Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diskursus mengenai lembaga-lembaga negara di Indonesia selalu menjadi bahasan yang
menarik, UUD 1945 belum memberikan batasan yang jelas antara wewenang lembaga
eksekutif, yudikatif dan legislatif. Fenomena yang terjadi selama empat dekade terakhir ini
bahkan menunjukkan kecenderungan pengaturan sistem bernegara yang lebih berat ke
lembaga eksekutif. Posisi Presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala
pemerintahan yang tidak jelas batasan wewenangnya semakin mendorong kecenderungan ini
ke arah yang negatif.
UUD 1945 memberikan wewenang tertentu kepada presiden dalam menjalankan tugas
pemerintahan. Namun demikian pemberian wewenang tersebut tidak diikuti dengan batasan-
batasan terhadap penggunaannya. Soekarno, mantan presiden RI, dalam rapat pertama
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 menyatakan bahwa UUD
1945 adalah "UUD Kilat", ini dikarenakan mendesaknya keinginan untuk memproklamasikan
kemerdekaan pada saat itu sehingga infrastruktur bagi sebuah negara yang merdeka harus
segera disiapkan. Hal ini menyebabkan UUD 1945 menjadi UUD yang singkat dan sangat
interpretatif. Upaya politik untuk tidak mengadakan perubahan terhadap UUD 1945,
sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 sendiri (Pasal 3 juncto Aturan Peralihan,
butir 2), juga tidak diikuti oleh upaya lembaga legislatif untuk membuat ketentuan lebih lanjut
terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945. Tidak banyak pasal dalam UUD 1945 yang telah
diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan di bawahnya dan pasal-pasal yang
mengatur mengenai wewenang presiden sebagai kepala negara merupakan beberapa di
antaranya.
Dalam menjalankan kekuasaannya, presiden diberikan kekuasaan yang sangat besar oleh
UUD 1945, yaitu antara lain tercantum dalam Pasal 10 sampai Pasal 15. Dalam
pelaksanaannya, ternyata kekuasaan tersebut telah banyak menimbulkan berbagai masalah
yang sampai saat ini masih diwarnai pendapat pro dan kontra seputar penggunaannya. Hal ini
dapat disebabkan karena tiga hal. Pertama, besarnya kekuasaan presiden tersebut tidak
diikuti dengan mekanisme dan pertanggungjawaban yang jelas. Padahal hak-hak tersebut
sifatnya substansial bagi kehidupan bangsa sehingga memerlukan adanya kontrol, misalnya
pemilihan duta dan konsul, penentuan susunan kabinet, wewenang untuk menyatakan
perang, dan lain-lain. Kedua, fenomena ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah
telah sedemikian besarnya sehingga menimbulkan sensitivitas dalam tubuh masyarakat
terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya presiden. Ketiga,
berkaitan erat dengan yang kedua, sensitivitas ini juga didorong oleh tumbuhnya kesadaran
masyarakat dengan sangat cepat dengan dipicu oleh atmosfir reformasi yang tengah berjalan
pada saat ini.
Diskusi dan kajian tentang negara di Indonesia pada umumnya didominasi oleh pendapat kuat
yang beranggapan bahwa negara merupakan sebuah lembaga netral, tidak berpihak, berdiri di
atas semua golongan masyarakat, dan mengabdi pada kepentingan umum. Kepercayaan
yang tulus pada hal ideal ini mungkin yang mendasari pendapat-pendapat di atas, yang oleh
para pejabat negara ini kemudian diturunkan menjadi jargon-jargon "demi kepentingan
umum", "pembangunan untuk seluruh masyarakat" dan lain sebagainya. Namun pada
kenyataan di lapangan, terjadi banyak hal yang tidak membuktikan anggapan ideal tersebut.
Negara yang identik dengan kekuasaan, sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton,
cenderung untuk korup, dalam arti menyimpangi kekuasaanya (abuse of power). Negara
ternyata juga memiliki kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan sendiri yang terkadang
justru merugikan kepentingan umum.
Kekuasaan negara yang tidak terkontrol di Indonesia sebagai akibat dari terpusatnya
kekuasaan itu pada satu orang dan segala implikasi negatifnya, tampaknya mengharuskan
bangsa ini untuk mengkaji ulang konsep kekuasaan presiden yang sangat besar tesebut.
Pandangan negara netral dan paham integralistik, yang biasanya melegitimasi konsep
tersebut, sepertinya juga tidak dapat lagi dipergunakan untuk menjawab kenyataan-kenyataan
empiris yang terjadi di negara ini. Seluruh hal tersebut, ditambah dengan adanya tuntutan
demokratisasi di segala bidang yang sudah tidak mungkin ditahan lagi, mengartikan bahwa
sudah saatnya kekuasaan presiden yang sangat besar harus dibatasi.
Studi ini ingin menjadi bagian dari diskurus tentang kekuasaan Presiden RI, khususnya
kekuasaannya sebagai Kepala Negara. Dalam studi ini dipaparkan dan dianalisis bentuk-
bentuk kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara, yang secara normatif didasarkan pada
UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

B. Pokok Permasalahan dan Tujuan Penelitian


Studi ini dilakukan dengan beberapa permasalahan yang dianggap mendasar bagi
pelaksanaan kekuasaan presiden tersebut, yaitu:
1. Apa saja bentuk kekuasaan presiden RI dalam hukum positif Indonesia serta
bagaimana mekanisme pelaksanaannya selama ini?
2. Sistem dan mekanisme apa yang dibutuhkan untuk mengurangi kecenderungan
penyimpangan kekuasaan dari pelaksanaan kekuasaan tersebut?
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan gambaran tentang konsep-konsep dan dasar hukum kekuasaan presiden
RI.
2. Menganalisis secara konseptual mekanisme pelaksanaan kekuasaan presiden RI
yang terdapat dalam hukum poistif di Indonesia.
3. Mengemukakan rekomendasi terhadap makanisme pelaksanaan kekuasaan presiden
RI di masa mendatang.

C. Deskripsi Umum Pelaksanaan Kekuasaan Presiden Di Masa Orde Baru


Dalam banyak literatur telah dinyatakan bahwa UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar
pada Presiden RI untuk menyelenggarakan roda kenegaraan. Ismail Suny membagi
kekuasaan Presiden RI berlandaskan UUD 1945 menjadi; kekuasaan administratif; kekuasaan
legslatif; kekuasaan yudikatif; kekuasaan militer; kekuasaan diplomatik; dan kekuasaan
darurat. Sedangkan H. M. Ridhwan Indra dan Satya Arinanto membaginya ke dalam;
kekuasaan dalam bidang eksekutif, kekuasaan dalam bidang legislatif, kekuasaan sebagai
Kepala Negara, dan kekuasaan dalam bidang yudikatif. Kekuasaan presiden yang luas
tersebut tercakup dalam fungsinya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dan
sekaligus mandataris MPR.
Praktek kenegaraan dan politik yang dalam sejarah mendasarkan dirinya pada UUD 1945,
ternyata cenderung memanfaatkan secara negatif peluang yang diberikan UUD 1945, yaitu
kekuasaan sangat besar yang terpusat pada lembaga kepresidenan. Soekarno menjalankan
kekuasaannya dengan menggunakan konsep demokrasi terpimpin. Konsep ini telah terbukti
mengandung karakteristik otoritarian yang kental, dengan terpusatnya kekuasaan
pemerintahan pada satu orang saja. Orde baru yang niat awal terbentuknya adalah
mengoreksi segala wujud penyimpangan yang dilakukan rezim Soekarno, tenyata dalam
prakteknya hanya mengubah jargon-jargon yang dikumandangkan pada masa sebelumnya,
namun secara substansial sifat otoritariannya tidak berubah. Kalau pada rezim Soekarno
model pemerintahan didasarkan pada paham demokrasi terpimpin dan Manipol Usdek, maka
di masa pemerintahan Soeharto jargon tersebut dibahasakan dengan paham demokrasi
pancasila yang didasarkan cita negara inetgralistik. Apabila di masa Soekarno legitimasi
pemerintahannya didasarkan pada slogan "revolusi", maka di era Soeharto legitimasinya
didasarkan pada slogan "pembangunan" dan "stabilitas politik". Kedua hal tersebut ditujukan
untuk membentuk suatu pemerintahan yang kuat (strong state), yang oleh kedua rezim
tersebut dianggap sebagai prasyarat mutlak bagi berhasilnya suatu pemerintahan.
Mohtar Maso'ed mencatat bahwa latar belakang utama terbentuknya rezim orde baru yang
otoritarian adalah trauma konflik politik yang parah, baik horisontal maupun vertikal, dan
terpuruknya perekonomian Indonesia pada masa kepemimpinan Soekarno. Untuk itu orde
baru memilih untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Secara konstitusional sebagaimana
telah dikemukakan di atas, orde baru didukung oleh UUD 1945. Orde baru dan para
pendukungnya, terutama Angkatan Darat, kemudian berhasil menempatkan pusat kekuasaan
pengambilan keputusan kebijakan publik pada birokrasi yang secara langsung di komandoi
oleh Presiden Soeharto. Sekurang-kurangnya ada lima kekuasaan presiden yang tercatat
dalam hukum posistif Indonesia, kekuasaan sebagai kepala pemerintahan, sebagai kepala
negara, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, serta kekuasaan militer dan darurat. Dalam
praktek politik dan ketatanegaraan selama masa orde baru, implementasi dari kekuasaan-
kekuasaan tersebut menjadi instrumen yang efektif untuk mengintervensi dan mengeliminasi
peranan lembaga-lembaga negara lain dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan dan
pemerintahan.
Kekuasaan pemerintahan yang ada pada presiden, atau biasa disebut dengan kekuasaan
eksekutif, merupakan konsekuensi dianutnya sistem pemerintahan presidensil oleh UUD
1945, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Kekuasaan yang sangat
luas ini selama pemerintahan orde baru tidak diterjemahkan lebih lanjut ke dalam bentuk-
bentuk yang bersifat lebih operasional, dengan batas-batas tanggung jawab dan kewenangan
yang jelas. Ketiadaan batas-batas tersebut menyebabkan Pasal 4 ayat (1) menjadi pegangan
utama satu-satunya bagi kekuasaan pemerintahan ini. Kewenangan membentuk Keputusan
Presiden (Keppres) yang mandiri adalah salah satu wujud kekuasaan pemerintahan yang ada
pada presiden. Sebagaimana telah disinyalir oleh berbagai pakar dan penelitian, kewenangan
ini cenderung mengalami penyimpangan baik secara formil maupun materil, sehingga menjadi
salah satu yang signifikan pada saat ini untuk melakukan pengkajian ulang atas kewenangan
pembentukan Keppres yang mandiri oleh presiden, di samping bentuk-bentuk lain dari
kekuasaan pemerintahan lainnya.
Kekuasaan sebagai kepala negara oleh beberapa pakar hukum tata negara dikonsepkan
secara berbeda-beda. Padmo Wahjono menyatakan kekuasaan presiden sebagai kepala
negara secara sempit, sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15
dan peraturan perundang-undangan dalam hal pengangkatan-pengangkatan, adalah
kekuasaan/ kegiatan yang bersifat administratif, karena didasarkan atau merupakan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan atau advis suatu lembaga tinggi legara lainnya.
Jadi bukan ieuelangan khusus (hak prerogatif) yang mandiri. Dalam kenyataannya, selama
pemerintahan orde baru, kewenangan yang "hanya" bersifat adminsitratif ini cukup
berpengaruh terhadap jalannya praktek politik dan kenegaraan di Indonesia. Pengangkatan
hakim-hakim, anggota-anggota MPR dan DPR, serta jabatan-jabatan penting lainnya,
merupakan ajang seleksi politik bagi orang-orang yang akan memasuki wilayah kekuasaan
negara. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa orang-orang yang berada di "lingkar luar"
kekuasaan sangat sulit untuk menduduki suatu jabatan tertentu dalam lembaga-lembaga
negara dan pemerintahan. Oleh karena itu, lembaga-lembaga yang harusnya melakukan
fungsi kontrol, tidak dapat bertindak secara optimal bahkan mandul.
Kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif serta kekuasaan militer dan darurat, merupakan
tambahan dari kekuasan presiden yang konvensional. Secara konseptual, ketiga kekuasaan
yang langsung diberikan oleh UUD 1945 ini tidak dilakukan secara mandiri oleh presiden,
namun pada taraf pelaksanaan tampak kekuasaan presiden begitu dominan, terutama dalam
bidang pembentukan undang-undang dan dalam kedudukannya sebagai penguasa tertinggi
militer.
Legitimasi konstitusi saja tampaknya tidak cukup bagi orde baru. Untuk menghindari
terulangnya keadaan di masa orde lama, orde baru secara sistematis berusaha memusatkan
kekuasaan dengan melemahkan institusi-institusi yang seharusnya dapat menjadi lembaga
kontrol yang mengimbangi kekuasaan presiden yang dominan. Institusi-institusi tersebut
hampir merupakan seluruh bagian dari sistem kenegaraan di Indonesia. Mulai dari lembaga
tertinggi dan tinggi negara, infrastruktur politik, pers, infrastruktur hukum sampai instritusi-
institusi yang ada di dalam masyarakat hingga ruang lingkup terkecil, tak lepas dari intervensi
kekuasaan.
Kedudukan birokrasi yang dominan ini didukung oleh unsur-unsur yang merupakan sumber
kekuasaannya, yaitu kerahasiaan, monopoli informasi, keahlian teknis dan status sosial yang
tinggi. Selama masa kepemimpinan Soeharto, unsur-unsur inilah yang kemudian menjadikan
rezim yang dipimpinnya hampir steril dari kontrol lembaga lain, dan justru menjadi dasar bagi
fungsi pengendalian atas masyarakat.
Jadi cukup jelas sebenarnya, kekuasaan presiden yang besar yang diberikan oleh UUD 1945
selama masa keberlakuannya, cenderung dimanfaatkan oleh rezim yang berkuasa untuk
kepentingan-kepentingan politiknya sendiri. Kekuasaan Presiden ini kemudian hanya menjadi
instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pmlitii eolongan tertentu qaha yang pragmatis
sifatnya dan secara empipii qelalu melemrbankan, atau paling tidak mengeliminasi,
kepentingan demokratisasi di Indonesia.

D. Kerangka Analisis
Pendekatan utama yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan institusional baru ( new
institutionalism). Pendekatan ini membahas lembaga-lembaga negara karena adanya
kesadaran bahwa "negara", apalagi di negara-negara berkembang, merupakan faitmr yang
sangat menentukan dalam kehidupan sosial-politik.
Perbedaan pendekatan ini dengan pendekatan institusimnal "klasik" (institutional approach)
yang berkembang pada akhir abad ke-19 sampai pertengahal abad ie-20 adalah mbyek
pengkajiannya. Dalam pendekatan institusional "klasik" yang dikaji hanya konstitusi dan
aturan-atural formal antara institusi-ilstitusi pmlitii qeperti eksekutif, leeislatif dal yudikatif.
Peldeiatan ini tidai mengkaji praitei pelaisalaal ilstitusi itu atau iekuatal-iekuatal pmlitii lail
qeperti partai politik, interest group dan pressure eroup, serta pers sebagai media komunikasi
politik. Tradisi ini erat hubungannya dengan Hukum Konstitusional di Jerman yang sering
disebut dengan constitutimnal architecture (arsitektur konstituqional).
Pendekatan lain dalam ilmu politik dan ienegaraan yang berkembang qebelum munculnya
pendekatan institusional baru adalah mazhab chicago (chicago school) yang mempelajari
eejala ieiuaqaal untuk menentukan kebijakan umum dan proses-proses yang terjadi dalam
masyarakat. Berikutnya adalah pendekatan behavioralism yang lebih meneliti perilaku aktor
politik, orientasi dan sikapnya. Pendekatal ili aenderung bebas lilai dalam alalisisnya dan
melihat negara hanya sebaeai qalah qatu qistem di altapa beberapa sistem lainnya (sistem
politii, sistem eionomi dan sistem sosial).
Pendeiatal yale lail adalah peldeiatal <I<>(pilihal raqimnal), Pmlitii, baei peldeiatan ili, tidai lail
dapi meleejap iepeltileal sendiri, terutama aspek materialnya, manusia dilihat sebagai semata-
mata homo economicus. Kemudian muncul pendekatan yang mencoba menyesuaikan ide
mengenai kewajiban politik dan equity (distribusi yang adil) yang diiemuiakan mleh Hohl
Rauls.
Pendekatal ilstituqimnal baru muncul sebagai hasil kumulasi dan kombilaqi pendekatan-
pendekatan (mazhab-mazhab) sebelumnya dan memanfaatkan secara selektif penemuan
pemikiran dari pendekatan-pendekatan tersebut karena terdorong mleh ienyataan bahua
leeapa `eserta institusi-instituqinya qaleat mempengaruhi iehidupal pmlitii dalam quatu leeapa,
<-P<
Dalam raleka memahami bentuk-bentuk leeara, Arief @udimal telah melgemukakan dua
iritepia yaitu $qumt9iemaldirial$qumt; leeara dal $qumt9kenetralan&qumt; negara, <-P<
Kemandirian negara sebagai kriterium menunjukkan bahwa negara mandiri adalah negara
yang mendominasi inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan negara, sehingga secara politis
negara tersebut "kuat". Sedangkan dari sudut kenetralan negara terlihat bahwa negara netral
adalah negara yang tidak kuat karena ia hanya menjadi pelaksana dari kepentingan umum
yang digambarkan oleh besarnya partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijaksanaan
negara.
