Anda di halaman 1dari 10

Tugas Terstruktur Dosen Pengampu

Estetika Barat dan Islam Abdul Hakim, S.Ag., M.Ag.

Seyyed Hossein Nasr: Seni dan Spiritualitas Islam

Oleh:

Nani Sartika : 210103030139

Annisa Meilinda : 210103030201

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
BANJARMASIN
2023
PENDAHULUAN

Seni Islam, menurut Nasr setidaknya mengandung tiga hal yaitu; pertama,

mencerminkan nilai-nilai religius, sehingga tidak ada yang disebut seni sekuler. Tidak

ada dikotomi religius clan sekuler dalam Islam. Kekuatan atau unsur sekuler dalam

masyarakat Islam selalu memiliki pengertian religius seperti halnya hukum Illahi yang

secara spesifik memiliki unsur-unsur religius. Kedua, menjelaskan kualitas spiritual

yang bersifat santun akibat pengaruh nilai-nilai sufisme. Ketiga, terdapat hubungan

yang halus clan saling melengkapi antara masjid clan istana, dalam hal perlindungan,

penggunaan clan fungsi berbagai seni. Seni Islam, menurut Nasr tidak hanya berkaitan

dengan bahan-bahan material yang digunakan tetapi juga unsur kesadaran religius

kolektif yang menjiwai bahan-bahan material tersebut. Pada mulanya spiritualisme

bukan persoalan agama. Ia lebih merupakan persoalan duniawi yang muncul sebagai

akibat dari perubahan-perubahan sosial, perubahan ini memunculkan ketegangan sosial

maupun psikologis. Ketegangan itu melahirkan sejumlah ketidakpastian hidup, sebuah

anomie, pada tingkat individu maupun kelompok, karena nilai-nilai anutan lama

tergusur, sedangkan pegangan baru untuk ketentraman hidup belum lagi jelas sosok dan

sifatnya. Watak urban menentukan sekali kelahiran spiritualisme ini. Dan pada tingkat

tertentu apa yang sekarang disebut globalisasi, lebih mempertajam tuntutan kelahiran

spiritualisme karena globalisasi memang membawa watak urban. Spiritualisme

merupakan gejala sosiologis. Ia terjadi tidak cuma oleh datangnya arus besar

kebudayaan asing, melainkan bisa juga terjadi sebagai akibat dari corak rutinitas hidup

kita sendiri yang cepat berubah dari hari ke hari, melalui tatanan sosial-politik dan

kebudayaan yang kita rancang dan kita laksanakan sendiri maka ketegangan-ketegangan

1
sosial mudah muncul, dan bahwa ketegangan-ketegangan itulah sumber utama kelahiran

spiritualisme.

2
PEMBAHASAN

A. Biografi Seyyed Hossein Nasr


Seyyed Hossein Nasr, lahir pada 7 April 1933 di Tehran, Iran, adalah seorang

cendekiawan, filsuf, dan profesor terkenal dalam studi Islam dan agama-agama Timur.

Dia dikenal secara internasional sebagai salah satu intelektual Muslim terkemuka pada

abad ke-20 dan ke-21. Nasr datang dari keluarga yang sangat terpelajar dan berpengaruh

di Iran. Ayahnya, Seyyed Valiallah Nasr, adalah seorang dokter terkenal dan mantan

Menteri Pendidikan Iran. Dalam lingkungan keluarganya, Nasr didorong untuk belajar

dan menghargai keilmuan serta warisan intelektual Islam.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Iran, Nasr

melanjutkan pendidikan tinggi di luar negeri. Ia mendapatkan gelar sarjana dalam

bidang fisika dari Universitas Massachusetts pada tahun 1954. Namun, ketika ia

mengalami perubahan yang mendalam dalam kehidupan spiritualnya, Nasr memutuskan

untuk mempelajari filsafat dan agama. Nasr kemudian mendapatkan gelar PhD dalam

bidang filsafat dari Universitas Harvard pada tahun 1958, dengan disertasinya yang

berfokus pada filsafat dan metafisika dalam tradisi Islam. Setelah itu, Nasr kembali ke

Iran dan menjadi profesor di Universitas Tehran, di mana ia mendirikan Departemen

Filsafat dan Studi Agama.

