Anda di halaman 1dari 167

Nama : Resy Rahmalaita

Nim : 211015201134
Mata Kuliah : Askeb Remaja
Dosen : Gusmadewi, Amd.Keb, SKM, M.Keb

1. Rentang usia produktif dan non produktif

a. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS)

 0-14 tahun (belum produktif)

 15-64 tahun (usia produktif diukur dari rentang usia ini)

 Lebih dari 64 tahun (tidak produktif)

b. Sumber daya manusia yang produktif di Indonesia adalah penduduk yang telah memasuki usia

kerja atau usia produktif, yaitu 15-64 tahun (Kemenkes RI, 2011).

2. UU 36 tahun 2009 dan PP 61 tahun 2014

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 36 TAHUN 2009
TENTANG
KESEHATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah


satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan
cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif,
partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan
sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan
dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional;
c. bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan
kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan
kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya
peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti
investasi bagi pembangunan negara;
d. bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan
wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus
memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan
tanggung jawab semua pihak baik Pemerintah maupun
masyarakat;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan,
tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga
perlu dicabut dan diganti dengan Undang- Undang tentang
Kesehatan yang baru;

f. bahwa . . .
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu
membentuk Undang-Undang tentang Kesehatan;

Mengingat : Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG

KESEHATAN.

BAB I
KETENTUAN
UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental,
spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk
hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
2. Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana,
tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat
kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi
yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat.
3. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang
diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.

4. Sediaan . . .
4. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan
kosmetika.
5. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau
implan yang tidak mengandung obat yang digunakan
untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan
dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan
kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan
memperbaiki fungsi tubuh.
6. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.
7. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat
yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun
rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, dan/atau masyarakat.
8. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk
biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki
sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.
9. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa
bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian
(galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara
turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
10. Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau
metode yang ditujukan untuk membantu menegakkan
diagnosa, pencegahan, dan penanganan permasalahan
kesehatan manusia.

11. Upaya . . .
11. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan
berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan
pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat.
12. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan
dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih
mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.
13. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan
pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit.
14. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk
penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat
penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan
agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.
15. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita
ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai
anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan
masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuannya.
16. Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau
perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada
pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris
yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat.
17. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
Pemerintah Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

18. Pemerintah . . .
18. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah.
19. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang kesehatan.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2
Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan
perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan,
penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan
nondiskriminatif dan norma-norma agama.

Pasal 3
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya,
sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang
produktif secara sosial dan ekonomis.

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Kesatu
Hak

Pasal 4
Setiap orang berhak atas kesehatan.

Pasal 5
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh
akses atas sumber daya di bidang kesehatan.

(2) Setiap . . .
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab
menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan
bagi dirinya.

Pasal 6
Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi
pencapaian derajat kesehatan.

Pasal 7
Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi
tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.

Pasal 8
Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data
kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah
maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.

Bagian Kedua
Kewajiban

Pasal 9
(1) Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan,
mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan,
upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan
kesehatan.

Pasal 10 . . .
Pasal 10
Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam
upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi,
maupun sosial.

Pasal 11
Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk
mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang
setinggi-tingginya.

Pasal 12
Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat
kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya.

Pasal 13
(1) Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program jaminan
kesehatan sosial.
(2) Program jaminan kesehatan sosial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB IV
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH

Pasal 14
(1) Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur,
menyelenggarakan, membina, dan mengawasi
penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan
terjangkau oleh masyarakat.
(2) Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikhususkan pada pelayanan publik.

Pasal 15 . . .
Pasal 15
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan,
tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi
masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya.

Pasal 16
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di
bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat
untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pasal 17
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap
informasi, edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk
meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya.

Pasal 18
Pemerintah bertanggung jawab memberdayakan dan mendorong
peran aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan.

Pasal 19
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk
upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.

Pasal 20
(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan
kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan sosial
nasional bagi upaya kesehatan perorangan.
(2) Pelaksanaan sistem jaminan sosial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB V . . .
BAB V
SUMBER DAYA DI BIDANG KESEHATAN

Bagian Kesatu
Tenaga Kesehatan

Pasal 21
(1) Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan,
pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga
kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan
kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai perencanaan, pengadaan,
pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
(3) Ketentuan mengenai tenaga kesehatan diatur dengan
Undang-Undang.

Pasal 22
(1) Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum.
(2) Ketentuan mengenai kualifikasi minimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 23
(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan.
(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan bidang keahlian yang dimiliki.
(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga
kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah.
(4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang mengutamakan kepentingan
yang bernilai materi.

(5) Ketentuan . . .
- 10 -
(5) Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 24
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak
pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional.
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi
profesi.
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan,
standar pelayanan, dan standar prosedur operasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.

Pasal 25
(1) Pengadaan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat melalui pendidikan dan/atau pelatihan.
(2) Penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah
dan pemerintah daerah.
(3) Ketentuan mengenai penyelengaraan pendidikan dan/atau
pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 26
(1) Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan untuk
pemerataan pelayanan kesehatan.
(2) Pemerintah daerah dapat mengadakan dan mendayagunakan
tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya.

(3) Pengadaan . . .
- 11 -
(3) Pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
memperhatikan:
a. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
masyarakat;
b. jumlah sarana pelayanan kesehatan; dan
c. jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja
pelayanan kesehatan yang ada.
(4) Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan tetap memperhatikan hak tenaga
kesehatan dan hak masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang merata.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan tenaga
kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 27
(1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan
pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan profesinya.
(2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya
berkewajiban mengembangkan dan meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
(3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 28
(1) Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib
melakukan pemeriksaan kesehatan atas permintaan
penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh negara.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada kompetensi dan kewenangan sesuai dengan
bidang keilmuan yang dimiliki.

Pasal 29 . . .
- 12 -
Pasal 29
Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam
menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan
terlebih dahulu melalui mediasi.

Bagian Kedua
Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Pasal 30
(1) Fasilitas pelayanan kesehatan, menurut jenis
pelayanannya terdiri atas:
a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan
b. pelayanan kesehatan masyarakat.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. pelayanan kesehatan tingkat pertama;
b. pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
c. pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
(3) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh pihak Pemerintah, pemerintah
daerah, dan swasta.
(4) Ketentuan persyaratan fasilitas pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
ditetapkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku.
(5) Ketentuan perizinan fasilitas pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.

Pasal 31
Fasilitas pelayanan kesehatan wajib:
a. memberikan akses yang luas bagi kebutuhan penelitian dan
pengembangan di bidang kesehatan; dan
b. mengirimkan laporan hasil penelitian dan pengembangan
kepada pemerintah daerah atau Menteri.

Pasal 32 . . .
- 13 -
Pasal 32
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik
pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan
kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan
kecacatan terlebih dahulu.
(2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik
pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien
dan/atau meminta uang muka.

Pasal 33
(1) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan
kesehatan masyarakat harus memiliki kompetensi
manajemen kesehatan masyarakat yang dibutuhkan.
(2) Kompetensi manajemen kesehatan masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri.

Pasal 34
(1) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan
kesehatan perseorangan harus memiliki kompetensi
manajemen kesehatan perseorangan yang dibutuhkan.
(2) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang
mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki
kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 35
(1) Pemerintah daerah dapat menentukan jumlah dan jenis
fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian izin
beroperasi di daerahnya.

(2) Penentuan . . .
- 14 -
(2) Penentuan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
pemerintah daerah dengan mempertimbangkan:
a. luas wilayah;
b. kebutuhan kesehatan;
c. jumlah dan persebaran penduduk;
d. pola penyakit;
e. pemanfaatannya;
f. fungsi sosial; dan
g. kemampuan dalam memanfaatkan teknologi.
(3) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan
kesehatan serta pemberian izin beroperasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku juga untuk fasilitas
pelayanan kesehatan asing.
(4) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku
untuk jenis rumah sakit khusus karantina, penelitian, dan
asilum.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan fasilitas
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Perbekalan Kesehatan

Pasal 36
(1) Pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan
keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat
esensial.
(2) Dalam menjamin ketersediaan obat keadaan darurat,
Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk
pengadaan dan pemanfaatan obat dan bahan yang
berkhasiat obat.

Pasal 37 . . .
- 15 -
Pasal 37
(1) Pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar kebutuhan
dasar masyarakat akan perbekalan kesehatan terpenuhi.
(2) Pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa obat esensial
dan alat kesehatan dasar tertentu dilaksanakan dengan
memperhatikan kemanfaatan, harga, dan faktor yang
berkaitan dengan pemerataan.

Pasal 38
(1) Pemerintah mendorong dan mengarahkan
pengembangan perbekalan kesehatan dengan memanfaatkan
potensi nasional yang tersedia.
(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diarahkan terutama untuk obat dan vaksin baru serta bahan
alam yang berkhasiat obat.
(3) Pengembangan perbekalan kesehatan dilakukan dengan
memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, termasuk
sumber daya alam dan sosial budaya.

Pasal 39
Ketentuan mengenai perbekalan kesehatan ditetapkan dengan
Peraturan Menteri.

Pasal 40
(1) Pemerintah menyusun daftar dan jenis obat yang secara
esensial harus tersedia bagi kepentingan masyarakat.
(2) Daftar dan jenis obat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditinjau dan disempurnakan paling lama setiap 2 (dua)
tahun sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan
teknologi.
(3) Pemerintah menjamin agar obat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tersedia secara merata dan terjangkau oleh
masyarakat.

(4) Dalam . . .
- 16 -
(4) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan
kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan
perbekalan kesehatan.
(5) Ketentuan mengenai keadaan darurat sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mengadakan
pengecualian terhadap ketentuan paten sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang mengatur paten.
(6) Perbekalan kesehatan berupa obat generik yang termasuk
dalam daftar obat esensial nasional harus dijamin
ketersediaan dan keterjangkauannya, sehingga penetapan
harganya dikendalikan oleh Pemerintah.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perbekalan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan
Peraturan Menteri.

Pasal 41
(1) Pemerintah daerah berwenang merencanakan kebutuhan
perbekalan kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya.
(2) Kewenangan merencanakan kebutuhan perbekalan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap memperhatikan
pengaturan dan pembinaan standar pelayanan yang
berlaku secara nasional.

Bagian Keempat Teknologi


dan Produk Teknologi

Pasal 42
(1) Teknologi dan produk teknologi kesehatan diadakan, diteliti,
diedarkan, dikembangkan, dan dimanfaatkan bagi
kesehatan masyarakat.

( 2) Teknologi . . .
- 17 -
(2) Teknologi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mencakup segala metode dan alat yang digunakan
untuk mencegah terjadinya penyakit, mendeteksi adanya
penyakit, meringankan penderitaan akibat penyakit,
menyembuhkan, memperkecil komplikasi, dan memulihkan
kesehatan setelah sakit.
(3) Ketentuan mengenai teknologi dan produk teknologi
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi standar yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.

Pasal 43
(1) Pemerintah membentuk lembaga yang bertugas dan
berwenang melakukan penapisan, pengaturan, pemanfaatan,
serta pengawasan terhadap penggunaan teknologi dan
produk teknologi.
(2) Pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 44
(1) Dalam mengembangkan teknologi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 dapat dilakukan uji coba teknologi atau
produk teknologi terhadap manusia atau hewan.
(2) Uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan jaminan tidak merugikan manusia yang dijadikan
uji coba.
(3) Uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
oleh orang yang berwenang dan dengan persetujuan orang
yang dijadikan uji coba.
(4) Penelitian terhadap hewan harus dijamin untuk
melindungi kelestarian hewan tersebut serta mencegah
dampak buruk yang tidak langsung bagi kesehatan
manusia.

(5) Ketentuan . . .
- 18 -
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan uji coba
terhadap manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 45
(1) Setiap orang dilarang mengembangkan teknologi dan/atau
produk teknologi yang dapat berpengaruh dan membawa
risiko buruk terhadap kesehatan masyarakat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan teknologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB VI
UPAYA
KESEHATAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 46
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi
masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan
menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan
upaya kesehatan masyarakat.

Pasal 47
Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan
pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang
dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan.

Pasal 48
(1) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 dilaksanakan melalui kegiatan:
a. pelayanan . . .
- 19 -
a. pelayanan kesehatan;
b. pelayanan kesehatan tradisional;
c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
d. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;
e. kesehatan reproduksi;
f. keluarga berencana;
g. kesehatan sekolah;
h. kesehatan olahraga;
i. pelayanan kesehatan pada bencana;
j. pelayanan darah;
k. kesehatan gigi dan mulut;
l. penanggulangan gangguan penglihatan dan
gangguan pendengaran;
m. kesehatan matra;
n. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat
kesehatan;
o. pengamanan makanan dan minuman;
p. pengamanan zat adiktif; dan/atau
q. bedah mayat.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) didukung oleh sumber daya kesehatan.

Pasal 49
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung
jawab atas penyelenggaraan upaya kesehatan.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan
fungsi sosial, nilai, dan norma agama, sosial budaya, moral,
dan etika profesi.

Pasal 50
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab
meningkatkan dan mengembangkan upaya kesehatan.

(2) Upaya . . .
- 20 -
(2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya memenuhi kebutuhan kesehatan dasar
masyarakat.
(3) Peningkatan dan pengembangan upaya kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
pengkajian dan penelitian.
(4) Ketentuan mengenai peningkatan dan pengembangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui
kerja sama antar-Pemerintah dan antarlintas sektor.
Pasal 51
(1) Upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya bagi individu atau
masyarakat.
(2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada standar pelayanan minimal kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan
minimal kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Pelayanan Kesehatan

Paragraf Kesatu
Pemberian Pelayanan

Pasal 52
(1) Pelayanan kesehatan terdiri atas:
a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan
b. pelayanan kesehatan masyarakat.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif.

Pasal 53 . . .
- 21 -
Pasal 53
(1) Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk
menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan
perseorangan dan keluarga.
(2) Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit
suatu kelompok dan masyarakat.
(3) Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus mendahulukan pertolongan keselamatan
nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya.

Pasal 54
(1) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara
bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan
nondiskriminatif.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas
penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Pasal 55
(1) Pemerintah wajib menetapkan standar mutu pelayanan
kesehatan.
(2) Standar mutu pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf Kedua . . .
- 22 -
Paragraf Kedua
Perlindungan Pasien

Pasal 56
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau
seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya
setelah menerima dan memahami informasi mengenai
tindakan tersebut secara lengkap.
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat
menular ke dalam masyarakat yang lebih luas;
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat.
(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 57
(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan
pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara
pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan
pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
dalam hal:
a. perintah undang-undang;
b. perintah pengadilan;
c. izin yang bersangkutan;
d. kepentingan masyarakat; atau
e. kepentingan orang tersebut.

Pasal 58 . . .
- 23 -
Pasal 58
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap
seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara
kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau
kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan
tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan
seseorang dalam keadaan darurat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Pelayanan Kesehatan Tradisional

Pasal 59
(1) Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan
tradisional terbagi menjadi:
a. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan
keterampilan; dan
b. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan
ramuan.
(2) Pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibina dan diawasi oleh Pemerintah agar dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jenis
pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 60 . . .
- 24 -
Pasal 60
(1) Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan
tradisional yang menggunakan alat dan teknologi harus
mendapat izin dari lembaga kesehatan yang berwenang.
(2) Penggunaan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma
agama dan kebudayaan masyarakat.

Pasal 61
(1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk
mengembangkan, meningkatkan dan
menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya.
(2) Pemerintah mengatur dan mengawasi pelayanan kesehatan
tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
didasarkan pada keamanan, kepentingan, dan perlindungan
masyarakat.

Bagian Keempat
Peningkatan Kesehatan dan Pencegahan Penyakit

Pasal 62
(1) Peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya yang
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat untuk mengoptimalkan kesehatan melalui
kegiatan penyuluhan, penyebarluasan informasi, atau
kegiatan lain untuk menunjang tercapainya hidup sehat.
(2) Pencegahan penyakit merupakan segala bentuk upaya yang
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat untuk menghindari atau mengurangi risiko,
masalah, dan dampak buruk akibat penyakit.

(3) Pemerintah . . .
- 25 -
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin dan
menyediakan fasilitas untuk kelangsungan upaya
peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang upaya peningkatan kesehatan
dan pencegahan penyakit diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima
Penyembuhan Penyakit dan Pemulihan Kesehatan

Pasal 63
(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
diselenggarakan untuk mengembalikan status kesehatan,
mengembalikan fungsi tubuh akibat penyakit dan/atau akibat
cacat, atau menghilangkan cacat.
(2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan
dengan pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan.
(3) Pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan dapat
dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu
keperawatan atau cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan kemanfaatan dan keamanannya.
(4) Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan
ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu.
(5) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengobatan dan/atau
perawatan atau berdasarkan cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan.