Asumsi dasar yang digunakan dalam studi ini adalah negara pada kenyataannya bukan
lembaga netral, pemerintah dan birokrasi yang berada dalam kekuasaan presiden tidak
dianggap akan beroperasi dalam ruang hampa politik (political vacuum). Asumsi dasar ini
akan dieunakan sebagai kriteria awal untuk memahami peranan kekuasaan presiden dalam
penyelenggaraan kehidupan bernegara di era meningkatnya tuntutan demokratisasi di segala
bidang kehidupan bermasyarakat. Kebutuhan pemahaman yang pesimis ini diangkat dari
realita politik di Indonesia, khususnya di masa Mrde Baru, yang dalam studi ili qeaara
konseptual ditujukan untuk mengantisipasi iecenderungan dari penyimpangan kekuasaan
presiden sebagai penyelenggara tertinggi dalam negara.
Studi ini menganggap kekuasaan presiden yang sangat besar, terpusat (sentralistis) dan
mandiri, dalam arti lemahnya fungsi kontrol dari lembaga lain dalam negara, tidak lagi relevan
dengan prinsip demokrasi sebagai salah satu prinsip hidup bernegara yang fundamental.
Peranan lembaga kepresidenan yang begitu dominan dalam kehidupan politik dan ekonomi
telah menghambat aspirasi dan partisipasi dari rakyat banyak, sehingga apabila terus
diterapkan maka akan kurang menguntungkan bagi pelaksanaan proses demokrasi yang
tengah berjalan saat ini.
Konsep inti dari negara demokrasi menurut Miriam Budiardjo adalah konsep accountibility
yang diartikan sebagai adanya pertanggungjawaban dari pihak yang diberi mandat untuk
memerintah kepada mereka yang memberi mandat, konsep ini juga dapat diartikan secara
luas sebagai pertanggungjawaban politik. Pada negara-negara yang menganut sistem
demokrasi, pemberi mandat yang dimaksud adalah rakyat. Kesulitan untuk melibatkan seluruh
rakyat untuk berpartisipasi dalam proses tersebut melandasi negara-negara modern untuk
membentuk lembaga-lembaga perwakilan dari rakyat yang pengisian keanggotaannya
dihasilkan melalui proses pemilihan umum. Pembentukan lembaga-lembaga tersebut
kemudian juga diiringi dengan penciptaan kondisi yang memungkinkan para wakil-wakil rakyat
bekerja secara optimal. Pemberian wewenang dan tanggung jawab yang besar untuk
mengawasi dan meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah merupakan langkah
pertama yang dilakukan dalam rangka penyeimbangan kekuasaan dalam negara. Sistem
yang dibangun ini ternyata juga memiliki kecenderungan penyimpangan kekuasaan oleh
lembaga perwakilan dan bertendensi pada lemahnya lembaga eksekutif. Oleh karena itu jalan
tengah yang diambil adalah penciptaan mekanisme check and balance antara lembaga-
lembaga dalam negara.
Pelaksanaan mekanisme ini dilakukan dengan cara memberikan hak-hak tertentu kepada
lembaga-lembaga negara untuk memberikan penilaian kepada lembaga yang lain. Penilaian
ini dilakukan sejak sebelum suatu kebijakan diambil, sampai setelah kebijakan tersebut
dilaksanakan.
Mekanisme check and balance berorientasi pada terciptanya mekanisme kontrol antar
lembaga negara sehingga masing-masing lembaga berjalan berdasarkan prinsip akuntabilitas
(accountability). Karena pertanggungjawaban utama adalah pada rakyat, maka penciptaan
kondisi yang menjamin partisipasi rakyat secara optimal harus dibentuk. Kondisi-kondisi
tersebut tidak hanya berhenti pada pembukaan partisipasi di tingkat pembentukkan opini
publik (public opinion) saja, namun juga harus diikuti pembukaan peluang bagi public opinion
tersebut untuk mempengaruhi kebijakan publik yang dituangkan ke dalam peraturan
perundang-undangan secara jelas dan operasional.
Beberapa pakar hukum tata negara berpendapat bahwa iekuasaan presiden Indonesia yang
besar tersebut adalah hal yang memang wajar atau bahkan sudah seharusnya, dengan
berbagai sudut pandang dan argumentasi. Argumentasi yang cukup banyak dianut, terutama
oleh aparat birokrasi orde baru, adalah bahwa kekuasaan presiden yang besar tersebut
merupakan konsekuensi dari dianutnya paham negara integralistik oleh UUD 1945, yang
secara teoritis menempatkan posisi negara (yang diwakili oleh kepala negara) sebagai
"bapak" dari keluarga besar suatu bangsa. Paham ini berorientasi pada pembentukan negara
dan pemerintahan yang kuat, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dapat berlangsung
dengan baik dan lancar. Pandangan ini kemudian juga didukung oleh penganut pendekatan
sosio-kultural, yang beranggapan bahwa dalam sudut pandang budaya, bangsa Indonesia
memiliki budaya patrimonialistis yang memberikan kekuasaan besar kepada seorang
pemimpin dan meng’atasi’ warga negaranya.
Menurut A. Ramlan Surbakti dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya, pemerintah yang kuat
(strong state) tidak selalu sama dengan pemerintah yang berkuasa. Menurutnya pemerintahan
yalg kuat berarti:
1. Memiliki legitimasi dari rakyat karena mendapatkan kekuasaan berdasarkan hasil
pemilu yang kompetitif dan adil.
2. Melakukan tindakan berdasarkan persetujuan badan perwakilan rakyat.
3. Menggunakan kekuasaan berdasarkan konstitusi dan undang-undang.
4. Mempertanggungjawabkan penggunaan kewenangannya kepada badan
permusyawaratan dan perwakilan dan secara hukum kepada badan peradilan.
5. Menggunakan kewenangan publik berdasarkan moralitas publik.
Berdasarkan argumentasi tersebut, maka untuk mendukung sistem dan mekanisme yang
dapat menempatkan pemerintah dalam pmsisi yang kuat secara politik, ekonomi, hukum dan
sosial, bukan dengan menempatkan posisi dan ueuenang lembaga kepresidenan sebagai
penentu kebijakan-kebijakan penting tersebut secara top down, namun dibutuhkan sistem dan
mekanisme yang efektif dan demokratis dalam menggerakkan roda penyelenggaraan
pemerintahan di kemudian hari, yang akan mengeliminasi kecenderungan penyimpangan
kekuasaan dari lembaga kepresidenan.
Ada beberapa konsep yang akan menjadi landasan pemikiran dan dalam studi ini dan akan
dijadikan kerangka analisis bagi langkah-langkah pembenahan kekuasaan lembaga
kepresidenan, khususnya kekuasaan presiden sebagai Kepala Negara.
Pertama; Pendefinisan ulang konsep Presiden RI qebagai Kepala Negara, sebagai
Mandataris MPR, sebagai Kepala Pemerintahan dan sebagai Panglima Tinggi ABRI.
Kebutuhan redefinisi terhadap konsep-konsep kedudukan Presiden RI sudah sangat
mendesak untuk saat ini. Sebagaimana telah diketahui pengaturan dan batasan-batasan yang
jelas tentang masing-masing kedudukan tersebut sampai saat ini belum ada. Secara normatif
kewenangan untuk memberikan definisi tersebut ada di tangan legislatif yang diwujudkan
dalam bentuk undang-undang. Namun dikarenakal iedudukkan lembaga legislatif juga
sebaeial beqar berada di tangan Presiden yang juga bertindak qelaiu eksekutif, maia dalam
praktei ietataleearaal qehari-hapi ieuenaleal ultui melentukan deskripsi kerja bagi presiden
serta penjabaran fungsi-fungsi dari masing-masing konsep tersebut berada di tangan Presiden
juga. Apalagi kemudian dengan ketiadaan undang-undang khusus yang mengatur tentang hal
ini, operasionalisasi dari sebagian konsep-konsep tersebut dilakukan dengan peraturan
perundang-undangan yang kewenangannya ada pada eksekutif. Satu mekanisme yang rancu
karena pelaksana kerja menentukan sendiri deskripsi kerjanya. Kajian tentang konsep-konsep
kekuasaan presiden khususnya sebagai kepala negara akan diuraikan lebih lanjut dalam bab
yang berikut.
Kedua; Pemberdayaan supra struktur politik dengan memberikannya kemandirian dalam
mekanisme rekruitmen (pengisian jabatan), kemandirian dalam pengambilan keputusan serta
transparansi kelembagaan. Negara-negara demokrasi pada umumnya mendelegasikan
kekuasaan untuk menjalankan roda kenegaraan dan pemerintahan kepada lembaga-lembaga
negara yang masing-masing memiliki kewenangan yang terpisah dan mandiri. Doktrin
Montesquieu tentang trias politica, merupakan acuan dasar bagi sistem ini. Ia membagi
kekuasaan negara ke dalam kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam
perkembangannya kemudian, lembaga-lembaga tersebut tidak hanya terdiri dari tiga,
melainkan terjadi penambahan lembaga-lembaga yang dianggap diperlukan di beberapa
negara, sesuai dengan kondisi sosial politiknya masing-masing.Penambahan ini antara lain
dilakukan di Perancis yang membentuk lembaga penasehat (council de ‘etat) dan juga
Indonesia yang membentuk lembaga penasehat (DPA) dan lembaga pemeriksa keuangan
negara (BPK).
Pemisahan kekuasaan yang menurut Montesqieu mutlak antara tiap lembaga-lembaga
tersebut juga sudah mengalami pergeseran, mekanisme yang justru banyak dipergunakan di
negara-negara modern adalah mekanisme check and balance. Mekanisme ini dijalankan
tanpa menghilangkan prinsip-prinsip kemandirian dari tiap-tiap lembaga tersebut, bahkan
sebaliknya kemandirian (non intervensi) menjadi pedoman dalam pelaksanaan fungsi masing-
masing lembaga. Kemandirian yang dimaksud di sini terutama adalah kemandirian dalam hal
rekruitmen (pengisian jabatan), kemandirian dalam pengambilan keputusan dan transparansi
dalam penyelenggaraan kelembagaan.
Upaya untuk membatasi kekuasaan Presiden tidak dapat dilepaskan dari pemberdayaan
lembaga-lembaga yang berfungsi mengontrol kekuasaan tersebut, karena pembatasan
kekuasaan semata tanpa ada lembaga yang mengawasi secara efektif tidak akan mengurangi
kecenderungan penyimpangan kekuasaan. Untuk menjamin kemandirian dan keefektifan
kontrol itu pola rekruitmen dan proses pengambilan keputusan di tiap-tiap lembaga harus
lepas dari intervensi lembaga yang dikontrolnya yakni eksekutif, mekanisme ini akan
mengurangi kendala psikologis, administratif dan politis bagi pengisi jabatan dalam
menjalankan fungsinya. Yang terpenting juga dalam penyelenggaraan kelembagaan tersebut
harus diiringi dengan mekanisme yang transparan sehingga peranan kontrol tidak hanya
berputar di lingkaran elit saja, tapi juga melibatkan peran serta masyarakat dan infra struktur
politik secara luas, dengan begitu aktivitas dari lembaga pengontrol kekuasaan Presiden juga
dapat dikontrol oleh pihak luar dan dengan cara ini diharapkan tujuan kemandirian semakin
dapat dicapai secara optimal.
Ketiga; Pemberdayaan infra struktur politik dan masyarakat dengan cara pembukaan peluang
untuk berpartisipasi yang didukung oleh transparansi penyelenggaraan pemerintahan dan
penyediaan akses informasi yang memadai. Selama masa Orde Baru partisipasi masyarakat
secara luas diarahkan pada penerapan program pembangunan yang dirancang oleh para elit
penguasa. Langkah ini merupakan salah satu bagian dari strategi yang ditujukan untuk
menciptakan dan memelihara stabilitas nasional dalam rangka mendukung pertumbuhan
ekonomi yang cepat. Paradigma yang elitis dan tertutup ini pada gilirannya merambah hampir
semua bentuk proses pengambilan kebijakan negara di bidang ekonomi, politik, hankam dan
lain sebagainya. Dalam hal ini orde baru secara sadar menciptakan jarak antara pengambil
kebijakan dan masyarakat luas yang pluralistis. Untuk menjamin jarak itu tetap terjaga dan
orientasi kebijakan tidak terganggu, mekanisme seleksi pengisian jabatan publik yang tertutup
dan terpusat juga menjadi hal yang penting.
Paradigma sentralistis yang menempatkan negara yang diwakili oleh birokrasi sebagai aktor
utama dalam kebijakan publik telah banyak mendapatkan kritik dari para penganut paradigma
partisipasi masyarakat (kedaulatan rakyat). Kritik tersebut terutama ditujukan pada
kecenderungan dari penyimpangan kekuasaan yang terjadi mulai dari proses pengambilan
keputusan, penyelenggaraan kegiatan sampai pertanggungjawaban, yang sebagian besar
dikarenakan tidak adanya kontrol sosial yang kuat sebagai pengawas kritis terhadap
penyelenggara negara. Selain itu pendekatan yang sentralistis juga menyebabkan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan ekonomi dan politik tidak berjalan secara optimal. Hal ini
dikarenakan tidak terbangunnya potensi-potensi politik dan ekonomi masyarakat, yang pada
gilirannya memampatkan keluarnya inovasi, kreativitas, inisiatif, dan kritik yang hanya dapat
timbul apabila masyarakat dan infra struktur politik diberikan kesempatan dan tanggung jawab
untuk berperan serta sebagai aktor utama pembangunan.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan Presiden, khususnya kekuasaannya sebagai Kepala
Negara, kerangka pemikiran di atas akan dijadikan salah satu konsep dalam upaya
pembentukan sistem dan mekanisme yang diharapkan dapat mengantisipasi kecenderungan
penyimpangan kekuasaan. Pemberdayaan infra struktur politik dan masyarakat berorientasi
pada penciptaan lembaga kontrol yang kuat dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara,
terutama dalam pelaksanaan kekuasaan presiden sebagai Kepala Negara. Yang dimaksud
dengan infrastruktur politik dalam hal ini adalah partai politik, golongan kepentingan (interest
group), alat komunikasi politik (pers), dan golongan penekan (pressure group). Sedangkan
yang dimaksud dengan masyarakat di sini adalah masyarakat pada umumnya yang tidak
teroganisir secara sistematis dan dalam kesehariannya tidak aktif dalam kegiatan-kegiatan
politik baik lokal maupun nasional. Komponen-komponen ini akan bekerja dalam hal
pembentukan gerakan-gerakan sosial atau penciptaan public opinion yang issue-oriented
Dalam rangka menuju pemberdayaan tersebut, mekanisme pelaksanaan kekuasaan presiden,
khususnya kekuasaan sebagai Kepala Negara, tidak lagi diselenggarakan secara tertutup dan
top down namun dengan mekanisme yang memberikan peluang pada infrastruktur politik dan
masyarakat untuk berpartispasi secara maksimal bagi penyelenggaraan pemerintahan dan
kenegaraan. Peluang tersebut tentunya harus didukung oleh tindakan-tindakan yang
transparan dari penyelenggara negara agar informasi dan sosialisasi ide tidak salah
diinterpretasikan (miskomunikasi politik) sehingga kemungkinan terjadinya konflik politik dan
sosial dapat ditanggulangi sejak awal. Ultuk itu akses-akses informasi harus diqediakan
seaara memadai dan pmla ierja dapi birokrasi yang tertutup selama ini sudah harus dibenahi
karena tidak laei cocok untuk kebutuhan ini.
Keempat; Pemberdayaan institusi-institusi pemerintahan dengan cara pemberian tanggung
jawab dan wewenang yang optimal di bidangnya, yang selama ini berkaitan dengan
kekuasaan presiden sebagai kepala negara. Sebagaimana telah dikemukakan di atas,
kekuasaan presiden yang sangat besar dan sentralistis sudah saatnya mengalami pergeseran
paradigma. Presiden di masa Orde Baru secara normatif maupun empiris merupakan
pengambil keputusan yang utama dan final, termasuk di antaranya keputusan yang berada
dalam ruang lingkup kekuasaan sebagai kepala negara. Ieiuasaan bipokrasi yale besar dan
otonom di maqa Mrde Baru menjadikan institusi-institusi pemerintahan baii puqat maupul
daerah memeeang peranan penting bagi iebijaial pmlitii dal eimnomi leeara, Lamul apabila
ditelaah lebih jauh, aparat birokrasi yale mtmnom ini sebelarnya tepealtung qeaara tidai
ppmpmrsimnal mleh iebijakan yang `erada di pusat sehingga keotonomannya dapat dikatakan
semu. Penilaian kinerja aparat birokrasi sangat tergantung pada hubungan dominasi antara
pusat dan daerah serta atasan dan bawahan, sedangkan penilaian dari yang dilayani, dalam
hal ini masyarakat dan pihak lain (infrastruktur politik), menjadi tidak bermakna. Dalam
pekerjaan dan peneluran kebijakannya kemudian, aparat birokrasi lebih berusaha
"menyenangkan" atasan dan pusat daripada sasaran yang seharusnya yaitu masyarakat luas.
Budaya patrimonialistis dan konsep politik negara integralistik (negara kekeluargaan),
sebagaimana ditengarai oleh banyak pengamat kenegaraan, menjadi faktor-faktor penguat
bagi terus berlangsungnya pola kerja ini.
Faktor lain yang menyebabkan kekuasaan presiden sangat besar dan sentralistis adalah tidak
diberikannya wewenang dan tanggung jawab secara optimal kepada insitusi-institusi
pemerintahan untuk mengeluarkan kebijakan final dalam ruang lingkup bidang yang memang
digelutinya. Sebagian besar kekuasaan dan tanggung jawab dilimpahkan kepada presiden,
padahal untuk hal-hal tertentu seperti pengangkatan-pengangkatan adminsitratif tidak perlu
presiden langsung yang melakukannya. Mekanisme top down tersebut pada gilirannya
berimplikasi pada ketidakmandirian institusi-insitusi yang seharusnya mandiri dalam
pelaksanaan tugasnya, dalam arti telah bercampur dengan kepentingan politik dari eksekutif,
seperti kejaksaaan dan perguruan tinggi. Implikasi yang lainnya adalah tidak terjamahnya
institusi-intitusi pemerintahan di bawah presiden tersebut dari tanggung jawab moral dan
fungsionalnya kepada masyarakat, karena semua tanggung jawab tersebut dilimpahkan
kepada kepala negara yang dalam sistem politik orde baru dikondisikan sebagai the man can
do no wrong, dan pada akhirnya pertanggungjawaban moral maupun fungsional kepada
masyarakat tersebut menjadi hilang begitu saja.
