Anda di halaman 1dari 8

Tugas I Sistem Hukum Indonesia ISIP 4131

Soal 1

Fidelis Arie Sudewarto, lelaki di Sanggau, Kalimantan Barat, ditangkap dan ditahan BNN pada
19 Februari 2017, karena menanam 39 batang ganja. Ganja tersebut untuk diekstrak guna
pengobatan penyakit langka syringomyelia yang diderita sang istri, Yeni Riawati. ketika Fidelis
genap 32 hari mendekam di balik jeruji tahanan, sang istri wafat, yakni pada 25 Maret 2017.
Publik dan organisasi-organisasi yang mendesak agar Fidelis dibebaskan dari segala tuntutan.
Tapi, palu hakim berkata lain. Dengan alasan hukum harus ditegakkan, Fidelis divonis penjara
selama 8 bulan dan denda Rp1 miliar subsider 1 bulan penjara, karena menyalahi Pasal 111
dan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Vonis hakim tersebut
terbilang berat. Pasalnya, jaksa penuntut umum hanya menuntut Fidelis dipenjara 5 bulan dan
denda Rp.800 juta subsider satu bulan penjara.

(Sumber : https://www.suara.com/news/2019/03/06/150402/beda-nasib-andi-arief-dan-fidelis-
yang-tanam-ganja-demi-obati-sang-istri?page=all)

Pertanyaan:

1. Dalam konsep tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, dalam
pandangan Fidelis, silakan dianalisis terpenuhi atau tidak ketiga tujuan hukum tersebut?
Berikan argumentasi saudara!

Jawaban :

Macam keadilan antar lain keadilan prosedural dan keadilan subtantif. Terkait dengan
perkara Fidelis, sebaiknya keadilan subtantif yang lebih diutamakan. Karena dalam perkara ini,
apakah secara subtansi perbuatan Fidelis terbukti secara sah atau tidak. Perbuatan Fidelis
secara prosedural dalam norma yang ada atau tertulis adalah terbukti melawan hukum, akan
tetapi perlu kita telaah dan pahami kembali terkait makna dari suatu norma tersebut.

Berdasarkan putusan perkara Fidelis, Majelis Hakim dalam pertimbangannya telah


terjadi dissenting opinion dalam musyawarah Majelis Hakim terkait mengutamakan nilai
Keadilan atau Kepastian Hukum. Akan tetapi, Majelis Hakim tidak mempertimbangkan untuk
mendahulukan nilai yang ada dalam asas kemanfaatan dalam pertimbangannya, Namun, jika
kita melihat perkara Fidelis berdasarkan fakta, asas yang patut untuk didahulukan adalah asas
kemanfaatan. Karena asas kemanfaatan bertujuan untuk memberikan kebahagiaan dan
kemanfaatan bagi masyarakat..Jika merujuk dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pada pasal 28 H ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi :

“(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

“(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan per guna


mencapai persamaan dan keadilan.”

Bunyi pasal tersebut , memiliki makna bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama untuk
mendapatkan kehidupan yang sejahtera dan mendapatkan pelayanan kesehatan sehingga
kualitas hidupnya dapat terjamin guna mendapatkan manfaat yang berdasarkan dari norma
keadilan dalam bermasyarakat di Negara Indonesia. Hal tersebut seharusnya menjadi salah
satu tolok ukur Majelis Hakim dalam menimbang perkara Fidelis, yang mana Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan konstitusi Negara Indonesia. Dan
berdasarkan dalam pengaturan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dalam
menegakkan hukum permasalahan narkotika, tidak boleh keluar dari nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Perkara Fidelis ini, tidak terbukti ada indikasi kejahatan, melainkan untuk mengobati
istrinya, maka dari itu unsur penyalahguna narkotika tidak dapat terbukti secara utuh. Karena
perbuatan tersebut diperuntukkan menyelamatkan nyawa istrinya. Jika kita melihat sisi keadilan
dari segi kemanfaatan dan kemanusiaan, perbuatan Fidelis dirasa tidak adil jika ia dikenakan
sanksi pidana penjara.

