Anda di halaman 1dari 11

Tokoh Tokoh Pembaruan Islam Pada Masa Modern di Mesir

a. Muhammad Ali Pasya (1765 – 1849 M) 


Muhammad Ali Pasya lahir di Kawala, Yunani, tahun 1765 dan meninggal di Mesir pada tahun
1849. Ia adalah seorang keturunan Turki. Sebagai seorang raja, Muhammad Ali
memprioritaskan bidang militer. Ia berpandangan bahwa kekuasaannya hanya dapat
dipertahankan dan diperbesar dengan kekuatan militer. Untuk menopang kekuatan militer, maka
ia membangun kekuatan ekonomi. Ia berpendapat bahwa di balik kekuatan militer pasti ada
kekuatan ekonomi sebagai penyedia biayanya. Untuk membangun kekuatan militer dan
kekuatan ekonomi, ilmu-ilmu modern diperlukan sebagaimana telah dikenal orang di eropa. 
Selain pemikiran tersebut, ide dan gagasan Muhammad Ali Pasya yang dinilai inovatif pada
zamannya adalah mendirikan sekolah-sekolah modern. 
Muhammad Ali Pasya memasukkan ilmu-ilmu modern dan sains ke dalam kurikulum di
sekolah-sekolah yang ia dirikan. Sekolah- sekolah inilah yang kemudian dikenal sebagai sekolah
modern di Mesir pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
Ketika Muhammad Ali Pasya memperkenalkan pendidikan sistem modern, masyarakat Mesir
saat itu masih menggunakan sistem pendidikan tradisional yaitu kuttab, masjid, madrasah, dan
Jami’ Al-Azhar (Universitas Al-Azhar). Ilmu-ilmu yang dikembangkan di lembaga-lembaga
tradisional ini hanya “ilmu keagamaan saja”, seperti tafsir, hadis, fiqh, dan ilmu tauhid. 
Muhammad Ali Pasya melihat bahwa lembaga-lembaga pendidikan tradisional yang sudah ada
tentu sulit menerima kurikulum modern ke dalam lembaganya. Oleh karena itu, ia tidak
mengubah lembaga pendidikan tradisional yang sudah ada, tetapi menempuh jalan alternatif
mendirikan sekolah modern sendiri. Ide dan tindakan yang ditempuh Muhammad Ali Pasya ini
menunjukkan adanya kemajuan di zamannya. Ia berani berbeda dengan merealisasikan pikiran
strategisnya untuk kemajuan umat Islam.
 

b. Rifa’ah Baidawi Rafi’ Al-Tahtawi (1801-1873 M). 


Tokoh ini sering dikenal dengan sebutan Al - Tahtawi. Ia lahir pada tahun 1801 di Tahta, suatu
kota yang terletak di Mesir bagian selatan dan meninggal di Kairo pada tahun 1873. Al-Tahtawi
mulai belajar di Universitas Al-Azhar Kairo ketika usianya 16 tahun. 
Ia menyelesaikan studi di Al-Azhar pada tahun 1822 dalam waktu lima tahun. 
Beberapa pemikiran tentang pembaruan Islam yang diusungnya adalah sebagai berikut: 

1. Ajaran Islam bukan hanya mementingkan kesejahteraan hidup di akhirat belaka, tetapi
juga hidup di dunia. 
2. Kekuasaan raja yang cenderung absolut harus dibatasi dengan syariat. Oleh karena itu,
raja harus bermusyawarah dengan ulama dan kaum intelektual. 
3. Syariat harus diartikan sesuai dengan perkembangan modern. 
4. Para ulama harus mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan modern agar syariat dapat
tegak di tengah kehidupan masyarakat modern. 
5. Pendidikan harus bersifat universal, misalnya wanita harus memperoleh pendidikan yang
sama dengan kaum pria. Istri harus menjadi teman dalam kehidupan intelektual dan
sosial.
6. Umat Islam harus dinamis dan meninggalkan sifat statisnya.

c. Jamaludin Al-Afghani (1839-1897 M). 


Jamaludin lahir di Afghanistan pada tahun 1839 dan meninggal dunia di Istanbul tahun 1897.
Pada usia 22 tahun, ia telah menjadi pembantu bagi Pangeran Dost Muhammad Khan di
Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasehat Sir Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia
diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi Perdana Menteri. 
Pada saat ia menjadi perdana Menteri, penguasa Inggris telah mulai mencampuri soal politik
dalam negeri Afghanistan. Ketika pergolakan terjadi di Afganistan, maka Al-Afghani memilih
untuk melawan golongan yang disokong oleh Inggris. Dalam pergolakan itu, pihak Al-Afghani
kalah maka ia merasa lebih aman meninggalkan tanah tempat kelahirnya dan akhirnya
menempuh perjalanan ke Mesir. 
Beberapa pemikiran Jamaludin AlAfghani tentang pembaruan Islam adalah sebagai berikut: 

1. Kemunduran umat Islam tidak disebabkan karena Islamnya. Kemunduran itu disebabkan
oleh berbagai faktor yang terdapat dalam diri umat Islam sendiri. 