Untuk mengurangi kecenderungan terjadinya implikasi-implikasi negatif tersebut maka dalam
rangka memberi pembatasan-pembatasan kekuasaan presiden sebagai kepala negara, dalam
kajian ini akan diajukan konsep pelimpahan kekuasaan presiden dalam kebijakan-kebijakan
yang berada dalam ruang lingkup wewenang dan tanggung jawab insitusi-institusi tertentu
(desentralisasi). Tujuannya adalah mengurangi penumpukkan wewenang dan tanggung jawab
pada presiden, menciptakan institusi-institusi pemerintahan yang lebih bertanggung jawab
pada masyarakat, dan mengurangi kecenderungan exekutive political bias untuk institusi-
institusi yang seharusnya mandiri dalam pelaksanaan kerjanya.
Kelima; Penciptaan mekanisme yang efektif yang ditujukan untuk kebutuhan check and
balance. Untuk menjawab permasalahan-permasalahan konseptual di atas, dibutuhkan suatu
mekanisme yang bersifat operasional dan dapat dipertanggungjawabkan. Mekanisme-
mekanisme ini ditujukan dalam rangka kebutuhan check and balance yang didasarkan pada
prinsip kedaulatan rakyat. Kekuasaan presiden yang selama ini sebagian besar dipahami
bersifat mandiri, dalam arti tidak adanya kontrol dari pihak lain, dalam kajian ini akan dipahami
secara sebaliknya. Mekanisme-mekanisme tersebut adalah:
1. konsultasi; yaitu kewajiban presiden untuk meminta saran-saran dan nasehat-
nasehat dari lembaga-lembaga yang terkait, termasuk di antaranya DPR, atau untuk
mendapatkan usulan sebelum mengambil keputusan akhir dalam menetapkan suatu
kebijakan. Hasil konsultasi ini dijadikan pertimbangan utama untuk memutuskan hasil
kebijakan akhir.
2. hearing; yaitu kewajiban presiden untuk mengadakan dengar pendapat secara
terbuka di DPR untuk mendapatkan pertimbangan dan penilaian atas suatu kebijakan
tertentu. Proses dengar pendapat ini kemudian dijadikan bahan untuk rumusan usulan
dari DPR kepada Presiden yang disampaikan secara terbuka pula. Usulan DPR ini
dapat dijadikan bahan pertimbangan dan penilaian oleh MPR pada saat
pertanggungjawaban presiden di akhir atau di tengah masa jabatannya. Mekanisme
ini dapat berjalan bersamaan dengan hak interpelasi yang dimiliki oleh DPR.
3. hak veto; yaitu hak yang dimiliki oleh presiden untuk menyatakan ketidaksetujuannya
atas kebijakan yang diambil oleh lembaga lain yang berakibat langsung pada tidak
dapat diberlakukannya kebijakan tersebut. Veto yang dilakukan oleh presiden ini
dinyatakan secara terbuka. Penggunaan hak ini dapat dijadikan bahan pertimbangan
dan penilaian bagi MPR pada saat pertanggungjawaban presiden di akhir atau di
masa jabatannya.
4. penetapan seremonial/ administrasi; yaitu tindakan presiden untuk mengesahkan
dan/ atau melantik suatu kebijakan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga lain dan
telah bersifat final.
Penggunaan mekanisme-mekanisme di atas akan disesuaikan dengan tujuan-tujuan dari
materi kebijakan dan fungsi-fungsi dari lembaga-lembaga yang terkait yang seluruhnya
berorientasi pada pembentukkan mekanisme check and balance.

E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan.
Data utama yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari hasil dari
penelitian bahan-bahan pustaka. Sebagaimana layaknya penelitian hukum pada umumnya
data sekunder itu berupa:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat
yang berupa sumber hukum nasional yang didapat dari Berita Negara RI.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberi penjelasan
mengenai bahan hukum primer yang berupa penelitian dan penulisan di bidang
hukum yang didapat dari buku, jurnal, majalah, dan surat kabar, makalah-makalah,
skripsi, tesis dan desertasi.
Bertolak dari bahan-bahan hukum tersebut kemudian dilakukan analisis sekunder (secondary
analysis) yang merupakan analisis terhadap data yang dikumpulkan, termasuk data yang
disajikan peneliti lain dengan tujuan tersendiri, yang tidak perlu sama dengan tujuan studi ini.
Persoalan utama berkaitan dengan analisis sekunder ini menurut Ferman dan Levin adalah
kecocokan antara data yang diperoleh dengan data yang diperlukan.
Dari hasil analisis akan diajukan rekomendasi-rekomendasi yang berkaitan dengan tiap-tiap
permasalahan dengan berdasarkan paradigma dan konsep-konsep yang telah dipersiapkan
sebelumnya. Keseluruhan langkah-langkah penelitian ini akan diakhiri dengan pengambilan
kesimpulan-kesimpulan yang merupakan pokok-pokok pemikiran yang dihasilkan dari
penelitian ini, serta pengajuan rekomendasi umum yang merupakan usulan-usulan dari
penelitian ini yang lebih mengarah pada hal-hal yang bersifat umum dan pokok.
[ Bab 1 ] [ Bab 2 ] [ Bab 3 ] [ Bab 4 ]
BAB II
TINJAUAN UMUM KEKUASAAN PRESIDEN RI
Perbincangan mengenai kekuasaan presiden tidak dapat dilepaskan dari perdebatan yang
telah berlangsung sejak lama seputar negara, sistem pemerintahan dan diskursus mengenai
kekuasaan itu sendiri. Hal ini disebabkan konsep kekuasaan presiden tidak serta-merta ada
dan dipakai dalam suatu masyarakat, melainkan muncul dari pergulatan pemikiran ahli-ahli
pikir di dunia serta berbagai percobaan-percobaan dari negara-negara di dunia yang berusaha
mencari sistem pemerintahan yang terbaik bagi negaranya. Oleh karena itu konsep
kekuasaan presiden tidak menjadi ahistoris, bahkan untuk negara yang baru merdeka
sekalipun. .
Istilah presiden dalam ketatanegaraan digunakan untuk menyebut kepala negara dari negara
yang berbentuk republik. Kepala negara dalam negara-negara modern adalah salah satu
supra struktur politik yang ada dalam negara, yang memiliki kewenangan tertinggi dalam
penyelenggaraan kehidupan kenegaraan.
Dalam perkembangan konsep-konsep kenegaraan modern, fungsi dan kewenangan presiden
dalam negara terutama tergantung dari sistem pemerintahan yang dianut oleh negara itu.
Dalam penjabaran selanjutnya, turunan fungsi-fungsi dan kewenangan-kewenangan utama
dari presiden serta mekanisme pelaksanaannya berbeda-beda antara masing-masing negara,
tergantung dari konsensus politik dari negara-negara tersebut.
Negara demokrasi modern dapat dijalankan dengan berbagai sistem pemerintahan. Dua
model sistem pemerintahan yang utama adalah sistem pemerintahan parlementer dan
presidensil. Kedua sistem itu di banyak negara kemudian mengalami banyak penyesuaian
dengan keadaan dan dinamika sosial, politik, budaya dan ekonomi masing-masing negara
tersebut, sehingga tidak ada lagi negara yang dapat dikatakan merupakan penjelmaan dari
kedua sistem tersebut secara murni.
Uraian di atas menunjukkan bahwa keberadaan kedudukan presiden, sebagaimana adanya
kedudukan-kedudukan lain dalam negara, adalah didasarkan pada adanya fungsi-fungsi dan
kewenangan-kewenangan tertentu yang diberikan kepadanya untuk dilaksanakan. Dari
kenyataan ini timbul pertanyaan mendasar yaitu fungsi-fungsi dan kewenangan-kewenangan
apa saja yang pada prinsipnya melekat pada presiden atau jabatan yang serupa dengannya
dalam negara? Latar belakang dan tujuan apa yang melandasi adanya fungsi-fungsi dan
kewenangan tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan ini dimaksudkan untuk dijadikan landasan dalam memilah fungsi-
fungsi dan kewenangan-kewenangan yang utama dari presiden, khususnya fungsi presiden
sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu diadakan penelusuran sejarah yang
akan berusaha mengaitkan teori-teori dan konsep-konsep kekuasaan dan negara yang ada
selama ini dengan kekuasaan presiden dalam negara. Kemudian juga akan digambarkan
praktek-praktek kenegaraan kekuasaan presiden di negara-negara modern. Dari kesimpulan
yang didapat, akan dilakukan analisis terhadap fungsi-fungsi dan kewenangan dari kekuasaan
presiden di Indonesia.
A. Kekuasaan Presiden Dalam Perspektif Teori Negara
Teori negara memusatkan perhatian pada pertanyaan mengapa di antara manusia yang hidup
dalam kelompok-kelompok, dalam paguyuban-paguyuban, dan ada seseorang atau
sekelompok orang yang dapat memerintah orang lain. Pertanyaan ini dilandaskan pada
kenyataan bahwa ada seseorang atau sekelompok orang dalam negara yang memiliki
kewenangan yang dilembagakan oleh hukum untuk mewakili, mengatur dan menentukan apa
yang baik untuk orang lain. Dalam kajian ini pertanyaan akan dipersempit menjadi mengapa
ada seorang atau sekelompok orang yang diberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan
pemerintahan? Dari mana kekuasaan tersebut diperoleh? Dan bagaimana bentuk-bentuk dan
mekanisme pelaksanaan kekuasaan tersebut?
Permasalahan-permasalahan di atas telah mulai berusaha dicari jawabannya sejak jaman
Yunani kuno yang diwakili oleh Plato dan Aristoteles. Perkembangan masyarakat dunia di
bidang ekonomi, sosial-budaya dan hukum menyebabkan teori-teori tersebut juga mengalami
banyak perubahan-perubahan yang signifikan. Dasar-dasar pemikiran yang dulu dikemukakan
terus mengalami penyesuaian-penyesuaian sampai sekarang, hingga seorang pakar
mengatakan bahwa teori tentang kekuasaan negara tidak pernah mati.
Pemikiran tentang kekuasaan presiden atau Kepala Negara merupakan turunan dari
pemikiran kekuasaan dan negara. Sejak awalnya, teori tentang kekuasaan negara tidak
pernah terlepas kaitannya dengan pembahasan siapa yang harusnya memegang kekuasaan
negara tersebut. Negara bukanlah benda mati yang dapat bergerak sendiri, melainkan sebuah
organisasi yang diselenggarakan oleh orang-orang dalam sekelompok masyarakat dengan
tujuan tertentu. Oleh karena itu pembahasan tentang siapa yang menyelenggarakannya dan
alasan yang melatarbelakangi hal tersebut menjadi bahasan yang penting dalam teori tentang
kekuasaan dan negara.
1. Kekuasaan Negara
Teori tentang kekuasaan negara merupakan teori negara yang menyatakan bahwa kekuasaan
negara harus mutlak. Negara adalah lembaga yang kedudukannya berada di atas rakyatnya.
Ia memegang peranan mutlak dalam menentukan apa yang baik dan seharusnya bagi
rakyatnya. Pemikiran ini pertama kali dikemukakan secara sistematis oleh pemikir besar
Yunani kuno yaitu Plato yang dilanjutkan oleh muridnya, Aristoteles. Bagi Plato dan Aristoteles
kekuasaan yang besar pada negara merupakan hal yang sepatutnya. Individu akan menjadi
liar dan tak terkendali bila negara tidak memiliki kekuasaan yang besar.
Latar belakang dari pemikiran mereka adalah bahwa pada dasarnya individu memiliki
kecenderungan yang keras untuk bertindak atas dasar kepentingannya sendiri. Oleh karena
itu, agar keadaan masyarakat tidak menjadi kacau, harus ada lembaga yang kuat untuk
mengarahkan individu-individu dalam masyarakat. Arah dan tujuan negara yang dimaksud
oleh Plato dan Aristoteles adalah penegakan moral dalam masyarakat.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Plato kemudian mengemukakan konsepnya tentang siapa
yang harus menyelenggarakan kekuasaan tersebut. Menurutnya negara harus dikuasai oleh
para filsuf karena hanya filsuf yang dapat melihat persoalan yang sebenarnya dalam
kehidupan dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan demikian para
filsuf memiliki kewenangan yang mutlak dalam negara atas dasar kapasitas pribadinya.
Bentuk pemerintahan ini dinamakan oleh Plato dengan aristokrasi para cendekia.
Dasar pemikiran ini kemudian diadopsi oleh agama katolik pada masa abad pertengahan
dengan alasan pembenar yang berbeda yaitu bahwa pada dasarnya kekuasaan adalah di
tangan Tuhan dan wakil Tuhan di dunia adalah Gereja. Dengan demikian negara yang
diberkati oleh gereja adalah negara yang diberkati oleh Tuhan. Kedudukan para filsuf dalam
negara digantikan oleh Gereja yang diwakili oleh Sri Paus, namun dalam pelaksanaan sehari-
hari kekuasaan negara yang mutlak tersebut diberikan kepada raja-raja katolik. Kekuasaan
para raja ini hanya dibatasi oleh hukum agama yang berada di bawah kekuasaan Gereja.
Pada abad ke-16, dasar pemikiran kekuasaan raja-raja yang mutlak mengalami pergeseran
kembali dari yang bersifat Illahiah menjadi bersifat duniawi kembali. Dasar pemikiran ini
dikemukakan oleh Grotius (Hugo de Groot) dan Thomas Hobbes. Inti gagasan ini menurut
Grotius adalah negara terjadi karena adanya suatu persetujuan, karena tanpa negara orang
tidak dapat menyelamatkan dirinya dengan cukup. Dari persetujuan itulah lahir kekuasaan
memerintah. Kekuasaan tertinggi untuk memerintah ini dinamakan kedaulatan. Grotius lalu
menempatkan kedaulatan tersebut pada negara yang dipegang oleh orang yang tidak tunduk
pada kekuasaan orang lain, sehingga ia tidak dapat diganggu gugat oleh kemauan manusia.
Pemikiran Grotius ini kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes. Dengan dasar yang
sama ia menyatakan bahwa perjanjian yang dibentuk oleh masyarakat adalah undang-undang
alam (lex naturalis) yang bertujuan untuk menciptakan perdamaian dengan cara membatasi
kemerdekaan alamiah tiap orang. Selain itu Hobbes berpendapat bahwa perlu diangkat
seorang raja dengan kekuasaan mutlak dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kekuasaan ini
bersifat mutlak karena raja berdiri di atas kepentingan warganya. Kekuasaan raja menurut
Hobbes bukan merupakan bagian dari perjanjian bahkan menurutnya raja tidak dapat
melanggar hukum karena raja merupakan hukum itu sendiri. Kedaulatan adalah kekuasaan
tanpa batas untuk tujuan-tujuan negara.
Pentingnya kekuasaan negara yang mutlak kemudian dikemukan pula oleh Hegel, seorang
filsuf dari Jerman. Dengan analisis filsafat historis yang mendalam, ia menyatakan bahwa
sejarah umat manusia merupakan proses dari sebuah ide universal yang sedang
merealisasikan atau mengaktualisasikan dirinya. Sejarah bergerak menuju suatu tujuan akhir
tertentu yang sudah pasti yaitu masyarakat manusia yang sempurna. Masyarakat yang ada
sekarang menurut Hegel bukanlah masyarakat yang sempurna, melainkan masyarakat yang
sedang menuju ke kesempurnaan. Masyarakat yang sempurna digambarkan oleh Hegel
dengan mengaitkan sejarah pola-pola kekuasaan dalam negara. Pada awalnya kekuasaan
negara dipegang oleh satu orang dalam sistem monarki, kemudian ia berkembang dengan
kekuasaan yang dipegang oleh beberapa orang dalam sistem oligarki dan pada akhirnya
perkembangan itu berujung pada sistem yang ideal dan lestari yaitu demokrasi, ketika pada
saat itu semua orang dalam negara memegang kekuasaan.
Dengan dasar bahwa masyarakat yang ada sekarang adalah masyarakat yang belum
sempurna, maka Hegel menempatkan negara sebagai penjelmaan dari ide universal ini.
Negara merupakan agen sejarah yang akan membimbing masyarakatnya untuk menuju
kesempurnaan. Oleh karena itu negara berada di atas warganya dan memiliki kewenangan
untuk memaksakan kepentingannya kepada warganya. Dengan begitu Hegel mendukung
kekuasaan negara yang mutlak atas warga negaranya walaupun ia tidak secara rinci
mengemukakan kepada siapa atau lembaga apa kekuasaan tersebut diberikan.
Pemikiran-pemikiran tentang negara kuat, baik yang dikemukan oleh Hegel maupun oleh
pemikir-pemikir sebelumnya, di masa negara-negara modern diteruskan oleh penganut teori
negara organis. Dalam konsep negara organis, negara merupakan sebuah lembaga yang
memiliki kemauan sendiri yang mandiri. Dia bukan sekedar alat dari keinginan sekelompok
orang di masyarakat, atau gabungan dari keinginan-keinginan kelompok yang ada di
masyarakat. Teori negara organis didasarkan pada tujuan negara untuk menciptakan
masyarakat yang lebih baik sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Hegel dan juga untuk
menegakkan moralitas baru di dalam masyarakat. Untuk itu negara harus aktif
menyelenggarakan dan mencampuri urusan-urusan yang ada di dalam masyarakat.