Pada tahun 1962, Nasr pindah ke Amerika Serikat untuk mengajar di

Universitas George Washington, di mana ia menjadi profesor dalam bidang sejarah

agama dan filsafat. Ia terus mengajar dan menulis di berbagai universitas ternama di

Amerika Serikat, termasuk Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan

Universitas Temple.

3
Nasr telah menulis lebih dari 50 buku dan banyak artikel akademik tentang

berbagai topik, termasuk filsafat Islam, mistisisme, metafisika, ekologi, seni, dan

hubungan antara Timur dan Barat. Buku-bukunya yang terkenal antara lain "Man and

Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man", "Islamic Art and Spirituality", dan "The

Heart of Islam: Enduring Values for Humanity".

Sebagai seorang pemikir dan akademisi Muslim, Nasr telah berkontribusi

secara signifikan dalam memperkenalkan pemikiran dan nilai-nilai Islam kepada publik

Barat dan memperluas pemahaman tentang Islam dalam konteks dunia modern. Seyyed

Hossein Nasr terus aktif sebagai profesor dan penulis hingga saat ini, dan pengaruhnya

dalam studi Islam dan dialog antaragama masih sangat dihormati di seluruh dunia.

B. Pemikiran Seyyed Hossein Nasr tentang Seni dan Spiritualitas Islam

Pandangan Nasr tentang hubungan antara seni dan agama, membagi seni dalam

tiga wilayah, pertama adalah seni suci, yaitu seni yang berhubungan langsung dengan

praktik-praktik utama agama dan kehidupan spiritual. Lawannya adalah seni profan.

Kedua, seni tradisional, yaitu seni yang menggambarkan prinsip-prinsip agama dan

spiritual tetapi dengan cara tidak langsung. Lawannya adalah seni anti-tradisional.

Perbedaan antara seni suci dan seni tradisional ini bisa dilihat pada contoh sebuah

pedang. Pedang yang dibuat Abad Pertengahan, baik Islam maupun Kristen, tidak

pernah digunakan secara langsung dalam acara ritual keagamaan meski merefleksikan

prinsip dan ajaran Islam atau Kristen. Karena itu, ia masuk kategori seni tradisional. Ini

berbeda dengan pedang Shinto di Kuil I Se di Jepang. Pedang Shinto dikaitkan langsung

dengan ajaran agama tersebut dan meruoakan objek ritual yang bermakna tinggi dalam

agama Shinto sehingga dimasukkan sebagai seni suci. Ketiga, seni religius, seni yang

subjek atau fungsinya bertema keagamaan, namun bentuk dan cara pelaksanaannya

4
tidak bersifat tradisional. Masuk dalam kategori ini adalah lukisan-lukisan religius dan

arsitektur Barat sejak Renaisance dan beberapa lukisan religius di dunia Timur selama

seabad atau dua abad lalu di bawah pengaruh seni Eropa.

Lebih lanjut Nasr mendefinisikan seni suci dan seni tradisional sebagai berikut:

“... Seni suci adalah seni yang berhubungan langsung dengan praktik-praktik
utama agama dan kehidupan spiritual, yang mencakup seni-seni seperti
kaligrafi, arsitektur masjid, dan tilawah Al-Qur‟an. Seni tradisional Islam,
bagaimanapun juga, meliputi setiap bentuk seni yang dapat dilihat dan didengar
mulai dari seni pertamanan hingga puisi.1 Seluruh bentuk seni tradisional yang
juga melukiskan prinsip-prinsip wahyu Islam dan spiritualitas Islam namun
dalam cara yang lebih tidak langsung. Dalam beberapa hal, seni suci
merupakan inti dari seni tradisional, yang secara langsung menggambarkan
prinsip-prinsip dan norma-norma yang justru terefleksikan secara tidak
langsung dalam seni tradisional”
Pembedaan atas jenis seni di atas sebenarnya merujuk pada pandangan F.