2. Untuk mengembalikan kejayaan Islam di masa lalu dan sekaligus menghadapi dunia
modern, maka umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang murni. Islam juga
harus dipahami dengan akal serta kebebasan berpikir. 

3. Corak pemerintahan otokrasi dan absolut harus diganti dengan pemerintahan demokratis.
Kepala negara harus bermusyawarah dengan pemuka masyarakat yang berpengalaman. 

4. Tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Rasa solidaritas antarumat Islam (Pan
Islamisme) harus dihidupkan kembali di dunia Islam.

d. Muhammad Abduh (1849 – 1905 M). 


Muhammad Abduh dilahirkan di daerah Mesir hilir pada tahun 1849. dan wafat tanggal 11 Juli
1905. Ketika kecil, Muhammad Abduh belajar di rumah. Ia melanjutkan belajar al-Qur’an
hingga hafal dalam waktu dua tahun. Ia kemudian meneruskan studinya ke Universitas AlAzhar.
Di lembaga inilah Abduh untuk pertama kalinya bertemu dengan Jamaludin Al-Afghani yang
datang ke Mesir dalam perjalanannya ke Istanbul. Dalam pertemuan itu, Jamaludin Al-Afghani
mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai arti beberapa ayat al-Qur’an, kemudian Al-
Afghani memberikan tafsirannya.
Perjumpaan itu menorehkan kesan yang baik dalam diri Muhammad Abduh. Ketika Jamaludin
Al-Afghani datang ke Mesir lagi untuk menetap di tahun 1871, Muhammad Abduh menjadi
muridnya yang setia. Ia mulai belajar filsafat di bawah pimpinan Jamaludin Al-Afghani. Di
masa ini ia telah mulai menulis karangan-karangan untuk harian Al-Ahram. 
Studi Abduh di Al-Azhar selesai pada tahun 1877 dengan mendapat gelar Alim. Setelah itu, ia
mulai mengajar, pertama di Al-Azhar, kemudian di Dar Al- Ulum dan di rumahnya sendiri. Di
antara sumber bahan ajarnya adalah buku akhlak karangan Ibn Miskawaih, 
Mukaddimah karya Ibn Khaldun dan Sejarah Kebudayaan ropa karangan Guizot. Ketiga buku
terebut diterjemahkan Al-Tahtawi ke dalam bahasa Arab di tahun 1857. 
 
Adapun ide-ide pembaruan Muhammad Abduh yang membawa dampak positif bagi
pengembangan pemikiran Islam sebagai berikut. 

1. Pintu ijtihad masih terbuka lebar bagi umat Islam. Ijtihad merupakan dasar penting
dalam menafsirkan kembali ajaran Islam. 
2. Islam adalah ajaran rasional yang sejalan dengan akal. Dengan akal, maka ilmu
pengetahuan menjadi maju. 
3. Kekuasaan negara harus dibatasi oleh konstitusi yang dibuat oleh negara yang
bersangkutan.

e. Muhammad Rasyid Rida (1865 – 1935 M). 