Dengan dasar pemikiran dan ideologi yang berbeda, konsep negara harus kuat tersebut
mencapai bentuk ekstrim pada negara fasis dan negara diktatur proletariat. Konsep negara
fasis adalah negara totaliter. Dalam negara fasis tidak boleh ada nilai yang berkembang
kecuali nilai yang dibentuk oleh negara, karena hanya negara yang tahu apa yang baik bagi
bangsanya. Model negara-negara semacam ini tumbuh di Italia dan Jerman sebelum perang
dunia kedua. Sedangkan dalam negara diktatur proletariat yang diilhami oleh ideologi
marxisme-leninisme, negara merupakan agen sejarah dari kaum proletariat untuk
mewujudkan tujuan terciptanya masyarakat komunis yakni masyarakat tanpa kelas dan juga
tanpa negara (stateless society). Pemerintahan diktatur proletariat hanya merupakan
pemerintahan transisi sebelum mencapai tujuan tersebut dan untuk kebutuhan itu negara
harus kuat.
Dalam konsep-konsep kekuasaan negara yang diuraikan di atas, tidak dijumpai secara jelas
peranan dari kepala pemerintahan dan kepala negara. Hal ini dikarenakan dalam pemikiran-
pemikiran kekuasaan yang mutak dari negara terdapat anggapan yang optimis terhadap
pemimpin-pemimpin negara (dalam hal ini sebagian menyebutnya raja), bahwa mereka
adalah yang paling tahu dan paling bisa untuk menciptakan masyarakat yang terbaik. Selain
itu pandangan yang menganggap kedudukan pemimpin dalam negara harus mutlak
menyebabkan konsep-konsep pelembagaan yang jelas dan rinci mengenai tugas dan
kewenangan menjadi tidak relevan, apalagi pemikiran yang bertujuan untuk membentuk
lembaga-lembaga lain yang dapat membatasi kekuasaan kepala negara yang mutlak.
2. Kedaulatan Rakyat
Timbulnya paham kedaulatan rakyat karena perkembangan pelaksanaan dari kekuasaan
negara yang mutlak, ternyata rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Sepanjang
sejarah, negara-negara yang lebih berkuasa daripada warga negaranya, meski dengan alasan
demi kebaikan warga negaranya tersebut, justru lebih banyak mengabaikan hak-hak dasar
warganya. Dalam perkembangannya di masa demokrasi modern, tujuan untuk menciptakan
negara yang demokratis disadari tidak dapat digantungkan pada para penguasa semata.
Untuk itu kedaulatan harus dipegang oleh rakyat.
Perkembangan pemikiran ini diawali oleh perlawanan kaum monarchomacha terhadap raja
dan gereja di masa abad pertengahan. Pemikiran mereka didasarkan pada keraguan terhadap
anggapan bahwa raja-raja dan gereja tidak mungkin melakukan kesewenang-wenangan.
Timbulnya pemikiran ini dikarenakan adanya kesewenang-wenangan yang memang terjadi
pada masa itu.
Kaum monarchomacha menyatakan bahwa kekuasaan untuk menginterpretasi kaidah-kaidah
agama bukanlah monopoli dari gereja semata, namun orang-orang di luar gerejapun dapat
melakukannya. Sedangkan raja, menurut mereka, ada karena diangkat oleh rakyat atas
persetujuan rakyat dan oleh karenanya ia tidak boleh sewenang-wenang kepada rakyatnya.
Raja yang lalim harus ditentang dan dilawan.
Para pendukung konsep kekuasaan negara yang mutlak kemudian membantah pikiran-pikiran
yang dikemukakan oleh kaum monarchomacha, di antara mereka adalah Grotius dan Thomas
Hobbes, dengan alasan yang telah dijelaskan dalam uraian di atas.
Pikiran-pikiran inipun kemudian dibantah oleh para pemikir paham kedaulatan rakyat. Salah
satu pemikir tersebut adalah John Locke. Ia menyatakan bahwa di dalam masyarakat manusia
ada hak-hak dasar manusia yang tidak dapat dilanggar oleh negara dan tidak diserahkan
kepada negara. Bagi Locke hak dasar ini bahkan harus dilindungi oleh negara dan menjadi
batasan bagi kekuasaan negara yang mutlak. Hak-hak alamiah dari John Locke terdiri dari
hak atas kehidupan, hak atas kemerdekaan dan hak atas milik pribadi yang dalam
perkembangannya kemudian di masa modern hak-hak dasar ini bertambah jumlahnya dan
menjadi konsep utama dalam pemikiran tentang demokrasi.
Di negara-negara modern, konsep kedaulatan rakyat ini mendapatkan tempat yang utama. Isu
yang paling gencar dikumandangkan dalam konsep ini adalah isu mengenai pembatasan
kekuasaan negara. Pada prinsipnya negara tetap diselenggarakan oleh orang-orang tertentu,
namun orang-orang tersebut harus mendapat legitimasi dan kontrol dari rakyatnya. Oleh
karena itu, pemikiran-pemikiran yang sebelumnya hanya berbentuk teori-teori dan konsep-
konsep umum, berkembang pada pemikiran-pemikiran yang mulai menggali persoalan-
persoalan pelembagaan.
Teori dan konsep tentang kedaulatan rakyat mengalami persoalan yang signifikan yaitu
tentang bagaimana pelaksanaan dari kedaulatan rakyat tersebut. Dalam konsep kekuasaan
negara yang mutlak, persoalan ini tidak timbul karena hal itu telah diselesaikan dengan
diserahkannya kekuasaan yang mutlak pada seseorang atau sekelompok orang tertentu.
Pada konsep kedaulatan rakyat, pelaksanaan menjadi rumit karena tidak mungkin untuk
menyerahkan kekuasaan penyelenggaraan negara pada seluruh masyarakat, hal itu dapat
menyebabkan terhambatnya bahkan kekacauan bagi pelaksanaan kehidupan bernegara.
Mekanisme kelembagaan untuk pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam rangka pencegahan
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan sebenarnya telah dipikirkan oleh John Locke. Locke
memisahkan aspek legislatif (pembuatan undang-undang dan hukum) dan aspek eksekutif
dan yudikatif (pelaksanaan undang-undang dan hukum) dalam sebuah sistem politik. Kedua
aspek ini tidak boleh dipegang oleh satu tangan agar penyalahgunaan kekuasaan dapat
dihindarkan.
Sistem pemerintahan menurut Locke terdiri atas seorang raja yang memiliki kekuasaan
eksekutif dan parlemen yang memiliki kekuasaan legislatif. Sistem ini dinamakannya monarki
konstitusional atau monarki parlementer. Badan eksekutif mempunyai hak prerogatif yang
tidak berdasarkan pada suatu undang-undang, malah kadang-kadang berlawanan dengan
undang-undang, tapi ia tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum atau kebaikan
umum, contohnya memanggil parlemen untuk bersidang. Yang menentukan hak tersebut
sejalan dengan kepentingan umum adalah seluruh rakyat, yang dalam pelaksanaannya
dilimpahkan pada wakil-wakil kepercayaannya di legislatif. Hal ini, menurut Locke,
mengakibatkan eksekutif tergantung pada legislatif dan legislatif tergantung pada rakyat.
Locke juga sebenarnya menambahkan satu lembaga lagi dalam negara, yang disebutnya
dengan kekuasaan federatif. Lembaga ini berfungsi menyelenggarakan kekuasaan tentang hal
perang dan damai, pembuatan perjanjian dan persekutuan serta apapun yang diperlukan
dalam berhubungan dengan pihak-pihak luar negara. Kekuasaan ini juga tunduk pada
legislatif, namun sebagaimana yang dikemukakan oleh Locke sendiri, fungsi federatif ini
sebenarnya juga sebaiknya dilakukan oleh eksekutif, sehingga terlihat bahwa Locke sendiri
tidak menganggap lembaga ini penting untuk dipisahkan secara tegas.
Kerangka pemikiran Locke kemudian lebih dikembangkan dan dipertegas lagi oleh
Montesquieu. Dalam pemikirannya yang dikenal dengan konsep trias politika, Montesquieu
memisahkan pelembagaan kekuasaan negara dalam tiga fungsi, yaitu kekuasaan eksekutif,
kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif. Dengan adanya pemisahan kekuasaan yang
tegas, diharapkan terjaminnya kebebasan masing-masing lembaga dalam menjalankan
kekuasaannya.
Dasar pemikiran Locke dan Montesquieu di jaman modern kemudian mengalami
perkembangan yang amat pesat. Mekanisme kelembagaan yang dulu belum menyentuh
persoalan-persoalan teknis dan operasional terus mengalami perbaikan-perbaikan. Namun
demikan isu-isu yang dikumandangkan tetap tidak berubah yaitu pembatasan kekuasaan
negara dalam rangka kedaulatan rakyat (demokratisasi). Kedudukan rakyat dalam teori
kedaulatan rakyat berusaha ditempatkan sedemikian rupa dalam pembahasan tentang
pelembagaan dalam ketatanegaraan, sehingga pemusatan kekuasaan pada satu orang atau
satu lembaga diharapkan tidak terjadi. Munculnya konsep perimbangan kekuasaan terhadap
kekuasaan eksekutif memungkinkan tersedianya mekanisme kontrol dalam penyelenggaraan
kehidupan kenegaraan dan sekaligus meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penentuan
kebijakan publik.
B. Karakteristik Kekuasaan Presiden Dalam Sistem Pemerintahan Negara Demokrasi
Modern.
Setelah diuraikannya dasar-dasar pemikiran dan perkembangan kekuasaan dalam negara
pada bagian sebelumnya, pada bagian ini akan dibahas lebih konkret lagi tentang
pelaksanaan kekuasaan tersebut di negara-negara demokrasi modern. Dalam uraian kali ini
akan diketengahkan model-model sistem pemerintahan yang umum dianut oleh negara-
negara demokrasi modern dan khususnya dikaitkan dengan peranan dan mekanisme
pelaksanaan fungsi lembaga kepresidenannya.
Isu utama dalam perdebatan tentang sistem pemerintahan demokrasi adalah hubungan
antara lembaga eksekutif dan legislatif. Sebagaimana telah dibahas dalam uraian-uraian
sebelumnya, kekuasaan lembaga eksekutif adalah kekuasaan sentral dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan kenegaraan. Ia merupakan perancang dan pelaksana utama dari
kebijakan-kebijakan negara. Sedangkan lembaga legislatif yang muncul dari kerangka
pemikiran untuk menyeimbangkan kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan negara, dalam
perspektif kedaulatan rakyat merupakan lembaga yang mewakili kehendak dan kepentingan
kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat dan diwujudkan dalam pembentukan
undang-undang. Perdebatan yang kemudian berlanjut dalam kaitannya dengan isu utama ini
adalah bagaimana menciptakan keseimbangan kekuasaan di antara kedua lembaga ini agar
tujuan untuk mengantisipasi dan mengeliminasi kecenderungan penyelewengan kekuasaan
dari masing-masing lembaga dapat dilakukan secara optimal. Persoalan-persoalan yang
diajukan untuk dijadikan bahan penilaian dalam mempertimbangkan kelebihan dan
kekurangan dari masing-masing sistem adalah stabilitas pemerintahan, partisipasi politik dan
pergolakan politik.
Dalam sistem pemerintahan negara-negara demokrasi modern, terdapat dua model utama
sistem pemerintahan dengan berbagai variasinya. Sistem tersebut adalah sistem presidensial
dan sistem parlementer. Perbedaan utama di antara keduanya adalah:
1. Dalam pemerintahan parlementer, kepala pemerintahan, yang bisa dijabat oleh
perdana menteri, presiden atau yang lainnya, bergantung pada mosi atau
kepercayaan badan legislatif dan dapat turun dari jabatan melalui mosi tak percaya
dari legislatif. Dalam pemerintahan presidensial, kepala pemerintahan hampir selalu
disebut presiden dan dipilih untuk masa jabatan yang ditentukan oleh UUD. Dalam
keadaan normal, kepala pemerintahan dalam sistem presidensial tidak dapat dipaksa
untuk mengundurkan diri oleh badan legislatif (meskipun terdapat kemungkinan untuk
memecat seorang presiden dengan proses pendakwaan luar biasa).
2. Kepala pemerintah presidensial dipilih oleh rakyat, baik secara langsung atau melalui
badan pemilihan, dan perdana menteri dipilih oleh badan legislatif.
3. Sistem parlementer memiliki pemerintah/eksekutif kolektif atau kolegial sedangkan
sistem presidensial memiliki eksekutif nonkolegial (satu orang). Posisi perdana
menteri dalam kabinet bisa berubah-ubah, yaitu lebih tinggi hingga sama dengan
menteri-menteri lain, tapi selalu ada tingkat kolegialitas yang relatif tinggi dalam
pembuatan keputusan. Sebaliknya, para anggota kabinet presidensial hanya
merupakan penasehat dan bawahan presiden.
4. Dalam sistem presidensil, presiden adalah kepala pemerintahan dan kepala negara,
ia juga tidak dapat sekaligus menjadi anggota badan legislatif. Sementara dalam
sistem parlementer perdana menteri hanya merupakan kepala pemerintahan saja dan
biasanya ia dan anggota-anggota kabinetnya merupakan anggota legislatif.
Perbedaan-perbedaan yang dikemukakan di atas tentunya tidak merupakan kriteria-kriteria
yang pasti berlaku dalam negara-negara yang menganut masing-masing sistem. Kriteria-
kriteria pokok tersebut terutama berlaku tanpa pengecualian bagi negara Amerika Serikat dan
Inggris yang masing-masing memberlakukan sistem presidensial dan sistem parlementer.
Sebagian negara-negara modern bahkan menggunakan sistem-sistem utama tersebut dengan
berbagai modifikasi dan variasi. Hal ini dikarenakan kedua sistem tersebut memiliki kelebihan
dan kekurangannya masing-masing, selain itu keduanya tidak serta merta dapat diadopsi utuh
tanpa mempertimbangkan sistem politik, ekonomi dan sosial-budaya masing-masing negara.
Kelebihan dan kekurangan utama dalam setiap tipe pemerintahan dengan kriteria-kriteria
pokok di atas adalah bahwa sistem presidensial memiliki kelebihan dalam stabilitas eksekutif,
demokrasi yang lebih besar dan pemerintah yang lebih terbatas, sedangkan kekurangannya
adalah dalam kemandegan (dead-lock) eksekutif-legislatif, kekakuan temporal dan
pemerintahan yang kurang inklusif. Sistem parlementer memiliki konsekuensi sebaliknya,
kelebihan presidensil adalah kekurangan parlementer dan kekurangan presidensil adalah
kelebihan parlementer.
Dalam bagian ini, kajian akan difokuskan terutama pada sistem presidensial dan sistem semi-
presidensial karena kebutuhan utama dalam studi ini adalah mencari prinsip-prinsip dasar dan
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dari sistem pemerintahan di dunia. Sebagian pakar
mengatakan bahwa UUD 1945 menganut prinsip-prinsip dasar tersebut, sehingga
pembahasan mengenai karakteristik kekuasaan presiden RI berikut ini, akan mengaitkannya
dengan prinsip-prinsip dan kebiasaan-kebiasaan sistem pemerintahan yang cenderung dekat
dengan sistem pemerintahan menurut UUD 1945.
1. Sistem Pemerintahan Presidensial
Pembahasan sistem pemerintahan presidensial ini didasarkan dari sebelas proposisi
mengenai sistem pemerintah presidensial yang dikemukakan oleh Douglas V. Verney dan
sebagian telah diuraikan secara umum pada paragraf tentang perbedaan sistem
pemerintahan presidensial dan parlementer.
a. Majelis tetap sebagai majelis saja.
Dalam teori sistem pemerintahan, terdapat tiga fase kekuasaan pemerintahan,
meskipun peralihan dari fase satu ke fase yang lain tidak selalu tampak jelas. Pada
awalnya, pemerintahan dipimpin oleh seorang raja yang bertanggung jawab atas
seluruh sistem politik atau sistem kenegaraan. Kemudian muncul sebuah majelis
dengan anggota yang menentang hegemoni raja. Terakhir, majelis mengambil alih
tanggung jawab atas pemerintahan dengan bertindak sebagai parlemen sehingga raja
kehilangan sebagian besar kekuasaan tradisionalnya. Ketiga fase ini merupakan pola
yang pernah muncul di Inggris. Konsep sistem pemerintahan presidensial menuntut
agar majelis tetap terpisah seperti dalam fase kedua sistem pemerintahan, dengan
menghapuskan monarki dan mengganti raja dan pemerintahannya dengan seorang
presiden dan majelis tetap sebagai majelis yang menjalankan fungsi kontrol terhadap
kekuasaan presiden.
b. Eksekutif tidak dibagi, melainkan hanya ada seorang presiden yang dipilih oleh rakyat
untuk masa jabatan tertentu pada saat majelis dipilih.
Penetapan eksekutif yang terpisah dimungkinkan karena eksekutif tidak terbagi
sebagaimana yang terjadi dalam sistem parlementer. Presiden dipilih untuk masa
jabatan yang pasti, hal ini mencegah majelis memaksa pengunduran dirinya, kecuali
dengan tuduhan pelanggaran yang serius, dan sekaligus menuntut presiden untuk
bersedia dipilih kembali melalui pemilihan umum jika ia ingin terus memegang
jabatannya, namun sebaiknya masa jabatan presiden ini dibatasi pada beberapa kali
masa jabatan. Hal yang juga penting adalah pemilihan presiden pada saat bersamaan
dengan pemilihan majelis, mekanisme ini akan menghubungkan dua cabang
pemerintahan, mendorong persatuan partai dan memperjelas berbagai masalah.
c. Kepala pemerintahan adalah kepala negara.
Jika dalam monarki praparlementer kepala negara juga merupakan kepala
pemerintahan, maka dalam sistem presidensial kepala pemerintahan menjabat
sebagai kepala negara. Ini merupakan satu perbedaan penting karena perbedaan ini
menarik perhatian ke arah kedudukan yang terbatas dan keadaan di seputar jabatan
presiden. Presiden mempunyai sedikit konsekuensi hingga ia dipilih sebagai
pemimpin politik oleh para pemilihnya dan ia tidak lagi memegang kekuasaan apapun
setelah masa jabatannya berakhir. Aspek seremonial dari kedudukannya sebagai
kepala negara hanya mencerminkan prestise politiknya.
d. Presiden mengangkat kepala departemen yang merupakan bawahannya.