Schuon sebagai berikut:

“Semua seni suci adalah seni tradisional tapi tidak semua seni tradisional
merupakan seni suci. Seni suci terletak pada jantung seni tradisional dan
berkaitan secara langsung dengan wahyu dan teofani yang menyatakan inti
tradisi. Seni suci melibatkan praktek-praktek ritual dan pemujaan, dan aspek
praktis dan operatif dari jalan perwujudan, di mana spiritual di dasar tradisi
tersebut. dalam kerangka peradaban tradisional tanpa keraguan suatu
pembedaan dibuat antara seni suci dan profan. Tujuan seni suci untuk
mengkomunikasikan kebenaran spiritual dan di pihak lain, kehadiran surgawi;
seni suci dalam prinsipnya mempunyai fungsi yang benar-benar suci.”2
Dengan demikian seni tradisional Islam bukan sebuah seni kuno atau klasik

yang dibuat orang-orang sebelum masa modern. Tapi ia lebih merupakan sebuah prinsip

1
Seyyed Hossein Nasr. Tentang Tradisi dalam Perenialisme: Melacak Jejak Filsafat Abadi. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1996, hlm. 146-147.
2
Seyyed Hossein Nasr. Intelegensi dan Spiritualitas Agama-agama. Jakarta: Inisiasi Press, 2004, hlm.
289.

5
seni yang mendasarkan diri pada sebuah pandangan metafisis. Ia merupakan sebuah

media yang memanifestasikan sebuah pegangan hidup yang membawa manusia kembali

ke ftrahnya sebagai makhluk ciptaan Allah. Segala sesuatu yang wujud sebenarnya

adalah gema proses penciptaan yang dilakukan oleh Tuhan.

C. Fungsi Spiritual Seni Islam

Sebagai suluk atau perjalanan mendaki dari alam rendah (alam nasut) ke alam

tinggi (alam lahut), para sufi memberikan ungkapan estetik dalam sastra dan seni

mempunyai peranan atau fungsi karya seni diantaranya:

a. Fungsi Tawajjjud, yaitu membawa penikmat mencapai keadaan jiwa yang damai

(mutmainah) dan menyatu dengan keabadian dari Yang Abadi. Ini dikemukakan antara

lain oleh Imam al-Ghazali;

b. Fungsi Tajarrud, yaitu pembebasan jiwa dari alam benda melalui sesuatu yang berasal

dari alam benda itu sendiri. Misalnya suara, bunyi-bunyian, gambar, lukisan dan kata-

kata. Ini dikemukakan antara lain oleh Ruzbihan al-Baqli (abad ke-13 M).

c. Fungsi Tadzkiya al-nafs, yaitu penyucian diri dari pemberhalaan terhadap bentuk-

bentuk melalui bentuk-bentuk itu sendiri. Ini dinyatakan antara lain oleh Jalaluddin

Rumi, sebagaimana terekam dalam sajaknya yang telah dikutip;

d. Fungsi seni yang lain pula ialah untuk menyampaikan hikmah, yaitu kearifan yang

dapat meembantu kita bersikap adil dan benar terhadap tuhan, sesama manusia,

lingkungan sosial, alam tempat kita hidup dan diri kita sendiri. Banyak dikemukakan

para filsuf dan sastrawan seperti: Ibnu al-Muqaffa, al-Jahiz, Ibnu Sina, Abu A’la al-

Ma’arri, Abu al-Atahiyah dan Mulla Sa’adi;

e. Seni juga berfungsi sebagai sarana efektif menyebarkan gagasan, pengetahuan,

informasi yang berguna bagi kehidupan seperti pengetahuan dan informasi berkenaan

