Anda di halaman 1dari 352

-1-

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR… TAHUN…
TENTANG
KESEHATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa negara menjamin hak setiap warga negara untuk


mewujudkan kehidupan yang baik, sehat, serta sejahtera
lahir dan batin demi tercapainya tujuan nasional dalam
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia untuk memajukan
kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. bahwa pembangunan kesehatan masyarakat berpegang
pada pilar paradigma sehat, pelayanan kesehatan, dan
jaminan kesehatan nasional untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
berdasarkan prinsip kesejahteraan, pemerataan,
nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam
rangka pembangunan sumber daya manusia yang
berkualitas dan produktif, mengurangi kesenjangan,
memperkuat layanan kesehatan bermutu, meningkatkan
ketahanan kesehatan, menjamin kehidupan yang sehat,
serta memajukan kesejahteraan seluruh warga negara
dan daya saing bangsa bagi pencapaian tujuan
pembangunan nasional;
c. bahwa permasalahan dan gangguan kesehatan pada
masyarakat akan menimbulkan kerugian besar bagi
negara, menghambat pendayagunaan tenaga medis dan
tenaga kesehatan, serta menjadikan transformasi sektor
kesehatan dan layanan kesehatan dari hulu hingga hilir
-2-

tidak dapat dilaksanakan dengan baik bagi tercapainya


peningkatan derajat kesehatan masyarakat;
d. bahwa pembangunan kesehatan masyarakat semakin
terbuka sehingga menciptakan kemandirian dan
mendorong perkembangan industri kesehatan nasional
pada tingkat regional dan global serta mendorong
peningkatan layanan kesehatan yang aman, bermutu,
dan terjangkau oleh masyarakat sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan
kemakmuran yang berkelanjutan;
e. bahwa untuk meningkatkan kapasitas dan ketahanan
kesehatan diperlukan penyesuaian berbagai kebijakan
untuk penguatan sistem kesehatan secara integratif dan
holistik dalam 1 (satu) undang-undang secara
komprehensif; dan
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Kesehatan;

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KESEHATAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
-3-

1. Kesehatan adalah keadaan sehat setiap orang, baik


secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang
memungkinkannya untuk hidup produktif secara sosial
dan ekonomis.
2. Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu dan
berkesinambungan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam
bentuk promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif
oleh pemerintah dan/atau masyarakat.
3. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan pelayanan yang diberikan secara
langsung kepada perseorangan atau masyarakat untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat dalam bentuk promotif, preventif, kuratif,
dan/atau rehabilitatif.
4. Sumber Daya Kesehatan adalah segala bentuk fasilitas,
tenaga, perbekalan kesehatan, sistem informasi,
teknologi, dan dana yang dimanfaatkan untuk
menyelenggarakan Upaya Kesehatan yang dilakukan
oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi dan
kabupaten/kota, dan/atau masyarakat.
5. Tenaga Medis adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kedokteran atau kedokteran gigi serta
memiliki sikap profesional, pengetahuan, dan
keterampilan melalui pendidikan profesi kedokteran atau
kedokteran gigi dalam melaksanakan upaya kesehatan.
6. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
sikap profesional, pengetahuan, dan keterampilan
melalui pendidikan tinggi, yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
7. Sumber Daya Manusia Kesehatan adalah seseorang yang
bekerja secara aktif di bidang kesehatan, baik yang
memiliki pendidikan formal kesehatan maupun tidak
-4-

yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan


dalam melakukan upaya kesehatan.
8. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah tempat dan/atau
alat yang digunakan untuk menyelenggarakan Pelayanan
Kesehatan kepada perseorangan ataupun masyarakat
dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan/atau
rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
9. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut
Puskesmas adalah fasilitas pelayanan Kesehatan tingkat
pertama yang menyelenggarakan dan mengoordinasikan
pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif,
rehabilitatif, dan/atau paliatif di wilayah kerjanya.
10. Rumah Sakit adalah Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang
menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan perseorangan
secara paripurna melalui pelayanan kesehatan promotif,
preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif dengan
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan
gawat darurat.
11. Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang
membutuhkan tindakan medis segera guna
penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih
lanjut.
12. Perbekalan Kesehatan adalah semua bahan dan
peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan.
13. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat bahan
alam, kosmetik, suplemen kesehatan, dan obat kuasi.
14. Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin
dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang
digunakan untuk mencegah, mendiagnosis,
menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat
orang sakit, memulihkan Kesehatan pada manusia,
dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi
tubuh, reagen in vitro dan kalibrator, perangkat lunak,
bahan atau material yang digunakan tunggal atau
kombinasi untuk menghalangi pembuahan, desinfeksi
-5-

Alat Kesehatan, dan pengujian in vitro terhadap


spesimen dari tubuh manusia, dan dapat mengandung
obat yang tidak mencapai kerja utama pada tubuh
manusia melalui proses farmakologi, imunologi, atau
metabolisme untuk dapat membantu fungsi atau kerja
yang diinginkan.
15. Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga yang selanjutnya
disingkat PKRT adalah alat, bahan, dan/atau campuran
bahan untuk pemeliharaan dan perawatan yang
berdampak pada kesehatan manusia yang ditujukan
pada penggunaan di rumah tangga.
16. Obat adalah bahan, paduan bahan, produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem
fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi untuk manusia.
17. Obat Bahan Alam adalah bahan, ramuan bahan, atau
produk yang berasal dari sumber daya alam berupa
tumbuhan, hewan, jasad renik, mineral, atau campuran
dari bahan tersebut yang telah digunakan secara turun-
temurun atau sudah terbukti berkhasiat dan aman
digunakan untuk pemeliharaan kesehatan, peningkatan
kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan/atau
pemulihan kesehatan berdasarkan pembuktian secara
empiris dan/atau ilmiah, dan dapat diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat.
18. Jamu adalah obat tradisional Indonesia yang
menggunakan bahan baku alam dari Indonesia,
diproduksi di Indonesia, dan khasiatnya dibuktikan
berdasarkan data empiris.
19. Obat Herbal adalah obat yang mengandung bahan aktif
yang berasal dari tanaman dan/atau sediaan obat dari
tanaman.
20. Teknologi Kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau
metode yang ditujukan untuk membantu menegakkan
diagnosa, pencegahan, dan penanganan permasalahan
kesehatan manusia.
-6-

21. Sistem Informasi Kesehatan adalah sistem yang


mengintegrasikan berbagai tahapan pengumpulan data,
pemrosesan, pelaporan, dan penggunaan informasi yang
diperlukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi
Pelayanan Kesehatan serta mengarahkan tindakan atau
keputusan yang berguna dalam mendukung
pembangunan kesehatan.
22. Telekesehatan adalah pemberian dan fasilitasi layanan
kesehatan yang bersifat nonklinis, termasuk pendidikan
penyedia dan pasien, layanan informasi kesehatan, dan
layanan mandiri melalui telekomunikasi dan teknologi
komunikasi digital.
23. Telemedisin adalah pemberian dan fasilitasi layanan
kesehatan yang bersifat klinis termasuk asuhan
medis/klinis dan/atau layanan konsultasi kesehatan
melalui telekomunikasi dan teknologi komunikasi digital.
24. Pasien adalah setiap orang yang memperoleh Pelayanan
Kesehatan dari Tenaga Medis dan/atau Tenaga
Kesehatan.
25. Kolegium adalah badan yang dibentuk oleh perhimpunan
ilmu yang bersifat otonom untuk masing-masing disiplin
ilmu kedokteran, ilmu kedokteran gigi, dan ilmu
kesehatan yang bertugas mengampu cabang disiplin
ilmu tersebut.
26. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan yang telah memiliki
sertifikat kompetensi, sertifikat profesi, atau telah
mempunyai kualifikasi tertentu lain untuk menjalankan
praktik.
27. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR
adalah bukti tertulis yang diberikan kepada Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan yang telah diregistrasi.
28. Surat Izin Praktik yang selanjutnya disingkat SIP adalah
bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagai pemberian
kewenangan untuk menjalankan praktik.
-7-

29. Wabah Penyakit Menular yang selanjutnya disebut


Wabah adalah kejadian luar biasa penyakit menular
yang jumlah kasus dan/atau kematiannya meningkat
dan menyebar dalam skala luas yang dapat
menimbulkan bencana nonalam.
30. Kewaspadaan Wabah adalah serangkaian kegiatan
sebagai sikap tanggap menghadapi kemungkinan
terjadinya Wabah.
31. Kejadian Luar Biasa yang selanjutnya disingkat KLB
adalah meningkatnya kejadian, kesakitan, kematian,
dan/atau kecacatan akibat penyakit dan masalah
kesehatan yang bermakna secara epidemiologis di suatu
daerah pada kurun waktu tertentu.
32. Pintu Masuk Negara yang selanjutnya disebut Pintu
Masuk adalah tempat masuk dan keluarnya alat angkut,
orang, dan/atau barang dari dan ke luar negeri, baik
berbentuk pelabuhan, bandar udara, maupun pos lintas
batas negara.
33. Badan Karantina Kesehatan Nasional yang selanjutnya
disingkat BKKN adalah lembaga Pemerintah setingkat
kementerian yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang
dalam menyelenggarakan urusan kekarantinaan
kesehatan.
34. Petugas Karantina Kesehatan adalah Tenaga Medis atau
Tenaga Kesehatan terlatih yang ditunjuk oleh BKKN
untuk melakukan pengawasan dan tindakan
penanggulangan terhadap alat angkut, orang, dan
barang di Pintu Masuk.
35. Daerah Terjangkit adalah daerah yang secara
epidemiologis terdapat penyebaran penyakit dan/atau
faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan
Wabah.
36. Dokumen Karantina Kesehatan adalah surat keterangan
kesehatan yang dimiliki setiap alat angkut, orang, dan
barang yang memenuhi persyaratan, baik nasional
maupun internasional.
-8-

37. Organisasi Profesi adalah wadah untuk berhimpun


Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang seprofesi
berdasarkan kesamaan keahlian, aspirasi, kehendak,
etika profesi, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan
tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan
kesehatan.
38. Konsil Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang
dibentuk Presiden, yang melaksanakan tugas secara
independen, dan yang terdiri atas konsil setiap kelompok
Tenaga Medis.
39. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia adalah lembaga yang
dibentuk Presiden, yang melaksanakan tugas secara
independen, dan yang terdiri atas konsil setiap kelompok
Tenaga Kesehatan.
40. Setiap Orang adalah orang perseorangan, kelompok
orang, organisasi masyarakat dan/atau badan usaha
yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum.
41. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden
dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
42. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah provinsi atau
kabupaten/kota sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
otonom.
43. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Kesehatan.

Pasal 2
Penyelenggaraan Kesehatan berasaskan:
a. perikemanusiaan;
b. keseimbangan;
c. manfaat;
d. ilmiah;
e. pemerataan;
-9-

f. etika dan profesionalitas;


g. pelindungan dan keselamatan;
h. penghormatan terhadap hak dan kewajiban;
i. keadilan;
j. nondiskriminatif;
k. pertimbagan moral dan nilai-nilai agama;
l. partisipatif;
m. kepentingan umum;
n. keterpaduan;
o. kesadaran hukum;
p. kedaulatan negara;
q. kelestarian lingkungan hidup;
r. kearifan budaya; dan
s. ketertiban dan kepastian hukum.

Pasal 3
Penyelenggaraan Kesehatan bertujuan:
a. meningkatkan pembudayaan masyarakat hidup sehat;
b. meningkatkan akses dan mutu Pelayanan Kesehatan dan
Sumber Daya Kesehatan;
c. meningkatkan pengelolaan sumber daya manusia yang
efektif dan efisien;
d. memenuhi kebutuhan masyarakat akan Pelayanan
Kesehatan;
e. meningkatkan ketahanan kesehatan dalam menghadapi
KLB atau Wabah;
f. menjamin pendanaan yang selalu tersedia dan
transparan, efektif dan efisien, serta berkeadilan;
g. pengembangan dan pemanfaatan Teknologi Kesehatan
yang berkelanjutan; dan
h. memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi
Pasien, Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan
masyarakat.

BAB II
HAK DAN KEWAJIBAN
-10-

Bagian Kesatu
Hak

Pasal 4
(1) Setiap Orang berhak:
a. hidup sehat secara fisik, mental, spiritual, dan sosial;
b. memperoleh Pelayanan Kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau agar dapat mewujudkan
derajat Kesehatan yang setinggi-tingginya;
c. mendapatkan perawatan kesehatan hingga mendapat
kesembuhan;
d. memperoleh akses atas Sumber Daya Kesehatan;
e. secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan
sendiri Pelayanan Kesehatan yang diperlukan bagi
dirinya;
f. mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian
derajat Kesehatan;
g. menerima atau menolak sebagian atau seluruh
tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya
setelah menerima dan memahami informasi
mengenai tindakan tersebut secara lengkap;
h. atas kerahasiaan informasi kesehatan pribadinya;
i. menuntut ganti rugi terhadap seseorang, Tenaga
Medis, Tenaga Kesehatan, tenaga pendukung
kesehatan, dan/atau penyelenggara Kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan dalam
Pelayanan Kesehatan yang diterimanya;
j. mendapatkan informasi dan edukasi tentang
Kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab;
dan
k. memperoleh informasi tentang data Kesehatan
dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang
telah maupun yang akan diterimanya dari Tenaga
Medis dan/atau Tenaga Kesehatan.
(2) Hak secara mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d dikecualikan untuk Pelayanan Kesehatan yang
-11-

diperlukan dalam rangka penanggulangan KLB atau


Wabah.
(3) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf f tidak berlaku pada:
a. penderita yang penyakitnya dapat secara cepat
menular kepada masyarakat secara lebih luas;
b. keadaan KLB atau Wabah;
c. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
d. seseorang yang mengalami gangguan mental berat.
(4) Kerahasiaan informasi kesehatan pribadi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf g tidak berlaku dalam hal:
a. pemenuhan permintaan aparat penegak hukum
dalam rangka penegakan hukum;
b. penanggulangan KLB/Wabah/bencana;
c. pendidikan dan penelitian;
d. upaya pelindungan terhadap bahaya ancaman
keselamatan orang lain secara individual atau
masyarakat;
e. kepentingan pemeliharaan kesehatan, pengobatan,
penyembuhan, dan perawatan Pasien;
f. permintaan Pasien sendiri;
g. keperluan administratif, pembayaran asuransi, atau
jaminan pembiayaan Kesehatan; dan/atau
h. kepentingan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
(5) Ketentuan mengenai hak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Bagian Kedua
Kewajiban

Pasal 5
(1) Setiap Orang berkewajiban:
a. mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan
derajat Kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya;
-12-

b. menghormati hak orang lain dalam upaya


memperoleh lingkungan yang sehat;
c. berperilaku hidup sehat dan menghormati hak
Kesehatan orang lain;
d. mematuhi kegiatan penanggulangan KLB atau
Wabah;
e. menjaga dan meningkatkan derajat Kesehatan bagi
orang lain yang menjadi tanggung jawabnya; dan
f. mengikuti program jaminan kesehatan dalam sistem
jaminan sosial nasional.
(2) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a meliputi:
a. Upaya Kesehatan perseorangan;
b. Upaya Kesehatan masyarakat; dan
c. pembangunan berwawasan Kesehatan.
(3) Kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB III
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH PUSAT
DAN PEMERINTAH DAERAH

Pasal 6
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan,
membina, dan mengawasi penyelenggaraan Upaya
Kesehatan yang bermutu, aman, efisien, merata, dan
terjangkau oleh masyarakat.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 7
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab meningkatkan dan mengembangkan Upaya
-13-

Kesehatan dalam rangka meningkatkan akses dan mutu


Pelayanan Kesehatan.
(2) Peningkatan dan pengembangan Upaya Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan pengkajian dan penelitian.
(3) Pengkajian dan penelitian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 8
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab
menyelenggarakan kegiatan Kewaspadaan Wabah,
penanggulangan Wabah, dan pasca-Wabah.

Pasal 9
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab
atas ketersediaan lingkungan dan tatanan yang sehat bagi
masyarakat.

Pasal 10
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab atas ketersediaan Sumber Daya Kesehatan yang
adil dan merata bagi seluruh masyarakat.
(2) Untuk menjamin ketersediaan Sumber Daya Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
dapat memberikan fasilitas fiskal dan fasilitas non-fiskal.

Pasal 11
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab
atas ketersediaan akses terhadap Fasilitas Pelayanan
Kesehatan serta informasi dan edukasi Kesehatan.

Pasal 12
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab
terhadap:
-14-

a. pengaturan, pembinaan, pengawasan, serta peningkatan


mutu Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan;
b. perencanaan, pengadaan, serta pendayagunaan Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat; dan
c. pelindungan kepada Pasien, Tenaga Medis, dan Tenaga
Kesehatan.

Pasal 13
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab
memberdayakan dan mendorong partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan.

Pasal 14
(1) Pemerintah Daerah dalam melaksanakan tanggung
jawabnya harus mengacu pada norma, standar,
prosedur, dan kriteria pembangunan Kesehatan yang
ditetapkan Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan mengenai norma, standar, prosedur, dan
kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB IV
PENYELENGGARAAN KESEHATAN

Pasal 15
(1) Untuk mewujudkan derajat Kesehatan yang setinggi-
tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan Upaya
Kesehatan dalam bentuk:
a. Upaya Kesehatan perseorangan;
b. Upaya Kesehatan masyarakat; dan
c. Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat.
(2) Upaya Kesehatan perseorangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a ditujukan untuk perseorangan dan
keluarga yang bersifat promotif, preventif, kuratif,
dan/atau rehabilitatif.
-15-

(3) Upaya Kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf b ditujukan untuk kelompok dan
masyarakat yang bersifat promotif, preventif, kuratif,
dan/atau rehabilitatif.
(4) Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditujukan
untuk memberdayakan masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan Kesehatan dengan mengutamakan
pendekatan promotif dan preventif.

Pasal 16
(1) Penyelenggaraan Upaya Kesehatan didukung oleh
Sumber Daya Kesehatan.
(2) Sumber Daya Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
b. Sumber Daya Manusia Kesehatan;
c. Perbekalan Kesehatan;
d. Sistem Informasi Kesehatan;
e. Teknologi Kesehatan;
f. pendanaan Kesehatan; dan
g. sumber daya lain yang diperlukan.

Pasal 17
(1) Dalam penyelenggaraan Kesehatan diperlukan
Pengelolaan Kesehatan.
(2) Pengelolaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat melalui
pengelolaan:
a. administrasi Kesehatan;
b. informasi Kesehatan;
c. Sumber Daya Kesehatan;
d. Upaya Kesehatan;
e. pendanaan Kesehatan;
f. peran serta dan pemberdayaan masyarakat;
g. penelitian;
-16-

h. pengembangan;
i. inovasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang Kesehatan; dan
j. pengaturan hukum Kesehatan
yang dilakukan secara terpadu dan saling mendukung
guna menjamin tercapainya derajat Kesehatan yang
setinggi-tingginya.
(3) Pengelolaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara berjenjang di pusat dan daerah
dalam suatu sistem Kesehatan nasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Presiden.

BAB V
UPAYA KESEHATAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 18
(1) Penyelenggaraan Upaya Kesehatan meliputi:
a. Upaya Kesehatan Perseorangan;
b. Upaya Kesehatan Masyarakat;
c. Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat;
d. Kesehatan reproduksi;
e. keluarga berencana;
f. Kesehatan ibu, bayi dan anak, remaja, dan lanjut
usia;
g. Kesehatan penyandang disabilitas;
h. mutu gizi;
i. pelayanan darah;
j. Kesehatan gigi dan mulut;
k. transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, terapi
berbasis sel punca dan sel, implan Obat dan/atau
Alat Kesehatan, dan bedah plastik rekonstruksi dan
estetika;
-17-

l. pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum;


m. bedah mayat;
n. penanggulangan gangguan penglihatan dan
gangguan pendengaran;
o. Upaya Kesehatan jiwa;
p. penanggulangan penyakit menular dan tidak
menular;
q. Kesehatan sekolah;
r. Kesehatan olahraga;
s. Kesehatan lingkungan;
t. Kesehatan kerja;
u. Kesehatan matra;
v. Pelayanan Kesehatan pada bencana;
w. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi, Alat
Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan Rumah
Tangga;
x. pengamanan makanan dan minuman;
y. pengamanan zat adiktif;
z. Pelayanan Kesehatan tradisional; dan/atau
aa. Upaya Kesehatan lainnya.
(2) Upaya Kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf y ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan pembangunan bidang
Kesehatan.

Pasal 19
(1) Penyelenggaraan Upaya Kesehatan dilaksanakan secara
bertanggung jawab, aman, bermutu, merata, dan
nondiskriminatif.
(2) Penyelenggaraan Upaya Kesehatan harus
memperhatikan fungsi sosial, nilai sosial budaya, moral,
dan etika.

Pasal 20
(1) Upaya Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan standar
Pelayanan Kesehatan.
-18-

(2) Ketentuan mengenai standar Pelayanan Kesehatan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 21
(1) Penyelenggaraan Upaya Kesehatan dalam bentuk
pelayanan kesehatan dapat memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi.
(2) Penyelenggaraan Upaya Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. pemberian Pelayanan Kesehatan nonklinis berupa
Telekesehatan; dan
b. pemberian Pelayanan Kesehatan klinis berupa
Telemedisin.
(3) Penyelenggaraan Upaya Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan
memenuhi persyaratan paling sedikit berupa:
a. sumber daya manusia;
b. sarana, prasarana, peralatan; dan
c. aplikasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya
kesehatan yang memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi diatur dalam atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Kedua
Upaya Kesehatan Perseorangan

Pasal 22
Upaya Kesehatan perseorangan diselenggarakan melalui:
a. Pelayanan Kesehatan primer; dan
b. Pelayanan Kesehatan rujukan.

Pasal 23
(1) Pelayanan Kesehatan primer sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 huruf a diselenggarakan sebagai proses
-19-

awal Pelayanan Kesehatan perseorangan secara


komprehensif.
(2) Pelayanan Kesehatan primer sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) termasuk pelayanan skrining dan
imunisasi penyakit dalam ranah Kesehatan
perseorangan, pemantauan tumbuh kembang, diagnostik
dini, kuratif, dan rehabilitatif yang didukung dengan
kegiatan Pelayanan Kesehatan rujukan.
(3) Pelayanan Kesehatan primer sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diselenggarakan oleh Tenaga medis
dan/atau Tenaga Kesehatan sesuai dengan kompetensi
dan kewenangan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan
tingkat pertama.
(4) Pelayanan Kesehatan primer diselenggarakan
berdasarkan kebijakan Pelayanan Kesehatan yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan
memperhatikan masukan dari Pemerintah Daerah
dan/atau masyarakat.
(5) Pelayanan Kesehatan primer sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) didanai oleh perseorangan penerima
Pelayanan Kesehatan atau melalui penjaminan
kesehatan dalam sistem jaminan sosial nasional
dan/atau asuransi komersial.

Pasal 24
(1) Pelayanan Kesehatan rujukan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 huruf b menyelenggarakan pelayanan
spesialistik dan/atau subspesialistik.
(2) Pelayanan Kesehatan rujukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diselenggarakan oleh Tenaga Medis
dan/atau Tenaga Kesehatan sesuai dengan kompetensi
dan kewenangan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan
tingkat lanjut.
(3) Pelayanan Kesehatan rujukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) didanai oleh perseorangan penerima
Pelayanan Kesehatan atau melalui penjaminan
-20-

kesehatan dalam sistem jaminan sosial nasional


dan/atau asuransi komersial.

Pasal 25
(1) Dalam pengembangan Pelayanan Kesehatan rujukan,
Pemerintah Pusat harus mengembangkan pusat
pelayanan unggulan nasional yang berstandar
internasional.
(2) Pengembangan pusat pelayanan unggulan nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan Pelayanan Kesehatan dan
menghadapi persaingan regional dan global.

Pasal 26
(1) Pelayanan Kesehatan primer dan Pelayanan Kesehatan
rujukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
diselenggarakan berkesinambungan melalui sistem
rujukan Pelayanan Kesehatan perseorangan.
(2) Sistem rujukan Pelayanan Kesehatan perseorangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
pembagian dan/atau pelimpahan tugas dan tanggung
jawab Pelayanan Kesehatan berdasarkan kebutuhan
medis Pasien dan kemampuan pelayanan pada setiap
Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
(3) Sistem rujukan Pelayanan Kesehatan perseorangan
dilakukan melalui rujukan secara vertikal dan
horizontal.
(4) Sistem rujukan Pelayanan Kesehatan perseorangan
didukung dengan teknologi informasi dan komunikasi.
(5) Teknologi informasi dan komunikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) memuat data dan informasi
mutakhir mengenai kemampuan pelayanan setiap
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tergabung dalam
sistem rujukan secara terintegrasi.
(6) Selain memuat data dan informasi mutakhir mengenai
kemampuan pelayanan setiap Fasilitas Pelayanan
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
-21-

pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi


sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan terhadap
proses transfer data dan informasi medis Pasien yang
diperlukan untuk proses rujukan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem rujukan
Pelayanan Kesehatan perseorangan diatur dengan
Peraturan Menteri.

Pasal 27
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib
menyediakan akses Pelayanan Kesehatan primer dan
Pelayanan Kesehatan rujukan di seluruh wilayah
Indonesia, termasuk daerah terpencil, perbatasan,
kepulauan, komunitas khusus, lembaga pendidikan
keagamaan dan pesantren, serta daerah yang tidak
diminati swasta.
(2) Penyediaan akses Pelayanan Kesehatan primer dan
Pelayanan Kesehatan rujukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat melibatkan masyarakat atau swasta.
(3) Penyediaan akses Pelayanan Kesehatan primer dan
Pelayanan Kesehatan rujukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mencakup masyarakat miskin dan
masyarakat rentan.
(4) Penyediaan akses Pelayanan Kesehatan primer dan
Pelayanan Kesehatan rujukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pembangunan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat
pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat
lanjut; dan
b. pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia dan
sarana dan prasarana.
(5) Masyarakat atau swasta dapat berpartisipasi untuk
pembangunan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat
pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat
lanjut.
(6) Pembangunan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat
pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat
-22-

lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk


pemenuhan sumber daya manusia dan sarana dan
prasarana.
(7) Pembangunan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat
pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat
lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus
mempertimbangkan kebutuhan Pelayanan Kesehatan di
daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan, termasuk
untuk kebutuhan wahana pendidikan pada pendidikan
formal, serta lembaga pendidikan keagamaan dan
pesantren.
(8) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat
membantu pemenuhan sumber daya manusia untuk
pembangunan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat
pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat
lanjut di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

Bagian Ketiga
Upaya Kesehatan Masyarakat

Pasal 28
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
menyelenggarakan Upaya Kesehatan masyarakat.
(2) Masyarakat dapat menyelenggarakan Upaya Kesehatan
masyarakat bekerja sama dengan Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan kebijakan yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Upaya
Kesehatan masyarakat.

Pasal 29
Upaya Kesehatan masyarakat diselenggarakan melalui:
a. Pelayanan Kesehatan masyarakat primer;
b. Pelayanan Kesehatan masyarakat sekunder; dan
c. Pelayanan Kesehatan masyarakat tersier.
-23-

Pasal 30
(1) Pemerintah Daerah kabupaten/kota menyelenggarakan
Pelayanan Kesehatan masyarakat primer sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 huruf a.
(2) Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan masyarakat
primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit melalui edukasi, surveilans kesehatan, imunisasi,
dan skrining penyakit, pemantauan tumbuh kembang,
serta pelaksanaan program pemerintah yang
berhubungan dengan prioritas pembangunan Kesehatan.
(3) Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan masyarakat
primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didelegasikan kepada Puskesmas dan/atau Fasilitas
Pelayanan Kesehatan tingkat pertama lainnya.
(4) Puskesmas dan/atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan
tingkat pertama lainnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan
masyarakat primer secara terintegrasi yang didukung
dengan teknologi informasi dan komunikasi.
(5) Puskesmas berfungsi sebagai koordinator
penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan masyarakat
primer.

Pasal 31
(1) Pemerintah Daerah kabupaten/kota dan/atau
Pemerintah Daerah provinsi menyelenggarakan
Pelayanan Kesehatan masyarakat sekunder sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 huruf b.
(2) Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan masyarakat
sekunder oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. perencanaan, pengelolaan, serta monitoring dan
evaluasi program;
b. pengelolaan dan distribusi Sumber Daya Kesehatan
di tingkat kabupaten/kota;
-24-

c. pemberian fasilitas dalam bentuk pendanaan,


sarana, teknologi, dan sumber daya manusia
Kesehatan; dan
d. intervensi Pelayanan Kesehatan masyarakat yang
tidak dapat dilakukan oleh Puskesmas.
(3) Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan masyarakat
sekunder oleh Pemerintah Daerah provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. perencanaan, pengelolaan, serta monitoring dan
evaluasi program;
b. pengelolaan dan distribusi Sumber Daya Kesehatan
di tingkat provinsi;
c. pemberian fasilitas dalam bentuk pendanaan,
sarana, teknologi, dan sumber daya manusia
Kesehatan; dan
d. koordinasi dan supervisi Pelayanan Kesehatan
masyarakat lintas kabupaten/kota di dalam wilayah
provinsi.

Pasal 32
(1) Pemerintah Daerah provinsi menyelenggarakan
Pelayanan Kesehatan masyarakat tersier sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 huruf c.
(2) Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan masyarakat
tersier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui:
a. pemberian fasilitas dalam bentuk pendanaan,
sarana, teknologi, dan sumber daya manusia
Kesehatan;
b. penanggulangan Wabah dan bencana;
c. penelitian dan pengembangan Kesehatan; dan
d. asistensi teknis pelaksanaan Pelayanan Kesehatan
masyarakat.
(3) Penelitian dan pengembangan Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat bekerja sama
dengan institusi pendidikan dan institusi penelitian.
-25-

Pasal 33
Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Pelayanan
Kesehatan masyarakat bertanggung jawab untuk:
a. perencanaan strategis nasional;
b. penetapan kebijakan nasional;
c. penetapan standar mutu;
d. perencanaan dan penetapan prioritas riset Pelayanan
Kesehatan masyarakat secara nasional;
e. penelitian dan pengembangan Kesehatan; dan
f. penyediaan Sumber Daya Kesehatan yang bersifat
strategis.

Bagian Keempat
Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat

Pasal 34
(1) Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat
merupakan wahana pemberdayaan masyarakat bidang
Kesehatan yang dibentuk atas dasar kebutuhan
masyarakat, dikelola oleh, dari, untuk, dan bersama
masyarakat, serta dapat difasilitasi oleh Pemerintah
Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dengan melibatkan
sektor lain yang terkait.
(2) Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat dapat
berupa pos pelayanan terpadu.
(3) Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat dilakukan
melalui pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan
pengetahuan, kesadaran, dan kemampuan individu,
keluarga, kelompok, serta masyarakat dalam rangka
menciptakan kemandirian masyarakat dalam
mengorganisasikan penyelesaian masalah Kesehatan.
(4) Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
kader, tenaga pendamping, dan/atau masyarakat.
-26-

Pasal 35
Penyelenggaraan Upaya Kesehatan bersumber daya
masyarakat dapat didahului dengan bimbingan teknis oleh
tenaga pendamping yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah
dan/atau Puskesmas.

Pasal 36
Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan bersumber daya
masyarakat, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat
memberikan penghargaan dan/atau insentif kepada kader,
tenaga pendamping, dan/atau masyarakat.

Pasal 37
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab
membuka akses informasi dan dialog, menyiapkan
masyarakat melalui pembekalan pengetahuan dan
keterampilan, memberikan dukungan sumber daya untuk
membangun kemandirian dalam Upaya Kesehatan, dan
mendorong terbentuknya Upaya Kesehatan bersumber daya
masyarakat.

Bagian Kelima
Kesehatan Reproduksi

Pasal 38
(1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara
fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata
bebas dari penyakit atau disabilitas yang berkaitan
dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-
laki dan perempuan.
(2) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan
sesudah melahirkan;
b. Pengaturan kehamilan, pelayanan kontrasepsi, dan
kesehatan seksual; dan
c. kesehatan sistem reproduksi.
-27-

Pasal 39
Setiap Orang berhak:
a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual
yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau
kekerasan dengan pasangan yang sah;
b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari
diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan, yang
menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan
martabat manusia sesuai dengan norma agama;
c. menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin
bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan
dengan norma agama; dan
d. memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai
kesehatan reproduksi yang benar dan dapat
dipertanggungjawabkan.

Pasal 40
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menjamin
ketersediaan sarana informasi dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan dalam penyelenggaraan Kesehatan reproduksi
yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk
keluarga berencana.

Pasal 41
(1) Setiap Pelayanan Kesehatan reproduksi yang bersifat
promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif,
termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara
aman dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek
yang khas, khususnya reproduksi perempuan.
(2) Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan reproduksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesehatan reproduksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
-28-

Pasal 42
(1) Setiap Orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia
dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu
dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik
berat, dan/atau cacat bawaan, atau yang tidak dapat
diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup
di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan.
(3) Aborsi yang dapat dikecualikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 14 (empat belas) minggu
dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali
dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh Tenaga Medis yang memiliki kompetensi dan
kewenangan;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(4) Aborsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat
dilakukan setelah melalui konseling dan/atau
penasihatan pratindakan dan diakhiri dengan konseling
pascatindakan yang dilakukan oleh konselor yang
kompeten dan berwenang.

Pasal 43
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib melindungi
dan mencegah perempuan dari tindakan aborsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) sampai dengan ayat (4)
yang tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta
bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
-29-

Pasal 4 4
Ketentuan lebih lanjut mengenai aborsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Keluarga Berencana

Pasal 45
(1) Pelayanan Kesehatan dalam keluarga berencana
dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi
pasangan usia subur untuk membentuk generasi
penerus yang sehat dan cerdas.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab atas ketersediaan Sumber Daya Kesehatan yang
diperlukan dalam memberikan pelayanan keluarga
berencana yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh
masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai pelayanan keluarga berencana
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Bagian Ketujuh
Kesehatan Ibu, Bayi dan Anak, Remaja, dan Lanjut Usia

Paragraf 1
Kesehatan Ibu

Pasal 46
(1) Upaya Kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga
Kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi
yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka
kematian ibu.
(2) Upaya Kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif.
-30-

(3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin


ketersediaan Sumber Daya Kesehatan yang diperlukan
dalam penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan ibu secara
aman, bermutu, dan terjangkau.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pelayanan Kesehatan
ibu diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 47
(1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat
dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan
ketentuan:
a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri
yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri
dari mana ovum berasal;
b. dilakukan oleh Tenaga Medis yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu; dan
c. pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan kehamilan
di luar cara alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 2
Kesehatan Bayi dan Anak

Pasal 48
(1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu
eksklusif baik secara langsung maupun tidak langsung
sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas
indikasi medis.
(2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga,
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat wajib mendukung ibu bayi secara penuh
dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
(3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan di ruang
publik.
-31-

Pasal 49
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab menetapkan kebijakan dalam rangka menjamin
hak bayi untuk mendapatkan air susu ibu eksklusif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai air susu ibu eksklusif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 50
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab untuk memberikan imunisasi lengkap kepada
setiap bayi dan anak.
(2) Setiap bayi dan anak berhak memperoleh imunisasi
untuk memberikan pelindungan dari penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian imunisasi
dan jenis imunisasi diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 51
(1) Upaya pemeliharaan Kesehatan bayi dan anak harus
ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang sehat,
cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka
kesakitan dan kematian bayi dan anak.
(2) Upaya pemeliharaan Kesehatan bayi dan anak dilakukan
sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah
dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun.
(3) Upaya pemeliharaan Kesehatan bayi dan anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bagi
orang tua, keluarga, masyarakat, Pemerintah Daerah,
dan Pemerintah Pusat.

Pasal 52
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus menjamin
setiap anak yang dilahirkan mendapatkan Pelayanan
Kesehatan sesuai dengan standar agar dapat hidup, tumbuh,
dan berkembang secara optimal.
-32-

Pasal 53
(1) Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar
dari segala bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan
yang dapat mengganggu Kesehatan bayi dan anak.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban
menjamin terselenggaranya pelindungan bayi dan anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyediakan
Pelayanan Kesehatan sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 54
(1) Pemerintah Pusat menetapkan standar dan/atau kriteria
Kesehatan bayi dan anak.
(2) Standar dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diselenggarakan sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai sosial budaya, dan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 55
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab menyediakan tempat dan sarana lain yang
diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan
anak tumbuh dan berkembang secara optimal serta
mampu bersosialisasi secara sehat.
(2) Tempat bermain dan sarana lain yang diperlukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi sarana
pelindungan terhadap risiko Kesehatan agar tidak
membahayakan Kesehatan anak.

Paragraf 3
Kesehatan Remaja

Pasal 56
(1) Upaya pemeliharaan Kesehatan remaja ditujukan untuk
mempersiapkan menjadi orang dewasa yang sehat dan
produktif.
(2) Upaya pemeliharaan Kesehatan remaja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), termasuk untuk Kesehatan
-33-

reproduksi remaja dilakukan agar terbebas dari berbagai


gangguan Kesehatan yang dapat menghambat
kemampuan menjalani kehidupan reproduksi secara
sehat.
(3) Upaya pemeliharaan Kesehatan remaja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

Pasal 57
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab melakukan pembinaan dan menjamin agar anak
usia sekolah dan remaja dapat memperoleh edukasi,
informasi, dan pelayanan mengenai Kesehatan remaja
agar mampu hidup sehat dan bertanggung jawab.
(2) Tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai
sosial budaya, dan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pembinaan anak usia sekolah dan remaja harus
ditujukan untuk menyiapkan anak usia sekolah dan
remaja menjadi orang dewasa yang sehat, cerdas, dan
produktif.

Paragraf 4
Kesehatan Lanjut Usia

Pasal 58
(1) Upaya pemeliharaan Kesehatan bagi lanjut usia
ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan
produktif sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab menjamin ketersediaan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan dan memfasilitasi kelompok lanjut usia untuk
dapat tetap hidup mandiri dan produktif.
(3) Upaya pemeliharaan Kesehatan bagi lanjut usia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
-34-

Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau


masyarakat.

Bagian Kedelapan
Kesehatan Penyandang Disabilitas

Pasal 59
(1) Upaya pemeliharaan Kesehatan penyandang disabilitas
ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat,
produktif, dan bermartabat.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab menjamin hak penyandang disabilitas untuk
memperoleh aksesibilitas atas Fasilitas Pelayanan
Kesehatan serta memperoleh kesamaan dan kesempatan
mendapatkan Pelayanan Kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau.
(3) Upaya pemeliharaan Kesehatan bagi penyandang
disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
dan/atau masyarakat.

Bagian Kedelapan
Mutu Gizi

Pasal 60
(1) Upaya pemenuhan gizi masyarakat ditujukan untuk
peningkatan mutu gizi perseorangan dan masyarakat.
(2) Peningkatan mutu gizi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui:
a. perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai
dengan gizi seimbang;
b. perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan
Kesehatan;
c. peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang
sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi; dan
d. peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.
-35-

(3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin


tersedianya bahan makanan yang mempunyai nilai gizi
tinggi secara merata dan terjangkau.
(4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab menjaga bahan makanan agar memenuhi standar
mutu gizi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(5) Penyediaan bahan makanan yang mempunyai nilai gizi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara
lintas sektor dan antarprovinsi, antarkabupaten, atau
antarkota.

Pasal 61
(1) Upaya pemenuhan gizi dilakukan pada seluruh siklus
kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut
usia dengan prioritas kepada:
a. bayi dan balita;
b. remaja perempuan; dan
c. ibu hamil dan menyusui.
(2) Pemerintah Pusat bertanggung jawab menetapkan
standar angka kecukupan gizi dan standar pelayanan
gizi pada berbagai tingkat pelayanan.
(3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab atas pemenuhan kecukupan gizi pada keluarga
miskin dan dalam situasi darurat.
(4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab terhadap pendidikan dan informasi yang benar
tentang gizi kepada masyarakat.
(5) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat
melakukan upaya bersama untuk mencapai status gizi
yang baik.

Pasal 62
(1) Upaya perbaikan gizi dilakukan melalui surveilans gizi,
pendidikan gizi, tata laksana gizi, dan suplementasi gizi.
(2) Surveilans gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kegiatan analisis secara sistematis dan terus
-36-

menerus terhadap masalah gizi dan indikator pembinaan


gizi agar dapat dilakukan respons dan penanggulangan
secara efektif dan efisien terhadap masalah gizi.
(3) Pendidikan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui komunikasi, informasi, dan edukasi
dalam rangka menerapkan perilaku gizi seimbang.
(4) Tata laksana gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan rangkaian tindakan yang bertujuan untuk
perbaikan atau pemulihan pada gagal tumbuh, berat
badan kurang, gizi kurang, gizi buruk, tengkes (stunting),
gizi berlebih, dan defisiensi mikronutrien serta masalah
gizi akibat penyakit.
(5) Suplementasi gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditujukan untuk memenuhi kecukupan gizi masyarakat
dengan prioritas pada bayi dan balita, anak sekolah, ibu
hamil, ibu nifas, remaja perempuan, dan pekerja wanita.

Pasal 63
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab melakukan intervensi dalam rangka upaya
pemenuhan perbaikan gizi.
(2) Intervensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui koordinasi, sinergi, dan sinkronisasi
antara kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah,
pemerintah desa, dan pemangku kepentingan.

Pasal 64
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan
pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap peningkatan
status gizi.

Bagian Kesembilan
Pelayanan Darah
-37-

Pasal 65
(1) Pelayanan darah merupakan Upaya Kesehatan yang
memanfaatkan darah manusia sebagai bahan dasar
dengan tujuan kemanusiaan dan tidak untuk tujuan
komersial.
(2) Darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh
dari pendonor darah sukarela yang sehat dan memenuhi
kriteria seleksi pendonor dengan mengutamakan
Kesehatan pendonor.
(3) Darah yang diperoleh dari pendonor darah sukarela
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebelum digunakan
untuk pelayanan darah harus dilakukan pemeriksaan
laboratorium untuk menjaga mutu dan keamanan darah.

Pasal 66
(1) Penyelenggaraan donor darah dan pengolahan darah
dilakukan oleh unit transfusi darah.
(2) Unit transfusi darah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
dan/atau organisasi masyarakat yang tugas pokok dan
fungsinya di bidang kepalangmerahan.

Pasal 67
(1) Pelayanan transfusi darah meliputi perencanaan,
pengerahan pendonor darah, penyediaan,
pendistribusian darah, dan tindakan medis pemberian
darah kepada Pasien untuk tujuan penyembuhan
penyakit dan pemulihan Kesehatan.
(2) Pelaksanaan pelayanan transfusi darah dilakukan
dengan menjaga keselamatan dan Kesehatan penerima
darah, Tenaga Medis, dan Tenaga Kesehatan dari
penularan penyakit melalui transfusi darah.

Pasal 68
Standar dan persyaratan pengelolaan darah untuk pelayanan
transfusi darah ditetapkan oleh Menteri.
-38-

Pasal 69
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab atas pelaksanaan pelayanan darah yang aman,
mudah diakses, dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin
pembiayaan dalam penyelenggaraan pelayanan darah.
(3) Darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apa pun.

Pasal 70
(1) Komponen darah dapat digunakan untuk tujuan
penyembuhan penyakit dan pemulihan Kesehatan
melalui pengolahan dan produksi.
(2) Pengumpulan darah untuk kepentingan pengolahan dan
produksi, termasuk industri fraksionasi plasma dapat
dilakukan dengan persetujuan pendonor.
(3) Pemerintah Pusat menetapkan biaya pengolahan darah.

Pasal 71
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan darah diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesepuluh
Kesehatan Gigi dan Mulut

Pasal 72
(1) Pelayanan Kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk
memelihara dan meningkatkan derajat Kesehatan
masyarakat.
(2) Pelayanan kesehatan gigi dan mulut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk
peningkatan Kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi,
pengobatan penyakit gigi, dan pemulihan Kesehatan gigi.
(3) Pelayanan kesehatan gigi dan mulut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
-39-

(4) Pelayanan Kesehatan gigi dan mulut sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui unit
Pelayanan Kesehatan gigi dan/atau usaha Kesehatan
sekolah.

Bagian Kesebelas
Transplantasi Organ dan/atau Jaringan Tubuh, Terapi
Berbasis Sel Punca dan Sel, Implan Obat dan/atau Alat
Kesehatan, dan Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetika

Paragraf 1
Umum

Pasal 73
Dalam rangka penyembuhan penyakit dan pemulihan
Kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan/atau
jaringan tubuh, terapi berbasis sel punca dan sel, implan
Obat dan/atau Alat Kesehatan, dan bedah plastik
rekonstruksi dan estetika.

Paragraf 2
Transplantasi Organ dan/atau Jaringan Tubuh

Pasal 74
(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh dilakukan
untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan
Kesehatan.
(2) Organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilarang dikomersialkan atau
diperjualbelikan dengan dalih apapun.

Pasal 75
(1) Pendonor pada transplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh terdiri atas:
a. pendonor hidup; dan
b. pendonor mati batang otak.
-40-

(2) Pendonor hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


huruf a merupakan:
a. pendonor yang organ dan/atau jaringannya diambil
pada saat yang bersangkutan masih hidup atas
persetujuan yang bersangkutan; dan
b. pendonor yang semasa hidupnya menyatakan akan
mendonorkan organ dan/atau jaringannya ketika
yang bersangkutan sudah mati.
(3) Pendonor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
tidak memerlukan persetujuan keluarga.
(4) Pendonor mati batang otak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan pendonor yang organ dan/atau
jaringannya diambil pada saat yang bersangkutan telah
dinyatakan mati batang otak oleh Tenaga Medis di
Rumah Sakit.
(5) Pengambilan organ dan/atau jaringan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan persetujuan
keluarga.