Muhammad Rasyid Rida adalah murid Muhammad Abduh yang paling dekat. Ia lahir pada
tahun 1865 di Al- Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli
(Syria). Semasa kecil, ia dimasukkan ke madrasah tradisional di Al-Qalamun untuk belajar
menulis, berhitung, dan membaca al-Qur’an. Pada tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di
Madrasah Al-Wataniah Al-Islamiyah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Di madrasah ini,
selain diajarkan bahasa Arab, Turki dan Perancis, juga diajarkan pengetahuan-pengetahuan
agama dan pengetahuan-pengetahuan modern.
Meskipun Muhammad Rasyid Rida sudah belajar kepada guru-guru sebelumnya.Dalam
perjalanan pemikirannya, ia banyak dipengaruhi juga oleh ide-ide Jamaluddin Al-Afghani dan
Muhammad Abduh melalui majalah Al-rwah Al-u£qa. Ia berniat untuk menggabungkan diri
dengan Al-Afghani di Istanbul, tetapi niat itu tidak terwujud. 
Sewaktu Muhammad Abduh berada dalam pembuangan di Beirut, Muhammad Rasyid Rida
mendapat kesempatan untuk berjumpa dan berdialog dengan murid Al-Afghani ini. Dialog-
dialog ilmiah itu meninggalkan kesan yang baik dalam diri 
Muhammad Rasyid Rida. Muhammad Rasyid Rida mulai menjalankan ide-ide pembaruan ketika
masih berada di Syria. Usaha-usaha itu mendapat tantangan dari pihak Kerajaan Usmani. Ketika
masih berada di Syria, ia merasa terikat dan tidak bebas. Akhirnya, ia berketetapan hati untuk
pindah ke Mesir agar dapat dekat dengan Muhammad Abduh. Muhammad Rasyid Rida tiba di
Mesir pada bulan Januari 1898. 
Beberapa bulan kemudian Muhammad Rasyid Rida mulai menerbitkan majalah yang termasyhur
berjudul Al-Manar. Isi majalah ini banyak diilhami oleh pemikiran Muhammad Abduh. Pada
edisi nomor pertama dijelaskan bahwa tujuan Al-Manar sama dengan tujuan Al-rwah Alu£qa.
Tujuan tersebut antara lain mengadakan pembaruan dalam bidang agama, sosial, dan ekonomi.
Tujuan kedua majalah tersebut yaitu memurnikan tauhid umat Islam dari unsur-unsur ajaran
yang bukan Islam, menghilangkan paham fatalisme yang bersarang di tengah kehidupan umat
Islam, meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat Islam dari permainan politik negara-
negara Barat. 
 
Beberapa pemikiran Rasyid Rida tentang pembaruan Islam adalah sebagai berikut: 

1. Di tengah kehidupan umat Islam harus ditumbuhkan sikap aktif dan dinamis. 
2. Umat Islam harus meninggalkan sikap dan pemikiran kaum fatalis, Jabariyah (yaitu
kaum yang hanya pasrah pada keadaan). 
3. Akal dapat dipergunakan untuk menafsirkan ayat dan hadis tanpa meninggalkan prinsip
umumnya. 
4. Umat Islam harus menguasai sains dan teknologi untuk mencapai kemajuan. 
5. Kemunduran umat Islam disebabkan karena ada banyak unsur ajaran bukan Islam yang
sudah masuk terlalu jauh ke dalam ajaran Islam, sehingga ajaran Islam di tengah
kehidupan umat Islam tidak murni lagi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemurnian
ajaran Islam di tengah kehidupan umat Islam.

JENIS PEMBARUAN ISLAM


1. Pemurnian ajaran Islam dari syirik Takhayul, Bid’ah, khurafat, animisme, kembali kepada al
Qu’an dan Hadist.
2. Menghargai akal
3. Pembuakaan ijtihad
4. Manolak taklid
5. Persatuan umat islam/ ukhuwah islamiyah
6. Penolakan paham fatalisme

MENELAAH PERKEMBANGAN ISLAM PERIODE MODERN


Islam telah ada sejak zaman kenabian, sejak itu islam berkembang hingga saat ini. Namun
perkembangan islam tidak semudah apa yang dilihat seperti saat ini, ajaran islam pernah
mengalami kemunduran hingga akhrirnya dapat berjaya hingga saat ini.
Periode setelah 100 Masehi bisa dikatakan sebagai islam modern, termasuk didalamnya saat ini.
Dimasa banyak perkembangan dalam kehidupan islam, meliputi pendidikan, politik,
perdagangan dan kebdayaan, dan seluruh perkembangan islam dirangkum dalam sejarah islam
tersebut sejarah islam tersebut terbagi menjai 3 periode, yakni pertama disebut dengan periode
klasik (650-1250 M). Periode kedua disebut periode pertengahan (1250-1800 M). Periode ketiga
adalah periode modern pada (1800 M sampai dengan sekarang) MODER.
Perkembangan Islam Modern

1.Ilmu pengetahuan di india

         ide pembaharuan di india  dan Pakistan  pertama kali di cetuskan oleh  syekh Waliyulloh 
pada abad ke 18 .kemudian di teruskan oleh anaknya  syekh Abdul Aziz (1746-1823)dan di
kembangkan oleh syekh Waliyulloh dan Sayid Ahmad Syahid. 

2.ilmu pengetahuan  di mesir

         pembaharuan di mesir di ilhami dari pembaharuan yang dilakukan Sayid Jamaludin al


Afghani di Turkisehingga muncul tokoh-tokoh  pembaharu di mesir seperti Muh. Abduh, Muh.
Rasyid Ridha, Tooha Husein ,san  Yusuf Al Qardawi.

3.ilmu pengetahuan di turki   

      Sultan Mahmud II dari kesultanan turki (1785-1839) mengadakan pembaharuan, antara lain


memasukan kurikulum  ilmu pengetahuan  ke dalam lembaga pendidikan islam, mendirikan
lembaga pendidikan “Maktebi Ma’arif”. Di samping itu ,sultan Mahmud IImendirikan
perguruan-perguruan tinggi  di bidang kedokteran, militer, dan teknologi.