Perdana menteri dalam sistem pemerintahan parlementer mengangkat menteri-
menteri yang merupakan rekan-rekannya di parlemen untuk bersama-sama
membentuk pemerintahan. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial,
presiden mengangkat menteri-menteri untuk dijadikan kepala departemen eksekutif di
bawahnya. Dalam aturan formal yang berlaku di Amerika Serikat dan Filipina,
pengangkatan menteri oleh presiden harus mendapatkan persetujuan dari majelis
atau salah satu organnya (di Amerika Serikat adalah Senat dan di Filipina adalah
Komisi Pengangkatan), sehingga pemilihan oleh presiden terbatas pada orang-orang
yang disetujui oleh badan itu. Hal ini menghindarkan presiden untuk mengangkat
orang-orang yang diragukan kapabilitas pribadinya.
e. Presiden adalah eksekutif tunggal.
Dalam sistem pemerintah presidensial, kekuasaan pemerintahan dipegang oleh satu
orang, yakni presiden. Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer yang
bersifat kolektif, perdana menteri berkedudukan setara dengan menteri-menteri
lainnya.
f. Anggota majelis tidak boleh menduduki jabatan pemerintah dan sebaliknya.
Dalam konvensi atau aturan parlementer negara-negara yang menganut sistem
pemerintahan parlementer, kecuali Belanda dan Norwegia, seseorang dibolehkan
untuk menduduki jabatan eksekutif dan legislatif sekaligus. Dalam sistem pemrintahan
presidensial, orang yang sama tidak boleh menduduki dua jabatan tersebut.
g. Eksekutif bertanggung jawab kepada konstistusi.
Sistem pemerintahan presidensial menuntut presiden untuk bertanggung jawab
kepada konstistusi, bukan kepada majelis sebagaimana dalam sistem parlementer.
Biasanya majelis meminta presiden bertanggung jawab kepada konstitusi melalui
proses dakwaan berat atau mosi tidak percaya, namun hal ini tidak berarti ia
bertanggung jawab kepada majelis seperti dalam pengertian parlementer. Dakwaan
ini menuntut kepatuhan hukum dan sangat berbeda dengan pelaksanaan kontrol
politik atas tindakan presiden.
h. Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa majelis.
Majelis dalam sistem presidensial tidak dapat memberhentikan presiden, begitu pula
sebaliknya presiden tidak dapat membubarkan majelis dan oleh karena itu mereka
juga tidak dapat saling memaksa. Hal ini, menurut pendukung sistem presidensial,
merupakan keadaan yang mendukung mekanisme check and balance agar berjalan
secara optimal.
i. Majelis berkedudukan lebih tinggi dari bagian-bagian pemerintahan lain dan tidak ada
peleburan bagian eksekutif dan legislatif seperti dalam sebuah parlementer.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, dalam sistem presidensial terlihat seperti
ada kecenderungan tidak adanya lembaga yang dominan atas lembaga lain, karena
presiden dan majelis sama-sama independen. Namun dalam praktek ada hal-hal yang
justru memperlihatkan bahwa majelis berkedudukan lebih tinggi dari lembaga-
lembaga lain termasuk lembaga yudikatif. Salah satu contohnya adalah bahwa majelis
dengan dasar UUD dapat menjatuhkan hukuman kepada presiden dalam proses
dakwaan berat. Contoh lainnya adalah kekuasaan mejelis untuk mengubah UUD
menempatkan majelis sebagai lembaga yang dapat berbuat apa saja dalam mengatur
kekuasaan lembaga-lembaga lain dalam negara. Dalam sistem parlementer,
konstitusi harus diubah dengan persetujuan pemerintah dan parlemen, sedangkan
dalam sistem presidensial majelis dapat merubah UUD tanpa persetujuan presiden.
j. Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada para pemilih.
Dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden dipilih oleh rakyat, baik secara
langsung atau melalui badan pemilihan, sedangkan perdana menteri dalam sistem
parlementer dipilih oleh badan legislatif. Konsekuensi dari sistem ini adalah presiden
akan merasa lebih kuat kedudukannya dari pada para wakil rakyat, karena ia dipilih
oleh seluruh rakyat sedangkan para wakil rakyat dipilih oleh sebagian rakyat. Di
beberapa negara Amerika Latin dan Perancis di masa de Gaulle, presiden dapat
melangkah lebih jauh dari batas kekuasaannya dengan menggunakan alasan ini.
k. Tidak ada fokus kekuasaan dalam sistem politik.
Apabila dalam sistem parlementer kegiatan politik bertumpu pada parlemen, maka
dalam sistem presidensial tidak ada lembaga yang menjadi konsentrasi kekuasaan,
karena pada kenyataannya kekuasaan menjadi terbagi dan masing-masing lembaga
memiliki kewenangan yang dikontrol oleh lembaga lainnya.
2. Sistem Pemerintahan Semi-Presidensial
Bentuk-bentuk pemerintahan yang berada di antara sistem presidensial dan sistem
parlementer disebut oleh Maurice Duverger dengan sistem "semi-presidensial" sedangkan
Jean Blondel menggolongkan sistem ini ke dalam sistem pemerintahan yang ia sebut
"kepemimpinan rangkap". Selain Perancis, negara-negara yang digolongkan dalam sistem ini
adalah Finlandia, Austria, Argentina, Irlandia, Islandia, Portugal melalui UUD 1975, Sri Langka
melalui UUD 1978, dan sistem yang berlaku di Jerman dari tahun 1919 hingga 1933 di bawah
Republik Weimar. Sistem ini oleh para pendukungnya dinyatakan sebagai sistem yang
menyatukan keuntungan-keuntungan dari sistem presidensial dan parlementer murni. Sistem
ini diduga oleh Lijphart memiliki daya tarik yang besar khususnya di dalam pemerintahan
presidensial di mana ketidakpuasan terhadap presidensialisme terus tumbuh.
Konsep-konsep dan karakteristik sistem semi-presidensial hanya dapat didefinisikan dalam isi
UUD yang menganutnya. Sebuah rejim politik oleh Duverger dianggap sebagai semi-
presidensial jika UUD yang menetapkannya menyatukan tiga unsur, yaitu (1) presiden republik
dipilih melalui hak pilih universal/ umum; (2) ia memiliki kekuasaan yang cukup besar; dan (3)
ia memiliki lawan politik, namun seorang perdana menteri atau para menteri yang memegang
kekuasaan eksekutif dan pemerintahan dapat tetap memegang jabatan seandainya parlemen
tidak menunjukkan oposisi kepada mereka. Duverger mengemukakan kriteria-kriteria tersebut
dalam rangka analisisnya terhadap tujuh negara yang menganut sistem semi-presidensial,
yaitu negara-negara tersebut di atas minus Argentina dan Sri Langka.
Sebagaimana yang ditemukan oleh Duverger, semua UUD yang menetapkan pemerintahan
semi-presidensial tampak relatif homogen dan semua UUD itu memperlihatkan perbedaan
yang cukup mencolok dalam hal kekuasaan kepala negara. Dalam prakteknya kekuasaan
kepala negara di antara negara-negara penganut sistem ini memiliki keragaman tingkat
kekuasaannya. Analisis Duverger terhadap praktek negara-negara tersebut memperlihatkan
bahwa di tiga negara yaitu Austria, Irlandia dan Islandia, presiden hanya merupakan boneka,
di satu negara yaitu Perancis, presiden sangat berkuasa, di tiga negara lain sisanya presiden
berbagi kekuasaan dengan perdana menteri.
UUD Austria, Irlandia dan Islandia menetapkan sistem pemerintahan semi-presidensial,
sedang praktek politiknya adalah parlementer. Meskipun dipilih secara umum dan diberikan
kekuasaan pribadi oleh undang-undang, kepala negara di setiap negara ini biasanya bertindak
seperti presiden Italia atau seperti Ratu Inggris. Fungsi-fungsi yang dijalankan dalam hal ini
adalah mengesahkan semua keputusan yang diajukan oleh pemerintah, dan hak prerogatifnya
hanya memilih perdana menteri selama pemilihannya itu tidak ditentukan oleh hasil pemilu.
Setelah diubah pada tahun 1962, UUD Perancis 1958 tidak memberikan kekuasaan pribadi
yang besar kepada presiden republik, kecuali dalam pasal 16 UUD itu yang mengijinkan
presiden menjadi seorang diktator sementara dalam keadaan luar biasa. Terlepas dari pasal
16 ini, Presiden Republik Perancis dapat membuat berbagai keputusan tanpa harus
ditandatangani oleh Perdana Menteri dan tanpa persetujuan pemerintah atau mayoritas
parlemen dalam empat hal saja, yaitu (1) membubarkan Majelis Nasional; (2) menunjukkan
undang-undang atau komitmen internasional yang ia nilai bertentangan dengan UUD kepada
Dewan Konstitusional; (3) mengangkat tiga anggota dan kedua (sic!) Dewan Konstitusional
setelah masa jabatan pendahulu mereka berakhir; dan (4) menyampaikan berbagai pesan
kepada parlemen.
Kekuasaan presiden lainnya di Republik Perancis adalah dimilikinya hak veto dalam hal
ordonansi dan dekrit yang dibahas di Dewan Menteri. Ordonansi adalah naskah yang
mengandung kekuatan hukum yang disetujui oleh pemerintah dan harus dilaksanakan secara
penuh melalui undang-undang. Sementara dekrit menyangkut pengangkatan para pejabat
senior, Penasehat Negara, dan Penasehat di Badan Pemeriksa Keuangan, gubernur, duta
besar, jenderal, rektor dan para administratur pusat. Dyverger dalam hal ini mencatat bahwa
kekuasaan utama Presiden Republik Perancis memiliki karakter yang tidak tertentu. Mayoritas
dari kekuasaan tersebut bukan merupakan kekuasaan keputusan. Kekuasaan-kekuasaan itu
hanya cenderung menghambat suatu keputusan untuk dikaji secara matang atau untuk
menyerahkan keputusannya kepada rakyat Perancis (dalam hal ini pembubabaran parlemen,
referendum).
Dalam prakteknya, Presiden Perancis menggunakan kekuasaan jauh lebih besar. Dimulai
sejak pemerintahan Jenderal de Gaulle tahun 1964 dan kemudian diikuti oleh para
penggantinya, kekuasaan presiden telah berubah menjadi kekuasaan sebagai kepala
eksekutif tertinggi dan kepala pemerintahan yang sebenarnya. Para presiden tersebut
menjalankan langsung kekuasaan prerogatif presiden dan menjalankan secara tidak langsung
kekuasaan prerogatif perdana menteri. Dominasi tersebut disebabkan penafsiran de Gaulle
yang membingungkan atas UUD dengan menyatakan bahwa kekuasaan negara yang tidak
terbagi diserahkan sepenuhnya kepaada rakyat yang telah memilihnya, bahwa tidak ada
kekuasaan yang tidak diberikan dan tidak dipegang oleh presiden dan presiden berkewajiban
menyesuaikan kedudukannya yang tertinggi ini dengan kedudukan pejabat-pejabat lain. Hal
ini menyebabkan kedudukan Majelis Nasional yang juga dipilih oleh rakyat dan seharusnya
menjadi pusat kedaulatan rakyat menjadi terabaikan dan kekuasaan negara kemudian
mengarah pada pemusatan ke satu orang, yakni presiden.
Kekuasaan presiden yang besar di Republik Perancis ini kemudian mengalami fase
pergeseran dari pola presidensial ke parlementer ketika Presiden Francois Mitterand
kehilangan suaranya di parlemen dan terpaksa mengangkat lawan politiknya yang utama,
Jacques Chirac untuk menduduki jabatan perdana menteri. Chirac menjadi kepala
pemerintahan, kekuasaan Mitterand berkurang dan hanya memegang peranan khusus dalam
politik luar negeri, periode ini oleh Lijphart disebut dengan periode "kohabitasi" (pemerintah
gabungan).
Konstitusi-konstitusi Republik Weimar, Finlandia dan Portugal serta pelaksanaannya dalam
praktek, oleh Duverger dinyatakan berjalan dalam arti yang sesungguhnya, kekuasaan
presiden sebagai kepala negara dan kekuasaan perdana menteri sebagai eksekutif berada
dalam kedudukan yang seimbang. Ini berbeda dengan kekuasaan presiden pada tiga negara
yang telah diuraikan sebelumnya yang hanya membatasi kekuasaan presiden pada fungsi-
fungsi simbolik. Selain itu, konstitusi ketiga negara tersebut juga berbeda dengan Perancis
yang mendudukkan perdana menteri sebagai kepala staf di bawah presiden (sebelum masa
kohabitasi).
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kekuasaan presiden dalam sistem
pemerintahan negara-negara demokrasi modern ternyata tidak mudah untuk dipetakan dan
dianalisis secara sederhana, apalagi untuk mengklasifikasikannya sesuai dengan ketentuan
baku mengenai hak dan wewenang yang ada pada presiden, sebagai kepala negara ataupun
kepala pemerintahan. Hal ini disebabkan karena memang tidak ada konsep baku yang
mengatur tentang kekuasaan presiden dalam suatu negara. Semuanya tergantung dari
konstitusi dan praktek politik yang terbentuk di negara tersebut. Khusus untuk kepala negara
dalam perkembangan praktek-praktek kenegaraan modern, fungsi-fungsinya tidak lagi hanya
dapat dikatakan sebagai simbolis belaka. Kekuasaan kepala negara hanya dapat
disederhanakan menjadi kekuasaan tertinggi dalam negara, tapi dalam pelaksanaannya
kekuasaan tersebut berbeda-beda, baik dari jenisnya maupun tingkat kekuasaannya.
C. Karakteristik Kekuasaan Presiden RI
Pembahasan khusus dan komprehensif mengenai kekuasaan presiden RI tidak banyak
ditemukan dalam literatur-literatur hukum tata negara Indonesia maupun literatur-literatur
politik Indonesia. Padahal sebagaimana diketahui bersama, selama empat puluh tahun sejak
masa Demokrasi Terpimpin sampai berakhirnya Orde Baru, lembaga negara yang paling
mendominasi kehidupan bernegara di Indonesia adalah lembaga kepresidenan. Masalah ini
pernah dilontarkan oleh Affan Gafar dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh BEM
UGM di Yogyakarta pada tahun 1994. Salah satu sebab utama yang ia kemukakan dalam
diskusi tersebut adalah bahwa selama masa kepemimpinan Soekarno dan Soeharto,
permasalahan-permasalahan tentang kekuasaan presiden seolah-olah dianggap tabu untuk
diperdebatkan.
Perdebatan tentang kekuasaan Presiden RI selama ini secara umum dapat digolongkan ke
dalam dua kelompok besar, yaitu pertama, kelompok yang mendasarkan pandangannya
secara normatif pada paham integralistik dan kedua, kelompok yang mendasarkan
pandangannya secara dinamis pada paham demokrasi modern. Kedua kelompok ini sama-
sama menyatakan bahwa pandangannya didasarkan pada paham kedaulatan rakyat dan
umumnya mereka tetap berpegang pada UUD 1945, hanya dalam hal penafsirannya saja,
khususnya mengenai kekuasaan Presiden RI, mereka berbeda pandangan.
Secara garis besar, sebelum dijelaskan lebih lanjut di bawah, penganut paham integralistik
menyatakan bahwa kekuasaan presiden RI yang besar adalah konsekuensi dari dianutnya
paham integralistik oleh UUD 1945, yang pada prinsipnya tidak mempertentangkan antara
"staat" dan "individu", persatuan antara pemimpin dan rakyatnya yang diliputi oleh suasana
dan semangat gotong royong dan kekeluargaan. Negara, yang diwakili oleh kepala negara,
adalah negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya yang mengatasi semua golongan
dalam lapangan apapun. Pandangan ini digolongkan oleh beberapa pakar ke dalam paham
negara organis. Penyederhanaan ini ditolak oleh Attamimi dengan argumentasi bahwa dasar
pemikiran paham integralistik Soepomo berbeda dengan dasar pemikiran teori-teori barat,
karena ia diambil langsung dari riwayat hukum (rechtgeschichte) dan lembaga sosial (sociale
struktuur) asli bangsa Indonesia.
Di lain pihak, penganut paham demokrasi modern umumnya adalah pengkritik paham
integralistik atau minimal tidak mengaitkan pandangannya dengan paham integralistik.
Pendekatan yang dipakai lebih sering didasarkan pada relaitas sosial-politik Indonesia yang
dihubungkan dengan dinamika konsep-konsep demokrasi modern dengan orientasi menjawab
kebutuhan-kebutuhan kehidupan kenegaraan Indonesia menuju keadaan yang lebih
demokratis. Pandangan ini tidak mudah untuk dipetakan secara sederhana karena
pendekatan-pendekatan yang dipakai dalam melihat realitas sosial-politik Indonesia
bermacam-macam dan cenderung tidak normatif. Selain itu, dalam penafsiran mereka atas
konsep-konsep demokrasi yang berkembang juga berbeda-beda, namun secara prinsipil,
khususnya mengenai kekuasaan Presiden RI, mereka sepakat untuk membatasi ruang
lingkup kekuasaannya dan berpihak pada penciptaan keseimbangan kekuasaan dalam
negara (balance of power).
Untuk lebih jelasnya, maka pada bagian berikut akan diuraikan pokok-pokok pemikiran
mengenai kekuasaan Presiden RI dalam perspektif cita negara integralistik dan para
pengkritiknya. Selanjutnya akan dianalisis sistem pemerintahan negara RI, kekuasaan
Presiden RI, dan relevansinya dengan tuntutan demokratisasi di Indonesia dewasa ini.