Pasal 76
(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh
merupakan tindakan pemindahan organ dan/atau
jaringan tubuh dari pendonor kepada resipien sesuai
dengan kebutuhan medis.
(2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya
dapat dilakukan oleh Tenaga Medis yang mempunyai
keahlian dan kewenangan.
(3) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang ditetapkan oleh
Menteri.

Pasal 77
Seseorang dinyatakan mati sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 ayat (2) huruf b apabila fungsi sistem jantung-
sirkulasi dan sistem pernafasan terbukti telah berhenti secara
-41-

permanen atau apabila kematian batang otak telah dapat


dibuktikan.

Pasal 78
(1) Setiap orang berhak menjadi resipien transplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh.
(2) Resipien transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan kedaruratan medis dan/atau
keberlangsungan hidup.
(3) Penetapan kedaruratan medis dan/atau
keberlangsungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan secara adil, transparan, dan
bertanggung jawab.

Pasal 79
(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh dari
pendonor hidup harus memperhatikan Kesehatan
pendonor yang bersangkutan.
(2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh dilakukan
melalui kegiatan:
a. pendaftaran calon pendonor dan calon resipien di
bank organ dan/atau jaringan melalui Fasilitas
Pelayanan Kesehatan;
b. pemeriksaan kelayakan calon pendonor dilihat dari
segi kesehatan, psikologis, dan sosio yuridis;
c. pemeriksaan kecocokan antara pendonor dan
resipien organ dan/atau jaringan tubuh; dan
d. operasi transplantasi dan penanganan pascaoperasi
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh.

Pasal 80
(1) Menteri berwenang mengelola pelayanan transplantasi
organ dan/atau jaringan tubuh.
(2) Kewenangan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan:
-42-

a. membentuk sistem informasi transplantasi organ


dan/atau jaringan tubuh;
b. sosialisasi dan peningkatan peran serta masyarakat
sebagai pendonor organ dan/atau jaringan tubuh
demi kepentingan kemanusiaan dan pemulihan
Kesehatan;
c. pengelolaan data pendonor dan resipien organ
dan/atau jaringan tubuh; dan
d. pendidikan dan penelitian yang menunjang kegiatan
pelayanan transplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh.
(3) Dalam melaksanakan pengelolaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri bekerja sama dengan
kementerian/lembaga terkait dan Pemerintah Daerah.

Pasal 81
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan/atau resipien
dapat memberikan penghargaan kepada pendonor
transplantasi organ.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada pendonor dan/atau ahli waris
pendonor.

Pasal 82
(1) Untuk mendukung pelaksanaan peningkatan upaya
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, Presiden
membentuk komite transplantasi.
(2) Komite transplantasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.
(3) Keanggotaan komite transplantasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terdiri atas 19 (sembilan belas)
orang yang berasal dari unsur:
a. 2 (dua) orang yang berasal dari kementerian yang
membidangi urusan pemerintahan di bidang
kesehatan;
-43-

b. 12 (dua belas) orang yang berasal dari perwakilan


organisasi perhimpunan praktik layanan profesi
Tenaga Medis yang terkait;
c. 2 (dua) orang yang berasal dari perwakilan Rumah
Sakit yang dapat melaksanakan transplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh; dan
d. 3 (tiga) orang yang berasal dari tokoh masyarakat,
tokoh agama, dan pegiat pelindungan konsumen di
bidang kesehatan.
(4) Masa tugas keanggotaan komite transplantasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku selama 3
(tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai komite transplantasi
diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 83
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 74 sampai dengan Pasal 81 diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3
Terapi Berbasis Sel dan/atau Sel Punca

Pasal 84
(1) Terapi berbasis sel dan/atau sel punca yang berasal dari
manusia atau hewan dapat dilakukan apabila terbukti
keamanan dan kemanfaatannya.
(2) Terapi berbasis sel dan/atau sel punca sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk penyembuhan
penyakit dan pemulihan Kesehatan.
(3) Terapi berbasis sel dan/atau sel punca sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk reproduksi.
(4) Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
boleh berasal dari sel punca embrionik.
-44-

Pasal 85
Ketentuan lebih lanjut mengenai terapi berbasis sel dan/atau
sel punca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 4
Implan Obat dan/atau Alat Kesehatan

Pasal 86
(1) Pemasangan implan Obat dan/atau Alat Kesehatan ke
dalam tubuh manusia hanya dapat dilakukan oleh
Tenaga Medis yang mempunyai keahlian dan
kewenangan serta dilakukan di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara
penyelenggaraan pemasangan implan Obat dan/atau
Alat Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan, standar
profesi, dan standar prosedur operasional.

Paragraf 5
Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetika

Pasal 87
(1) Bedah plastik rekonstruksi dan estetika hanya dapat
dilakukan oleh Tenaga Medis yang mempunyai keahlian
dan kewenangan.
(2) Bedah plastik rekonstruksi dan estetika tidak boleh
bertentangan dengan norma yang berlaku dalam
masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah
identitas dengan maksud melawan hukum atau
melakukan kejahatan.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastik
rekonstruksi dan estetika sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
-45-

Bagian Kedua Belas


Pelayanan Kedokteran untuk Kepentingan Hukum

Pasal 88
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab dalam penyelenggaraan pelayanan kedokteran
untuk kepentingan hukum.
(2) Penyelenggaraan pelayanan kedokteran untuk
kepentingan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditujukan untuk memperoleh fakta dan temuan yang
dapat digunakan sebagai dasar dalam memberikan
keterangan ahli.
(3) Penyelenggaraan pelayanan kedokteran untuk
kepentingan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang
memenuhi persyaratan.
(4) Permintaan dan tata cara pemberian pelayanan
kedokteran untuk kepentingan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 89
(1) Pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum terdiri
atas:
a. pelayanan kedokteran terhadap orang hidup; dan
b. pelayanan kedokteran terhadap orang mati.
(2) Pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum
terhadap orang hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a ditujukan untuk mengetahui keadaan dan
sifat kecederaan, penyebab kecederaan, adanya
kekerasan/hubungan seksual, dampak terhadap
Kesehatan, baik fisik maupun jiwa, kecakapan hukum
seseorang, dan temuan lain yang berhubungan dengan
tindak pidana dan pelakunya.
(3) Pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum
terhadap orang mati sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dilakukan terhadap mayat yang kematiannya
-46-

diduga merupakan akibat atau berhubungan dengan


suatu tindak pidana atau kepentingan hukum lainnya.
(4) Dalam rangka melakukan pelayanan kedokteran untuk
kepentingan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), dapat dilakukan bedah mayat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau
pemeriksaan laboratorium dan pencitraan
pascakematian (virtual autopsy).
(5) Pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (4)
dilakukan oleh Tenaga Medis sesuai dengan keahlian
dan kewenangannya.

Pasal 90
(1) Untuk kepentingan penegakan hukum dan administratif
kependudukan, setiap orang yang mati harus
diupayakan untuk diketahui sebab kematian dan
identitasnya.
(2) Dalam rangka upaya penentuan sebab kematian
seseorang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan audit kematian termasuk autopsi verbal,
bedah mayat klinis, dan/atau pemeriksaan laboratorium
dan pencitraan pascakematian (virtual autopsy).
(3) Pelaksanaan bedah mayat klinis atau pemeriksaan
laboratorium dan pencitraan pascakematian (virtual
autopsy) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
dilakukan dengan persetujuan keluarga.
(4) Dalam rangka upaya penentuan identitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan upaya
identifikasi mayat sesuai dengan standar.
(5) Dalam hal jasad orang yang mati tidak diketahui
identitas diri dan keluarganya, pelaksanaan upaya
penentuan sebab kematian dapat dilakukan kegiatan
penelitian, pendidikan dan pelatihan, termasuk bedah
mayat anatomis secara terpadu.
-47-

Pasal 91
Tindakan bedah mayat oleh Tenaga medis harus dilakukan
sesuai dengan norma sosial budaya, norma kesusilaan, dan
etika profesi.

Pasal 92
Biaya pemeriksaan Kesehatan terhadap korban tindak pidana
dan/atau pemeriksaan mayat untuk kepentingan hukum
ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
melalui anggaran pendapatan dan belanja negara dan
anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pasal 93
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kedokteran untuk
kepentingan hukum diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga Belas


Bedah Mayat

Pasal 94
(1) Pelaksanaan bedah mayat juga dapat dilakukan untuk
kepentingan pendidikan dalam bentuk bedah mayat
anatomis.
(2) Bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan terhadap:
a. mayat yang tidak dikenal atau mayat yang tidak
diurus oleh keluarganya;
b. mayat yang semasa hidupnya telah memberikan
persetujuan tertulis; atau
c. mayat yang telah disetujui tertulis oleh keluarganya
atau yang mewakili.
(3) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditujukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau
menyimpulkan penyebab kematian.
(4) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan atas persetujuan tertulis pasien semasa
-48-

hidupnya atau persetujuan tertulis keluarga terdekat


pasien.
(5) Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang
membahayakan masyarakat, bedah mayat klinis
mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis
dan/atau mengungkap penyebab kematiannya, dan
tidak diperlukan persetujuan.

Pasal 95
(1) Untuk kepentingan pendidikan di bidang ilmu
kedokteran dan biomedik dapat dilakukan bedah mayat
anatomis di rumah sakit pendidikan atau di institusi
pendidikan kedokteran.
(2) Mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus telah
diawetkan, dipublikasikan untuk dicarikan keluarganya,
dan disimpan paling lama 1 (satu) bulan sejak
kematiannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bedah mayat anatomis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat Belas


Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan
Gangguan Pendengaran

Pasal 96
(1) Penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan
pendengaran merupakan semua kegiatan yang dilakukan
meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan/atau
rehabilitatif.
(2) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
-49-

Pasal 97
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan gangguan
penglihatan dan pendengaran diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima Belas


Upaya Kesehatan Jiwa

Pasal 98
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab menciptakan kondisi Kesehatan jiwa yang setinggi-
tingginya dan menjamin ketersediaan, aksesibilitas,
mutu, dan pemerataan Upaya Kesehatan jiwa.
(2) Upaya Kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada
ayat ( 1 ) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif.
(3) Upaya Kesehatan jiwa diselenggarakan agar Setiap Orang
mencapai Kesehatan jiwa yang menjamin perkembangan
fisik, mental, spiritual, dan sosialnya sehingga dapat
menyadari kemampuan sendiri, mampu mengatasi
tekanan, bekerja secara produktif, dan memberikan
kontribusi untuk komunitasnya.
(4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bersama
masyarakat bertanggung jawab menyelenggarakan
Upaya Kesehatan Jiwa.
(5) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban
untuk mengembangkan Upaya Kesehatan jiwa berbasis
masyarakat sebagai bagian dari Upaya Kesehatan jiwa
keseluruhan, termasuk mempermudah akses
masyarakat terhadap Pelayanan Kesehatan jiwa.

Pasal 99
Upaya Kesehatan Jiwa diselenggarakan untuk:
a. menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup
yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat,
bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang
dapat mengganggu Kesehatan Jiwa;
-50-

b. menjamin setiap orang dapat mengembangkan berbagai


potensi kecerdasan;
c. memberikan pelindungan dan menjamin pelayanan
Kesehatan Jiwa bagi orang dengan masalah kejiwaan dan
orang dengan gangguan jiwa berdasarkan hak asasi
manusia;
d. memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi,
komprehensif, dan berkesinambungan melalui upaya
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi orang
dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan
jiwa;
e. menjamin ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya
dalam Upaya Kesehatan Jiwa;
f. meningkatkan mutu Upaya Kesehatan Jiwa sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
g. memberikan kesempatan kepada orang dengan masalah
kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa untuk dapat
memperoleh haknya sebagai Warga Negara Indonesia.

Pasal 100
Kesehatan Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98
merupakan kondisi seorang individu dapat berkembang
secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu
tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi
tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu
memberikan kontribusi untuk komunitasnya.

Pasal 101
(1) Masyarakat berhak mendapatkan informasi dan edukasi
yang benar mengenai Kesehatan jiwa.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan
untuk mencegah terjadinya risiko masalah kejiwaan atau
gangguan jiwa serta mencegah terjadinya pelanggaran
hak asasi seseorang yang mengalami masalah kejiwaan
atau gangguan jiwa.
-51-

(3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung


jawab menyediakan layanan informasi dan edukasi
tentang Kesehatan jiwa.

Pasal 102
(1) Upaya Kesehatan Jiwa dilaksanakan oleh Tenaga Medis,
Tenaga Kesehatan, serta tenaga lain yang memiliki
keahlian dan kewenangan dengan tetap menghormati
hak asasi Pasien.
(2) Upaya Kesehatan Jiwa dilaksanakan di fasilitas
pelayanan di bidang kesehatan jiwa yang memenuhi
syarat dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 103
(1) Fasilitas pelayanan di bidang Kesehatan jiwa meliputi:
a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
b. Fasilitas Pelayanan di luar sektor Kesehatan dan
fasilitas pelayanan berbasis masyarakat.
(2) Fasilitas pelayanan di luar sektor Kesehatan dan fasilitas
pelayanan berbasis masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dapat menyelenggarakan upaya
perawatan orang dengan gangguan jiwa dengan cara
bekerja sama dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang
ada di wilayahnya.
(3) Fasilitas Pelayanan di luar sektor Kesehatan dan
Fasilitas Pelayanan berbasis masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memiliki izin dan
memenuhi persyaratan keamanan, keselamatan,
kenyamanan, dan kemudahan.
(4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab untuk melakukan pengawasan terhadap fasilitas
pelayanan di luar sektor Kesehatan dan fasilitas
pelayanan berbasis masyarakat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, persyaratan,
dan pengawasan fasilitas pelayanan di luar sektor
-52-

Kesehatan dan fasilitas pelayanan berbasis masyarakat


diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 104
(1) Penatalaksanaan orang dengan gangguan jiwa yang
dilakukan secara rawat inap harus mendapatkan
persetujuan tindakan secara tertulis dari orang dengan
gangguan jiwa yang bersangkutan.
(2) Dalam hal orang dengan gangguan jiwa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dianggap tidak cakap dalam
membuat keputusan, persetujuan tindakan dapat
diberikan oleh:
a. Suami atau istri;
b. orang tua;
c. anak atau saudara sekandung yang paling sedikit
berusia 18 (delapan belas) tahun.
d. wali atau pengampu; atau
e. pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal orang dengan gangguan jiwa dianggap tidak
cakap dan pihak yang memberikan persetujuan tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada, tindakan
medis yang ditujukan untuk mengatasi kondisi
kedaruratan dapat diberikan tanpa persetujuan.
(4) Penentuan kecakapan orang dengan gangguan jiwa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
dokter spesialis kedokteran jiwa atau dokter yang
memberikan layanan medis saat itu.
(5) Orang dengan gangguan jiwa yang telah dilakukan
penyembuhan berhak menentukan tindakan medis yang
akan dilakukannya.

Pasal 105
(1) Penatalaksanaan terhadap orang dengan gangguan jiwa
dengan cara lain di luar penatalaksanaan oleh Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan hanya dapat dilakukan
apabila manfaat dan keamanannya dapat
-53-

dipertanggungjawabkan serta tidak bertentangan dengan


norma sosial budaya.
(2) Penatalaksanaan terhadap orang dengan gangguan jiwa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibina dan diawasi
oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar
manfaat dan keamanannya dapat
dipertanggungjawabkan.

Pasal 106
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab
melakukan penanganan terhadap orang dengan gangguan
jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan
dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu
ketertiban dan/atau keamanan umum.

Pasal 107
(1) Orang dengan gangguan jiwa mempunyai hak yang sama
sebagai warga negara.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
persamaan perlakuan dalam setiap aspek kehidupan,
kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan
lain.
(3) Setiap orang dilarang melakukan pemasungan,
penelantaran, kekerasan, dan/atau menyuruh orang lain
untuk melakukan pemasungan, penelantaran, dan/atau
kekerasan terhadap penderita gangguan jiwa atau
tindakan lainnya yang melanggar hak asasi penderita
gangguan jiwa.

Pasal 108
(1) Untuk kepentingan penegakan hukum, seseorang yang
diduga orang dengan gangguan jiwa yang melakukan
tindak pidana harus mendapatkan pemeriksaan
Kesehatan jiwa.
(2) Pemeriksaan Kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan untuk:
-54-

a. menentukan kemampuan seseorang dalam


mempertanggungjawabkan tindak pidana yang telah
dilakukannya; dan/atau
b. menentukan kecakapan hukum seseorang untuk
menjalani proses peradilan.

Pasal 109
(1) Untuk kepentingan keperdataan, seseorang yang diduga
kehilangan kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum harus mendapatkan pemeriksaan Kesehatan
jiwa.
(2) Prosedur penentuan kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 110
(1) Pemeriksaan Kesehatan jiwa untuk kepentingan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 dan Pasal 106
dilakukan oleh tim.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh
dokter spesialis kedokteran jiwa dan dapat melibatkan
dokter spesialis lain, dokter umum, dan/atau psikolog
umum, psikolog spesialis, dan psikolog subspesialis.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pemeriksaan
Kesehatan jiwa untuk kepentingan hukum diatur dalam
Peraturan Menteri.

Pasal 111
(1) Untuk melaksanakan pekerjaan tertentu atau
menduduki jabatan tertentu, wajib dilakukan
pemeriksaan Kesehatan jiwa.
(2) Pemeriksaan Kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilakukan sebelum melaksanakan
pekerjaan tertentu atau menduduki jabatan tertentu
sesuai dengan kebutuhan.
-55-

(3) Dalam hal diperlukan, pemeriksaan Kesehatan jiwa


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan
selama dan sesudah melaksanakan pekerjaan tertentu
atau menduduki jabatan tertentu sesuai dengan
kebutuhan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pemeriksaan
Kesehatan jiwa untuk kepentingan pekerjaan atau
jabatan tertentu diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 112
(1) Pemerintah Pusat bertanggung jawab menyediakan
Rumah Sakit dengan pelayanan Kesehatan jiwa yang
berfungsi sebagai pusat rujukan pelayanan Kesehatan
jiwa nasional.
(2) Pemerintah Daerah provinsi bertanggung jawab
menyediakan Rumah Sakit dengan unggulan Pelayanan
Kesehatan jiwa.
(3) Pemerintah Pusat dapat membantu Pemerintah Daerah
provinsi dalam mendirikan Rumah Sakit dengan
pelayanan Kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).

Pasal 113
(1) Setiap Rumah Sakit dengan pelayanan Kesehatan jiwa
wajib menyediakan layanan untuk Pasien narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif.
(2) Setiap Rumah Sakit dengan pelayanan Kesehatan jiwa
wajib menyediakan ruangan khusus untuk anak, wanita,
dan lanjut usia.

Pasal 114
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Kesehatan jiwa diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam Belas


Penanggulangan Penyakit Menular dan Tidak Menular
-56-

Paragraf 1
Umum

Pasal 115
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat
bertanggung jawab melakukan penanggulangan penyakit
menular dan penyakit tidak menular.
(2) Penanggulangan penyakit menular dan penyakit tidak
menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui Upaya Kesehatan perseorangan dan Upaya
Kesehatan masyarakat yang dilaksanakan secara
terkoordinasi, terpadu, dan berkesinambungan.

Pasal 116
(1) Dalam hal kejadian penyakit menular dan penyakit tidak
menular tertentu menjadi permasalahan kesehatan
masyarakat, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
menetapkan program penanggulangan penyakit menular
dan penyakit tidak menular tertentu sebagai prioritas
nasional atau daerah.
(2) Pemerintah Daerah dalam menetapkan program
penanggulangan penyakit menular dan penyakit tidak
menular tertentu sebagai prioritas daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus berpedoman pada kriteria
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Program penanggulangan penyakit menular dan penyakit
tidak menular tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus didukung dengan pengelolaan yang meliputi
penetapan target dan strategi penanggulangan serta
penyediaan sumber daya yang diperlukan.

Pasal 117
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bersama
masyarakat dan pemangku kepentingan terkait bertanggung
jawab untuk melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi
tentang faktor risiko penyakit menular dan penyakit tidak
menular kepada masyarakat berisiko.
-57-

Pasal 118
(1) Dalam hal penyakit menular dan penyakit tidak menular
berpotensi KLB, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
dan masyarakat wajib melakukan upaya
penanggulangan KLB.
(2) Upaya penanggulangan KLB sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. penyelidikan epidemiologis;
b. pelaksanaan surveilans;
c. pemusnahan penyebab KLB;
d. pencegahan dan pengebalan;
e. promosi kesehatan;
f. komunikasi risiko;
g. penatalaksanaan kasus/penderita;
h. penanganan jenazah akibat KLB; dan
i. upaya penanggulangan lainnya yang diperlukan
sesuai dengan penyebab KLB.

Paragraf 2
Penanggulangan Penyakit Menular

Pasal 119
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat
bertanggung jawab melakukan penanggulangan penyakit
menular melalui kegiatan pencegahan, pengendalian,
dan pemberantasan penyakit menular serta bertanggung
jawab terhadap akibat yang ditimbulkannya.
(2) Penanggulangan penyakit menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk melindungi
masyarakat dari tertularnya penyakit untuk
menurunkan jumlah yang sakit, cacat, dan/atau
meninggal dunia serta mengurangi dampak sosial dan
ekonomi akibat penyakit menular.
(3) Kegiatan pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan
penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan berbasis wilayah.
-58-

(4) Dalam pelaksanaan kegiatan pencegahan, pengendalian,


dan pemberantasan penyakit menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Tenaga Medis dan/atau Tenaga
Kesehatan yang berwenang dapat memeriksa tempat-
tempat yang dicurigai berkembangnya vektor dan
sumber penyakit lain.
(5) Dalam melaksanakan kegiatan pencegahan,
pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja sama
dengan negara lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 120
(1) Dalam hal terdapat kejadian ikutan paska-pemberian
obat pencegahan masal dan imunisasi dalam
penanggulangan penyakit menular sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 119, pembiayaan yang timbul
menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, dan/atau sumber pembiayaan lain.
(2) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. audit kausalitas;
b. pelayanan kesehatan; dan
c. santunan terhadap korban.

Pasal 121
(1) Masyarakat, termasuk penderita penyakit menular, wajib
melakukan pencegahan penyebaran penyakit menular
melalui perilaku hidup bersih dan sehat, pengendalian
faktor risiko Kesehatan, dan pencegahan penyebaran
penyakit menular lainnya.
(2) Pencegahan penularan penyakit menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terencana,
terkoordinasi, dan terpadu.
-59-

Pasal 122
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan penyakit
menular sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 dan Pasal
113 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3
Penanggulangan Penyakit Tidak Menular

Pasal 123
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat
melakukan penanggulangan penyakit tidak menular
melalui kegiatan pencegahan, pengendalian, dan
penanganan penyakit tidak menular beserta akibat yang
ditimbulkannya.
(2) Penanggulangan penyakit tidak menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk meningkatkan
pengetahuan, kesadaran, kemauan berperilaku sehat,
dan mencegah terjadinya penyakit tidak menular beserta
akibat yang ditimbulkan, untuk menurunkan jumlah
yang sakit, disabilitas, dan/atau meninggal dunia, serta
untuk mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat
penyakit tidak menular.

Pasal 124
(1) Penanggulangan penyakit tidak menular didukung
dengan kegiatan surveilans faktor risiko, registri
penyakit, dan surveilans kematian.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan
memperoleh informasi yang esensial serta dapat
digunakan untuk pengambilan keputusan dalam upaya
penanggulangan penyakit tidak menular.
(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui kerja sama lintas sektor, pemangku kepentingan
terkait, dan masyarakat, serta dengan membentuk
jejaring, baik nasional maupun internasional.
-60-

Pasal 125
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan penyakit
tidak menular sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123
sampai dengan Pasal 124 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketujuh Belas


Kesehatan Sekolah

Pasal 126
(1) Kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan
kemampuan hidup sehat bagi peserta didik, pendidik,
dan tenaga kependidikan dalam rangka mewujudkan
sumber daya manusia yang berkualitas serta untuk
mewujudkan lingkungan sekolah yang sehat.
(2) Kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan pada satuan pendidikan formal dan
nonformal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Kesehatan sekolah dilaksanakan melalui:
a. pendidikan Kesehatan;
b. Pelayanan Kesehatan; dan
c. pembinaan lingkungan sekolah sehat.
(4) Dalam rangka pelaksanaan kesehatan sekolah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat didukung
dengan sarana dan prasarana Kesehatan sekolah.
(5) Kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan oleh tenaga pendidik berkolaborasi dengan
Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan pada
Puskesmas atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat
pertama lain.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Kesehatan sekolah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedelapan Belas


Kesehatan Olahraga
-61-

Pasal 127
(1) Upaya Kesehatan olahraga ditujukan untuk
meningkatkan derajat Kesehatan dan kebugaran jasmani
masyarakat melalui aktifitas fisik, latihan fisik, dan/atau
olahraga.
(2) Peningkatan derajat Kesehatan dan kebugaran jasmani
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan upaya dasar dalam meningkatkan prestasi
belajar, kerja, dan olahraga.

Pasal 128
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab
menyelenggarakan Upaya Kesehatan olahraga yang didukung
dengan penyediaan sumber daya yang dibutuhkan.

Bagian Kesembilan Belas


Kesehatan Lingkungan

Pasal 129
Upaya Kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan
kualitas lingkungan yang sehat secara fisik, kimia, biologi,
dan sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai
derajat Kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pasal 130
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat
menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat melalui
penyelenggaraan Kesehatan lingkungan.
(2) Penyelenggaraan Kesehatan lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui upaya
penyehatan, pengamanan, dan pengendalian.
(3) Upaya penyehatan, pengamanan, dan pengendalian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
untuk memenuhi standar baku mutu Kesehatan
lingkungan dan persyaratan Kesehatan pada media
lingkungan.
-62-

(4) Kesehatan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) diselenggarakan pada lingkungan permukiman,
tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas
umum.

Pasal 131
(1) Dalam rangka penyelenggaraan Kesehatan lingkungan,
pengelolaan limbah medis yang berasal dari Fasilitas
Pelayanan Kesehatan wajib memenuhi persyaratan
teknis yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Pengelolaan limbah medis yang berasal dari Fasilitas
Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan
yang memenuhi persyaratan teknis atau bekerja sama
dengan pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 132
Ketentuan lebih lanjut mengenai Kesehatan lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 sampai dengan
Pasal 131 diatur dalam atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Kedua Puluh


Kesehatan Kerja

Pasal 133
(1) Upaya Kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi
pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan
kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh
pekerjaan.
(2) Upaya Kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan di tempat kerja pada sektor formal
dan informal serta di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
(3) Upaya Kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga untuk pekerjaan di
lingkungan matra.
-63-

(4) Upaya Kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dan ayat (2) diselenggarakan sesuai dengan
standar Kesehatan kerja yang ditetapkan oleh Menteri.
(5) Pengelola tempat kerja wajib menaati standar Kesehatan
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
menjamin lingkungan kerja yang sehat.
(6) Pengelola tempat kerja wajib bertanggung jawab atas
kecelakaan kerja yang terjadi di lingkungan kerja dan
penyakit akibat kerja sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 134
(1) Pemberi kerja wajib menjamin Kesehatan pekerja melalui
upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif serta
wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan
Kesehatan pekerjanya.
(2) Pekerja dan setiap orang yang berada di lingkungan
tempat kerja wajib menciptakan dan menjaga lingkungan
tempat kerja yang sehat dan menaati peraturan
Kesehatan dan keselamatan kerja yang berlaku di tempat
kerja.
(3) Pemberi kerja wajib menanggung biaya atas penyakit
akibat kerja, gangguan kesehatan, dan cedera akibat
kerja yang diderita oleh pekerja sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan
dorongan dan bantuan untuk pelindungan pekerja.

Pasal 135
(1) Dalam rangka pengadaan pegawai atau pekerja pada
perusahaan/instansi harus dilakukan pemeriksaan
Kesehatan baik fisik maupun jiwa, dan pemeriksaan
psikologi.
(2) Hasil pemeriksaan kesehatan dan pemeriksaan psikologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai
bahan pertimbangan dalam penetapan kelulusan dalam
proses seleksi.
-64-

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 136
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Kesehatan kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 sampai dengan
Pasal 135 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua Puluh Satu


Kesehatan Matra

Pasal 137
(1) Kesehatan matra sebagai bentuk khusus Upaya
Kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat
Kesehatan yang setinggi-tingginya dalam lingkungan
matra yang serba berubah di lingkungan darat, laut, dan
udara.
(2) Kesehatan matra sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Kesehatan lapangan;
b. Kesehatan kelautan dan bawah air; dan
c. Kesehatan kedirgantaraan.
(3) Penyelenggaraan Kesehatan matra dilaksanakan sesuai
dengan standar dan persyaratan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Kesehatan matra diatur
dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua Puluh Dua


Pelayanan Kesehatan pada Bencana

Pasal 138
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab atas ketersediaan sumber daya, fasilitas, dan
pelaksanaan Pelayanan Kesehatan secara menyeluruh
dan berkesinambungan pada bencana.
-65-

(2) Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) meliputi:
a. Pelayanan kesiapsiagaan kesehatan pada
prabencana;
b. Pelayanan Kesehatan pada saat tanggap darurat
bencana; dan
c. Pelayanan Kesehatan pada pascabencana termasuk
pemulihan fisik dan mental.
(3) Pelayanan Kesehatan pada saat tanggap darurat bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b bertujuan
untuk menyelamatkan nyawa, mencegah kecacatan, dan
memastikan pelayanan kesehatan esensial tetap berjalan
sesuai dengan standar pelayanan minimal pelayanan
kesehatan.
(4) Pelayanan Kesehatan pada bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) melibatkan seluruh sumber daya
manusia yang terlatih baik dari Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
(5) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin
pendanaan Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(6) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
bantuan masyarakat, atau sumber lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 139
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Pelayanan
Kesehatan pada bencana diatur dalam atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 140
(1) Dalam keadaan darurat, setiap Fasilitas Pelayanan
Kesehatan baik pemerintah maupun swasta wajib
memberikan Pelayanan Kesehatan pada bencana untuk
-66-

penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan lebih


lanjut, dan kepentingan terbaik bagi Pasien.
(2) Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam memberikan
Pelayanan Kesehatan pada bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak Pasien
dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu.

Pasal 141
Pemerintah menjamin pelindungan hukum bagi setiap orang
dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang memberikan
Pelayanan Kesehatan pada bencana.

Bagian Kedua Puluh Tiga


Pengamanan dan Penggunaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga

Pasal 142
(1) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT harus
aman, berkhasiat/bermanfaat, halal, bermutu, dan
terjangkau.
(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan
kewenangan dilarang mengadakan, memproduksi,
menyimpan, mempromosikan, dan mengedarkan Sediaan
Farmasi berupa obat dan bahan obat yang tidak
memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan,
khasiat atau kemanfaatan, dan mutu.
(3) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan
kewenangan dilarang memproduksi, menyimpan,
mengedarkan, dan mendistribusikan Alat Kesehatan
yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu.
(4) Ketentuan mengenai produksi, pengadaan,
penyimpanan, produksi, promosi, peredaran, dan
pelayanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT
harus memenuhi standar dan persyaratan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
-67-

(5) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban


membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi
produksi, pengadaan, penyimpanan, promosi, dan
peredaran Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT
sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 143
(1) Setiap orang yang memproduksi, mengadakan,
menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan Obat yang
mengandung narkotika dan psikotropika wajib
memenuhi standar dan/atau persyaratan tertentu.
(2) Penggunaan Obat yang mengandung narkotika dan
psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep
Tenaga Medis dan dilarang untuk disalahgunakan.
(3) Ketentuan mengenai produksi, pengadaan,
penyimpanan, peredaran, serta penggunaan Obat yang
mengandung narkotika dan psikotropika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 144
Pengamanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT
diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya
yang disebabkan oleh penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan PKRT yang tidak memenuhi persyaratan
keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu.

Pasal 145
(1) Penggunaan Obat dan Obat Bahan Alam harus
dilakukan secara rasional.
(2) Penggunaan Alat Kesehatan harus dilakukan secara
tepat guna.
(3) Penggunaan Obat, Obat Bahan Alam, dan Alat Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus
memperhatikan keselamatan Pasien.
-68-

Pasal 146
(1) Sediaan Farmasi yang berupa Obat dan bahan baku
Obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia
dan/atau standar lainnya.
(2) Sediaan Farmasi yang berupa Obat Bahan Alam harus
memenuhi standar dan/atau persyaratan berupa
farmakope herbal Indonesia dan/atau standar lainnya.
(3) Sediaan Farmasi yang berupa kosmetik harus memenuhi
standar dan/atau persyaratan berupa kodeks kosmetik
Indonesia dan/atau standar lainnya.
(4) Alat Kesehatan dan PKRT harus memenuhi standar
dan/atau persyaratan yang ditentukan.
(5) Ketentuan mengenai standar dan/atau persyaratan
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan ditetapkan oleh
Menteri.
(6) Ketentuan mengenai standar dan/atau persyaratan
untuk PKRT dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 147
(1) Setiap Orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT harus
memenuhi perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
ketentuan sebagai produk halal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat berwenang mencabut perizinan berusaha dan
memerintahkan penarikan dari peredaran Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT yang telah
memperoleh perizinan berusaha yang terbukti tidak
-69-

memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan/atau


kemanfaatan.
(4) Perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak berlaku bagi usaha jamu gendong, usaha jamu
racikan, dan fasilitas produksi obat penggunaan khusus.
(5) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat disita dan
dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan berusaha
terkait Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 148
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal 149
(1) Praktik kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga
kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi produksi termasuk pengendalian mutu,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan
pendistribusian Sedian Farmasi, pengelolaan dan
pelayanan kefarmasian, serta penelitian dan
pengembangan kefarmasian.
(3) Ketentuan mengenai praktik/pekerjaan kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua Puluh Empat


Pengamanan Makanan dan Minuman
-70-

Pasal 150
(1) Setiap Orang yang memproduksi, mengolah, serta
mendistribusikan makanan dan minuman yang
dikonsumsi dan/atau makanan dan minuman hasil
teknologi rekayasa genetik, wajib memenuhi standar
dan/atau persyaratan kesehatan.
(2) Selain kewajiban memenuhi standar dan/atau
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
makanan dan minuman yang diproduksi, diolah,
didistribusikan, dan dikonsumsi harus memenuhi
ketentuan sebagai produk halal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 151
(1) Setiap Orang yang memproduksi dan mempromosikan
produk makanan dan minuman dan/atau yang
diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil
olahan teknologi dilarang menggunakan kata-kata yang
mengecoh dan/atau yang disertai klaim yang tidak dapat
dibuktikan kebenarannya.
(2) Setiap Orang yang melanggar ketentuan larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
administratif oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya berupa perintah
penarikan produk.

Pasal 152
(1) Makanan dan minuman untuk dikonsumsi masyarakat
harus memenuhi standar dan/atau persyaratan
Kesehatan.
(2) Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah
memenuhi perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan
standar dan/atau persyaratan Kesehatan sebagaimana
-71-

dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diedarkan,


didistribusikan, atau diperjualbelikan.
(4) Makanan dan minuman sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) yang telah diedarkan, didistribusikan, atau
diperjualbelikan harus ditarik dan dimusnahkan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan berusaha
terkait makanan dan minuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 153
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab
mengatur dan mengawasi produksi, pengolahan,
pendistribusian makanan dan minuman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 150 sampai dengan Pasal 152.

Bagian Kedua Puluh Lima


Pengamanan Zat Adiktif

Pasal 154
(1) Produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif
diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan
kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan
lingkungan.
(2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
semua bahan atau produk yang bersifat adiktif yang
penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi
dirinya dan/atau masyarakat.
(3) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
berupa:
a. narkotika;
b. psikotropika;
c. minuman beralkohol;
d. hasil tembakau; dan
e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya.
(4) Produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a sampai
-72-

dengan huruf c dilaksanakan sesuai dengan ketentuan


peraturan perundang-undangan.
(5) Produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dan huruf
e harus memenuhi standar dan/atau persyaratan
Kesehatan.
(6) Hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf d dapat berupa:
a. sigaret;
b. cerutu;
c. rokok daun;
d. tembakau iris; dan
e. tembakau padat dan cair yang digunakan untuk
rokok elektrik.
(7) Hasil pengolahan zat adiktif lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf e dapat berwujud padat,
cair, atau wujud lainnya yang tidak mengandung hasil
tembakau.

Pasal 155
(1) Hasil tembakau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154
ayat (3) yang digunakan untuk kepentingan medis,
herbal, farmasi, kosmetik, dan aromaterapi diperlakukan
secara khusus.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 156
Setiap Orang yang memproduksi, memasukkan ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan/atau
mengedarkan zat adiktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
154 ayat (6) dan ayat (7) wajib mencantumkan peringatan
Kesehatan.

Pasal 157
(1) Kawasan tanpa rokok terdiri atas:
-73-

a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan;


b. tempat proses belajar mengajar;
c. tempat anak bermain;
d. tempat ibadah;
e. angkutan umum;
f. tempat kerja; dan
g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
(2) Pemerintah Daerah wajib menetapkan kawasan tanpa
rokok di wilayahnya.
(3) Pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab
tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f
dan huruf g wajib menyediakan tempat khusus untuk
merokok.

Pasal 158
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan zat adiktif
dalam bentuk hasil tembakau dan hasil pengolahan zat
adiktif lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat 154 ayat (6)
dan ayat (7) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua Puluh Enam


Pelayanan Kesehatan Tradisional

Pasal 159
(1) Pelayanan Kesehatan tradisional berdasarkan cara
pengobatannya terdiri atas:
a. Pelayanan Kesehatan tradisional yang menggunakan
keterampilan; dan/atau
b. Pelayanan Kesehatan tradisional yang menggunakan
ramuan.
(2) Pelayanan Kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pengetahuan,
keahlian, dan/atau nilai yang bersumber dari kearifan
lokal.
(3) Pelayanan Kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibina dan diawasi oleh Pemerintah Pusat
-74-

dan Pemerintah Daerah agar dapat


dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta
tidak bertentangan dengan norma sosial budaya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jenis
Pelayanan Kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 160
(1) Upaya kesehatan tradisional meliputi upaya promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
(2) Upaya kesehatan tradisional dapat dilakukan di tempat
praktik mandiri, Pusat kesehatan masyarakat, Fasilitas
Pelayanan Kesehatan tradisional, Rumah Sakit, dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya

Pasal 161
(1) Upaya kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 160 dilakukan melalui Fasilitas Pelayanan
Kesehatan tradisional griya sehat.
(2) Pengelolaan Griya Sehat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh penanggung Jawab atau
kepala Fasilitas Pelayanan Kesehatan tradisional griya
sehat yang wajib dilakukan oleh seorang tenaga
kesehatan tradisional yang dibuktikan dengan Surat
tanda registrasi (STR).
(3) Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab
menyediakan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tradisional
griya sehat sesuai dengan kebutuhan pelayanan
kesehatan tradisional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan tradisional griya sehat
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 162
(1) Setiap Orang yang melakukan Pelayanan Kesehatan
tradisional yang menggunakan alat dan teknologi wajib
memenuhi perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat
-75-

atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya


berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 163
(1) Masyarakat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk
mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan
Pelayanan Kesehatan tradisional yang dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
(2) Pemerintah mengatur dan mengawasi Pelayanan
Kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dengan didasarkan pada keamanan,
kepentingan, dan pelindungan masyarakat.

BAB VI
FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 164
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan memberikan Pelayanan
Kesehatan berupa Pelayanan Kesehatan perseorangan
dan/atau Pelayanan Kesehatan masyarakat.
(2) Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama;
b. Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut; dan
c. Fasilitas Pelayanan Kesehatan penunjang.
(3) Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berdasarkan bentuknya, terdiri atas:
a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan statis; dan
b. Fasilitas Pelayanan Kesehatan bergerak.
-76-

(4) Fasilitas Pelayanan Kesehatan, sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) wajib memberikan layanan Kesehatan
kepada masyarakat dengan mengutamakan layanan
Kesehatan kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif kepada
Pasien secara maksimal sampai diperoleh kesembuhan.
(5) Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh pihak Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
(6) Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib memenuhi
perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Pasal 165
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama
menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan primer.
(2) Dalam menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan
integrasi pelayanan antar-Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
(3) Integrasi Pelayanan Kesehatan primer ditujukan untuk
mendukung pelaksanaan program pemerintah, terutama
Pelayanan Kesehatan dalam bentuk promotif dan
preventif.
(4) Integrasi Pelayanan Kesehatan perseorangan primer
dapat dilakukan melalui penyelenggaraan program
jaminan kesehatan.

Pasal 166
Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut
menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut yang
meliputi pelayanan spesialistik dan/atau pelayanan
subspesialistik.

Pasal 167
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan Penunjang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 164 ayat (2) huruf c
-77-

menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang


menunjang pelayanan kesehatan primer dan pelayanan
kesehatan tingkat lanjut.
(2) Fasilitas Pelayanan Kesehatan Penunjang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berdiri sendiri atau dapat
bergabung dengan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama dan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
lanjut.

Pasal 168
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan penyelenggaraan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal 169
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 164 dapat memberikan layanan
Telekesehatan dan Telemedisin.
(2) Layanan Telekesehatan dan Telemedisin yang
diselenggarakan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi layanan:
a. antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
b. antara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan
masyarakat.
(3) Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan
Layanan Telekesehatan dan Telemedisin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan
Penyelenggara Sistem Elektronik yang terdaftar sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Layanan Telemedisin yang diberikan oleh Fasilitas
Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan
yang memiliki izin praktik.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
layanan Telekesehatan dan Telemedisin diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
-78-

Pasal 170
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib:
a. memberikan akses yang luas bagi kebutuhan
pelayanan, pendidikan, penelitian, dan
pengembangan di bidang Kesehatan;
b. menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang
bermutu dan mengutamakan keselamatan pasien;
c. mengirimkan laporan hasil pelayanan, pendidikan,
penelitian, dan pengembangan kepada Pemerintah
Pusat dengan tembusan kepada Pemerintah Daerah
melalui Sistem Informasi Kesehatan;
d. melakukan upaya pemanfaatan hasil pelayanan,
pendidikan, penelitian, dan pengembangan di bidang
Kesehatan; dan
e. mengintegrasikan pelayanan, pendidikan, penelitian,
dan pengembangan dalam suatu sistem sebagai
upaya mengatasi permasalahan Kesehatan di daerah.
(2) Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib membuat standar
prosedur operasional dengan mengacu pada standar
Pelayanan Kesehatan.
(3) Dalam kondisi KLB atau Wabah, Fasilitas Pelayanan
Kesehatan wajib memberikan Pelayanan Kesehatan
dalam rangka upaya penanggulangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang
mempekerjakan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
yang tidak memiliki izin praktik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 171
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan/atau milik masyarakat wajib
memberikan Pelayanan Kesehatan bagi seseorang yang
berada dalam kondisi gawat darurat untuk
penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan terlebih
dahulu.
-79-

(2) Dalam kondisi gawat darurat sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan/atau milik
masyarakat dilarang menolak Pasien dan/atau meminta
uang muka.

Pasal 172
(1) Setiap pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus
memiliki kompetensi manajemen Kesehatan yang
dibutuhkan.
(2) Ketentuan mengenai kompetensi manajemen Kesehatan
yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 173
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib menerapkan
standar keselamatan Pasien.
(2) Standar keselamatan Pasien sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan melalui identifikasi dan
pengelolaan risiko, analisis dan pelaporan, serta
pemecahan masalah dalam rangka mencegah dan
menangani kejadian yang membahayakan keselamatan
Pasien.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar keselamatan
Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.

Pasal 174
(1) Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus menyimpan
rahasia Kesehatan pribadi Pasien.
(2) Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat menolak
mengungkapkan segala informasi kepada publik yang
berkaitan dengan rahasia Kesehatan pribadi Pasien,
kecuali berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (4).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kesehatan
pribadi Pasien diatur dalam Peraturan Menteri.
-80-

Pasal 175
(1) Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melakukan
peningkatan mutu Pelayanan Kesehatan secara internal
dan eksternal secara terus-menerus dan
berkesinambungan.
(2) Peningkatan mutu Pelayanan Kesehatan secara internal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pengukuran dan pelaporan indikator mutu;
b. pelaporan Insiden Keselamatan Pasien; dan
c. manajemen risiko.
(3) Peningkatan mutu Pelayanan Kesehatan secara eksternal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. Registrasi;
b. lisensi; dan
c. akreditasi.
(4) Pelaksanaan Registrasi, lisensi, dan akreditasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan
dengan berorientasi pada pemenuhan standar mutu,
pembinaan dan peningkatan kualitas layanan, serta
proses yang cepat, terbuka, dan akuntabel.
(5) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
dilaksanakan oleh lembaga independen penyelenggara
Akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan mutu
pelayanan Kesehatan secara eksternal sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal 176
(1) Dalam rangka peningkatan akses dan mutu Pelayanan
Kesehatan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat
mengembangkan:
a. jejaring pengampuan Pelayanan Kesehatan prioritas;
b. kerja sama dua atau lebih Fasilitas Pelayanan
Kesehatan;
c. pusat unggulan (centre of excellence);
-81-

d. sistem Kesehatan akademik (academic health


system); dan/atau
e. Pelayanan Kesehatan terpadu.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan standar
Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Puskesmas

Pasal 177
(1) Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan
kesehatan dalam bentuk promotif, preventif, kuratif,
dan/atau rehabilitatif di wilayah kerjanya.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Puskesmas memiliki fungsi
penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Primer di wilayah
kerjanya.
(3) Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Primer
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertujuan untuk
mewujudkan wilayah kerja Puskesmas yang sehat
dengan masyarakat yang:
a. memiliki perilaku hidup sehat;
b. mudah mengakses Pelayanan Kesehatan bermutu;
c. hidup dalam lingkungan sehat; dan
d. memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya,
baik individu, keluarga, kelompok, maupun
masyarakat.