Pasal 64
(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat
dilakukan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik
dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca.

(2) Transplantasi . . .
- 26 -
(2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan
kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan.
(3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan
dengan dalih apapun.

Pasal 65
(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang
donor harus memperhatikan kesehatan pendonor yang
bersangkutan dan mendapat persetujuan pendonor dan/atau
ahli waris atau keluarganya.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 66
Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari
hewan, hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti keamanan
dan kemanfaatannya.

Pasal 67
(1) Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ
tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan
pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 68 . . .
- 27 -
Pasal 68
(1) Pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan ke dalam
tubuh manusia hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan
pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 69
(1) Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu.
(2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan
dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan tidak
ditujukan untuk mengubah identitas.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastik dan
rekonstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 70
(1) Penggunaan sel punca hanya dapat dilakukan untuk tujuan
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, serta
dilarang digunakan untuk tujuan reproduksi.
(2) Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh
berasal dari sel punca embrionik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sel punca
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keenam . . .
- 28 -
Bagian Keenam
Kesehatan Reproduksi

Pasal 71
(1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik,
mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari
penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem,
fungsi, dan proses reproduksi pada laki- laki dan perempuan.
(2) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah
melahirkan;
b. pengaturan kehamilan, alat konstrasepsi, dan
kesehatan seksual; dan
c. kesehatan sistem reproduksi.
(3) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif.

Pasal 72
Setiap orang berhak:
a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual
yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau
kekerasan dengan pasangan yang sah.
b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari
diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati
nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia
sesuai dengan norma agama.
c. menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi
sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma
agama.
d. memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai
kesehatan reproduksi yang benar dan dapat
dipertanggungjawabkan.

Pasal 73 . . .
- 29 -
Pasal 73
Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan
sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan
terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana.

Pasal 74
(1) Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat
promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif, termasuk
reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan sehat
dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya
reproduksi perempuan.
(2) Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak bertentangan
dengan nilai agama dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Ketentuan mengenai reproduksi dengan bantuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 75
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini
kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin,
yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat
bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan
trauma psikologis bagi korban perkosaan.

(3) Tindakan . . .
- 30 -
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan
pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan
yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis
dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat
dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari
hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan
medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan
kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh
menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang
tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta
bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Bagian Ketujuh . . .
- 31 -
Bagian Ketujuh
Keluarga Berencana

Pasal 78
(1) Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan
untuk pengaturan kehamilan bagi pasangan usia subur untuk
membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas.
(2) Pemerintah bertanggung jawab dan menjamin ketersediaan
tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat dalam memberikan
pelayanan keluarga berencana yang aman, bermutu, dan
terjangkau oleh masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai pelayanan keluarga berencana
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

Bagian Kedelapan
Kesehatan Sekolah

Pasal 79
(1) Kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan
kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan
hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh,
dan berkembang secara harmonis dan setinggi- tingginya
menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.
(2) Kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan melalui sekolah formal dan informal atau
melalui lembaga pendidikan lain.
(3) Ketentuan mengenai kesehatan sekolah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesembilan . . .
- 32 -
Bagian Kesembilan
Kesehatan Olahraga

Pasal 80
(1) Upaya kesehatan olahraga ditujukan untuk meningkatkan
kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat.
(2) Peningkatan derajat kesehatan dan kebugaran jasmani
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
upaya dasar dalam meningkatkan prestasi belajar, kerja, dan
olahraga.
(3) Upaya kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan melalui aktifitas fisik, latihan fisik, dan/atau
olahraga.

Pasal 81
(1) Upaya kesehatan olahraga lebih mengutamakan pendekatan
preventif dan promotif, tanpa mengabaikan pendekatan
kuratif dan rehabilitatif.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan olahraga
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat.

Bagian Kesepuluh Pelayanan


Kesehatan Pada Bencana

Pasal 82
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung
jawab atas ketersediaan sumber daya, fasilitas, dan
pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan
berkesinambungan pada bencana.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi pelayanan kesehatan pada tanggap darurat dan
pascabencana.

(3) Pelayanan . . .
- 33 -
(3) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) mencakup pelayanan kegawatdaruratan yang bertujuan
untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan lebih
lanjut.
(4) Pemerintah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersumber
dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN),
anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), atau
bantuan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 83
(1) Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada
bencana harus ditujukan untuk penyelamatan nyawa,
pencegahan kecacatan lebih lanjut, dan kepentingan terbaik
bagi pasien.
(2) Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki.

Pasal 84
Ketentuan lebih lanjut tentang penyelenggaraan pelayanan
kesehatan pada bencana diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 85
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik
pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan
kesehatan pada bencana bagi penyelamatan nyawa pasien
dan pencegahan kecacatan.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan
kesehatan pada bencana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka
terlebih dahulu.

Bagian Kesebelas . . .
- 34 -
Bagian Kesebelas
Pelayanan Darah

Pasal 86
(1) Pelayanan darah merupakan upaya pelayanan kesehatan yang
memanfaatkan darah manusia sebagai bahan dasar dengan
tujuan kemanusiaan dan tidak untuk tujuan komersial.
(2) Darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari
pendonor darah sukarela yang sehat dan memenuhi kriteria
seleksi pendonor dengan mengutamakan kesehatan
pendonor.
(3) Darah yang diperoleh dari pendonor darah sukarela
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebelum digunakan untuk
pelayanan darah harus dilakukan pemeriksaan laboratorium
guna mencegah penularan penyakit.

Pasal 87
(1) Penyelenggaraan donor darah dan pengolahan darah
dilakukan oleh Unit Transfusi Darah.
(2) Unit Transfusi Darah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, dan/atau organisasi sosial yang tugas pokok dan
fungsinya di bidang kepalangmerahan.

Pasal 88
(1) Pelayanan transfusi darah meliputi perencanaan, pengerahan
pendonor darah, penyediaan,
pendistribusian darah, dan tindakan medis pemberian darah
kepada pasien untuk tujuan penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan.
(2) Pelaksanaan pelayanan transfusi darah dilakukan dengan
menjaga keselamatan dan kesehatan penerima darah dan
tenaga kesehatan dari penularan penyakit melalui transfusi
darah.

Pasal 89 . . .
- 35 -
Pasal 89
Menteri mengatur standar dan persyaratan pengelolaan darah
untuk pelayanan transfusi darah.

Pasal 90
(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan pelayanan
darah yang aman, mudah diakses, dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
(2) Pemerintah menjamin pembiayaan dalam
penyelenggaraan pelayanan darah.
(3) Darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.

Pasal 91
(1) Komponen darah dapat digunakan untuk tujuan
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan melalui
proses pengolahan dan produksi.
(2) Hasil proses pengolahan dan produksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikendalikan oleh Pemerintah.

Pasal 92
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan darah diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua Belas


Kesehatan Gigi dan Mulut

Pasal 93
(1) Pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
dalam bentuk peningkatan kesehatan gigi, pencegahan
penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi, dan pemulihan
kesehatan gigi oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan
berkesinambungan.

(2) Kesehatan . . .
- 36 -
(2) Kesehatan gigi dan mulut sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan gigi
perseorangan, pelayanan kesehatan gigi masyarakat, usaha
kesehatan gigi sekolah.

Pasal 94
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan
tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat kesehatan gigi dan mulut
dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut
yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat.

Bagian Ketiga Belas Penanggulangan


Gangguan Penglihatan
dan Gangguan Pendengaran

Pasal 95
(1) Penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan
pendengaran merupakan semua kegiatan yang dilakukan
meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif yang ditujukan untuk meningkatkan derajat
kesehatan indera penglihatan, dan pendengaran masyarakat.
(2) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat.

Pasal 96
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan gangguan
penglihatan dan pendengaran diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat Belas . . .


- 37 -
Bagian Keempat Belas
Kesehatan Matra

Pasal 97
(1) Kesehatan matra sebagai bentuk khusus upaya kesehatan
diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya dalam lingkungan matra yang serba
berubah maupun di lingkungan darat, laut, dan udara.
(2) Kesehatan matra meliputi kesehatan lapangan, kesehatan
kelautan dan bawah air, serta kesehatan kedirgantaraan.
(3) Penyelenggaraan kesehatan matra harus dilaksanakan sesuai
dengan standar dan persyaratan.
(4) Ketentuan mengenai kesehatan matra sebagaimana dimaksud
dalam pasal ini diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima Belas


Pengamanan dan Penggunaan
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Pasal 98
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman,
berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.
(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan
dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah,
mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang
berkhasiat obat.
(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan,
promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan
harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(4) Pemerintah . . .
- 38 -
(4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan,
dan mengawasi pengadaan,
penyimpanan, promosi, dan pengedaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).

Pasal 99
(1) Sumber sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta dan
sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam
pencegahan, pengobatan, dan/atau perawatan, serta
pemeliharaan kesehatan tetap harus dijaga kelestariannya.
(2) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk
mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan,
meningkatkan, dan menggunakan sediaan farmasi yang
dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
(3) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan
sediaan farmasi.

Pasal 100
(1) Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan
aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan,
dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga kelestariannya.
(2) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan
bahan baku obat tradisional .

Pasal 101
(1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk
mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan,
meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional yang dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.

(2) Ketentuan . . .
- 39 -
(2) Ketentuan mengenai mengolah, memproduksi, mengedarkan,
mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat
tradisional diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 102
(1) Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan
psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter
atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan.
(2) Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 103
(1) Setiap orang yang memproduksi, menyimpan,
mengedarkan, dan menggunakan narkotika dan psikotropika
wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai produksi, penyimpanan, peredaran,
serta penggunaan narkotika dan psikotropika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 104
(1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya
yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan
alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu
dan/atau keamanan dan/atau khasiat/kemanfaatan.
(2) Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara
rasional.

Pasal 105 . . .
- 40 -
Pasal 105
(1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus
memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar
lainnya.
(2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan
kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar
dan/atau persyaratan yang ditentukan.

Pasal 106
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan
setelah mendapat izin edar.
(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat
kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan
kelengkapan serta tidak menyesatkan.
(3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan
memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan
alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang
kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu
dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan
dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 107
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi dan
alat kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 108
(1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi
obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Ketentuan . . .
- 41 -
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam Belas


Pengamanan Makanan dan Minuman

Pasal 109
Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi,
mengolah, serta mendistribusikan makanan dan minuman yang
diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil teknologi
rekayasa genetik yang diedarkan harus menjamin agar aman bagi
manusia, hewan yang dimakan manusia, dan lingkungan.

Pasal 110
Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi dan
mempromosikan produk makanan dan minuman dan/atau yang
diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil olahan
teknologi dilarang menggunakan kata-kata yang mengecoh
dan/atau yang disertai klaim yang tidak dapat dibuktikan
kebenarannya.

Pasal 111
(1) Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk
masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau
persyaratan kesehatan.
(2) Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah
mendapat izin edar sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi
tanda atau label yang berisi:
a. Nama produk;
b. Daftar bahan yang digunakan;
c. Berat bersih atau isi bersih;

d. Nama . . .
- 42 -
d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau
memasukan makanan dan minuman kedalam wilayah
Indonesia; dan
e. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa.
(4) Pemberian tanda atau label sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dilakukan secara benar dan akurat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian label
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(6) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan
standar, persyaratan kesehatan, dan/atau
membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut
izin edar dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 112
Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab mengatur dan
mengawasi produksi, pengolahan, pendistribusian makanan, dan
minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109, Pasal 110,
dan Pasal 111.

Bagian Ketujuh Belas


Pengamanan Zat Adiktif

Pasal 113
(1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat
adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan
membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga,
masyarakat, dan lingkungan.
(2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat,
cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya
dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau
masyarakat sekelilingnya.
(3) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang
mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau
persyaratan yang ditetapkan.
Pasal 114 . . .
- 43 -
Pasal 114
Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke
wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan.

Pasal 115
(1) Kawasan tanpa rokok antara lain:
a. fasilitas pelayanan kesehatan;
b. tempat proses belajar mengajar;
c. tempat anak bermain;
d. tempat ibadah;
e. angkutan umum;
f. tempat kerja; dan
g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
(2) Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok
di wilayahnya.

Pasal 116
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan bahan yang
mengandung zat adiktif ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedelapan Belas


Bedah Mayat

Pasal 117
Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung-
sirkulasi dan sistem pernafasan terbukti telah berhenti secara
permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat
dibuktikan.

Pasal 118
(1) Mayat yang tidak dikenal harus dilakukan upaya
identifikasi.

(2) Pemerintah . . .
- 44 -
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung
jawab atas upaya identifikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya identifikasi mayat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.

Pasal 119
(1) Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan
kesehatan dapat dilakukan bedah mayat klinis di rumah
sakit.
(2) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditujukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau
menyimpulkan penyebab kematian.
(3) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan atas persetujuan tertulis pasien semasa hidupnya
atau persetujuan tertulis keluarga terdekat pasien.
(4) Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang
membahayakan masyarakat dan bedah mayat klinis
mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau
penyebab kematiannya, tidak diperlukan persetujuan.

Pasal 120
(1) Untuk kepentingan pendidikan di bidang ilmu kedokteran
dan biomedik dapat dilakukan bedah mayat anatomis di
rumah sakit pendidikan atau di institusi pendidikan
kedokteran.
(2) Bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat dilakukan terhadap mayat yang tidak dikenal
atau mayat yang tidak diurus oleh keluarganya, atas
persetujuan tertulis orang tersebut semasa hidupnya atau
persetujuan tertulis keluarganya.

(3) Mayat . . .
- 45 -
(3) Mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah
diawetkan, dipublikasikan untuk dicarikan keluarganya, dan
disimpan sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sejak
kematiannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bedah mayat anatomis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 121
(1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat
dilakukan oleh dokter sesuai dengan keahlian dan
kewenangannya.
(2) Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis dan
bedah mayat anatomis ditemukan adanya dugaan tindak
pidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan kepada
penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 122
(1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah
mayat forensik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh dokter ahli forensik, atau oleh dokter
lain apabila tidak ada dokter ahli forensik dan perujukan
ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak
dimungkinkan.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas
tersedianya pelayanan bedah mayat forensik di wilayahnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bedah mayat
forensik diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 123 . . .
- 46 -
Pasal 123
(1) Pada tubuh yang telah terbukti mati batang otak dapat
dilakukan tindakan pemanfaatan organ sebagai donor untuk
kepentingan transplantasi organ.
(2) Tindakan pemanfaatan organ donor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan kematian dan
pemanfaatan organ donor sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 124
Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan
sesuai dengan norma agama, norma kesusilaan, dan etika profesi.

Pasal 125
Biaya pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana
dan/atau pemeriksaan mayat untuk kepentingan hukum
ditanggung oleh pemerintah melalui APBN dan APBD.

BAB VII
KESEHATAN IBU, BAYI,
ANAK,
REMAJA, LANJUT USIA, DAN PENYANDANG CACAT

Bagian Kesatu
Kesehatan ibu, bayi, dan anak

Pasal 126
(1) Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga
kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang
sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian
ibu.

(2) Upaya . . .
- 47 -
(2) Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif.
(3) Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat dan
obat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu secara
aman, bermutu, dan terjangkau.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 127
(1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat
dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan
ketentuan:
a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang
bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana
ovum berasal;
b. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu; dan
c. pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan di luar cara
alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 128
(1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif
sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas
indikasi medis.
(2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu
bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas
khusus.
(3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diadakan di tempat kerja dan tempat sarana umum.

Pasal 129 . . .
- 48 -
Pasal 129
(1) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam
rangka menjamin hak bayi untuk mendapatkan air susu ibu
secara eksklusif.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 130
Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada
setiap bayi dan anak.

Pasal 131
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus
ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang akan
datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk
menurunkan angka kematian bayi dan anak.
(2) Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak
masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan
sampai berusia 18 (delapan belas) tahun.
(3) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menjadi tanggung
jawab dan kewajiban bersama bagi orang tua, keluarga,
masyarakat, dan Pemerintah, dan pemerintah daerah.

Pasal 132
(1) Anak yang dilahirkan wajib dibesarkan dan diasuh secara
bertanggung jawab sehingga memungkinkan anak tumbuh
dan berkembang secara sehat dan optimal.
(2) Ketentuan mengenai anak yang dilahirkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai
dengan ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya
penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi.

(4) Ketentuan . . .
- 49 -
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis imunisasi dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan
Peraturan Menteri.