4.perkembangan di bidang budaya

     Kebudayaan adalah hasil cipta  dan karsa dari manusia untuk manusia itu sendiri dari masa ke
masa  kebudayaan semakin berkembang. termasuk didalamnya  perkembangan budaya islam 
yang meliputi arsitektur, sastra, dan kaligrafi.

Masa modern dalam sejarah islam di kategorikan bermula dari tahun 1800 M dan berlangsung
pada masa sekarang yang di tandai dengan gerakan pembaruan dalam berbagai bidang. Saat
islam mengalami kemunduran, bangsa Eropa justru mengalami kemajuan luar biasa dalam
lapangan kebudayaan, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi, Oleh karena itu, pada periode
ini kondisi dunia islam berada di bawah pengaruh kolonialisme dan imperialisme Eropa tersebut.

Dalam perjalanan sejarah, baru pada pertengahan abad 20 M, dunia islam bangkit
memerdekakan negerinya dari penjajahan. Periode ini memang merupakan zaman kebangkitan
kembali islam setelah mengalami kemunduran di periode pertengahan. Adapun inspirasi
kebangkitan di mulai pada saat Napoleon Bonaparte menduduki Mesir di tahun 1798 M.
Meskipun penduduk tersebut tidak berlangsung lama, tetapi hal itu meninggalkan kesan yang
mendalam pada diri umat islam tentang kemajuan Eropa dan ketinggalan peradaban kaum
muslim. Kesadaran inilah yang kemudian berubah menjadi berubah menjadi sebuah upaya dan
agenda besar umat islam di abad modern ini guna melakukan pembaruan dan modernisasi.

BANGKITNYA PERJUANGAN ISLAM

Kebangkitan Islam merupakan fenomena sejarah nasional yang menumbuhkan kembali


semangat iman, stagnasi pemikiran dan fikih, serta gerakan (harakah) dan jihad. Kebangkitan
ini juga membawa ujian-ujian bagi umat Islam sehingga mendorong mereka mencari sebab-
sebab kejatuhan dan kehinaan yang menimpa. Beranjak dari kesadaran ini, mereka menemukan
kesadaran baru, yaitu: menghidupkan iman, mengaktifkan pemikiran, dan menggairahkan
gerakan Islam. Dalam hal ini, Al-Qur'an telah mengisyaratkan melalui kisah perjalanan Bani
Israil (awal surat al-Israa') dan Al-Hadits yang menjelaskan tentang lahirnya pembaharu setiap
satu abad. Sejarah Islam pun membuktikan isyarat ini.
Kebangkitan yang sedang kita perbincangkan ini merupakan fase kesadaran baru yang sedang
marak di Dunia Arab Islam pasca fase kehinaan akibat kolonialisme. Kebangkitan Islam mulai
muncul menjelang Perang Dunia II pecah dan semakin kokoh pada era sesudahnya hingga
mencapai momentum perkembangan yang paling spektakuler sejak akhir dasawarsa 1970-an.

Kebangkitan ini semakin mengakar dalam organisasi-organisasi Islam yang membawa


kesadaran baru. Berdirilah misi-misi Islam yang mengembalikan kepercayaan mengenai
kebenaran Islam dan kebesaran sejarahnya. Kebangkitan Islam mengambil bentuk aktivitas
sosial yang mendidik generasi muda, memakmurkan masjid, dan membersihkan sifat-sifat
tercela. Selain itu, kebangkitan Islam bergerak dalam bidang politik untuk menempatkan Islam
dalam politik dan jihad. Mungkin sebagian besar perhatian ditujukan kepada al-Ikhwan al-
Muslimun dan Jihad Islam, namun sebenarnya kebangkitan ini digerakkan oleh banyak
organisasi Islam, meskipun tidak seluruhnya menarik untuk diperbincangkan.

Bahkan, gerakan kebangkitan Islam tidak bisa hanya dihubungkan dengan pemikiran para
pionir aktivis yang terorganisir an sich, melainkan harus pula melihat kecenderungan-
kecenderungan pemikiran yang lain. Fenomena sosial yang luas dan kesadaran membaja untuk
memisahkan diri dari gaya hidup Eropa dan kembali ke pangkuan Islam telah mendorong umat
untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam realitas kehidupan.

Persoalan kebangkitan tidak terbatas pada gerakan kebangsaan, sebab disetujui atau tidak,
sistem pemerintahan pun ikut memainkan peran tertentu dalam konteks kebangkitan. Peran
tersebut tampak pada perilaku politik, apalagi dalam dunia pers dan pendidikan hukum, serta
terutama dalam upaya menerapkan syariat Islam. Dapat ditarik suatu hipotesis bahwa
kebangkitan Islam telah menjadi kekuatan sejarah yang sempurna.