Pasal 178
(1) Penyelenggaraan Upaya Kesehatan masyarakat tingkat
pertama dan Upaya Kesehatan Perseorangan tingkat
pertama oleh Puskesmas dilakukan melalui
pengoordinasian Sumber Daya Kesehatan di wilayah
kerja Puskesmas.
(2) Puskesmas melakukan pembinaan terhadap Fasilitas
Pelayanan Kesehatan tingkat pertama di wilayah
-82-

kerjanya serta mengintegrasikan program Puskesmas


dengan kegiatan Kesehatan oleh masyarakat.

Pasal 179
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Puskesmas
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Rumah Sakit

Pasal 180
(1) Rumah Sakit menyelenggarakan fungsi Pelayanan
Kesehatan perseorangan dalam bentuk spesialistik
dan/atau subspesialistik.
(2) Selain menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan
perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Rumah Sakit dapat menyelenggarakan fungsi pendidikan
dan penelitian di bidang Kesehatan.
(3) Setiap Rumah Sakit harus menyelenggarakan tata kelola
Rumah Sakit dan tata kelola klinis yang baik.

Pasal 181
(1) Rumah Sakit dapat diselenggarakan oleh Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, atau masyarakat.
(2) Rumah Sakit yang didirikan oleh Pemerintah Pusat
berbentuk unit pelaksana teknis atau instansi tertentu
dengan pola pengelolaan badan layanan umum sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Rumah sakit yang didirikan oleh Pemerintah Daerah
berbentuk unit organisasi bersifat khusus yang
memberikan layanan secara profesional dengan pola
pengelolaan badan layanan umum daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Rumah Sakit yang didirikan oleh masyarakat harus
berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya
bergerak di bidang perumahsakitan.
-83-

(5) Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (3)


dikecualikan bagi Rumah Sakit yang diselenggarakan
oleh badan hukum yang bersifat nirlaba.

Pasal 182
(1) Struktur Organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri
atas: Kepala atau Direktur Rumah Sakit, unsur
pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur penunjang
medis dan nonmedis, komite medis/komite kesehatan,
unsur riset, operasional dan teknologi informasi,
pemasaran, serta administrasi umum dan keuangan.
(2) Kepala atau Direktur Rumah Sakit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dijabat oleh:
a. Tenaga Medis;
b. Tenaga Kesehatan; atau
c. profesional
yang memiliki kompetensi manajemen rumah sakit.

Pasal 183
(1) Rumah Sakit dapat ditetapkan menjadi Rumah Sakit
pendidikan setelah memenuhi persyaratan dan standar
Rumah Sakit pendidikan.
(2) Rumah Sakit pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a. Rumah Sakit yang bekerja sama dengan institusi
pendidikan di bidang Kesehatan dalam
menyelenggarakan pendidikan dokter/dokter gigi,
dokter/dokter gigi spesialis, dan dokter/dokter gigi
subspesialis; dan
b. Rumah Sakit yang secara mandiri menyelenggarakan
pendidikan profesi dokter/dokter gigi spesialis, dan
dokter/dokter gigi subspesialis.
(3) Untuk dapat menyelenggarakan secara mandiri
pendidikan profesi dokter/dokter gigi spesialis dan
dokter/dokter gigi subspesialis sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf (b), Rumah Sakit Pendidikan telah
menjadi bagian dari Sistem Pendidikan Akademik paling
-84-

sedikit 5 (lima) tahun sebagai Rumah Sakit Pendidikan


Utama.
(4) Untuk dapat membuka program pendidikan/training
profesi dokter/dokter gigi spesialis, dan dokter/dokter
gigi subspesialis, Rumah Sakit Pendidikan harus
memenuhi persyaratan untuk mendapatkan akreditasi
tertinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(5) Ijazah pendidikan profesi dokter/dokter gigi spesialis,
dan dokter/dokter gigi subspesialis yang diselenggarakan
oleh Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditandatangani oleh pimpinan Rumah Sakit pendidikan
dan rektor dari universitas yang terafiliasi.
(6) Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan
Pendidikan/training profesi dokter/dokter gigi spesialis,
dan dokter/dokter gigi subspesialis dilakukan untuk
penjaminan mutu.
(7) Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dilakukan oleh lembaga
akreditasi di bidang kedokteran.
(8) Rumah Sakit pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus mendapatkan izin dari Pemerintah Pusat
dan bekerja sama dengan kolegium.
(9) Dalam penyelenggaraan Rumah Sakit pendidikan dapat
dibentuk jejaring Rumah Sakit Pendidikan negeri dan
swasta.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rumah Sakit
pendidikan, penyelenggaraan program pendidikan
dokter/dokter gigi, dokter/dokter gigi spesialis, dan
dokter/dokter gigi subspesialis, ijazah pendidikan,
monitoring dan evaluasi, dan jejaring Rumah Sakit
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (9) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
-85-

Pasal 184
(1) Rumah Sakit dalam menyelenggarakan fungsi penelitian
dapat membentuk pusat penelitian guna pengembangan
layanan Kesehatan.
(2) Dalam menyelenggarakan fungsi penelitian, rumah sakit
harus menyelenggarakan penelitian unggulan dan
translasional.
(3) Dalam menyelenggarakan penelitian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), rumah sakit dapat
melaksanakan pelayanan berbasis penelitian.
(4) Rumah sakit yang melaksanakan pelayanan berbasis
penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melalui
inovasi penelitian yang dikembangkan oleh Tenaga Medis
dan/atau Tenaga Kesehatan harus diberi dukungan dan
kebebasan secara bertanggung jawab.

Pasal 185
Rumah Sakit mempunyai kewajiban:
a. memberikan informasi yang benar tentang pelayanan
Rumah Sakit kepada masyarakat;
b. memberi Pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu,
antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan
kepentingan Pasien sesuai dengan standar pelayanan
Rumah Sakit;
c. memberikan pelayanan gawat darurat kepada Pasien;
d. berperan aktif dalam memberikan Pelayanan Kesehatan
pada bencana;
e. menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat
tidak mampu atau miskin;
f. melaksanakan fungsi sosial bagi Kesehatan masyarakat;
g. membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu
Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan
dalam melayani Pasien;
h. menyelenggarakan rekam medis;
i. menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak,
antara lain sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana
-86-

untuk penyandang disabilitas, ibu menyusui, anak-anak,


dan lanjut usia;
j. merujuk Pasien jika tidak sesuai dengan kompetensi
layanannya;
k. menolak keinginan Pasien yang bertentangan dengan
standar profesi dan etika serta peraturan perundang-
undangan;
l. memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai hak dan kewajiban Pasien;
m. menghormati dan melindungi hak-hak Pasien;
n. melaksanakan etika Rumah Sakit;
o. memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan
penanggulangan bencana;
p. melaksanakan program pemerintah di bidang Kesehatan,
baik secara regional maupun nasional;
q. membuat daftar Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
yang melakukan praktik;
r. menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah
Sakit (hospital by laws);
s. melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua
petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas; dan
t. memberlakukan seluruh lingkungan Rumah Sakit sebagai
kawasan tanpa rokok.

Pasal 186
Rumah Sakit mempunyai hak:
a. menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya
manusia sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit;
b. menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan
remunerasi, insentif, dan penghargaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka
mengembangkan pelayanan;
d. menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian;
-87-

f. mendapatkan pelindungan hukum dalam melaksanakan


pelayanan kesehatan; dan
g. mempromosikan layanan kesehatan yang ada di Rumah
Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 187
(1) Rumah Sakit tidak bertanggung jawab secara hukum
apabila pasien dan/atau keluarganya menolak atau
menghentikan pengobatan yang dapat berakibat
kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang
komprehensif.
(2) Rumah Sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan
tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia.

Pasal 188
Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap
semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang
dilakukan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Rumah
Sakit.

Pasal 189
(1) Pembiayaan Rumah Sakit dapat bersumber dari
penerimaan Rumah Sakit, anggaran Pemerintah, subsidi
Pemerintah, anggaran Pemerintah Daerah, subsidi
Pemerintah Daerah, atau sumber lain yang tidak
mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai subsidi atau bantuan
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 190
(1) Penetapan besaran tarif Rumah Sakit harus berdasarkan
pola tarif nasional dan pagu tarif maksimal.
-88-

(2) Menteri menetapkan pola tarif nasional berdasarkan


komponen biaya satuan pembiayaan dan dengan
memperhatikan kondisi regional.
(3) Gubernur menetapkan pagu tarif maksimal berdasarkan
pola tarif nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
yang berlaku untuk Rumah Sakit di Provinsi yang
bersangkutan.

Pasal 191
Pendapatan Rumah Sakit yang dikelola Pemerintah dan
Pemerintah Daerah digunakan seluruhnya secara langsung
untuk biaya operasional Rumah Sakit dan tidak dapat
dijadikan pendapatan negara atau Pemerintah Daerah.

Pasal 192
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Rumah
Sakit diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VII
SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN

Bagian Kesatu
Pengelompokan dan
Kualifikasi Sumber Daya Manusia Kesehatan

Pasal 193
(1) Sumber Daya Manusia Kesehatan terdiri atas:
a. Tenaga Medis;
b. Tenaga Kesehatan;
c. Tenaga Kesehatan Tradisional; dan
d. Tenaga pendukung atau penunjang kesehatan.
(2) Tenaga Medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dikelompokkan ke dalam:
a. dokter; dan
b. dokter gigi.
-89-

(3) Jenis Tenaga Medis dokter sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) huruf a terdiri atas dokter, dokter spesialis, dan
dokter subspesialis.
(4) Jenis Tenaga Medis dokter gigi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b terdiri atas dokter gigi, dokter gigi
spesialis, dan dokter gigi subspesialis.
(5) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dikelompokkan ke dalam:
a. tenaga psikolog;
b. tenaga keperawatan;
c. tenaga kebidanan;
d. tenaga kefarmasian;
e. Tenaga Kesehatan masyarakat;
f. Tenaga Kesehatan lingkungan;
g. tenaga gizi;
h. tenaga keterapian fisik;
i. tenaga keteknisian medis; dan
j. tenaga teknik biomedika.
(6) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok
tenaga psikolog sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
huruf a terdiri atas psikolog umum, psikolog spesialis,
dan psikolog subspesialis.
(7) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok
tenaga keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) huruf b terdiri atas perawat vokasi, perawat profesi,
dan perawat spesialis.
(8) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok
tenaga kebidanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
huruf c terdiri atas bidan vokasi dan bidan profesi.
(9) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok
tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
huruf d terdiri atas apoteker, apoteker spesialis, dan
tenaga teknis kefarmasian.
(10) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok
Tenaga Kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) huruf e antara lain epidemiolog kesehatan,
tenaga promotor kesehatan, pembimbing kesehatan
-90-

kerja, tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan,


tenaga biostatistika dan kependudukan, tenaga
kesehatan reproduksi dan keluarga, serta ahli kesehatan
masyarakat.
(11) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok
Tenaga Kesehatan lingkungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) huruf f antara lain tenaga sanitasi
lingkungan, entomolog kesehatan, dan mikrobiolog
kesehatan.
(12) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok
tenaga gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf g
antara lain nutrisionis dan dietisien.
(13) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok
tenaga keterapian fisik sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) huruf h antara lain fisioterapis, okupasi terapis,
terapis wicara, dan akupunktur.
(14) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok
tenaga keteknisian medis sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) huruf i antara lain perekam medis dan informasi
Kesehatan, teknisi kardiovaskuler, teknisi pelayanan
darah, optometris, teknisi gigi, penata anestesi, terapis
gigi dan mulut, dan audiologis.
(15) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok
tenaga teknik biomedika sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) huruf j antara lain radiografer, elektromedis, ahli
teknologi laboratorium medik, fisikawan medik, dan
ortotik prostetik.
(16) Tenaga Kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c antara lain Tenaga Kesehatan
tradisional ramuan atau jamu, Tenaga Kesehatan
tradisional, dan pengobat bahan alam.
(17) Tenaga penunjang atau pendukung kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d antara lain
tenaga administrasi, tenaga keuangan, petugas
pemulasaran jenazah, dan supir ambulan.
(18) Tenaga penunjang atau pendukung kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (17) bekerja pada
-91-

fasilitas pelayanan Kesehatan atau institusi lain di


bidang Kesehatan.
(19) Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi setiap jenis
Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, Tenaga Kesehatan
Tradisional, dan tenaga penunjang atau pendukung
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (18) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 194
(1) Dalam memenuhi perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang Kesehatan serta kebutuhan
Pelayanan Kesehatan, Menteri dapat menetapkan:
a. jenis Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, atau Tenaga
Kesehatan Tradisional baru dalam setiap kelompok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183; dan
b. kelompok Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, atau
Tenaga Kesehatan Tradisional baru.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
terlebih dahulu dilakukan kajian bersama dengan konsil,
Organisasi Profesi, dan kolegium dengan
mempertimbangkan kebutuhan Pelayanan Kesehatan di
masyarakat dan pemenuhan kompetensi Tenaga Medis
atau Tenaga Kesehatan.

Pasal 195
(1) Tenaga medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193
ayat (1) huruf a harus memiliki kualifikasi pendidikan
paling rendah pendidikan profesi dokter atau pendidikan
profesi dokter gigi.
(2) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
193 ayat (1) huruf b harus memiliki kualifikasi
pendidikan paling rendah diploma.
(3) Tenaga Kesehatan Tradisional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 193 ayat (1) huruf c harus memiliki
kualifikasi pendidikan paling rendah diploma atau
keterampilan kesehatan tradisional yang teruji secara
ilmiah.
-92-

Pasal 196
Ketentuan mengenai registrasi dan izin layanan psikolog,
pendidikan dan sertifikasi profesi tenaga psikolog, serta
organisasi himpunan profesi psikologi dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang
pendidikan dan layanan psikologi.

Bagian Kedua
Perencanaan

Pasal 197
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban
memenuhi kebutuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
terkait jumlah, jenis, kompetensi, dan distribusi secara
merata untuk menjamin keberlangsungan pembangunan
Kesehatan.

Pasal 198
(1) Menteri menetapkan kebijakan dan menyusun
perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam
rangka memenuhi kebutuhan Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan secara nasional.
(2) Perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara
berjenjang dimulai dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah
provinsi, sampai dengan Menteri secara nasional dengan
berdasarkan ketersediaan Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan serta kebutuhan penyelenggaraan
pembangunan dan Upaya Kesehatan.
(3) Perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang melaksanakan
pekerjaan keprofesian sesuai dengan kompetensi dan
kewenangannya yang bekerja di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan atau unit kerja milik Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, atau masyarakat.
-93-

(4) Perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan kerja sama dan sinergisme
antarpemangku kepentingan dengan memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi.

Pasal 199
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyusun
perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan harus
memperhatikan:
a. jenis, kualifikasi, jumlah, pengadaan, dan distribusi
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan;
b. penyelenggaraan Upaya Kesehatan;
c. ketersediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
d. kemampuan pembiayaan;
e. kondisi geografis dan sosial budaya; dan
f. tipologi/jenis penyakit di daerah atau kebutuhan
masyarakat.

Pasal 200
Kebijakan perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 197 menjadi pedoman bagi setiap institusi pengguna
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, baik Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, maupun swasta dalam pemenuhan dan
pengelolaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.

Pasal 201
Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan Tenaga Medis
dan Tenaga Kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Pengadaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
-94-

Pasal 202
(1) Pengadaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dan
pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
(2) Pengadaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
dilakukan melalui pendidikan tinggi dengan
memperhatikan:
a. ketersediaan dan persebaran institusi pendidikan
dan/atau program studi pendidikan Tenaga Medis
dan Tenaga Kesehatan pada setiap wilayah;
b. keseimbangan antara kebutuhan penyelenggaraan
Upaya Kesehatan dan/atau dinamika kesempatan
kerja di dalam dan di luar negeri;
c. keseimbangan antara kemampuan produksi Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan dan sumber daya yang
tersedia;
d. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
e. prioritas pembangunan dan pelayanan Kesehatan.
(3) Pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau
masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 203
(1) Pendidikan tinggi dalam rangka pengadaan Tenaga Medis
dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 201 diselenggarakan setelah mendapatkan izin
yang diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan
tugas pemerintahan di bidang pendidikan tinggi.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
setelah mendapatkan rekomendasi Menteri.
(3) Pembinaan teknis pendidikan tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri.
(4) Pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
merupakan pembinaan teknis keprofesian untuk
mencapai Standar Profesi atau standar kompetensi.
-95-

(5) Pembinaan akademik pendidikan tinggi sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh menteri yang
menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang
pendidikan tinggi.

Pasal 204
(1) Pendidikan profesi bidang kesehatan sebagai bagian dari
pendidikan tinggi dapat diselenggarakan oleh perguruan
tinggi dan bekerja sama dengan kementerian yang
menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang
pendidikan tinggi, kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan, kolegium,
dan/atau pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Selain diselenggarakan oleh perguruan tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendidikan profesi
bidang kesehatan juga dapat diselenggarakan oleh
Rumah Sakit pendidikan yang bekerja sama dengan
perguruan tinggi, kementerian yang menyelenggarakan
tugas pemerintahan di bidang pendidikan tinggi,
kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan serta kolegium,
dan/atau pihak lain yang terkait sesuai dengan
kebutuhan.
(3) Penyelenggaraan pendidikan profesi bidang kesehatan
oleh Rumah Sakit pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan setelah mendapatkan izin dari
Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang
pendidikan tinggi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
pendidikan profesi bidang kesehatan yang
diselenggarakan oleh Rumah Sakit pendidikan diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
-96-

Pasal 205
Dalam penyusunan kurikulum pendidikan Tenaga Medis dan
Tenaga Kesehatan, penyelenggara pendidikan tinggi harus
mengacu pada standar nasional pendidikan tinggi yang
ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan tugas
pemerintahan di bidang pendidikan tinggi.

Pasal 206
(1) Penyelenggaraan pendidikan tinggi harus memenuhi
standar nasional pendidikan Tenaga Medis atau Tenaga
Kesehatan.
(2) Standar nasional pendidikan Tenaga Medis atau Tenaga
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengacu pada standar nasional pendidikan tinggi.
(3) Standar nasional pendidikan Tenaga Medis atau Tenaga
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun
bersama oleh menteri yang menyelenggarakan tugas
pemerintahan di bidang pendidikan tinggi, Menteri, dan
kolegium setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan.
(4) Kolegium setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertugas untuk
mengembangkan dan mengampu suatu cabang disiplin
ilmu kesehatan.
(5) Standar nasional pendidikan Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
menteri yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di
bidang pendidikan tinggi setelah berkoordinasi dengan
Menteri.

Pasal 207
(1) Dalam rangka penjaminan mutu lulusan, penyelenggara
pendidikan tinggi hanya dapat menerima mahasiswa
sesuai dengan kuota nasional.
(2) Kuota nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memperhatikan kebutuhan Tenaga Medis dan
Tenaga Kesehatan dalam Pelayanan Kesehatan.
-97-

(3) Kebutuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam


Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan oleh Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kuota nasional
penerimaan mahasiswa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri
yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang
pendidikan tinggi setelah berkoordinasi dengan Menteri.

Pasal 208
(1) Mahasiswa pendidikan vokasi dan pendidikan profesi
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan harus mengikuti
Uji Kompetensi secara nasional setelah dinyatakan lulus
dan mendapatkan ijazah profesi.
(2) Uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh institusi pendidikan Tenaga Medis
atau Tenaga Kesehatan bekerja sama dengan Kolegium.
(3) Uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditujukan untuk mencapai standar kompetensi Tenaga
Medis atau Tenaga Kesehatan.
(4) Pencapaian standar kompetensi Tenaga Medis atau
Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diberikan dalam bentuk sertifikat kompetensi dari
Kolegium yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Mahasiswa pendidikan vokasi dan pendidikan profesi
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang tidak lulus
dalam uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) hanya diberi ijazah profesi.
(6) Mahasiswa Pendidikan vokasi dan Pendidikan profesi
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang tidak lulus
uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dapat mengikuti uji kompetensi ulang yang
diselenggarakan oleh Kolegium dengan pembiayaan dari
Pemerintah Pusat.
(7) Dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah Tenaga
Medis atau Tenaga Kesehatan dinyatakan tidak lulus
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pemerintah Pusat
-98-

memberikan pendampingan dan dukungan kepada


Kolegium dalam melaksanakan bimbingan uji
kompetensi bagi Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan.
(8) Standar kompetensi Tenaga Medis atau Tenaga
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia untuk
Tenaga Medis atau Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
untuk Tenaga Kesehatan.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
uji kompetensi diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 209
(1) Dalam rangka percepatan pengadaan Tenaga Medis dan
Tenaga Kesehatan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat
dapat memberikan bantuan pendanaan pendidikan
dengan kewajiban Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan
melaksanakan masa pengabdian pada Fasilitas
Pelayanan Kesehatan yang ditunjuk setelah
menyelesaikan pendidikan.
(2) Selain bantuan pendanaan pendidikan untuk tenaga
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam
rangka peningkatan kualifikasi pendidikan, Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dapat
memberikan bantuan pendanaan pendidikan kepada
tenaga penunjang Kesehatan dengan kewajiban
melaksanakan masa pengabdian.
(3) Bantuan pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berupa:
a. pendanaan afirmasi Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan;
b. bantuan pendidikan spesialis-subspesialis;
c. pendanaan sebagian (partial funding); dan
d. bantuan pendanaan pendidikan lainnya.
(4) Masa pengabdian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk jangka waktu tertentu dalam rangka
-99-

pemenuhan kebutuhan Tenaga Medis dan Tenaga


Kesehatan.
(5) Masa pengabdian sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diperhitungkan sebagai masa kerja.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan pendanaan
pendidikan dan masa pengabdian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 210
(1) Dalam hal jumlah dan distribusi Tenaga Kesehatan
masih kurang atau sudah melebihi kebutuhan
berdasarkan perencanaan nasional, Menteri memberikan
rekomendasi penyesuaian laju pengadaan Tenaga
Kesehatan untuk ditindaklanjuti oleh menteri yang
memiliki tugas pemerintahan di bidang pendidikan
tinggi.
(2) Rekomendasi penyesuaian laju pengadaan Tenaga
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa:
a. pengurangan atau penambahan kuota penerimaan
mahasiswa baru;
b. moratorium atau pembukaan moratorium program
studi; dan
c. penutupan atau pembukaan program studi.

Pasal 211
Dalam rangka mempercepat pengadaan Tenaga Medis dan
Tenaga Kesehatan, memberikan kepastian hukum dalam
penyelenggaraan pendidikan tinggi bidang kesehatan selain
yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi, memberikan
kepastian hukum bagi lulusan pendidikan tinggi bidang
kesehatan yang diselenggarakan oleh institusi penyelenggara
pendidikan kesehatan selain perguruan tinggi, dan
memberikan kepastian hukum dan kemudahan dalam
pembukaan program studi profesi dan spesialis oleh institusi
penyelenggara pendidikan kesehatan selain perguruan tinggi
-100-

bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, Undang-Undang


ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan
pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4301); dan
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5336).

Pasal 212
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
(1) Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan
setelah pendidikan menengah yang mencakup
program pendidikan diploma, sarjana, magister,
spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh
perguruan tinggi dan/atau institusi penyelenggara
pendidikan profesi tertentu.
(2) Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem
terbuka.

2. Di antara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat


yakni ayat (3a) dan ayat (4) Pasal 20 diubah sehingga
Pasal 20 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi,
politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.
-101-

(2) Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan


pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat.
(3) Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program
akademik, profesi, dan/atau vokasi.
(3a) Selain perguruan tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), program profesi dapat
diselenggarakan oleh institusi penyelenggara
pendidikan profesi tertentu.
(4) Ketentuan mengenai perguruan tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3a)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

3. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga Pasal 21 berbunyi


sebagai berikut:
Pasal 21
(1) Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan
pendirian dan dinyatakan berhak
menyelenggarakan program pendidikan tertentu
dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau
vokasi sesuai dengan program pendidikan yang
diselenggarakannya.
(2) Selain perguruan tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemberian gelar profesi dapat
diberikan oleh institusi penyelenggara pendidikan
profesi tertentu.
(3) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara
pendidikan yang:
a. bukan merupakan perguruan tinggi dilarang
memberikan gelar akademik, profesi, atau
vokasi; dan
b. bukan merupakan institusi penyelenggara
pendidikan profesi tertentu dilarang memberikan
gelar profesi.
(4) Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya
digunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi yang
-102-

dinyatakan berhak memberikan gelar akademik,


profesi, atau vokasi.
(5) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), gelar profesi juga dapat digunakan oleh lulusan
dari institusi penyelenggara Pendidikan profesi
tertentu yang dinyatakan berhak memberikan gelar
profesi.
(6) Penggunaan gelar akademik, profesi, atau vokasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
hanya dibenarkan dalam bentuk dan singkatan
yang diterima dari penyelenggara pendidikan yang
bersangkutan.
(7) Penyelenggara pendidikan yang tidak memenuhi
persyaratan pendirian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) atau penyelenggara pendidikan bukan
perguruan tinggi atau institusi penyelenggara
pendidikan profesi tertentu yang melakukan
tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikenai sanksi administratif berupa penutupan
penyelenggaraan pendidikan.
(8) Gelar akademik, profesi, atau vokasi yang
dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan yang
tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan
tidak sah.
(9) Ketentuan mengenai gelar akademik, profesi, atau
vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (8) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

4. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 25 diubah sehingga


Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
(1) Perguruan tinggi dan institusi penyelenggara
pendidikan profesi tertentu menetapkan persyaratan
kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik,
profesi, atau vokasi.
-103-

(2) Lulusan perguruan tinggi dan institusi


penyelenggara pendidikan profesi tertentu yang
karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar
akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan
jiplakan dicabut gelarnya.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan dan
pencabutan gelar akademik, profesi, atau vokasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

5. Ketentuan ayat (6) Pasal 50 diubah sehingga Pasal 50


berbunyi sebagai berikut:
Pasal 50
(1) Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan
tanggung jawab Menteri dan menteri lain yang
menyelenggarakan Pendidikan.
(2) Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan
standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu
pendidikan nasional.
(3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan
pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang
bertaraf internasional.
(4) Pemerintah Daerah provinsi melakukan koordinasi
atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan
tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas
penyelenggaraan pendidikan lintas daerah
kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar
dan menengah.
(5) Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan
dasar dan pendidikan menengah, serta satuan
pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
(6) Perguruan tinggi dan institusi penyelenggara
pendidikan profesi tertentu menentukan kebijakan
dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan
di lembaganya.
-104-

(7) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

6. Diantara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 53 disisipkan 1 (satu)


ayat yakni ayat (1a), sehingga Pasal 53 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 53
(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal
yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat
berbentuk badan hukum Pendidikan.
(1a) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan bagi institusi penyelenggara
Pendidikan profesi tertentu.
(2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan
pendidikan kepada peserta didik.
(3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat
mengelola dana secara mandiri untuk memajukan
satuan pendidikan.
(4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur
dengan Undang-Undang tersendiri.

Pasal 213
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 158, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5336) diubah sebagai
berikut:
1. Ketentuan angka 2 diubah dan diantara angka 8 dan
angka 9 Pasal 1 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka
8a, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
-105-

1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana


untuk mewujudkan suasana belajar dan
pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan negara.
2. Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah
pendidikan menengah yang mencakup program
diploma, program sarjana, program magister,
program doktor, dan program profesi, serta program
spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan
tinggi atau institusi penyelenggara pendidikan
profesi tertentu berdasarkan kebudayaan bangsa
Indonesia.
3. Ilmu Pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan
yang digali, disusun, dan dikembangkan secara
sistematis dengan menggunakan pendekatan
tertentu, yang dilandasi oleh metodologi ilmiah
untuk menerangkan gejala alam dan/atau
kemasyarakatan tertentu.
4. Teknologi adalah penerapan dan pemanfaatan
berbagai cabang Ilmu Pengetahuan yang
menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan dan
kelangsungan hidup, serta peningkatan mutu
kehidupan manusia.
5. Humaniora adalah disiplin akademik yang mengkaji
nilai intrinsik kemanusiaan.
6. Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang
menyelenggarakan Pendidikan Tinggi.
7. Perguruan Tinggi Negeri yang selanjutnya disingkat
PTN adalah Perguruan Tinggi yang didirikan
dan/atau diselenggarakan oleh Pemerintah.
8. Perguruan Tinggi Swasta yang selanjutnya disingkat
PTS adalah Perguruan Tinggi yang didirikan
dan/atau diselenggarakan oleh masyarakat.
-106-

8a. Institusi Penyelenggara Pendidikan Profesi Tertentu


adalah rumah sakit pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan profesi spesialis dan
yang lebih tinggi.
9. Tridharma Perguruan Tinggi yang selanjutnya
disebut Tridharma adalah kewajiban Perguruan
Tinggi untuk menyelenggarakan Pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
10. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut
kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk
memperoleh informasi, data, dan keterangan yang
berkaitan dengan pemahaman dan/atau pengujian
suatu cabang ilmu pengetahuan dan teknologi.
11. Pengabdian kepada Masyarakat adalah kegiatan
sivitas akademika yang memanfaatkan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi untuk memajukan
kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.
12. Pembelajaran adalah proses interaksi mahasiswa
dengan dosen dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar.
13. Sivitas Akademika adalah masyarakat akademik
yang terdiri atas dosen dan mahasiswa.
14. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan
dengan tugas utama mentransformasikan,
mengembangkan, dan menyebarluaskan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi melalui Pendidikan,
Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat.
15. Mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang
Pendidikan Tinggi.
16. Masyarakat adalah kelompok warga negara
Indonesia nonpemerintah yang mempunyai
perhatian dan peranan dalam bidang Pendidikan
Tinggi.
17. Program Studi adalah kesatuan kegiatan Pendidikan
dan pembelajaran yang memiliki kurikulum dan
metode pembelajaran tertentu dalam satu jenis
-107-

pendidikan akademik, pendidikan profesi, dan/atau


pendidikan vokasi.
18. Standar Nasional Pendidikan Tinggi adalah satuan
standar yang meliputi standar nasional pendidikan,
ditambah dengan standar penelitian, dan standar
pengabdian kepada masyarakat.
19. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
20. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau
walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
21. Kementerian adalah perangkat pemerintah yang
membidangi urusan pemerintahan di bidang
pendidikan.
22. Kementerian lain adalah perangkat pemerintah yang
membidangi urusan pemerintahan di luar bidang
pendidikan.
23. Lembaga Pemerintah Nonkementerian yang
selanjutnya disingkat LPNK adalah lembaga
Pemerintah Pusat yang melaksanakan tugas
pemerintahan tertentu.
24. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pendidikan.

2. Ketentuan ayat (3) huruf e diubah dan diantara ayat (4)


dan ayat (5) Pasal 7 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat
(4a), sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Menteri bertanggung jawab atas penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi.
(2) Tanggung jawab Menteri atas penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mencakup pengaturan, perencanaan,
-108-

pengawasan, pemantauan, dan evaluasi serta


pembinaan dan koordinasi.
(3) Tugas dan wewenang Menteri atas penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi meliputi:
a. kebijakan umum dalam pengembangan dan
koordinasi Pendidikan Tinggi sebagai bagian dari
sistem pendidikan nasional untuk mewujudkan
tujuan Pendidikan Tinggi;
b. penetapan kebijakan umum nasional dan
penyusunan rencana pengembangan jangka
panjang, menengah, dan tahunan Pendidikan
Tinggi yang berkelanjutan;
c. peningkatan penjaminan mutu, relevansi,
keterjangkauan, pemerataan yang berkeadilan,
dan akses Pendidikan Tinggi secara
berkelanjutan;
d. pemantapan dan peningkatan kapasitas
pengelolaan akademik dan pengelolaan sumber
daya Perguruan Tinggi;
e. pemberian dan pencabutan izin yang berkaitan
dengan penyelenggaraan Perguruan Tinggi
kecuali pendidikan tinggi keagamaan dan
Pendidikan Tinggi bidang kesehatan yang
diselenggarakan oleh Institusi Penyelenggara
Pendidikan Tertentu;
f. kebijakan umum dalam penghimpunan dan
pendayagunaan seluruh potensi masyarakat
untuk mengembangkan Pendidikan Tinggi;
g. pembentukan dewan, majelis, komisi, dan/atau
konsorsium yang melibatkan Masyarakat untuk
merumuskan kebijakan pengembangan
Pendidikan Tinggi; dan
h. pelaksanaan tugas lain untuk menjamin
pengembangan dan pencapaian tujuan
Pendidikan Tinggi.
(4) Dalam hal penyelenggaraan pendidikan tinggi
keagamaan, tanggung jawab, tugas, dan wewenang
-109-

dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan


urusan pemerintahan di bidang agama.
(4a) Dalam hal penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
bidang kesehatan oleh Institusi Penyelenggara
Pendidikan Profesi Tertentu, tanggung jawab, tugas
dan wewenang dilaksanakan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan berkoordinasi dengan Menteri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab
Menteri atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tugas dan
wewenang Menteri sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

3. Diantara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 24 disisipkan 1 (satu)


ayat yakni ayat (2a), sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
(1) Program profesi merupakan pendidikan keahlian
khusus yang diperuntukkan bagi lulusan program
sarjana atau sederajat untuk mengembangkan
bakat dan kemampuan memperoleh kecakapan
yang diperlukan dalam dunia kerja.
(2) Program profesi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi
yang bekerja sama dengan Kementerian,
Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi
yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi.
(2a) Selain diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penyelenggaraan program profesi dapat
diselenggarakan oleh Institusi Penyelenggara
Pendidikan Profesi Tertentu dan dapat bekerja sama
dengan Perguruan Tinggi, kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan, Kementerian, dan/atau pihak lain sesuai
dengan kebutuhan.
-110-

(3) Program profesi sebagaimana dimaksud pada ayat


(2) menyiapkan lulusan profesional.
(4) Program profesi wajib memiliki Dosen yang
berkualifikasi akademik minimum lulusan program
profesi dan/atau lulusan program magister atau
yang sederajat dengan pengalaman kerja paling
singkat 2 (dua) tahun.
(5) Lulusan program profesi berhak menggunakan gelar
profesi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai program profesi
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

4. Diantara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 25 disisipkan 1 (satu)


ayat yakni ayat (2a), sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25
(1) Program spesialis merupakan pendidikan keahlian
lanjutan yang dapat bertingkat dan diperuntukkan
bagi lulusan program profesi yang telah
berpengalaman sebagai profesional untuk
mengembangkan bakat dan kemampuannya
menjadi spesialis.
(2) Program spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi
yang bekerja sama dengan Kementerian,
Kementerian lain, LPNK dan/atau organisasi profesi
yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi.
(2a) Selain diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penyelenggaraan program spesialis dapat
diselenggarakan oleh Institusi Penyelenggara
Pendidikan Profesi Tertentu dan dapat bekerja sama
dengan Perguruan Tinggi, kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan, Kementerian, dan/atau pihak lain sesuai
dengan kebutuhan.
-111-

(3) Program spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat


(2) meningkatkan kemampuan spesialisasi dalam
cabang ilmu tertentu.
(4) Program spesialis wajib memiliki Dosen yang
berkualifikasi akademik minimum lulusan program
spesialis dan/atau lulusan program doktor atau
yang sederajat dengan pengalaman kerja paling
singkat 2 (dua) tahun.
(5) Lulusan program spesialis berhak menggunakan
gelar spesialis.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai program spesialis
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

5. Ketentuan ayat (6) Pasal 26 diubah, sehingga Pasal 26


berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
(1) Gelar akademik diberikan oleh Perguruan Tinggi
yang menyelenggarakan pendidikan akademik.
(2) Gelar akademik terdiri atas:
a. sarjana;
b. magister; dan
c. doktor.
(3) Gelar vokasi diberikan oleh Perguruan Tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan vokasi.
(4) Gelar vokasi terdiri atas:
a. ahli pratama;
b. ahli muda;
c. ahli madya;
d. sarjana terapan;
e. magister terapan; dan
f. doktor terapan.
(5) Gelar profesi diberikan oleh Perguruan Tinggi atau
Institusi Penyelenggara Pendidikan Profesi Tertentu
yang menyelenggarakan pendidikan profesi.
(6) Gelar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
ditetapkan oleh Perguruan Tinggi atau Institusi
Penyelenggara Pendidikan Profesi Tertentu bersama
-112-

dengan Kementerian, Kementerian Lain, LPNK,


dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab
terhadap mutu layanan profesi.
(7) Gelar profesi terdiri atas:
a. profesi; dan
b. spesialis.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai gelar akademik,
gelar vokasi, atau gelar profesi diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

6. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 28
(1) Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi
hanya digunakan oleh lulusan dari Perguruan
Tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar
akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi.
(2) Selain perguruan tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemberian gelar profesi dapat
diberikan oleh institusi penyelenggara pendidikan
profesi tertentu.
(3) Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi
hanya dibenarkan dalam bentuk dan inisial atau
singkatan yang diterima dari Perguruan Tinggi atau
institusi penyelenggara pendidikan profesi tertentu.
(4) Gelar akademik dan gelar vokasi dinyatakan tidak
sah dan dicabut oleh Menteri apabila dikeluarkan
oleh:
a. Perguruan Tinggi dan/atau Program Studi yang
tidak terakreditasi; dan/atau
b. perseorangan, organisasi, atau penyelenggara
Pendidikan Tinggi yang tanpa hak mengeluarkan
gelar akademik dan gelar vokasi.
(5) Gelar profesi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh
Menteri apabila dikeluarkan oleh:
a. Perguruan Tinggi dan/atau Program Studi yang
tidak terakreditasi;
-113-

b. bukan penyelenggara Pendidikan profesi


tertentu; dan/atau
c. perseorangan, organisasi, atau lembaga lain
yang tanpa hak mengeluarkan gelar profesi.
(6) Gelar akademik dan/atau gelar vokasi dinyatakan
tidak sah dan dicabut oleh Perguruan Tinggi apabila
karya ilmiah yang digunakan untuk memperoleh
gelar akademik dan/atau gelar vokasi terbukti
merupakan hasil jiplakan atau plagiat, atau
dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Perguruan
Tinggi atau institusi penyelenggara pendidikan
profesi tertentu apabila gelar profesi terbukti
merupakan hasil jiplakan atau plagiat.
(7) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara
Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang
memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar
profesi.
(8) Perseorangan yang tanpa hak dilarang
menggunakan gelar akademik, gelar vokasi,
dan/atau gelar profesi.

7. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 33
(1) Program pendidikan dilaksanakan melalui Program
Studi.
(2) Program Studi memiliki kurikulum dan metode
pembelajaran sesuai dengan program Pendidikan.
(3) Program Studi diselenggarakan atas izin Menteri
dan/atau menteri lain yang menyelenggarakan
Pendidikan setelah memenuhi persyaratan
minimum akreditasi.
(4) Program Studi dikelola oleh suatu satuan unit
pengelola yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi
atau institusi penyelenggara Pendidikan profesi
tertentu.
-114-

(5) Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


mendapatkan akreditasi pada saat memperoleh izin
penyelenggaraan.
(6) Program Studi wajib diakreditasi ulang pada saat
jangka waktu akreditasinya berakhir.
(7) Program Studi yang tidak diakreditasi ulang
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dicabut
izinnya oleh Menteri dan/atau menteri lain yang
menyelenggarakan Pendidikan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai metode
pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pemberian izin Program Studi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), dan pencabutan izin
Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
diatur dalam Peraturan Menteri dan/atau peraturan
menteri lain yang menyelenggarakan pendidikan
profesi tertentu.

8. Diantara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 34 disisipkan 1 (satu)


ayat yakni ayat (1a) dan ditambahkan 1 (satu) ayat yakni
ayat (3), sehingga Pasal 34 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34
(1) Program Studi diselenggarakan di kampus utama
Perguruan Tinggi, dan/atau dapat diselenggarakan
di luar kampus utama dalam suatu provinsi atau di
provinsi lain melalui kerja sama dengan Perguruan
Tinggi setempat.
(1a) Program Studi yang dilaksanakan oleh Institusi
Penyelenggara Pendidikan Profesi Tertentu
diselenggarakan di rumah sakit Pendidikan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
Program Studi di kampus utama Perguruan Tinggi
dan/atau di luar kampus utama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
Program Studi di Institusi Penyelenggara Pendidikan
-115-

Profesi Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat


(1a) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

9. Ketentuan ayat (1) Pasal 43 diubah, sehingga Pasal 43


berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43
(1) Sertifikat profesi merupakan pengakuan untuk
melakukan praktik profesi yang diperoleh lulusan
pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh
Perguruan Tinggi atau Institusi Penyelenggara
Pendidikan Profesi Tertentu yang bekerja sama
dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK,
dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab
atas mutu layanan profesi, dan/atau badan lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diterbitkan oleh Perguruan Tinggi atau Institusi
Penyelenggara Pendidikan Profesi Tertentu.
(3) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara
Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang
memberikan sertifikat profesi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat profesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

10. Ketentuan ayat (1), ayat (2) huruf a, dan ayat (4) Pasal 56
diubah sehingga Pasal 56 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 56
(1) Pangkalan Data Pendidikan Tinggi merupakan
kumpulan data penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
seluruh Perguruan Tinggi dan Institusi
Penyelenggara Pendidikan Profesi Tertentu yang
terintegrasi secara nasional.
(2) Pangkalan Data Pendidikan Tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai sumber
informasi bagi:
-116-

a. lembaga akreditasi, untuk melakukan akreditasi


Program Studi, Perguruan Tinggi, dan Institusi
Penyelenggara Pendidikan Profesi Tertentu;
b. Pemerintah, untuk melakukan pengaturan,
perencanaan, pengawasan, pemantauan, dan
evaluasi serta pembinaan dan koordinasi
Program Studi dan Perguruan Tinggi atau
Institusi Penyelenggara Pendidikan Profesi
Tertentu; dan
c. Masyarakat, untuk mengetahui kinerja Program
Studi dan Perguruan Tinggi atau Institusi
Penyelenggara Pendidikan Profesi Tertentu.
(3) Pangkalan Data Pendidikan Tinggi dikembangkan
dan dikelola oleh Kementerian atau dikelola oleh
lembaga yang ditunjuk oleh Kementerian.
(4) Penyelenggara Perguruan Tinggi dan Institusi
Penyelenggara Pendidikan Profesi Tertentu wajib
menyampaikan data dan informasi penyelenggaraan
Perguruan Tinggi serta memastikan kebenaran dan
ketepatannya.

Bagian Keempat
Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan

Paragraf 1
Umum

Pasal 214
(1) Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dalam rangka
pemenuhan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 196.
(2) Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
dan/atau masyarakat sesuai dengan tugas dan fungsi
masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
-117-

(3) Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan aspek pemerataan, pemanfaatan,
dan/atau pengembangan.

Pasal 215
(1) Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib memenuhi
kebutuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan untuk
Pelayanan Kesehatan dasar di Puskesmas dan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan tingkat pertama lainnya milik
Pemerintah Daerah.
(2) Pemerintah Pusat dapat memberikan insentif atau
disinsentif kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota
dalam pemenuhan kebutuhan Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai insentif atau disinsentif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 216
Pemerintah Daerah bertanggungjawab melakukan
pemenuhan Tenaga Kesehatan untuk pelayanan Kesehatan
rujukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan miliknya.

Paragraf 2
Pendayagunaan Tenaga Medis
dan Tenaga Kesehatan di Dalam Negeri

Pasal 217
(1) Dalam rangka pemerataan Pelayanan Kesehatan dan
pemenuhan kebutuhan Pelayanan Kesehatan kepada
masyarakat, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
bertanggung jawab melakukan penempatan Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan setelah melalui proses
seleksi.
-118-

(2) Penempatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan oleh


Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
a. pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil;
b. pengangkatan sebagai pegawai pemerintah dengan
perjanjian kerja;
c. penugasan khusus; atau
d. Pengangkatan pegawai pada fasilitas pelayanan
kesehatan yang menerapkan pola pengelolaan
keuangan BLU/BLUD.
(3) Selain penempatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah Pusat dapat menempatkan Tenaga Medis
dan Tenaga Kesehatan melalui pengangkatan sebagai
anggota TNI/POLRI.
(4) Pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil dan pegawai
pemerintah dengan perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b serta
penempatan melalui pengangkatan sebagai anggota
TNl/POLRI sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(5) Penempatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
melalui penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c dilakukan oleh Menteri berkoordinasi
dengan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang dalam negeri dengan
memperhatikan kebutuhan Pelayanan Kesehatan,
ketersediaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan serta
dengan memperhatikan daerah tertinggal, perbatasan,
dan kepulauan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengangkatan pegawai
pada fasilitas pelayanan kesehatan yang menerapkan
pola pengelolaan keuangan BLU/BLUD sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf d dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan.
-119-

Pasal 218
Penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 diikuti
dengan upaya retensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.