Pasal 133
(1) Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari
segala bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat
mengganggu kesehatannya.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban
untuk menjamin terselenggaranya perlindungan bayi dan anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyediakan
pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 134
(1) Pemerintah berkewajiban menetapkan standar dan/atau
kriteria terhadap kesehatan bayi dan anak serta menjamin
pelaksanaannya dan memudahkan setiap penyelenggaraan
terhadap standar dan kriteria tersebut.
(2) Standar dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus diselenggarakan sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai agama, dan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 135
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib
menyediakan tempat dan sarana lain yang diperlukan untuk
bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh dan
berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi
secara sehat.
(2) Tempat bermain dan sarana lain yang diperlukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi sarana
perlindungan terhadap risiko kesehatan agar tidak
membahayakan kesehatan anak.

Bagian Kedua . . .
- 50 -
Bagian Kedua
Kesehatan Remaja

Pasal 136
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja harus ditujukan untuk
mempersiapkan menjadi orang dewasa yang sehat dan
produktif, baik sosial maupun ekonomi.
(2) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) termasuk untuk reproduksi remaja
dilakukan agar terbebas dari berbagai gangguan kesehatan
yang dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan
reproduksi secara sehat.
(3) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.

Pasal 137
(1) Pemerintah berkewajiban menjamin agar remaja dapat
memperoleh edukasi, informasi, dan layanan mengenai
kesehatan remaja agar mampu hidup sehat dan bertanggung
jawab.
(2) Ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah dalam menjamin
agar remaja memperoleh edukasi, informasi dan layanan
mengenai kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan pertimbangan moral nilai agama
dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Kesehatan Lanjut Usia dan Penyandang Cacat

Pasal 138
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus
ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif
secara sosial maupun ekonomis sesuai dengan martabat
kemanusiaan.

(2) Pemerintah . . .
- 51 -
(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan memfasilitasi kelompok lanjut usia untuk
dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan
ekonomis.

Pasal 139
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus
ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif
secara sosial, ekonomis, dan bermartabat.
(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat
tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan
ekonomis.

Pasal 140
Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia dan penyandang
cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 dan Pasal 139
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat.

BAB
VIII
GIZI

Pasal 141
(1) Upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk
peningkatan mutu gizi perseorangan dan masyarakat.
(2) Peningkatan mutu gizi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui :
a. perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai
dengan gizi seimbang;
b. perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan
kesehatan;
c. peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang
sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi; dan
d. peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.

(3) Pemerintah . . .
- 52 -
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat
bersama-sama menjamin tersedianya bahan makanan yang
mempunyai nilai gizi yang tinggi secara merata dan
terjangkau.
(4) Pemerintah berkewajiban menjaga agar bahan makanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memenuhi standar mutu
gizi yang ditetapkan dengan peraturan perundang- undangan.
(5) Penyediaan bahan makanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara lintas sektor dan antarprovinsi,
antarkabupaten atau antarkota.

Pasal 142
(1) Upaya perbaikan gizi dilakukan pada seluruh siklus
kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut usia
dengan prioritas kepada kelompok rawan:
a. bayi dan balita;
b. remaja perempuan; dan
c. ibu hamil dan menyusui.
(2) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan standar angka
kecukupan gizi, standar pelayanan gizi, dan standar tenaga
gizi pada berbagai tingkat pelayanan.
(3) Pemerintah bertanggung jawab atas pemenuhan kecukupan
gizi pada keluarga miskin dan dalam situasi darurat.
(4) Pemerintah bertanggung jawab terhadap pendidikan dan
informasi yang benar tentang gizi kepada masyarakat.
(5) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan
upaya untuk mencapai status gizi yang baik.

Pasal 143
Pemerintah bertanggung jawab meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya
terhadap peningkatan status gizi.

BAB IX . . .
- 53 -
BAB IX
KESEHATAN
JIWA

Pasal 144
(1) Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap
orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat,
bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat
mengganggu kesehatan jiwa.
(2) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif pasien
gangguan jiwa dan masalah psikososial.
(3) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.
(4) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung
jawab menciptakan kondisi kesehatan jiwa yang setinggi-
tingginya dan menjamin ketersediaan, aksesibilitas, mutu
dan pemerataan upaya kesehatan jiwa sebagaimana
dimaksud dalam pada ayat (2).
(5) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk
mengembangkan upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat
sebagai bagian dari upaya kesehatan jiwa keseluruhan,
termasuk mempermudah akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan jiwa.

Pasal 145
Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin upaya
kesehatan jiwa secara preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif,
termasuk menjamin upaya kesehatan jiwa di tempat kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (3).

Pasal 146 . . .
- 54 -
Pasal 146
(1) Masyarakat berhak mendapatkan informasi dan edukasi yang
benar mengenai kesehatan jiwa.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk
menghindari pelanggaran hak asasi seseorang yang
dianggap mengalami gangguan kesehatan jiwa.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban
menyediakan layanan informasi dan edukasi tentang
kesehatan jiwa.

Pasal 147
(1) Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa
merupakan tanggung jawab Pemerintah, pemerintah
daerah dan masyarakat.
(2) Upaya penyembuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan di
tempat yang tepat dengan tetap menghormati hak asasi
penderita.
(3) Untuk merawat penderita gangguan kesehatan jiwa,
digunakan fasilitas pelayanan kesehatan khusus yang
memenuhi syarat dan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 148
(1) Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai
warga negara.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
persamaan perlakuan dalam setiap aspek kehidupan, kecuali
peraturan perundang-undangan menyatakan lain.

Pasal 149 . . .
- 55 -
Pasal 149
(1) Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang,
mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain,
dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum
wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas
pelayanan kesehatan.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib
melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan
kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar,
menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau
orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau
keamanan umum.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas
pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa
dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat.
(4) Tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pembiayaan
pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk
masyarakat miskin.

Pasal 150
(1) Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan
hukum (visum et repertum psikiatricum) hanya dapat
dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa pada
fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga
mengalami gangguan kesehatan jiwa dilakukan oleh tim
dokter yang mempunyai keahlian dan kompetensi sesuai
dengan standar profesi.

Pasal 151
Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya kesehatan jiwa diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X . . .
- 56 -
BAB X
PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR

Bagian Kesatu
Penyakit Menular

Pasal 152
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung
jawab melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan
pemberantasan penyakit menular serta akibat yang
ditimbulkannya.
(2) Upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan
penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk melindungi masyarakat dari tertularnya
penyakit, menurunkan jumlah yang sakit, cacat dan/atau
meninggal dunia, serta untuk mengurangi dampak sosial
dan ekonomi akibat penyakit menular.
(3) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit
menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif bagi individu atau masyarakat.
(4) Pengendalian sumber penyakit menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan terhadap lingkungan
dan/atau orang dan sumber penularan lainnya.
(5) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
dengan harus berbasis wilayah.
(6) Pelaksanaan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan melalui lintas sektor.
(7) Dalam melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pemerintah dapat melakukan kerja sama dengan
negara lain.

(8) Upaya . . .
- 57 -
(8) Upaya pencegahan pengendalian, dan pemberantasan penyakit
menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 153
Pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman,
bermutu, efektif, terjangkau, dan merata bagi masyarakat untuk
upaya pengendalian penyakit menular melalui imunisasi.

Pasal 154
(1) Pemerintah secara berkala menetapkan dan mengumumkan
jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular
dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta
menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan.
(2) Pemerintah dapat melakukan surveilans terhadap penyakit
menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Pemerintah dapat melakukan kerja sama dengan
masyarakat dan negara lain.
(4) Pemerintah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan
karantina, tempat karantina, dan lama karantina.

Pasal 155
(1) Pemerintah daerah secara berkala menetapkan dan
mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang
berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang
singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi
sumber penularan.
(2) Pemerintah daerah dapat melakukan surveilans terhadap
penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Dalam . . .
- 58 -
(3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), pemerintah daerah dapat melakukan kerja sama
dengan masyarakat.
(4) Pemerintah daerah menetapkan jenis penyakit yang
memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama
karantina.
(5) Pemerintah daerah dalam menetapkan dan
mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang
berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu singkat
dan pelaksanaan surveilans serta menetapkan jenis penyakit
yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama
karantina berpedoman pada ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

Pasal 156
(1) Dalam melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian, dan
pemberantasan penyakit menular sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 154 ayat (1), Pemerintah dapat menyatakan
wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar
biasa (KLB).
(2) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau
kejadian luar biasa (KLB) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang diakui
keakuratannya.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan
upaya penanggulangan keadaan wabah, letusan, atau
kejadian luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau
kejadian luar biasa dan upaya penanggulangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 157 . . .
- 59 -
Pasal 157
(1) Pencegahan penularan penyakit menular wajib dilakukan
oleh masyarakat termasuk penderita penyakit menular
melalui perilaku hidup bersih dan sehat.
(2) Dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit menular,
tenaga kesehatan yang berwenang dapat memeriksa
tempat-tempat yang dicurigai berkembangnya vektor dan
sumber penyakit lain.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyakit menular
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.

Bagian Kedua
Penyakit Tidak Menular

Pasal 158
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat melakukan
upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit
tidak menular beserta akibat yang ditimbulkannya.
(2) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan
berperilaku sehat dan mencegah terjadinya penyakit tidak
menular beserta akibat yang ditimbulkan.
(3) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit
tidak menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif bagi individu atau masyarakat.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 159 . . .
- 60 -
Pasal 159
(1) Pengendalian penyakit tidak menular dilakukan dengan
pendekatan surveilan faktor risiko, registri penyakit, dan
surveilan kematian.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan
memperoleh informasi yang esensial serta dapat digunakan
untuk pengambilan keputusan dalam upaya pengendalian
penyakit tidak menular.
(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui kerja sama lintas sektor dan dengan membentuk
jejaring, baik nasional maupun internasional.

Pasal 160
(1) Pemerintah, pemerintah daerah bersama masyarakat
bertanggung jawab untuk melakukan komunikasi, informasi,
dan edukasi yang benar tentang faktor risiko penyakit tidak
menular yang mencakup seluruh fase kehidupan.
(2) Faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain
meliputi diet tidak seimbang, kurang aktivitas fisik, merokok,
mengkonsumsi alkohol, dan perilaku berlalu lintas yang
tidak benar.

Pasal 161
(1) Manajemen pelayanan kesehatan penyakit tidak menular
meliputi keseluruhan spektrum pelayanan baik promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif.
(2) Manajemen pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikelola secara profesional sehingga pelayanan kesehatan
penyakit tidak menular tersedia, dapat diterima, mudah
dicapai, berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat.
(3) Manajemen pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dititikberatkan pada deteksi dini dan pengobatan penyakit
tidak menular.

BAB XI . . .
- 61 -
BAB XI
KESEHATAN
LINGKUNGAN

Pasal 162
Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas
lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial
yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya.

Pasal 163
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin
ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai
risiko buruk bagi kesehatan.
(2) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat
rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum.
(3) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bebas
dari unsur-unsur yang menimbulkan gangguan kesehatan,
antara lain:
a. limbah cair;
b. limbah padat;
c. limbah gas;
d. sampah yang tidak diproses sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan pemerintah;
e. binatang pembawa penyakit;
f. zat kimia yang berbahaya;
g. kebisingan yang melebihi ambang batas;
h. radiasi sinar pengion dan non pengion;
i. air yang tercemar;
j. udara yang tercemar; dan
k. makanan yang terkontaminasi.

(4) Ketentuan . . .
- 62 -
(4) Ketentuan mengenai standar baku mutu kesehatan
lingkungan dan proses pengolahan limbah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB XII
KESEHATAN
KERJA

Pasal 164
(1) Upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi
pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan
kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh
pekerjaan.
(2) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi pekerja di sektor formal dan informal.
(3) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlaku bagi setiap orang selain pekerja yang berada di
lingkungan tempat kerja.
(4) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) berlaku juga bagi kesehatan pada lingkungan
tentara nasional Indonesia baik darat, laut, maupun udara
serta kepolisian Republik Indonesia.
(5) Pemerintah menetapkan standar kesehatan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(6) Pengelola tempat kerja wajib menaati standar kesehatan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan menjamin
lingkungan kerja yang sehat serta bertanggung jawab atas
terjadinya kecelakaan kerja.
(7) Pengelola tempat kerja wajib bertanggung jawab atas
kecelakaan kerja yang terjadi di lingkungan kerja sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 165 . . .
- 63 -
Pasal 165
(1) Pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya
kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan,
pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja.
(2) Pekerja wajib menciptakan dan menjaga kesehatan tempat
kerja yang sehat dan menaati peraturan yang berlaku di
tempat kerja.
(3) Dalam penyeleksian pemilihan calon pegawai pada
perusahaan/instansi, hasil pemeriksaan kesehatan secara
fisik dan mental digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam pengambilan keputusan.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 166
(1) Majikan atau pengusaha wajib menjamin kesehatan
pekerja melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan
dan pemulihan serta wajib menanggung seluruh biaya
pemeliharaan kesehatan pekerja.
(2) Majikan atau pengusaha menanggung biaya atas gangguan
kesehatan akibat kerja yang diderita oleh pekerja sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Pemerintah memberikan dorongan dan bantuan untuk
perlindungan pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2).

BAB XIII . . .
- 64 -
BAB XIII
PENGELOLAAN
KESEHATAN

Pasal 167
(1) Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat melalui
pengelolaan administrasi kesehatan, informasi kesehatan,
sumber daya kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan
kesehatan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat, ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, serta
pengaturan hukum kesehatan secara terpadu dan saling
mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya.
(2) Pengelolaan kesehatan dilakukan secara berjenjang di pusat
dan daerah.
(3) Pengelolaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibuat dalam suatu sistem kesehatan nasional.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB XIV
INFORMASI
KESEHATAN

Pasal 168
(1) Untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang efektif dan
efisien diperlukan informasi kesehatan.
(2) Informasi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui sistem informasi dan melalui lintas
sektor.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 169 . . .
- 65 -
Pasal 169
Pemerintah memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk
memperoleh akses terhadap informasi kesehatan dalam upaya
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

BAB XV
PEMBIAYAAN
KESEHATAN

Pasal 170
(1) Pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan
pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan
jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan
termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk
menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-
tingginya.
(2) Unsur-unsur pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas sumber pembiayaan, alokasi, dan
pemanfaatan.
(3) Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari Pemerintah,
pemerintah daerah, masyarakat, swasta dan sumber lain.
Pasal 171
(1) Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan
minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran
pendapatan dan belanja negara di luar gaji.
(2) Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi,
kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh
persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar
gaji.
(3) Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan untuk kepentingan
pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3
(dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran
pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan
dan belanja daerah.
Pasal 172 . . .
- 66 -
Pasal 172
(1) Alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 171 ayat (3) ditujukan untuk pelayanan
kesehatan di bidang pelayanan publik, terutama bagi
penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak terlantar.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara alokasi
pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 173
(1) Alokasi pembiayaan kesehatan yang bersumber dari
swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 ayat (3)
dimobilisasi melalui sistem jaminan sosial nasional
dan/atau asuransi kesehatan komersial.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan sistem
jaminan sosial nasional dan/atau asuransi kesehatan
komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XVI
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 174
(1) Masyarakat berperan serta, baik secara perseorangan maupun
terorganisasi dalam segala bentuk dan tahapan pembangunan
kesehatan dalam rangka membantu mempercepat pencapaian
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
(2) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup keikutsertaan secara aktif dan kreatif.

BAB XVII . . .
- 67 -
BAB XVII
BADAN PERTIMBANGAN KESEHATAN

Bagian Kesatu
Nama dan Kedudukan

Pasal 175
Badan pertimbangan kesehatan merupakan badan independen,
yang memiliki tugas, fungsi, dan wewenang di bidang kesehatan.

Pasal 176
(1) Badan pertimbangan kesehatan berkedudukan di Pusat dan
daerah.
(2) Badan pertimbangan kesehatan pusat dinamakan Badan
Pertimbangan Kesehatan Nasional selanjutnya disingkat
BPKN berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia.
(3) Badan pertimbangan kesehatan daerah selanjutnya disingkat
BPKD berkedudukan di provinsi dan kabupaten/kota.
(4) Kedudukan BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) berada sampai pada tingkat
kecamatan.

