Islam Periode Modern
Islam Periode Modern
1. Ajaran Islam bukan hanya mementingkan kesejahteraan hidup di akhirat belaka, tetapi
juga hidup di dunia.
2. Kekuasaan raja yang cenderung absolut harus dibatasi dengan syariat. Oleh karena itu,
raja harus bermusyawarah dengan ulama dan kaum intelektual.
3. Syariat harus diartikan sesuai dengan perkembangan modern.
4. Para ulama harus mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan modern agar syariat dapat
tegak di tengah kehidupan masyarakat modern.
5. Pendidikan harus bersifat universal, misalnya wanita harus memperoleh pendidikan yang
sama dengan kaum pria. Istri harus menjadi teman dalam kehidupan intelektual dan
sosial.
6. Umat Islam harus dinamis dan meninggalkan sifat statisnya.
1. Kemunduran umat Islam tidak disebabkan karena Islamnya. Kemunduran itu disebabkan
oleh berbagai faktor yang terdapat dalam diri umat Islam sendiri.
2. Untuk mengembalikan kejayaan Islam di masa lalu dan sekaligus menghadapi dunia
modern, maka umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang murni. Islam juga
harus dipahami dengan akal serta kebebasan berpikir.
3. Corak pemerintahan otokrasi dan absolut harus diganti dengan pemerintahan demokratis.
Kepala negara harus bermusyawarah dengan pemuka masyarakat yang berpengalaman.
4. Tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Rasa solidaritas antarumat Islam (Pan
Islamisme) harus dihidupkan kembali di dunia Islam.
1. Pintu ijtihad masih terbuka lebar bagi umat Islam. Ijtihad merupakan dasar penting
dalam menafsirkan kembali ajaran Islam.
2. Islam adalah ajaran rasional yang sejalan dengan akal. Dengan akal, maka ilmu
pengetahuan menjadi maju.
3. Kekuasaan negara harus dibatasi oleh konstitusi yang dibuat oleh negara yang
bersangkutan.
1. Di tengah kehidupan umat Islam harus ditumbuhkan sikap aktif dan dinamis.
2. Umat Islam harus meninggalkan sikap dan pemikiran kaum fatalis, Jabariyah (yaitu
kaum yang hanya pasrah pada keadaan).
3. Akal dapat dipergunakan untuk menafsirkan ayat dan hadis tanpa meninggalkan prinsip
umumnya.
4. Umat Islam harus menguasai sains dan teknologi untuk mencapai kemajuan.
5. Kemunduran umat Islam disebabkan karena ada banyak unsur ajaran bukan Islam yang
sudah masuk terlalu jauh ke dalam ajaran Islam, sehingga ajaran Islam di tengah
kehidupan umat Islam tidak murni lagi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemurnian
ajaran Islam di tengah kehidupan umat Islam.
ide pembaharuan di india dan Pakistan pertama kali di cetuskan oleh syekh Waliyulloh
pada abad ke 18 .kemudian di teruskan oleh anaknya syekh Abdul Aziz (1746-1823)dan di
kembangkan oleh syekh Waliyulloh dan Sayid Ahmad Syahid.
Kebudayaan adalah hasil cipta dan karsa dari manusia untuk manusia itu sendiri dari masa ke
masa kebudayaan semakin berkembang. termasuk didalamnya perkembangan budaya islam
yang meliputi arsitektur, sastra, dan kaligrafi.
Masa modern dalam sejarah islam di kategorikan bermula dari tahun 1800 M dan berlangsung
pada masa sekarang yang di tandai dengan gerakan pembaruan dalam berbagai bidang. Saat
islam mengalami kemunduran, bangsa Eropa justru mengalami kemajuan luar biasa dalam
lapangan kebudayaan, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi, Oleh karena itu, pada periode
ini kondisi dunia islam berada di bawah pengaruh kolonialisme dan imperialisme Eropa tersebut.