Pasal 219
(1) Dalam rangka pemerataan pelayanan medis spesialistik,
Pemerintah Pusat, rumah sakit pendidikan, dan institusi
pendidikan dapat mendayagunakan mahasiswa program
pendidikan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan
mahasiswa program pendidikan dokter spesialis atau
dokter gigi spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam peraturan Menteri.

Pasal 220
(1) Dalam rangka pemerataan Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan sesuai dengan kebutuhan Pelayanan
Kesehatan, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah
Daerah dapat memanfaatkan Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan lulusan dari perguruan tinggi yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau masyarakat
untuk mengikuti seleksi penempatan.
(2) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang telah lulus
seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditempatkan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah untuk
jangka waktu tertentu.
(3) Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) atau kepala daerah yang
membawahi Fasilitas Pelayanan Kesehatan tersebut
harus mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan
insentif, jaminan keamanan, serta keselamatan kerja
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud
-120-

pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam


Peraturan Pemerintah.

Pasal 221
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat
dipindahtugaskan antarprovinsi, antarkabupaten, atau
antarkota karena alasan kebutuhan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan dan/atau promosi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang bertugas di
daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan serta
daerah bermasalah kesehatan dapat memperoleh
tunjangan atau insentif khusus, jaminan keamanan,
dukungan sarana prasarana dan alat kesehatan,
kenaikan pangkat luar biasa, dan pelindungan dalam
pelaksanaan tugas sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Dalam hal terjadi kekosongan Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
harus menyediakan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
pengganti untuk menjamin keberlanjutan Pelayanan
Kesehatan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang
bersangkutan.
(4) Ketentuan lebih Ianjut mengenai pemindahtugasan
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan Tenaga Kesehatan yang
bertugas di daerah tertinggal, perbatasan, dan
kepulauan serta daerah bermasalah kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 222
(1) Dalam keadaan tertentu terjadi kekosongan Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan milik Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah
Daerah untuk sementara waktu, Pemerintah Pusat
-121-

dan/atau Pemerintah Daerah harus menyediakan


Tenaga Kesehatan pengganti untuk menjamin
keberlangsungan Pelayanan Kesehatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan tenaga
Kesehatan pengganti pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 223
(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat
menetapkan pola ikatan dinas bagi calon Tenaga Medis
dan Tenaga Kesehatan untuk memenuhi kepentingan
pembangunan kesehatan.
(2) Selain pola ikatan dinas yang diselenggarakan
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan usaha atau
masyarakat dapat menetapkan pola ikatan dinas dalam
rangka memenuhi kepentingan Pelayanan Kesehatan di
masyarakat.
(3) Pelaksanaan pola ikatan dinas oleh badan usaha atau
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diikuti
dengan penempatan calon Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan pada daerah terpencil, daerah tertinggal,
perbatasan dan kepulauan, daerah bermasalah
kesehatan, atau daerah tidak diminati dalam rangka
dukungan pemerataan Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi
calon Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3
Pendayagunaan Tenaga Cadangan Kesehatan untuk
Penanggulangan Kejadian Luar Biasa, Wabah, dan Darurat
Bencana Lainnya
-122-

Pasal 224
(1) Pemerintah Pusat membentuk tenaga cadangan
Kesehatan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya
manusia Kesehatan dan mendukung ketahanan
Kesehatan.
(2) Tenaga cadangan Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas Tenaga Medis, Tenaga
Kesehatan, dan non-Tenaga Kesehatan yang
dipersiapkan untuk dimobilisasi pada penanggulangan
KLB, Wabah, dan darurat bencana lainnya.
(3) Tenaga cadangan kesehatan berupa non-Tenaga
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
berasal dari Tenaga Kesehatan yang sudah tidak aktif
lagi menjalankan praktik Tenaga Kesehatan dan tenaga
lainnya yang telah mendapatkan pelatihan terkait
dengan penanggulangan KLB, Wabah, dan darurat
bencana lainnya.
(4) Tenaga cadangan Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan pengelolaan melalui proses
Registrasi dan kredensial dengan memanfaatkan
teknologi informasi, pembinaan dan peningkatan
kapasitas tenaga cadangan Kesehatan, serta
pelaksanaan mobilisasi.

Pasal 225
Tenaga cadangan Kesehatan yang ditugaskan oleh
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 224 diberikan insentif dan/atau
tunjangan daerah sesuai dengan kemampuan keuangan
daerah masing-masing dan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 226
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan tenaga
cadangan Kesehatan untuk penanggulangan KLB, Wabah,
dan darurat bencana lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 224 dan Pasal 225 diatur dalam Peraturan Menteri.
-123-

Paragraf 4
Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga
Negara Indonesia ke Luar Negeri

Pasal 227
(1) Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
warga negara Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan
dengan mempertimbangkan keseimbangan antara
kebutuhan Tenaga Kesehatan di Indonesia dan peluang
kerja bagi Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia di
luar negeri.
(2) Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
warga negara Indonesia ke luar negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 5
Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri

Pasal 228
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara
Indonesia lulusan luar negeri yang akan melaksanakan
praktik di Indonesia harus mengikuti evaluasi
kompetensi.
(2) Evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. penilaian kelengkapan administratif; dan
b. penilaian kemampuan praktik.
(3) Penilaian kemampuan praktik sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b dilakukan setelah penilaian
kelengkapan administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a.
(4) Dalam rangka penilaian kemampuan praktik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan
penyetaraan kompetensi dan/atau uji kompetensi.
-124-

(5) Penyetaraan kompetensi sebagaimana dimaksud pada


ayat (4) bertujuan untuk memastikan kesesuaian dengan
standar kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
di Indonesia.
(6) Penyetaraan kompetensi dan/atau uji kompetensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh
Menteri bekerjasama dengan konsil.
(7) Hasil uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) berupa:
a. kompeten; atau
b. belum kompeten.
(8) Dalam hal hasil uji kompetensi dinyatakan kompeten
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a, Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia
lulusan luar negeri mengikuti adaptasi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.
(9) Dalam hal hasil uji kompetensi dinyatakan belum
kompeten sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b,
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara
Indonesia lulusan luar negeri harus mengikuti
penambahan kompetensi melalui program fellowship
atau pelatihan.

Pasal 229
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara
Indonesia lulusan luar negeri yang akan mengikuti
adaptasi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus
memiliki STR adaptasi dan SIP adaptasi.
(2) Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bagian akhir penilaian praktik dan
digunakan dalam upaya pendayagunaan Tenaga Medis
dan Tenaga Kesehatan.
(3) STR adaptasi dan SIP adaptasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan STR
adaptasi dan SIP adaptasi sebagaimana dimaksud pada
-125-

ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan


Menteri.
Pasal 230
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 229, bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga
negara Indonesia lulusan luar negeri yang:
a. merupakan lulusan dari perguruan tinggi atau institusi
pendidikan tertentu di luar negeri;
b. telah praktik paling sedikit 2 (dua) tahun di luar negeri;
atau
c. merupakan ahli dalam bidang unggulan tertentu dalam
Pelayanan Kesehatan yang dibuktikan dengan sertifikasi
kompetensi;
dan akan didayagunakan di Indonesia, dilakukan evaluasi
kompetensi melalui penilaian portofolio.

Pasal 231
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia
lulusan luar negeri yang telah lulus evaluasi kompetensi dan
akan melaksanakan praktik di Indonesia harus memiliki STR
dan SIP sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini.

Pasal 232
Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi kompetensi dan
mekanisme pemberian surat persetujuan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Paragraf 6
Pemanfaatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga
Negara Asing Lulusan Luar Negeri

Pasal 233
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing
lulusan luar negeri yang melaksanakan praktik di
Indonesia harus mengikuti evaluasi kompetensi.
-126-

(2) Evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) meliputi:
a. penilaian kelengkapan administratif; dan
b. penilaian kemampuan praktik.
(3) Penilaian kemampuan praktik sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b dilakukan setelah penilaian
kelengkapan administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a.
(4) Dalam rangka penilaian kemampuan praktik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan
penyetaraan kompetensi dan/atau uji kompetensi.
(5) Penyetaraan kompetensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) bertujuan untuk memastikan kesesuaian dengan
standar kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
di Indonesia.
(6) Penyetaraan kompetensi dan/atau uji kompetensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh
Menteri bekerjasama dengan konsil.
(7) Hasil uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) berupa:
a. kompeten; atau
b. belum kompeten.
(8) Dalam hal hasil uji kompetensi dinyatakan kompeten
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a, Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing lulusan
luar negeri harus mengikuti adaptasi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.
(9) Dalam hal hasil uji kompetensi dinyatakan belum
kompeten sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b,
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing
lulusan luar negeri harus kembali ke negara asalnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 234
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing
lulusan luar negeri yang mengikuti adaptasi di Fasilitas
-127-

Pelayanan Kesehatan harus memiliki STR sementara dan


SIP.
(2) Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bagian akhir penilaian praktik dan
digunakan dalam upaya pemanfaatan Tenaga Medis dan
Tenaga Kesehatan.
(3) STR sementara dan SIP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterbitkan oleh Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan STR
sementara dan SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 235
(1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 234, bagi Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang:
a. telah praktik sebagai spesialis atau subspesialis
paling sedikit 5 (lima) tahun di luar negeri; atau
b. merupakan ahli dalam suatu bidang unggulan
tertentu dalam Pelayanan Kesehatan yang dibuktikan
dengan sertifikasi kompetensi dan telah praktik
paling sedikit 5 (lima) tahun di luar negeri,
yang akan didayagunakan di Indonesia, dilakukan
evaluasi kompetensi melalui penilaian portofolio.
(2) Ketentuan telah melakukan praktik paling sedikit 5
(lima) tahun di luar negeri atau ahli dalam suatu bidang
unggulan tertentu dalam Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan
dengan surat keterangan atau dokumen lain yang
diterbitkan oleh lembaga yang berwenang di negara yang
bersangkutan.

Pasal 236
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing
dapat melakukan praktik pada Fasilitas Pelayanan
Kesehatan di Indonesia dalam rangka investasi atau
noninvestasi, dengan ketentuan:
-128-

a. terdapat permintaan dari pengguna Tenaga Medis


dan Tenaga Kesehatan warga negara asing;
b. dalam rangka alih teknologi dan ilmu pengetahuan;
dan
c. untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat
diperpanjang hanya untuk 1 (satu) tahun berikutnya.
(2) Permintaan dari pengguna sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus mengutamakan penggunaan Tenaga Medis
dan Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia dan
memenuhi standar kompetensi.
(3) Ketentuan mengenai Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan warga negara asing yang melakukan praktik
pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia dalam
rangka investasi atau noninvestasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 237
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing
lulusan luar negeri yang telah lulus proses evaluasi
kompetensi dan akan melakukan praktik di Indonesia
wajib memiliki STR sementara dan SIP.
(2) STR sementara bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
warga negara asing lulusan luar negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 3 (tiga) tahun
dan dapat diperpanjang hanya untuk 1 (satu) tahun
berikutnya.
(3) SIP bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga
negara asing lulusan luar negeri berlaku sepanjang STR
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masih
berlaku.

Pasal 238
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing
lulusan luar negeri yang akan menjadi peserta program
pendidikan spesialis di Indonesia wajib memiliki STR
sementara.
-129-

(2) STR sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


berlaku selama masa pendidikan.
Pasal 239
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing
lulusan luar negeri yang akan memberikan pendidikan
dan pelatihan dalam rangka alih ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk waktu tertentu, tidak memerlukan STR
sementara.
(2) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing
lulusan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus mendapat persetujuan dari Menteri.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberikan melalui penyelenggara pendidikan dan
pelatihan.

Pasal 240
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233
sampai dengan Pasal 239, Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan warga negara asing harus memenuhi persyaratan
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 241
Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi kompetensi, STR
sementara, SIP, dan mekanisme pemberian surat persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 sampai dengan
Pasal 239 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Pelatihan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam Rangka
Penjagaan dan Peningkatan Mutu

Pasal 242
(1) Dalam rangka menjaga dan meningkatkan mutu Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan dilakukan pelatihan dan
kegiatan lain yang mendukung kesinambungan dalam
menjalankan praktik.
-130-

(2) Upaya menjaga dan meningkatkan mutu sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh:
a. Menteri;
b. organisasi profesi; dan
c. lembaga pelatihan lain yang diakreditasi oleh
organisasi profesi.
(3) Upaya menjaga dan meningkatkan mutu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
standar mutu profesi.
(4) Pelatihan dan kegiatan lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat digunakan untuk proses sertifikasi melalui
konversi ke dalam satuan kredit profesi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
pelatihan dan kegiatan lain dalam rangka menjaga dan
meningkatkan mutu Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Menteri.

Pasal 243
(1) Dalam rangka peningkatan mutu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 240 serta percepatan pemenuhan Dokter
subspesialis dan Dokter Gigi subspesialis, Menteri
bersama dengan kolegium dapat menyelenggarakan
program pelatihan atau fellowship di Rumah Sakit
pendidikan.
(2) Dokter spesialis dan Dokter Gigi spesialis sebagaimana
dimaksud ayat (1) dapat mengikuti rekognisi
pembelajaran lampau untuk mendapatkan gelar
subspesialis.

Pasal 244
Dalam rangka menjaga dan meningkatkan mutu Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 240 dan Pasal 241, kepala daerah dan pimpinan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertanggung jawab atas
pemberian kesempatan yang sama kepada Tenaga Medis dan
-131-

Tenaga Kesehatan dengan mempertimbangkan penilaian


kinerja dan perilaku.

Bagian Keenam
Registrasi dan Perizinan

Paragraf 1
Registrasi

Pasal 245
(1) Setiap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang
menjalankan praktik keprofesian wajib memiliki STR.
(2) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
oleh konsil setiap kelompok Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan setelah memenuhi persyaratan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi:
a. memiliki ijazah pendidikan di bidang medis atau
kesehatan;
b. memiliki sertifikat kompetensi atau sertifikat profesi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d. memiliki surat pernyataan telah mengucapkan
sumpah/janji profesi; dan
e. membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan
ketentuan etika profesi.
(4) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf
b dikecualikan bagi Tenaga Kesehatan dengan kualifikasi
pendidikan akademik.
(5) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
selama 5 (lima) tahun dan diregistrasi ulang setiap 5
(lima) tahun.
(6) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dicabut
dan diganti dalam hal Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan:
a. berubah kualifikasi kompetensi/profesi; dan/atau
b. beralih profesi.
-132-

Pasal 246
STR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 tidak berlaku
apabila:
a. yang bersangkutan meninggal dunia;
b. dinonaktifkan atau dicabut atas permintaan yang
bersangkutan;
c. dicabut oleh Konsil Kedokteran Indonesia atau konsil
setiap kelompok Tenaga Kesehatan;
d. dicabut berdasarkan putusan pengadilan; atau
e. dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang
ancaman pidananya paling singkat 5 (lima) tahun.

Pasal 247
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Registrasi,
penonaktifan, dan pengaktifan kembali STR Tenaga Medis
dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
245 dan Pasal 246 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 2
Perizinan

Pasal 248
(1) Untuk jenis Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
tertentu dalam menjalankan praktik keprofesiannya
wajib memiliki izin.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
dalam bentuk SIP.
(3) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh
Pemerintah Daerah kabupaten/kota tempat Tenaga
Medis atau Tenaga Kesehatan menjalankan praktiknya.
(4) Dalam pemenuhan percepatan kebutuhan Pelayanan
Kesehatan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal,
SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
diterbitkan oleh bupati/walikota setelah terpenuhi
persyaratan paling sedikit memiliki STR dan
rekomendasi dari Organisasi Profesi.
-133-

(5) Dalam rangka penerbitan SIP sebagaimana dimaksud


pada ayat (3), Pemerintah Daerah kabupaten/kota harus
menetapkan kuota untuk setiap jenis Tenaga Medis dan
Tenaga Kesehatan dengan memperhatikan kriteria paling
sedikit:
a. ketersediaan dan persebaran Tenaga Medis dan
Tenaga Kesehatan pada daerah tersebut;
b. rasio jumlah penduduk dengan Tenaga Medis dan
Tenaga Kesehatan aktif yang ditetapkan oleh Menteri;
dan
c. beban kerja Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.

Pasal 249
(1) Untuk mendapatkan SIP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 248 ayat (2), Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
harus mempunyai:
a. STR;
b. tempat praktik;
c. rekomendasi organisasi profesi; dan
d. bukti pemenuhan kompetensi.
(2) SIP masih berlaku sepanjang tempat praktik masih
sesuai dengan yang tercantum dalam SIP.
(3) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama
5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi
persyaratan.
(4) Persyaratan perpanjangan SIP sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) meliputi:
a. STR;
b. tempat praktik;
c. rekomendasi organisasi profesi; dan
d. pemenuhan kecukupan satuan kredit profesi.
(5) Pengelolaan pemenuhan kecukupan satuan kredit profesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d dilakukan
dengan melibatkan Organisasi Profesi.
(6) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
tidak berlaku apabila:
a. habis masa berlakunya;
-134-

b. yang bersangkutan meninggal dunia;


c. STR dicabut atau dinonaktifkan;
d. SIP dicabut oleh penerbit SIP; atau
e. tempat praktik berubah.

Pasal 250
Dalam kondisi tertentu, Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
yang memberikan Pelayanan Kesehatan tidak memerlukan
SIP di tempat tersebut.

Pasal 251
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 248 sampai dengan Pasal 250 diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 252
(1) Untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan pelayanan
kedokteran, kepala dinas kesehatan provinsi atas nama
Menteri dapat memberikan surat tugas kepada dokter
spesialis atau dokter gigi spesialis tertentu yang telah
memiliki SIP untuk bekerja di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan tertentu tanpa memerlukan SIP di tempat
tersebut.
(2) Pemberian surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan ketentuan:
a. terdapat permintaan dari dinas kesehatan
kabupaten/kota berdasarkan kebutuhan;
b. ketiadaan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis
dengan keahlian dan kompetensi yang sama pada
kabupaten/kota tersebut; dan
c. dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang
mendapat surat tugas harus telah memiliki SIP.
(3) Dalam hal selama jangka waktu keberlakuan surat tugas
telah ada dokter spesialis atau dokter gigi spesialis lain
dengan keahlian dan kompetensi yang sama pada daerah
tersebut, surat tugas menjadi tidak berlaku.
-135-

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat tugas diatur


dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketujuh
Konsil Kedokteran Indonesia dan
Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia

Paragraf 1
Umum

Pasal 253
(1) Untuk menjaga mutu dan kompetensi Tenaga Medis dan
Tenaga Kesehatan dalam rangka melindungi masyarakat,
Presiden membentuk:
a. Konsil Kedokteran Indonesia bagi kelompok tenaga
medis; dan
b. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia bagi kelompok
Tenaga Kesehatan.
(2) Konsil Kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dan bertanggung jawab kepada Presiden.
(3) Selain Konsil Kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Presiden membentuk konsil tenaga kesehatan
tradisional yang bertanggung jawab kepada Presiden
melalui Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai konsil tenaga
Kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 2
Konsil Kedokteran Indonesia

Pasal 254
(1) Susunan organisasi Konsil Kedokteran Indonesia terdiri
atas:
a. Konsil Kedokteran; dan
-136-

b. Konsil Kedokteran Gigi.


(2) Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing
terdiri atas 3 (tiga) divisi, yaitu:
a. Divisi Registrasi;
b. Divisi Standar Pendidikan Profesi; dan
c. Divisi Pembinaan.

Pasal 255
(1) Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia terdiri atas:
a. pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia terdiri atas 3
(tiga) orang merangkap anggota;
b. pimpinan Konsil Kedokteran dan pimpinan Konsil
Kedokteran Gigi masing-masing 1 (satu) orang
merangkap anggota; dan
c. pimpinan divisi pada Konsil Kedokteran dan Konsil
Kedokteran Gigi masing-masing 1 (satu) orang
merangkap anggota.
(2) Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bersifat kolektif kolegial.
(3) Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penanggung
jawab tertinggi.

Pasal 256
(1) Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia terdiri atas
seorang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua.
(2) Pimpinan Konsil Kedokteran terdiri atas seorang ketua
dan 3 (tiga) orang ketua divisi.
(3) Pimpinan Konsil Kedokteran Gigi terdiri atas seorang
ketua dan 3 (tiga) orang ketua divisi.

Pasal 257
(1) Jumlah anggota Konsil Kedokteran Indonesia 15 (lima
belas) orang yang terdiri atas unsur-unsur yang berasal
dari:
a. organisasi profesi kedokteran sebanyak 2 (dua) orang;
-137-

b. organisasi profesi kedokteran gigi sebanyak 2 (dua)


orang;
c. asosiasi institusi pendidikan kedokteran sebanyak 1
(satu) orang;
d. asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi
sebanyak 1 (satu) orang;
e. kolegium kedokteran sebanyak 1 (satu) orang;
f. kolegium kedokteran gigi sebanyak 1 (satu) orang;
g. asosiasi rumah sakit pendidikan sebanyak 2 (dua)
orang;
h. tokoh masyarakat sebanyak 3 (tiga) orang;
i. kementerian yang menangani urusan pemerintahan
di bidang kesehatan sebanyak 1 (satu) orang; dan
j. kementerian yang menangani urusan pemerintahan
di bidang pendidikan tinggi sebanyak 1 (satu) orang.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan
keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia diatur dengan
Peraturan Presiden.

Pasal 258
Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia, pimpinan Konsil
Kedokteran, pimpinan Konsil Kedokteran Gigi, pimpinan divisi
pada Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi dipilih
oleh anggota dan ditetapkan oleh rapat pleno anggota.

Pasal 259
(1) Calon anggota Konsil Kedokteran Indonesia harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berakhlak mulia;
d. berkelakuan baik;
e. pernah melakukan praktik dokter atau dokter gigi
paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki STR
bagi yang berprofesi sebagai dokter atau dokter gigi;
-138-

f. cakap, jujur, memiliki moral, etika dan integritas


yang tinggi serta memiliki reputasi yang baik;
g. tidak menjadi pengurus organisasi politik, Organisasi
Profesi, atau kolegium;
h. tidak menjabat dalam jabatan struktural baik di
pemerintahan maupun di luar pemerintahan; dan
i. memiliki pengetahuan, keahlian, dan pengalaman di
salah satu bidang yang terdiri atas:
1) pendidikan kedokteran;
2) perumahsakitan atau Fasilitas Pelayanan
Kesehatan lainnya;
3) mutu pelayanan publik;
4) hukum kesehatan;
5) kebijakan publik; dan/atau
6) sosial budaya.
(2) Calon anggota Konsil Kedokteran Indonesia yang berasal
dari kalangan pemerintah dan masyarakat dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf i angka 1.

Pasal 260
(1) Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai tugas
merumuskan kebijakan internal dan standardisasi
pelaksanaan tugas konsil kedokteran dan konsil
kedokteran gigi.
(2) Pelaksanaan tugas perumusan kebijakan internal Konsil
Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang kesehatan.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai
fungsi:
a. menyusun perencanaan pelaksanaan tugas Konsil
Kedokteran Indonesia;
b. melakukan identifikasi dan pengembangan
metodologi dan standardisasi pelaksanaan tugas
konsil kedokteran dan konsil kedokteran gigi;
-139-

c. melakukan analisis manajemen risiko pelaksanaan


tugas konsil kedokteran dan konsil kedokteran gigi;
d. membina konsil kedokteran dan konsil kedokteran
gigi;
e. melakukan koordinasi antarkonsil kedokteran dan
konsil kedokteran gigi;
f. mengelola sumber daya bersama dalam konsil
kedokteran dan konsil kedokteran gigi;
g. memberikan masukan atau umpan balik atas hasil
pelaksanaan tugas konsil kedokteran dan konsil
kedokteran gigi;
h. menangani perselisihan atau permasalahan
antarkonsil kedokteran dan konsil kedokteran gigi;
i. melakukan pemantauan terhadap pencapaian target
kinerja konsil kedokteran dan konsil kedokteran gigi;
dan
j. menyusun dan menyampaikan laporan secara
berkala.

Pasal 261
(1) Konsil kedokteran dan konsil kedokteran gigi mempunyai
tugas melakukan Registrasi dan pembinaan teknis
keprofesian dokter dan dokter gigi.
(2) Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), konsil kedokteran dan konsil kedokteran gigi
mempunyai fungsi:
a. menerbitkan STR dokter dan dokter gigi;
b. mencabut STR dokter dan dokter gigi;
c. melakukan pengelolaan STR;
d. melakukan penonaktifan dan pengaktifan kembali
STR;
e. melakukan pembinaan bersama organisasi profesi di
bidang teknis keprofesian;
f. mengesahkan standar kompetensi profesi yang
disusun oleh Kolegium bersama Organisasi Profesi;
g. melakukan pendataan tempat praktik dokter dan
dokter gigi berdasarkan SIP; dan
-140-

h. melakukan pendataan pelaksanaan penjagaan dan


peningkatan mutu dokter dan dokter gigi.
(3) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) konsil kedokteran dan konsil kedokteran
gigi wajib menyusun dan menyampaikan laporan
pelaksanaan tugas secara berkala kepada Konsil
Kedokteran Indonesia.
(4) Pembinaan teknis keprofesian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf e dilakukan sebagai dukungan
terhadap pembinaan dokter dan dokter gigi yang
dilaksanakan oleh Menteri dan/atau organisasi profesi.
(5) Pendataan tempat praktik dokter dan dokter gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g
dilaksanakan berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi konsil
kedokteran dan konsil kedokteran gigi diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 262
Menteri berwenang melakukan evaluasi dan koreksi terhadap
STR yang diterbitkan oleh konsil kedokteran dan konsil
kedokteran gigi.

Pasal 263
Masa bakti keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia ialah 5
(lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali
masa jabatan berikutnya.

Pasal 264
Pimpinan dan anggota Konsil Kedokteran Indonesia berhenti
atau diberhentikan karena:
a. berakhir masa jabatan;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. meninggal dunia;
d. bertempat tinggal tetap di luar wilayah Republik
Indonesia;
-141-

e. tidak mampu melakukan tugas selama 10 (sepuluh) hari


kerja secara berturut-turut atau kumulatif selama 28 (dua
puluh delapan) hari kerja dalam 1 (satu) tahun;
f. dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
g. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai pimpinan dan
anggota Konsil Kedokteran Indonesia; dan/atau
h. tidak cakap dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya.

Pasal 265
(1) Selain berhenti karena alasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 264, pimpinan dan anggota Konsil
Kedokteran Indonesia dapat diberhentikan sementara
karena menjadi tersangka dan ditahan atas suatu tindak
pidana.
(2) Jangka waktu pemberhentian sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terhitung sejak dilakukan
penahanan.

Pasal 266
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian anggota
Konsil Kedokteran Indonesia diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal 267
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, Konsil Kedokteran
Indonesia dibantu oleh sekretariat yang berkedudukan di
bawah pimpinan tinggi madya pada kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas sekretariat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Menteri.
-142-

Paragraf 3
Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia

Pasal 268
(1) Susunan organisasi Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua,
masing-masing merangkap sebagai anggota; dan
b. anggota.
(2) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
berasal dari:
a. perwakilan pemerintah terdiri atas:
1) 1 (satu) orang dari unsur kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan;
2) 1 (satu) orang dari unsur kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pendidikan tinggi;
b. pimpinan dari setiap konsil kelompok tenaga
kesehatan sebanyak 2 (dua) orang;
c. perwakilan unsur organisasi profesi sebanyak 2 (dua)
orang; dan
d. perwakilan masyarakat sebanyak 2 (dua) orang.
(3) Pimpinan dan anggota konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk
oleh Presiden dengan mempertimbangkan pengetahuan,
pengalaman, dan keahlian di bidang kesehatan.
(4) Susunan organisasi dan keanggotaan konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 269
(1) Keanggotaan konsil setiap kelompok Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 ayat (4) berasal
dari unsur organisasi profesi Tenaga Kesehatan, unsur
pemerintah, dan tokoh masyarakat.
-143-

(2) Keanggotaan konsil setiap kelompok Tenaga Kesehatan


Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 270
(1) Calon anggota Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berakhlak mulia;
d. berkelakuan baik;
e. pernah melakukan praktik Tenaga Kesehatan paling
sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki STR bagi
yang berprofesi sebagai Tenaga Kesehatan;
f. cakap, jujur, memiliki moral, etika dan integritas
yang tinggi serta memiliki reputasi yang baik;
g. tidak menjadi pengurus organisasi politik, Organisasi
Profesi, atau kolegium;
h. tidak menjabat dalam jabatan struktural baik di
pemerintahan maupun di luar pemerintahan; dan
i. memiliki pengetahuan, keahlian, dan pengalaman di
salah satu bidang yang terdiri atas:
1) pendidikan Tenaga Kesehatan;
2) kerumahsakitan atau Fasilitas Pelayanan
Kesehatan lainnya;
3) mutu pelayanan publik;
4) hukum kesehatan;
5) kebijakan publik; dan/atau
6) sosial budaya.
(2) Calon anggota Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia yang
berasal dari kalangan pemerintah dan masyarakat
dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf i angka 1.
-144-

Pasal 271
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan
persyaratan pimpinan dan anggota konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia dan konsil setiap kelompok Tenaga Kesehatan
diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 272
Pimpinan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia bersifat kolektif
kolegial.

Pasal 273
(1) Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia mempunyai tugas
merumuskan kebijakan internal dan standardisasi
pelaksanaan tugas konsil setiap kelompok Tenaga
Kesehatan.
(2) Pelaksanaan tugas perumusan kebijakan internal konsil
Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan bidang kesehatan.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
mempunyai fungsi:
a. menyusun perencanaan pelaksanaan tugas konsil
Tenaga Kesehatan Indonesia;
b. melakukan identifikasi dan pengembangan
metodologi dan standardisasi pelaksanaan tugas
konsil setiap kelompok Tenaga Kesehatan;
c. melakukan analisis manajemen risiko pelaksanaan
tugas konsil setiap kelompok Tenaga Kesehatan;
d. membina konsil setiap kelompok Tenaga Kesehatan;
e. melakukan koordinasi antarkonsil setiap kelompok
Tenaga Kesehatan;
f. mengelola sumber daya bersama dalam konsil setiap
kelompok Tenaga Kesehatan;
g. memberikan masukan atau umpan balik atas hasil
pelaksanaan tugas konsil setiap kelompok Tenaga
Kesehatan;
-145-

h. menangani perselisihan atau permasalahan


antarkonsil setiap kelompok Tenaga Kesehatan;
i. melakukan pemantauan terhadap pencapaian target
kinerja konsil setiap kelompok Tenaga Kesehatan;
dan
j. menyusun dan menyampaikan laporan secara
berkala kepada Menteri.

Pasal 274
(1) Konsil setiap kelompok Tenaga Kesehatan mempunyai
tugas melakukan Registrasi dan pembinaan teknis
keprofesian Tenaga Kesehatan.
(2) Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), konsil setiap kelompok Tenaga Kesehatan
mempunyai fungsi:
a. menerbitkan STR Tenaga Kesehatan atas nama
Menteri;
b. mencabut STR Tenaga Kesehatan dengan
persetujuan Menteri;
c. melakukan pengelolaan STR;
d. melakukan penonaktifan dan pengaktifan kembali
STR;
e. melakukan pembinaan di bidang teknis keprofesian;
f. menyusun standar kompetensi;
g. melakukan pendataan tempat praktik Tenaga
Kesehatan berdasarkan SIP; dan
h. melakukan pendataan pelaksanaan penjagaan dan
peningkatan mutu Tenaga Kesehatan.
(3) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) konsil setiap kelompok Tenaga Kesehatan
wajib menyusun dan menyampaikan laporan
pelaksanaan tugas secara berkala kepada konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia.
(4) Pembinaan teknis keprofesian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf e dilakukan sebagai dukungan
terhadap pembinaan Tenaga Kesehatan yang
dilaksanakan oleh Menteri.
-146-

(5) Pendataan tempat praktik Tenaga Kesehatan


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h
dilaksanakan berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi Konsil
setiap kelompok Tenaga Kesehatan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 275
(1) Menteri berwenang melakukan evaluasi dan koreksi
terhadap STR yang diterbitkan oleh konsil setiap Tenaga
Kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai evaluasi dan koreksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal 276
Masa bakti keanggotaan konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
ialah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1
(satu) kali masa jabatan berikutnya.

Pasal 277
Pimpinan dan anggota Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
berhenti atau diberhentikan karena:
a. berakhir masa jabatan;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. meninggal dunia;
d. bertempat tinggal tetap di luar wilayah Republik
Indonesia;
e. tidak mampu melakukan tugas selama 10 (sepuluh) hari
kerja secara berturut-turut atau kumulatif selama 28 (dua
puluh delapan) hari kerja dalam 1 (satu) tahun;
f. dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
g. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai pimpinan dan
anggota Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia; dan/atau
-147-

h. tidak cakap dalam melaksanakan tugas dan


kewajibannya.

Pasal 278
(1) Selain berhenti karena alasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 277, pimpinan dan anggota konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia dapat diberhentikan sementara
karena menjadi tersangka dan ditahan atas suatu tindak
pidana.
(2) Jangka waktu pemberhentian sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terhitung sejak dilakukan
penahanan.

Pasal 279
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian anggota
konsil Tenaga Kesehatan Indonesia diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal 280
(1) Dalam melaksanakan tugasnya konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia dibantu oleh sekretariat yang berkedudukan di
bawah pimpinan tinggi madya pada kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
Kesehatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas sekretariat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Menteri.

Paragraf 4
Pendanaan

Pasal 281
Pendanaan untuk pelaksanaan tugas-tugas Konsil
Kedokteran Indonesia, konsil Tenaga Kesehatan Indonesia,
konsil kedokteran, konsil kedokteran gigi, dan konsil setiap
kelompok Tenaga Kesehatan dibebankan kepada Anggaran
-148-

Pendapatan dan Belanja Negara dan sumber lain sesuai


dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedelapan
Hak dan Kewajiban

Paragraf 1
Hak dan Kewajiban Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan

Pasal 282
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan
praktik berhak:
a. memperoleh pelindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi,
standar pelayanan profesi, dan standar prosedur
operasional;
b. memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari
Pasien atau keluarganya;
c. menerima imbalan jasa/kinerja;
d. memperoleh pelindungan atas keselamatan,
kesehatan kerja dan keamanan;
e. memperoleh pelindungan atas perlakuan yang tidak
sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral,
kesusilaan, serta nilai-nilai sosial budaya;
f. mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan
profesinya;
g. menolak keinginan Pasien atau pihak lain yang
bertentangan dengan standar profesi, kode etik,
standar pelayanan, standar prosedur operasional,
atau ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
h. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dapat
menghentikan Pelayanan Kesehatan apabila memperoleh
perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan
martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai
-149-

sosial budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


huruf e termasuk tindakan kekerasan dan pelecehan.

Pasal 283
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan
praktik wajib:
a. memberikan Pelayanan Kesehatan sesuai dengan standar
profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur
operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan
Pasien;
b. memperoleh persetujuan dari Pasien atau keluarganya
atas tindakan yang akan diberikan;
c. menjaga rahasia kesehatan Pasien;
d. membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen
tentang pemeriksaan, asuhan, dan tindakan yang
dilakukan; dan
e. merujuk Pasien ke Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan
lain yang mempunyai kompetensi dan kewenangan yang
sesuai.

Pasal 284
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang menjalankan
praktik pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib
memberikan pertolongan pertama kepada Pasien dalam
keadaan gawat darurat dan/atau pada bencana.

Paragraf 2
Hak dan Kewajiban Pasien

Pasal 285
Pasien mempunyai hak:
a. mendapatkan informasi mengenai kesehatan dirinya;
b. mendapatkan penjelasan yang memadai mengenai
Pelayanan Kesehatan yang diterimanya;
c. mendapatkan Pelayanan Kesehatan sesuai dengan
kebutuhan medis, standar profesi, dan pelayanan yang
bermutu;
-150-

d. menolak atau menyetujui tindakan medis;


e. mendapatkan akses terhadap informasi yang terdapat di
dalam rekam medis;
f. meminta pendapat Tenaga Medis lain; dan
g. hak lain sesuai dengan peraturan perundangan-
undangan.

Pasal 286
Pasien mempunyai kewajiban:
a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang
masalah kesehatannya;
b. mematuhi nasihat dan petunjuk Tenaga Medis dan
Tenaga Kesehatan;
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan; dan
d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Pasal 287
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban Tenaga
Medis, Tenaga Kesehatan, dan Pasien diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Bagian Kesembilan
Penyelenggaraan Praktik

Paragraf 1
Umum

Pasal 288
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan bertanggung jawab
moral untuk:
a. mengabdikan diri sesuai dengan bidang keilmuan yang
dimiliki;
b. bersikap dan berperilaku sesuai dengan etika profesi;
c. mengutamakan kepentingan Pasien dan masyarakat di
atas kepentingan pribadi atau kelompok; dan
-151-

d. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti


perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 289
(1) Dalam menjalankan praktik, Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan yang memberikan Pelayanan Kesehatan
kepada Pasien harus melaksanakan upaya terbaik.
(2) Upaya terbaik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan norma, standar pelayanan, dan
standar profesi, serta kebutuhan Kesehatan Pasien.
(3) Upaya terbaik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
menjamin keberhasilan Pelayanan Kesehatan yang
diberikan.
(4) Praktik Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
diselenggarakan berdasarkan kesepakatan antara
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan dengan Pasien
berdasarkan prinsip kesetaraan dan transparansi.

Pasal 290
Dalam keadaan tertentu pelaksanaan praktik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 284 dapat memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi.

Pasal 291
(1) Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang berhalangan
menyelenggarakan praktik harus membuat
pemberitahuan atau menunjuk Tenaga Medis atau
Tenaga Kesehatan pengganti.
(2) Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan pengganti
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Tenaga
Medis atau Tenaga Kesehatan yang mempunyai SIP.
(3) Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan pengganti
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki
kompetensi dan keahlian yang sama.
(4) Dalam hal Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan
pengganti tidak memiliki kompetensi dan keahlian yang
sama, Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan tersebut
-152-

harus menginformasikan kepada Pasien yang


bersangkutan.

Pasal 292
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang
menyelenggarakan praktik perseorangan wajib
menginformasikan identitas yang jelas termasuk nomor
SIP dan STR pada tempat praktik perseorangannya.
(2) Dalam hal Tenaga Medis berpraktik di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan, pimpinan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan wajib memasang pengumuman daftar nama
dan jadwal praktik Tenaga Medis.
(3) Setiap Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan dan pimpinan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dikenai sanksi administratif.
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dapat berupa:
a. teguran lisan;
b. peringatan tertulis;
c. denda administratif; dan/atau
d. pencabutan izin.
(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dikenakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah
provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai
dengan kewenangannya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 293
(1) Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang
mendayagunakan Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan
yang tidak memiliki SIP untuk melakukan praktik di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan tersebut.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan bagi Fasilitas Pelayanan Kesehatan di
daerah terpencil, daerah tertinggal, perbatasan dan
-153-

kepulauan, daerah bermasalah kesehatan, atau daerah


yang tidak mempunyai pemerataan Tenaga Medis dan
Tenaga Kesehatan.

Pasal 294
Fasilitas pelayanan kesehatan gawat darurat dilarang
meminta uang muka dan dilarang mendahulukan segala
urusan administratif sehingga menyebabkan tertundanya
pelayanan kesehatan.

Paragraf 2
Kewenangan

Pasal 295
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan
praktik harus dilakukan sesuai dengan kewenangan
profesi yang didasarkan pada kompetensi yang
dimilikinya.
(2) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang memiliki lebih
dari satu jenjang pendidikan memiliki kewenangan
profesi sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensi
dan kualifikasi tertinggi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan profesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 296
(1) Dalam keadaan tertentu, Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan dapat memberikan pelayanan di luar
kewenangannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pelayanan di
luar kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3
Pendelegasian Wewenang
-154-

Pasal 297
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dapat menerima
pendelegasian wewenang untuk melakukan Pelayanan
Kesehatan dengan kewajiban mempertanggungjawabkan
kepada pendelegasi wewenang.
(2) Tanggung jawab hukum pendelegasian wewenang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berada pada
pendelegasi wewenang.
(3) Penerima pendelegasian wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai kompetensi
untuk melakukan tindakan dalam Pelayanan Kesehatan
yang didelegasikan.
(4) Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diperoleh melalui pelatihan khusus.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendelegasian
wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 298
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dapat
melaksanakan pelayanan kedokteran dan/atau
pelayanan kefarmasian secara terbatas dalam hal:
a. tidak adanya tenaga medis dan/atau apoteker di
suatu wilayah tempat Tenaga Kesehatan bertugas;
b. kebutuhan program pemerintah; dan/atau
c. KLB, Wabah, dan darurat bencana lainnya.
(2) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan tenaga keperawatan atau tenaga kebidanan
untuk pelayanan kedokteran dan tenaga kefarmasian
selain apoteker untuk pelayanan kefarmasian.
(3) Kondisi tidak adanya tenaga medis dan/atau apoteker
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan
oleh camat.
(4) Pelaksanaan tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Tenaga Kesehatan yang telah mengikuti pelatihan
dengan memperhatikan kompetensi Tenaga Kesehatan.
-155-

(5) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)


dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah
Daerah.
(6) Dalam menyelenggarakan pelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah Daerah dapat melibatkan Organisasi Profesi
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan terkait.

Pasal 299
(1) Pelaksanaan pelayanan kedokteran dan/atau pelayanan
kefarmasian secara terbatas untuk kebutuhan program
pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298
ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui penugasan Tenaga
Medis dan/atau Tenaga Kesehatan oleh Pemerintah
Pusat atau Pemerintah Daerah.
(2) Program pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pelaksanaan program pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Tenaga Medis
dan/atau Tenaga Kesehatan yang telah mengikuti
pelatihan dengan memperhatikan kompetensi Tenaga
Medis atau Tenaga Kesehatan.
(4) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah
Daerah.

Pasal 300
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan praktik Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan diatur dalam Peraturan Menteri.

Paragraf 4
Standar Profesi, Standar Pelayanan, dan
Standar Prosedur Operasional
-156-

Pasal 301
(1) Setiap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam
menjalankan praktik berkewajiban untuk mematuhi
standar profesi, standar pelayanan, dan standar
prosedur operasional.
(2) Standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk setiap jenis Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
disusun oleh Organisasi Profesi bersama Kolegium dan
ditetapkan oleh konsil.
(3) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibedakan menurut jenis dan strata Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.
(4) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(5) Standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.

Pasal 302
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan
praktik dapat melakukan penelitian dan pengembangan.
(2) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditujukan untuk mendukung
pembangunan kesehatan di bidang ilmu pengetahuan,
keahlian, kebijakan, dan teknologi melalui Upaya
Kesehatan dan sumber daya kesehatan.
(3) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 5
Persetujuan Tindakan Pelayanan Kesehatan

Pasal 303
(1) Setiap tindakan Pelayanan Kesehatan perseorangan yang
dilakukan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
harus mendapat persetujuan.
-157-

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


diberikan setelah Pasien mendapat penjelasan yang
memadai.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
sedikit mencakup:
a. diagnosis;
b. indikasi;
c. tindakan Pelayanan Kesehatan yang dilakukan dan
tujuannya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;
e. alternatif tindakan lain dan risikonya;
f. risiko apabila tindakan tidak dilakukan; dan
g. prognosis setelah memperoleh tindakan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
diberikan baik secara tertulis maupun lisan.
(5) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
harus diperoleh sebelum dilakukannya tindakan yang
invasif dan/atau mengandung risiko tinggi.
(6) Persetujuan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dan ayat (5) diberikan oleh Pasien yang bersangkutan.
(7) Dalam hal Pasien yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) tidak mampu memberikan
persetujuan, persetujuan tindakan dapat diberikan oleh
yang mewakili.
(8) Persetujuan tertulis melakukan tindakan Pelayanan
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (7) ditandatangani oleh Pasien atau yang
mewakili, dan disaksikan oleh salah seorang Tenaga
Medis atau Tenaga Kesehatan.
(9) Dalam hal keadaan Pasien sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) tidak cakap dan memerlukan tindakan segera
akan tetapi tidak ada pihak yang dapat dimintai
persetujuan, tidak diperlukan persetujuan tindakan.
(10) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (9)
dilakukan berdasarkan kepentingan terbaik Pasien yang
diputuskan oleh Tenaga Kesehatan.
-158-

(11) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (10)


diinformasikan kepada Pasien setelah Pasien telah cakap
atau yang mewakili telah hadir.
(12) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (11) diatur
dalam Peraturan Menteri.

Pasal 304
(1) Selain mendapatkan penjelasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 303 ayat (3), Pasien juga mendapatkan
penjelasan atas biaya Pelayanan Kesehatan yang
diterimanya.
(2) Penjelasan atas biaya Pelayanan Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.

Pasal 305
(1) Pelayanan Kesehatan masyarakat yang merupakan
program pemerintah tidak memerlukan persetujuan
tindakan.
(2) Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tetap harus diinformasikan kepada masyarakat
penerima Pelayanan Kesehatan tersebut.

Paragraf 6
Rekam Medis

Pasal 306
(1) Setiap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang
memberikan Pelayanan Kesehatan perseorangan wajib
membuat rekam medis.
(2) Dalam hal Pelayanan Kesehatan perseorangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan selain tempat praktik
mandiri, penyelenggaraan rekam medis merupakan
tanggung jawab Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
-159-

(3) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


harus segera dilengkapi setelah Pasien selesai menerima
Pelayanan Kesehatan.
(4) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama,
waktu, dan tanda tangan Tenaga Medis atau Tenaga
Kesehatan yang memberikan pelayanan atau tindakan.
(5) Rekam medis Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh
Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan dan pimpinan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.