6
sejarah, geografi, hukum, undang-undang, adab, pemerintahan, politik, ekonomi dan

gagasan keagamaan. Para ilmuwan, ahli adab, ulama fiqih dan usuluddin, serta ahli

tasawuf berpegang pada pendapat ini;

f. Karya seni juga dicipta untuk menyampaikan puji-pujian kepada Yang Satu. 3

Sedangkan menurut The Liang Gie, sebuah karya seni setidaknya mengandung empat

fungsi, yaitu fungsi spiritual, fungsi hedonistik (kenikmatan atau kesenangan), fungsi

edukatif, dan fungsi komunikatif. Dengan fungsi-fungsi yang lebih lengkap, seni dapat

menjadi perlengkapan manusia yang bersifat abadi dan universal.4

Tidak berbeda dengan itu, menurut Husein Nasr, seni Islam juga mengandung

fungsi-fungsi tertentu. Pertama, untuk mengalirkan barakah dan kedamaian sebagai

akibat hubungan batinnya dengan dimensi spiritual. Tidak bisa diingkari bahwa seorang

Muslim yang paling modern atau sekuler sekalipun akan mengalami rasa damai dan

kegembiraan dalam lubuk hatinya, semacam ketenangan psikologis, ketika memandang

kaligrafi, duduk di atas karpet tradisional, mendengarkan dengan khusyuk bacaan

tilawah Al-Qur’an atau beribadah di salah satu karya besar arsitektur Islam.

3
Abdul Hadi W.M. Hermeneutika, Estetika dan Religiusitas: Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa.
Yogyakarta: Mahatari, 2004, hlm. 236-237.
4
The Liang Gie. Filsafat Seni. Yogyakarta: Pubib, 1996, hlm. 47-52.

7
KESIMPULAN
Seyyed Hossein Nasr adalah seorang cendekiawan Muslim terkemuka yang

telah banyak menulis tentang seni dan spiritualitas Islam. Pandangannya tentang seni

dan spiritualitas Islam didasarkan pada pemahaman mendalamnya tentang ajaran dan

tradisi Islam. Nasr menganggap seni sebagai sarana penting untuk mencapai

pemahaman dan pengalaman spiritual dalam konteks Islam. Baginya, seni tidak hanya

tentang keindahan fisik, tetapi juga tentang menyampaikan pesan spiritual yang

mendalam dan menginspirasi pemirsa. Dalam pandangannya, seni Islam harus

mencerminkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang ada dalam agama

Islam.

Nasr mengakui bahwa seni Islam memiliki karakteristik yang unik, seperti

penggunaan kaligrafi Arab dan hiasan geometris. Baginya, seni Islam bukan hanya

tentang bentuk dan estetika, tetapi juga tentang mencerminkan kehadiran Tuhan dan

memperdalam hubungan manusia dengan yang Maha Kuasa. Selain itu, Nasr

menekankan pentingnya keberlanjutan seni dan keterkaitannya dengan warisan spiritual

Islam. Dia berpendapat bahwa seni Islam tidak boleh dipisahkan dari konteksnya yang

religius dan budaya. Sebagai bentuk ekspresi spiritual, seni Islam memainkan peran

penting dalam membawa manusia lebih dekat kepada Tuhan dan mencerminkan

kesadaran akan keindahan dan kebenaran Ilahi.

Secara keseluruhan, pandangan Seyyed Hossein Nasr tentang seni dan

spiritualitas Islam menekankan pentingnya seni sebagai sarana untuk mencapai

pemahaman dan pengalaman spiritual yang lebih dalam, serta menghubungkan manusia

dengan nilai-nilai agama dan warisan budaya Islam.

8
DAFTAR PUSTAKA

Gie, The Liang. Filsafat Seni. Yogyakarta: Pubib, 1996.

Nasr, Seyyed Hossein. Tentang Tradisi dalam Perenialisme: Melacak Jejak Filsafat Abadi. Yogyakarta:

Tiara Wacana, 1996.

Nasr, Seyyed Hossein. Intelegensi dan Spiritualitas Agama-agama. Jakarta: Inisiasi Press, 2004.

W.M, Abdul Hadi. Hermeneutika, Estetika dan Religiusitas: Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa.

Yogyakarta: Mahatari, 2004.

Anda mungkin juga menyukai