Kebangkitan Islam menimbulkan berbagai pengaruh bagi Dunia Arab. Kebangkitan merupakan
respon terhadap berbagai tantangan dan bekerja sama dengan kekuatan sejarah lain yang
bergerak di negeri-negeri lain. Dalam pengertian, kebangkitan Islam tidak hanya bergumul
dengan ideal-ideal Islam saja, melainkan juga dengan realitas serta berbagai aliran dan paham.
Karenanya, kita terkadang masih perlu mengembalikan wacana tentang kebangkitan Islam
kepada akar-akar pemikiran Arab secara keseluruhan. Ini karena esensi kebangkitan tidak dapat
dipahami tanpa mengembalikannya kepada akar-akar ini.

Penyertaan Qatar dalam pembahasan ini hanyalah sebagai negara yang mewakili tipe
pemerintahan dalam masyarakat yang mempertahankan eksistensi keeropaan dan keislaman
menuju satu kesatuan yang melampaui batas-batas geografis. Oleh karenanya, pembahasan ini
terkadang tertuju kepada fanatisme nasional yang mengarah pada pemeliharaan negeri Qatar.

Bila kita berbicara mengenai kebangkitan sistem pemerintahan negara-negara Arab, maka
sebaiknya kita mengingat bahwa masalah integrasi atau disintegrasi tidak dapat
dikesampingkan. Meskipun secara teoretis, yang dijadikan objek kajian adalah nilai-nilai Qatar
dan keintegrasiannya, namun situasi yang diamati adalah dampak kemerdekaan masyarakat
Qatar dan integrasi dengan nilai-nilai Islam. Dampak langsung dari integrasi adalah
tenggelamnya sistem lama di Qatar dan menangnya sistem lain. Kita akan mencermati contoh
tersebut pada pembahasan mendatang.

Negara-negara Arab tidaklah terputus dari lingkungan sekitarnya. Demikian pula kebangkitan
Islam tidak hanya mengakar di bumi Arab. Islam merupakan agama mayoritas masyarakat
Arab, Afrika, dan Asia. Dalam perspektif historis, gerakan-gerakan Islam saling berhubungan
dan mempengaruhi satu sama lain.

Dewasa ini, kebangkitan Islam merupakan fenomena internasional dengan berbagai macam
topik diskursus yang menantang. Hal ini disebabkan oleh eksistensi Islam yang mencoba
merespon situasi yang dihadapi dunia, yaitu: imperialisme politik, serangan kebudayaan Barat,
kegagalan sistem sekular yang ditinggalkan kaum imperialis kepada negeri-negeri Islam, dan
revolusi kebangkitan Islam dalam bentuk revolusi hubungan elite. Kebangkitan Islam-Arab
bekerja sama secara revolusioner dan intelektual dengan kebangkitan-kebangkitan di berbagai
tempat dan situasi. Realitas Dunia Arab berhubungan dengan realitas Dunia Islam dan
internasional. Berbagai kendala dan situasi kebangkitan Islam tak dapat dipahami tanpa
menyinggung dimensi internasional.

Umat dan Negara-negara Kawasan Arab dalam Sejarah Islam

Islam menyatukan antara ideal-ideal absolut dan realitas nisbi. Ideal-ideal ini diabstraksikan
dalam ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin syariah. Realitas merupakan kejadian-kejadian
material dan situasional yang melingkupi kehidupan manusia. Sedangkan keberagamaan adalah
kepercayaan psikis terhadap doktrin-doktrin kebenaran yang absolut, dan usaha kesejarahan
merupakan upaya mendekatkan realitas dengan doktrin-doktrin, mengkontekstualkan iman
dalam bentuk realitas yang paling ideal, dan selanjutnya berusaha terus menerus
mengembangkan keagamaan menuju titik kesempurnaan ideal.

Bentuk negara Islam yang pertama dalam sejarah adalah negara Madinah yang dipandu oleh
Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk keperluan pertumbuhan regional, Rasulullah saw.
menggariskan aturan-aturan regional. Al-Qur'an pun menetapkan pada akhir surat al-Anfal
mengenai batasan-batasan loyalitas masyarakat yang terdiri atas penduduk asli dan imigran
agar saling menjaga dan membantu.