Bagian Kedua
Peran, Tugas, dan Wewenang

Pasal 177
(1) BPKN dan BPKD berperan membantu pemerintah dan
masyarakat dalam bidang kesehatan sesuai dengan
lingkup tugas masing-masing.
(2) BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai tugas dan wewenang antara lain:
a. menginventarisasi masalah melalui penelaahan terhadap
berbagai informasi dan data yang relevan atau berpengaruh
terhadap proses pembangunan kesehatan;

b. memberikan . . .
- 68 -
b. memberikan masukan kepada pemerintah tentang
sasaran pembangunan kesehatan selama kurun waktu
5 (lima) tahun;
c. menyusun strategi pencapaian dan prioritas kegiatan
pembangunan kesehatan;
d. memberikan masukan kepada pemerintah dalam
pengidentifikasi dan penggerakan sumber daya untuk
pembangunan kesehatan;
e. melakukan advokasi tentang alokasi dan penggunaan
dana dari semua sumber agar pemanfaatannya efektif,
efisien, dan sesuai dengan strategi yang ditetapkan;
f. memantau dan mengevaluasi pelaksanaan pembangunan
kesehatan; dan
g. merumuskan dan mengusulkan tindakan korektif yang
perlu dilakukan dalam pelaksanaan pembangunan
kesehatan yang menyimpang.
(3) BPKN dan BPKD berperan membantu pemerintah dan
masyarakat dalam bidang kesehatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, susunan
organisasi dan pembiayaan BPKN dan BPKD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Presiden.

BAB XVIII
PEMBINAAN DAN
PENGAWASAN

Bagian Kesatu
Pembinaan

Pasal 178
Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan terhadap
masyarakat dan terhadap setiap penyelenggara kegiatan yang
berhubungan dengan sumber daya kesehatan di bidang kesehatan
dan upaya kesehatan.

Pasal 179 . . .
- 69 -
Pasal 179
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178
diarahkan untuk:
a. memenuhi kebutuhan setiap orang dalam memperoleh akses
atas sumber daya di bidang kesehatan;
b. menggerakkan dan melaksanakan penyelenggaraan
upaya kesehatan;
c. memfasilitasi dan menyelenggarakan fasilitas kesehatan
dan fasilitas pelayanan kesehatan;
d. memenuhi kebutuhan masyarakat untuk
mendapatkan perbekalan kesehatan, termasuk sediaan
farmasi dan alat kesehatan serta makanan dan minuman;
e. memenuhi kebutuhan gizi masyarakat sesuai dengan
standar dan persyaratan;
f. melindungi masyarakat terhadap segala
kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi
kesehatan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui:
a. komunikasi, informasi, edukasi dan pemberdayaan
masyarakat;
b. pendayagunaan tenaga kesehatan;
c. pembiayaan.

Pasal 180
Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dan pemerintah daerah,
dapat memberikan penghargaan kepada orang atau badan yang
telah berjasa dalam setiap kegiatan mewujudkan tujuan kesehatan.

Pasal 181
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinan diatur dengan
Peraturan Menteri.

Bagian Kedua . . .
- 70 -
Bagian Kedua
Pengawasan

Pasal 182
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan
setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan
sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.
(2) Menteri dalam melakukan pengawasan dapat memberikan
izin terhadap setiap penyelengaraan upaya kesehatan.
(3) Menteri dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat mendelegasikan
kepada lembaga pemerintah non kementerian, kepala dinas
di provinsi, dan kabupaten/kota yang tugas pokok dan
fungsinya di bidang kesehatan.
(4) Menteri dalam melaksanakan pengawasan
mengikutsertakan masyarakat.

Pasal 183
Menteri atau kepala dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
182 dalam melaksanakan tugasnya dapat mengangkat tenaga
pengawas dengan tugas pokok untuk melakukan pengawasan
terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan sumber daya
di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.

Pasal 184
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
183, tenaga pengawas mempunyai fungsi:
a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan
yang berhubungan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan;
b. memeriksa perizinan yang dimiliki oleh tenaga kesehatan dan
fasilitas kesehatan.

Pasal 185 . . .
- 71 -
Pasal 185
Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilakukannya
pemeriksaan oleh tenaga pengawas mempunyai hak untuk menolak
pemeriksaan apabila tenaga pengawas yang bersangkutan tidak
dilengkapi dengan tanda pengenal dan surat perintah pemeriksaan.

Pasal 186
Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau patut
diduga adanya pelanggaran hukum di bidang kesehatan, tenaga
pengawas wajib melaporkan kepada penyidik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 187
Ketentuan lebih lanjut tentang pengawasan diatur dengan Peraturan
Menteri.

Pasal 188
(1) Menteri dapat mengambil tindakan administratif terhadap
tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang
melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.
(2) Menteri dapat mendelegasikan kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada lembaga pemerintah
nonkementerian, kepala dinas provinsi, atau kabupaten/kota
yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kesehatan.
(3) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. pencabutan izin sementara atau izin tetap.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan
tindakan administratif sebagaimana dimaksud pasal ini diatur
oleh Menteri.

BAB XIX . . .
- 72 -
BAB XIX
PENYIDIKAN

Pasal 189
(1) Selain penyidik polisi negara Republik Indonesia, kepada
pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan
pemerintahan yang menyelenggarakan urusan di bidang
kesehatan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta
keterangan tentang tindak pidana di bidang kesehatan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang kesehatan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau
badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di
bidang kesehatan;
d. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain
tentang tindak pidana di bidang kesehatan;
e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang
bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kesehatan;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup
bukti yang membuktikan adanya tindak pidana di bidang
kesehatan.
(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan oleh penyidik sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

BAB XX . . .
- 73 -
BAB XX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 190
(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada
fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak
memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang
dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian,
pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 191
Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan
kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga
mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 192
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau
jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).

Pasal 193 . . .
- 74 -
Pasal 193
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan
rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

Pasal 195
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan
dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 Ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi
standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan,
dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin
edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu
miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 198 . . .
- 75 -
Pasal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
108 dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 199
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan
kesehatan berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
dendan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah);
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa
rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana
denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).

Pasal 200
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program
pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

Pasal 201
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197,
Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh
korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga)
kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 ,
Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.

(2) Selain . . .
- 76 -
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.

BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 202
Peraturan Perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-
Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal
pengundangan Undang-Undang ini.

Pasal 203
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

BAB XXII
KETENTUAN
PENUTUP

Pasal 204
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3495) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.

Pasal 205
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar . . .
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR.H. SUSILO BAMBANG


YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI


MANUSIA REPUBLIK
INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 144

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang
Politik dan Kesejahteraan Rakyat,

Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009
TENTANG
KESEHATAN

I. UMUM
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas cita-cita bangsa
Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan
nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial.
Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan
yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang
menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya pembangunan kesehatan.
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan
yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip
nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat penting
artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan
ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional.
Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada
mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-
angsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh
masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup
upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh
terpadu dan berkesinambungan. Perkembangan ini tertuang ke

dalam . . .
-2-

dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) pada tahun 1982 yang selanjutnya
disebutkan kedalam GBHN 1983 dan GBHN 1988 sebagai tatanan untuk
melaksanakan pembangunan kesehatan.
Selain itu, perkembangan teknologi kesehatan yang berjalan seiring dengan
munculnya fenomena globalisasi telah menyebabkan banyaknya perubahan yang
sifat dan eksistensinya sangat berbeda jauh dari teks yang tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pesatnya kemajuan
teknologi kesehatan dan teknologi informasi dalam era global ini ternyata belum
terakomodatif secara baik oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan.
Perencanaan dan pembiayaan pembangunan kesehatan yang tidak sejiwa dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, yaitu menitikberatkan pada pengobatan
(kuratif), menyebabkan pola pikir yang berkembang di masyarakat adalah
bagaimana cara mengobati bila terkena penyakit. Hal itu tentu akan membutuhkan
dana yang lebih besar bila dibandingkan dengan upaya pencegahan.
Konsekuensinya, masyarakat akan selalu memandang persoalan pembiayaan
kesehatan sebagai sesuatu yang bersifat konsumtif/pemborosan.
Selain itu, sudut pandang para pengambil kebijakan juga masih belum
menganggap kesehatan sebagai suatu kebutuhan utama dan investasi berharga
di dalam menjalankan pembangunan sehingga alokasi dana kesehatan hingga
kini masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara lain.
Untuk itu, sudah saatnya kita melihat persoalan kesehatan sebagai suatu faktor
utama dan investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah
paradigma baru yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma
kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan
kuratif dan rehabilitatif.
Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah undang-
undang yang berwawasan sehat, bukan undang-undang yang berwawasan
sakit.
Pada sisi lain, perkembangan ketatanegaraan bergeser dari sentralisasi menuju
desentralisasi yang ditandai dengan diberlakukannya Undang- Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang . . .
-3-

Undang-Undang tersebut memuat ketentuan yang menyatakan bahwa bidang


kesehatan sepenuhnya diserahkan kepada daerah masing-masing yang setiap
daerah diberi kewenangan untuk mengelola dan menyelenggarakan seluruh aspek
kesehatan.
Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2007 yang mengatur tentang pembagian urusan antara pemerintah, pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan hal tersebut, Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan perlu disesuaikan dengan
semangat otonomi daerah.
Oleh karena itu, perlu dibentuk kebijakan umum kesehatan yang dapat
dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat menjawab tantangan era
globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan dalam
suatu Undang-Undang Kesehatan yang baru untuk menggantikan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

II. PASAL DEMI

PASAL Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Pembangunan kesehatan harus memperhatikan berbagai asas yang
memberikan arah pembangunan kesehatan dan dilaksanakan melalui upaya
kesehatan sebagai berikut:
(5) asas perikemanusiaan yang berarti bahwa pembangunan kesehatan harus
dilandasi atas perikemanusiaan yang berdasarkan pada Ketuhanan
Yang Maha Esa dengan tidak membedakan golongan agama dan bangsa.
(6) asas keseimbangan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus
dilaksanakan antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik
dan mental, serta antara material dan sipiritual.
(7) asas manfaat berarti bahwa pembangunan kesehatan harus memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanausiaan dan perikehidupan
yang sehat bagi setiap warga negara.

d. asas . . .
-4-

(8) asas pelindungan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dapat


memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada pemberi dan
penerima pelayanan kesehatan.
(9) asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban berarti bahwa
pembangunan kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban
masyarakat sebagai bentuk kesamaan kedudukan hukum.
(10) asas keadilan berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat
memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada semua lapisan
masyarakat dengan pembiayaan yang terjangkau.
(11) asas gender dan nondiskriminatif berarti bahwa pembangunan kesehatan
tidak membedakan perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki.
(12) asas norma agama berarti pembangunan kesehatan harus memperhatikan
dan menghormati serta tidak membedakan agama yang dianut
masyarakat.

Pasal 3
Mewujudkan derajat kesehatan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan
keadaan kesehatan yang lebih baik dari sebelumnya. Derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya mungkin dapat dicapai pada suatu saat sesuai dengan
kondisi dan situasi serta kemampuan yang nyata dari setiap orang atau
masyarakat.
Upaya kesehatan harus selalu diusahakan peningkatannya secara terus
menerus agar masyarakat yang sehat sebagai investasi dalam pembangunan
dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Pasal 4
Hak atas kesehatan yang dimaksud dalam pasal ini adalah hak untuk
memperoleh pelayanan kesehatan dari fasilitas pelayanan kesehatan agar
dapat mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6 . . .
-5-

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Ayat (1)
Agar upaya kesehatan berhasil guna dan berdaya guna, Pemerintah perlu
merencanakan, mengatur, membina dan mengawasi penyelenggaraan
upaya kesehatan ataupun sumber dayanya secara serasi dan seimbang
dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 15 . . .
-6-
Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Untuk dapat terselenggaranya pelayanan kesehatan yang merata kepada
masyarakat, diperlukan ketersediaan tenaga kesehatan yang merata dalam arti
pendayagunaan dan penyebarannya harus merata ke seluruh wilayah sampai
ke daerah terpencil sehingga memudahkan masyarakat dalam memperoleh
layanan kesehatan.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Peran serta aktif masyarakat dalam penyelenggaraan upaya kesehatan perlu
digerakkan dan diarahkan agar dapat berdaya guna dan berhasil guna.

Pasal 19
Untuk melaksanakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh
masyarakat diperlukan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan di seluruh
wilayah sampai daerah terpencil yang mudah dijangkau oleh seluruh
masyarakat.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Ayat (1)
Pada prinsipnya perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan
dan pengawasan mutu tenaga kesehatan ditujukan kepada seluruh tenaga
kesehatan dalam menyelenggarakan upaya kesehatan. Tenaga kesehatan
dapat dikelompokkan sesuai dengan keahlian dan kualifikasi yang
dimiliki, antara lain meliputi tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga
keperawatan, tenaga kesehatan masyarakat dan lingkungan, tenaga gizi,
tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisian medis, dan tenaga kesehatan
lainnya.

Ayat (2) . . .
-7-

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengaturan tenaga kesehatan di dalam undang-undang adalah tenaga
kesehatan di luar tenaga medis.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Ayat (1)
Kewenangan yang dimaksud dalam ayat ini adalah kewenangan yang
diberikan berdasarkan pendidikannya setelah melalui proses registrasi
dan pemberian izin dari pemerintah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Selama memberikan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan harus
mengutamakan indikasi medik dan tidak diskriminatif, demi
kepentingan terbaik dari pasien dan sesuai dengan indikasi medis.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2) . . .
-8-

Ayat (2)
Pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dimaksudkan agar
memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengatur sendiri
pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan yang diperlukan sesuai
kebutuhan daerahnya dengan tetap mengacu pada peraturan perundang-
undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kewajiban mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan dimaksudkan agar tenaga kesehatan yang bersangkutan
dapat memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baru.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Mediasi dilakukan bila timbul sengketa antara tenaga kesehatan pemberi
pelayanan kesehatan dengan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan.
Mediasi dilakukan bertujuan untuk menyelesaikan sengketa di luar
pengadilan oleh mediator yang disepakati oleh para pihak.

Pasal 30 . . .
-9-

Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan tingkat pertama adalah
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan
dasar.
Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan tingkat kedua adalah
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan
kesehatan spesialistik.
Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan tingkat ketiga adalah
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan
kesehatan sub spesialistik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2) . . .
- 10 -

Ayat (2)
Bagi tenaga kesehatan yang sedang menjalani proses belajar
diberikan izin secara kolektif sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6) . . .
- 11 -

Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “obat generik” adalah obat generik dengan
menggunakan nama Internasional Non Propertery Name (INN).
Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Ayat (1)
Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan ditujukan untuk menghasilkan informasi kesehatan,
teknologi, produk teknologi, dan teknologi informasi (TI) kesehatan
untuk mendukung pembangunan kesehatan. Pengembangan teknologi,
produk teknologi, teknologi informasi (TI) dan Informasi Kesehatan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hak kekayaan intelektual (HKI).
Untuk penelitian penyakit infeksi yang muncul baru atau berulang (new
emerging atau re emerging diseases) yang dapat menyebabkan
kepedulian kesehatan dan kedaruratan kesehatan masyarakat (public
health emergency of international concern/PHEIC) harus
dipertimbangkan kemanfaatan (benefit sharing) dan penelusuran ulang
asal muasalnya (tracking system) demi untuk kepentingan nasional.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “teknologi kesehatan” dalam ketentuan ini
adalah cara, metode, proses, atau produk yang dihasilkan dari penerapan
dan pemanfaatan disiplin ilmu pengetahuan di bidang kesehatan yang
menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan
peningkatan mutu kehidupan manusia.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 43 . . .
- 12 -

Pasal 43
Ayat (1)
Kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas unsur
perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, badan usaha,
dan lembaga penunjang. Lembaga penelitian dan pengembangan
kesehatan berfungsi menumbuhkan kemampuan pemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan uji coba adalah bagian dari kegiatan
penelitian dan pengembangan. Penelitian adalah kegiatan yang
dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk
memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan
pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu
asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
serta menarik simpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah
terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan
aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada atau
menghasilkan teknologi baru.
Ilmu pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali,
disusun, dan dikembangkan secara sistematis dengan menggunakan
pendekatan tertentu yang dilandasi oleh metodologi ilmiah, baik yang
bersifat kuantitatif, kualitatif, maupun eksploratif untuk menerangkan
pembuktian gejala alam dan/atau gejala kemasyarakatan tertentu.
Ayat (2)
Semua uji coba yang menggunakan manusia sebagai subjek uji coba
wajib didasarkan pada tiga prinsip etik umum, yaitu menghormati
harkat martabat manusia (respect for persons) yang bertujuan
menghormati otonomi dan melindungi manusia yang otonominya
terganggu/kurang, berbuat baik (beneficence) dan tidak merugikan
(nonmaleficence) dan keadilan (justice).
Ayat (3) . . .
- 13 -

Ayat (3)
Uji coba pada manusia harus dilakukan dengan memperhatikan
kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan. Penelitian dan
pengembangan yang menggunakan manusia sebagai subjek harus
mendapat informed consent. Sebelum meminta persetujuan subyek
penelitian, peneliti harus memberikan informasi mengenai tujuan
penelitian dan pengembangan kesehatan serta penggunaan hasilnya,
jaminan kerahasiaan tentang identitas dan data pribadi, metode yang
digunakan, risiko yang mungkin timbul dan hal lain yang perlu
diketahui oleh yang bersangkutan dalam rangka penelitian dan
pengembangan kesehatan.
Ayat (4)
Hewan percobaan harus dipilih dengan mengutamakan hewan
dengan sensitivitas neurofisiologik yang paling rendah
(nonsentient organism) dan hewan yang paling rendah pada skala
evolusi. Keberhati-hatian (caution) yang wajar harus diterapkan pada
penelitian yang dapat mempengaruhi lingkungan dan kesehatan hewan
yang digunakan dalam penelitian harus dihormati.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 45
Ayat (1)
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat ini ditujukan bagi
pengembangan teknologi dan/atau produk teknologi yang bertujuan
untuk penyalahgunaan sebagai senjata dan/atau bahan senjata biologi,
yang menimbulkan bahaya bagi keselamatan manusia,
kelestarian fungsi lingkungan, kerukunan
bermasyarakat, keselamatan bangsa, dan merugikan negara, serta
membahayakan ketahanan nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 46 . . .
- 14 -

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Cukup jelas.