Sumber : Karya Ilmiah Penegakan Hukum Terhadap Kasus Kepemilikan Tanaman


Ganja Untuk Kebutuhan Medis Dihubungkan dengan Ajaran Alasan Pemaaf dalam Hukum
Pidana (Putusan Pengadilan Negeri Sanggau No. 111/PID.SUS/2017/PN.SAG Sebagai
Sample) , Cidyla Dea Sartika, Sholahuddin Harahap, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas
Hukum , Universitas Islam Bandung
Soal 2

Warisan seringkali menjadi potensi konflik. Bahkan anak rela menggugat ibu atau ayah
kandungnya, kakak dan adik berseteru karena pembagian warisan dianggap tidak adil. Salah 1
kasus adalah Freddy Widjaya, salah satu anak pendiri Grup Sinar Mas Eka Tjipta Widjaja
menggugat lima saudara tirinya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Freddy menuntut
pembagian harta warisan milik ayahnya. Freddy Widjaja adalah anak luar kawin dari pasangan
Eka Tjipta dengan Lidia Herawaty Rusli.

(sumber : https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5093225/heboh-anak-pendiri-sinar-
mas-gugat-warisan-rp-600-t).

Pertanyaan:

Berbicara tentang warisan, perlu juga diidentifikasi masalah pewaris, harta waris, dan ahli waris
yang berhak menerima karena secara hukum ada aturannya. Di Indonesia, ada 3 hukum waris
yang berlaku, yakni hukum adat, perdata, Islam.

Jika kasus tersebut dilihat dari perspektif hukum adat, maka silakan dianalisis :

1. Kedudukan anak luar kawin menurut sistem kekerabatan patrilineal, matrilinial dan
parental.

Kedudukan anak luar kawin dapat dilihat dari ketiga sistem kekerabatan yang ada. Pertama,
pada masyarakat patrilineal kedudukan anak luar kawin hanya mempunyai hubungan
kekerabatan dengan ibunya saja dan menjadi ahli waris dari kerabat ibunya. Oleh karena itu anak
luar kawin bukan sebagai ahli waris dari bapaknya (biologis). Kedua, pada masyarakat
matrilineal, hubungan kekerabatan baik antara bapak biologisnya dengan anak luar kawin dengan
keluarga bapak biologisnya cukup pada pengakuan dengan menikahi ibu anak tersebut, karena
masyarakat juga tidak menganggap motivasi menghindari malapetaka, sehingga melahirkan anak
luar kawin tersebut sebagai perbuatan yang harus dicela. Ketiga, pada masyarakat parental atau
bilateral di daerah Jawa anak yang lahir di luar perkawinan dinamakan anak kowar, dimana ia
hanya mewaris dari ibunya atau keluarga ibunya. Namun di kalangan masyarakat parental atau
bilateral, anak luar kawin sering diberi harta warisan dari bapak biologisnya, sehingga anak kowar
tidak dibedakan kewarisannya dengan anak-anak yang sah atau setidak- tidaknya mereka masih
diberi bagian dari harta warisan orangtuanya dan anak luar kawin tersebut dapat saja secara
bebas bergaul dengan keluarga dari bapak biologisnya, bahkan kekerabatannya dapat menjadi
lebih erat.

2. Pembagian harta warisan terhadap anak luar kawin berdasarkan sistem kekerabatan
patrilineal, matrilinial dan parental.

Masyarakat yang bersistem patrilineal, hak mewaris berdasarkan masyarakat Batak, Lampung, Bali
dan Nias adalah usaha mengoperkan harta keluarga kepada keturunannya (laki-laki), karena
keturunan laki-laki sebagai ahli waris, sedangkan anak perempuan bukan sebagai ahli waris
orangtuanya (bapaknya) maupun suaminya. Menurut hukum adat Batak (patrilineal) anak yang
lahir dari perkawinan bapak dan ibunya yang tidak sah, maka tidak berhak mewaris dari harta
orangtuanya bapak baik harta asal atau bawaan maupun harta pencaharian (harta bersama) meskipun
anak luar kawin tersebut adalah laki-laki. Anak luar kawin itu hanya berhak mendapat harta asal
atau harta bawaan dari orangtuanya (ibunya) dan kerabat ibunya.