Pasal 307
(1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 306 merupakan milik Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.
(2) Setiap Pasien berhak untuk mengakses informasi yang
terdapat dalam dokumen rekam medis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib menjaga keamanan,
keutuhan, kerahasiaan, dan ketersediaan data yang
terdapat dalam dokumen rekam medis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai rekam medis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 308
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang memberikan
Pelayanan Kesehatan di luar Pelayanan Kesehatan
perseorangan wajib membuat catatan Pelayanan Kesehatan
yang dilakukan sehingga dapat diintegrasikan ke dalam
sistem data pasien.
Paragraf 7
Rahasia Kesehatan Pasien
-160-

Pasal 309
(1) Setiap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam
melaksanakan Pelayanan Kesehatan wajib menyimpan
rahasia Kesehatan pribadi Pasien.
(2) Pembukaan rahasia Kesehatan pribadi Pasien
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
untuk kepentingan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (4).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia Kesehatan
pribadi Pasien diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 310
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan wajib melaporkan
kepada aparat penegak hukum jika dalam pemberian
Pelayanan Kesehatan mengetahui atau menemukan
dugaan tindak pidana.
(2) Wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan dari rahasia Kesehatan.

Paragraf 8
Kendali Mutu dan Kendali Biaya

Pasal 311
(1) Setiap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam
melaksanakan Pelayanan Kesehatan wajib
menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya serta
memperhatikan keselamatan Pasien.
(2) Dalam rangka pelaksanaan kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan audit
Pelayanan Kesehatan.
(3) Kendali mutu dan kendali biaya dalam Fasilitas
Pelayanan Kesehatan merupakan tanggung jawab
Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
(4) Pembinaan dan pengawasan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3)
dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah.
-161-

Paragraf 9
Pelindungan bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dan
Penerima Pelayanan Kesehatan

Pasal 312
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan
praktik berhak mendapatkan pelindungan hukum sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 313
Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang merupakan
Rumah Sakit membentuk komite medis, komite keperawatan,
atau komite Tenaga Kesehatan lain sesuai kebutuhan untuk
menjaga dan meningkatkan mutu pemberian Pelayanan
Kesehatan.

Bagian Kesepuluh
Organisasi Profesi

Pasal 314
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan harus membentuk
Organisasi Profesi sebagai wadah untuk meningkatkan
dan/atau mengembangkan pengetahuan serta
keterampilan, martabat, dan etika profesi Tenaga Medis
dan Tenaga Kesehatan.
(2) Setiap kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi Profesi.
(3) Organisasi Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
membentuk perhimpunan ilmu.
(4) Pembentukan Organisasi Profesi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Bagian Kesebelas
Kolegium
-162-

Pasal 315
(1) Kolegium dibentuk oleh perhimpunan ilmu yang
berperan sebagai pengarah, pembina, dan penentu
kebijakan pendidikan tenaga medis atau tenaga
kesehatan.
(2) Kolegium berwenang:
a. menyusun dan mengembangkan standar pendidikan
dan standar kompetensi cabang disiplin ilmu yang
disahkan oleh Konsil;
b. membuat kebijakan dan menyelenggarakan ujian
kompetensi profesi;
c. menerbitkan sertifikat kompetensi profesi;
d. melakukan pembinaan dan pemantauan
penyelenggaraan pendidikan;
e. merekomendasi pembukaan program studi baru
kepada Konsil; dan
f. mengevaluasi pelaksanaan pendidikan di institusi
pendidikan.
(3) Pengurus Kolegium terdiri atas:
a. guru besar dari setiap cabang disiplin ilmu;
b. kepala departemen/bagian ilmu yang bersangkutan
pada institusi pendidikan;
c. ketua program studi ilmu yang bersangkutan;
d. ketua perhimpunan ilmu yang bersangkutan; dan
e. anggota yang diangkat oleh ketua Kolegium.

Bagian Kedua Belas


Penegakan Disiplin Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
serta Penyelesaian Perselisihan

Paragraf 1
Penegakan Disiplin Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan

Pasal 316
(1) Dalam menegakkan disiplin profesi Tenaga Medis dan
Tenaga Kesehatan, Menteri membentuk majelis yang
dapat bersifat permanen atau ad hoc.
-163-

(2) Majelis yang bersifat permanen sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) memiliki fungsi untuk penegakan disiplin
pada kelompok Tenaga Medis.
(3) Majelis yang bersifat ad hoc sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memiliki fungsi untuk penegakan disiplin pada
kelompok Tenaga Kesehatan.

Pasal 317
(1) Majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 316 ayat (2)
bertanggung jawab kepada Menteri melalui Konsil
Kedokteran Indonesia.
(2) Majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 316 ayat (3)
bertanggung jawab kepada Menteri melalui konsil setiap
kelompok Tenaga Kesehatan.

Pasal 318
(1) Keanggotaan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
316 ayat (1) berasal dari kalangan profesi Tenaga Medis
dan/atau Tenaga Kesehatan atas usulan Konsil
Kedokteran Indonesia dan konsil setiap kelompok Tenaga
Kesehatan sesuai dengan kewenangannya.
(2) Majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
seorang ketua dan paling sedikit 2 (dua) orang anggota.
(3) Pengambilan keputusan majelis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan secara kolektif kolegial.

Pasal 319
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan,
masa bakti, dan persyaratan keanggotaan majelis dalam
penegakan disiplin Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 320
(1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya
dirugikan atas tindakan Tenaga Medis atau Tenaga
Kesehatan dalam menjalankan Pelayanan Kesehatan
mengadukan secara tertulis kepada Konsil Kedokteran
-164-

Indonesia atau konsil setiap kelompok Tenaga


Kesehatan.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit harus memuat:
a. identitas pengadu;
b. nama dan alamat tempat praktik Tenaga Medis atau
Tenaga Kesehatan dan waktu tindakan dilakukan;
dan
c. alasan pengaduan.

Pasal 321
(1) Majelis untuk penegakan disiplin Tenaga Medis atau
Tenaga Kesehatan memeriksa dan memberikan
keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan
disiplin Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan.
(2) Pemeriksaan majelis terhadap pengaduan dapat
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Pasal 322
(1) Putusan majelis untuk penegakan disiplin Tenaga Medis
atau Tenaga Kesehatan berupa pernyataan:
a. tidak melanggar disiplin profesi; dan
b. melanggar disiplin profesi.
(2) Pelanggaran disiplin profesi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberi sanksi disiplin:
a. peringatan tertulis;
b. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di
institusi pendidikan tinggi bidang kesehatan atau
Rumah Sakit pendidikan terdekat yang memiliki
kompetensi untuk melakukan pelatihan tersebut;
dan/atau
c. penonaktifan STR untuk sementara waktu.
(3) Putusan majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
bersifat mengikat Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan,
Konsil Kedokteran Indonesia dan konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia.
-165-

(4) Dalam hal Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sudah


melaksanakan sanksi yang dijatuhkan oleh majelis,
aparat penegak hukum wajib mengutamakan
penyelesaian perselisihan dengan mekanisme keadilan
restoratif.

Pasal 323
(1) Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310
dapat diajukan peninjauan kembali kepada Menteri.
(2) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diajukan apabila memenuhi persyaratan:
a. ditemukan bukti baru;
b. kesalahan penerapan pelanggaran disiplin; atau
c. terdapat dugaan konflik kepentingan pada diri
majelis terhadap yang diperiksa.

Pasal 324
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan
fungsi majelis, tata cara penanganan kasus, tata cara
pengaduan, tata cara pemeriksaan, dan pemberian putusan
majelis, tata cara peninjauan kembali serta pelaksanaan
sanksi disiplin diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 325
Segala pendanaan kegiatan majelis dalam penegakan disiplin
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Paragraf 2
Penyelesaian Perselisihan

Pasal 326
Setiap Pasien yang dirugikan akibat kesalahan Tenaga Medis
atau Tenaga Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
-166-

Pasal 327
Dalam hal Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan diduga
melakukan kesalahan dalam menjalankan profesinya yang
menyebabkan kerugian kepada Pasien, perselisihan yang
timbul akibat kesalahan tersebut diselesaikan terlebih dahulu
melalui alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Pasal 328
Pengaduan kepada majelis dalam rangka penegakan disiplin
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan dan penyelesaian
sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa di luar
pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 tidak
menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya
dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang
dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.

Bagian Ketiga Belas


Larangan

Pasal 329
Setiap Orang dilarang:
a. tanpa hak menggunakan identitas berupa gelar atau
bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat
yang bersangkutan adalah Tenaga Medis atau Tenaga
Kesehatan yang telah memiliki STR dan/atau SIP;
b. menggunakan alat, metode atau cara lain dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
menimbulkan kesan yang bersangkutan adalah Tenaga
Medis atau Tenaga Kesehatan yang telah memiliki STR
dan/atau SIP; dan
c. melakukan praktik sebagai Tenaga Medis atau Tenaga
Kesehatan tanpa memiliki STR dan/atau SIP.

BAB VIII
PERBEKALAN KESEHATAN
-167-

Pasal 330
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin
ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan
Perbekalan Kesehatan, terutama Obat esensial dan Obat
program nasional.
(2) Penjaminan ketersediaan, pemerataan dan
keterjangkauan Perbekalan Kesehatan dilaksanakan
melalui perencanaan, penyediaan, dan pendistribusian.
(3) Dalam keadaan darurat, Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dapat melakukan kebijakan khusus
untuk pengadaan dan pemanfaatan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lain.

Pasal 331
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merencanakan
kebutuhan Perbekalan Kesehatan.
(2) Perencanaan kebutuhan Perbekalan Kesehatan oleh
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengacu pada norma, standar, prosedur, dan kriteria
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Perencanaan kebutuhan Perbekalan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menggunakan teknologi informasi.

Pasal 332
(1) Pengadaan Perbekalan Kesehatan mengutamakan
produk dalam negeri.
(2) Ketentuan mengenai pengadaan Perbekalan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 333
(1) Pengelolaan Perbekalan Kesehatan dilakukan agar
kebutuhan dasar masyarakat akan Perbekalan
Kesehatan terpenuhi.
-168-

(2) Pengelolaan Perbekalan Kesehatan yang berupa Obat


esensial, Obat program nasional, dan Alat Kesehatan
dasar tertentu dilaksanakan dengan memperhatikan
kemanfaatan, harga, dan faktor yang berkaitan dengan
pemerataan.

Pasal 334
(1) Pemerintah Pusat menyusun daftar dan jenis Obat
esensial yang harus tersedia bagi kepentingan
masyarakat dalam bentuk daftar Obat esensial nasional.
(2) Daftar Obat esensial nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditinjau dan disempurnakan paling lama
setiap 2 (dua) tahun sesuai dengan perkembangan
kebutuhan dan teknologi.
(3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin
agar Obat esensial nasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tersedia secara merata dan terjangkau oleh
masyarakat.
(4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin
ketersediaan dan keterjangkauan Perbekalan Kesehatan
berupa Obat generik yang termasuk dalam daftar Obat
esensial nasional, dan Obat program nasional.
(5) Pemerintah Pusat berwenang mengendalikan dan
menetapkan harga Obat generik sebagaimana dimaksud
pada ayat (4).
(6) Untuk menjamin ketahanan nasional, Obat generik
International Nonpropertery Name (INN) yang dipasarkan
di Indonesia hanya boleh dibuat oleh industri farmasi
dalam negeri.
(7) Industri farmasi dalam negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) dapat diberi fasilitas/insentif, baik fiskal
maupun nonfiskal.

Pasal 335
(1) Untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan Obat
yang masih dilindungi paten, dapat dilakukan intervensi
berupa:
-169-

a. pelaksanaan paten oleh Pemerintah Pusat; atau


b. lisensi wajib.
(2) Pelaksanaan paten oleh Pemerintah Pusat atau lisensi
wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 336
(1) Pendistribusian Perbekalan Kesehatan dilakukan oleh
pelaku usaha sebagai distributor Perbekalan Kesehatan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Pendistribusian Perbekalan Kesehatan harus dilakukan
sesuai dengan cara distribusi yang baik.
(3) Setiap distributor Perbekalan Kesehatan berupa Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan harus menyampaikan
laporan kegiatan pendistribusian kepada Menteri.

Pasal 337
(1) Obat digolongkan menjadi Obat dengan resep dokter dan
Obat tanpa resep dokter.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggolongan Obat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 338
(1) Obat Bahan Alam digolongkan menjadi:
a. Jamu; dan
b. Obat Herbal.
(2) Jamu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdiri atas:
a. Jamu empiris;
b. Jamu terstandar; dan
c. Jamu fitofarmaka.
(3) Obat Herbal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b terdiri atas:
a. Obat Herbal terstandar;
-170-

b. Obat Herbal fitofarmaka; dan


c. Obat Herbal impor.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggolongan Obat
Bahan Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

BAB IX
KETAHANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Pasal 339
(1) Sumber Sediaan Farmasi yang berasal dari alam semesta
dan sudah terbukti berkhasiat, halal, dan aman
digunakan dalam pencegahan, pengobatan, dan/atau
perawatan, serta pemeliharaan Kesehatan, tetap harus
dijaga kelestariannya.
(2) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya
untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan,
mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan
Sediaan Farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan
manfaat dan keamanannya.
(3) Pengolahan, produksi, peredaran, pengembangan,
peningkatan, dan penggunaan Sediaan Farmasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin
pengembangan dan kelestarian sumber Sediaan Farmasi
yang berasal dari alam semesta.

Pasal 340
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mendorong
dan mengarahkan penemuan dan pengembangan
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dengan
memanfaatkan potensi nasional yang tersedia.
(2) Penemuan dan pengembangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diarahkan untuk Obat, bahan Obat, vaksin,
bahan alam yang berkhasiat Obat, dan Alat Kesehatan.
-171-

(3) Penemuan dan pengembangan Sediaan Farmasi dan Alat


Kesehatan dilakukan dengan memperhatikan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
kelestarian lingkungan hidup, sumber daya alam, norma
agama dan kearifan sosial budaya.
(4) Penemuan dan pengembangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilakukan oleh industri farmasi,
industri alat kesehatan, lembaga penelitian, dan lembaga
pendidikan.

Pasal 341
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin
penemuan, pengembangan, dan pemeliharaan bahan
baku Obat Bahan Alam.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mendorong
pemanfaatan sumber daya alam guna penemuan dan
pengembangan Obat Bahan Alam dengan tetap
memperhatikan kelestarian lingkungan hidup dan sosial
budaya.
(3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
mendorong pemanfaatan sumber daya alam guna
penemuan dan pengembangan Obat Bahan Alam
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menciptakan
iklim usaha yang sehat bagi masyarakat dan pelaku
usaha.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya penemuan,
pengembangan, dan pemeliharaan Obat Bahan Alam
diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 342
Pengembangan Obat Bahan Alam bertujuan untuk:
a. memanfaatkan sumber daya alam dan ramuan tradisional
secara berkelanjutan dalam penyelenggaraan Pelayanan
Kesehatan;
b. menjamin pengelolaan potensi alam sehingga mempunyai
daya saing yang tinggi sebagai sumber ekonomi
masyarakat; dan
-172-

c. menyediakan keunggulan yang memberikan multi


manfaat.

Pasal 343
(1) Untuk mewujudkan kemandirian Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah mendorong percepatan kemandirian industri
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan.
(2) Percepatan kemandirian industri Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan dilakukan melalui pengembangan dan
penguatan industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
dari hulu hingga hilir secara terintegrasi dengan target
penggunaan dan pemenuhan Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan yang diproduksi dalam negeri untuk
ketahanan dan kemajuan Kesehatan nasional.
(3) Pemenuhan kebutuhan ketahanan Kesehatan nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara
bertahap sesuai dengan prioritas nasional.
(4) Pengembangan dan penguatan industri Sediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan:
a. meningkatkan daya saing industri Sediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan;
b. memberikan dukungan bagi penguasaan dan
pemanfaatan teknologi dan inovasi, serta riset dan
pengembangan dalam bidang Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan;
c. memproduksi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan dalam
negeri dan ekspor serta meningkatkan kegiatan
industri/utilisasi kapasitas industri;
d. memastikan penggunaan bahan baku Obat produksi
dalam negeri oleh industri farmasi dalam negeri; dan
e. mengoptimalkan peran akademisi, pelaku usaha,
pemerintah, dan masyarakat.
-173-

Pasal 344
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mendorong
industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dan
masyarakat untuk meningkatkan penggunaan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan dalam negeri.
(2) Industri Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa industri Obat yang harus
memprioritaskan penggunaan bahan baku Obat
produksi dalam negeri.
(3) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan swasta
dalam mengadakan Obat harus memprioritaskan Obat
yang menggunakan bahan baku Obat produksi dalam
negeri.

Pasal 345
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan upaya
ketahanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan melalui:
a. penerbitan kebijakan dan peraturan termasuk
memberikan insentif pada pelaku usaha yang ikut
berupaya mewujudkan ketahanan Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan;
b. pemberian kemudahan dalam pelaksanaan riset dan
transfer teknologi untuk mendukung ketahanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan berupa fasilitasi
infrastruktur, suprastruktur, anggaran dan regulasi;
c. pemberian dukungan penggunaan Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan produksi dalam negeri dengan
memberikan jaminan pasar yang sehat;
d. pengembangan industri bahan baku dan pemanfaatan
produk bahan bakunya;
e. peningkatan penelitian dan pengembangan; dan
f. percepatan lisensi wajib atau pelaksanaan paten oleh
Pemerintah Pusat dalam kondisi bencana, KLB atau
Wabah.
-174-

Pasal 346
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan
kemudahan dalam penyelenggaraan hilirisasi riset
nasional untuk meningkatkan daya saing industri
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah membangun
ekosistem riset yang terdiri atas infrastruktur penelitian,
kemudahan perizinan riset dan pendukung riset, dan
sumber daya manusia.
(3) Infrastruktur penelitian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dibangun oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, dan/atau masyarakat.
(4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan
kemudahan perizinan riset dan pendukung riset
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tanpa mengurangi
pelindungan terhadap nilai-nilai penelitian.
(5) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat
memberikan dukungan bagi institusi dan/atau
masyarakat yang melakukan investasi riset kefarmasian
dan Alat Kesehatan.

Pasal 347
Ketentuan mengenai percepatan pengembangan dan
ketahanan industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 348
(1) Dalam rangka mendukung kemandirian industri Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan, Pemerintah Pusat dapat
memberikan prioritas insentif bagi industri Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan.
(2) Prioritas insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk bagi setiap industri Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan yang melakukan kegiatan penelitian,
pengembangan dan inovasi di dalam negeri.
(3) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) berupa fiskal dan nonfiskal.
-175-

(4) Ketentuan mengenai pemberian prioritas insentif bagi


industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB X
SISTEM INFORMASI KESEHATAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 349
(1) Dalam rangka melakukan Upaya Kesehatan yang efektif
dan efisien diselenggarakan Sistem Informasi Kesehatan.
(2) Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diselenggarakan oleh:
a. Pemerintah Pusat;
b. Pemerintah Daerah;
c. Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
d. masyarakat, baik perseorangan maupun kelompok.
(3) Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib
menghubungkan sistem yang dikelolanya dengan sistem
yang mengintegrasikan seluruh Pelayanan Kesehatan
yang diselenggarakan oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.
(4) Kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan dapat memberikan
dukungan berupa bantuan teknis kepada penyelenggara
sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam
pengelolaan Sistem Informasi Kesehatan.

Bagian Kedua
Tata Kelola Sistem Informasi Kesehatan
-176-

Pasal 350
(1) Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan
melaksanakan tata kelola yang mendukung pelayanan
dan pelaporan di bidang Kesehatan.
(2) Tata kelola Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan rangkaian kegiatan
untuk menjamin mutu dan keandalan sistem.
(3) Tata kelola Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam dokumen
arsitektur Sistem Informasi Kesehatan.
(4) Dokumen arsitektur Sistem Informasi Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
a. proses bisnis;
b. data dan informasi;
c. infrastruktur;
d. aplikasi;
e. keamanan; dan
f. layanan.
(5) Dokumen arsitektur Sistem Informasi Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disusun sesuai
dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
(6) Selain untuk kepentingan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan
juga ditujukan untuk pengembangan sistem informasi di
bidang bioteknologi Kesehatan.
(7) Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib
melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan/atau
penyimpanan Sistem Informasi Kesehatan dan data
informasi Kesehatan di wilayah Indonesia.
(8) Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan dapat
melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan/atau
penyimpanan Sistem Informasi Kesehatan dan data
informasi Kesehatan di luar wilayah Indonesia dalam hal
teknologi pengelolaan, pemrosesan, dan/atau
penyimpanan tidak tersedia di dalam negeri.
(9) Pengelolaan, pemrosesan, dan/atau penyimpanan Sistem
Informasi Kesehatan dan data informasi Kesehatan di
-177-

luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat


(8) dilakukan atas izin Menteri sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 351
(1) Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib
memastikan keandalan Sistem Informasi Kesehatan yang
meliputi:
a. ketersediaan;
b. keamanan;
c. pemeliharaan; dan
d. integrasi.
(2) Keandalan Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
a. menguji kelaikan sistem;
b. menjaga kerahasiaan data;
c. menentukan kebijakan hak akses data;
d. memiliki sertifikasi keandalan sistem; dan
e. melakukan audit secara berkala.
(3) Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib
menerapkan pengamanan untuk memastikan keandalan
sistem.

Pasal 352
(1) Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib
menyediakan data dan informasi yang berkualitas dan
terintegrasi.
(2) Masyarakat hanya dapat mengakses data yang bersifat
publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai keterbukaan informasi publik.
(3) Masyarakat dapat mengakses data Kesehatan dirinya
melalui penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan.
(4) Pengelolaan data dan informasi Kesehatan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang tata kelola data.
-178-

Pasal 353
(1) Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib
melaksanakan pengelolaan data dan informasi
Kesehatan yang meliputi:
a. perencanaan;
b. pengumpulan;
c. pemeriksaan;
d. transfer; dan
e. pemanfaatan.
(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a ditujukan untuk menentukan daftar data dan
informasi yang akan dikumpulkan.
(3) Pengumpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilaksanakan sesuai dengan hasil perencanaan
data.
(4) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c dilaksanakan dalam rangka menjamin kualitas data
dan informasi.
(5) Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dilaksanakan antar penyelenggara Sistem Informasi
Kesehatan melalui sistem layanan integrasi Kesehatan
milik kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan.
(6) Data dan informasi yang dikelola oleh Penyelenggara
Sistem Informasi Kesehatan dapat ditransfer ke luar
wilayah Indonesia untuk tujuan yang spesifik dan
terbatas dengan mendapat izin dari Menteri.
(7) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
e dilaksanakan untuk:
a. Kesehatan perseorangan;
b. Kesehatan masyarakat;
c. pembangunan Kesehatan; dan
d. pengambilan kebijakan.
(8) Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan dapat
memusnahkan data dan informasi setelah berakhirnya
masa penyimpanan.
-179-

(9) Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib


mencatat riwayat pengelolaan data dan informasi,
termasuk pemusnahan.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan data dan
informasi Kesehatan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 354
(1) Sistem Informasi Kesehatan memuat data dan informasi
yang bersumber dari:
a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
b. instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
c. badan/lembaga yang menyelenggarakan program
jaminan sosial nasional;
d. badan/lembaga lain yang menyelenggarakan kegiatan
di bidang Kesehatan;
e. kegiatan masyarakat selain Fasilitas Pelayanan
Kesehatan;
f. pelaporan mandiri perseorangan; dan
g. sumber lainnya.
(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas data dan informasi pribadi dan data dan
informasi publik.

Pasal 355
(1) Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib
menjamin pelindungan data dan informasi Kesehatan
setiap individu.
(2) Pengelolaan data dan informasi Kesehatan yang
menggunakan data Kesehatan individu wajib
mendapatkan persetujuan dari pemilik data.
(3) Pemilik data sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berhak:
a. mendapatkan informasi mengenai tujuan
pengumpulan data kesehatan individu;
b. mengakses dan melakukan perbaikan data dan
informasi melalui penyelenggara Sistem Informasi
Kesehatan;
-180-

c. meminta penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan


mengirimkan datanya ke penyelenggara Sistem
Informasi Kesehatan lainnya; dan
d. meminta penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan
menghapus data yang tidak benar atas persetujuan
pemilik data.
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), terhadap:
a. data dan informasi Kesehatan yang tidak dapat
ditelusuri identitasnya atau berupa data agregat;
dan/atau
b. data dan informasi Kesehatan untuk kepentingan
umum atau kepentingan lain yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib
menginformasikan kepada pemilik data apabila terdapat
kegagalan pelindungan data dan informasi Kesehatan
individu.
(6) Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib
melaporkan kepada penegak hukum dan lembaga terkait
apabila terjadi kegagalan dan/atau gangguan yang serius
dalam penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan data dan
informasi Kesehatan setiap individu dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XI
TEKNOLOGI KESEHATAN

Pasal 356
(1) Teknologi Kesehatan diselenggarakan, diteliti,
diproduksi, diedarkan, dikembangkan, dan/atau
dimanfaatkan bagi Kesehatan.
(2) Teknologi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) termasuk perangkat keras dan perangkat lunak.
(3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mendorong
pemanfaatan produk Teknologi Kesehatan dalam negeri.
-181-

(4) Teknologi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) harus memenuhi standar sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 357
(1) Dalam mengembangkan Teknologi Kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 dapat
dilakukan penelitian dalam laboratorium, penelitian
terhadap manusia, dan/atau penelitian terhadap hewan.
(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memiliki protokol penelitian yang jelas, menggunakan
kaidah ilmiah yang bisa diterima, lulus kaji etik, dan
memiliki izin dari pihak yang berwenang.
(3) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memperhatikan manfaat, risiko, keselamatan manusia,
dan kelestarian lingkungan hidup.
(4) Dalam hal penelitian Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan terhadap manusia, penelitian
tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pihak
yang menjadi subjek penelitian.
(5) Penelitian terhadap manusia dilakukan dengan
menghormati hak-hak subjek penelitian termasuk
jaminan tidak merugikan manusia yang dijadikan subjek
penelitian.
(6) Penelitian terhadap hewan harus dijamin untuk
melindungi kelestarian hewan tersebut serta mencegah
dampak buruk yang tidak langsung bagi kesehatan
manusia.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penelitian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 358
(1) Setiap penelitian dan pengembangan Teknologi
Kesehatan harus mempertimbangkan potensi risiko dan
manfaatnya terhadap Kesehatan masyarakat.
-182-

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penelitian dan


pengembangan Teknologi Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 359
(1) Dalam rangka mendukung Pelayanan Kesehatan,
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mendorong
pemanfaatan teknologi biomedis.
(2) Pemanfaatan teknologi biomedis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mencakup teknologi genomik,
transkriptomik, proteomik, dan metabolomik terkait
organisme, jaringan, sel, dan biomolekul.
(3) Pemanfaatan teknologi biomedis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan mulai dari kegiatan pengambilan
spesimen, penyimpanan spesimen jangka panjang, serta
pengelolaan dan pemanfaatan spesimen dan data terkait,
yang ditujukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan
dan Teknologi Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan,
termasuk pelayanan kedokteran presisi (precision
medicine).
(4) Pengambilan spesimen, penyimpanan spesimen jangka
panjang, serta pengelolaan dan pemanfaatan spesimen
dan data terkait wajib mendapatkan persetujuan dari
Pasien dan/atau pendonor.
(5) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), pengelolaan dan pemanfaatan spesimen
dan data terkait tidak wajib mendapatkan persetujuan
dari Pasien dan/atau pendonor apabila:
a. data yang tidak dapat ditelusuri identitasnya atau
berupa data agregat;
b. data untuk kepentingan penelitian ilmiah tertentu;
c. data untuk kepentingan hukum; dan/atau
d. data untuk kepentingan umum sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
-183-

Pasal 360
(1) Penyimpanan dan pengelolaan spesimen harus
dilakukan oleh biobank atau biorepositori.
(2) Biobank atau biorepositori diselenggarakan oleh
Fasilitas Pelayanan Kesehatan, laboratorium diagnostik,
institusi pendidikan, dan lembaga penelitian dan
pengembangan Kesehatan, baik milik pemerintah
maupun swasta.
(3) Penyelenggaraan biobank atau biorepositori
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
mendapatkan penetapan dari Menteri.
(4) Penyelenggaraan biobank atau biorepositori wajib
menerapkan prinsip:
a. keamanan;
b. kerahasiaan atau privasi;
c. akuntabilitas.
d. kemanfaatan;
e. kepentingan umum;
f. penghormatan terhadap hak asasi manusia;
g. etika, hukum, dan medikolegal; dan
h. sosial budaya.
(5) Penyelenggara biobank atau biorepositori wajib
menyimpan spesimen dan data di dalam negeri.
(6) Penyelenggara biobank atau biorepositori dapat
mengintegrasikan data dan informasi spesimen dengan
Sistem Informasi Kesehatan yang diselenggarakan oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan.

Pasal 361
(1) Pengalihan dan penggunaan spesimen, data, dan
informasi ke luar wilayah Indonesia dilakukan dengan
memperhatikan prinsip-prinsip pemeliharaan kekayaan
sumber daya hayati dan genetika Indonesia.
(2) Pengalihan dan penggunaan spesimen, data, dan
informasi ke luar wilayah Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan:
-184-

a. apabila pemeriksaan spesimen termasuk genomik


belum dapat dilakukan di dalam negeri; dan/atau
b. untuk tujuan penelitian.
(3) Pengalihan dan penggunaan spesimen, data, dan
informasi ke luar wilayah Indonesia harus dilengkapi
Perjanjian Alih Material/Material Transfer Agreement
yang disusun berdasarkan asas kesetaraan dan
keadilan.
(4) Setiap pengalihan dan penggunaan spesimen, data, dan
informasi ke luar wilayah Indonesia hanya dapat
dilakukan setelah mendapatkan persetujuan Menteri.

Pasal 362
(1) Pengambilan dan pengiriman spesimen hanya dapat
dilakukan oleh Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta
dilakukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan
dan pengiriman spesimen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 363
(1) Setiap orang dilarang melakukan diskriminasi atas hasil
pemeriksaan dan analisis genetik seseorang.
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
administratif oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya berupa
pengenaan denda administratif sampai dengan
pencabutan izin.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
-185-

Pasal 364
Penggunaan spesimen, data, dan informasi biomedis oleh
industri atau untuk kepentingan komersial harus
mendapatkan izin Menteri.

Pasal 365
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan teknologi
biomedis diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XII
WABAH PENYAKIT MENULAR

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 366
(1) Untuk melindungi masyarakat dari Wabah, Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah melaksanakan kegiatan
Kewaspadaan Wabah, Penanggulangan Wabah, dan
pasca-Wabah.
(2) Dalam melaksanakan kegiatan Kewaspadaan Wabah,
Penanggulangan Wabah, dan pasca-Wabah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dapat membentuk satuan tugas yang
melibatkan unsur Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan,
akademisi atau pakar, Tentara Nasional Indonesia,
Kepolisian Republik Indonesia, lintas sektor, dan tokoh
masyarakat/agama.

Pasal 367
(1) Pelaksanaan kegiatan Kewaspadaan Wabah,
Penanggulangan Wabah, dan pasca-Wabah secara teknis
Kesehatan dikoordinasikan oleh Menteri bekerja sama
dengan pimpinan kementerian/lembaga terkait sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pimpinan kementerian/lembaga terkait wajib
memberikan dukungan dalam pelaksanaan kegiatan
-186-

Kewaspadaan Wabah, Penanggulangan Wabah, dan


pasca-Wabah.

Bagian Kedua
Penetapan Jenis Penyakit
yang Berpotensi Menimbulkan Wabah

Pasal 368
(1) Dalam rangka Kewaspadaan wabah ditetapkan jenis
penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah.
(2) Jenis penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikategorikan
dalam:
a. penyakit menular endemis tertentu;
b. penyakit menular baru; dan/atau
c. penyakit menular lama yang muncul kembali.
(3) Jenis penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
berdasarkan kriteria:
a. penyakit yang disebabkan oleh agen biologi;
b. dapat menular dari manusia ke manusia dan/atau
dari hewan ke manusia;
c. berpotensi menimbulkan sakit yang parah,
kecacatan, dan/atau kematian; dan
d. berpotensi meningkat dan menyebar secara cepat.
(4) Jenis penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Menteri.
(5) Menteri dapat menetapkan perubahan jenis penyakit
yang berpotensi menimbulkan Wabah sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dengan mempertimbangkan
perkembangan epidemiologis penyakit, sosial budaya,
keamanan, ekonomi, dan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Bagian Ketiga
Kewaspadaan Wabah di Wilayah
-187-

Pasal 369
(1) Dalam rangka Kewaspadaan Wabah di wilayah,
Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah
provinsi harus melaksanakan kegiatan:
a. pemantauan terhadap terjadinya jenis penyakit yang
berpotensi menimbulkan Wabah dan pemetaan faktor
risiko terjadinya Wabah;
b. penanganan terhadap kasus penyakit yang
berpotensi menimbulkan Wabah dan faktor risikonya;
c. penetapan Daerah Terjangkit KLB dan
Penanggulangan KLB; dan
d. kesiapsiagaan sumber daya apabila sewaktu-waktu
terjadi Wabah.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara komprehensif dan
berkesinambungan.

Pasal 370
(1) Bupati/wali kota atau gubernur menetapkan atau
mencabut suatu Daerah Terjangkit KLB berdasarkan
kriteria.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria KLB
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 371
(1) Dalam hal bupati/wali kota atau gubernur menetapkan
Daerah Terjangkit KLB, wajib segera dilaksanakan
kegiatan penanggulangan KLB.
(2) Pelaksanaan kegiatan penanggulangan KLB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal 372
Bupati/wali kota dan gubernur yang tidak melakukan
penetapan KLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 370
dan/atau tidak melaksanakan kegiatan penanggulangan KLB
-188-

sebagaimana dimaksud Pasal 371 dikenai sanksi sesuai


dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Kewaspadaan Wabah dan Karantina di Pintu Masuk

Paragraf 1
Umum

Pasal 373
(1) Dalam rangka Kewaspadaan Wabah dan karantina di
Pintu Masuk, Pemerintah Pusat melaksanakan kegiatan
pengamatan penyakit dan/atau faktor risiko penyakit
yang berpotensi menimbulkan Wabah dan/atau
ancaman terhadap ketahanan nasional di bidang
kesehatan.
(2) Dalam melaksanakan kegiatan pengamatan penyakit
dan/atau faktor risiko penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah dan/atau ancaman terhadap
ketahanan nasional di bidang kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibentuk BKKN.
(3) BKKN sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berkedudukan di ibukota negara dan dapat membentuk
kantor perwakilan di provinsi dan/atau kabupaten/kota
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anggaran
negara.
(4) BKKN dipimpin kepala badan yang diangkat oleh
Presiden.
(5) Masa jabatan BKKN sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) ialah selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk satu kali masa jabatan yang sama.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai BKKN diatur dengan
Peraturan Presiden.

Pasal 374
(1) Dalam rangka pengamatan penyakit dan/atau faktor
risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah
-189-

dan/atau ancaman terhadap ketahanan nasional di


bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
373 ayat (1) dilakukan pengawasan terhadap alat
angkut, orang, barang dan/atau lingkungan.
(2) Pengawasan terhadap alat angkut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap kapal,
pesawat udara, dan kendaraan darat yang melayani
angkutan sipil baik pada saat kedatangan maupun
keberangkatan.
(3) Selain terhadap kapal, pesawat udara, dan kendaraan
darat yang melayani angkutan sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), pengawasan juga dilakukan
terhadap kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat
non sipil untuk kebutuhan transportasi perang, pejabat
negara, dan/atau tamu negara, yang pelaksanaannya
berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.
(4) Dalam hal ditemukan penyakit dan/atau faktor risiko
penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah dan/atau
ancaman terhadap ketahanan nasional di bidang
kesehatan di Pintu Masuk, segera dilakukan tindakan
penanggulangan.
(5) Tindakan penanggulangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dapat berupa:
a. skrining, rujukan, isolasi atau karantina, pemberian
kekebalan, pemberian profilaksis, disinfeksi,
dan/atau dekontaminasi terhadap orang sesuai
dengan indikasi;
b. disinfeksi, dekontaminasi, disinseksi, dan/atau
deratisasi terhadap alat angkut dan Barang;
dan/atau
c. tindakan penanggulangan lainnya.
(6) Tindakan penanggulangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dilakukan sesuai dengan jenis agen penyakit dan
cara penyebarannya.
(7) Dalam hal terdapat orang yang tidak bersedia dilakukan
tindakan penanggulangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), BKKN berwenang merekomendasikan kepada
-190-

maskapai penerbangan, agen pelayaran, atau agen


kendaraan darat untuk menunda keberangkatan atau
mengeluarkan rekomendasi kepada pejabat imigrasi
untuk dilakukan penolakan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan
penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sampai dengan ayat (7) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal 375
(1) Dalam hal BKKN mendapatkan informasi mengenai
terjadinya peningkatan penularan penyakit dan/atau
faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan
Wabah di negara lain, BKKN harus meningkatkan
kewaspadaan dan melakukan langkah-langkah yang
diperlukan dalam rangka cegah tangkal penyakit di Pintu
Masuk.
(2) Dalam hal Wabah telah menyebar di berbagai negara,
BKKN mengeluarkan peraturan tata laksana pengawasan
dan/atau tindakan penanggulangan terhadap alat
angkut yang datang dari atau ke luar negeri sesuai
dengan karakteristik penyebab/agen penyakit dan cara
penularannya, termasuk kemungkinan pembatasan
mobilitas orang dan barang di Pintu Masuk.
(3) Dalam rangka cegah tangkal penyakit di Pintu Masuk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BKKN dapat
merekomendasikan penutupan Pintu Masuk kepada
Presiden.

Paragraf 2
Pengawasan Alat Angkut pada saat Kedatangan dan
Keberangkatan

Pasal 376
Setiap kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat yang:
a. datang dari atau berangkat ke luar negeri; atau
b. datang dari Daerah Terjangkit
-191-

berada dalam pengawasan BKKN.

Pasal 377
(1) Setiap nakhoda, kapten penerbang, atau pengemudi
pada saat kedatangan atau melewati pos lintas batas
negara wajib menginformasikan apabila terdapat orang
sakit dan/atau meninggal yang diduga kuat diakibatkan
oleh penyakit dan/atau faktor risiko penyakit yang
berpotensi menimbulkan Wabah kepada Petugas
Karantina Kesehatan.
(2) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), bagi nakhoda atau kapten penerbang dilakukan
dengan menyerahkan dokumen:
a. Deklarasi Kesehatan Maritim (Maritime Declaration of
Health) untuk kapal; atau
b. Deklarasi Kesehatan Penerbangan (Health Part of the
Aircraft General Declaration) untuk pesawat udara,
pada saat kedatangan kepada Petugas Karantina
Kesehatan.
(3) Nakhoda kapal atau kapten penerbang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilarang menurunkan atau
menaikkan orang dan/atau barang sebelum mendapat
surat persetujuan dari BKKN.

Pasal 378
(1) Terhadap kendaraan darat yang terdapat orang sakit
dan/atau meninggal yang diduga kuat diakibatkan oleh
penyakit dan/atau faktor risiko penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah, Petugas Karantina Kesehatan
berwenang melakukan pemeriksaan dan tindakan
penanggulangan.
(2) Ketentuan mengenai kegiatan pemeriksaan dan tindakan
penanggulangan terhadap kendaraan darat di pos lintas
batas negara diatur melalui perjanjian antara kedua
negara.
-192-

Pasal 379
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan terhadap kapal,
pesawat udara, dan kendaraan darat diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Paragraf 3
Dokumen Karantina Kesehatan

Pasal 380
(1) Setiap alat angkut yang datang dari atau berangkat ke
luar negeri harus dilengkapi dengan Dokumen Karantina
Kesehatan.
(2) Dokumen Karantina Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dimaksudkan sebagai alat pengawasan dan
pencegahan masuk dan/atau keluarnya penyakit
dan/atau faktor risiko penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah.
(3) Dokumen Karantina Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. deklarasi kesehatan;
b. surat keterangan bebas karantina (free pratique);
c. sertifikat sanitasi;
d. sertifikat obat-obatan dan Alat Kesehatan;
e. buku kesehatan untuk kapal; dan
f. surat persetujuan berlayar karantina kesehatan (port
health quarantine clearance) untuk kapal.
(4) Dalam hal alat angkut sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) membawa:
a. orang sakit, harus dilengkapi dengan surat
keterangan pengangkutan orang sakit;
b. jenazah atau abu jenazah, harus dilengkapi dengan
surat izin pengangkutan jenazah atau abu jenazah
(human remains transport certificate), dan surat
keterangan kematian dari Fasilitas Pelayanan
Kesehatan; dan/atau
c. bahan berbahaya, harus dilengkapi dengan sertifikat
Kesehatan untuk bahan berbahaya.
-193-

(5) Dalam hal alat angkut sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) yang datang dari atau berangkat ke negara yang
mempersyaratkan sertifikat vaksinasi internasional
(international certificate of vaccination or prophylaxis),
setiap penumpang harus dilengkapi dengan sertifikat
vaksinasi internasional (international certificate of
vaccination or prophylaxis).
(6) Dalam hal diperlukan Dokumen Karantina Kesehatan
untuk Obat, makanan, kosmetik, Alat Kesehatan, dan
bahan adiktif berdasarkan permintaan negara tertentu,
BKKN menerbitkan sertifikat kesehatan atau surat
keterangan tentang Obat, makanan, kosmetik, Alat
Kesehatan, dan bahan adiktif.
(7) Dalam hal terdapat perkembangan regulasi internasional
mengenai Dokumen Karantina Kesehatan, Menteri
menetapkan penyesuaian perubahan Dokumen
Karantina Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) sampai dengan ayat (6).

Pasal 381
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan, penerbitan, dan
pembatalan Dokumen Karantina Kesehatan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Daerah Wabah

Pasal 382
(1) Menteri menetapkan atau mencabut penetapan daerah
tertentu sebagai Daerah Terjangkit Wabah.
(2) Untuk menetapkan daerah tertentu sebagai Daerah
Terjangkit Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Menteri mempertimbangkan aspek:
a. etiologi penyakit;
b. situasi kasus dan kematian;
c. kapasitas Pelayanan Kesehatan; dan/atau
d. kondisi masyarakat.
-194-

(3) Ketentuan mengenai penetapan dan pencabutan


penetapan Daerah Terjangkit Wabah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 383
Dalam hal Wabah berdampak mengancam dan berpotensi
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
menyebabkan jumlah korban, kerugian ekonomi, cakupan
luas wilayah yang terkena Wabah, dampak sosial ekonomi
yang ditimbulkan, dan kerusakan lingkungan, Menteri
mengusulkan penetapan Wabah sebagai bencana nasional
nonalam kepada Presiden.

Pasal 384
Dalam hal terjadi situasi Wabah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 383, Presiden menetapkan Wabah sebagai
bencana nasional nonalam sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Bagian Keenam
Penanggulangan Wabah

Pasal 385
Penanggulangan Wabah dilaksanakan segera setelah
penetapan Daerah Terjangkit Wabah dengan memperhatikan
asas kemanusiaan, sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan.

Pasal 386
Penanggulangan Wabah dilakukan melalui kegiatan:
a. investigasi penyakit;
b. penguatan surveilans;
c. penanganan penderita;
d. pengendalian faktor risiko;
e. penanganan terhadap populasi berisiko;
f. komunikasi risiko; dan/atau
g. tindakan penanggulangan lainnya.
-195-

Pasal 387
(1) Investigasi penyakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal
386 huruf a dilakukan untuk mendapatkan informasi
tentang etiologi penyakit, sumber penyakit, dan cara
penularan atau penyebaran penyakit Wabah.
(2) Informasi mengenai etiologi penyakit, sumber penyakit
dan cara penularan atau penyebaran penyakit Wabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai
pertimbangan dalam menentukan tindakan
penanggulangan.

Pasal 388
(1) Penguatan surveilans sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 386 huruf b dilakukan untuk penemuan kasus
dan identifikasi mendalam tentang karakteristik dari
etiologi/agen penyakit dan faktor risikonya dengan
berbasis laboratorium dan/atau penelitian ilmiah.
(2) Surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui kegiatan pengamatan yang sistematis
dan terus menerus tentang kejadian penyakit dan
kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan
penularan penyakit untuk memperoleh dan memberikan
informasi guna mengarahkan tindakan penanggulangan
penyakit secara efektif dan efisien.

Pasal 389
(1) Penanganan penderita sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 386 huruf c dilakukan upaya tata laksana
penderita sesuai dengan kebutuhan medis.
(2) Penanganan penderita sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. isolasi;
b. karantina; dan/atau
c. pengobatan dan perawatan.
(3) Isolasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau
tempat lain yang memungkinkan penderita mendapatkan
-196-

akses Pelayanan Kesehatan untuk mempertahankan


kehidupannya.
(4) Karantina sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
dapat dilaksanakan di rumah, rumah sakit, tempat kerja,
alat angkut, hotel, wisma, asrama, dan tempat atau
wilayah lainnya dengan mempertimbangkan aspek
epidemiologi.
(5) Karantina sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
dapat dilakukan terhadap orang, barang, dan alat
angkut.
(6) Pengobatan dan perawatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan sesuai dengan standar dan peraturan
perundang-undangan.
(7) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bersama
dengan masyarakat bertanggung jawab memfasilitasi
pelaksanaan isolasi atau karantina.
(8) Dalam hal penderita sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) memenuhi kriteria untuk dilakukan tindakan isolasi
atau karantina, wajib dilakukan isolasi atau karantina
guna mengurangi terjadinya penyebaran penyakit
Wabah.