Pasal 51
Cukup jelas.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58 . . .
- 15 -

Pasal 58
Ayat (1)
Yang termasuk “kerugian” akibat pelayanan kesehatan termasuk
didalamnya adalah pembocoran rahasia kedokteran.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penggunaan alat dan teknologi” dalam
ketentuan ini adalah yang tidak bertentangan dengan tindakan
pengobatan tradisional yang dilakukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 61
Cukup jelas.

Pasal 62
Cukup jelas.

Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65 . . .
- 16 -

Pasal 65
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “fasilitas pelayanan kesehatan tertentu” dalam
ketentuan ini adalah fasilitas yang ditetapkan oleh Menteri yang telah
memenuhi persyaratan antara lain peralatan, ketenagaan dan
penunjang lainnya untuk dapat melaksanakan transplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 66
Cukup jelas.

Pasal 67
Ayat (1)
Pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh dilakukan dalam rangka
penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan, pelayanan
kesehatan, pendidikan serta kepentingan lainnya. Kepentingan lainnya
adalah surveilans, investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB), baku mutu
keselamatan dan keamanan laboratorium kesehatan sebagai penentu
diagnosis penyakit infeksi, upaya koleksi mikroorganisme, koleksi
materi, dan data genetik dari pasien dan agen penyebab penyakit.
Pengiriman ke luar negeri hanya dapat dilakukan apabila cara mencapai
maksud dan tujuan pemeriksaan tidak mampu dilaksanakan oleh tenaga
kesehatan maupun fasilitas pelayanan kesehatan atau lembaga penelitian
dan pengembangan dalam negeri, maupun untuk kepentingan kendali
mutu dalam rangka pemutakhiran akurasi kemampuan standar
diagnostik dan terapi oleh kelembagaan dimaksud. Pengiriman spesimen
atau bagian organ tubuh dimaksud harus dilegkapi dengan Perjanjian
Alih Material dan dokumen pendukung yang relevan.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 68 . . .
- 17 -

Pasal 68
Cukup jelas.

Pasal 69
Cukup jelas.

Pasal 70
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sel punca” dalam ketentuan ini adalah sel
dalam tubuh manusia dengan kemampuan istimewa yakni mampu
memperbaharui atau meregenerasi dirinya dan mampu berdiferensiasi
menjadi sel lain yang spesifik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 71
Cukup jelas.

Pasal 72
Cukup jelas.

Pasal 73
Cukup jelas.

Pasal 74
Cukup jelas.

Pasal 75
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3) . . .
- 18 -

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “konselor” dalam ketentuan ini adalah setiap
orang yang telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan
dan pelatihan. Yang dapat menjadi konselor adalah dokter, psikolog,
tokoh masyarakat, tokoh agama, dan setiap orang yang mempunyai
minat dan memiliki keterampilan untuk itu.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 76
Cukup jelas.

Pasal 77
Yang dimaksud dengan praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman,
dan tidak bertanggung jawab adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan
dan tanpa persetujuan perempuan yang bersangkutan, yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang tidak profesional, tanpa mengikuti standar
profesi dan pelayanan yang berlaku, diskriminatif, atau lebih
mengutamakan imbalan materi dari pada indikasi medis.

Pasal 78
Cukup jelas.

Pasal 79
Cukup jelas.

Pasal 80
Cukup jelas.

Pasal 81
Cukup jelas.

Pasal 82 . . .
- 19 -

Pasal 82
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “bencana” dalam ketentuan ini adalah peristiwa
atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda dan dampak psikologis.
Pemerintah harus memfasilitasi tersedianya sumber daya dan
pelaksanaan pelayanan kesehatan pada prabencana, saat bencana dan
pascabencana.
Ayat (2)
Yang dimaksud “tanggap darurat bencana” dalam ketentuan ini adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian
bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang
meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.

Pasal 84
Cukup jelas.

Pasal 85
Cukup jelas.

Pasal 86
Cukup jelas.

Pasal 87
Cukup jelas.

Pasal 88
Cukup jelas.

Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90 . . .
- 20 -

Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Guna menjamin ketersediaan darah untuk pelayanan kesehatan, jaminan
pemerintah diwujudkan dalam bentuk pemberian subsidi kepada unit
transfusi darah (UTD) yang bersumber dari anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD) dan bantuan lainnya.
Ayat (3)
Darah sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Pemurah kepada setiap insan
tidaklah sepantasnya dijadikan objek jual beli untuk mencari
keuntungan, biarpun dengan dalih untuk menyambung hidup.

Pasal 91
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “proses pengolahan” dalam ketentuan ini adalah
pemisahan komponen darah menjadi plasma dan sel darah merah, sel
darah putih dan sel pembeku darah yang dilakukan oleh UTD dan biaya
pengolahan tersebut ditanggung oleh negara.
Yang dimaksud dengan “proses produksi” dalam ketentuan ini adalah
proses fraksionasi dimana dilakukan penguraian protein plasma menjadi
antara lain albumin, globulin, faktor VIII dan faktor IX dilakukan oleh
industri yang harganya dikendalikan oleh Pemerintah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dikendalikan” dalam ketentuan ini termasuk
harga hasil produksi yang bersumber dari pengolahan darah transfusi.

Pasal 92
Cukup jelas.

Pasal 93
Ayat (1)
Lingkup masalah dari kesehatan gigi dan mulut ditinjau dari fase
tumbuh kembang:

a. Fase . . .
- 21 -

a. Fase janin;
b. Ibu Hamil;
c. Anak-anak;
d. Remaja;
e. Dewasa; dan
f. Lanjut Usia.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 94
Cukup jelas.

Pasal 95
Ayat (1)
Pemerintah menggerakan pemberdayaan masyarakat untuk donor kornea
dan operasi katarak dalam rangka mencegah kebutaan dan pendengaran.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 96
Cukup jelas.

Pasal 97
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kesehatan matra” dalam ketentuan ini adalah
kondisi dengan lingkungan berubah secara bermakna yang dapat
menimbulkan masalah kesehatan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kesehatan lapangan” dalam ketentuan ini
adalah kesehatan matra yang berhubungan dengan pekerjaan didarat
yang temporer dan serba berubah. Adapun sasaran pokok adalah
melakukan dukungan kesehatan operasional dan pembinaan terhadap
setiap orang yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam
kegiatan dilapangan.

Yang . . .
- 22 -

Yang dimaksud dengan “kesehatan kelautan dan bawah air” dalam


ketentuan ini adalah kesehatan matra yang berhubungan dengan
pekerjaan di laut dan yang berhubungan dengan keadaan lingkungan
yang bertekanan tinggi (hiperbarik) dengan sasaran pokok melakukan
dukungan kesehatan operasional dan pembinaan kesehatan setiap orang
yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam
pengoperasian peralatan laut dan dibawah air.
Yang dimaksud dengan “kesehatan kedirgantaraan” dalam ketentuan ini
adalah kesehatan matra udara yang mencakup ruang lingkup kesehatan
penerbangan dan kesehatan ruang angkasa dengan keadaan
lingkungan yang bertekanan rendah (hipobarik) dengan mempunyai
sasaran pokok melakukan dukungan kesehatan operasional dan
pembinaan kesehatan terhadap setiap orang secara langsung atau tidak
langsung.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.

Pasal 99
Cukup jelas.

Pasal 100
Cukup jelas.

Pasal 101
Cukup jelas.

Pasal 102
Cukup jelas.

Pasal 103
Cukup jelas.

Pasal 104 . . .
- 23 -

Pasal 104
Cukup jelas.

Pasal 105
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “buku standar lainnya” dalam ketentuan ini
adalah kalau tidak ada dalam farmakope Indonesia, dapat menggunakan
US farmakope, British farmakope, international farmakope.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 106
Cukup jelas.

Pasal 107
Cukup jelas.

Pasal 108
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan” dalam ketentuan ini adalah
tenaga kefarmasian sesuai dengan keahlian dan kewenangannya. Dalam
hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat
melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, misalnya antara lain
dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat, yang dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.

Pasal 112 . . .
- 24 -

Pasal 112
Dalam pengaturan termasuk diatur penggunaan bahan tambahan makanan
dan minuman yang boleh digunakan dalam produksi dan pengolahan
makanan dan minuman.

Pasal 113
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penetapan standar diarahkan agar zat adiktif yang dikandung oleh bahan
tersebut dapat ditekan untuk mencegah beredarnya bahan palsu.
Penetapan persyaratan penggunaan bahan yang mengandung zat
adiktif ditujukan untuk menekan dan mencegah penggunaan yang
mengganggu atau merugikan kesehatan.

Pasal 114
Yang dimaksud dengan “peringatan kesehatan” dalam ketentuan ini adalah
tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan dapat disertai gambar atau bentuk
lainnya.

Pasal 115
Ayat (1)
Khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya dapat
menyediakan tempat khusus untuk merokok.
Ayat (2)
Pemerintah daerah dalam menetapkan kawasan tanpa rokok harus
mempertimbangkan seluruh aspek secara holistik.

Pasal 116
Cukup jelas.

Pasal 117
Cukup jelas.

Pasal 118 . . .
- 25 -

Pasal 118
Cukup jelas.

Pasal 119
Cukup jelas.

Pasal 120
Cukup jelas.

Pasal 121
Cukup jelas.

Pasal 122
Cukup jelas.

Pasal 123
Cukup jelas.

Pasal 124
Cukup jelas.

Pasal 125
Cukup jelas.

Pasal 126
Cukup jelas.

Pasal 127
Cukup jelas.

Pasal 128
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemberian air susu ibu ekslusif” dalam
ketentuan ini adalah pemberian hanya air susu ibu selama 6 bulan, dan
dapat terus dilanjutkan sampai dengan 2 (dua) tahun dengan
memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sebagai
tambahan makanan sesuai dengan kebutuhan bayi.

Yang . . .
Yang dimaksud dengan “indikasi medis” dalam ketentuan ini adalah
kondisi kesehatan ibu yang tidak memungkinkan memberikan air
susu ibu berdasarkan indikasi medis yang ditetapkan oleh tenaga
medis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 129
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kebijakan” dalam ketentuan ini berupa
pembuatan norma, standar, prosedur dan kriteria.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 130
Cukup jelas.

Pasal 131
Cukup jelas.

Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.

Pasal 134
Cukup jelas.

Pasal 135
Cukup jelas.

Pasal 136 . . .
Pasal 136
Ayat (1)
Setiap anak usia sekolah dan remaja berhak atas informasi dan edukasi
serta layanan kesehatan termasuk kesehatan reproduksi remaja dengan
memperhatikan masalah dan kebutuhan agar terbebas dari berbagai
gangguan kesehatan dan penyakit yang dapat menghambat
pengembangan potensi anak.
Setiap anak usia sekolah dan remaja berhak mendapatkan
pendidikan kesehatan melalui sekolah dan madrasah dan maupun luar
sekolah untuk meningkatkan kemampuan hidup anak dalam lingkungan
hidup yang sehat sehingga dapat belajar, tumbuh dan berkembang secara
harmonis dan optimal menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.
Upaya pembinaan usia sekolah dan remaja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus ditujukan untuk menyiapkan anak menjadi orang dewasa
yang sehat, cerdas dan produktif baik sosial maupun ekonomi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 137
Cukup jelas.

Pasal 138
Cukup jelas.

Pasal 139
Cukup jelas.

Pasal 140
Cukup jelas.

Pasal 141
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2) . . .
- 28 -

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “gizi seimbang” dalam ketentuan ini adalah
asupan gizi sesuai kebutuhan seseorang untuk mencegah resiko gizi
lebih dan gizi kurang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 142
Cukup jelas.

Pasal 143
Cukup jelas.

Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.

Pasal 146
Cukup jelas.

Pasal 147
Cukup jelas.

Pasal 148
Cukup jelas.

Pasal 149
Cukup jelas.

Pasal 150
Cukup jelas.

Pasal 151
Cukup jelas.

Pasal 152 . . .
- 29 -

Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.

Pasal 154
Cukup jelas.

Pasal 155
Cukup jelas.

Pasal 156
Cukup jelas.

Pasal 157
Ayat (1)
Perilaku hidup bersih dan sehat bagi penderita penyakit menular
dilakukan dengan tidak melakukan tindakan yang dapat memudahkan
penularan penyakit pada orang lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 158
Cukup jelas.

Pasal 159
Cukup jelas.

Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Cukup jelas.

Pasal 162 . . .
- 30 -
Pasal 162
Cukup jelas.

Pasal 163
Cukup jelas.

Pasal 164
Cukup jelas.

Pasal 165
Cukup jelas.

Pasal 166
Cukup jelas.

Pasal 167
Cukup jelas.

Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup jelas.

Pasal 170
Cukup jelas.

Pasal 171
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bagi daerah yang telah menetapkan lebih dari 10% (sepuluh persen)
agar tidak menurunkan jumlah alokasinya dan bagi daerah yang belum
mempunyai kemampuan agar dilaksanakan secara bertahap.

Ayat (3) . . .
- 31 -

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kepentingan pelayanan publik” dalam
ketentuan ini adalah pelayanan kesehatan baik pelayanan preventif,
pelayanan promotif, pelayanan kuratif, dan pelayanan rehabilitatif yang
dibutuhkan masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatannya.
Biaya tersebut dilakukan secara efisien dan efektif dengan
mengutamakan pelayanan preventif dan pelayanan promotif dan
besarnya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari APBN dan APBD.

Pasal 172
Cukup jelas.

Pasal 173
Cukup jelas.

Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175
Cukup jelas.

Pasal 176
Cukup jelas.

Pasal 177
Cukup jelas.

Pasal 178
Cukup jelas.

Pasal 179
Cukup jelas.

Pasal 180
Cukup jelas.

Pasal 181 . . .
- 32 -
Pasal 181
Cukup jelas.

Pasal 182
Cukup jelas.

Pasal 183
Cukup jelas.

Pasal 184
Cukup jelas.

Pasal 185
Cukup jelas.
Pasal 186
Cukup jelas.

Pasal 187
Cukup jelas.

Pasal 188
Cukup jelas.

Pasal 189
Cukup jelas.

Pasal 190
Cukup jelas.

Pasal 191
Cukup jelas.

Pasal 192
Cukup jelas.
Pasal 193
Cukup jelas.

Pasal 194 . . .
- 33 -
- 32 -
Pasal 194
Pasal 181
Cukup jelas.

Pasal 195
Cukup jelas.

Pasal 196
Cukup jelas.

Pasal 197
Cukup jelas.

Pasal 198
Cukup jelas.

Pasal 199
Cukup jelas.

Pasal 200
Cukup jelas.

Pasal 201
Cukup jelas.

Pasal 202
Cukup jelas.

Pasal 203
Cukup jelas.

Pasal 204
Cukup jelas.