Dalam perjalanan sejarah, baru pada pertengahan abad 20 M, dunia islam bangkit
memerdekakan negerinya dari penjajahan. Periode ini memang merupakan zaman kebangkitan
kembali islam setelah mengalami kemunduran di periode pertengahan. Adapun inspirasi
kebangkitan di mulai pada saat Napoleon Bonaparte menduduki Mesir di tahun 1798 M.
Meskipun penduduk tersebut tidak berlangsung lama, tetapi hal itu meninggalkan kesan yang
mendalam pada diri umat islam tentang kemajuan Eropa dan ketinggalan peradaban kaum
muslim. Kesadaran inilah yang kemudian berubah menjadi berubah menjadi sebuah upaya dan
agenda besar umat islam di abad modern ini guna melakukan pembaruan dan modernisasi.
Bahkan, gerakan kebangkitan Islam tidak bisa hanya dihubungkan dengan pemikiran para
pionir aktivis yang terorganisir an sich, melainkan harus pula melihat kecenderungan-
kecenderungan pemikiran yang lain. Fenomena sosial yang luas dan kesadaran membaja untuk
memisahkan diri dari gaya hidup Eropa dan kembali ke pangkuan Islam telah mendorong umat
untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam realitas kehidupan.
Persoalan kebangkitan tidak terbatas pada gerakan kebangsaan, sebab disetujui atau tidak,
sistem pemerintahan pun ikut memainkan peran tertentu dalam konteks kebangkitan. Peran
tersebut tampak pada perilaku politik, apalagi dalam dunia pers dan pendidikan hukum, serta
terutama dalam upaya menerapkan syariat Islam. Dapat ditarik suatu hipotesis bahwa
kebangkitan Islam telah menjadi kekuatan sejarah yang sempurna.
Kebangkitan Islam menimbulkan berbagai pengaruh bagi Dunia Arab. Kebangkitan merupakan
respon terhadap berbagai tantangan dan bekerja sama dengan kekuatan sejarah lain yang
bergerak di negeri-negeri lain. Dalam pengertian, kebangkitan Islam tidak hanya bergumul
dengan ideal-ideal Islam saja, melainkan juga dengan realitas serta berbagai aliran dan paham.
Karenanya, kita terkadang masih perlu mengembalikan wacana tentang kebangkitan Islam
kepada akar-akar pemikiran Arab secara keseluruhan. Ini karena esensi kebangkitan tidak dapat
dipahami tanpa mengembalikannya kepada akar-akar ini.
Penyertaan Qatar dalam pembahasan ini hanyalah sebagai negara yang mewakili tipe
pemerintahan dalam masyarakat yang mempertahankan eksistensi keeropaan dan keislaman
menuju satu kesatuan yang melampaui batas-batas geografis. Oleh karenanya, pembahasan ini
terkadang tertuju kepada fanatisme nasional yang mengarah pada pemeliharaan negeri Qatar.
Bila kita berbicara mengenai kebangkitan sistem pemerintahan negara-negara Arab, maka
sebaiknya kita mengingat bahwa masalah integrasi atau disintegrasi tidak dapat
dikesampingkan. Meskipun secara teoretis, yang dijadikan objek kajian adalah nilai-nilai Qatar
dan keintegrasiannya, namun situasi yang diamati adalah dampak kemerdekaan masyarakat
Qatar dan integrasi dengan nilai-nilai Islam. Dampak langsung dari integrasi adalah
tenggelamnya sistem lama di Qatar dan menangnya sistem lain. Kita akan mencermati contoh
tersebut pada pembahasan mendatang.
Negara-negara Arab tidaklah terputus dari lingkungan sekitarnya. Demikian pula kebangkitan
Islam tidak hanya mengakar di bumi Arab. Islam merupakan agama mayoritas masyarakat
Arab, Afrika, dan Asia. Dalam perspektif historis, gerakan-gerakan Islam saling berhubungan
dan mempengaruhi satu sama lain.