Pasal 390
(1) Pengendalian faktor risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 386 huruf d dilakukan untuk memutus rantai
penularan penyakit dari faktor risiko yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan dan perkembangan teknologi
serta karakteristik dari faktor risiko tersebut, termasuk
kemungkinan pemusnahan faktor risiko dimaksud.
(2) Penanganan faktor risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. penyehatan, pengamanan, dan pengendalian yang
ditujukan untuk memperbaiki faktor risiko
lingkungan dan/atau memusnahkan agen biologi
penyebab penyakit;
b. pencegahan dan pengendalian infeksi; dan/atau
-197-

c. penanganan jenazah.

Pasal 391
(1) Penanganan terhadap populasi berisiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 386 huruf e dilakukan untuk
mencegah dan mengurangi risiko penyebaran penyakit.
(2) Penanganan terhadap populasi berisiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pemberian kekebalan;
b. pemberian profilaksis; dan/atau
c. pembatasan kegiatan sosial kemasyarakatan.
(3) Pembatasan kegiatan sosial kemasyarakatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi:
a. peliburan sekolah dan tempat kerja;
b. pembatasan kegiatan keagamaan;
c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum;
dan/atau
d. pembatasan kegiatan lainnya.

Pasal 392
(1) Komunikasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal
386 huruf f dilakukan untuk memberikan pemahaman
kepada masyarakat dan meningkatkan peran
masyarakat dalam upaya penanggulangan Wabah.
(2) Komunikasi risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
a. pemberian informasi dan/atau edukasi kepada
masyarakat; dan/atau
b. mobilisasi sosial.

Pasal 393
(1) Dalam hal penanggulangan Wabah diperlukan sampel
dan/atau spesimen untuk konfirmasi laboratorium,
pelaksanaan pengambilan sampel dan konfirmasi yang
dilakukan pada laboratorium terdekat yang memiliki
kemampuan.
(2) Pelaksanaan konfirmasi sebagaimana dimaksud pada
-198-

ayat (1) mengutamakan kedaulatan dan kepentingan


nasional, pemanfaatan untuk masyarakat, dan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
(3) Dalam hal konfirmasi laboratorium sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) perlu dilakukan antarnegara,
pelaksanaannya harus sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perjanjian pengalihan material.

Pasal 394
(1) Kegiatan penanggulangan Wabah dilaksanakan secara
terintegrasi, komprehensif, dan tepat sasaran dengan
melibatkan kementerian/lembaga terkait dan Pemerintah
Daerah.
(2) Dalam penanggulangan Wabah, Pemerintah Pusat dapat
bekerja sama dengan negara lain atau badan
internasional.

Pasal 395
Dalam hal pelaksanaan kegiatan penanggulangan Wabah
mengakibatkan kerugian harta benda pada masyarakat,
Pemerintah Pusat harus memberikan ganti rugi.

Pasal 396
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kegiatan
penanggulangan Wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
385 sampai dengan Pasal 395 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Ketujuh
Kegiatan Pasca-Wabah

Pasal 397
(1) Untuk pemulihan pasca-Wabah dilakukan kegiatan
normalisasi:
a. Pelayanan Kesehatan; dan
b. kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
-199-

(2) Selain pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


tetap dilakukan upaya pencegahan terulangnya Wabah
melalui kegiatan:
a. penguatan surveilans Kesehatan; dan
b. pengendalian faktor risiko.
(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah
kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi, dan
Pemerintah Pusat secara terintegrasi, komprehensif,
tepat sasaran, dan berkesinambungan sesuai dengan
kewenangannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kegiatan
pasca-Wabah diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedelapan
Pelaporan

Pasal 398
(1) Pemerintah Daerah kabupaten/kota dan Pemerintah
Daerah provinsi wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan Kewaspadaan Wabah, kegiatan
penanggulangan Wabah, dan/atau kegiatan pasca-
Wabah kepada Menteri secara berkala.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit berisi perkembangan situasi Wabah serta
kegiatan penanggulangan yang dilakukan.

Pasal 399
(1) Menteri wajib melaporkan setiap perkembangan situasi
Wabah dan kegiatan penanggulangan Wabah kepada
Presiden.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Menteri mengumumkan perkembangan Wabah
dengan memperhatikan dampak sosial, ekonomi, budaya,
politik, dan keamanan yang mungkin timbul.
-200-

Bagian Kesembilan
Sumber Daya

Pasal 400
Sumber daya dalam upaya penanggulangan Wabah meliputi:
a. sumber daya manusia;
b. teknologi;
c. sarana dan prasarana;
d. Perbekalan Kesehatan; dan
e. pendanaan.

Pasal 401
Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
400 huruf a merupakan Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan,
dan non-Tenaga Kesehatan sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 402
(1) Setiap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan wajib ikut
serta dalam kegiatan penanggulangan Wabah.
(2) Dalam hal Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi,
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat
melakukan mobilisasi tenaga cadangan Kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224.
(3) Mobilisasi tenaga cadangan Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 403
(1) Teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 400 huruf
b berupa penerapan dan pengembangan:
a. teknologi tepat guna;
b. metode uji laboratorium;
c. metode pengobatan;
d. teknologi manajemen informasi dan komunikasi; dan
e. penelitian.
(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
-201-

diutamakan penelitian yang berbasis pelayanan.

Pasal 404
Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
400 huruf c berupa seluruh fasilitas yang diperlukan untuk
mendukung kegiatan Kewaspadaan Wabah, penanggulangan
Wabah, dan pasca-Wabah.

Pasal 405
Perbekalan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
394 huruf d meliputi Alat Kesehatan, Obat, vaksin, bahan
medis habis pakai, dan bahan/alat pendukung lainnya yang
diperlukan dalam menyelenggarakan kegiatan Kewaspadaan
Wabah, penanggulangan Wabah, dan pasca-Wabah.

Pasal 406
Pendanaan untuk upaya penanggulangan Wabah dibebankan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau sumber lain yang
sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Bagian Kesepuluh
Hak, Kewajiban, dan Larangan

Paragraf 1
Hak

Pasal 407
Setiap orang yang sakit atau diduga sakit akibat penyakit
yang berpotensi menimbulkan Wabah, berhak mendapatkan
Pelayanan Kesehatan yang pembiayaannya ditanggung oleh
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.

Pasal 408
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang melaksanakan
upaya Penanggulangan Wabah berhak atas pelindungan
-202-

hukum dan keamanan serta jaminan kesehatan dalam


melaksanakan tugasnya.
(2) Pelindungan hukum dan keamanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) termasuk pelindungan yang
diberikan kepada Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
dalam melaksanakan kegiatan investigasi dan memasuki
wilayah atau mendapatkan akses kepada masyarakat
tertentu yang diduga terjangkit penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah.
(3) Jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk mendapatkan pelindungan diri dari risiko
penularan.

Paragraf 2
Kewajiban

Pasal 409
Setiap orang wajib mematuhi semua kegiatan
penanggulangan Wabah yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.

Pasal 410
(1) Setiap orang yang mengetahui adanya orang sakit atau
diduga sakit akibat penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah harus segera melaporkan kepada
aparatur pemerintahan desa/kelurahan dan/atau
Fasilitas Pelayanan Kesehatan terdekat.
(2) Aparatur pemerintahan desa/kelurahan dan/atau
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menerima laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau yang
mengetahui adanya orang sakit atau diduga sakit akibat
penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah wajib
melaporkan kepada perangkat daerah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
Kesehatan setempat.
(3) Aparatur pemerintahan desa/kelurahan dan/atau
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang melanggar ketentuan
-203-

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi


administratif oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah
Pusat sesuai dengan kewenangannya berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. usulan pemberhentian dari jabatannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 411
Dalam keadaan Wabah seluruh Fasilitas Pelayanan
Kesehatan baik milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
maupun swasta wajib memberikan Pelayanan Kesehatan
terhadap orang sakit atau diduga sakit akibat penyakit yang
berpotensi menimbulkan Wabah.

Pasal 412
(1) Setiap orang yang mengelola bahan yang mengandung
penyebab dan/atau agen biologi penyebab penyakit yang
berpotensi menimbulkan Wabah wajib memenuhi
standar pengelolaan.
(2) Ketentuan mengenai standar pengelolaan bahan yang
mengandung penyebab dan/atau agen biologi penyebab
penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 413
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak memberikan
Pelayanan Kesehatan terhadap orang sakit atau diduga
sakit akibat penyakit yang berpotensi menimbulkan
Wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 394, dan
setiap orang yang mengelola bahan yang mengandung
penyebab dan/atau agen biologi penyebab penyakit yang
berpotensi menimbulkan Wabah yang tidak memenuhi
standar pengelolaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
394, dikenai sanksi administratif oleh Pemerintah Pusat
-204-

atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya


berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. denda administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3
Larangan

Pasal 414
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan menyebarluaskan
agen biologi penyebab penyakit yang berpotensi menimbulkan
Wabah secara langsung maupun tidak langsung.

Pasal 415
Setiap orang dilarang menghalang-halangi pelaksanaan upaya
penanggulangan Wabah.

BAB XIII
PENDANAAN KESEHATAN

Pasal 416
(1) Pendanaan Kesehatan bertujuan untuk mendanai
pembangunan Kesehatan secara berkesinambungan
dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil,
dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya
guna, untuk meningkatkan derajat Kesehatan
masyarakat setinggi-tingginya.
(2) Unsur-unsur pendanaan Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas sumber pendanaan,
alokasi, dan pemanfaatan.
(3) Sumber Pendanaan Kesehatan berasal dari Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan sumber lain
yang sah dan tidak mengikat.
-205-

Pasal 417
(1) Pemerintah Pusat melakukan pemantauan pendanaan
kesehatan secara nasional dan regional untuk menjamin
tercapainya tujuan pendanaan kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 410 ayat (1).
(2) Untuk mendukung pemantauan pendanaan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat
mengembangkan sistem informasi pendanaan kesehatan
yang merupakan bagian dari sistem informasi kesehatan.
(3) Sistem informasi pendanaan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) merupakan seperangkat tatanan
yang terintegrasi meliputi data, informasi, indikator, dan
capaian kinerja pendanaan Kesehatan yang dikelola
secara terpadu untuk mengarahkan tindakan atau
keputusan dalam pembangunan kesehatan.
(4) Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan, instansi
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, BPJS
Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, lembaga swasta, dan
mitra pembangunan yang menjalankan fungsi kesehatan
wajib melaporkan realisasi belanja kesehatan dan hasil
capaian setiap tahun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan melalui sistem informasi
pendanaan kesehatan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan dan
pelaksanaan sistem informasi pendanaan kesehatan
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 418
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin
ketersediaan dana yang dimanfaatkan untuk seluruh
kegiatan:
a. Upaya Kesehatan masyarakat dengan prioritas
pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan/atau
rehabilitatif;
b. Upaya Kesehatan termasuk penanggulangan
Kejadian Luar Biasa dan/atau Wabah;
-206-

c. penguatan Sumber Daya Kesehatan dan


pemberdayaan masyarakat;
d. penguatan pengelolaan Kesehatan;
e. penelitian, pengembangan, dan inovasi bidang
Kesehatan; dan
f. Program Kesehatan strategis lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan
pendanaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 419
(1) Dalam rangka ketersediaan pendanaan Upaya
Kesehatan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dapat melakukan optimalisasi partisipasi masyarakat.
(2) Optimalisasi peran masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan melalui kerja sama
pendanaan atau kerja sama operasional Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah dan masyarakat.
(3) Bentuk dan skema kerja sama sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 420
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota memprioritaskan
anggaran kesehatan di luar gaji dalam penyusunan
anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran
pendapatan dan belanja daerah.
(2) Besar anggaran kesehatan Pemerintah Pusat dialokasikan
minimal sebesar 10% (sepuluh persen) dari anggaran
pendapatan dan belanja negara di luar gaji.
(3) Besar anggaran kesehatan Pemerintah Daerah provinsi
dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dialokasikan
minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah di luar gaji.
(4) Penyusunan alokasi anggaran Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-207-

termasuk mempertimbangkan kecukupan penyelesaian


masalah kesehatan berdasarkan beban
penyakit/epidemiologi.
(5) Dalam penyusunan anggaran kesehatan Pemerintah
Daerah, Pemerintah Pusat berwenang untuk
menyinkronkan kebutuhan alokasi anggaran untuk
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418.

Pasal 421
(1) Dalam rangka upaya peningkatan kinerja pendanaan
kesehatan, Pemerintah Pusat dapat memberikan insentif
atau disinsentif kepada Pemerintah Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai insentif atau disinsentif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 422
(1) Pendanaan Upaya Kesehatan perseorangan dilakukan
melalui penyelenggaraan program jaminan kesehatan
nasional yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan
dan/atau asuransi kesehatan komersial.
(2) Program jaminan kesehatan nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bersifat wajib bagi seluruh
penduduk.
(3) Asuransi kesehatan komersial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bersifat sukarela.
(4) Pendanaan Upaya Kesehatan perseorangan melalui
penyelenggaraan program jaminan kesehatan nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan
dengan koordinasi antar penyelenggara jaminan
termasuk asuransi kesehatan komersial.

Pasal 423
Dalam rangka meningkatkan akses dan mutu Pelayanan
Kesehatan, memberikan kepastian hukum dalam
penyelenggaraan program jaminan sosial, serta memberikan
kepastian hukum dan kemudahan dalam pembinaan,
-208-

pengawasan, dan pengendalian penyelenggaraan program


jaminan sosial, Undang-Undang ini mengubah, menghapus,
dan/atau menetapkan beberapa pengaturan baru beberapa
yang diatur dalam:
1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4456); dan
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256).

Pasal 424
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456)
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga Pasal 13 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Pemberi kerja wajib mendaftarkan dirinya dan
pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS, sesuai
dengan program jaminan sosial yang diikuti.
(2) Dalam hal Pemberi Kerja tidak melakukan
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pekerja berhak untuk mendaftarkan diri sebagai
Peserta atas tanggungan Pemberi Kerja.

2. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga Pasal 19 berbunyi


sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional
berdasarkan prinsip ekuitas dan mekanisme
asuransi sosial.
-209-

(2) Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan


menjamin agar Peserta memperoleh manfaat
pemeliharaan kesehatan dan pelindungan dalam
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
(3) Kebutuhan dasar kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) merupakan kebutuhan esensial yang
menyangkut pelayanan kesehatan perseorangan,
baik promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
sesuai dengan siklus hidup dan epidemiologi tanpa
melihat sosial ekonomi dan penyebab ganguan
kesehatan sepanjang tidak dijamin dengan program
lainnya.
(4) Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di
rumah sakit, peserta diberikan fasilitas ruang
perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan
kelas rawat inap standar.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebutuhan dasar
kesehatan dan layanan kelas rawat inap standar
diatur dalam Peraturan Presiden.

3. Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 1 (satu)


pasal, yakni Pasal 19A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19A
(1) Peserta yang mengalami kekerasan atau kecelakaan
tunggal lalu lintas yang membutuhkan layanan
medis dalam rangka pengobatan berhak mendapat
manfaat sesuai dengan kebutuhan medis.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai manfaat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Presiden.

4. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga Pasal 22 berbunyi


sebagai berikut:
Pasal 22
(1) Pemerintah Pusat melakukan pengendalian potensi
penyalahgunaan pelayanan (moral hazard) dan
kendali mutu kendali biaya dalam pelayanan
-210-

kesehatan terhadap peserta, fasilitas kesehatan, dan


BPJS Kesehatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Presiden.

5. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga Pasal 23 berbunyi


sebagai berikut:
Pasal 23
(1) Manfaat jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 diberikan pada fasilitas kesehatan
milik pemerintah atau swasta yang menjalin kerja
sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
(2) BPJS wajib menerima kerja sama yang diajukan
fasilitas kesehatan yang telah memiliki perizinan
berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan.
(3) Dalam rangka menjamin akses pelayanan kesehatan
kepada peserta, BPJS Kesehatan atau fasilitas
kesehatan tidak dapat memutuskan kerja sama
secara sepihak.
(4) Dalam hal terdapat dugaan pelanggaran dan akan
dilakukan pemutusan kerja sama, BPJS Kesehatan
harus berkoordinasi dengan Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.
(5) BPJS Kesehatan wajib menyediakan informasi yang
mencukupi agar setiap peserta dapat memilih
fasilitas Kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan
peserta.
(6) Dalam hal di suatu daerah belum tersedia fasilitas
kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi
kebutuhan medik sejumlah peserta, BPJS wajib
memberikan kompensasi.
(7) Dalam keadaan darurat, manfaat jaminan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
-211-

dapat diberikan kepada fasilitas kesehatan yang


tidak menjalin kerja sama dengan BPJS.
(8) Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas
tersedianya fasilitas kesehatan yang memenuhi
syarat guna memenuhi kebutuhan medik
masyarakatnya.
(9) Ketentuan mengenai kerja sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pemutusan kerja sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan
tanggung jawab penyediaan fasilitas kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

6. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga Pasal 24 berbunyi


sebagai berikut:
Pasal 24
(1) Pemerintah berwenang menetapkan besaran tarif
yang akan dibayarkan kepada fasilitas kesehatan.
(2) Besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan mempertimbangkan kebutuhan
pembiayaan layanan kesehatan, standar biaya,
regionalisasi, serta indeks kemahalan daerah dan
inflasi.
(3) Besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dievaluasi paling lama 2 (dua) tahun sekali.
(4) Besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dijadikan sebagai dasar oleh BPJS untuk membayar
fasilitas Kesehatan.
(5) BPJS wajib membayar fasilitas kesehatan atas
pelayanan yang diberikan kepada Peserta paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permintaan
pembayaran diterima.
(6) BPJS bersama dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan mengembangkan sistem kendali mutu
dan kendali biaya pelayanan.
-212-

(7) BPJS berwenang mengembangkan tata cara


pembayaran pelayanan Kesehatan setelah
berkoordinasi dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
Kesehatan dan kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembayaran
kepada fasilitas kesehatan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

7. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga Pasal 27 berbunyi


sebagai berikut:
Pasal 27
(1) Besaran iuran jaminan kesehatan untuk Peserta
penerima upah, Peserta bukan penerima upah, dan
Peserta bukan pekerja ditetapkan berdasarkan
persentase tertentu dari upah atau pendapatan
rumah tangga seseorang.
(2) Besaran iuran jaminan kesehatan untuk Peserta
penerima bantuan iuran ditetapkan sebesar rata-
rata besaran iuran per orang per bulan bagi Peserta
penerima upah.
(3) Besaran iuran jaminan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditinjau secara berkala
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sekali.
(4) Besaran iuran jaminan kesehatan untuk Peserta
penerima upah ditanggung bersama oleh pekerja
dan pemberi kerja.
(5) Besaran iuran jaminan kesehatan untuk Peserta
bukan penerima upah dan Peserta bukan pekerja
ditanggung secara mandiri atau ditanggung oleh
pihak lain.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran iuran
jaminan kesehatan diatur dalam Peraturan
Presiden.
-213-

Pasal 425
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5256) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan ayat (2) Pasal 7 diubah sehingga Pasal 7
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) BPJS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 adalah
badan hukum publik berdasarkan Undang-Undang
ini.
(2) BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab kepada Presiden melalui:
a. menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan untuk BPJS
Kesehatan; dan
b. menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang ketenagakerjaan untuk
BPJS Ketenagakerjaan.

2. Ketentuan Pasal 11 diubah, sehingga Pasal 11 berbunyi


sebagai berikut:
Pasal 11
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10, BPJS berwenang untuk:
a. menagih pembayaran Iuran;
b. menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi
jangka pendek dan jangka panjang dengan
mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas,
kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang
memadai;
c. melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas
kepatuhan Peserta dan Pemberi Kerja dalam
memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan jaminan sosial
nasional;
-214-

d. melakukan pembayaran kepada fasilitas kesehatan


sesuai dengan besaran tarif yang ditetapkan
Pemerintah;
e. membuat atau menghentikan kerja sama dengan
fasilitas kesehatan;
f. mengenakan sanksi administratif kepada Peserta
atau Pemberi Kerja yang tidak memenuhi
kewajibannya;
g. melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi yang
berwenang mengenai ketidakpatuhannya dalam
membayar Iuran atau dalam memenuhi kewajiban
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
h. melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam
rangka penyelenggaraan program Jaminan Sosial.

3. Ketentuan Pasal 13 diubah, sehingga Pasal 13 berbunyi


sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10, BPJS berkewajiban untuk:
a. menggunakan Nomor Induk Kependudukan
sebagai satu-satunya identitas Peserta;
b. mengembangkan aset Dana Jaminan Sosial dan
aset BPJS untuk sebesar-besarnya kepentingan
Peserta;
c. menyediakan, memberikan, dan/atau
menerbitkan informasi publik yang berada di
bawah kewenangannya kepada pemohon
informasi publik, selain informasi yang
dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
d. memberikan manfaat kepada seluruh Peserta
sesuai dengan Undang-Undang tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional;
-215-

e. memberikan informasi kepada Peserta mengenai


hak dan kewajiban untuk mengikuti ketentuan
yang berlaku;
f. memberikan informasi kepada Peserta mengenai
prosedur untuk mendapatkan hak dan
memenuhi kewajibannya;
g. memberikan informasi kepada Peserta mengenai
saldo jaminan hari tua dan pengembangannya 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun;
h. memberikan informasi kepada Peserta mengenai
besar hak pensiun 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun;
i. membentuk cadangan teknis sesuai dengan
standar praktik aktuaria yang lazim dan berlaku
umum;
j. melakukan pembukuan sesuai dengan standar
akuntansi yang berlaku dalam penyelenggaraan
Jaminan Sosial;
k. melaporkan pelaksanaan setiap program,
termasuk kondisi keuangan, secara berkala 6
(enam) bulan sekali kepada Presiden dengan
tembusan kepada DJSN.
(2) Selain melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), BPJS Kesehatan juga
berkewajiban untuk:
a. melaksanakan penugasan dari kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan;
b. menghubungkan sistem informasi yang
dikelolanya dengan sistem informasi yang
mengintegrasikan seluruh pelayanan kesehatan
yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat;
dan
c. melakukan koordinasi mengenai
penyelenggaraan Jaminan Kesehatan dengan
kementerian/lembaga terkait.
-216-

4. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu)


pasal, yakni Pasal 13A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13A
(1) BPJS membayarkan manfaat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 huruf d kepada Peserta
yang menjalani layanan rawat inap dengan tidak
dibatasi oleh jangka waktu perawatan.
(2) BPJS membayarkan manfaat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 huruf d kepada Peserta
yang menjalani rawat jalan, dan/atau rapat inap
untuk semua fasilitas pelayanan kesehatan tanpa
dibatasi oleh kuota layanan BPJS rumah sakit.
(3) Selain mendapatkan pembayaran manfaat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peserta
berhak mendapatkan semua fasilitas pengobatan
dan tindakan medis yang diperlukan untuk semua
jenis penyakit agar tercapai kesembuhan.

5. Ketentuan Pasal 15 diubah, sehingga Pasal 15 berbunyi


sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Pemberi Kerja wajib mendaftarkan dirinya dan
pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS, sesuai
dengan program jaminan sosial yang diikuti.
(2) Dalam hal Pemberi Kerja tidak melakukan
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pekerja berhak untuk mendaftarkan diri sebagai
Peserta atas tanggungan Pemberi Kerja.
(3) Dalam hal Pemberi Kerja belum melakukan
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan Pekerja belum mendaftarkan diri sebagai
Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
terjadi kecelakaan kerja maka seluruh biaya yang
timbul akibat kecelakaan kerja, menjadi tanggung
jawab Pemberi Kerja.
-217-

(4) Pemberi Kerja dalam melakukan pendaftaran


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
memberikan data dirinya dan Pekerjanya berikut
anggota keluarganya secara lengkap dan benar
kepada BPJS.

6. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu)


pasal, yakni Pasal 15A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15A
Pemberi kerja tidak dapat menghentikan kepesertaan
Pekerja pada BPJS tanpa ada putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap atau permintaan dari
Pekerja itu sendiri.

7. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga Pasal 22 berbunyi


sebagai berikut:
Pasal 22
(1) Dewan Pengawas berfungsi melakukan pengawasan
atas pelaksanaan tugas BPJS.
(2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Dewan Pengawas bertugas untuk:
a. melakukan pengawasan atas kebijakan
pengelolaan BPJS dan kinerja Direksi;
b. melakukan pengawasan atas pelaksanaan
pengelolaan dan pengembangan Dana Jaminan
Sosial oleh Direksi;
c. memberikan saran, nasihat, dan pertimbangan
kepada Direksi mengenai kebijakan dan
pelaksanaan pengelolaan BPJS; dan
d. menyampaikan laporan pengawasan
penyelenggaraan Jaminan Sosial sebagai bagian
dari laporan BPJS kepada Presiden melalui
menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan atau menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang ketenagakerjaan, dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
-218-

bidang keuangan, dengan tembusan kepada


DJSN.
(3) Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Dewan Pengawas berwenang untuk:
a. menetapkan rencana kerja anggaran tahunan
BPJS;
b. mengusulkan kepada Presiden penghasilan bagi
Dewan Pengawas dan Direksi;
c. mendapatkan dan/atau meminta laporan dari
Direksi;
d. mengakses data dan informasi mengenai
penyelenggaraan BPJS;
e. melakukan penelaahan terhadap data dan
informasi mengenai penyelenggaraan BPJS; dan
f. memberikan saran dan rekomendasi kepada
Presiden mengenai kinerja Direksi.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan fungsi,
tugas, dan wewenang Dewan Pengawas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Dewan Pengawas
setelah berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan atau menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan,
dan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan.

8. Ketentuan huruf d ayat (3) Pasal 24 dihapus, sehingga


Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
(1) Direksi berfungsi melaksanakan penyelenggaraan
kegiatan operasional BPJS yang menjamin Peserta
untuk mendapatkan Manfaat sesuai dengan
haknya.
(2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Direksi bertugas untuk:
-219-

a. melaksanakan pengelolaan BPJS yang meliputi


perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
evaluasi;
b. mewakili BPJS di dalam dan di luar pengadilan;
dan
c. menjamin tersedianya fasilitas dan akses bagi
Dewan Pengawas untuk melaksanakan
fungsinya.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Direksi berwenang untuk:
a. melaksanakan wewenang BPJS;
b. menetapkan struktur organisasi beserta tugas
pokok dan fungsi, tata kerja organisasi, dan
sistem kepegawaian;
c. menyelenggarakan manajemen kepegawaian
BPJS termasuk mengangkat, memindahkan, dan
memberhentikan pegawai BPJS serta
menetapkan penghasilan pegawai BPJS;
d. dihapus;
e. menetapkan ketentuan dan tata cara pengadaan
barang dan jasa dalam rangka penyelenggaraan
tugas BPJS dengan memperhatikan prinsip
transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan
efektivitas;
f. melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS
paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah) dengan persetujuan Dewan
Pengawas;
g. melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS
lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah) sampai dengan Rp500.000.000.000,00
(lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan
Presiden; dan
h. melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS
lebih dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus
miliar rupiah) dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
-220-

(4) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan fungsi,


tugas, dan wewenang Direksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Direksi.

9. Ketentuan ayat (1) Pasal 28 diubah dan di antara ayat (2)


dan ayat (3) Pasal 28 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat
(2a) sehingga Pasal 28 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28
(1) Untuk memilih dan menetapkan anggota Dewan
Pengawas dan anggota Direksi, Menteri Kesehatan
atau Menteri Ketenagakerjaan, bersama Menteri
Keuangan, atas persetujuan Presiden membentuk
panitia seleksi yang bertugas melaksanakan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Keanggotaan panitia seleksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas 2 (dua) orang unsur
Pemerintah dan 5 (lima) orang unsur masyarakat.
(3) Keanggotaan panitia seleksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.

10. Ketentuan Pasal 34 diubah, sehingga Pasal 34 berbunyi


sebagai berikut:
Pasal 34
(1) Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi
diberhentikan dari jabatannya karena:
a. sakit secara terus-menerus selama 6 (enam)
bulan sehingga tidak dapat menjalankan
tugasnya;
b. tidak menjalankan tugasnya sebagai anggota
Dewan Pengawas atau anggota Direksi secara
terus menerus lebih dari 3 (tiga) bulan karena
alasan selain sebagaimana dimaksud pada huruf
a;
-221-

c. merugikan BPJS dan kepentingan Peserta


Jaminan Sosial karena kesalahan kebijakan
yang diambil;
d. menjadi terdakwa karena melakukan tindak
pidana;
e. melakukan perbuatan tercela;
f. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai
anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi;
g. mengundurkan diri secara tertulis atas
permintaan sendiri; dan/atau
h. tidak cakap dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya.
(2) Ketentuan Lebih lanjut mengenai pemberhentian
anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi
sebagaimana diatur pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Presiden.

11. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga Pasal 37 berbunyi


sebagai berikut:
Pasal 37
(1) BPJS wajib menyampaikan pertanggungjawaban
atas pelaksanaan tugasnya dalam bentuk laporan
pengelolaan program dan laporan keuangan
tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik
kepada Presiden melalui menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
Kesehatan atau menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan,
dan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan, dengan
tembusan kepada DJSN paling lambat tanggal 30
Juni tahun berikutnya.
(2) Bentuk dan isi laporan pengelolaan program
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh
BPJS setelah berkonsultasi dengan DJSN.
(3) Presiden dapat menerima atau menolak laporan
pengelolaan program dan laporan keuangan
-222-

tahunan, dan/atau membebaskan atau tidak


membebaskan direksi dan Dewan Pengawas BPJS
dari tanggung jawab hukum.
(4) Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan atau menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang ketenagakerjaan, dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melakukan kajian atas laporan pengelolaan program
dan laporan keuangan tahunan yang disampaikan
oleh BPJS sebelum dilaporkan kepada Presiden.
(5) Periode laporan pengelolaan program dan laporan
keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dimulai dari 1 Januari sampai dengan 31
Desember.
(6) Laporan keuangan BPJS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun dan disajikan sesuai dengan
standar akuntansi keuangan yang berlaku.
(7) Laporan pengelolaan program dan laporan
keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipublikasikan dalam bentuk ringkasan
eksekutif melalui media massa elektronik dan
melalui paling sedikit 2 (dua) media massa cetak
yang memiliki peredaran luas secara nasional,
paling lambat tanggal 31 Juli tahun berikutnya.
(8) Bentuk dan isi publikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) ditetapkan oleh Direksi setelah
mendapat persetujuan dari Dewan Pengawas.
(9) Ketentuan mengenai bentuk dan isi laporan
pengelolaan program sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB XIV
KOMITE KEBIJAKAN SEKTOR KESEHATAN
-223-

Bagian Kesatu
Pembentukan

Pasal 426
(1) Komite kebijakan sektor Kesehatan merupakan wadah
koordinasi dan komunikasi dalam rangka akselerasi
pembangunan dan memperkuat ketahanan sistem
Kesehatan.
(2) Komite kebijakan sektor Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menyelenggarakan pencegahan
dan penanganan berbagai permasalahan kebijakan di
bidang Kesehatan.
(3) Komite kebijakan sektor Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden.
(4) Komite kebijakan sektor Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Menteri sebagai ketua merangkap anggota;
b. menteri yang menangani urusan pemerintahan di
bidang keuangan sebagai anggota;
c. menteri yang menangani urusan pemerintahan di
bidang dalam negeri sebagai anggota;
d. kepala lembaga pemerintahan nonkementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pengawasan Obat dan makanan sebagai anggota;
e. kepala lembaga pemerintahan nonkementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan
kependudukan dan keluarga berencana nasional
sebagai anggota;
f. ketua dewan jaminan sosial nasional sebagai
anggota; dan
g. direktur utama BPJS kesehatan sebagai anggota.
(5) Komite kebijakan sektor Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh sekretariat yang
berkedudukan di Kementerian Kesehatan.
-224-

Bagian Kedua
Tugas dan Wewenang

Pasal 427
Komite kebijakan sektor Kesehatan bertugas
mengoordinasikan pelaksanaan akselerasi pembangunan dan
memperkuat ketahanan sistem Kesehatan.

Pasal 428
(1) Komite kebijakan sektor Kesehatan berwenang:
a. melakukan penelaahan terhadap berbagai informasi
dan data yang relevan atau berpengaruh terhadap
proses akselerasi pembangunan Kesehatan;
b. menyusun strategi pencapaian dan prioritas program
dan kegiatan pembangunan Kesehatan;
c. menetapkan kriteria dan indikator untuk penilaian
pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan
Kesehatan;
d. melakukan penilaian terhadap kondisi stabilitas dan
ketahanan sistem kesehatan;
e. menetapkan langkah koordinasi untuk mencegah
krisis kesehatan dan memperkuat ketahanan sistem
Kesehatan;
f. merekomendasikan Pemerintah Daerah melalui
menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam negeri untuk mendukung
pelaksanaan akselerasi pembangunan dan
memperkuat ketahanan sistem Kesehatan; dan
g. melakukan koordinasi peningkatan program
kesehatan masyarakat terutama yang bersifat
promotif dan preventif dalam rangka akselerasi
pembangunan dan memperkuat ketahanan sistem
Kesehatan.
(2) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Komite kebijakan sektor
Kesehatan dapat melakukan koordinasi kepada
-225-

kementerian/lembaga, dan pemangku kepentingan


terkait.

Pasal 429
(1) Komite kebijakan sektor Kesehatan menyelenggarakan
rapat secara berkala atau sewaktu-waktu.
(2) Rapat secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diselenggarakan 1 (satu) kali setiap 3 (tiga) bulan.
(3) Rapat sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diselenggarakan berdasarkan permintaan anggota
Komite kebijakan sektor Kesehatan.

Pasal 430
Ketua komite kebijakan sektor Kesehatan melaporkan hasil
pelaksanaan tugas kepada Presiden paling sedikit 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu jika diperlukan.

Pasal 431
Ketentuan lebih lanjut mengenai komite kebijakan sektor
Kesehatan diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB XV
PARTISIPASI MASYARAKAT

Pasal 432
(1) Masyarakat berpartisipasi, baik secara perseorangan
maupun terorganisasi, dalam segala bentuk dan tahapan
pembangunan Kesehatan dalam rangka membantu
mempercepat pencapaian derajat Kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya.
(2) Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup keikutsertaan secara aktif dan kreatif.

BAB XVI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
-226-

Bagian Kesatu
Pembinaan

Pasal 433
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan
pembinaan terhadap masyarakat dan setiap penyelenggaraan
kegiatan yang berhubungan dengan Sumber Daya Kesehatan
dan Upaya Kesehatan, termasuk Kewaspadaan Wabah,
penanggulangan Wabah, dan kegiatan pasca-Wabah secara
terpadu dan berkesinambungan.

Pasal 434
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 433
diarahkan untuk:
a. meningkatkan akses dan memenuhi kebutuhan
setiap orang terhadap Sumber Daya Kesehatan dan
Upaya Kesehatan;
b. menggerakkan dan melaksanakan penyelenggaraan
Upaya Kesehatan;
c. meningkatkan mutu Pelayanan Kesehatan serta
kemampuan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan;
dan
d. melindungi masyarakat terhadap segala
kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi
Kesehatan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui:
a. komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan
masyarakat;
b. sosialisasi dan advokasi;
c. penguatan kapasitas dan bimbingan teknis;
d. konsultasi; dan/atau
e. pendidikan dan pelatihan.

Pasal 435
(1) Dalam rangka pembinaan, Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dapat memberikan penghargaan
-227-

kepada orang atau badan yang telah berjasa dalam


setiap kegiatan mewujudkan tujuan pembangunan
Kesehatan, termasuk kegiatan Kewaspadaan Wabah,
penanggulangan Wabah, dan pasca-Wabah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Kedua
Pengawasan

Pasal 436
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya melakukan pengawasan terhadap
masyarakat dan setiap penyelenggaraan kegiatan yang
berhubungan dengan Sumber Daya Kesehatan dan
Upaya Kesehatan berdasarkan norma, standar, prosedur,
dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Lingkup pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. ketaatan terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan termasuk ketaatan pelaksanaan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat;
b. ketaatan terhadap standar profesi, standar
pelayanan, standar prosedur operasional, etika, dan
disiplin profesi;
c. dampak Pelayanan Kesehatan oleh Tenaga Medis
atau Tenaga Kesehatan;
d. evaluasi penilaian kepuasan pelanggan;
e. akuntabilitas dan kelayakan penyelenggaraan Upaya
Kesehatan dan Sumber Daya Kesehatan; dan
f. objek pengawasan lain sesuai dengan kebutuhan.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan, Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah dapat mengikutsertakan
organisasi profesi dan masyarakat.
-228-

Pasal 437
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam melakukan
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 436, dapat
mengangkat tenaga pengawas dengan tugas pokok untuk
melakukan pengawasan terhadap segala sesuatu yang
berhubungan dengan Sumber Daya Kesehatan dan Upaya
Kesehatan.

Pasal 438
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 437, tenaga pengawas mempunyai fungsi:
a. memasuki Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan setiap
tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan yang
berhubungan dengan penyelenggaraan Upaya Kesehatan;
dan
b. memeriksa perizinan yang dimiliki oleh Tenaga Medis,
Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Pasal 439
Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat
dilakukannya pemeriksaan oleh tenaga pengawas mempunyai
hak untuk menolak pemeriksaan apabila tenaga pengawas
yang bersangkutan tidak dilengkapi dengan tanda pengenal
dan surat perintah pemeriksaan.

Pasal 440
Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau
patut diduga adanya pelanggaran hukum di bidang
Kesehatan, tenaga pengawas wajib melaporkan kepada
penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 441
Ketentuan mengenai pelaksanaan pengawasan kegiatan yang
berhubungan dengan Sumber Daya Kesehatan dan Upaya
Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
-229-

Pasal 442
(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat dapat mengenakan sanksi administratif terhadap
Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan/atau Fasilitas
Pelayanan Kesehatan yang melanggar ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan mengenai pengenaan sanksi administratif
terhadap Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan/atau
Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XVII
PENYIDIKAN

Pasal 443
(1) Pejabat penyidik pada Kepolisian Negara Republik
Indonesia berwenang dan bertanggung jawab melakukan
penyidikan tindak pidana di sektor kesehatan
berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
(2) Selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia,
kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di
lingkungan pemerintahan yang menyelenggarakan
urusan di bidang kesehatan juga diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak
pidana di bidang Kesehatan.
(3) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. menerima laporan dan melakukan pemeriksaan atas
kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak
pidana di bidang Kesehatan;
-230-

b. memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap,


atau menahan seseorang yang diduga melakukan
tindak pidana di bidang Kesehatan;
c. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
d. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki
tempat kejadian perkara untuk kepentingan
penyidikan;
e. menyuruh berhenti orang yang dicurigai atau
tersangka dan memeriksa identitas dirinya;
f. mencari dan meminta keterangan dan bahan bukti
dari orang atau badan hukum sehubungan dengan
tindak pidana di bidang Kesehatan;
g. menahan, memeriksa, dan menyita surat dan/atau
dokumen lain tentang tindak pidana di bidang
Kesehatan;
h. memeriksa dan menyita surat, dokumen, dan/atau
bahan/barang bukti lainnya dalam perkara tindak
pidana di bidang kesehatan;
i. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang
diduga terdapat surat, dokumen, atau benda lain
yang ada hubungannya dengan tindak pidana di
bidang Kesehatan;
j. mengambil foto dan sidik jari tersangka;
k. memanggil seseorang untuk diperiksa dan didengar
keterangannya sebagai tersangka atau saksi;
l. meminta keterangan dari masyarakat atau sumber
yang berkompeten;
m. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana di bidang Kesehatan;
n. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat
cukup bukti yang membuktikan adanya tindak
pidana di bidang Kesehatan; dan
o. mengadakan tindakan lain menurut hukum.
(4) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
-231-

(5) Dalam melaksanakan kewenangan dan tanggung


jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyidik
pejabat pegawai negeri sipil berada di bawah koordinasi
dan pengawasan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 444
(1) Untuk menjadi penyidik pejabat pegawai negeri sipil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 443 ayat (2), harus
dipenuhi persyaratan dan kualifikasi sebagai berikut:
a. memiliki masa kerja sebagai pegawai tetap di
lingkungan pemerintahan yang menyelenggarakan
urusan di bidang kesehatan paling singkat 2 (dua)
tahun;
b. memiliki pangkat paling rendah Penata Muda
golongan ruang III/a atau yang sederajat;
c. berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau
sarjana lain yang setara;
d. bertugas di bidang teknis operasional penegakan
hukum;
e. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan
surat keterangan dokter pada rumah sakit
pemerntah;
f. paling sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun
terakhir dalam setiap unsur penilaian kinerja; dan
g. mengikuti dan lulus Pendidikan dan pelatihan di
bidang penyidikan yang diselenggarakan oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia bekerja sama
dengan Pemerintah yang menyelenggarakan urusan
di bidang Kesehatan.
(2) Pegawai Negeri Sipil yang telah memenuhi persyaratan
dan kualifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diusulkan sebagai Penyidik di lingkungan pemerintahan
yang menyelanggarakan urusan di bidang Kesehatan
kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
-232-

Pasal 445
Dalam melakukan penyidikan, penyidik pegawai negeri sipil
berkoordinasi dan bekerja sama dengan penyidik di
lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan dapat
berkoordinasi serta bekerja sama dengan penyidik di
lingkungan Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 446
(1) Tindak Pidana yang terjadi di lingkungan rumah sakit
militer dan tenaga medis militer, penyidikan hanya
dilakukan oleh penyidik Tentara Nasional Indonesia.
(2) Dalam hal hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik
Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditemukan bukti adanya tindak pidana yang
dilakukan oleh tenaga medis sipil, penyidik TNI
melimpahkan penyidikan kepada Penyidik PPNS dan
Penyidik Kepolisian Republik Indonesia.
(3) Dalam hal hasil penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil dan Penyidik Kepolisian Republik
Indonesia. ditemukan bukti adanya tindak pidana yang
dilakukan oleh tenaga medis militer di rumah sakit sipil,
Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan Penyidik Kepolisian
Republik Indonesia melimpahkan penyidikan kepada
Penyidik Tentara Nasional Indonesia.

Pasal 447
Persyaratan, tata cara pengangkatan penyidik pegawai negeri
sipil, dan administrasi penyidikan ditentukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XVIII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 448
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
-233-

42 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10


(sepuluh) tahun dan denda paling banyak kategori VI.

Pasal 449
Setiap Orang yang dengan sengaja menghalangi program
pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak kategori IV.

Pasal 450
Setiap Orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah
dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak kategori V.

Pasal 451
Setiap Orang yang dengan sengaja mengomersialkan atau
memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih
apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak kategori VI.

Pasal 452
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik
rekonstruksi dan estetika yang bertentangan dengan norma
yang berlaku dalam masyarakat dan bertujuan untuk
mengubah identitas dengan tujuan melawan hukum atau
melakukan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak kategori VI.

Pasal 453
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan pemasungan,
penelantaran, kekerasan, dan/atau menyuruh orang lain
untuk melakukan pemasungan, penelantaran, dan/atau
kekerasan terhadap penderita gangguan jiwa atau tindakan
lainnya yang melanggar hak asasi penderita gangguan jiwa,
-234-

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (3) dipidana


denda kategori VI.

Pasal 454
Setiap Orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan Sediaan Farmasi dan/atau Alat Kesehatan yang
tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan,
khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 142 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak kategori VI.

Pasal 455
Setiap Orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan Sediaan Farmasi dan/atau Alat Kesehatan yang
tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 147 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
banyak kategori VI.

Pasal 456
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan
tetapi melakukan praktik kefarmasian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) dipidana dengan pidana
denda paling banyak kategori VI.

Pasal 457
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi,
memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan/atau mengedarkan dengan
tidak mencantumkan peringatan Kesehatan berbentuk
gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156
dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak kategori V.
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan
tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157
dipidana denda paling banyak kategori III.
-235-

Pasal 458
Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik Pelayanan
Kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1) sehingga
mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau
kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak kategori IV.

Pasal 459
(1) Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Tenaga Medis,
dan Tenaga Kesehatan yang dengan sengaja tidak
memberikan pertolongan pertama terhadap Pasien yang
dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 171 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak kategori IV.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian,
pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tersebut
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak kategori VI.

Pasal 460
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 448 sampai dengan Pasal 459 ayat (1) dilakukan
oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda
terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi berupa pidana denda dengan
pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
-236-

Pasal 461
Setiap Orang yang bukan Tenaga Medis atau Tenaga
Kesehatan melakukan praktik sebagai Tenaga Medis atau
Tenaga Kesehatan yang telah memiliki SIP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 252 huruf c dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 462
(1) Setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang
melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Pasien
luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun.
(2) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Medis atau
Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 463
Setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan warga negara
asing yang dengan sengaja memberikan Pelayanan Kesehatan
tanpa memiliki STR Sementara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 237 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling
banyak kategori V.

Pasal 464
Setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang
menjalankan praktik tanpa memiliki SIP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) dipidana dengan pidana
denda paling banyak kategori V.