1. Kekuasaan Presiden RI Dalam Perspektif Cita Negara Integralistik
1.1. Cita Negara Integralistik
Gagasan cita negara integralistik pertama kali dikemukakan oleh Soepomo dalam sidang
BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945 dan kemudian secara baik dan sistematis dikembangkan
oleh A. Hamid S. Attamimi dalam desertasinya. Dalam kajian ini tidak seluruh gagasan
tersebut akan diuraikan, namun hanya bagian-bagian yang berkaitan dengan prinsip-prinsip
pokok kekuasaan Presiden RI.
Dalam teori integralistik Soepomo, negara adalah kesatuan masyarakat yang organis dan
tersusun secara integral, di mana segala golongan, segala bagian, dan segala anggotanya
berhubungan erat satu sama lain. Negara bertujuan untuk menjamin kepentingan masyarakat
seluruhnya sebagai kesatuan, bukan untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan.
Pemikiran ini didasarkan pada prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat serta prinsip
persatuan dalam negara seluruhnya. Prinsip ini diambilnya dari aliran pikiran nasional sosialis
Jerman dan konsep negara Dai Nippon yang hidup di masa sebelum Perang Dunia II sampai
perang dunia berakhir dan dianggapnya cocok dengan aliran pikiran ketimuran. Pemikiran ini,
menurut Soepomo, juga didasarkan pada struktur sosial Indonesia asli, yang berwujud dalam
susunan tata negara yang terdapat di desa-desa Indonesia.
Cita negara integralistik, menurut Soepomo, tidak berarti bahwa negara tidak memperhatikan
adanya golongan-golongan sebagai golongan atau tidak mempedulikan manusia sebagai
perseorangan. Negara atau pemerintah tidak akan menarik segala kepentingan masyarakat
ke dirinya untuk dipelihara sendiri. Selanjutnya menurut Soepomo, dengan alasan-alasan
yang "doelmatig", negara atau pemerintah akan membagi-bagi kewajiban negara kepada
badan-badan pemerintah pusat dan daerah, atau akan menyerahkan sesuatu hal untuk
dipelihara oleh suatu golongan atau suatu perseorangan, segala sesuatu menurut waktu,
tempat, dan soalnya.
Cita negara integralistik Soepomo tersebut oleh Attamimi kemudian diturunkan dalam teori
bernegara Indonesia yang disebutnya dengan teori bernegara "Republik Desa". Berdasarkan
pidato Soepomo di sidang BPUPKI dan teori bernegara yang dikemukakan oleh Padmo
Wahjono dan Jellinek yang meliputi hakekat negara Indonesia, pembenaran adanya negara
Indonesia, terbentuknya negara Indonesia dan tujuan negara Indonesia; ia berkesimpulan
bahwa semua teori bernegara tersebut sama dengan cita pembentukan "Republik Desa" yang
disesuaikan dengan sociale struktuur masyarakat Indonesia yang nyata pada masa sekarang,
serta harus disesuaikan dengan panggilan zaman.
1.2. Sistem Pemerintahan Negara Integralistik: Republik Desa.
Sistem pemerintahan negara Indonesia menurut Attamimi adalah sistem pemerintahan
presidensial, berdasarkan pendapat Rutges ia menyatakan bahwa sistem presidensial adalah
sistem yang dipertimbangkan secara rasional (een rationale uitgedahcht stelsel), yang juga
mempunyai dasar pertimbangan pembatasan kekuasaan melalui pembagian kekuasaan,
meskipun Indonesia tidak mengikuti trias politica. Perbedaan utama antara sistem
pemerintahan presidensil yang berlaku di Amerika Serikat dengan sistem presidensial
Indonesia adalah terletak pada cita negara dan teori bernegara yang dianutnya. Indonesia
menganut sistem presidensial sendiri atas dasar presiden memegang kekuasaan pemerintah
negara menurut UUD 1945.
Sistem pemerintahan negara Indonesia menurut Soepomo, yang dikuatkan oleh Attamimi,
merupakan pengalihan dasar-dasar sistem pemerintahan "Republik Desa" yang merupakan
cerminan Teori Bernegara Indonesia, yang didasarkan pada Cita Negara Indonesia ke dalam
sebuah negara modern Republik Indonesia. Dengan membandingkan lembaga-lembaga
negara RI dalam UUD 1945 dengan lembaga-lembaga "Republik Desa" Attamimi
memperlihatkan bahwa kedudukan, fungsi dan peranan lembaga-lembaga negara tersebut
dalam sistem pemerintahan negara Indonesia adalah sama dengan apa yang terdapat di
"Republik Desa".
Kekuasaan negara tertinggi di dalam negara adalah di tangan rakyat, sebagaimana dalam
"Republik Desa", kekuasaan ada di tangan rakyat desa. Dalam pelaksanaannya, kedaulatan
itu diserahkan ke tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang dalam "Republik
Desa" dinamakan Rapat Desa, dengan dasar pemikiran bahwa tidak mungkin dan tidak perlu
seluruh rakyat turut serta melakukan kedaulatannya. MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia yang berdaulat bertugas untuk menetapkan Hukum Dasar Negara, menetapkan
GBHN, memilih dan mengangkat Presiden dan memberinya mandat, serta memilih dan
mengangkat wakil presiden. Dengan pemberian mandat kepada presiden, maka menurut
Soepomo kedaulatan tersebut menjelma pada presiden, atau yang menurut Attamimi harus
diartikan sebagai "mengalirnya" kedaulatan rakyat melalui mandat MPR selaku pelaksana
kedaulatan rakyat kepada presiden, jadi penjelmaan tersebut mestinya dalam lembaga
presiden bukan dalam pribadi presiden.
Dalam pelaksanaan negara sehari-hari, ada lembaga perwakilan rakyat (DPR) yang bertugas
untuk mengawasi pelaksanaan pemerintahan dan kenegaraan oleh presiden. Oleh Attamimi
lembaga perwakilan ini digolongkan ke dalam lembaga yang mewakili dan berfungsi dalam
kualitas rakyat selaku suyet atau onderdaan yang diperintah. Di samping DPR, ada lembaga-
lembaga lain yang setingkat dengannya yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang
berfungsi sebagai lembaga penasehat negara khususnya kepala negara, Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) yang berfungsi sebagai lembaga pemeriksa keuangan negara, dan
Mahkamah Agung (MA) yang berfungsi sebagai lembaga peradilan tertinggi. Lembaga-
lembaga tinggi negara ini dalam "Republik Desa" disebut dengan Dewan Morokaki yang
merupakan golongan Pinitua dalam desa atau ahli warisnya, yang umumnya dan biasanya
adalah warga desa penuh atau inti dan mempunyai hak dan kewajiban istimewa. Lembaga ini
berfungsi sebagai penasehat kepala desa serta sewaktu-waktu juga dapat menyelesaikan
perselisihan di bidang hak atas tanah atau pengairan. Dalam hal-hal tertentu lembaga ini juga
dapat membantu tugas kepala desa dan parentah desa, namun semua tanggung jawabnya
tetap dipegang oleh kepala desa.
Kepala negara (presiden) dan wakilnya, sebagaimana halnya kepala desa, dipilih dan
diangkat oleh MPR, atau Rapat Desa untuk kepala desa. Presiden adalah penyelenggara
tertinggi pemerintah negara dan bertanggung jawab kepada MPR Selain dibantu oleh wakil
presiden, ia dibantu pula oleh menteri-menteri negara. Kepala Negara Indonesia berdasarkan
konsep "Republik Desa" hendaknya bersikap ‘manunggal’ dengan seluruh masyarakatnya dan
seorang warga negara hendaknya bersikap ‘manunggal’ dengan seluruh masyarakatnya.
Kepala Negara Indonesia lebih daripada pemimpin, pemuka, dan penuntun saja, ia adalah
Bapak Rakyat, Bapak Bangsa.
1.3. Kekuasaan Presiden RI Dalam Sistem Pemerintahan Negara Integralistik.
Berlatar belakang adanya ketidaksesuaian istilah yang dipakai antara batang tubuh dan
pejelasan umum UUD 1945 yang berkaitan dengan kedudukan presiden, Attamimi
menganalisisnya berdasarkan penjelasan Soepomo di dalam Panitia Kecil yang menyatakan
bahwa kata ‘presiden’ adalah gelar bagi Kepala Negara Indonesia. Pernyataan ini menurut
Attamimi berhubungan dengan bentuk Negara Republik Indonesia yang dipilih oleh UUD 1945
yakni republik. Selanjutnya dengan dasar itu, Attamimi menyimpulkan bahwa kata ‘presiden’
adalah gelar bagi kepala negara yang juga berkedudukan sebagai Penyelenggara Tertinggi
Pemerintah Negara RI.
Penyelenggara pemerintah tertinggi dalam negara atau disebut dengan kepala pemerintahan,
sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum UUD 1945, menurut Attamimi merupakan
terjemahan staatsregering yang merupakan perwujudan dan yang menyelenggarakan
kekuasaan negara (staatsmacht) sebagai salah satu unsur negara. Kekuasaan pemerintahan
dalam UUD 1945 menurut Attamimi sangat berbeda dengan kekuasaan pemerintah (executive
power) dalam ajaran Montesqueiu. Istilah executive power dan legislative power dari
Montesquieu dalam UUD hanya untuk memberikan penjelasan dan perbandingan semata-
mata dengan sistem yang sesungguhnya dianut oleh UUD 1945. Kekuasaan pemerintah
Indonesia adalah sama dengan kekuasaan pemerintah desa yang tidak hanya menyangkut
pemerintahan dalam arti sempit (bestuur), namun juga pemerintahan dalam arti luas (regering)
yang berisi kekuasaan atas pengadilan, kekuasaan atas perundang-undangan, kepolisian dan
bahkan pertahanan. Lebih lanjut kemudian dikemukakan oleh Attamimi bahwa regering yang
dalam bahasa Jerman adalah regeriung menurut Zippelius memiliki fungsi luas yaitu sebagai
kegiatan penyelenggaraan negara yang tertinggi dan yang memimpin, yang perencanaan
politiknya melihat jauh ke depan melampaui jangkauan bidang eksekutif dan legislatif.
Sementara menurut Maier regeriung berarti panduan dan pimpinan negara secara
keseluruhan, yang bertugas mengintegrasikan, mengkoordinasikan, dan mengontrol
pembentukan keinginan politik dan penentuan kehidupan kenegaraannya sendiri. Konsep ini
sesuai dengan konsep negara integralistik Soepomo yang menyatakan bahwa kepala desa
atau kepala rakyat, yang dalam negara modern adalah presiden, berfungsi dan berkewajiban
untuk menyelenggarakan rasa keadilan rakyat, dan harus senantiasa memberi bentuk
(gestaltung) kepada rasa keadilan dan cita-cita rakyat.
2. Kritik Terhadap Cita Negara Integralistik.
2.1. Kritik Terhadap Soepomo dan Para Penganutnya
Cita negara integralistik yang dikemukakan oleh Soepomo dan didukung kuat oleh para
penganutnya mendapatkan kritikan tajam dari beberapa pakar hukum tata negara Indonesia.
Para pengkritik tersebut di antaranya adalah J. H. A. Logemann, Ismail Suny, Yusril Ihza
Mahendra dan Marsillam Simanjutak. Kritik-kritik mereka terutama berkisar pada
ketidaksepakatan bahwa pidato Soepomo di sidang BPUPKI merupakan jiwa dari UUD 1945.
Selain itu para pakar ini juga mengungkapkan ketidaksetujuan terhadap konsep negara
integralistik yang memberikan kekuasaan sangat besar kepada negara, khususnya kepala
negara, dalam kehidupan kenegaraan dan pemerintahan Indonesia.
Dalam catatan Attamimi, Logemann adalah pakar hukum pertama yang mengkritik pandangan
integralistik Soepomo. Logemann menyatakan bahwa cita negara integralistik yang
dikemukakan Soepomo pada hakekatnya tidak lain melainkan cita negara organik. Logemann
tidak memungkiri adanya pengaruh Soepomo dalam UUD 1945, namun ia meragukan
kemungkinan berhasilnya struktur desa yang agraris dan sebagian besar autarkis itu
dipindahtangankan (overgeplant) ke dalam struktur negara modern. Pidato Soepomo
tampaknya memang tidak memperhatikan faktor perubahan sosial akibat perkembangan
struktur ekonomi dari agraris ke industri di negara-negara modern. Ia menganggap bahwa
struktur desa Indonesia akan tetap langgeng karena struktur itu merupakan struktur asli
masyarakat Indonesia, suatu pandangan yang utopis menurut Logemann.
Kritik Logemann yang paling penting adalah ketika ia melihat bahwa dalam pidato Soepomo
tidak disinggung tentang kedaulatan rakyat, Logeman menyatakan "ternyata dalam konstruksi
ini kehendak rakyat tidak memerlukan jaminan khusus maupun organ khusus". Pernyataan ini
juga mendasari pemikiran Logemann yang menyoroti secara khusus kekuasaan presiden
dalam pandangan integralistik. Menurutnya, Soepomo sudah menyadari akan dekatnya
(secara berbahaya) gagasan Kepala Negara Indonesia dengan aliran nasional-sosialisme
Jerman di masa perang dunia kedua. Dengan landasan itu Logemann menyatakan, "terlepas
dari sifat utopis segalanya ini, sudah jelas bahwa pimpinan negara yang bertugas memelihara
keselarasan (de harmonie) dan membimbing permusyawaratan sedekat mungkin ke arah
mufakat, memperoleh kedudukan yang paling kuat".
Kritik-kritik berikutnya yang dikemukakan oleh Attamimi adalah kritik yang dilancarkan oleh
Ismail Suny dan Marsillam Simanjutak. Dalam tulisannya, Attamimi menyatakan bahwa Ismail
Suny mengambil sikap untuk tidak sepakat dengan anggapan bahwa UUD 1945 menganut
pandangan integralistik Soepomo karena beberapa alasan. Pertama; Ismail Suny, dengan
berlandaskan pendapat Logemann, menyatakan bahwa pengaruh integralistik Soepomo
dalam UUD 1945 memang tidak dapat dipungkiri, namun orang tidak boleh mengatakan
bahwa UUD 1945 terutama memakai cap Soepomo. Kedua; masih berdasarkan pendapat
Logemann, Ismail Suny menyatakan bahwa kedaulatan rakyat yang oleh Soepomo dikatakan
terjelma dalam diri pribadi Presiden bukan DPR dalam hal pembentukan undang-undang,
telah lucut dengan adanya pendapat seorang anggota Panitia Kecil yang mengemukakan
bahwa tanpa adanya persetujuan yang diharuskan antara presiden dan parlemen tentang
suatu undang-undang, kedaulatan rakyat tidak cukup terjamin, dan pada saat itu kedaulatan
rakyat sudah mendapat tempat dalam rancangan UUD. Ketiga; Ismail Suny mengatakan
bahwa dengan masuknya asas kedaulatan rakyat ke dalam UUD 1945, adanya kewajiban
presiden memegang teguh UUD dan menjalankan undang-undang, dan terdapatnya pasal-
pasal mengenai hak-hak asasi manusia, maka pandangan integralistik Soepomo itu telah
ditolak.
Sedangkan kritik Marsillam Simanjuntak terhadap konsep Soepomo dimulai dengan
mengungkapkan kemungkinan alasan munculnya paham integralistik di masa orde baru. Ia
beranggapan bahwa paham integralistik Soepomo di masa orde baru hanya merupakan alat
legitimasi untuk menjelaskan sistem politik pemerintah orde baru yang tidak menganut
kebebasan dan untuk meredam tuntutan hak asasi manusia, sekaligus untuk memberi dasar
dan peran pemerintah yang luas dalam rangka stabilisasi politik pada periode setelah
Soekarno.
Dengan meninjau pandangan Hegel dan membandingkannya dengan pidato Soepomo,
Marsillam Simanjuntak berkeyakinan adanya unsur Hegelian dalam pandangan integralistik
yang dikemukakan Soepomo. Walaupun yang dikatakan Soepomo tidak banyak dan belum
bisa diraba di mana terjalinnya prinsip-prinsip negara menurut Hegel, namun ia sudah melihat
semacam ‘countour’ Hegelian yang mulai nampak samar-samar, meski dalam sebagian
implikasinya, seperti antara lain dari kata-kata Soepomo "persatuan masyarakat organis",
"penghidupan bangsa seluruhnya", "kepentingan seluruhnya, bukan kepentingan
perseorangan". Dengan kesimpulan tersebut, Simanjutak menguraikan unsur-unsur Hegel
yang terdapat dalam staatsidee Soepomo, yaitu; di bidang bentuk negara Soepomo tidak
berkeberatan Negara Indonesia dipimpin oleh raja, dengan hak turun-temurun sekalipun; di
bidang kedaulatan rakyat Soepomo tidak menjelaskan letak kedaulatan rakyat dalam konsep
staatsidee-nya; dan di bidang hak-hak warga negara Soepomo juga menentang jaminan hak-
hak dasar dalam UUD.
Kesimpulan akhir Marsillam Simanjuntak adalah bahwa konsep pandangan integralistik
Soepomo memang mengandung ajaran Hegel, dan dalam perkembangannya tidak tahan uji
terhadap asas-asas demokrasi, terutama asas kedaulatan rakyat yang kemudian masuk ke
dalam UUD 1945, dan dalam proses penyusunan UUD 1945, secara praktis usul Soepomo
tersebut telah ditampik dan boleh dikatakan gugur.
Secara khusus Attamimi telah memberikan bantahan terhadap kritik-kritik di atas dalam
desertasinya, namun hal tersebut tidak akan diungkapkan di sini karena bantahannya lebih
cenderung bersifat metodologis dan tidak banyak perbedaan substansial dengan pandangan
awalnya yang telah dikemukakan di atas.