Negara Madinah merupakan realitas regional yang berwawasan internasional. Negara ini telah
melampaui realitas zamannya, sebab penduduknya percaya bahwa mereka merupakan bagian
dari mata rantai umat Islam sebelumnya yang dipimpin para Rasul. Secara psikis, Madinah pun
telah melampaui realitas regionalnya, sebab penduduknya telah terlibat aktif dalam konflik
internasional dengan Persia dan Romawi, khususnya dalam konflik ekonomi, politik, dan
agama. Negara Madinah dengan kondisinya tersebut kemudian mengokohkan Dunia Arab dan
seluruh umat manusia di sana sebagai basis dan alat integrasi. Hal itu dikarenakan Arab
mempunyai misi samawi.

Negara ideal berikutnya adalah Khilafah Rasyidah. Dalam sistem ini, penguasa menjadi pusat
dan dorongan umum berangkat dari pusat kekuasaan. Dakwah dijalankan secara luar biasa
hingga terbentuklah wilayah-wilayah baru yang berjauhan dan dihuni oleh masyarakat yang
plural. Dipergunakanlah ungkapan-ungkapan politik syar'i yang sebagian kembali kepada masa
kenabian. Negara-negara Arab merupakan dasar pembagian wilayah pemerintahan umum,
peradilan, dan distribusi kekayaan. Dalam potret semacam ini, kesatuan kepemimpinan
khilafah dijalankan tanpa pembagian kekuasaan. Di samping itu, terdapat kesatuan geografis
Islam yang semula tidak mengenal kendala-kendala internal.

Meski terjadi perpecahan di kalangan penguasa serta fanatisme wilayah, etnis, dan golongan --
setelah terjadi sistem pewarisan khilafah-- namun pola umum negara masih tetap berpedoman
pada sistem kesatuan (integrasi). Para fuqaha yang juga merupakan para pemimpin bangsa dan
idola masyarakat. Meskipun bersikap wajar terhadap para pemberontak, tetapi mereka tetap
mentolerir pembagian wilayah dan upaya integrasi. Sedangkan dalam hal pemikiran, mereka
mengakui eksistensi mazhab-mazhab dan kebebasan mengikutinya.

Pola ini berjalinan dengan faktor-faktor pengimbang yang ditemakan oleh masyarakat muslim
dalam keluasan dan kecepatan ekspansinya untuk mewadahi pluralitas masyarakat dan
kebudayaan. Ketika kondisi tersebut tidak diimbangi dengan usaha-usaha integrasi, maka
khalifah pada gilirannya hanya menjadi simbol dan hanya mampu bertahan ketika kekuatan
pusat pemerintahan semakin menurun. Sehingga kondisi kritis mulai terjadi, fanatisme
kelompok bermunculan, dan wilayah-wilayah lain beroposisi untuk membangun pola baru
dalam realitas politik umat Islam.

Pola yang meniscayakan Dunia Islam hingga saat ini adalah satu bentuk pemerintahan dengan
kesatuan umat (integrasi) dan meninggalkan kesatuan politik karena tersebar luasnya negara-
negara Islam. Sebagian negara Islam mengalami perkembangan karena kemampuannya
membuka diri untuk menyelesaikan masalah-masalah yang yang ditimbulkan akibat letak
wilayah yang jauh dari pusat.

Pemerintahan Islam telah memelopori bahwa batasan-batasan regional tidak membagi-bagi


kaum muslimin sebagaimana yang dilakukan oleh penguasa-penguasa politik. Hanya ada satu
lapangan ilmiah, pasar ekonomi, dan konteks kebangsaan. Kesatuan undang-undang juga
menjaga dominasi hukum-hukum syariat sehingga berkembanglah mazhab-mazhab fikih dan
metode-metode tasawuf untuk menegaskan kesatuan umat dalam paguyuban tarekat. Suatu
prediksi dapat dikemukakan bahwa wilayah Islam akan semakin menyatu secara peradaban
melalui tersebarnya berbagai mazhab dan tarekat, pertukaran ilmu dan kebudayaan, dan
komunikasi melalui migrasi manusia, ilmu, dan agama. Hal itu terjadi dalam kurun waktu yang
panjang pasca runtuhnya pusat politik dan kediktatoran para penguasa di negara-negara Arab.
Islam, pemanduan syariat, dan terbukanya kawasan merupakan faktor-faktor penjaga kesatuan
umat.

Ketika Islam tidak lagi difungsikan sebagai pengikat hati antar umat, dihapuskannya syariat,
dan penjajahan imperialis, maka negara-negara Arab pun terpecah belah. Tak ada yang tersisa
dari wilayah Islam kecuali hanya persaudaraan dalam jiwa kaum muslimin, kegetiran masa
lampau, dan mimpi masa depan.