Dewasa ini, kebangkitan Islam merupakan fenomena internasional dengan berbagai macam
topik diskursus yang menantang. Hal ini disebabkan oleh eksistensi Islam yang mencoba
merespon situasi yang dihadapi dunia, yaitu: imperialisme politik, serangan kebudayaan Barat,
kegagalan sistem sekular yang ditinggalkan kaum imperialis kepada negeri-negeri Islam, dan
revolusi kebangkitan Islam dalam bentuk revolusi hubungan elite. Kebangkitan Islam-Arab
bekerja sama secara revolusioner dan intelektual dengan kebangkitan-kebangkitan di berbagai
tempat dan situasi. Realitas Dunia Arab berhubungan dengan realitas Dunia Islam dan
internasional. Berbagai kendala dan situasi kebangkitan Islam tak dapat dipahami tanpa
menyinggung dimensi internasional.
Islam menyatukan antara ideal-ideal absolut dan realitas nisbi. Ideal-ideal ini diabstraksikan
dalam ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin syariah. Realitas merupakan kejadian-kejadian
material dan situasional yang melingkupi kehidupan manusia. Sedangkan keberagamaan adalah
kepercayaan psikis terhadap doktrin-doktrin kebenaran yang absolut, dan usaha kesejarahan
merupakan upaya mendekatkan realitas dengan doktrin-doktrin, mengkontekstualkan iman
dalam bentuk realitas yang paling ideal, dan selanjutnya berusaha terus menerus
mengembangkan keagamaan menuju titik kesempurnaan ideal.
Bentuk negara Islam yang pertama dalam sejarah adalah negara Madinah yang dipandu oleh
Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk keperluan pertumbuhan regional, Rasulullah saw.
menggariskan aturan-aturan regional. Al-Qur'an pun menetapkan pada akhir surat al-Anfal
mengenai batasan-batasan loyalitas masyarakat yang terdiri atas penduduk asli dan imigran
agar saling menjaga dan membantu.
Negara Madinah merupakan realitas regional yang berwawasan internasional. Negara ini telah
melampaui realitas zamannya, sebab penduduknya percaya bahwa mereka merupakan bagian
dari mata rantai umat Islam sebelumnya yang dipimpin para Rasul. Secara psikis, Madinah pun
telah melampaui realitas regionalnya, sebab penduduknya telah terlibat aktif dalam konflik
internasional dengan Persia dan Romawi, khususnya dalam konflik ekonomi, politik, dan
agama. Negara Madinah dengan kondisinya tersebut kemudian mengokohkan Dunia Arab dan
seluruh umat manusia di sana sebagai basis dan alat integrasi. Hal itu dikarenakan Arab
mempunyai misi samawi.
Negara ideal berikutnya adalah Khilafah Rasyidah. Dalam sistem ini, penguasa menjadi pusat
dan dorongan umum berangkat dari pusat kekuasaan. Dakwah dijalankan secara luar biasa
hingga terbentuklah wilayah-wilayah baru yang berjauhan dan dihuni oleh masyarakat yang
plural. Dipergunakanlah ungkapan-ungkapan politik syar'i yang sebagian kembali kepada masa
kenabian. Negara-negara Arab merupakan dasar pembagian wilayah pemerintahan umum,
peradilan, dan distribusi kekayaan. Dalam potret semacam ini, kesatuan kepemimpinan
khilafah dijalankan tanpa pembagian kekuasaan. Di samping itu, terdapat kesatuan geografis
Islam yang semula tidak mengenal kendala-kendala internal.