Kritik yang lebih kontemporer terhadap cita negara integralistik datang dari Yusril Ihza
Mahendra. Kritiknya diawali dengan mengetengahkan pendapat bahwa acuan yang lebih tepat
untuk memahami pemikiran Soepomo adalah pidatonya tanggal 16 Juli 1945, bukan pidatonya
tanggal 31 Mei 1945. Dalam pidato terakhirnya ini di sidang BPUPKI, menurut Mahendra,
Soepomo menunjukkan suatu kompromi yang sangat longgar dengan cara menampung
berbagai pikiran yang dilontarkan oleh para tokoh dalam sidang-sidang BPUPKI sebelumnya.
Sebagaimana diketahui, ada 38 tokoh yang berbicara dalam sidang pertama BPUPKI, dan
Soepomo adalah salah satu diantaranya. Seluruh tokoh yang berbicara tersebut dapat
dikategorikan ke dalam dua golongan yaitu, golongan kebangsaan dan golongan agama
(Islam).
Uraian awal Soepomo dalam pidato tangga 16 Juli 1945, menurut Mahendra, memang masih
mengandung jiwa pidato Soepomo tanggal 31 Mei 1945, walau ia tidak lagi menggunakan
istilah "integralistik". Namun pada uraian-uraian berikutnya, Soepomo sudah bersikap
akomodatif dan kompromistis terhadap aspirasi golongan lain, dalam hal ini golongan Islam.
Sebagaimana dikutip oleh Mahendra, Soepomo telah bersifat akomodatif dengan ide
kedaulatan rakyat yang tidak disinggungnya dalam pidato tanggal 31 Mei 1945, ia
mengatakan, "Oleh karena itu sistem negara yang nanti akan terbentuk dalam undang-undang
dasar harus demikian berdasarkan kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan
perwakilan". Pandangan Soepomo selanjutnya yang bersifat akomodatif dan aspiratif terlihat
dalam uraian, "Pokok pikiran yang ke-4, yang terkandung dalam pembukaan, ialah negara
Indonesia memperhatikan keistimewaannya penduduk yang terbesar dalam lingkungan
daerahnya, ialah penduduk yang beragama Islam….". Menurut Mahendra, pemikiran ini jelas
sangat bertentangan dengan pandangan negara integralistik yang tidak menghendaki adanya
keistimewaan yang diberikan kepada golongan manapun. Selanjutnya disimpulkan oleh
Mahendra bahwa Soepomo telah bersifat kompromistis dan meninggalkan gagasan
integralistiknya dan karenanya, cita negara yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945
adalah cita negara Pancasila yang rumusan awalnya termaktub dalam Piagam Jakarta
sebagai hasil kompromi antara golongan kebangsaan dan golongan Islam.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan presiden, Mahendra tetap mendasarkan pandangannya
pada UUD sebagai suatu hasil kompromi, sehingga untuk menafsirkan konsep kepemimpinan
negara dalam UUD 1945, ia sepakat dengan analisis Satyavati Javeri. Javeri menyatakan
bahwa lembaga kepresidenan RI di dalam UUD 1945 dipengaruhi oleh tiga aliran pemikiran,
yaitu aliran pemikiran politik demokrasi modern dari barat (antara lain dikemukakan oleh
Yamin), aliran pemikiran tradisional Indonesia (seperti dikemukakan oleh Soepomo), dan
aliran pemikiran modernisme Islam (seperti dikemukakan oleh Soekiman). Mahendra
berpendapat bahwa konsep tentang presiden di dalam UUD 1945 tidak semata-mata
menggambarkan konsep "manunggaling kawula gusti" tetapi merupakan konsep yang rasional
dengan batas-batas kekuasaan serta tugas dan wewenang yang jelas, juga pengawasan dari
lembaga-lembaga modern, serta bertanggung jawab kepada suatu lembaga pula. Selanjutnya
dinyatakan oleh Mahendra,
"Konsep integralistik Soepomo membayangkan desa sebagai sesuatu yang
ideal adalah hasil reduksi yang abstrak. Idealisasi desa seperti itu cenderung
mengabaikan kelemahan-kelemahan yang mungkin dimiliki oleh kepala desa.
Juga mengabaikan faktor kekuasaan yang lebih tinggi, yang justru cenderung
eksploitatif terhadap desa melalui kepala desa. Juga mengabaikan
kemungkinan timbulnya kekuatan-kekuatan oposisi terhadap kepala desa
yang juga mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi tertentu."
Demikianlah pemaparan secara ringkas perdebatan para ahli hukum tata negara mengenai
cita negara integralistik.
2.2. Relevansi Cita Negara Integralistik di Era Demokratisasi
Setelah diuraikan secara ringkas pandangan negara integralistik Soepomo dan kritik-kritik
yang ditujukan kepada pandangan tersebut oleh berbagai pakar, dalam bagian ini akan
dielaborasi lebih lanjut pandangan-pandangan di atas yang dikaitkan dengan kondisi obyektif
yang sedang berkembang di Indonesia (demokratisasi) dan kebutuhan-kebutuhan terhadap
proses tersebut di masa mendatang, khususnya lembaga kepresidenan RI.
Dengan turunnya Soeharto di bulan Mei 1998, peluang untuk demokratisasi di Indonesia yang
telah diperjuangkan sejak lama tampaknya semakin terbuka. Walaupun bangunan rezim orde
baru masih tetap kuat mengendalikan kehidupan politik dan ekonomi di Indonesia, namun
tuntutan-tuntutan untuk semakin transparannya penyelenggaraan pemerintahan dan
pembesaran ruang partisipasi politik masyarakat sudah tidak dapat ditahan lagi. Booming
berdirinya partai-partai politik, pressure group dan interest group, terutama di kota-kota besar
di Indonesia, serta aksi-aksi spontan masyarakat untuk menyatakan ketidakpuasannya atas
proses penyelenggaraan pemerintahan atau penyelesaian sengketa mereka, menandakan
bahwa masyarakat Indonesia yang selama ini tidak diperhatikan aspirasinya telah berani
menyatakan suaranya.
Ada dua hal yang diduga menyebabkan kondisi di atas terjadi, pertama; adanya trauma atas
penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistis dan top down serta tidak tersentuh
pertanggungjawaban, yang berimplikasi terhadap berkembangnya kolusi, korupsi dan
nepotisme di segala bidang pemerintahan. Selama ini sebagian besar masyarakat yang
berada di luar lingkungan birokrasi atau yang tidak mempunyai akses ke birokrasi hanya
menjadi penonton bagi berlangsungnya praktek-praktek penyelenggaraan pemerintahan yang
tidak adil. Ideologi pembangunanisme yang menuntut stabilitas politik dan berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah menyebabkan orde baru menanggalkan prinsip-
prinsip demokrasi dalam pola pemerintahannya. Partai-partai politik independen dan segala
macam bentuk oposisi tidak diperkenankan hidup dengan alasan dapat mengganggu
ketenangan pemerintah melaksanakan pembangunan, sehingga suara-suara yang berasal
dari bawah, yang seharusnya menjadi kontrol penyelenggaraan pemerintahan, tetap tertahan
di bawah. Lembaga-lembaga yang seharusnya menyalurkan aspirasi masyarakat di pusat
maupun di daerah dalam kenyataannya lebih berpihak pada kemauan penguasa, sehingga
pada saat kesempatan tersebut terbuka lebar, suara-suara tertahan itu meledak berhamburan
dengan segala bentuk ekspresinya. Kedua; pembangunan ekonomi yang dibanggakan selama
ini telah runtuh dalam waktu singkat diterpa krisis moneter. Kebijakan ekonomi yang
kapitalistik dan lebih berorientasi ke luar ternyata tidak memberikan landasan yang kokoh bagi
perekonomian dalam negeri. Akibat paling parah diterima oleh sebagian masyarakat
Indonesia yang berada di bawah. Setelah selama berpuluh-puluh tahun mereka dimarginalkan
dalam pembangunan, digusur atas nama pembangunan, dan dipaksa untuk setia pada
pembangunan yang korup, sekarang mereka dituntut untuk menerima dampak negatif dari
pembangunan yang tidak memihak mereka. Keluhan-keluhan yang selama ini terpendam
karena ketakutan berubah menjadi gugatan yang mencemaskan.
Cita negara integralistik yang bersifat patrimonialistis dan totaliter yang dikemukakan
Soepomo secara teoritis maupun praktis mengalami kendala untuk dapat diterapkan dalam
kehidupan kenegaraan dan pemerintahan di masa sekarang ini. Penolakannya terhadap hak-
hak asasi warga negara, pembatasan kekuasaan kepala negara, dan pertanggungjawaban
kekuasaan pemerintahan, tidak lagi dapat menampung perkembangan tuntutan
demokratisasi. Disadari atau tidak, selama orde baru, paham ini tercermin dalam praktek-
praktek pemerintahan. Kekuasaan kepala negara yang besar, sentralistis dan tidak transparan
serta menghindari tanggung jawab publik, tidak berjalan sesuai dengan idealisasi Soepomo.
Kepala negara yang seharusnya menjadi "pemimpin sejati", selalu memperhatikan aspirasi
rakyatnya, dan tidak berlaku sewenang-wenang, selama orde baru malah bertingkah
sebaliknya. Kontrol yang lemah dari supra struktur politik yang ada dan dimandulkannya
seluruh bentuk pengawasan dari infra struktur politik semakin menyimpangkan jalannya
penyelenggara negara ke arah yang jauh dari apa yang dibayangkan Soepomo sebagai
negara yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo.
Secara empiris telah dibuktikan bahwa idealisasi abstrak Soepomo yang mengabaikan faktor
kelemahan subyektif kepala negara telah menyimpang terlalu jauh dan tidak lagi relevan
dengan konsep negara demokrasi modern yang menuntut penyelenggaraan pemerintahan
secara rasional dan terbatas. Demokratisasi menuntut pembatasan kekuasaan pemerintahan
dan pengaturan pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyatnya.
Pembatasan kekuasaan pemerintahan mengartikan bahwa kekuasaan tersebut tidak lagi
diserahkan secara mutlak kepada suatu lembaga tertentu sebagai penentu segala kebijakan,
dari sejak perumusan sampai dengan pengambilan keputusan. Kekuasaan harus mendapat
kontrol dari rakyat, yang dilembagakan melalui wakil-wakilnya di lembaga perwakilan. Untuk
menjamin bahwa kontrol tersebut dapat berjalan maka harus disediakan mekanisme dan
prosedur yang efektif dalam pelaksanaannya.
Pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyat menuntut disediakannnya akses yang besar
dalam mengontrol kebijakan pemerintahan, pelaksanaan pemerintahan yang transparan dan
suasana yang kondusif bagi partisipasi politik yang luas. Untuk itu hak-hak asasi warga
negara harus diberi jaminan khusus dalam peraturan perundang-undangan, pemberdayaan
lembaga perwakilan rakyat yang lepas dari intervensi eksekutif harus sudah dimulai, dan
pembentukan mekanisme yang memberikan ruang partisipasi publik dalam menilai
pelaksanaan roda pemerintahan juga semestinya disediakan
3. Redefinisi Kekuasaan Presiden RI
3.1. Sistem Pemerintahan Negara
Untuk menjelaskan dan memberi pengertian yang jelas mengenai kekuasaan presiden RI,
maka sebelumnya akan ditegaskan lebih dulu mengenai sistem pemerintahan yang
sebenarnya dianut oleh UUD 1945. Beberapa pakar hukum tata negara masih berbeda
pendapat dalam menjelaskan sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945. Ismail Suny,
Harmaily Ibrahim dan Moh. Kusnardi berpendapat bahwa sistem pemerintahan yang dianut
oleh UUD 1945 adalah sistem pemerintahan preisdensil yang tidak murni atau sistem quasi
presidensil. Pendapat ini didasarkan pada pertanggungjawaban yang dibebankan kepada
presiden bukan kepada pemilihnya, namun kepada suatu lembaga yakni MPR, yang berarti
presiden dapat dijatuhkan oleh lembaga negara lain. Hal ini menurut mereka bertentangan
dengan asas pemisahan kekuasaan yang dianut dalam sistem presidensil yang tidak
membiarkan presiden untuk dapat dijatuhkan atau bertanggung jawab kepada lembaga
negara lain kecuali kepada pemilihnya. Attamimi berbeda pendapat dalam hal ini, ia
mengatakan bahwa dengan argumen yang diberikan di atas, bukan berarti sistem
pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 otomatis berubah dari sistem presidensil menjadi
sistem quasi presidensil, karena walaupun Indonesia tidak menganut trias politika murni
sebagaimana halnya di Amerika Serikat, Indonesia menganut sistem pemerintahan atas dasar
presiden memegang kekuasaan pemerintahan negara menurut UUD.
Dalam kajian ini perdebatan tentang sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 akan
ditempatkan dengan perkembangan teori dan konsep negara-negara demokrasi modern yang
telah diuraikan di bagian sebelumnya. Sebagaimana telah dijelaskan, sistem pemerintahan
yang dianut oleh UUD 1945, telah memberikan kewenangan eksekutif kepada presiden,
bukan kepada parlemen. Presiden mendapatkan kewenangan ini setelah mendapatkan
mandat dari lembaga yang memilihnya yaitu MPR. Permasalahan tentang presiden dipilih dan
bertanggung jawab langsung atau tidak bukan hal yang dapat menjadikan sistem ini berubah
menjadi sistem semi-presidensial, karena menurut Verney yang penting ia bertanggung jawab
kepada konstitusi dan kepada pemilihnya baik langsung maupun maupun tidak langsung.
Presiden dalam UUD 1945 tidak dapat dijatuhkan secara politik oleh DPR dan ia juga tidak
dapat membubarkan DPR, namun ia dapat dimintai pertanggungjawaban oleh MPR apabila
secara jelas telah melanggar GBHN dan UUD 1945. Mekanisme ini sama seperti yang berlaku
di Amerika Serikat, di mana presiden hanya dapat dijatuhkan apabila ia melanggar konstitusi
atau pelanggaran berat lainnya. Kriteria pokok lain yang lebih esensial adalah presiden adalah
eksekutif tunggal, dan sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945, menteri-menteri adalah
pembantu presiden dan diangkat oleh presiden, mereka bertanggung jawab kepada presiden
bukan kepada DPR, dan yang bertanggung jawab atas segala pelaksanaan pemerintahan
hanya presiden. Dari kriteria-kriteria tersebut maka dapat dikatakan bahwa sistem
pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistem pemerintahan presidensial. Posisi ini
akan menentukan kekuasaan presiden seperti apa yang seharusnya ada dalam sistem
pemerintahan presidensial.
3.2. Hak Prerogatif Presiden
Hak prerogatif diterjemahkan dengan hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga-lembaga
tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak dapat digugat oleh lembaga negara
yang lain. Hak ini dalam sistem pemerintahan negara-negara modern dimiliki oleh kepala
negara (raja maupun presiden) maupun kepala pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu
yang dinyatakan dalam konstitusi. Contoh dari pelaksanaan hak ini yaitu Perancis yang
memberikan hak prerogatif kepada presiden untuk untuk memecat kepala pemerintahan dan
membubarkan National Assembly setelah berkonsultasi terlebih dahulu dengan Perdana
Menteri dan Ketua-ketua National Assembly. Contoh lainnya adalah hak Presiden Amerika
Serikat yang dapat memveto undang-undang yang setujui oleh Kongres Amerika Serikat. Hak
ini juga dipadankan dengan kewenangan penuh yang diberikan oleh konstitusi kepada
lembaga eksekutif dalam ruang lingkup kekuasaan pemerintahannya (terutama bagi sistem
yang menganut pemisahan kekuasaan secara tegas, misalnya Amerika Serikat), seperti
membuat kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi.
Dalam praktek ketatanegaraan negara-negara modern, hak prerogatif ini tidak lagi bersifat
mutlak dan mandiri, kecuali dalam hal pengambilan kebijakan-kebijakan dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan. Hak istimewa ini bahkan dapat dikatakan sudah mengalami
penyempitan karena ia hanya diberikan dalam hal-hal yang terbatas dan kepada kekuasan
tertentu saja, yakni raja. Sistem pemerintahan negara-negara modern berusaha
menempatkan segala model kekuasaan dalam kerangka pertanggungjawaban publik
sehingga suatu kekuasaan yang tidak dapat dikontrol, digugat dan dipertanggungjawabkan,
susah untuk mendapat tempat dalam praktek ketatanegaraan. Untuk dijadikan contoh
berikutnya, pengangkatan kepala departemen (menteri) di Amerika Serikat, yang menganut
sistem trias politika murni, harus mendapatkan persetujuan dari Senat Amerika Serikat.
Padahal dengan jelas kekuasan tersebut adalah kekuasaan eksekutif yang dalam sistem
presidensial ditegaskan bahwa menteri-menteri diangkat oleh presiden. Oleh karena itu
dengan jelas dapat dikatakan bahwa hak prerogatif presiden adalah hak yang tidak lagi
diartikan sebagai hak yang mandiri, mutlak dan tidak dapat mengikutsertakan lembaga-
lembaga negara lain dalam pelaksanaannya.
Istilah hak prerogatif presiden adalah istilah yang sama sekali tidak pernah dinyatakan dalam
UUD 1945 atau peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang
ketatanegaraan Indonesia. Namun dalam praktek politik dan ketatanegaraan selama masa
orde baru, hak ini secara nyata dipraktekkan, misalnya dalam hal pengangkatan menteri-
menteri departemen. Hak ini juga dipadankan terutama dalam istilah presiden sebagai kepala
negara yang sering dinyatakan dalam hal-hal pengangkatan pejabat negara. Dalam hal ini
Padmo Wahjono menyatakan pendapatnya yaitu,
"Di samping itu di dalam penjelasan pasal 10, 11, 12, 13, 14 dan 15
disebutkan bahwa kekuasaan presiden di dalam pasal-pasal tersebut adalah
konsekuensi dari kedudukan presiden sebagai Kepala Negara. Kekuasaan ini
lazim disebut pula sebagai kekuasaan/kegiatan yang bersifat administratif,
karena didasarkan atau merupakan pelaksanaan dari peraturan perundang-
undangan, maupun advis dari suatu lembaga tinggi negara lainnya. Jadi
bukan kewenangan khusus (hak prerogatif) yang mandiri."