Pasal 205
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5063

1. Pelayanan . . .
- 32 - SALINAN
Pasal 181

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 61 TAHUN 2014

TENTANG

KESEHATAN REPRODUKSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 74 ayat


(3), Pasal 75 ayat (4), Pasal 126 ayat (4), dan Pasal 127
ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Kesehatan Reproduksi;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KESEHATAN


REPRODUKSI.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Pelayanan . . .
-2-
1. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang bersifat
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
2. Kesehatan Reproduksi adalah keadaan sehat secara
fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata
bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan
dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi.
3. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja adalah suatu
kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang ditujukan
kepada remaja dalam rangka menjaga kesehatan
reproduksi.
4. Pelayanan Kesehatan Sistem Reproduksi adalah
pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada suatu
rangkaian organ, interaksi organ, dan zat dalam tubuh
manusia yang dipergunakan untuk berkembang biak.
5. Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil adalah
setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang
ditujukan pada perempuan sejak saat remaja hingga
saat sebelum hamil dalam rangka menyiapkan
perempuan menjadi hamil sehat.
6. Pelayanan Kesehatan Masa Hamil adalah setiap
kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan
sejak terjadinya masa konsepsi hingga melahirkan.
7. Pelayanan Kesehatan Masa Melahirkan, yang
selanjutnya disebut Persalinan adalah setiap kegiatan
dan/atau serangkaian kegiatan yang ditujukan pada ibu
sejak dimulainya persalinan hingga 6 (enam) jam
sesudah melahirkan.
8. Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan adalah
setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang
ditujukan pada ibu selama masa nifas dan pelayanan
yang mendukung bayi yang dilahirkannya sampai
berusia 2 (dua) tahun.

9. Pelayanan . .
.
-3-
9. Pelayanan Kesehatan Seksual adalah setiap kegiatan
dan/atau serangkaian kegiatan yang ditujukan pada
kesehatan seksualitas.

10. Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar


Cara Alamiah adalah upaya memperoleh kehamilan di
luar cara alamiah tanpa melalui proses hubungan
seksual antara suami dan istri apabila cara alami tidak
memperoleh hasil.

11. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah


adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

12. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan


pemerintahan di bidang kesehatan.

Pasal 2

Ruang lingkup pengaturan Kesehatan Reproduksi dalam


Peraturan Pemerintah ini meliputi:
a. pelayanan kesehatan ibu;
b. indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai
pengecualian atas larangan aborsi; dan
c. Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar
Cara Alamiah.

Pasal 3

Pengaturan Kesehatan Reproduksi bertujuan untuk:


a. menjamin pemenuhan hak Kesehatan Reproduksi setiap
orang yang diperoleh melalui pelayanan kesehatan yang
bermutu, aman, dan dapat dipertanggungjawabkan; dan

b. menjamin . .
.
-4-
b. menjamin kesehatan ibu dalam usia reproduksi agar
mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas
serta mengurangi angka kematian ibu.

BAB II

TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH

Pasal 4

Pemerintah dan pemerintah daerah bersama-sama


menjamin terwujudnya Kesehatan Reproduksi.

Pasal 5

Pemerintah bertanggung jawab terhadap:


a. penyusunan kebijakan upaya Kesehatan Reproduksi
dalam lingkup nasional dan lintas provinsi;
b. penyediaan sarana pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau serta obat dan alat kesehatan
yang menunjang pelayanan kesehatan reproduksi;
c. pembinaan dan evaluasi manajemen Kesehatan
Reproduksi yang meliputi aspek perencanaan,
implementasi, monitoring dan evaluasi dalam lingkup
nasional dan lintas provinsi;
d. pembinaan sistem rujukan, sistem informasi, dan
sistem surveilans Kesehatan Reproduksi dalam lingkup
nasional dan lintas provinsi; dan
e. koordinasi dan advokasi dukungan sumber daya di
bidang kesehatan, serta pendanaan penyelenggaraan
upaya Kesehatan Reproduksi dalam lingkup nasional
dan lintas provinsi.

Pasal 6 . . .
-5-
Pasal 6

Pemerintah daerah provinsi bertanggung jawab terhadap:


a. penyelenggaraan dan fasilitasi pelayanan, program,
bimbingan, dan koordinasi di bidang Kesehatan
Reproduksi dalam lingkup provinsi dan lintas
kabupaten/kota dalam provinsi;
b. pembinaan dan evaluasi manajemen program Kesehatan
Reproduksi yang meliputi aspek perencanaan,
implementasi, monitoring, dan evaluasi sesuai standar
dalam lingkup provinsi dan lintas kabupaten/kota
dalam provinsi;
c. pengelolaan, koordinasi dan pembinaan sistem rujukan,
sistem informasi, dan sistem surveilans Kesehatan
Reproduksi dalam lingkup provinsi dan lintas
kabupaten/kota dalam provinsi;
d. pemetaan dan penyediaan tenaga kesehatan di rumah
sakit lingkup provinsi;
e. penyediaan buffer stock obat essensial dan alat
kesehatan sesuai kebutuhan program Kesehatan
Reproduksi dalam lingkup provinsi;
f. koordinasi dan advokasi dukungan sumber daya di
bidang kesehatan serta pendanaan penyelenggaraan
upaya Kesehatan Reproduksi dalam lingkup provinsi
dan lintas kabupaten/kota dalam provinsi; dan
g. pengelolaan audit maternal perinatal lingkup provinsi.

Pasal 7 . . .
-6-
Pasal 7

Pemerintah daerah kabupaten/kota bertanggung jawab


terhadap:
a. penyelenggaraan dan fasilitasi pelayanan kesehatan
reproduksi di fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan
rujukan lingkup kabupaten/kota;
b. penyelenggaraan manajemen Kesehatan Reproduksi
yang meliputi aspek perencanaan, implementasi, serta
monitoring dan evaluasi sesuai standar dalam lingkup
kabupaten/kota;
c. penyelenggaraan sistem rujukan, sistem informasi, dan
sistem surveilans Kesehatan Reproduksi dalam lingkup
kabupaten/kota termasuk fasilitas pelayanan kesehatan
dasar dan rujukan milik pemerintah dan swasta;
d. pemetaan dan penyediaan tenaga kesehatan di rumah
sakit lingkup kabupaten/kota;
e. pemetaan dan penyediaan tenaga dokter, bidan, dan
perawat di seluruh Puskesmas di kabupaten/kota;
f. pemetaan dan penyediaan tenaga bidan di desa bagi
seluruh desa/kelurahan di kabupaten/kota, termasuk
penyediaan rumah dinas atau tempat tinggal yang layak
bagi bidan di desa;
g. penyediaan obat essensial dan alat kesehatan sesuai
kebutuhan program kesehatan reproduksi dalam
lingkup kabupaten/kota;
h. penyediaan sumber daya di bidang kesehatan serta
pendanaan penyelenggaraan upaya kesehatan
reproduksi dalam lingkup kabupaten/kota; dan
i. penyelenggaraan audit maternal perinatal lingkup
kabupaten/kota.

BAB III . . .
-7-
BAB III
PELAYANAN KESEHATAN IBU

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 8

(1) Setiap perempuan berhak mendapatkan pelayanan


kesehatan ibu untuk mencapai hidup sehat dan mampu
melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta
mengurangi angka kematian ibu.

(2) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dilakukan sedini mungkin dimulai dari masa
remaja sesuai dengan perkembangan mental dan fisik.
(3) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diselenggarakan melalui:
a. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja;
b. Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Hamil,
Persalinan, dan Sesudah Melahirkan;
c. pengaturan kehamilan, pelayanan kontrasepsi dan
kesehatan seksual; dan
d. Pelayanan Kesehatan Sistem Reproduksi.
(4) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilaksanakan melalui pendekatan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Pasal 9

(1) Pelayanan kesehatan ibu yang diselenggarakan melalui


pendekatan promotif dan preventif dilakukan oleh
tenaga kesehatan dan/atau tenaga nonkesehatan
terlatih.

(2) Pelayanan . .
.
-8-
(2) Pelayanan kesehatan ibu yang diselenggarakan melalui
pendekatan kuratif dan rehabilitatif harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan sesuai dengan kompetensi dan
kewenangannya.

Pasal 10

(1) Dalam rangka menjamin kesehatan ibu, pasangan yang


sah mempunyai peran untuk meningkatkan kesehatan
ibu secara optimal.
(2) Peran pasangan yang sah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. mendukung ibu dalam merencanakan keluarga;
b. aktif dalam penggunaan kontrasepsi;
c. memperhatikan kesehatan ibu hamil;
d. memastikan persalinan yang aman oleh tenaga
kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan;
e. membantu setelah bayi lahir;
f. mengasuh dan mendidik anak secara aktif;
g. tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga;
dan
h. mencegah infeksi menular seksual termasuk Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immuno
Deficiency Syndrome (AIDS).

Bagian Kedua

Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja

Pasal 11

(1) Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja bertujuan


untuk:

a. mencegah . .
.
-9-
a. mencegah dan melindungi remaja dari perilaku
seksual berisiko dan perilaku berisiko lainnya yang
dapat berpengaruh terhadap Kesehatan Reproduksi;
dan
b. mempersiapkan remaja untuk menjalani kehidupan
reproduksi yang sehat dan bertanggung jawab.
(2) Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja diberikan
dengan menggunakan penerapan pelayanan kesehatan
peduli remaja.
(3) Pemberian Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja
harus disesuaikan dengan masalah dan tahapan
tumbuh kembang remaja serta memperhatikan keadilan
dan kesetaraan gender, mempertimbangkan moral, nilai
agama, perkembangan mental, dan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 12

(1) Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 11 dilaksanakan melalui
pemberian:
a. komunikasi, informasi, dan edukasi;
b. konseling; dan/atau
c. pelayanan klinis medis.
(2) Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi
materi:
a. pendidikan keterampilan hidup sehat;
b. ketahanan mental melalui ketrampilan sosial;
c. sistem, fungsi, dan proses reproduksi;
d. perilaku seksual yang sehat dan aman;
e. perilaku seksual berisiko dan akibatnya;
f. keluarga berencana; dan

g. perilaku . . .
- 10 -
g. perilaku berisiko lain atau kondisi kesehatan lain
yang berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi.
(3) Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilaksanakan dengan memperhatikan privasi dan
kerahasiaan, dan dilakukan oleh tenaga kesehatan,
konselor dan konselor sebaya yang memiliki kompetensi
sesuai dengan kewenangannya.

(4) Pelayanan klinis medis sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) huruf c termasuk deteksi dini
penyakit/screening, pengobatan, dan rehabilitasi.

(5) Pemberian materi komunikasi, informasi, dan edukasi


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
melalui proses pendidikan formal dan nonformal serta
kegiatan pemberdayaan remaja sebagai pendidik sebaya
atau konselor sebaya.

Bagian Ketiga

Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Hamil,


Persalinan, dan Sesudah Melahirkan

Pasal 13

(1) Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil bertujuan


untuk mempersiapkan perempuan dalam menjalani
kehamilan dan persalinan yang sehat dan selamat, serta
memperoleh bayi yang sehat.

(2) Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) paling sedikit:
a. pemeriksaan fisik;
b. imunisasi; dan
c. konsultasi kesehatan.

(3) Pelayanan . .
.
- 11 -
(3) Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil berupa
pemeriksaan fisik dan imunisasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a dan huruf b harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan sesuai dengan kompetensi dan
kewenangan.

(4) Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil berupa


konsultasi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
sesuai kompetensi dan kewenangannya dan/atau
tenaga nonkesehatan terlatih.

Pasal 14

(1) Pelayanan Kesehatan Masa Hamil diberikan dalam


bentuk pelayanan antenatal.

(2) Pelayanan antenatal sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) bertujuan untuk menjaga kesehatan ibu hamil dan
janin serta mencegah komplikasi pada masa kehamilan,
persalinan, dan sesudah melahirkan.

(3) Pelayanan antenatal sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dilakukan sesuai standar secara berkala paling
sedikit 4 (empat) kali selama masa kehamilan.

(4) Pelayanan antenatal sebagaimana dimaksud pada ayat


(1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan oleh tenaga
kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan.

Pasal 15

(1) Pelayanan antenatal diberikan secara terpadu dengan


pelayanan kesehatan lainnya untuk mendeteksi faktor
risiko dan penyulit yang dapat membahayakan
kesehatan dan keselamatan ibu serta janin.

(2) Setiap . . .
- 12 -
(2) Setiap ibu hamil dengan faktor risiko dan penyulit wajib
dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang
mempunyai kemampuan untuk mengatasi risiko dan
penyulit.

(3) Rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 16

(1) Setiap ibu berhak atas Persalinan yang aman dan


bermutu.
(2) Persalinan yang aman dan bermutu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pencegahan infeksi;
b. pemantauan dan deteksi dini adanya faktor risiko
dan penyulit;
c. pertolongan persalinan yang sesuai standar;
d. melaksanakan inisiasi menyusu dini sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. merujuk kasus yang tidak dapat ditangani ke
fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu dan
tepat waktu.
(3) Persalinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang memiliki
kompetensi dan kewenangan di fasilitas pelayanan
kesehatan.
(4) Dalam hal fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dijangkau,
Persalinan dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan di
luar fasilitas pelayanan kesehatan.

Pasal 17 . .
.
- 13 -
Pasal 17

(1) Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah


Melahirkan meliputi:
a. pelayanan nifas;
b. pelayanan yang mendukung pemberian Air Susu Ibu
Ekslusif; dan
c. pelayanan pola asuh anak dibawah 2 (dua) tahun.
(2) Pelayanan nifas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a diberikan berupa promosi kesehatan, deteksi
dini gangguan kesehatan fisik dan mental, serta
pencegahan dan penanganannya oleh tenaga kesehatan
sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.

(3) Pelayanan yang mendukung pemberian Air Susu Ibu


Ekslusif dan pola asuh anak dibawah 2 (dua) tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf
c berupa pemberian informasi dan edukasi melalui
penyuluhan, konseling, dan pendampingan.

(4) Pelayanan yang mendukung pemberian Air Susu Ibu


Ekslusif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 18

Ketentuan lebih lanjut mengenai Pelayanan Kesehatan


Masa Sebelum Hamil, Pelayanan Kesehatan Masa Hamil,
Persalinan, dan Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah
Melahirkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf a dan
huruf c diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian . .
.
- 14 -
Bagian Keempat

Pelayanan Pengaturan Kehamilan, Kontrasepsi,


dan Kesehatan Seksual

Pasal 19

(1) Pelayanan pengaturan kehamilan dilakukan berupa


pemberian:
a. komunikasi, informasi, dan edukasi melalui
penyuluhan; dan/atau
b. konseling.
(2) Pelayanan pengaturan kehamilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertujuan membantu pasangan
dalam mengambil keputusan tentang usia ideal untuk
melahirkan, jumlah ideal anak, dan jarak ideal
kelahiran anak.

(3) Pelayanan pengaturan kehamilan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui
penyelenggaraan program keluarga berencana.

Pasal 20

(1) Setiap orang berhak mendapatkan komunikasi,


informasi, dan edukasi tentang keluarga berencana.

(2) Komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan
kebutuhan berdasarkan siklus kehidupan manusia.

Pasal 21

(1) Pelayanan kontrasepsi diselenggarakan


oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

(2) Penyelenggaraan . . .
- 15 -
(2) Penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi penyediaan sumber
daya manusia, logistik, pendanaan, dan alat
kontrasepsi.

(3) Ketentuan mengenai penyediaan sumber daya manusia,


logistik, pendanaan, dan alat kontrasepsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal 22

(1) Setiap orang berhak memilih metode kontrasepsi untuk


dirinya tanpa paksaan.

(2) Metode kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) sesuai pilihan pasangan suami istri dengan
mempertimbangkan usia, paritas, jumlah anak, kondisi
kesehatan, dan norma agama.
(3) Metode kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang berupa pelayanan kontrasepsi dengan Alat
Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR), Implant, dan Metode
Operasi Wanita (MOW)/Metode Operasi Pria (MOP)
harus dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan.

Pasal 23

(1) Setiap pasangan yang sah harus mendukung pilihan


metode kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (1).

(2) Setiap pasangan yang sah harus berpartisipasi dalam


penggunaan metode kontrasepsi.

Pasal 24 . .
.
- 16 -
Pasal 24

(1) Pelayanan kontrasepsi darurat diberikan pada ibu yang


tidak terlindungi kontrasepsi atau korban perkosaan
untuk mencegah kehamilan.
(2) Pemberian kontrasepsi darurat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilakukan oleh tenaga kesehatan
sesuai standar.

Pasal 25

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan


pelayanan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 diatur dengan Peraturan
Menteri.

Pasal 26

(1) Setiap perempuan berhak menjalani kehidupan seksual


yang sehat secara aman, tanpa paksaan dan
diskriminasi, tanpa rasa takut, malu, dan rasa bersalah.
(2) Kehidupan seksual yang sehat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi kehidupan seksual yang:
a. terbebas dari infeksi menular seksual;
b. terbebas dari disfungsi dan gangguan orientasi
seksual;
c. terbebas dari kekerasan fisik dan mental;
d. mampu mengatur kehamilan; dan
e. sesuai dengan etika dan moralitas.

Pasal 27

(1) Pelayanan Kesehatan Seksual diberikan melalui:

a. keterampilan . . .
- 17 -
a. keterampilan sosial;
b. komunikasi, informasi, dan edukasi;
c. konseling;
d. pengobatan; dan
e. perawatan.
(2) Pelayanan Kesehatan Seksual sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan secara terpadu oleh tenaga
kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan.