Meski terjadi perpecahan di kalangan penguasa serta fanatisme wilayah, etnis, dan golongan --
setelah terjadi sistem pewarisan khilafah-- namun pola umum negara masih tetap berpedoman
pada sistem kesatuan (integrasi). Para fuqaha yang juga merupakan para pemimpin bangsa dan
idola masyarakat. Meskipun bersikap wajar terhadap para pemberontak, tetapi mereka tetap
mentolerir pembagian wilayah dan upaya integrasi. Sedangkan dalam hal pemikiran, mereka
mengakui eksistensi mazhab-mazhab dan kebebasan mengikutinya.
Pola ini berjalinan dengan faktor-faktor pengimbang yang ditemakan oleh masyarakat muslim
dalam keluasan dan kecepatan ekspansinya untuk mewadahi pluralitas masyarakat dan
kebudayaan. Ketika kondisi tersebut tidak diimbangi dengan usaha-usaha integrasi, maka
khalifah pada gilirannya hanya menjadi simbol dan hanya mampu bertahan ketika kekuatan
pusat pemerintahan semakin menurun. Sehingga kondisi kritis mulai terjadi, fanatisme
kelompok bermunculan, dan wilayah-wilayah lain beroposisi untuk membangun pola baru
dalam realitas politik umat Islam.
Pola yang meniscayakan Dunia Islam hingga saat ini adalah satu bentuk pemerintahan dengan
kesatuan umat (integrasi) dan meninggalkan kesatuan politik karena tersebar luasnya negara-
negara Islam. Sebagian negara Islam mengalami perkembangan karena kemampuannya
membuka diri untuk menyelesaikan masalah-masalah yang yang ditimbulkan akibat letak
wilayah yang jauh dari pusat.
Ketika Islam tidak lagi difungsikan sebagai pengikat hati antar umat, dihapuskannya syariat,
dan penjajahan imperialis, maka negara-negara Arab pun terpecah belah. Tak ada yang tersisa
dari wilayah Islam kecuali hanya persaudaraan dalam jiwa kaum muslimin, kegetiran masa
lampau, dan mimpi masa depan.
Mayoritas masyarakat Eropa berada di bawah pengaruh Kristen selama lebih dari sepuluh abad.
Menurut mereka, kondisi tersebut merupakan contoh ideal tentang nasionalisme dan peradaban
bagi dunia internasional. Dalam pandangan mereka, contoh ideal tersebut berupa kebesaran
imperium dan hubungan harmonis dalam hak milik nasional dan negara-negara Eropa.
Kemudian nasionalisme mulai memberi kekhususan kepada para raja. Negara-negara kawasan
ini semakin kokoh menuju terbentuknya Eropa modern.
Kehancuran sistem internasional lama telah memicu lahirnya teori-teori kekuasaan yang
memberi penekanan pada dominasi absolut dalam batas-batas regional seperti teori
Machiavelli. Dominasi ini tampak jelas pada propaganda-propaganda imperium, Paus, dan
kaum feodal. Teori-teori sosial itu mengokohkan dominasi raja dan para penguasa secara
absolut.
Kemudian pemikiran politik mulai berkembang dan menyuarakan dominasi bangsa dan ide
liberalisme demi keuntungan individu (yang diprakarsai John Locke, para pakar psikologi
sesudahnya, dan kelompok radikal), kelompok-kelompok reformasi cita-cita umum (teori
Rousseau), pelestarian sejarah masyarakat (teori Hegel), dan komunisme-materialisme (teori
Karl Marx).
Nasionalisme telah menguatkan posisi negara yang mengambil bentuk politik, ekonomi, dan
solidaritas sebagai pengisi kekosongan agama. Tumbuhlah perasaan khusus nasionalisme serta
kekhususan bahasa dan tata bahasanya. Sejarah nasionalisme bergerak melemahkan
kekhususan-kekhususan tersebut dengan berbagai utopia dan data. Nasionalisme
membanggakan hal tersebut. Isme ini tumbuh di benua Eropa dan Amerika.