Umat dan Negara-negara Kawasan Eropa: Sebuah Studi Komparasi

Perkembangan negara-negara Eropa disebabkan oleh terlepasnya mereka dari agamanya,


konflik berkepanjangan dalam masyarakat dan pemerintahan, dan terlampau beratnya
penderitaan yang mereka rasakan. Sementara itu, ekspansi Islam menjanjikan kehidupan baru
bagi mereka. Sejarah Eropa menengarai bahwa kejatuhan tersebut bukan disebabkan oleh
kelengahan, melainkan karena mengingkari dasar-dasar agama mereka. Jika cita-cita
kebangkitan kaum muslimin diilhami oleh Kitab Suci yang terjaga (Al-Qur'an), maka
masyarakat Barat menoreh sejarah mereka dengan revolusi anti-agama.

Mayoritas masyarakat Eropa berada di bawah pengaruh Kristen selama lebih dari sepuluh abad.
Menurut mereka, kondisi tersebut merupakan contoh ideal tentang nasionalisme dan peradaban
bagi dunia internasional. Dalam pandangan mereka, contoh ideal tersebut berupa kebesaran
imperium dan hubungan harmonis dalam hak milik nasional dan negara-negara Eropa.
Kemudian nasionalisme mulai memberi kekhususan kepada para raja. Negara-negara kawasan
ini semakin kokoh menuju terbentuknya Eropa modern.

Kehancuran sistem internasional lama telah memicu lahirnya teori-teori kekuasaan yang
memberi penekanan pada dominasi absolut dalam batas-batas regional seperti teori
Machiavelli. Dominasi ini tampak jelas pada propaganda-propaganda imperium, Paus, dan
kaum feodal. Teori-teori sosial itu mengokohkan dominasi raja dan para penguasa secara
absolut.

Kemudian pemikiran politik mulai berkembang dan menyuarakan dominasi bangsa dan ide
liberalisme demi keuntungan individu (yang diprakarsai John Locke, para pakar psikologi
sesudahnya, dan kelompok radikal), kelompok-kelompok reformasi cita-cita umum (teori
Rousseau), pelestarian sejarah masyarakat (teori Hegel), dan komunisme-materialisme (teori
Karl Marx).

Nasionalisme telah menguatkan posisi negara yang mengambil bentuk politik, ekonomi, dan
solidaritas sebagai pengisi kekosongan agama. Tumbuhlah perasaan khusus nasionalisme serta
kekhususan bahasa dan tata bahasanya. Sejarah nasionalisme bergerak melemahkan
kekhususan-kekhususan tersebut dengan berbagai utopia dan data. Nasionalisme
membanggakan hal tersebut. Isme ini tumbuh di benua Eropa dan Amerika.
Meskipun dominasi nasionalisme di Eropa membawa pertumbuhan material, namun akhirnya
Eropa merasa gamang terhadap penyimpangan pola negara semacam ini. Mungkin kegamangan
tersebut merupakan dampak tradisi kebudayaan yang plural, perkembangan teori kemanusiaan,
berbagai konflik nasional, dan terbatasnya ekspansi Eropa. Maka berdirilah sistem negara-
negara Eropa di atas kaidah undang-undang negara. Negara-negara ini mempunyai kawasan
yang terbatas, namun tenggelam dalam konflik pada masalah-masalah yang telah disepakati
kaum muslimin di kawasan Daulah Islamiah.

Kesatuan Eksternal Menuju Pluralisme Internal di Dunia Arab

Kawasan negara-negara Arab telah keluar dari kekuasaan administratif kekhalifahan Utsmani.
Pada umumnya, negara-negara tersebut memisahkan diri karena pengaruh kemerdekaan politik
negara-negara imperialis. Pemisahan perdana merupakan sarana munculnya nasionalisme Arab,
sebab hal itu merupakan bentuk pemerdekaan dari ikatan keagamaan dan beralih menjadi
nasionalisme. Fenomena tersebut tidak persis sama dengan yang terjadi di Eropa, sebab ia
bukan hasil perkembangan teoretis dan material sebagaimana yang terjadi di Eropa.
Nasionalisme Eropa merupakan produk yang terkait dengan eksperimen dan faktor-faktor
Eropa.

Eksperimen yang pernah dilakukan orang-orang Islam dan mayoritas orang-orang Nasrani Arab
berbeda dengan yang terjadi dalam sejarah Eropa. Masyarakat Barat meyakini eksperimen
Eropa sebagai eksperimen murni dan memandang dirinya sebagai pusat kebangkitan dan
contoh ideal pencerahan umat manusia.

Padahal yang harus diketahui adalah bagaimana strategi Eropa dalam menghadapi kekhilafahan
Utsmani di medan perang dan kepiawaian memanfaatkan propaganda, hubungan politik, dan
diplomasi demi keuntungan mereka. Selain itu, terjadi perang intelektual antar keduanya.
Walaupun sebenarnya persatuan umat Islam dalam kekhalifahan Utsmani masih terasa, tetapi
tidak mencapai prestasi nasionalisme Eropa karena perbedaan perkembangan sejarah masing-
masing.