Pasal 28

Ketentuan lebih lanjut mengenai Pelayanan Kesehatan


Seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diatur
dengan Peraturan Menteri.

Pasal 29

(1) Korban kekerasan seksual harus ditangani secara


multidisiplin dengan memperhatikan aspek hukum,
keamanan dan keselamatan, serta kesehatan fisik,
mental, dan seksual.
(2) Penanganan aspek hukum, keamanan dan keselamatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. upaya perlindungan dan penyelamatan korban;
b. upaya forensik untuk pembuktian; dan
c. identifikasi pelaku.
(3) Penanganan aspek kesehatan fisik, mental, dan seksual
pada korban kekerasan seksual sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. pemeriksaan fisik, mental, dan penunjang
b. pengobatan luka dan/atau cedera;
c. pencegahan dan/atau penanganan penyakit
menular seksual;

d. pencegahan . . .
- 18 -
d. pencegahan dan/atau penanganan kehamilan;
e. terapi psikiatri dan psikoterapi; dan
f. rehabilitasi psikososial.
(4) Ketentuan mengenai penanganan korban kekerasan
seksual dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Bagian Kelima
Pelayanan Kesehatan Sistem Reproduksi

Pasal 30

(1) Setiap perempuan berhak atas Pelayanan Kesehatan


Sistem Reproduksi.
(2) Pelayanan Kesehatan Sistem Reproduksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk melindungi
organ dan fungsi reproduksi agar terbebas dari
gangguan, penyakit atau kecacatan pada perempuan.
(3) Pelayanan Kesehatan Sistem Reproduksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan tahapan siklus reproduksi perempuan
sesuai standar.

BAB IV
INDIKASI KEDARURATAN MEDIS DAN
PERKOSAAN SEBAGAI PENGECUALIAN ATAS LARANGAN ABORSI

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 31

(1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan:

a. indikasi . . .
- 19 -
a. indikasi kedaruratan medis; atau
b. kehamilan akibat perkosaan.
(2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan
apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat
puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Bagian Kedua
Indikasi Kedaruratan Medis

Pasal 32

(1) Indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a meliputi:
a. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan
ibu; dan/atau
b. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan
janin, termasuk yang menderita penyakit genetik
berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak
dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut
hidup di luar kandungan.
(2) Penanganan indikasi kedaruratan medis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
standar.

Pasal 33

(1) Penentuan adanya indikasi kedaruratan medis


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan oleh
tim kelayakan aborsi.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
terdiri dari 2 (dua) orang tenaga kesehatan yang
diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan
kewenangan.

(3) Dalam . . .
- 20 -
(3) Dalam menentukan indikasi kedaruratan medis, tim
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melakukan
pemeriksaan sesuai dengan standar.
(4) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
membuat surat keterangan kelayakan aborsi.

Bagian Ketiga
Indikasi Perkosaan

Pasal 34

(1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b merupakan kehamilan
hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari
pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan,
yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan
b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain
mengenai adanya dugaan perkosaan.

Bagian Keempat
Penyelenggaraan Aborsi

Pasal 35

(1) Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan


kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan
aman, bermutu, dan bertanggung jawab.
(2) Praktik aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung
jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar;

b. dilakukan . . .
- 21 -
b. dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang
memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri;
c. atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil
yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan;
e. tidak diskriminatif; dan
f. tidak mengutamakan imbalan materi.
(3) Dalam hal perempuan hamil sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c tidak dapat memberikan
persetujuan, persetujuan aborsi dapat diberikan oleh
keluarga yang bersangkutan.

(4) Dalam hal suami tidak dapat dihubungi, izin


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diberikan
oleh keluarga yang bersangkutan.

Pasal 36

(1) Dokter yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi


kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf a
harus mendapatkan pelatihan oleh penyelenggara
pelatihan yang terakreditasi.

(2) Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan


merupakan anggota tim kelayakan aborsi atau dokter
yang memberikan surat keterangan usia kehamilan
akibat perkosaan.

(3) Dalam hal di daerah tertentu jumlah dokter tidak


mencukupi, dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berasal dari anggota tim kelayakan aborsi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.

Pasal 37 . .
.
- 22 -
Pasal 37

(1) Tindakan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan


medis dan kehamilan akibat perkosaan hanya dapat
dilakukan setelah melalui konseling.
(2) Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
konseling pra tindakan dan diakhiri dengan konseling
pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor.
(3) Konseling pra tindakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dengan tujuan:
a. menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin
melakukan aborsi;
b. menyampaikan dan menjelaskan kepada perempuan
yang ingin melakukan aborsi bahwa tindakan aborsi
dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan hasil
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang;
c. menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan
dilakukan dan kemungkinan efek samping atau
komplikasinya;
d. membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi
untuk mengambil keputusan sendiri untuk
melakukan aborsi atau membatalkan keinginan
untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan
informasi mengenai aborsi; dan
e. menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi.
(4) Konseling pasca tindakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dengan tujuan:
a. mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien
setelah tindakan aborsi;
b. membantu pasien memahami keadaan atau kondisi
fisik setelah menjalani aborsi;

c. menjelaskan . .
.
- 23 -
c. menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk
pemeriksaan dan konseling lanjutan atau tindakan
rujukan bila diperlukan; dan
d. menjelaskan pentingnya penggunaan alat
kontrasepsi untuk mencegah terjadinya kehamilan.

Pasal 38

(1) Dalam hal korban perkosaan memutuskan


membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi
setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf d
atau tidak memenuhi ketentuan untuk dilakukan
tindakan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
ayat (2), korban perkosaan dapat diberikan
pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan.
(2) Anak yang dilahirkan dari ibu korban perkosaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diasuh oleh
keluarga.
(3) Dalam hal keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) menolak untuk mengasuh anak yang dilahirkan dari
korban perkosaan, anak menjadi anak asuh yang
pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 39

(1) Setiap pelaksanaan aborsi wajib dilaporkan kepada


kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dengan
tembusan kepala dinas kesehatan provinsi.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan.

BAB V . .
.
- 24 -
BAB V
REPRODUKSI DENGAN BANTUAN ATAU KEHAMILAN
DI LUAR CARA ALAMIAH

Pasal 40

(1) Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar


Cara Alamiah hanya dapat dilakukan pada pasangan
suami isteri yang terikat perkawinan yang sah dan
mengalami ketidaksuburan atau infertilitas untuk
memperoleh keturunan.
(2) Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar
Cara Alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan menggunakan hasil pembuahan
sperma dan ovum yang berasal dari suami istri yang
bersangkutan dan ditanamkan dalam rahim istri dari
mana ovum berasal.
(3) Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar
Cara Alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta tidak bertentangan
dengan norma agama.
(4) Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar
Cara Alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai kompetensi dan kewenangan.

Pasal 41

Pasangan suami isteri sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 39 ayat (1) yang ingin menggunakan pelayanan
Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara
Alamiah harus memenuhi persyaratan meliputi:
a. telah dilakukan pengelolaan infertilitas dengan tepat;
b. terdapat indikasi medis;
c. memahami prosedur konsepsi buatan secara umum;

d. mampu . .
.
- 25 -
d. mampu/cakap memberikan persetujuan tindakan
kedokteran (informed consent);
e. mampu membiayai prosedur yang dijalani;
f. mampu membiayai persalinan dan membesarkan
bayinya; dan
g. cakap secara mental.

Pasal 42

(1) Pelayanan Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan


di Luar Cara Alamiah harus didahului dengan konseling
dan persetujuan tindakan kedokteran (informed
consent).
(2) Konseling dan persetujuan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
pengelolaan lebih lanjut terhadap kelebihan embrio.
(3) Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan sebelum dan sesudah mendapatkan
pelayanan Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan
di Luar Cara Alamiah.
(4) Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh tenaga yang memiliki kompetensi dan
kewenangan.
(5) Persetujuan tindakan kedokteran (informed consent)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 43

(1) Kelebihan embrio hasil pembuahan di luar tubuh


manusia (ferlilisasi invitro) yang tidak ditanamkan pada
rahim harus disimpan sampai lahirnya bayi hasil
Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar
Cara Alamiah.

(2) Penyimpanan . . .
- 26 -
(2) Penyimpanan kelebihan embrio sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diperpanjang setiap 1 (satu) tahun
atas keinginan pasangan suami istri untuk kepentingan
kehamilan berikutnya.
(3) Kelebihan embrio sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilarang ditanam pada:
a. rahim ibu jika ayah embrio meninggal atau bercerai;
atau
b. rahim perempuan lain.
(4) Dalam hal pasangan suami istri pemiliknya tidak
memperpanjang masa simpan kelebihan embrio,
fasilitas pelayanan kesehatan penyelenggara Reproduksi
dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah
harus memusnahkan kelebihan embrio.

Pasal 44

Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara


Alamiah dilarang untuk tujuan memilih jenis kelamin anak
yang akan dilahirkan kecuali dalam hal pemilihan jenis
kelamin untuk anak kedua dan selanjutnya.

Pasal 45

(1) Pelayanan Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan


di Luar Cara Alamiah harus dilaksanakan di fasilitas
pelayanan kesehatan yang memenuhi persyaratan,
standar, dan memiliki izin dari Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan
standar fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.

Pasal 46 . .
.
- 27 -
Pasal 46

(1) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang memberikan


pelayanan Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan
di Luar Cara Alamiah wajib membuat pencatatan dan
pelaporan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota
dengan tembusan dinas kesehatan provinsi.
(2) Setiap pencatatan dan pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh fasilitas
pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

BAB VI
PENDANAAN

Pasal 47

Pendanaan Kesehatan Reproduksi dapat bersumber dari


Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau sumber lain yang
sah yang tidak mengikat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

BAB VII
PEMBINAAN DAN
PENGAWASAN

Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 48

Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota melakukan


pembinaan terhadap setiap penyelenggara kegiatan yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan ibu, aborsi atas
indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, dan Reproduksi
dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah.

Pasal 49 . .
.
- 28 -
Pasal 49

(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48


ditujukan untuk:
a. memenuhi kebutuhan setiap orang dalam
memperoleh akses pelayanan Kesehatan Reproduksi;
b. menggerakkan dan melaksanakan pelayanan
Kesehatan Reproduksi;
c. memfasilitasi dan menyelenggarakan pelayanan
kesehatan;
d. memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan reproduksi sesuai dengan
standar dan persyaratan; dan
e. melindungi masyarakat terhadap segala
kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya dan
kesehatan dalam pelayanan kesehatan reproduksi.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui:
a. komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan
masyarakat;
b. pendayagunaan tenaga kesehatan; dan
c. dukungan pendanaan.

Bagian Kedua

Pengawasan

Pasal 50

(1) Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota melakukan


pengawasan terhadap setiap penyelenggara pelayanan
kesehatan reproduksi.

(2) Menteri . .
.
- 29 -
(2) Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota dalam
melaksanakan pengawasan dapat mengikutsertakan
organisasi profesi dan asosiasi bidang kesehatan yang
terkait.

Pasal 51

(1) Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota dapat


mengambil tindakan administratif terhadap tenaga
kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang
melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal
31, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 39, Pasal 40 ayat (4), Pasal
43 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 44, dan Pasal 46 sesuai
dengan kewenangan masing-masing.

(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif;
c. pencabutan izin sementara; dan/atau
d. pencabutan izin tetap.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administrasi diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 52

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal


diundangkan.

Agar . .
.
- 30 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juli
2014

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juli
2014

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 169


PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 61 TAHUN 2014

TENTANG

KESEHATAN REPRODUKSI

I. UMUM

Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual


maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis. Kesehatan merupakan hak asasi manusia
dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai
dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Salah satu bagian terpenting dari kesehatan adalah kesehatan


reproduksi. Pengertian kesehatan reproduksi hakekatnya telah tertuang
dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan yang menyatakan bahwa kesehatan reproduksi merupakan
keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-
mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem,
fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan. Setiap orang
berhak untuk mendapatkan keturunan, termasuk juga hak untuk tidak
mendapatkan keturunan, hak untuk hamil, hak untuk tidak hamil, dan
hak untuk menentukan jumlah anak yang diinginkan.

Pemahaman kesehatan reproduksi tersebut termasuk pula adanya


hak-hak setiap orang untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi
yang aman, efektif dan terjangkau.

Untuk . .
.
-2-

Untuk menjamin pemenuhan hak kesehatan reproduksi melalui


pelayanan kesehatan yang aman, efektif, dan terjangkau tersebut
diwujudkan berbagai upaya kesehatan, diantaranya reproduksi dengan
bantuan, aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan perkosaan
sebagai pengecualian atas larangan aborsi, upaya kesehatan ibu, dan
kehamilan diluar cara alamiah yang diatur dalam Pasal 74 ayat (3), Pasal
75 ayat (4), Pasal 126 ayat (4), dan Pasal 127 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Ruang lingkup pelayanan kesehatan Repoduksi menurut
International Conference Population and Development (ICPD) tahun 1994 di
Kairo terdiri dari kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana,
pencegahan dan penanganan infeksi menular seksual termasuk Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immuno Deficiency Syndrome
(AIDS), kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanganan
komplikasi aborsi, pencegahan dan penanganan infertilitas, kesehatan
reproduksi usia lanjut, deteksi dini kanker saluran reproduksi serta
kesehatan reproduksi lainnya seperti kekerasan seksual, sunat
perempuan dan sebagainya.
Dari lingkup pelayanan kesehatan reproduksi tersebut, masalah
kesehatan ibu, infertilitas dan aborsi menjadi isu yang penting dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan reproduksi terutama pada
kesehatan reproduksi perempuan.
Permasalahan kesehatan ibu menjadi penting karena angka kematian
ibu di Indonesia masih tinggi dan memerlukan perhatian serta upaya
khusus untuk menurunkannya. Sedangkan infertilitas dan aborsi menjadi
isu penting karena sangat terkait dengan aspek etikolegal.
Kesehatan ibu yang disebut juga sebagai kesehatan maternal,
merupakan bagian dari kesehatan reproduksi perempuan yang mencakup
kesehatan reproduksi sejak remaja, saat sebelum hamil, hamil,
persalinan, dan sesudah melahirkan.
Pasal 126 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
menyebutkan bahwa upaya kesehatan ibu ditujukan untuk menjaga
kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan
berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu. Dalam kurun waktu 2
(dua) dekade terakhir, penurunan angka kematian ibu belum
menunjukkan hasil yang diharapkan. Hal ini perlu mendapat perhatian
khusus.

Negara . .
.
-3-

Negara pada prinsipnya melarang tindakan aborsi, larangan tersebut


ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Tetapi kenyataannya, tindakan aborsi pada beberapa kondisi
medis merupakan satu-satunya jalan yang harus dilakukan tenaga medis
untuk menyelamatkan nyawa seorang ibu yang mengalami permasalahan
kesehatan atau komplikasi yang serius pada saat kehamilan.

Pada kondisi berbeda akibat pemaksaan kehendak pelaku, seorang


korban perkosaan akan menderita secara fisik, mental, dan sosial. Dan
kehamilan akibat perkosaan akan memperparah kondisi mental korban
yang sebelumnya telah mengalami trauma berat akibat peristiwa
perkosaan tersebut. Trauma mental yang berat juga akan berdampak
buruk bagi perkembangan janin yang dikandung korban. Oleh karena itu,
sebagian besar korban perkosaan mengalami reaksi penolakan terhadap
kehamilannya dan menginginkan untuk melakukan aborsi.

Mengenai tindakan aborsi ini, Undang-Undang Nomor 36 Tahun


2009 tentang Kesehatan pada prinsipnya sejalan dengan ketentuan
peraturan pidana yang ada, yaitu melarang setiap orang untuk melakukan
aborsi. Namun, dalam tataran bahwa negara harus melindungi warganya
dalam hal ini perempuan yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi
kedaruratan medis dan akibat perkosaan, serta melindungi tenaga medis
yang melakukannya, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan membuka pengecualian untuk aborsi berdasarkan indikasi
kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.

Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab


atas pemberian informasi dan pelaksanaan edukasi mengenai kesehatan
reproduksi bagi masyarakat khususnya generasi muda. Diantaranya
informasi dan edukasi mengenai keluarga berencana dan metode
kontrasepsi sangat perlu ditingkatkan. Dengan informasi dan edukasi
tersebut, diharapkan dapat menurunkan kejadian premarital seks, seks
bebas serta angka kehamilan yang tidak diinginkan yang dapat menjurus
ke aborsi dan infeksi menular seksual termasuk penularan HIV dan AIDS.