Pada masyarakat matrilineal kedudukan anak luar kawin dalam hukum adat di
Minangkabau hanya ada hubungan dengan ibunya dan kerabat ibunya. Kedudukan anak luar
kawin dianggap bukan ahli waris dari bapak biologisnya, karena anak luar kawin dilahirkan tidak
dari perkawinan yang sah, sehingga anak luar kawin hanya ada hubungan dengan ibu atau
dengan kerabat ibunya saja

Masyarakat parental yang ada di Jawa, Aceh, Kalimantan, hak mewaris menurut masyarakat
parental mengoperkan harta warisan, yaitu diberikan kepada keturunannya baik laki-laki
maupun perempuan. Apabila dalam sebuah rumah tangga ada anak sah dan anak luar kawin,
maka yang berhak terhadap warisan orangtuanya adalah anak-anak yang dilahirkan dalam
perkawinan yang sah. Kedudukan anak luar kawin dalam rumah tangga tersebut hanya
berhak terhadap harta asal dari ibunya. Namun orangtuanya mempunyai kewajiban yang sama
terhadap anak sah dan anak luar kawin dalam membiayai penghidupan dan pendidikan seorang
anak luar kawin yang belum dewasa.

Pada masyarakat parental, kedudukan anak luar kawin hanya mempunyai hubungan
kekerabatan dengan ibunya saja dan menjadi ahli waris dari kerabat ibunya. Oleh karena itu
anak luar kawin bukan sebagai ahli waris dari bapaknya (biologis). Berdasarkan beberapa
Putusan Makamah Agung, menyatakan, bahwa seorang anak yang lahir di luar perkawinan,
menurut hukum adat waris di Jawa (parental) hanya menjadi waris di dalam harta
peninggalan ibunya serta di dalam harta peninggalan keluarga dari pihak ibu. Seorang anak
tersebut menurut hukum dianggap tidak mempunyai bapak. Terhadap hubungannya dengan
ibu, maka tidak ada perbedaan anak yang sah dengan anak di luar perkawinan.

3. Pembagian harta warisan terhadap anak luar kawin berdasarkan sistem kekerabatan
patrilineal, matrilinial dan parental pasca terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010.

Sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut, anak luar
kawin diakui sebagai anak yang sah dan mempunyai hubungan waris dengan bapak
biologisnya, oleh sebab itu dapat diartikan, bahwa seorang anak luar kawin yang dilahirkan juga
akan langsung memiliki hubungan hukum dengan bapaknya

Sehubungan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010


tertanggal 17 Februari 2012, maka telah membuka peluang bagi anak luar kawin untuk
mendapatkan perlindungan hukum dengan orang yang diduga sebagai bapaknya biologis
dari anak luar kawin tersebut.
Dengan adanya beberapa yurisprudensi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/ 2010 terlihat adanya perubahan kedudukan anak luar kawin dalam hubungannya dengan
kedudukannya. Kedudukan anak luar kawin sebelum adanya yurisprudensi dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 bukan sebagai ahli waris harta peninggalan
dari bapak biologisnya, namun setelah adanya beberapa yurisprudensi, kedudukan anak
luar kawin ditetapkan sebagai ahli waris. Perubahan tersebut didorong oleh kekuatan dari
luar, yaitu negara melalui pengadilan terhadap peristiwa tertentu.

Sumber :
Jurnal Perspektif Volume XIX No. 3 Tahun 2014 Edisi September, Fakultas Hukum Universitas
Airlangga Surabaya, Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam PewarisanDitinjau Dari Sistem Hukum
Kekerabatan Adat, oleh Ellyne Dwi Poespasari
Soal 3

Rachel Maryam dan suaminya, Edwin Aprihandono, mengajukan permohonan isbat pernikahan
ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan permohonan isbat pernikahan yang dilayangkan
Rachel Maryam dikabulkan oleh majelis hakim.