Sekiranya Arab keluar dari kekuasaan Utsmani dan berdiri di atas landasan nasionalisme, tentu
ia tidak mampu. Malah sebagai ganti penguasaan kekhilafahan Utsmani, berdirilah
imperialisme di Dunia Arab. Akhirnya imperialisme membagi-bagi pengaruh dan batas-batas
wilayah Arab berdasarkan realitas regional historis masing-masing wilayah yang sebelumnya
bersatu. Imperialisme telah mengokohkan status pembagian tersebut untuk menarik keuntungan
jangka pendek dan panjang, apalagi mereka bermaksud melapangkan jalan bagi kehadiran
Zionisme di tengah-tengah Dunia Arab dan memutuskan hubungan Arab dengan Dunia Islam.

Ketika bangkit keinginan melepaskan diri dari cengkeraman imperialisme, gerakan


pembebasan Arab segera memisahkan diri dari kelompok-kelompok yang terpengaruh
kebudayaan Eropa. Kelompok-kelompok nasional gigih memperjuangkan tercapainya
kemerdekaan bagi negara yang mandiri, tetapi dengan konsep-konsep Eropa.

Masyarakat merasa perlu mengedepankan warisan keagamaannya untuk mengisi kesenjangan


dan memfungsikan simbol-simbol keagamaan untuk membangkitkan semangat melawan
kekuatan asing yang kafir. Dalam konteks ini, Islam merupakan unsur pembentuk jati diri
negara dan pemantik semangat kebangsaan. Sangat memungkinkan untuk menggunakan faktor
kekuatan Islam itu bila perjuangan menemui jalan buntu. Seluruh wilayah Afrika Utara adalah
contoh terbaik dari kasus ini, apalagi perjuangan kaum muslimin Aljazair melawan
imperialisme Perancis. Gema Islam pun terdengar hingga di Sudan, meskipun kontrol Arab-
Islam di negara ini melemah.

Peran Islam dikenal pula dalam perjuangan nasional di luar negara-negara Arab, termasuk di
negara-negara Asia seperti Iran, Afganistan, dan Pakistan. Peran ini tampak pada syiar yang
ditonjolkan pasca-kemerdekaan. Akan tetapi, meski masyarakat muslim berkuah darah dalam
perjuangan nasional, tetapi yang menikmati kue kemerdekaan adalah para nasionalis,
sedangkan orang-orang Islam hanya menjadi penonton. Peran yang dilakoni dalam perjuangan
kini tinggal kenangan. Itulah sebabnya, Islam tidak berperan lagi dalam mempengaruhi proses
integrasi negara-negara Arab yang mandiri.

Meskipun kelompok pembebasan nasional di Dunia Arab berpedoman sekularisme dalam


pembangunan negara, tetapi upaya tersebut tidak sukses sebagaimana keberhasilan Turki Muda
mendepak sistem kekhalifahan. Mereka hanya berhasil mendirikan dasar-dasar negara nasional
dan mempersoalkan integrasi. Konsep negara sekular semakin mendorong negara-negara Arab
untuk meninggalkan sistem syariat dan mengembangkan sistem perundang-undangan yang
tidak berdasarkan Islam. Sebagai contoh adalah Hizbul-Wafd (Partai Wafd) dan Hizbud-
Dustuuri (Partai Perundang-undangan) di Tunisia.

Sebagian negara Teluk Arab selamat dari sekularisasi. Negara-negara tersebut tidak mungkin
berdiri dengan batas-batasnya sendiri kecuali dengan desakan imperialisme atau situasi sejarah.

Walau negara-negara Arab memupuk fanatisme dan nasionalisme --bukan solidaritas


kawasan-- namun hal tersebut tidak sampai memutuskan hubungan antar bangsa seperti di
Eropa. Sejarah Arab kontemporer mencatat adanya berbagai ikhtiar untuk berintegrasi yang tak
menyerupai bentuk integrasi apa pun di muka bumi, sebab negara-negara Arab mengupayakan
integrasi dengan nasionalisme dan agamanya. Libya berusaha berintegrasi dengan lima negara
Arab, serta Mesir dan Suriah masing-masing dengan empat negara. Tidak ada negara Arab
yang tidak berusaha untuk berintegrasi, meskipun kenyataannya mereka masih terpecah-pecah.
PEMBARUAN ISLAM

Disusun Oleh :

Nama : Panji Asmoro Djati


Kelas : XI IPS 4
No. Absn : 30

SMA NEGERI 1 CEPIRING


TAHUN PELAJARAN 2021/2022

Anda mungkin juga menyukai