Dalam . .
.
-4-

Dalam dunia kedokteran, penanganan masalah infertilitas dilakukan


dengan berbagai cara dan pendekatan. Pilihan terakhir untuk membantu
pasangan suami istri dengan masalah infertilitas dan sangat
menginginkan keturunan adalah melalui teknologi yang dikenal sebagai
assisted reproduction. Assisted reproduction merupakan istilah umum
untuk berbagai metode yang bertujuan untuk menghasilkan kehamilan
pada seorang perempuan melalui cara-cara di luar cara alami. Dalam
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, terdapat 2
(dua) pasal yang mengatur mengenai hal tersebut yaitu Pasal 74 dan
Pasal 127.

Reproduksi dengan bantuan atau kehamilan diluar cara alamiah


berkembang sebagai pemecahan terhadap permasalahan infertilitas. Pada
awalnya teknologi tersebut muncul untuk membantu pasangan suami
istri yang benar-benar membutuhkan bantuan untuk mendapatkan
keturunan. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang kedokteran dan ilmu-ilmu pendukungnya, teknologi ini
berkembang begitu pesat. Reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di
luar cara alamiah tidak sekedar prosedur mempertemukan spermatozoa
dengan ovum agar terjadi pembuahan serta prosedur pemindahan zygot
atau embrio tetapi telah berkembang beberapa prosedur yang perlu dikaji
secara etik, moral, dan hukum seperti frozen embryo, fetal reduction,
donor sperma, surrogate mother, dan sex selection. Bahkan saat ini telah
dikenal teknik human cloning yang merupakan teknologi reproduksi
manusia.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang


reproduksi manusia yang begitu pesat, tidak dapat diimbangi
kecepatannya oleh hukum untuk mengatur pelaksanaannya. Hukum
harus dengan tegas memberikan batasan mana yang boleh dan mana
yang tidak boleh dalam pelaksanaan pelayanan reproduksi dengan
bantuan agar apa yang pada awalnya ditujukan untuk kebaikan tidak
menimbulkan efek, atau hal-hal lain yang menyertai, yang sebenarnya
tidak diperbolehkan, seperti fetal reduction.

Dalam . .
.
-5-

Dalam rangka memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum,


serta menata konsep-konsep yang berhubungan dengan hukum yang
mengatur penyelenggaraan reproduksi dengan bantuan, aborsi
berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan perkosaan pada tindakan
aborsi, pelayanan kesehatan ibu serta penyelenggaraan kehamilan di luar
cara alamiah agar berjalan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam
masyarakat Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa baik dari segi
agama, moral, etika, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, perlu mengatur penyelenggaraan Kesehatan Reproduksi dengan
Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah ini mengatur:

1. tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah;


2. pelayanan kesehatan ibu;
3. indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas
larangan aborsi;
4. reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah;
5. pendanaan; dan
6. pembinaan dan pengawasan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5 . .
.
-6-

Pasal 5

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Sumber daya di bidang kesehatan meliputi ketenagaan, fasilitas


pelayanan kesehatan, perbekalan kesehatan, serta teknologi
dan produk teknologi.

Pasal 6

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Tenaga kesehatan yang disediakan paling sedikit meliputi


dokter, dokter spesialis, bidan, perawat, dan tenaga
pemeriksaan penunjang medik.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f . . .
-7-

Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.

Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Tenaga kesehatan yang disediakan paling sedikit
meliputi dokter, bidan, dan perawat.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.

Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2) . . .
-8-

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “Pelayanan kesehatan ibu sedini


mungkin” adalah pelayanan kesehatan yang dilakukan sesuai
dengan perkembangan mental dan fisik seseorang dimulai dari
masa remaja untuk mempersiapkan diri menjadi calon ibu
yang sehat dan produktif.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 9

Ayat (1)

Tenaga nonkesehatan terlatih antara lain psikolog, konselor,


kader, dan pekerja sosial profesional yang telah mendapat
pelatihan di bidang kesehatan ibu.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a
Yang dimaksud dengan “mendukung ibu dalam
merencanakan keluarga” termasuk menentukan jumlah
anak, kapan pasangannya hamil, metode keluarga
berencana (KB) yang akan dipakai, dan di mana akan
melahirkan.

Huruf b . .
.
-9-

Huruf b
Yang dimaksud dengan “aktif dalam penggunaan
kontrasepsi” adalah mendukung ibu menggunakan
kontrasepsi atau bersedia menggunakan kontrasepsi
untuk laki-laki.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Pencegahan infeksi menular seksual dilakukan pasangan
dengan cara melakukan hubungan seksual yang aman,
bertanggung jawab, dan hanya melakukan hubungan
seksual dengan 1 (satu) pasangan.

Pasal 11

Ayat (1)

Huruf a
Perilaku seksual berisiko antara lain seks pranikah
yang dapat berakibat pada kehamilan tidak diinginkan,
perilaku seksual berganti-ganti pasangan, aborsi tidak
aman, dan perilaku berisiko tertular Infeksi Menular
Seksual (IMS) termasuk HIV.

Perilaku . .
.
- 10 -

Perilaku berisiko lain yang dapat berpengaruh terhadap


kesehatan reproduksi antara lain penyalahgunaan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (Napza) dan
perilaku gizi buruk yang dapat menyebabkan masalah
gizi khususnya anemia.

Huruf b
Upaya mempersiapkan remaja untuk menjalani
kehidupan reproduksi yang sehat dan
bertanggungjawab meliputi persiapan fisik, psikis, dan
sosial untuk menikah dan hamil pada usia yang
matang.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “pelayanan kesehatan peduli remaja”


adalah pelayanan kesehatan yang ditujukan dan dapat
dijangkau oleh remaja, menyenangkan, menerima remaja
dengan tangan terbuka, menghargai remaja, menjaga
kerahasiaan, peka akan kebutuhan terkait dengan
kesehatannya, serta efektif dan efisien dalam memenuhi
kebutuhan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 12

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3) . . .
- 11 -

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “konselor” adalah tenaga yang


melakukan pelayanan konseling, yang keahliannya diperoleh
melalui pendidikan formal atau pelatihan.
Yang dimaksud dengan “konselor sebaya” adalah remaja yang
telah terlatih untuk memberikan konseling pada remaja yang
seusianya.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan “materi komunikasi, informasi, dan


edukasi melalui proses pendidikan formal” adalah materi
kesehatan remaja yang terdapat di dalam materi pendidikan
yang dipergunakan dalam kurikulum sekolah.

Pasal 13

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a
Yang dimaksud dengan “pemeriksaan fisik” meliputi
pemeriksaan status kesehatan secara umum dan
pemeriksaan penunjang sesuai kebutuhan.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “imunisasi” berupa Tetanus
Toxoid (TT) dan imunisasi lain sesuai kebutuhan.

Huruf c . .
.
- 12 -

Huruf c
Yang dimaksud dengan “konsultasi kesehatan” ditujukan
untuk memberikan informasi agar perempuan dapat
mempersiapkan kehidupan reproduksi dan seksual yang
sehat dan aman termasuk dalam menjalani kehamilan
dan persalinan serta pemahaman perencanaan keluarga
kecil yang berkualitas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “standar” adalah standar pelayanan


dan standar profesi.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 14

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pelayanan antenatal” merupakan


pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama
masa kehamilannya dilaksanakan sesuai dengan standar
pelayanan antenatal yang ditetapkan.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “komplikasi pada masa kehamilan”


adalah kesakitan (morbiditas) pada ibu hamil yang dapat
mengancam nyawa ibu dan/atau janin.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “sekurang-kurangnya 4 (empat) kali”


meliputi satu kali pada triwulan (trimester) pertama, satu kali
pada triwulan (trimester) kedua, dan dua kali pada triwulan
(trimester) ketiga.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 15 . .
.
- 13 -

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemantauan sekurang-kurangnya dilakukan dengan
menggunakan grafik pemantau persalinan (partograf).
Huruf c
Pertolongan persalinan yang di dalamnya termasuk
manajemen aktif kala III.
Huruf d
Inisiasi menyusu dini ditujukan untuk menciptakan
hubungan ibu dan anak segera setelah lahir.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pelayanan nifas” adalah
pelayanan kesehatan yang dilakukan pada ibu selama
periode 6 (enam) jam sampai dengan 42 (empat puluh
dua) hari sesudah melahirkan.

Huruf b . .
.
- 14 -

Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pelayanan pola asuh anak dibawah 2 (dua) tahun
diberikan karena pada masa tersebut merupakan periode
akselerasi pertumbuhan dan perkembangan otak anak
pada usia 0-24 bulan (platinum periode).
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “gangguan kesehatan fisik dan mental”
termasuk adanya komplikasi nifas
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “keluarga berencana” adalah upaya
mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan,
serta mengatur kehamilan melalui promosi, perlindungan, dan
bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan
keluarga yang berkualitas.

Pasal 20 . .
.
- 15 -

Pasal 20

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Komunikasi, informasi, dan edukasi diberikan sesuai


kebutuhan berdasarkan siklus kehidupan manusia karena
setiap tahapan kehidupan membutuhkan penanganan sistem
reproduksi yang khas, dimulai dari masa remaja dan usia
subur.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah orang


perseorangan dalam usia subur yang telah mampu membuat
keputusan.
Metode kontrasepsi antara lain metode kontrasepsi tradisional
dan modern. Metode kontrasepsi tradisional meliputi metode
sistem kalender, senggama terputus (coitus interuptus) dan
amenorrhea laktasi. Metode kontrasepsi modern meliputi
metode pil, suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR),
Implant/susuk, kondom, diafragma, spermisida, dan Metode
Operasi Wanita (MOW)/Metode Operasi Pria (MOP).

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 23 . .
.
- 16 -

Pasal 23

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Bentuk partisipasi berupa penggunaan metode kontrasepsi


pria.

Pasal 24

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “ibu yang tidak terlindungi kontrasepsi”


adalah ibu yang tidak menggunakan metode kontrasepsi atau
menggunakan kontrasepsi yang tidak efektif.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Ayat (1)

Huruf a
Keterampilan sosial dilakukan agar setiap perempuan
mempunyai ketahanan mental dalam melindungi dirinya
dari pengaruh lingkungan negatif.
Huruf b
Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi antara
lain pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dan
perilaku penyimpangan seksual.

Kekerasan . .
.
- 17 -

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa


pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan
seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai,
atau pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain
untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Perilaku penyimpangan seksual antara lain sodomi,
homoseksual/lesbian, pedofilia, eksibisionisme,
hubungan seksual sedarah/inses, berhubungan dengan
mayat (nekrofilia), dan berhubungan dengan hewan
(zoofilia).
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “upaya forensik untuk
pembuktian” merupakan kegiatan untuk penegakan
hukum dan kepentingan keadilan yang dibuat oleh ahli
tersumpah untuk membuktikan ada tidaknya kekerasan
seksual dan mengungkap pelaku kekerasan seksual.

Huruf c . .
.
- 18 -

Huruf c
Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “psikoterapi” merupakan bagian
penanganan terapi psikiatri yang nonfarmakologi dengan
menggunakan metode pendekatan psikologis.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi psikososial”
merupakan penanganan terhadap korban untuk dapat
kembali ke masyarakat dengan cara memulihkan status
mental ke kondisi semula melalui konseling,
pendampingan, kunjungan rumah, dan penyediaan
rumah aman (shelter).
Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 30

Ayat (1)

Cukup jelas.
Ayat (2)

Jenis penyakit yang dapat timbul pada sistem reproduksi


antara lain:

a. gangguan . . .
- 19 -

a. gangguan akibat perubahan fisiologis;


b. kelainan kongenital sistem reproduksi;
c. infeksi sistem reproduksi, diantaranya IMS, HIV dan AIDS,
Infeksi Saluran Reproduksi;
d. neoplasma sistem reproduksi; dan
e. trauma sistem reproduksi.

Ayat (3)

Siklus reproduksi perempuan dimulai dari menstruasi pertama


sampai saat menopause.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “mengancam nyawa” merupakan


keadaan atau penyakit yang apabila kehamilannya
dilanjutkan akan mengakibatkan kematian ibu.
Yang dimaksud dengan “mengancam kesehatan ibu”
merupakan suatu keadaan fisik dan/atau mental yang
apabila kehamilan dilanjutkan akan menurunkan kondisi
kesehatan ibu, mengancam nyawa atau mengakibatkan
gangguan mental berat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kehamilan yang mengancam
nyawa dan kesehatan janin” merupakan kehamilan
dengan kondisi janin yang setelah dilahirkan tidak dapat
hidup mandiri sesuai dengan usia, termasuk janin yang
menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan,
maupun janin yang tidak dapat diperbaiki kondisinya.

Ayat (2). . .
- 20 -

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “ahli lain” antara lain dokter
spesialis psikiatri, dokter spesialis forensik, dan pekerja
sosial.

Pasal 35

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e . . .
- 21 -

Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “tidak mengutamakan imbalan
materi” adalah biaya pelayanan sesuai dengan
perhitungan unit cost.
Ayat (3)

Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pelatihan” adalah pelatihan yang
diselenggarakan oleh penyelenggara terakreditasi dan
dibuktikan dengan sertifikat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “konselor” adalah setiap orang yang
telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan
dan pelatihan.

Ayat (3) . . .
- 22 -

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 38

Ayat (1)

Pendampingan yang dilakukan berupa pendampingan


psikologis, pendampingan sosiologis, dan pendampingan medis.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “keluarga” adalah orang tua kandung


atau anggota keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau
ke bawah sampai dengan derajat ketiga.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “anak asuh” adalah anak yang diasuh


oleh seseorang atau lembaga untuk diberikan bimbingan,
pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan karena
keluarganya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak
secara wajar.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “ketidaksuburan atau infertilitas”


adalah keadaan yang terjadi pada pasangan suami dan/atau
istri yang tidak berhasil memperoleh keturunan setelah
melakukan hubungan seksual secara teratur dalam 1 (satu)
tahun tanpa perlindungan kontrasepsi.

Ayat (2) . . .
- 23 -

Ayat (2)

Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara


Alamiah dilakukan dengan cara antara lain pembuahan di luar
tubuh manusia (fertilisasi invitro) atau teknologi lain.

Teknologi fertilisasi invitro/pembuahan di luar tubuh manusia


merupakan reproduksi dengan cara mempertemukan ovum
dengan sel sperma di laboratorium sampai terjadi pembuahan
dan hasil pembuahan (embrio) dikembalikan ke rahim si ibu
untuk dibiarkan berkembang menjadi janin.
Yang dimaksud dengan “embrio” adalah perkembangan lebih
lanjut dari hasil pembuahan sperma dan ovum sampai
terbentuk blastokista.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 41
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f . . .
- 24 -

Huruf f
Yang dimaksud dengan “membesarkan bayinya” merupakan
pemenuhan hak dasar anak antara lain hak untuk hidup, hak
untuk tumbuh kembang, hak pendidikan, hak kesehatan, dan
hak untuk mendapat perlindungan dari tindak kekerasan.
Huruf g

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Ayat (1)

Cukup jelas.
Ayat (2)

Cukup jelas.
Ayat (3)

Cukup jelas.
Ayat (4)

Pemusnahan kelebihan embrio dapat dilakukan dengan cara


menguburkan, kremasi atau tindakan lain sesuai dengan
keinginan pasangan suami isteri pemilik embrio.

Pasal 44

Yang dimaksud dengan “pemilihan jenis kelamin untuk anak yang


kedua dan selanjutnya” yaitu pemilihan jenis kelamin anak pada
Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah
yang dilakukan sebelum terjadinya proses pembuahan dengan cara
memisahkan sel sperma x dan y.

Pasal 45 . .
.
- 25 -

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5559

Pasal 45 . .
.
3. Dimana bisa mendapatkan pelayanan kesehatan essensial dan komprehensif

a. Puskesmas

Dalam menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara Upaya Kesehatan Masyarakat

(UKM), Puskesmas harus menyelenggarakan UKM Esensial dalam rangka mendukung

pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kabupaten/kota bidang kesehatan.

UKM Esensial meliputi pelayanan promosi kesehatan, pelayanan kesehatan lingkungan,

pelayanan kesehatan ibu, anak, keluarga berencana, pelayanan gizi, dan pelayanan pencegahan

dan pengendalian penyakit. Selain melaksanakan UKM esensial, Puskesmas juga melaksanakan

UKM Pengembangan yang disesuaikan dengan prioritas masalah kesehatan, kekhususan

wilayah kerja dan potensi sumber daya yang tersedia di masing-masing puskesmas. Sebagai

contoh UKM Pengembangan yaitu pelayanan kesehatan kerja, pelayanan kesehatan olahraga,

dan pelayanan kesehatan tradisional.

Pasal 45 . .
.

Anda mungkin juga menyukai