Pasal 465
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan
identitas berupa gelar atau bentuk lain yang
menimbulkan kesan bagi masyarakat yang bersangkutan
adalah Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang telah
memiliki STR dan/atau SIP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 329 huruf a dipidana dengan pidana penjara
-237-

paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak


kategori V.
(2) Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan alat,
metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-
olah yang bersangkutan merupakan Tenaga Medis atau
Tenaga Kesehatan yang telah memiliki STR atau SIP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 329 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau denda paling banyak kategori IV.
(3) Setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang
melakukan praktik sebagai Tenaga Medis atau Tenaga
Kesehatan tanpa memiliki STR dan/atau SIP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 329 huruf c
dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori V.

Pasal 466
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan
Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan yang tidak
mempunyai SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170
ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak kategori V.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh korporasi, pidana yang
dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman
tambahan berupa pencabutan izin.

Pasal 467
Nakhoda kapal atau kapten penerbang yang menurunkan
atau menaikkan orang dan/atau barang sebelum mendapat
surat persetujuan dari BKKN sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 377 ayat (3) dengan maksud menyebarkan penyakit
dan/atau faktor risiko penyakit yang dapat menimbulkan
Wabah dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling banyak kategori VII.
-238-

Pasal 468
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan
menyebarluaskan agen biologi penyebab penyakit yang
berpotensi menimbulkan Wabah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 414 dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak kategori
VII.

Pasal 469
Setiap orang yang dengan sengaja tidak mematuhi
pelaksanaan upaya Penanggulangan Wabah dan/atau dengan
sengaja menghalang-halangi pelaksanaan upaya
Penanggulangan Wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
415 dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori V.

Pasal 470
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 468 dan Pasal 469 dilakukan oleh korporasi
pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap
korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Korporasi dikenai pertanggungjawaban secara pidana
terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk
dan/atau atas nama korporasi jika perbuatan tersebut
termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana
ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain
yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.
(3) Pidana dijatuhkan kepada korporasi jika tindak pidana:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh personel
pengendali korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan
tujuan korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku
atau pemberi perintah; dan/atau
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat
bagi korporasi.
(4) Dalam hal tindak pidana dilakukan atau diperintahkan
oleh personel pengendali korporasi sebagaimana
-239-

dimaksud pada ayat (3) huruf a atau pengurus korporasi,


pidana pokok yang dijatuhkan adalah pidana penjara
maksimum dan pidana denda maksimum yang masing-
masing ditambah dengan pidana pemberatan 2/3 (dua
pertiga).
(5) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah
pidana denda maksimum ditambah dengan pidana
pemberatan 2/3 (dua pertiga).

BAB XIX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 471
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan
pelaksanaan dari:
a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah
Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3237);
b. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
c. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4431);
d. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4456);
e. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063);
-240-

f. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah


Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5072);
g. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256);
h. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5336);
i. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5571);
j. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5607);
k. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 307, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5612);
l. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2018 Nomor 128, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6236); dan
m. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang
Kebidanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2019 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6325),
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan belum
diganti berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 472
-241-

Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dan Konsil Kedokteran


Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 sampai
dengan Pasal 280 harus dibentuk paling lama 2 (dua) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 473
Dalam hal Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dan Konsil
Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
250 sampai dengan Pasal 280 belum terbentuk, Konsil
Tenaga Kesehatan Indonesia dan Konsil Kedokteran Indonesia
yang sudah terbentuk sebelum undang-undang ini berlaku
tetap menjalankan tugas dan fungsinya sampai dengan
diangkatnya anggota konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dan
Konsil Kedokteran Indonesia berdasarkan undang-undang ini.

BAB XX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 474
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah
Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3237);
b. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4431);
c. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063);
d. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5072);
-242-

e. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang


Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5571); dan
f. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5607);
g. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 307, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5612);
h. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2018 Nomor 128, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6236); dan
i. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang
Kebidanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2019 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6325),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 475
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Organisasi
Profesi yang telah berbadan hukum sebelum berlakunya
Undang-Undang ini tetap diakui keberadaannya sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang ini dan harus
menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 476
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus
ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini diundangkan.

Pasal 477
-243-

Pemerintah Pusat harus melaporkan pelaksanaan Undang-


Undang ini kepada Dewan Perwakilan Rakyat melalui alat
kelengkapan yang menangani urusan di bidang legislasi
paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini
berlaku.

Pasal 478
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …
MENTERI SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

PRATIKNO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN… NOMOR…


-1-

RANCANGAN
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR… TAHUN…
TENTANG
KESEHATAN

I. UMUM
Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki
cita-cita bangsa Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan nasional
tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang
menyeluruh, terarah, dan terpadu, termasuk di antaranya pembangunan
Kesehatan.
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur
kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh
karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat
Kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan
prinsip nondiskriminatif, partisipatif, pelindungan, dan berkelanjutan
yang sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia
Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta
pembangunan nasional.
Tantangan terbesar dalam pencapaian pembangunan Kesehatan
nasional mengalami disrupsi besar-besaran dalam skala global dengan
kejadian pandemi Corona Virus Disease (COVID-19) yang dimulai pada
tahun 2020. Pandemi COVID-19 telah mengguncang seluruh tatanan
masyarakat dan memberi beban tambahan dalam peningkatan kualitas
Kesehatan masyarakat yang berdampak luas sehingga memaksa
-2-

pemerintah, tidak hanya di Indonesia namun dunia untuk menyesuaikan


dengan kondisi tersebut.
Kejadian pandemi membawa kesadaran pentingnya penguatan
sistem Kesehatan nasional sehingga perlu dilakukan transformasi masif
dan menyeluruh di sektor Kesehatan. Transformasi ini bertujuan untuk
meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat Indonesia dan
meningkatkan daya saing bangsa Indonesia. Berdasarkan identifikasi
berbagai permasalahan di bidang Kesehatan, transformasi sistem
Kesehatan menyasar 6 (enam) pilar, yaitu layanan primer, layanan
rujukan, sistem ketahanan Kesehatan yang mencakup kemandirian
farmasi dan Alat Kesehatan serta ketahanan dalam menghadapi krisis,
sistem pembiayaan Kesehatan, Tenaga Kesehatan, dan Teknologi
Kesehatan.
Penyelenggaraan transformasi sistem Kesehatan memerlukan
landasan regulasi yang kuat dan mendukung, sehingga dapat mengatasi
berbagai permasalahan-permasalahan yang menghambat transformasi
sistem Kesehatan. Beberapa permasalahan kritikal di bidang Kesehatan,
diantaranya pemenuhan jumlah dokter sesuai dengan rasio standar
(1:1000), menarik pulang talenta-talenta terbaik warga negara Indonesia
diaspora di bidang Kesehatan, mendayagunakan Tenaga Medis dan
Tenaga Kesehatan warga negara asing dalam rangka penanaman modal
asing di dalam negeri, meningkatkan kemandirian farmasi dan Alat
Kesehatan dalam negeri, dan berbagai isu penting lainnya.
Pembenahan regulasi bidang Kesehatan juga diperlukan mengingat
struktur undang-undang di bidang Kesehatan yang sangat kompleks yang
dapat berpotensi tumpang tindih atau disharmonisasi. Selain itu
beberapa undang-undang lain yang terkait dengan penyelenggaraan
Kesehatan juga berpotensi menjadi hambatan dalam penyelenggaraan
transformasi sistem Kesehatan. Untuk itu diperlukan penyederhanaan
berbagai undang-undang dengan menggunakan metode omnibus law.
Tujuan penggunaan omnibus law, yaitu menghilangkan tumpang tindih
antar peraturan perundang-undangan, efisiensi proses perubahan atau
pencabutan peraturan perundang-undangan, serta menghilangkan ego
sektoral dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang ini memuat beberapa substansi penyempurnaan
terhadap undang-undang bidang Kesehatan, antara lain:
-3-

a. penguatan tugas dan tanggung jawab Pemerintah Pusat dan


Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan
termasuk penyediaan Sumber Daya Kesehatan untuk mendukung
penyelenggaraan Upaya Kesehatan.
b. sinkronisasi pengelolaan Kesehatan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
c. penguatan penyelenggaraan Upaya Kesehatan termasuk pemerataan
terhadap aksesibilitas Pelayanan Kesehatan, percepatan pengadaan
Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan pemanfaatan teknologi
informasi serta komunikasi.
d. pemerataan Fasilitas Pelayanan Kesehatan untuk kemudahan akses
bagi masyarakat termasuk integrasi Pelayanan Kesehatan
perseorangan maupun Pelayanan Kesehatan masyarakat terutama
penguatan Upaya Kesehatan promotif dan preventif oleh Fasilitas
Pelayanan Kesehatan, pemanfaatan teknologi dan informasi melalui
pelayanan Telemedisin, serta Pelayanan Kesehatan dalam rangka
upaya penanggulangan KLB atau Wabah.
e. penyediaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan melalui kemudahan
dalam proses pendidikan berbasis perguruan tinggi atau Rumah
Sakit terutama bagi tenaga medis, penyederhanaan proses Registrasi
dan perizinan, pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
pada masa tanggap darurat, serta penguatan kelembagaan dalam
rangka menjaga mutu dan kompetensi Tenaga Kesehatan dalam
rangka melindungi masyarakat.
f. penguatan peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan Perbekalan
Kesehatan, terutama Obat esensial dan Obat program nasional.
g. penguatan ketahanan kefarmasian dan Alat Kesehatan melalui
penyelenggaraan rantai pasok dari hulu hingga hilir antara lain
penelitian, pengembangan, dan produksi untuk Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan, serta mendorong penggunaan bahan baku dan
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dalam negeri.
h. penguatan Sistem Informasi Kesehatan termasuk tata kelola untuk
menjamin mutu dan keandalan sistem dalam penyelenggaraan
Upaya Kesehatan.
i. pemanfaatan Teknologi Kesehatan termasuk kewenangan
pemerintah untuk mengelola dan memanfaatkan data Kesehatan,
-4-

terutama untuk kepentingan umum dan interoperabilitas data


Kesehatan di berbagai pemangku Kesehatan, serta pemanfaatan
teknologi biomedis.
j. penguatan dalam rangka kedaruratan Kesehatan tata kelola
sebelum, saat, dan setelah wabah, termasuk pembagian peran dan
koordinasi antar pemangku kepentingan terkait.
k. penguatan pendanaan Kesehatan khususnya pemanfaatan
pendanaan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
penyelenggaraan sistem informasi pendanaan dan akun Kesehatan
untuk mengetahui besaran alokasi dan besaran belanja bulanan dan
tahunan, luaran (output) dan hasil (outcome), peningkatan pelayanan
program jaminan Kesehatan, dan penguatan koordinasi antar
lembaga penyelenggara program jaminan Kesehatan.
l. pembentukan Komite Kebijakan Sektor Kesehatan sebagai wadah
koordinasi dan komunikasi dalam rangka akselerasi pembangunan
dan memperkuat ketahanan sistem Kesehatan.
Secara umum, undang-undang ini memuat materi-materi pokok
yang disusun secara sistematis mencakup hak dan kewajiban, tanggung
jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, penyelenggaraan
Kesehatan, Upaya Kesehatan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Tenaga
Kesehatan, Perbekalan Kesehatan, ketahanan kefarmasian dan Alat
Kesehatan, Sistem Informasi Kesehatan, Teknologi Kesehatan, Wabah
penyakit menular, pendanaan Kesehatan, komite kebijakan sektor
Kesehatan, partisipasi masyarakat, pembinaan dan pengawasan,
penyidikan, dan ketentuan pidana.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas perikemanusiaan” adalah bahwa
pembangunan Kesehatan harus dilandasi atas perikemanusiaan
yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan
tidak membedakan golongan agama dan bangsa.
-5-

Huruf b
Yang dimaksud dengan ”asas keseimbangan” adalah bahwa
pembangunan Kesehatan harus dilaksanakan antara
kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental,
serta antara material dan sipiritual.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”asas manfaat” adalah bahwa
pembangunan Kesehatan harus memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kemanausiaan dan perikehidupan yang
sehat bagi setiap warga negara.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "asas ilmiah" adalah bahwa dalam
penyelenggaraan Upaya Kesehatan dilakukan berdasarkan pada
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "asas pemerataan" adalah bahwa
pengaturan Sumber Daya Kesehatan dimaksudkan untuk
memberikan Pelayanan Kesehatan yang dapat dijangkau oleh
seluruh lapisan masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "asas etika dan profesionalitas" adalah
bahwa pemberian Pelayanan Kesehatan oleh Tenaga Kesehatan
harus dapat mencapai dan meningkatkan profesionalisme
dalam menjalankan praktik serta memiliki etika profesi dan
sikap profesional.
Huruf g
Yang dimaksud dengan ”asas pelindungan dan keselamatan”
adalah bahwa penyelenggaraan Upaya Kesehatan harus dapat
memberikan pelindungan dan keselamatan kepada pemberi
Pelayanan Kesehatan yakni Tenaga Medis juga Tenaga
Kesehatan dan penerima Pelayanan Kesehatan dengan
mengutamakan keselamatan Pasien, masyarakat, dan
lingkungan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan ”asas penghormatan terhadap hak dan
kewajiban” adalah bahwa pembangunan Kesehatan harus
-6-

dilakukan dengan menghormati hak dan kewajiban masyarakat


sebagai bentuk kesamaan kedudukan hukum.
Huruf i
Yang dimaksud dengan ”asas keadilan” adalah bahwa
penyelenggaraan Upaya Kesehatan harus dapat memberikan
pelayanan yang adil dan merata kepada semua lapisan
masyarakat dengan pembiayaan yang terjangkau.
Huruf j
Yang dimaksud dengan ”asas nondiskriminatif” adalah bahwa
pembangunan Kesehatan tidak membedakan perlakuan
terhadap kelompok gender, agama, ras, etnis, suku bangsa,
warna kulit, kondisi fisik, status sosial, dan antar golongan.
Huruf k
Yang dimaksud dengan ”asas pertimbangan moral dan nilai-
nilai agama” adalah bahwa kebijakan pembangunan Kesehatan
sesuai dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan
yang adil dan beradab sebagaimana dimaksud dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Huruf l
Yang dimaksud dengan ”asas partisipatif” adalah bahwa dalam
pembangunan Kesehatan melibatkan partisipasi masyarakat
secara aktif.
Huruf m
Yang dimaksud dengan ”asas kepentingan umum” adalah
bahwa dalam pembangunan Kesehatan harus mengutamakan
kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan
tertentu.
Huruf n
Yang dimaksud dengan ”asas keterpaduan” adalah bahwa
pembangunan Kesehatan dilakukan secara terpadu melibatkan
lintas sektor.
Huruf o
Yang dimaksud dengan ”asas kesadaran hukum” adalah bahwa
dalam pembangunan Kesehatan menuntut peran serta
kesadaran dan kepatuhan hukum dari masyarakat.
-7-

Huruf p
Yang dimaksud dengan ”asas kedaulatan negara” adalah bahwa
dalam pembangunan Kesehatan harus mengutamakan
kepentingan nasional dan ikut meningkatkan Upaya Kesehatan
untuk membangun sistem ketahanan Kesehatan.
Huruf q
Yang dimaksud dengan ”asas kelestarian lingkungan hidup”
adalah bahwa dalam pembangunan Kesehatan harus dapat
menjamin upaya kelestarian kualitas lingkungan hidup untuk
generasi sekarang dan yang akan datang demi kepentingan
bangsa dan negara.
Huruf r
Yang dimaksud dengan ”kearifan budaya” adalah bahwa dalam
pembangunan Kesehatan harus memperhatikan dan
menghormati nilai-nilai sosial budaya yang dianut masyarakat.
Huruf s
Yang dimaksud dengan ”asas ketertiban dan kepastian hukum”
adalah bahwa penyelenggaraan Upaya Kesehatan harus dapat
menimbulkan keteraturan dan kepastian hukum dalam
masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”derajat Kesehatan yang setinggi-
tingginya” adalah keseimbangan yang dinamis antara
kesehatan fisik, emosional, sosial, spiritual, dan intelektual.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
-8-

Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “kerahasiaan informasi kesehatan
pribadinya” termasuk didalamnya adalah pembukaan
kerahasiaan informasi kesehatan pribadi yang tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”sehat” termasuk fisik, biologi,
spiritual, dan sosial.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
-9-

Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Agar Upaya Kesehatan berhasil guna dan berdaya guna,
Pemerintah Pusat perlu merencanakan, mengatur,
menyelenggarakan, serta membina dan mengawasi
penyelenggaraan Upaya Kesehatan ataupun sumber dayanya
secara serasi dan seimbang dengan melibatkan peran serta aktif
masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Untuk dapat terselenggaranya Pelayanan Kesehatan yang
merata kepada masyarakat, diperlukan ketersediaan Sumber
Daya Kesehatan antara lain Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan,
Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Perbekalan Kesehatan, Sistem
Informasi Kesehatan, serta Teknologi Kesehatan yang merata ke
seluruh wilayah sampai ke daerah terpencil sehingga
memudahkan masyarakat dalam memperoleh Pelayanan
Kesehatan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”fasilitas fiskal” antara lain pengurangan
atau pembebasan pajak penghasilan badan, bea masuk, atau
pajak pertambahan nilai, yang dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
-10-

Yang dimaksud dengan ”fasilitas non-fiskal” antara lain


pemangkasan birokrasi dan kemudahan perizinan berusaha,
yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Partisipasi masyarakat secara aktif dalam penyelenggaraan Upaya
Kesehatan perlu digerakkan dan diarahkan agar dapat berdaya guna
dan berhasil guna.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Upaya Kesehatan perseorangan yang
bersifat promotif” adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan Pelayanan Kesehatan yang lebih mengutamakan
kegiatan yang bersifat promosi Kesehatan atau kegiatan lain
untuk menunjang tercapainya hidup sehat, misalnya
memberikan penjelasan/edukasi kepada Pasien dan/atau
keluarga Pasien tentang penyakit degeneratif/masalah
kesehatan, faktor risiko, dan gaya hidup sehat.
Yang dimaksud dengan “Upaya Kesehatan perseorangan yang
bersifat preventif” adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap
suatu masalah kesehatan/penyakit untuk menghindari atau
mengurangi risiko, masalah, dan dampak buruk akibat
penyakit, misalnya pelaksanaan imunisasi dasar pada bayi,
vaksinasi meningitis bagi jamaah haji dan umrah, dan skrining
penyakit tidak menular.
Yang dimaksud dengan “Upaya Kesehatan perseorangan yang
bersifat kuratif” adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan
penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, dan
-11-

pengendalian penyakit agar kualitas penderita dapat terjaga


seoptimal mungkin, misalnya pengobatan penyakit pada Pasien.
Yang dimaksud dengan “Upaya Kesehatan perseorangan yang
bersifat rehabilitatif” adalah kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita penyintas ke
dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai
anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan
masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuannya, misalnya melatih kemampuan hidup penyintas
penyakit stroke atau gagal jantung menjadi kembali produktif
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Upaya Kesehatan masyarakat yang
bersifat promotif” adalah kegiatan Pelayanan Kesehatan yang
ditujukan kepada masyarakat atau kelompok yang
mengutamakan literasi dan edukasi kesehatan, misalnya
sosialisasi perilaku hidup bersih dan sehat, penyuluhan
kesehatan lingkungan, dan penyuluhan pembasmian jentik
nyamuk.
Yang dimaksud dengan “Upaya Kesehatan masyarakat yang
bersifat preventif” adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap
suatu masalah kesehatan/penyakit untuk menghindari atau
mengurangi risiko, masalah, dan dampak buruk akibat
penyakit, misalnya upaya pencegahan pencemaran lingkungan,
vaksinasi masal, dan skrining penyakit menular.
Yang dimaksud dengan “Upaya Kesehatan masyarakat yang
bersifat kuratif” adalah kegiatan untuk memulihkan gangguan
Kesehatan terhadap masyarakat yang disebabkan oleh
lingkungan, vektor atau agen, misalnya memulihkan lingkungan
yang tercemar, menghilangkan vektor atau agen.
Yang dimaksud dengan “Upaya Kesehatan masyarakat yang
bersifat rehabilitatif” adalah kegiatan mengembalikan penyintas
untuk kembali ke masyarakat, misalnya rehabilitasi medis dan
sosial bagi penyintas penyalah guna narkotika dan penyintas
kelainan kesehatan jiwa.
Ayat (4)
Cukup jelas.
-12-

Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “sumber daya lain” antara lain
industri bidang Kesehatan dan institusi pendidikan bidang
Kesehatan.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Bentuk Pelayanan Kesehatan pada Telekesehatan antara
lain informasi dan edukasi kesehatan, baik promotif,
preventif, dan rehabilitatif, serta pelatihan bidang
kesehatan.
-13-

Huruf b
Bentuk Pelayanan Kesehatan pada Telemedisin antara lain
asuhan medis/klinis dan/atau layanan konsultasi
kesehatan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat
pertama” antara lain Puskesmas, klinik pratama, praktik
mandiri Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, laboratorium, dan
apotek.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat
lanjut” antara lain klinik utama, rumah sakit, praktik mandiri
dokter spesialis-subspesialis.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
-14-

Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “rujukan secara vertikal” adalah
rujukan dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan perujuk ke Fasilitas
Pelayanan Kesehatan penerima rujukan yang memiliki tingkatan
kompetensi Pelayanan Kesehatan yang lebih tinggi. Rujukan
secara vertikal juga dapat dilakukan pada Pasien yang telah
selesai ditangani di Fasilitas Pelayanan Kesehatan penerima
rujukan dan masih membutuhkan perawatan lanjutan di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan perujuk atau di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan lain yang memiliki tingkatan kompetensi
sesuai dengan kebutuhan medis Pasien saat itu.
Yang dimaksud dengan “rujukan secara horizontal” adalah
rujukan dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan perujuk ke Fasilitas
Pelayanan Kesehatan penerima rujukan yang sama tingkatan
pelayanan kesehatannya, namun memiliki jenis kompetensi
tertentu yang tidak dimiliki oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan
perujuk.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Kemampuan pelayanan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
didasarkan antara lain pada jenis Pelayanan Kesehatan, jenis
Tenaga Kesehatan, kapasitas tempat tidur, sarana dan
prasarana, peralatan Kesehatan, Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan, dan daya tampung Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
-15-

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”masyarakat rentan” antara lain ibu
hamil dan menyusui, bayi, balita, dan lanjut usia.
Ayat (4)
Huruf a
Pembangunan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut
dilakukan dengan memperhitungkan rasio jumlah tempat
tidur dibandingkan dengan jumlah penduduk.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Yang dimaksud dengan “Upaya Kesehatan masyarakat melalui
Pelayanan Kesehatan masyarakat” merupakan struktur pembagian
kerja (work breakdown structure).
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”edukasi” adalah penyuluhan mengenai
perilaku hidup bersih dan sehat di lingkungan masyarakat.
Yang dimaksud dengan ”surveilans kesehatan” adalah kegiatan
pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap data
dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah
Kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya
peningkatan dan penularan penyakit atau masalah Kesehatan
-16-

untuk memperoleh dan memberikan informasi guna


mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan
secara efektif dan efisien.
Yang dimaksud dengan ”imunisasi” adalah suatu upaya untuk
menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu penyakit sehingga bila suatu saat terpajan
dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya
mengalami sakit ringan.
Skrining penyakit ditujukan bagi penyakit menular dan penyakit
tidak menular, contoh: skrining TBC, HIV-AIDS, hepatitis,
hipertensi, diabetes melitus, jantung, dan stroke.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Intervensi Pelayanan Kesehatan masyarakat yang tidak
dapat dilakukan oleh Puskesmas berupa kesehatan
masyarakat yang memerlukan peran lintas sektor terkait,
antara lain penyediaan air bersih, jamban sehat, pemulihan
lingkungan yang tercemar, pemberantasan vektor dan agen
penyebab penyakit menular.
Ayat (3)
Cukup jelas.
-17-

Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Penelitian dan pengembangan Kesehatan ditujukan untuk
meningkatan pembangunan Kesehatan nasional.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan masyarakat adalah penduduk setempat
yang dapat didukung oleh organisasi kemasyarakatan,
filantropi, dan Organisasi Profesi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan tenaga pendamping adalah seseorang
yang memiliki kemampuan untuk mendampingi serta
membantu proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh
masyarakat dalam mengadopsi inovasi di bidang kesehatan,
misalnya lembaga swadaya masyarakat, organisasi
kemasyarakatan (community based organization), institusi
pendidikan, Organisasi Profesi.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
-18-

Pasal 37
Yang dimaksud dengan Pemerintah Daerah termasuk perangkat
desa, dan struktur lembaga kemasyarakatan (rukun warga dan
rukun tetangga).
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “konselor” dalam ketentuan ini adalah
setiap orang yang telah memiliki sertifikat sebagai konselor
melalui pendidikan dan pelatihan. Yang dapat menjadi konselor
adalah dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan
setiap orang yang mempunyai minat dan memiliki keterampilan
untuk itu.
Pasal 43
Yang dimaksud dengan “ tindakan aborsi yang tidak aman dan
tidak bertanggung jawab” adalah aborsi yang dilakukan dengan
paksaan dan tanpa persetujuan perempuan yang bersangkutan,
yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan yang tidak profesional, tanpa
mengikuti standar profesi dan pelayanan yang berlaku,
diskriminatif, atau lebih mengutamakan imbalan materi daripada
indikasi medis.
Pasal 44
Cukup jelas.
-19-

Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Pemberian air susu ibu ekslusif merupakan pemberian hanya
air susu ibu selama 6 (enam) bulan dan dapat terus dilanjutkan
sampai dengan 2 (dua) tahun dengan memberikan makanan
pendamping air susu ibu (MP-ASI) sebagai tambahan makanan
sesuai dengan kebutuhan bayi.
Yang dimaksud dengan “indikasi medis” dalam ketentuan ini
adalah kondisi kesehatan ibu yang tidak memungkinkan
memberikan air susu ibu berdasarkan indikasi medis yang
ditetapkan oleh tenaga medis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kebijakan” dalam ketentuan ini berupa
pembuatan norma, standar, prosedur, dan kriteria.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
-20-

Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Edukasi, informasi, dan pelayanan mengenai Kesehatan remaja
termasuk Kesehatan reproduksi remaja dilakukan dengan
memperhatikan masalah dan kebutuhan agar terbebas dari
berbagai gangguan Kesehatan dan penyakit yang dapat
menghambat pengembangan potensi remaja.
Setiap anak usia sekolah dan remaja berhak mendapatkan
pendidikan Kesehatan melalui sekolah dan madrasah maupun
luar sekolah untuk meningkatkan kemampuan hidup anak usia
sekolah dan remaja dalam lingkungan hidup yang sehat
sehingga dapat belajar, tumbuh dan berkembang secara
harmonis dan optimal menjadi sumber daya manusia yang
berkualitas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “gizi seimbang” dalam ketentuan ini
adalah asupan gizi sesuai kebutuhan seseorang untuk
mencegah risiko gizi lebih dan gizi kurang.
Huruf b
Cukup jelas.
-21-

Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”pemangku kepentingan” adalah orang
perseorangan, masyarakat, akademisi, Organisasi Profesi, dunia
usaha, media massa, organisasi masyarakat sipil, perguruan
tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan mitra
pembangunan, yang terkait dengan percepatan penurunan
stunting.
Pasal 64
Pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan
pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi dapat diperoleh
melalui layanan Telemedisin untuk gizi perseorangan dan layanan
Telekesehatan untuk gizi masyarakat.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
-22-

Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Guna menjamin ketersediaan darah untuk Pelayanan
Kesehatan, jaminan pemerintah diwujudkan dalam bentuk
pemberian subsidi kepada unit transfusi darah (UTD) yang
bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara
(APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), dan
bantuan lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “proses pengolahan” dalam ketentuan
ini adalah pemisahan komponen darah menjadi plasma dan sel
darah merah, sel darah putih, dan sel pembeku darah yang
dilakukan oleh UTD dan biaya pengolahan tersebut ditanggung
oleh negara.
Yang dimaksud dengan “proses produksi” dalam ketentuan ini
adalah proses fraksionasi dimana dilakukan penguraian protein
plasma menjadi antara lain albumin, globulin, faktor VIII dan
faktor IX dilakukan oleh industri yang harganya dikendalikan
oleh Pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”Pelayanan Kesehatan gigi dan mulut”
meliputi fase janin, ibu hamil, anak-anak, remaja, dewasa, dan
lanjut usia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
-23-

Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Transplantasi” adalah pemindahan
organ dan/atau jaringan tubuh dari pendonor ke resipien guna
penyembuhan penyakit dan pemulihan Kesehatan resipien.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Penghargaan diberikan karena pendonor transplantasi
organ tidak dapat melakukan kegiatan atau pekerjaan
secara optimal selama proses transplantasi dan pemulihan
Kesehatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
-24-

Pasal 84
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sel punca” adalah sel dalam tubuh
manusia dengan kemampuan istimewa yakni mampu
memperbaharui atau meregenerasi dirinya dan mampu
berdiferensiasi menjadi sel lain yang spesifik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”mengubah identitas” antara lain
mengubah wajah, jenis kelamin, dan/atau sidik jari, sehingga
mengakibatkan perubahan identitas dan menghilangkan jejak
jati diri, serta digunakan untuk melawan hukum atau
melakukan kejahatan.
Bedah plastik rekonstruksi dan estetika tidak ditujukan untuk
mengubah jenis kelamin melainkan untuk menyesuaikan alat
kelamin dengan jenis kelamin yang sebenarnya. Perubahan
jenis kelamin hanya dapat dilakukan dengan penetapan
pengadilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
-25-

Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Ayat (1)
Penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan
pendengaran dilakukan dengan menggerakkan pemberdayaan
masyarakat antara lain untuk donor kornea dan operasi
katarak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Upaya promotif kesehatan jiwa ditujukan antara lain untuk
mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan jiwa
masyarakat secara optimal, menghilangkan stigma,
diskriminasi, dan pelanggaran hak asasi orang dengan
gangguan jiwa, meningkatkan pemahaman dan peran serta
masyarakat terhadap kesehatan jiwa, dan meningkatkan
penerimaan dan peran serta masyarakat terhadap kesehatan
jiwa.
Upaya preventif kesehatan jiwa ditujukan antara lain untuk
mencegah terjadinya masalah kejiwaan, mencegah timbul
dan/atau kambuhnya gangguan jiwa, mengurangi faktor risiko
-26-

akibat gangguan jiwa pada masyarakat atau perseorangan, dan


mencegah timbulnya dampak masalah psikososial.
Upaya kuratif kesehatan jiwa ditujukan antara lain untuk
penyembuhan atau pemulihan, pengurangan penderitaan,
pencegahan keparahan, dan pengendalian gejala penyakit.
Upaya rehabilitatif kesehatan jiwa ditujukan antara lain untuk
memulihkan fungsi sosial, memulihkan fungsi okupasional, dan
mempersiapkan dan memberi kemampuan orang dengan
gangguan jiwa agar mandiri di masyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tidak cakap” adalah ketidakmampuan
seseorang dalam membuat keputusan yang penting secara
mandiri dengan menyadari segala risikonya.
Ayat (3)
Tindakan kedaruratan antara lain dilakukan terhadap orang
dengan gangguan jiwa yang menunjukkan pikiran dan/atau
perilaku yang dapat membahayakan dirinya, orang lain,
dan/atau sekitarnya.
-27-

Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 105
Ayat (1)
Penatalaksanaan yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat
dan keamanannya mencakup penggunaan produk, modalitas
terapi, dan kompetensi pemberi pelayanan yang sesuai dengan
produk dan modalitas terapi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 106
Tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
melakukan penatalaksanaan meliputi pengaturan, pelayanan,
pemberdayaan, dan pelindungan.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pekerjaan tertentu atau menduduki
jabatan tertentu” antara lain pejabat publik yang membuat
keputusan penting, pekerjaan yang dapat membahayakan diri
sendiri atau orang lain, atau pekerjaan yang berhubungan
dengan kelompok rentan seperti bidang pendidikan dan
Kesehatan.
Pemeriksaan Kesehatan jiwa ditujukan untuk penempatan,
deteksi dini, dan pelindungan bagi tenaga kerja dan
masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
-28-

Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kriteria penetapan program penanggulangan penyakit tidak
menular tertentu sebagai prioritas nasional atau daerah antara
lain berupa:
a. tingginya angka kematian atau kecacatan;
b. tingginya angka kesakitan atau tingginya beban biaya
pengobatan; dan
c. memiliki faktor risiko yang dapat diubah
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Ayat (1)
Kegiatan pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan
penyakit menular dilakukan antara lain melalui:
a. promosi kesehatan;
b. surveilans kesehatan;
c. pengendalian faktor risiko;
d. penemuan kasus;
-29-

e. penanganan kasus;
f. pemberian kekebalan (imunisasi); dan
g. pemberian Obat pencegahan secara massal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kriteria penetapan program penanggulangan penyakit menular
tertentu sebagai prioritas nasional atau daerah antara lain:
a. penyakit endemis lokal;
b. penyakit menular potensial wabah;
c. fatalitas yang ditimbulkan tinggi/angka kematian tinggi;
d. memiliki dampak sosial, ekonomi, politik, dan ketahanan
yang luas; dan
e. menjadi sasaran reduksi, eliminasi, dan eradikasi global.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Ayat (1)
Perilaku hidup bersih dan sehat bagi penderita penyakit
menular dilakukan dengan tidak melakukan tindakan yang
dapat memudahkan penularan penyakit pada orang lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Ayat (1)
Kegiatan pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit
tidak menular dilakukan antara lain melalui:
a. promosi kesehatan;
b. deteksi dini faktor risiko;
c. pengendalian faktor risiko;
d. pelindungan khusus;
-30-

e. penemuan dini kasus;


f. tata laksana dini; dan
g. penanganan kasus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 124
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”faktor risiko” antara lain diet tidak
seimbang, kurang aktivitas fisik, merokok, mengkonsumsi
alkohol, dan perilaku berlalu lintas yang tidak benar.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Ayat (1)
Lingkungan yang sehat merupakan lingkungan yang bebas dari
unsur-unsur yang menimbulkan gangguan Kesehatan antara
lain:
a. limbah cair, limbah padat, limbah gas yang tidak diolah
sebagaimana mestinya;
b. sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan Pemerintah;
c. binatang pembawa penyakit;
d. zat kimia yang berbahaya;
e. kebisingan yang melebihi ambang batas;
f. radiasi sinar pengion dan non pengion;
-31-

g. air yang tercemar;


h. udara yang tercemar; dan
i. makanan yang terkontaminasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Kesehatan matra” adalah kondisi
dengan lingkungan berubah secara bermakna yang dapat
menimbulkan masalah Kesehatan.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Kesehatan lapangan” adalah
kesehatan matra yang berhubungan dengan pekerjaan
didarat yang temporer dan serba berubah. Adapun sasaran
pokok adalah melakukan dukungan Kesehatan operasional
dan pembinaan terhadap setiap orang yang secara langsung
maupun tidak langsung terlibat dalam kegiatan dilapangan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Kesehatan kelautan dan bawah air”
adalah kesehatan matra yang berhubungan dengan
-32-

pekerjaan di laut dan yang berhubungan dengan keadaan


lingkungan yang bertekanan tinggi (hiperbarik) dengan
sasaran pokok melakukan dukungan Kesehatan operasional
dan pembinaan Kesehatan setiap orang yang secara
langsung maupun tidak langsung terlibat dalam
pengoperasian peralatan laut dan dibawah air.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Kesehatan kedirgantaraan” adalah
kesehatan matra udara yang mencakup ruang lingkup
kesehatan penerbangan dan kesehatan ruang angkasa
dengan keadaan lingkungan yang bertekanan rendah
(hipobarik) dengan mempunyai sasaran pokok melakukan
dukungan Kesehatan operasional dan pembinaan
Kesehatan terhadap setiap orang secara langsung atau
tidak langsung.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 138
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “bencana” adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak
psikologis.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud “tanggap darurat bencana” adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada
saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk
yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan
evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan
-33-

dasar, pelindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan,


serta pemulihan prasarana dan sarana.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “standar lainnya” antara lain farmakope
Internasional atau metode analisis, yang digunakan dalam hal
tidak terdapat dalam farmakope Indonesia.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “standar lainnya” antara lain berupa
metode analisis, yang digunakan dalam hal belum diatur dalam
farmakope herbal Indonesia.
-34-

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “standar lainnya” antara lain berupa
metode analisis, yang digunakan dalam hal belum diatur dalam
kodeks kosmetika Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “perizinan berusaha dari Pemerintah
Pusat” adalah izin edar untuk makanan dan minuman.
Sedangkan perizinan berusaha dari Pemerintah Daerah Nomor
Pangan Industri Rumah Tangga.
Yang dimaksud dengan makanan dan minuman yang harus
memiliki izin edar tidak termasuk makanan dan minuman yang
mempunyai masa simpan kurang dari 7 hari dan pangan siap
saji.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
-35-

Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Yang dimaksud dengan “peringatan Kesehatan” adalah tulisan yang
jelas dan mudah terbaca dan disertai dengan gambar.
Pasal 157
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemerintah Daerah dalam menetapkan kawasan tanpa rokok
harus mempertimbangkan seluruh aspek secara holistik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 158
Cukup jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Cukup jelas.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
Pasal 164
Cukup jelas.
Pasal 165
Ayat (1)
Cukup jelas.
-36-

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”program pemerintah” antara lain
program penanggulangan tuberkulosis, HIV/AIDS, dan stunting.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 166
Cukup jelas.
Pasal 167
Cukup jelas.
Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup jelas.
Pasal 170
Cukup jelas.
Pasal 171
Cukup jelas.
Pasal 172
Cukup jelas.
Pasal 173
Cukup jelas.
Pasal 174
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “rahasia Kesehatan pribadi Pasien”
adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang
ditemukan oleh Tenaga Kesehatan dalam rangka pengobatan
dan dicatat dalam rekam medis yang dimiliki Pasien yang
bersifat rahasia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 175
Cukup jelas.
-37-

Pasal 176
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “jejaring pengampuan Pelayanan
Kesehatan prioritas” adalah pengampuan yang dilakukan
oleh Rumah Sakit dengan kompetensi yang lebih tinggi
terhadap beberapa Rumah Sakit dengan kompetensi yang
perlu ditingkatkan, dengan tujuan mengatasi masalah
Kesehatan prioritas di wilayah tertentu.
Lingkup jejaring pengampuan Pelayanan Kesehatan
prioritas antara lain meliputi informasi, layanan unggulan,
sarana prasarana, pelayanan, rujukan, penyediaan alat,
dan pendidikan Tenaga Kesehatan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”kerja sama 2 (dua) atau lebih
Rumah Sakit (sister hospital)” adalah kerja sama antara
dua Rumah Sakit baik antara Rumah Sakit di Indonesia
dengan Rumah Sakit di luar negeri maupun antar Rumah
Sakit di Indonesia, dengan tujuan meningkatkan
kompetensi rumah sakit, baik kompetensi manajerial
rumah sakit, kompetensi manajemen pelayanan,
pengembangan layanan unggulan, pengelolaan sumber
daya, dan kebutuhan lain.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”pusat unggulan (centre of
excellence)” adalah Pelayanan Kesehatan dengan
karakteristik utama pada Rumah Sakit yang mempunyai
standar pelayanan internasional, berteknologi tinggi,
memiliki kompetensi sumber daya manusia yang unggul,
dan bekerja sama dengan institusi pendidikan untuk
meningkatkan budaya belajar, inovasi, dan pengembangan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ”sistem Kesehatan akademik
(academic health system)” adalah integrasi penyelenggaraan
fungsi pendidikan, penelitian, Pelayanan Kesehatan, dan
pengabdian masyarakat untuk peningkatan sistem
-38-

Kesehatan dan derajat kesehatan masyarakat dalam suatu


wilayah.
Huruf e
Yang dimaksud dengan ”Pelayanan Kesehatan terpadu”
adalah Pelayanan Kesehatan yang memanfaatkan teknologi
informasi yang dilakukan secara terpadu, multidisiplin,
dalam satu tempat pelayanan sehingga memberikan
kemudahan pada Pasien melalui perekaman digital rekam
medis dan hasil penunjang yang mudah diakses oleh
Pasien.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 177
Cukup jelas.
Pasal 178
Cukup jelas.
Pasal 179
Cukup jelas.
Pasal 180
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tata kelola Rumah Sakit yang baik”
adalah penerapan fungsi-fungsi manajemen Rumah Sakit yang
berdasarkan prinsip-prinsip tranparansi, akuntabilitas,
independensi dan responsibilitas, kesetaraan, kewajaran yang
didukung dengan organisasi yang efektif, efisien, serta audit
medis dan audit kinerja.
Yang dimaksud dengan “tata kelola klinis yang baik” adalah
penerapan fungsi manajemen klinis yang meliputi
kepemimpinan klinik, audit klinis, data klinis, risiko klinis
berbasis bukti, peningkatan kinerja, pengelolaan keluhan,
mekanisme monitor hasil pelayanan, pengembangan
profesional, dan akreditasi rumah sakit.
-39-

Pasal 181
Cukup jelas.
Pasal 182
Cukup jelas.
Pasal 183
Cukup jelas.
Pasal 184
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “diberikan dukungan” adalah pemberian
fasilitas oleh Rumah Sakit antara lain berupa peralatan dan
pembiayaan penelitian.
Yang dimaksud dengan “kebebasan secara bertanggung jawab”
adalah pelaksanaan penelitian dilaksanakan sesuai dengan
kaidah keilmuan berdasarkan nilai moral, norma agama, dan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 185
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “standar pelayanan Rumah Sakit”
adalah semua standar pelayanan yang berlaku di Rumah Sakit
antara lain standar prosedur operasional, standar pelayanan
medis, dan standar asuhan keperawatan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “masyarakat tidak mampu atau miskin”
adalah Pasien yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
-40-

Huruf f
Yang dimaksud dengan “fungsi sosial” antara lain menyediakan
fasilitas pelayanan Pasien tidak mampu/miskin, pelayanan
gawat darurat tanpa uang muka, pelayanan korban bencana
dan KLB, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “menyelenggarakan rekam medis”
adalah dilakukan sesuai dengan standar yang secara bertahap
diupayakan mencapai standar internasional.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Rumah Sakit dibangun serta dilengkapi dengan sarana,
prasarana, dan peralatan yang dapat difungsikan serta
dipelihara sedemikian rupa untuk mendapatkan keamanan,
mencegah kebakaran/bencana dengan terjaminnya keamanan,
Kesehatan, dan keselamatan Pasien, petugas, pengunjung, dan
lingkungan rumah sakit.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Yang dimaksud dengan “peraturan internal Rumah Sakit
(hospital by laws)” adalah peraturan organisasi Rumah Sakit
-41-

(corporate by laws) dan peraturan staf medis Rumah Sakit


(medical staff by laws) yang disusun dalam rangka
menyelenggarakan tata kelola perusahaan yang baik (good
corporate governance) dan tata kelola klinis yang baik (good
clinical governance).
Dalam peraturan staf medis Rumah Sakit (medical staff by laws)
antara lain diatur kewenangan klinis (clinical privilege).
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Cukup jelas.
Pasal 186
Cukup jelas.
Pasal 187
Cukup jelas.
Pasal 188
Cukup jelas.
Pasal 189
Cukup jelas.
Pasal 190
Cukup jelas.
Pasal 191
Cukup jelas.
Pasal 192
Cukup jelas.
Pasal 193
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Tenaga Kesehatan tradisional yang termasuk ke dalam
Tenaga Kesehatan adalah yang telah memiliki pendidikan
formal yang setara minimum diploma tiga dan bekerja di
bidang kesehatan tradisional.
-42-

Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Perawat dapat mengembangkan ilmunya pada bidang
keperawatan kesehatan masyarakat, keperawatan kesehatan
anak, keperawatan maternitas, keperawatan medikal bedah,
keperawatan geriatri, dan keperawatan kesehatan jiwa.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Ayat (13)
Cukup jelas.
Ayat (14)
Cukup jelas.
Ayat (15)
Cukup jelas.
Ayat (16)
Cukup jelas.
Ayat (17)
Cukup jelas.
-43-

Ayat (18)
Cukup jelas.
Ayat (19)
Cukup jelas.
Pasal 194
Cukup jelas
Pasal 195
Cukup jelas.
Pasal 196
Cukup jelas.
Pasal 197
Cukup jelas.
Pasal 198
Cukup jelas.
Pasal 199
Cukup jelas.
Pasal 200
Cukup jelas.
Pasal 201
Cukup jelas.
Pasal 202
Cukup jelas.
Pasal 203
Ayat (1)
Izin meliputi izin pembentukan institusi pendidikan baru,
penambahan jurusan, dan program studi baru.
Ayat (2)
Koordinasi dalam rangka memperoleh rekomendasi diutamakan
untuk pembukaan program studi rumpun kesehatan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pembinaan teknis" adalah pembinaan
teknis keprofesian untuk mencapai Standar Profesi atau standar
kompetensi berdasarkan kurikulum dalam proses pendidikan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
-44-

Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "pembinaan akademik" antara lain
berupa pemberian izin penyelenggaraan, kurikulum, sistem
penjaminan mutu internal, dan akreditasi.
Pasal 204
Cukup jelas.
Pasal 205
Cukup jelas.
Pasal 206
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “kolegium masing-masing Tenaga Medis
atau Tenaga Kesehatan” adalah wadah untuk berhimpun ketua
departemen dan ketua program studi dari perguruan tinggi atau
Institusi Penyelenggara Pendidikan Profesi Tertentu serta dapat
dibantu oleh ahli pendidikan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 207
Cukup jelas.
Pasal 208
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “uji kompetensi” adalah proses
pengukuran pengetahuan, keterampilan, dan sikap profesional
peserta didik untuk mencapai standar kompetensi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
-45-

Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 209
Ayat (1)
Pendanaan yang bersumber dari masyarakat dapat berasal dari
dana tanggung jawab sosial dari badan usaha atau berupa
hibah/zakat/wakaf/bentuk lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dari masyarakat yang bersifat
tidak mengikat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 210
Cukup jelas.
Pasal 211
Cukup jelas.
Pasal 212
Angka 1
Pasal 19
Cukup jelas.
-46-

Angka 2
Pasal 20
Ayat (1)
Akademi menyelenggarakan pendidikan vokasi
dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu
pengetahuan, teknologi, dan/atau seni tertentu.
Politeknik menyelenggarakan pendidikan vokasi
dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus.
Sekolah tinggi menyelenggarakan pendidikan
akademik dan/atau vokasi dalam lingkup satu
disiplin ilmu tertentu dan jika memenuhi syarat
dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.
Institut menyelenggarakan pendidikan akademik
dan/atau pendidikan vokasi dalam sekelompok
disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni
dan jika memeuhi syarat dapat menyelenggarakan
pendidikan profesi.
Universitas menyelenggarakan pendidikan akademik
dan/atau pendidikan vokasi dalam sejumlah ilmu
pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan jika
memeuhi syarat dapat menyelenggarakan
pendidikan profesi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (3a)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “institusi penyelenggara
pendidikan profesi tertentu” adalah rumah sakit
-47-

pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan profesi


spesialis dan yang lebih tinggi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Cukup jelas
Angka 4
Pasal 25
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 50
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 213
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 7
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
-48-

Ayat (2)
Program profesi merupakan tanggung jawab dan
kewenangan Kementerian, Kementerian lain, LPNK,
dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab
atas mutu layanan profesi. Oleh karena itu, Perguruan
Tinggi hanya dapat menyelenggarakannya bekerja
sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK,
dan/atau organisasi profesi.
Program profesi dapat menggunakan nama lain yang
sederajat seperti program profesi dokter, insinyur,
apoteker, notaris, psikolog, guru/pendidik, wartawan
sesuai ketentuan Kementerian, Kementerian lain,
LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung
jawab atas mutu layanan profesi.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Program spesialis dapat menggunakan nama lain yang
sederajat dan memiliki tingkatan, antara lain program
dokter spesialis dan subspesialis, program insinyur
profesional pratama, madya, dan utama, sesuai
ketentuan Kementerian, Kementerian lain, LPNK,
dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab
atas mutu layanan profesi.
-49-

Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Gelar profesi antara lain digunakan oleh profesi dokter
yang disingkat dr., profesi apoteker disingkat apt., dan
profesi akuntan disingkat Akt.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 28
Cukup jelas
Angka 7
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
-50-

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Izin Program Studi yang berkaitan dengan ilmu agama
diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang agama.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Pencabutan izin Program Studi yang berkaitan dengan
ilmu agama dilakukan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
agama.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 34
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sertifikat profesi” antara lain
sertifikat pendidik yang diterbitkan oleh Perguruan
Tinggi yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk
meneyelenggarakan program pengadaan tenaga
pendidik sebagaimana diatur dalam undang-undang
yang mengatur mengenai guru dan dosen.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
-51-

Angka 10
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 214
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “aspek pemerataan” merupakan upaya
distribusi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sesuai dengan
kebutuhan melalui proses rekrutmen, seleksi, dan penempatan.
Yang dimaksud dengan “aspek pemanfaatan” merupakan proses
pemberdayaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sesuai
dengan kompetensi dan kewenangannya.
Yang dimaksud dengan “aspek pengembangan” merupakan
proses pengembangan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
yang bersifat multidisiplin dan lintas sektor serta lintas program
untuk meratakan dan meningkatkan kualitas Tenaga Medis dan
Tenaga Kesehatan.
Pasal 215
Cukup jelas.
Pasal 216
Cukup jelas.
Pasal 217
Ayat (1)
Penempatan Tenaga Kesehatan dimaksudkan untuk
mendayagunakan Tenaga Kesehatan pada daerah yang
dibutuhkan, terutama daerah terpencil, tertinggal, perbatasan
dan kepulauan, serta daerah bermasalah kesehatan.
Seleksi dilakukan dengan memperhatikan berbagai faktor
sehingga Tenaga Kesehatan tersebut dapat memberikan
manfaat kepada masyarakat dan dapat berkembang sesuai
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Faktor-
faktor tersebut antara lain:
-52-

a. kondisi geografis, meliputi daerah terpencil, sangat terpencil,


daerah tertinggal, tidak diminati, serta perbatasan dan
kepulauan;
b. masalah kesehatan/pola penyakit;
c. sarana, prasarana, dan infrastruktur yang tersedia;
d. rasio Tenaga Kesehatan dengan luas wilayah;
e. daerah rawan konflik atau bencana;
f. indeks pembangunan kesehatan masyarakat daerah;
g. kemampuan fiskal daerah; dan
h. lama pengabdian di daerah penempatan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penugasan khusus” adalah
pendayagunaan secara khusus Tenaga Kesehatan dalam
kurun waktu tertentu guna meningkatkan akses dan mutu
Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan
pada daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan, daerah
bermasalah kesehatan, serta Rumah Sakit kelas C atau
kelas D di kabupaten/kota yang memerlukan pelayanan
medik spesialis serta memenuhi kebutuhan Pelayanan
Kesehatan lain oleh Tenaga Kesehatan.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
-53-

Pasal 218
Yang dimaksud dengan “upaya retensi” yakni upaya
mempertahankan Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan di
suatu tempat untuk periode tertentu dalam rangka menjaga
kesinambungan Pelayanan Kesehatan. Bentuk retensi antara lain
dengan perpanjangan penugasan, insentif, jenjang karir, sistem
remunerasi.
Pasal 219
Cukup jelas.
Pasal 220
Cukup jelas.
Pasal 221
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pelindungan dalam pelaksanaan tugas"
adalah pelindungan terhadap Tenaga Kesehatan berupa
keamanan, keselamatan, dan kesehatan kerja dalam
menjalankan tugasnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 222
Cukup jelas.
Pasal 223
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “daerah terpencil” adalah daerah yang
sulit dijangkau karena berbagai sebab seperti keadaan geografi
(kepulauan, pegunungan, daratan, hutan dan rawa),
transportasi, sosial, dan ekonomi.
Yang dimaksud dengan “daerah tertinggal” adalah daerah
kabupaten yang relatif kurang berkembang dibandingkan
-54-

daerah lain dalam skala nasional dan berpenduduk relatif


tertinggal.
Yang dimaksud dengan “daerah perbatasan” adalah
kabupaten/wilayah geografis yang berhadapan dengan negara
tetangga, dengan penduduk yang bermukim di wilayah tersebut
disatukan melalui hubungan sosioekonomi, dan sosio budaya
dengan cakupan wilayah administratif tertentu setelah ada
kesepakatan antar negara yang berbatasan.
Yang dimaksud dengan “daerah kepulauan” adalah adalah
daerah pulau-pulau kecil berpenduduk termasuk pulau-pulau
kecil terluar.
Yang dimaksud dengan “daerah bermasalah kesehatan” adalah
kabupaten atau kota yang mempunyai nilai IPKM diantara
rerata sampai dengan – 1 (minus satu) simpang baku, tetapi
mempunyai nilai kemiskinan (Pendataan Status Ekonomi/PSE)
diatas rerata (masing-masing untuk kelompok kabupaten dan
kelompok kota).
Yang dimaksud dengan “daerah tidak diminati” adalah daerah
yang bukan merupakan daerah tertinggal, perbatasan dan
kepulauan dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang memiliki
kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan Tenaga Medis.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 224
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “sudah tidak aktif lagi” adalah Tenaga
Kesehatan yang sudah tidak melaksanakan tugas keprofesian
karena sudah memasuki masa pensiun, tidak menjalankan
profesi karena tidak memperpanjang izin praktik atau tidak
melaksanakan praktik karena untuk melaksanakan profesi lain.
Ayat (4)
Cukup jelas.
-55-

Pasal 225
Cukup jelas.
Pasal 226
Cukup jelas.
Pasal 227
Cukup jelas.
Pasal 228
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Yang dimaksud dengan “adaptasi” adalah serangkaian kegiatan
penyesuaian kompetensi dan kemampuan Tenaga Kesehatan
warga negara Indonesia lulusan luar negeri dan Tenaga
Kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang
dilaksanakan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 229
Cukup jelas.
Pasal 230
Cukup jelas.
Pasal 231
Cukup jelas.
Pasal 232
Cukup jelas.
-56-

Pasal 233
Cukup jelas.
Pasal 234
Cukup jelas.
Pasal 235
Cukup jelas.
Pasal 236
Cukup jelas.
Pasal 237
Cukup jelas.
Pasal 238
Cukup jelas.
Pasal 239
Cukup jelas.
Pasal 240
Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan"
antara lain berupa ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan dan keimigrasian.
Pasal 241
Cukup jelas.
Pasal 242
Cukup jelas.
Pasal 243
Cukup jelas.
Pasal 244
Cukup jelas.
Pasal 245
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “ijazah pendidikan di bidang
Kesehatan” antara lain: ijazah pendidikan kedokteran,
ijazah pendidikan kedokteran gigi, ijazah pendidikan
-57-

kebidanan, ijazah pendidikan keperawatan, ijazah


pendidikan kefarmasian, dan ijazah pendidikan akupuntur.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sertifikat kompetensi” adalah surat
tanda lulus Uji Kompetensi pada pendidikan vokasi.
Yang dimaksud dengan “sertifikat profesi” adalah surat
tanda lulus Uji Kompetensi pada pendidikan profesi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 246
Cukup jelas.
Pasal 247
Cukup jelas.
Pasal 248
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
tertentu” adalah Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang
memberikan Pelayanan Kesehatan secara langsung kepada
Pasien.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
-58-

Pasal 249
Cukup jelas.
Pasal 250
Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” antara lain:
a. melakukan bakti sosial/kemanusiaan.
b. tugas kenegaraan.
c. penanggulangan KLB, Wabah atau bencana lainnya.
d. pemberian pertolongan darurat lainnya.
e. pemberian Pelayanan Kesehatan lainnya yang bersifat insidentil
dan bersifat sementara.
Pasal 251
Cukup jelas.
Pasal 252
Cukup jelas.
Pasal 253
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “masyarakat” dalam ketentuan ini
merupakan penerima Pelayanan Kesehatan baik perseorangan
maupun masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 254
Cukup jelas.
Pasal 255
Cukup jelas.
Pasal 256
Cukup jelas.
Pasal 257
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
-59-

Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas,
Huruf g
Unsur dari asosiasi rumah sakit pendidikan, Departemen
Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional yang
masing-masing 2 (dua) orang terdiri atas 1 (satu) orang
berlatar belakang pendidikan profesi dokter dan 1 (satu)
orang dokter gigi.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “tokoh masyarakat” adalah orang
yang peduli dan mempunyai komitmen tinggi untuk
kepentingan pasien. Tokoh tersebut mempunyai wawasan
nasional dan memahami masalah kesehatan tetapi bukan
dokter atau dokter gigi.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 258
Cukup jelas.
Pasal 259
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
-60-

Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Tidak menutup kemungkinan bagi dokter dan dokter gigi
untuk tetap dapat menjalankan praktik kedokterannya. Hal
ini dimaksudkan agar tetap dapat meningkatkan
kemampuan profesinya.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 260
Cukup jelas.
Pasal 261
Cukup jelas.
Pasal 262
Cukup jelas.
Pasal 263
Cukup jelas.
Pasal 264
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukupe jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
-61-

Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “tidak cakap” adalah ketidakmampuan
seseorang dalam membuat keputusan yang penting secara
mandiri dengan menyadari segala risikonya.
Pasal 265
Cukup jelas.
Pasal 266
Cukup jelas.
Pasal 267
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sekretariat” adalah unit nonstruktural
yang berkedudukan di bawah pejabat pimpinan tinggi madya di
lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan yang memiliki tugas di
bidang Tenaga Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 268
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “perwakilan masyarakat” adalah
setiap orang yang mempunyai reputasi dan kepedulian
terhadap kesehatan.
-62-

Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 269
Cukup jelas.
Pasal 270
Cukup jelas.
Pasal 271
Cukup jelas.
Pasal 272
Cukup jelas.
Pasal 273
Cukup jelas.
Pasal 274
Cukup jelas.
Pasal 275
Cukup jelas.
Pasal 276
Cukup jelas.
Pasal 277
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukupe jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
-63-

Huruf h
Yang dimaksud dengan “tidak cakap” adalah ketidakmampuan
seseorang dalam membuat keputusan yang penting secara
mandiri dengan menyadari segala risikonya.
Pasal 278
Cukup jelas.
Pasal 279
Cukup jelas.
Pasal 280
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sekretariat” yaitu unit nonstruktural
yang berkedudukan di bawah pimpinan tinggi madya di
lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan yang memiliki tugas di
bidang Tenaga Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 281
Cukup jelas.
Pasal 282
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pelindungan hukum” adalah suatu
jaminan tidak dinyatakan bersalah apabila melaksanakan
profesinya sesuai dengan Standar Profesi, Standar
Pelayanan profesi, dan Standar Prosedur Operasional.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
-64-

Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 283
Cukup jelas.
Pasal 284
Cukup jelas.
Pasal 285
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kebutuhan medis” adalah kebutuhan
medis sesuai dengan Standar Pelayanan kedokteran atau
kedokteran gigi, Standar Profesi, dan Standar Prosedur
Operasional.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 286
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
-65-

Huruf d
Yang dimaksud dengan “imbalan jasa atas pelayanan yang
diterima” juga termasuk pembayaran iuran/premi asuransi
kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 287
Cukup jelas.
Pasal 288
Cukup jelas.
Pasal 289
Ayat (1)
Praktik Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dilaksanakan
dengan kesepakatan berdasarkan hubungan kepercayaan
antara Tenaga Kesehatan dan penerima Pelayanan Kesehatan
dalam bentuk upaya maksimal (inspanningsverbintenis)
pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan
sesuai dengan Standar Pelayanan profesi, Standar Profesi,
Standar Prosedur Operasional, dan kebutuhan kesehatan
penerima Pelayanan Kesehatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 290
Cukup jelas.
Pasal 291
Cukup jelas.
Pasal 292
Cukup jelas.
Pasal 293
Cukup jelas.
Pasal 294
Cukup jelas.
-66-

Pasal 295
Cukup jelas.
Pasal 296
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah suatu kondisi
tidak adanya Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang
memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan Pelayanan
Kesehatan yang dibutuhkan serta tidak dimungkinkan untuk
dirujuk. Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang dapat
memberikan pelayanan di luar kewenangannya, antara lain:
a. dokter/dokter gigi yang memberikan pelayanan kedokteran
dan/atau kefarmasian dalam batas tertentu;
b. perawat atau bidan yang memberikan pelayanan kedokteran
dan/atau kefarmasian dalam batas tertentu; atau
c. tenaga teknis kefarmasian yang memberikan pelayanan
kefarmasian yang menjadi kewenangan apoteker dalam
batas tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 297
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Tenaga Kesehatan” dalam ketentuan ini
antara lain perawat, bidan, penata anestesi, tenaga keterapian
fisik, dan keteknisian medis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 298
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
-67-

Huruf b
Yang dimaksud dengan "program pemerintah" adalah
program yang merupakan keharusan untuk dilaksanakan,
antara lain imunisasi dan pemantauan tumbuh kembang,
surveilans, dan Upaya Kesehatan lain dalam rangka
penanggulangan penyakit menular dan penyakit tidak
menular.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 299
Cukup jelas.
Pasal 300
Cukup jelas.
Pasal 301
Cukup jelas.
Pasal 302
Cukup jelas.
Pasal 303
Ayat (1)
Pada prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan adalah
Pasien yang bersangkutan. Apabila Pasien tidak kompeten atau
berada di bawah pengampuan (under curatele), persetujuan atau
penolakan tindakan Pelayanan Kesehatan dapat diberikan oleh
keluarga terdekat, antara lain suami/istri, ayah/ibu kandung,
anak kandung, atau saudara kandung yang telah dewasa.
Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan nyawa
Pasien, tidak diperlukan persetujuan.
-68-

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “yang mewakili” antara lain suami/istri,
anak-anak kandung yang cakap, ayah/ibu kandung, atau
saudara-saudara kandung.
Pada prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan adalah
Pasien yang bersangkutan. Apabila Pasien tidak kompeten atau
berada di bawah pengampuan (under curatele), persetujuan atau
penolakan tindakan Pelayanan Kesehatan dapat diberikan oleh
keluarga terdekat, antara lain suami/istri, ayah/ ibu kandung,
anak kandung, atau saudara kandung yang telah dewasa.
Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan nyawa
Pasien, tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah Pasien
sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan segera
diberi penjelasan.
Dalam hal Pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak
sadar, penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang
mengantar. Apabila tidak ada yang mengantar dan tidak ada
keluarganya, sedangkan tindakan Pelayanan Kesehatan harus
diberikan, penjelasan diberikan kepada anak yang
bersangkutan atau pada kesempatan pertama saat Pasien telah
sadar.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
-69-

Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Pasal 304
Cukup jelas.
Pasal 305
Cukup jelas.
Pasal 306
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “tanda tangan” antara lain tanda tangan
manual, tanda tangan elektronik atau bentuk lain yang sejenis
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 307
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Fasilitas Pelayanan Kesehatan”
merupakan fasilitas pelayanan Kesehatan yang dimiliki oleh
perseorangan (praktik perseorangan).
Ayat (2)
Akses informasi terhadap dokumen rekam medis antara lain
berupa rekam medis atau penjelasan lisan Tenaga Medis
dan/atau Tenaga Kesehatan atau Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 308
Cukup jelas.
-70-

Pasal 309
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “rahasia kesehatan” adalah riwayat,
kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis
seseorang juga termasuk data pribadi Pasien.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 310
Cukup jelas.
Pasal 311
Cukup jelas.
Pasal 312
Cukup jelas.
Pasal 313
Cukup jelas.
Pasal 314
Cukup jelas.
Pasal 315
Cukup jelas.
Pasal 316
Cukup jelas.
Pasal 317
Cukup jelas.
Pasal 318
Cukup jelas.
Pasal 319
Cukup jelas.
Pasal 320
Cukup jelas.
Pasal 321
Cukup jelas.
Pasal 322
Cukup jelas.
Pasal 323
Cukup jelas.
-71-

Pasal 324
Cukup jelas.
Pasal 325
Cukup jelas.
Pasal 326
Cukup jelas.
Pasal 327
Cukup jelas.
Pasal 328
Cukup jelas.
Pasal 329
Cukup jelas.
Pasal 330
Ayat (1)
Perbekalan Kesehatan termasuk di dalamnya Obat, vaksin, dan
Alat Kesehatan, serta Perbekalan Kesehatan untuk imunisasi.
Yang dimaksud dengan ”Obat esensial” adalah Obat yang paling
dibutuhkan untuk Pelayanan Kesehatan bagi masyarakat
terbanyak.
Yang dimaksud dengan ”Obat program nasional” adalah Obat
yang digunakan dalam rangka penyelenggaraan program
kesehatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”kebijakan khusus” antara lain melalui
pemberlakuan Spesial Access Scheme dan pengecualian
terhadap ketentuan paten sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang mengatur paten.
Pasal 331
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
-72-

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan penggunaan teknologi informasi dalam
rangka integrasi sistem Kesehatan terkait dengan perencanaan
untuk memperoleh data perencanaan secara nasional.
Pasal 332
Cukup jelas.
Pasal 333
Cukup jelas.
Pasal 334
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan Obat generik adalah Obat yang
kandungan zat aktif atau zat berkhasiatnya telah habis masa
paten, baik menggunakan nama International Nonpropertery
Name (INN) maupun menggunakan nama/merek dagang.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 335
Cukup jelas.
Pasal 336
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”laporan kegiatan pendistribusian”
antara lain laporan mengenai ketersediaan, harga, jumlah
Perbekalan Kesehatan yang didistribusikan. Pelaporan dapat
-73-

dilakukan menggunakan sistem teknologi informasi yang


ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 337
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Obat dengan resep dokter” adalah
Narkotika, psikotropika, dan Obat keras yang penyerahannya
harus berdasarkan resep dokter.
Yang dimaksud dengan “Obat tanpa resep dokter” adalah Obat
bebas terbatas dan Obat bebas yang penyerahannya tanpa
berdasarkan resep dokter.
Yang dimaksud dengan “resep dokter” adalah permintaan
dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis
kepada apoteker baik dalam bentuk tertulis maupun elektronik
untuk menyediakan dan menyerahkan Obat bagi Pasien.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 338
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “jamu” adalah Obat tradisonal yang
pemanfaatannya didasarkan oleh pengetahuan turun-
temurun bangsa Indonesia dan dapat dikembangkan lebih
lanjut dengan pembuktian secara ilmiah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”Obat herbal” adalah Obat
Tradisional bukan termasuk kategori jamu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 339
Cukup jelas.
Pasal 340
Cukup jelas.
Pasal 341
-74-

Cukup jelas.
Pasal 342
Cukup jelas.
Pasal 343
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud industri farmasi dalam negeri termasuk
industri farmasi dengan penanaman modal dalam negeri
dan industri farmasi dengan penanaman modal asing.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 344
Cukup jelas.
Pasal 345
Cukup jelas.
Pasal 346
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
-75-

Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan ”dukungan” antara lain dukungan
kebijakan untuk mempermudah riset kefarmasian dan Alat
Kesehatan dan dukungan finansial yang diperlukan.
Pasal 347
Cukup jelas.
Pasal 348
Cukup jelas.
Pasal 349
Cukup jelas.
Pasal 350
Cukup jelas.
Pasal 351
Cukup jelas.
Pasal 352
Ayat (1)
Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi antara lain
melalui penyelenggaraan satu data Kesehatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 353
Cukup jelas.
Pasal 354
Cukup jelas.
Pasal 355
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
-76-

Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud pengecualian terhadap data dan informasi
Kesehatan untuk kepentingan umum antara lain
pengelolaan data dan informasi oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah untuk kepentingan pembangunan
Kesehatan, penanggulangan KLB/Wabah, dan penelitian
dan pengembangan yang memiliki dampak besar terhadap
Kesehatan masyarakat.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 356
Ayat (1)
Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan Teknologi
Kesehatan ditujukan untuk menghasilkan informasi Kesehatan,
teknologi, produk teknologi, dan teknologi informasi (TI)
Kesehatan untuk mendukung pembangunan Kesehatan.
Pengembangan teknologi, produk teknologi, teknologi informasi
(TI) dan informasi Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan hak kekayaan intelektual (HKI). Untuk penelitian
penyakit infeksi yang muncul baru atau berulang (new emerging
atau re emerging diseases) yang dapat menyebabkan kepedulian
Kesehatan dan kedaruratan kesehatan masyarakat (public
health emergency of international concern/PHEIC) harus
dipertimbangkan kemanfaatan (benefit sharing) dan
penelusuran ulang asal muasalnya (tracking system) demi untuk
kepentingan nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
-77-

Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 357
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”penelitian” adalah kegiatan yang
dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis
untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang
berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau
ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi serta menarik simpulan ilmiah bagi
keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ilmu pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali,
disusun, dan dikembangkan secara sistematis dengan
menggunakan pendekatan tertentu yang dilandasi oleh
metodologi ilmiah, baik yang bersifat kuantitatif, kualitatif,
maupun eksploratif untuk menerangkan pembuktian gejala
alam dan/atau gejala kemasyarakatan tertentu.
Ayat (2)
Izin dari pihak yang berwenang merupakan izin yang didapat di
setiap penelitian.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penelitian terhadap manusia harus dilakukan dengan
memperhatikan Kesehatan dan keselamatan yang
bersangkutan. Penelitian dan pengembangan yang
menggunakan manusia sebagai subjek harus mendapat
informed consent. Sebelum meminta persetujuan subyek
penelitian, peneliti harus memberikan informasi mengenai
tujuan penelitian dan pengembangan Kesehatan serta
penggunaan hasilnya, jaminan kerahasiaan tentang identitas
dan data pribadi, metode yang digunakan, risiko yang mungkin
timbul dan hal lain yang perlu diketahui oleh yang
bersangkutan dalam rangka penelitian dan pengembangan
Kesehatan.
-78-

Ayat (5)
Semua penelitian yang menggunakan manusia sebagai subjek
penelitian wajib didasarkan pada tiga prinsip etik umum, yaitu
menghormati harkat martabat manusia (respect for persons)
yang bertujuan menghormati otonomi dan melindungi manusia
yang otonominya terganggu/kurang, berbuat baik (beneficence)
dan tidak merugikan (nonmaleficence) dan keadilan (justice).
Ayat (6)
Hewan percobaan harus dipilih dengan mengutamakan
hewan dengan sensitivitas neurofisiologik yang paling
rendah (nonsentient organism) dan hewan yang paling rendah
pada skala evolusi. Keberhati-hatian (caution) yang wajar harus
diterapkan pada penelitian yang dapat mempengaruhi
lingkungan dan kesehatan hewan yang digunakan dalam
penelitian harus dihormati.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 358
Ayat (1)
Dalam rangka melakukan penilaian potensi risiko dan potensi
manfaat suatu penelitian dan pengembangan Teknologi
Kesehatan, dapat dibentuk tim/komite penilaian Teknologi
Kesehatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 359
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”teknologi biomedis” adalah penerapan
sains dan rekayasa sistem biologis dalam rangka peningkatan
Pelayanan Kesehatan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”genomik” adalah analisis terkait DNA
(asam deoksiribonukleat).
Yang dimaksud dengan ”transkriptomik adalah analisis terkait
RNA (asam ribonukleat).
Yang dimaksud dengan ”proteomik” adalah analisis terkait
protein.
-79-

Yang dimaksud dengan ”metabolik” adalah analisis terkait


metabolit.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”spesimen” adalah spesimen yang
berasal dari makhluk hidup atau bukan makhluk hidup yang
mempengaruhi kesehatan manusia.
Yang dimaksud ”data terkait” meliputi data analisis primer,
sekunder, dan tersier sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penelitian dan pengembangan.
Yang dimaksud dengan ”pelayanan kedokteran presisi (precision
medicine)” adalah pendekatan baru untuk pencegahan dan
pengobatan penyakit dengan mempertimbangkan gen,
lingkungan, dan pola hidup seorang Pasien.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 360
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “biobank atau biorepositori” adalah
fasilitas untuk kegiatan pengumpulan, penyimpanan jangka
panjang, dan pengelolaan spesimen yang berasal dari manusia
atau spesimen yang terkait dengan Kesehatan beserta data
terkait secara sistematik, yang ditujukan untuk penelitian,
pengembangan, dan Pelayanan Kesehatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan prinsip ”keamanan” adalah bahwa
dalam penyelenggaraan biobank atau biorepositori
mencakup keamanan fasilitas pengumpulan, penyimpanan,
dan pengelolaan spesimen dan data.
-80-

Huruf b
Yang dimaksud dengan ”kerahasiaan atau privasi” adalah
bahwa penyelenggara biobank atau biorepositori menjamin
kerahasiaan terhadap identitas individu asal dari spesimen.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”akuntabilitas” adalah
penyelenggara biobank bertanggung jawab atas proses
pengumpulan, penyimpanan jangka panjang, dan
pengelolaan spesimen dan data.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ”kemanfaatan” adalah spesimen
yang dikumpulkan, disimpan, dan dikelola dapat
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk meningkatkan
kualitas Kesehatan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan ”kepentingan umum” adalah
penyelenggaraan biobank dilaksanakan untuk kepentingan
umum.
Huruf f
Yang dimaksud dengan ”penghormatan terhadap hak asasi
manusia” adalah proses pengumpulan, penyimpanan
jangka panjang, dan pengelolaan spesimen dan data tidak
bertentangan dengan penyelenggaraan hak asasi manusia.
Huruf g
Yang dimaksud dengan ”etika, hukum, dan medikolegal”
adalah penyelenggaraan biobank dilaksanakan dengan
memperhatikan etika, hukum, dan medikolegal yang
berlaku.
Huruf h
Yang dimaksud dengan ”sosial budaya” adalah
penyelenggaraan biobank dilaksanakan dengan
memperhatikan praktik empiris di negara lain dengan
memperhatikan sosial budaya di Indonesia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
-81-

Pasal 355
Cukup jelas.
Pasal 356
Cukup jelas.
Pasal 357
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “setiap orang” antara lain perseorangan,
kelompok orang, dan badan usaha.
Yang dimaksud dengan “melakukan diskriminasi” antara lain
memberikan manfaat yang berbeda dalam jaminan asuransi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 361
Cukup jelas.
Pasal 362
Cukup jelas.
Pasal 363
Cukup jelas.
Pasal 364
Cukup jelas.
Pasal 365
Cukup jelas.
Pasal 366
Cukup jelas.
Pasal 367
Cukup jelas.
Pasal 368
Cukup jelas.
Pasal 369
Cukup jelas.
Pasal 370
Cukup jelas.
Pasal 371
Cukup jelas.
-82-

Pasal 372
Cukup jelas.
Pasal 373
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “faktor risiko penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah” adalah hal, keadaan, dan/atau
peristiwa yang dapat mempengaruhi kemungkinan timbulnya
penyakit potensial Wabah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 374
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “alat angkut” adalah kapal, pesawat
udara, dan kendaraan darat yang digunakan dalam melakukan
perjalanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Yang dimaksud dengan “barang” adalah produk nyata, hewan,
tumbuhan, dan jenazah atau abu jenazah yang dibawa
dan/atau dikirim melalui perjalanan, termasuk benda/alat yang
digunakan dalam Alat Angkut.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kapal” adalah kendaraan air dengan
bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga
angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda
termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan
di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan
terapung yang tidak berpindah-pindah
Yang dimaksud dengan “Pesawat Udara” adalah setiap mesin
atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat
-83-

dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap


permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan.
Yang dimaksud dengan “kendaraan Darat” adalah suatu sarana
angkut di darat yang terdiri atas kendaraan bermotor termasuk
kendaraan yang berjalan di atas rel dan kendaraan tidak
bermotor.
Yang dimaksud dengan “angkutan sipil” adalah alat angkut
yang membawa orang dan barang termasuk kargo.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”menteri atau lembaga terkait” adalah
menteri atau lembaga yang tugas fungsinya terkait urusan luar
negeri, pertahanan dan keamanan, serta intelijen.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “isolasi” adalah pemisahan orang
sakit dari orang sehat untuk mendapatkan pengobatan dan
perawatan.
Yang dimaksud dengan “karantina” adalah pembatasan
kegiatan dan/atau pemisahan Orang Terjangkit meskipun
belum menunjukkan gejala apapun atau sedang berada
dalam masa inkubasi dan pemisahan peti kemas, alat
angkut, atau barang apapun yang diduga terkontaminasi
dari orang dan/atau barang yang mengandung penyebab
penyakit atau kontaminan lain untuk mencegah
kemungkinan penyebaran ke orang dan/atau barang di
sekitarnya.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan penolakan adalah tidak
diikusertakannya orang tersebut sebagai penumpang dalam alat
-84-

angkut yang akan diberangkatkan.


Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 375
Cukup jelas.
Pasal 376
Cukup jelas
Pasal 377
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “nakhoda” adalah salah seorang dari
Awak Kapal yang menjadi pemimpin tertinggi di Kapal dan
mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “kapten penerbang” adalah penerbang
yang ditugaskan oleh perusahaan atau pemilik Pesawat Udara
untuk memimpin penerbangan dan bertanggung jawab penuh
terhadap keselamatan penerbangan selama pengoperasian
Pesawat Udara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Yang dimaksud dengan “pos lintas batas negara” adalah Pintu
Masuk orang, barang, dan alat angkut melalui darat lintas
negara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 378
Cukup jelas.
Pasal 379
Cukup jelas.
Pasal 380
Cukup jelas.
Pasal 381
Cukup jelas.
Pasal 382
Ayat (1)
Cukup jelas.
-85-

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kapasitas Pelayanan Kesehatan”
adalah tingkat kemampuan Sumber Daya Kesehatan yang
dimiliki oleh setiap daerah dalam menyelenggarakan
kegiatan penanggulangan Wabah.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 383
Cukup jelas.
Pasal 384
Cukup jelas.
Pasal 385
Cukup jelas.
Pasal 386
Cukup jelas.
Pasal 387
Cukup jelas.
Pasal 388
Cukup jelas.
Pasal 389
Cukup jelas.
Pasal 390
Cukup jelas.
Pasal 391
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
-86-

Huruf b
Yang dimaksud dengan "profilaksis" adalah suatu tindakan
medis pemberian Obat tertentu untuk memberikan
pelindungan terhadap penyakit menular tertentu dalam
jangka waktu tertentu.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "pembatasan kegiatan sosial
kemasyarakatan" adalah membatasi atau mengawasi
secara ketat setiap ada kegiatan berkumpulnya manusia
yang diduga dapat menjadi sumber penyebaran penyakit
seperti kegiatan keagamaan, pesta rakyat, upacara adat,
dan hajatan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 392
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pemberian informasi dapat dilakukan dengan mengerahkan
berbagai media seperti media massa, media sosial, dan
media informasi lainnya untuk memberikan pemahaman
yang sama kepada masyarakat.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 393
Cukup jelas.
Pasal 394
Cukup jelas.
Pasal 395
Cukup jelas.
Pasal 396
Cukup jelas.
Pasal 397
Cukup jelas.
Pasal 398
Cukup jelas.
-87-

Pasal 399
Cukup jelas.
Pasal 400
Cukup jelas.
Pasal 401
Cukup jelas.
Pasal 402
Cukup jelas.
Pasal 403
Cukup jelas.
Pasal 404
Cukup jelas.
Pasal 405
Cukup jelas.
Pasal 406
Cukup jelas.
Pasal 407
Cukup jelas.
Pasal 408
Cukup jelas.
Pasal 409
Cukup jelas.
Pasal 410
Cukup jelas.
Pasal 411
Cukup jelas.
Pasal 412
Cukup jelas.
Pasal 413
Cukup jelas.
Pasal 414
Cukup jelas.
Pasal 415
Cukup jelas.
-88-

Pasal 416
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “berkesinambungan” adalah suatu
keadaan dimana sistem pendanaan Kesehatan secara otomatis
menghasilkan penambahan sumber dana dari waktu ke waktu
untuk mencukupi pendanaan Upaya Kesehatan masyarakat dan
Upaya Kesehatan perseorangan secara terus-menerus.
Yang dimaksud dengan “mencukupi” adalah jumlah dana yang
disediakan mencukupi belanja barang modal, operasional dan
pemeliharaan, dan belanja kegiatan langsung tidak langsung
dalam memenuhi kebutuhan Upaya Kesehatan masyarakat dan
Upaya Kesehatan perseorangan secara optimal.
Yang dimaksud dengan “teralokasi secara adil” adalah akses
setiap penduduk terhadap pelayanan Upaya Kesehatan
masyarakat dan Upaya Kesehatan perseorangan yang bermutu,
merata, dan terjangkau.
Yang dimaksud dengan “termanfaatkan secara berhasil guna”
adalah pendanaan Kesehatan ditujukan bagi pemanfaatan
pelayanan Kesehatan untuk memperbaiki derajat Kesehatan
perseorangan atau masyarakat.
Yang dimaksud dengan “termanfaatkan secara berdaya guna”
adalah pendanaan yang efektif dan efisien dilihat dari segi
ekonomi, teknis, skala, dan alokasi peruntukannya bagi
pemenuhan pelayanan Kesehatan, antara lain pendanaan
Kesehatan diprioritaskan untuk jenis layanan yang mempunyai
nilai terkecil namun menghasilkan perbaikan status Kesehatan
terbesar.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 417
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
-89-

Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyampaian laporan dapat dilakukan dengan cara
interoperabilitas sistem informasi sesuai dengan prinsip satu
data Indonesia.
Laporan BPJS Ketenagakerjaan terbatas hanya berkaitan
dengan pelayanan Kesehatan dalam program jaminan
kecelakaan kerja.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 418
Ayat (1)
Huruf a
Upaya Kesehatan masyarakat dengan prioritas pendekatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk
skrining dan program imunisasi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pendanaan penguatan Sumber Daya Kesehatan termasuk
untuk penyediaan sarana prasarana Fasilitas Pelayanan
Kesehatan dan institusi Kesehatan, investasi Rumah Sakit,
penyediaan tenaga cadangan, dan penemuan Obat dan Alat
Kesehatan baru.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 419
Cukup jelas.
Pasal 420
Ayat (1)
Cukup jelas.
-90-

Ayat (2)
Bagi daerah yang telah menetapkan lebih dari 10% (sepuluh
persen) agar tidak menurunkan jumlah alokasinya dan bagi
daerah yang belum mempunyai kemampuan agar dilaksanakan
secara bertahap.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 421
Cukup jelas.
Pasal 422
Cukup jelas.
Pasal 423
Cukup jelas.
Pasal 424
Angka 1
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan program jaminan sosial yang
diikuti yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari
tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan jaminan
kehilangan pekerjaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”prinsip ekuitas” adalah
seseorang mendanai layanan kesehatan yang
dikonsumsinya sesuai dengan kemampuan
keuangannya, dan menerima layanan kesehatan
sesuai dengan kebutuhan medisnya.
Yang dimaksud dengan ”mekanisme asuransi sosial”
adalah suatu keharusan bagi setiap orang untuk
berkontribusi sebesar persentase tertentu dari
pendapatannya untuk mendanai layanan kesehatan
yang dibutuhkannya di masa depan.
Ayat (2)
-91-

Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 19A
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 22
Ayat (1)
Penyalahgunaan pelayanan yang membuka peluang
moral hazard (sangat dipengaruhi selera dan perilaku
peserta), misalnya pemakaian obat-obat suplemen,
pemeriksaan diagnostik, dan tindakan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan medik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 23
Ayat (1)
Fasilitas kesehatan meliputi rumah sakit, dokter
praktek, klinik, laboratorium, apotek dan fasilitas
kesehatan lainnya. Fasilitas kesehatan memenuhi
syarat tertentu apabila fasilitas kesehatan tersebut
diakui dan memiliki izin dari instansi Pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang kesehatan
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
-92-

Angka 6
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Ketentuan ini menghendaki agar Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial membayar fasilitas kesehatan secara
efektif dan efisien. Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial dapat memberikan anggaran tertentu kepada
suatu rumah sakit di suatu daerah untuk melayani
sejumlah peserta atau membayar sejumlah tertentu
per kapita per bulan (kapitasi). Anggaran tersebut
sudah mencakup jasa medis, biaya perawatan, biaya
penunjang, dan biaya obat-obatan yang penggunaan
rincinya diatur sendiri oleh pimpinan rumah sakit.
Dengan demikian, sebuah rumah sakit akan lebih
leluasa menggunakan dana seefektif dan seefisien
mungkin.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.

Ayat (9)
Cukup jelas.
-93-

Angka 7
Pasal 27
Ayat (1)
Mekanisme asuransi sosial pada hakikatnya
merupakan suatu cara mengumpulkan dana untuk
memenuhi kebutuhan Kesehatan seluruh Peserta yang
didanai secara wajib oleh seluruh Peserta. Untuk
menghindari beban iuran yang membuat kesulitan
ekonomi rumah tangga, maka besaran iuran
ditetapkan sebesar persentase upah bagi seluruh
pekerja penerima upah tanpa memandang hubungan
status pekerja dengan pemberi kerja. Dalam hal
seseorang kepala rumah tangga bukan pekerja
penerima upah yang mendapatkan pendapatan dari
keuntungan usahanya, maka iuran untuk keluarga
tersebut dipungut dari persentase yang sama dengan
persentase upah, yang dihitung dari persentase
pendapatan dari keuntungan tersebut. Dengan
demikian, beban iuran relatif setara (sama persentase)
antara yang miskin dengan yang kaya.
Ayat (2)
Sesuai dengan mekanisme asuransi sosial dan prinsip
ekuitas, iuran ditetapkan berdasarkan persentase
pendapatan atau upah bagi penduduk mampu. Bagi
penduduk tidak mampu yang iurannya dibayar oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, besaran
iuran yang berkeadilan adalah setara atau sama
dengan rata-rata nilai nominal besaran iuran penerima
upah pada tahun sebelumnya ditambah penyesuaian
inflasi. Hal ini, untuk menggambarkan bahwa masing-
masing Peserta baik yang miskin maupun kaya relatif
sama. Sebagai contoh, jika pada tahun 2021 rata-rata
besaran iuran pekerja penerima upah, baik yang
bergaji upah minimum provinsi maupun yang bergaji
tinggi adalah Rp100.000,00 per orang per bulan, maka
pemerintah membayar iuran bagi penduduk yang
-94-

tidak mampu juga sebesar Rp100.000,00 per orang


per bulan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 425
Angka 1
Pasal 7
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 11
Huruf a
Yang dimaksud dengan “menagih” adalah meminta
pembayaran dalam hal terjadi penunggakan,
kemacetan, atau kekurangan pembayaran Iuran.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pemerintah menetapkan standar tarif setelah
mendapatkan masukan dari BPJS bersama dengan
asosiasi fasilitas kesehatan, baik tingkat nasional
maupun tingkat daerah. Besaran tarif di suatu wilayah
(regional) tertentu dapat berbeda dengan tarif di
wilayah (regional) lainnya sesuai dengan tingkat
kemahalan harga setempat, sehingga diperoleh
pembayaran fasilitas kesehatan yang efektif dan
efisien.
Huruf e
Cukup jelas.
-95-

Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Kerja sama dengan pihak lain terkait pemungutan dan
pengumpulan Iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja
serta penerimaan Bantuan Iuran dilakukan dengan
instansi Pemerintah dan pemerintah daerah, badan
usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.
Angka 3
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Bagi Peserta yang belum memiliki Nomor Induk
Kependudukan, BPJS tetap memberikan
Pelayanan Kesehatan dengan memberikan
nomor sementara sampai Peserta memperoleh
Nomor Induk Kependudukan.
Bagi orang asing yang telah menetap selama 6
bulan, BPJS dapat menggunakan Kartu Izin
Tinggal Terbatas (KITAS)/ Kartu Izin Tinggal
Tetap (KITAP) sebagai pengganti NIK.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
-96-

Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Penugasan dari kementerian antara lain dalam
rangka kewajiban pelayanan publik (public
service obligation) pada saat terjadi pandemi atau
bencana nasional.3
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 13A
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “program jaminan sosial yang
diikuti” yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari
tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan jaminan
kehilangan pekerjaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “data” adalah data diri
Pemberi Kerja dan Pekerja beserta anggota
keluarganya termasuk perubahannya.
Angka 6
Pasal 15A
Cukup jelas.
-97-

Angka 7
Pasal 22
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perencanaan” adalah
termasuk penyusunan Rencana Kerja Anggaran
Tahunan BPJS.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penghasilan” adalah gaji
atau upah dan manfaat tambahan lainnya.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
-98-

Angka 9
Pasal 28
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 34
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam melakukan kajian, Menteri dapat membentuk
tim yang terdiri dari pakar/ahli terkait.
Hasil kajian menjadi pertimbangan bagi Presiden
untuk menerima atau menolak laporan pengelolaan
program dan laporan keuangan tahunan yang
disampaikan oleh BPJS.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 426
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
-99-

Yang dimaksud dengan ”permasalahan kebijakan di bidang


Kesehatan” termasuk penerbitan beberapa regulasi di bidang
Kesehatan yang tidak sesuai dengan kewenangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 427
Cukup jelas.
Pasal 428
Cukup jelas.
Pasal 429
Cukup jelas.
Pasal 430
Cukup jelas.
Pasal 431
Cukup jelas.
Pasal 432
Cukup jelas.
Pasal 433
Cukup jelas.
Pasal 434
Cukup jelas.
Pasal 435
Cukup jelas.
Pasal 436
Cukup jelas.
Pasal 437
Cukup jelas.
Pasal 438
Cukup jelas.
Pasal 439
Cukup jelas.
-100-

Pasal 440
Cukup jelas.
Pasal 441
Cukup jelas.
Pasal 442
Cukup jelas.
Pasal 443
Cukup jelas.
Pasal 444
Cukup jelas.
Pasal 445
Cukup jelas.
Pasal 446
Cukup jelas.
Pasal 447
Cukup jelas.
Pasal 448
Cukup jelas.
Pasal 449
Cukup jelas.
Pasal 450
Cukup jelas.
Pasal 451
Cukup jelas.
Pasal 452
Cukup jelas.
Pasal 453
Cukup jelas.
Pasal 454
Cukup jelas.
Pasal 455
Cukup jelas.
Pasal 456
Cukup jelas.
Pasal 457
Cukup jelas.
-101-

Pasal 458
Cukup jelas.
Pasal 459
Cukup jelas.
Pasal 460
Cukup jelas.
Pasal 461
Cukup jelas.
Pasal 462
Cukup jelas.
Pasal 463
Cukup jelas.
Pasal 464
Cukup jelas.
Pasal 465
Cukup jelas.
Pasal 466
Cukup jelas.
Pasal 467
Cukup jelas.
Pasal 468
Cukup jelas.
Pasal 469
Cukup jelas.
Pasal 470
Cukup jelas.
Pasal 471
Cukup jelas.
Pasal 472
Cukup jelas.
Pasal 473
Cukup jelas.
Pasal 474
Cukup jelas.
Pasal 475
Yang dimaksud dengan Organisasi Profesi antara lain Ikatan Dokter
Indonesia untuk dokter, Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk
-102-

dokter gigi, Ikatan Bidan Indonesia untuk bidan, Persatuan Perawat


Nasional Indonesia untuk perawat, Ikatan Apoteker Indonesia untuk
apoteker.
Pasal 476
Cukup jelas.
Pasal 477
Cukup jelas.
Pasal 478
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR…

Anda mungkin juga menyukai