 64% ES terjadi pada 1 bulan pertama terapi.
Ini sangat mungkin terjadi, karena penggunaan 3 OAT penyebab ES paling umum digunakan bersama pada periode tersebut. Studi ini
menemukan bahwa kelompok paling umum adalah probable menurut skala Kausalitas Naranjo. Sejalan dengan studi oleh Shang et al dan
Domasceno et al, namun berbanding terbalik dengan Javandi et al dan Chhetri et al. Studi ini menurut Severitas ES menurut Skala Hartwig
menunjukkan 74,3% pasien derajat ringan, tidak ada gejala berat.
Modifikasi OAT jarang, tidak ada penggantian obat dan sejalan dengan studi Lv et al. 55% pasien memerlukan penyesuaian dosis, interupsi
dan perubahan waktu konsumsi obat sejalan dengan studi di Iran. Pasien dengan gangguan GI diubah waktu konsumsi obat menjadi setelah
makan, serupa dengan studi oleh Breen et al. Penghentian obat satu-satunya adalah INH dan direintroduksi setelah gejala membaik. Studi lain
melakukan penghentian komplit dari INH dan PZA. Faktor paling umum ES adalah usia. Pasien lansia dan anak sangat rentan terhadap ES,
namun belum banyak studi meneliti kelompok tersebut karena usia yang ekstrem. Risiko yang tinggi pada usia tersebut diakibatkan oleh
kemampuan metabolisme obat belum terevaluasi secara komplit. Anak usia 11-18 tahun memiliki risiko paling tinggi ES. Studi sebelumnya
mengenai faktor risiko ES yaitu perempuan, usia, merokok, obat-obatan, alkohol, ko-infeksi HIV, penyakit hepar lainnya, riwayat OAT, dan
kelompok etnis pada orang dewasa. Studi ini tidak ada anak yang mengalami ko-infeksi HIV, memiliki gangguan hepar, merokok, alkohol, dan
penggunaan obat, sehingga faktor risiko dianlisa.
Perempuan >2,6x dibanding laki-laki mengalami ES. Mekanisme belum diketahui pasti, namun dapat berkaitan dengan imunologis dan
faktor hormonal. Perempuan memiliki massa tubuh yang lebih kurus, menurunkan eliminasi hepatik, perbedaan aktivitas enzim P450 dan
perbedaan motilitas gaster dan GFR. Kejadian ES tinggi pada pasien tanpa bekas luka BCG, berkaitan dengan efektivitas vaksin BCG dalam
mencegah kejadian TB. Anak tanpa vaksin BCG dapat berkembang menjadi TB yang serius, progresif, dan menyebabkan ES seperti
penurunan BB dan anemia. 79,1% pasien menyelesaikan pengobatan hingga tuntas, 4,5% gagal, 9% default, 4,5% transferred out dan
didiagnosis sebagai TB resisten, 3% meninggal. Kematian dalam studi ini disebabkan oleh progresi penyakit, tidak terkait ES.

SIMPULAN
Frekuensi efek samping yang tinggi tidak menimbulkan penghentian terapi permanen, menunjukkan ES diterapi dengan baik menggunakan
terapi suportif, terkecuali pada kasus ES yang fatal. Perempuan, riwayat terapi dan tidak ada luka bekas vasksinasi BCG menjadi faktor risiko
dan perlu pemantauan. Partisipasi apoteker dalam praktik kolaboratif dapat membantu pengasuh mengenai penggunaaan obat yang tepat,
deteksi dini, pencegahan dan terapi ES.

Anda mungkin juga menyukai