Sumber :

https://www.liputan6.com/showbiz/read/4320996/sedang-hamil-rachel-maryam-ajukan-
permohonan-isbat-pernikahan & https://www.kompas.com/hype/read/2020/08/04/083006166/4-
fakta-permohonan-isbat-pernikahan-rachel-maryam-dan-suaminya-setelah-9?page=all

Pertanyaan :

Silakan dianalisis :

1. Kedudukan isbat nikah yang sudah disahkan di Pengadilan Agama dan implikasinya
terhadap status perkawinan!.

Jawaban :

Dalam pasal 2 UU No.1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan


menurut hukum agama dan kepercayaanya. Setiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pasal 5 Kompilasi Hukum Islam
bahwa setiap perkawinan harus tercatat agar terjamin ketertiban perkawinan. Kemudian
dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai
pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Isbat nikah menurut Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor


KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administras iPengadilan
adalah pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama
Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh KUA atau PPN yangberwenang. Isbat nikah juga
mengandung arti suatu metode atau cara dalam menetapkan sahnya suatu perkawinan
yang belum tercatat di KUA setempat, sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku terkait dengan hal perkawinan yang dilaksanakan di pengadilan. Buku Pedoman
Teknis Administrasi Peradilan Agama Tahun 2010 menjelaskan bahwa isbat nikah
adalah pernyataan tentang sahnya perkawinan yang dilangsungkanberdasarkan agama
dan tidak dicatat oleh PPN yang berwenang. (Mahkamah Agung,Pedoman Teknis
Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, (Buku II), Jakarta, 2010, hlm.147).Undang-
Undang Perkawinan pada Pasal 64 menjelaskan bahwa untuk perkawinan dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini
berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama adalah sah. Dalam hal ini
termasuk masalah isbat nikah. Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009, tentang perubahan kedua terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
disebutkan pada Pasal 49 ayat (2) yang dimaksud dalam Ayat 1 huruf adalah hal-hal
yang diatur berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.
Sedangkan penjelasan Pasal 49 Ayat (2) tersebut dikatakan bahwa salah satu bidang
perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan yang terdiri dari 22 item
salah satunya adalah pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum
undang-undangtersebut, tentang perkawinan yang dijalankan menurut peraturan yang
lain. Mahkamah Agung, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama,
(Buku II), Jakarta, 2010, hlm.147).(Mahkamah Agung, Pedoman Teknis Administrasi
dan Teknis Peradilan Agama,(Buku II), Jakarta, 2010, hlm.147).

Implikasinya terhadap status perkawinan adalah ; sebagaimana diketahui bahwa


menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta Pasal 7 Kompilasi Hukum
Islam adanya perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah,artinya dalam hal
perkawinan tidak mendapatkan akta nikah maka solusi yang dapat ditempuh adalah
mengajukan permohonan itsbat nikah, artinya seseorang yang mengajukan itsbat nikah
bertujuan agar supaya perkawinan yang dilaksanakannya mendapat bukti secara
autentik berupa Kutipan Akta nikah dan mendapat legalisasi baik secara yuridis formal
maupun di kalangan masyarakat luas.

2. Dasar pengadilan Agama mengabulkan isbat nikah

Jawaban :

Dasar hukum hakim mengabulkan permohonan isbat nikah mengacu pada ketentuan
perundang-undangan sebagai berikut :
1.Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974:”Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu”.

2. Pasal 64 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa “untuk


perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi
sebelum perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini berlaku yang dijalankan
menurut peraturan-peraturan lama adalah sah”.(Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974).
Karena isbat nikah adalah bagian dari bidang perkawinan maka jelaslah pasal tersebut
termasuk bagian dar idasar pijakan Isbat nikah yang menjadi kewenangan Pengadilan
Agama.”

3. Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI):


1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai
Pencatat Nikah.
2. Dalam hal perkawinan tidak dapat diajukan isbath nikahnya ke Pengadilan Agama.
3. Isbath nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal
yang berkenaan dengan :
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b. Hilangnya Akta Nikah;
c. Adanya keraguan tentang sah atautidaknya salah satu syarat perkawinan;
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974;
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Sumber :

1. BMP UT ISIP4131/Sistem Hukum Indonesia

2.Jurnal PRANATA HUKUM Volume 8 No 2 Juli 2013, ISBAT NIKAH Dalam HUKUM ISLAM
dan PERUNDANG-UNDANGAN di INDONESIA, Meita Djohan Oe.

Anda mungkin juga menyukai