Meskipun dominasi nasionalisme di Eropa membawa pertumbuhan material, namun akhirnya
Eropa merasa gamang terhadap penyimpangan pola negara semacam ini. Mungkin kegamangan
tersebut merupakan dampak tradisi kebudayaan yang plural, perkembangan teori kemanusiaan,
berbagai konflik nasional, dan terbatasnya ekspansi Eropa. Maka berdirilah sistem negara-
negara Eropa di atas kaidah undang-undang negara. Negara-negara ini mempunyai kawasan
yang terbatas, namun tenggelam dalam konflik pada masalah-masalah yang telah disepakati
kaum muslimin di kawasan Daulah Islamiah.
Kawasan negara-negara Arab telah keluar dari kekuasaan administratif kekhalifahan Utsmani.
Pada umumnya, negara-negara tersebut memisahkan diri karena pengaruh kemerdekaan politik
negara-negara imperialis. Pemisahan perdana merupakan sarana munculnya nasionalisme Arab,
sebab hal itu merupakan bentuk pemerdekaan dari ikatan keagamaan dan beralih menjadi
nasionalisme. Fenomena tersebut tidak persis sama dengan yang terjadi di Eropa, sebab ia
bukan hasil perkembangan teoretis dan material sebagaimana yang terjadi di Eropa.
Nasionalisme Eropa merupakan produk yang terkait dengan eksperimen dan faktor-faktor
Eropa.
Eksperimen yang pernah dilakukan orang-orang Islam dan mayoritas orang-orang Nasrani Arab
berbeda dengan yang terjadi dalam sejarah Eropa. Masyarakat Barat meyakini eksperimen
Eropa sebagai eksperimen murni dan memandang dirinya sebagai pusat kebangkitan dan
contoh ideal pencerahan umat manusia.
Padahal yang harus diketahui adalah bagaimana strategi Eropa dalam menghadapi kekhilafahan
Utsmani di medan perang dan kepiawaian memanfaatkan propaganda, hubungan politik, dan
diplomasi demi keuntungan mereka. Selain itu, terjadi perang intelektual antar keduanya.
Walaupun sebenarnya persatuan umat Islam dalam kekhalifahan Utsmani masih terasa, tetapi
tidak mencapai prestasi nasionalisme Eropa karena perbedaan perkembangan sejarah masing-
masing.
Sekiranya Arab keluar dari kekuasaan Utsmani dan berdiri di atas landasan nasionalisme, tentu
ia tidak mampu. Malah sebagai ganti penguasaan kekhilafahan Utsmani, berdirilah
imperialisme di Dunia Arab. Akhirnya imperialisme membagi-bagi pengaruh dan batas-batas
wilayah Arab berdasarkan realitas regional historis masing-masing wilayah yang sebelumnya
bersatu. Imperialisme telah mengokohkan status pembagian tersebut untuk menarik keuntungan
jangka pendek dan panjang, apalagi mereka bermaksud melapangkan jalan bagi kehadiran
Zionisme di tengah-tengah Dunia Arab dan memutuskan hubungan Arab dengan Dunia Islam.
Peran Islam dikenal pula dalam perjuangan nasional di luar negara-negara Arab, termasuk di
negara-negara Asia seperti Iran, Afganistan, dan Pakistan. Peran ini tampak pada syiar yang
ditonjolkan pasca-kemerdekaan. Akan tetapi, meski masyarakat muslim berkuah darah dalam
perjuangan nasional, tetapi yang menikmati kue kemerdekaan adalah para nasionalis,
sedangkan orang-orang Islam hanya menjadi penonton. Peran yang dilakoni dalam perjuangan
kini tinggal kenangan. Itulah sebabnya, Islam tidak berperan lagi dalam mempengaruhi proses
integrasi negara-negara Arab yang mandiri.
Sebagian negara Teluk Arab selamat dari sekularisasi. Negara-negara tersebut tidak mungkin
berdiri dengan batas-batasnya sendiri kecuali dengan desakan imperialisme atau situasi sejarah.
Disusun Oleh :