Berdasarkan pernyataan dari Padmo Wahjono tersebut, jelas bahwa hak prerogatif yang
selama ini disalahpahami adalah hak adminsitratif presiden yang merupakan pelaksanaan
peraturan perundang-undangan dan tidak berarti lepas dari kontrol lembaga negara lain.
3.3.Kekuasaan Kepala Negara
Sebagaimana halnya sistem pemerintahan presidensial negara-negara demokrasi modern,
kedudukan presiden adalah sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara.
Pernyataan ini sangat penting untuk ditegaskan karena selama ini kesalahpahaman konsep
pemerintahan di Indonesia adalah anggapan bahwa presiden adalah kepala negara yang
sekaligus menjabat sebagai kepala pemerintahan, sebagaimana halnya konsep yang berlaku
di negara-negara yang menganut sistem pemerintahan praparlementer yang mendudukkan
raja sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Pernyataan Soepomo yang
menjadi dasar kesalahpahaman tersebut sudah selayaknya untuk tidak dijadikan pegangan
karena konsepnya dalam hal lembaga kepresidenan yang tidak mempedulikan apabila
seorang kepala negara dipegang raja atau bukan, tidak lagi cocok dengan perkembangan
negara-negara demokrasi modern yang tidak memberikan kewenangan istimewa karena
kapasitas pribadi seseorang, namun karena adanya fungsi yang diemban secara rasional dan
terbatas.
Dari pernyataan di atas dapat dijelaskan bahwa kekuasaan presiden sebagai kepala negara
hanya kekuasaan administratif, simbolis dan terbatas, yang merupakan suatu kekuasaan di
samping kekuasaan utamanya sebagai kepala pemerintahan. Dengan kata lain, kekuasaan
kepala negara adalah kekuasaan yang dimiliki oleh kepala pemerintahan atau, sebagaimana
pendapat Verney, kekuasaan yang dimiliki sebagai konsekuensi kedudukan prestise politiknya
sebagai kepala pemerintahan.
Kekuasaan presiden sebagai kepala negara Indonesia diatur dalam UUD 1945 Pasal 10
sampai 15 dan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengangkatan
jabatan-jabatan kenegaraan dan jabatan-jabatan tertentu yang dianggap penting. Dengan
argumen yang sama dengan yang diberikan bagi penjelasan hak prerogatif presiden,
kekuasaan presiden sebagai kepala negara di masa mendatang selayaknya diartikan sebagai
kekuasaan yang tidak lepas dari kontrol lembaga negara lain.
3.4. Kekuasaan Kepala Pemerintahan
Kekuasaan Presiden Indonesia sebagai kepala pemerintahan diatur dalam UUD 1945 Pasal 4
ayat (1) yang menyatakan bahwa: "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-undang Dasar". Penjelasan Pasal 4 UUD 1945 menjelaskan
lebih lanjut bahwa presiden adalah kepala kekuasaan eksekutif dalam negara. Aakan tetapi
ruang lingkup dan batasan kewenangan dan tugas yang jelas tidak didefiniskan lebih lanjut
oleh peraturan perundang-undangan selama ini, sehingga beberapa pakar hukum tata negara
berbeda pendapat dalam menafsirkan konsep kekuasaan ini. Attamimi berdasarkan konsep
integralistik Soepomo menyatakan bahwa tidak pada tempatnya menyamakan konsep
pemerintah atau pemerintahan Indonesia dengan konsep pemisahan kekuasaan dari
Montesquieu. Menurut pendapatnya, kekuasaan pemerintahan adalah kekuasaan
penyelenggaraan negara yang tertinggi dan yang memimpin, yang perencanaan politiknya
melihat jauh ke depan melampaui jangkauan bidang eksekutif dan legislatif. Pandangan ini
jelas menentang pembatasan kewenangan dan tugas yang jelas bagi kekuasaan
pemerintahan. Sedangkan beberapa pakar menafsirkan kekuasaan pemerintahan ini sama
dengan kekuasaan eksekutif dalam konsep pemisahan kekuasaan yang membatasi
kekuasaan pemerintahan secara sempit pada pelaksanaan peraturan hukum yang ditetapkan
lembaga legislatif. Pendapat ini didasarkan pada argumen bahwa UUD 1945 membagi fungsi-
fungsi dari alat-alat kelengkapan negara secara jelas dalam batang tubuhnya, yaitu Bab III
tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat dan
Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan demikian UUD 1945 mengenal konsep
pemisahan kekuasaan sebagaimana dianut oleh negara-negara demokrasi modern.
Kajian ini, dalam memberikan pengertian yang jelas tentang kekuasaan pemerintahan,
mendasarkan diri pada pendapat kedua, dengan alasan bahwa perkembangan kehidupan
kenegaraan di masa mendatang membutuhkan rasionalisasi kekuasaan yang didasarkan
pada kebutuhan pertanggungjawaban (accountability) yang kongkret dan jelas. Kekuasaan
pemerintahan tidak lagi didefinisikan sebagai kekuasaan yang abstrak dan menyerahkan
penentuan definisi abstrak tersebut pada satu lembaga saja yakni presiden.
Kekuasaan eksekutif dalam sistem pemerintahan negara demokrasi modern adalah salah satu
bentuk kekuasaan di samping kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan
eksekutif diartikan sebagai kekuasaan pelaksanaan pemerintahan sehari-hari berdasarkan
pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, kekuasaan ini terbatas
pada penetapan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan politik yang berada dalam ruang
lingkup fungsi-fungsi bestuur (administrasi), politie (keamanan) dan regeling (pengaturan)
yang tidak bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Dalam pelaksanaannya, kekuasaan pemerintahan ini sebenarnya tetap besar. Oleh karena itu
kekuasaan ini mendapatkan pengawasan dari badan legislatif atau badan yang ditunjuk oleh
konstitusi untuk menjalankan fungsi pengawasan. Dalam UUD 1945, fungsi pengawasan
pemerintahan sehari-hari tersebut dilaksanakan oleh DPR.
3.5. Kekuasaan Legislatif
Kekuasaan legislatif dalam pengertian umum diartikan sebagai kekuasaan membentuk
undang-undang. Undang-undang adalah peraturan umum yang mengatur apa yang harus
dilakukan oleh pemerintah (executive) dalam tugasnya untuk memenuhi kepentingan rakyat.
Dalam sistem negara demokrasi konvensional, kekuasaan membentuk undang-undang
diserahkan kepada lembaga perwakilan rakyat yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat
dalam pemilihan umum. Menurut Montesquieu, kekuasaan ini adalah kekuasaan terpenting
dalam negara karena dalam kekuasaan inilah nasib rakyat digantungkan. Oleh karena itu,
Montesquieu menekankan pemisahan kekuasaan ini dari lembaga-lembaga lain agar
kemurnian kehendak rakyat dapat terlaksana secara optimal.
Dalam perkembangan konsep kenegaraan kemudian, fungsi legislatif tidak lagi diserahkan
sepenuhnya kepada satu badan saja, namun dikerjakan bersama-sama dengan lembaga lain.
Lembaga negara yang dianggap memiliki kompetensi dan kapabilitas dalam hal pembentukan
undang-undang selain lembaga perwakilan adalah kepala pemerintahan, yang dalam sistem
pemerintahan presidensial dijabat oleh presiden. Kompetensi presiden dalam pembentukan
undang-undang timbul dari konsekuensi logis dari kenyataan bahwa presiden dalam sistem
pemerintahan presidensial dipilih oleh rakyat, secara langsung ataupun melewati lembaga
pemilihan. Kapabilitas kepala pemerintahan sebagai pembentuk undang-undang adalah
karena ia merupakan pimpinan dari jajaran aparat birokrasi, yang dalam pemerintahan negara
modern memiliki kemampuan teknis dan fasilitas informasi yang sangat baik dibandingkan
lembaga-lembaga lain dalam negara.
Pembentukan undang-undang yang melibatkan tidak hanya satu lembaga diharapkan akan
dapat menghasilkan produk undang-undang yang terbaik. Namun timbul permasalahan,
lembaga mana yang akan menjadi pemutus akhir dari suatu produk undang-undang yang
akan diberlakukan? Terutama apabila dua lembaga yang diserahkan tanggung jawab tersebut
tidak dapat menghasilkan satu persetujuan.
Dalam sistem pemerintahan parlementer, kedudukan parlemen sebagai pembentuk undang-
undang jauh lebih kuat dari eksekutif, karena eksekutif tergantung kedudukannya pada
parlemen. Namun dalam sistem pemerintahan presidensial, kedudukan lembaga perwakilan
dan presiden adalah sama kuat, sehingga masing-masing tidak dapat memaksakan
kehendaknya apalagi saling menjatuhkan. Apabila pertanyaan ini dikembalikan kepada
prinsip-prinsip utama dalam sistem demokrasi, maka jawabannya secara normatif adalah
penentuan akhir ada di tangan rakyat. Beberapa negara yang berpenduduk relatif kecil dan
tidak mengalami kendala geografis serta didukung oleh teknologi yang memadai,
memberlakukan mekanisme persetujuan undang-undang tertentu secara langsung
(referendum), misalnya negara Swiss. Namun untuk negara-negara yang tidak memenuhi tiga
kemudahan di atas, tidak mungkin melaksanakan mekanisme tersebut secara efektif dan
efisien. Oleh karena itu, penentuan kehendak rakyat dikembalikan kembali kepada lembaga-
lembaga negara dengan pengawasan yang periodik melalui mekanisme pemilihan umum.
Pemilihan umum dianggap sebagai mekanisme yang paling fair untuk menilai kinerja
lembaga-lembaga negara dan untuk menentukan siapa saja yang mendapat legitimasi guna
menyalurkan aspirasi rakyat.
Mekanisme pemilu ini juga belum dapat menjawab permasalahan di atas, ia hanya menjawab
persoalan tanggung jawab politik dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. Mekanisme yang
kemudian diajukan adalah mekanisme check and balance. Mekanisme ini dibentuk untuk
menghindari terjadinya kesewenang-wenangan salah satu lembaga dalam menjalankan
kekuasaannya, dalam hal ini kekuasaan legislatif. Mekanisme ini memberikan kekuasaan
yang berimbang kepada masing-masing lembaga dan memberikan peluang untuk saling
kontrol dalam pembentukan undang-undang. Pada akhirnya, mekanisme inilah yang dapat
menjembatani permasalahan di atas, dengan ditambah adanya dukungan pemberdayaan
infrastruktur politik yang kuat.
UUD 1945 menetapkan bahwa fungsi legislatif dijalankan oleh Presiden bersama-sama DPR,
sebagaimana dikemukakan oleh Kusnardi dan Ibrahim, konsep ini mendudukkan Presiden
sebagai "partner" bagi DPR dalam menjalankan fungsi legislatif. Namun dalam prakteknya
selama masa orde baru, presiden memiliki kekuasaan yang lebih menonjol dari DPR dalam
hal pembentukan undang-undang karena penetapan akhir dari suatu undang-undang yang
akan diberlakukan ada di tangan presiden. Menurut konsepsi negara integralistik, kekuasaan
yang lebih menonjol ini merupakan konsekuensi logis bahwa presiden adalah pembawa
mandat dari MPR yang merupakan lembaga "penjelmaan kedaulatan rakyat". Namun secara
empiris, produk undang-undang yang dikeluarkan oleh orde baru ternyata lebih memihak
kekuasaan daripada kehendak rakyat Indonesia.
Dengan tuntutan demokratisasi dan tranparansi yang berkembang saat ini, konsep tersebut
harus didudukkan secara rasional dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu sistem
check and balance sudah mendesak untuk diterapkan dengan mekanisme yang jelas. DPR
adalah pelaksana fungsi legislatif yang sejajar dengan presiden, dan apabila ada
pertentangan antara presiden dan DPR dalam hal persetujuan suatu undang-undang, maka
presiden harus menyatakannya secara terbuka dengan menggunakan hak veto yang
dimilikinya, sehingga di akhir masa jabatannya masing-masing lembaga dapat dimintakan
pertanggungjawabannya, baik di sidang umum MPR atau dalam pemilihan umum.
[ Bab 1 ] [ Bab 2 ] [ Bab 3 ] [ Bab 4 ]
BAB III
ANALISIS TERHADAP MEKANISME PELAKSANAAN
KEKUASAAN PRESIDEN RI
DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA
Dalam Bab II telah dilakukan peninjauan umum terhadap bahan-bahan pustaka yang
diperoleh mengenai kekuasaan-kekuasaan yang dimiliki oleh presiden, khususnya Presiden
Republik Indonesia, sekaligus memberikan pengertian yang relevan bagi pengembangan
kehidupan kenegaraan dan pemerintahan Indonesia yang demokratis di masa mendatang.
Dari kajian yang dilakukan pada Bab II, dapat diambil kesimpulan bahwa pendapat yang
menyatakan bahwa kekuasaan Presiden RI adalah didasarkan pada cita negara integralistik
sudah tidak lagi relevan dengan kebutuhan demokratisasi di masa mendatang. Konsep
kekuasaan presiden yang sangat besar, abstrak dan sentralistis sudah selayaknya
disesuaikan dengan perkembangan konsep demokrasi di negara-negara modern yang
menuntut diselenggarakannya kekuasaan secara rasional, terbatas dan dapat
dipertanggungjawabkan. UUD 1945 sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kekuasaan
negara, awal telah menegaskan bahwa konsep bernegara Republik Indonesia adalah konsep
negara modern yang menganut sistem pemerintahan presidensial. Kekuasaan presiden dalam
sistem pemerintahan ini hanya merupakan salah satu dari kekuasan alat kelengkapan negara
yang berdiri sejajar dengan yang lainnya dan bertanggung jawab kepada MPR. Kekuasaan-
kekuasan presiden yang dimaksud adalah kekuasaan sebagai kepala negara, kekuasaan
sebagai kepala pemerintahan dan kekuasaan legislatif. Kekuasaan ini dibatasi oleh konstitusi
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dalam penyelenggaraannya
mendapatkan pengawasan dari DPR.
Dalam bab ini kajian akan dikhususkan pada analisis terhadap mekanisme pelaksanaan
kekuasaan-kekuasaan tersebut, terutama kekuasaan yang pada pelaksanaannya bersifat
mandiri dan mutlak dalam arti tidak tersentuh kontrol dari lembaga-lembaga yang memiliki
kompetensi dan kapabilitas untuk menilai pelaksanaan kekuasaan tersebut. Mekanisme
pelaksanaan kekuasaan presiden yang dikaji didasarkan pada ketentuan-ketentuan formil
yang tercantum dalam UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Dari hasil kajian yang dilakukan, akan disusun rekomendasi untuk perubahan
mekanisme pelaksanaan kekuasaan Presiden RI di masa mendatang yang sesuai dengan
kebutuhan demokratisasi di Indonesia.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukan 24 bentuk kekuasaan Presiden RI yang
dinyatakan secara eksplisit dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan Indonesia.
Tujuh belas bentuk kekuasaan tersebut merupakan kekuasaan yang langsung diberikan oleh
UUD 1945 dan sisanya adalah kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang. Dari tujuh
belas bentuk kekuasaan di dalam UUD 1945, ada sepuluh bentuk kekuasaan yang tidak
ditindaklanjuti dengan undang-undang dan empat diantaranya sama sekali tidak diatur oleh
peraturan perundang-undangan. Dari tujuh undang-undang yang mengatur lebih lanjut
ketentuan UUD 1945, tiga diantaranya merupakan undang-undang yang dihasilkan pada
masa sebelum orde baru, dua bentuk kekuasaan diatur oleh undang-undang perubahan, dan
dua bentuk kekuasaan sisanya diatur oleh satu undang-undang. Sedangkan tujuh bentuk
kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang merupakan undang-undang yang dihasilkan di
masa orde baru.
Bentuk-bentuk kekuasaan presiden RI tersebut dapat dikelompokkan ke dalam kategori-
kategori umum kekuasaan presiden, yaitu tiga bentuk kekuasaan sebagai kepala
pemerintahan, empat bentuk kekuasaan sebagai legislatif dan sisanya kekuasaan sebagai
kepala negara.
Dalam kajian ini, pengelompokkan dengan kategori umum tersebut tidak dapat dipergunakan,
karena masing-masing bentuk kekuasaan tersebut memiliki mekanisme pelaksanaan yang
berbeda-beda yang tidak didasarkan pada kategori-kategori umum tersebut. Fokus kajian ini
adalah menganalisis mekanisme pelaksanaan kekuasaan presiden yang dianggap sudah
tidak relevan lagi dengan kebutuhan di masa mendatang. Oleh karena itu, untuk lebih
mempermudah dan mempertajam analisis, bentuk-bentuk kekuasaan tersebut dikelompokkan
ke dalam kategori-kategori yang dibedakan berdasarkan jenis-jenis mekanisme
pelaksanaannya.
Kategori-kategori yang akan dipergunakan adalah:
1. Kekuasaan yang tidak diatur sama sekali mekanisme pelaksanaannya atau yang
mekanisme pelaksaanannya memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada
presiden, dalam kajian ini dikategorikan sebagai kekuasaan presiden yang mandiri.
2. Kekuasaan yang dapat dilaksanakan dengan persetujuan DPR, dalam kajian ini
kategorikan sebagai kekuasaan presiden dengan persetujuan DPR.
3. Kekuasaan yang dilaksanakan dengan usul atau nasehat dari lembaga-lembaga
negara lain, dalam kajian ini dikategorikan sebagai kekuasaan presiden dengan
konsultasi.
Dengan menggunakan kategori-kategori di atas, ditemukan 35 bentuk kekuasaan presiden,
yang terdiri dari; sembilan bentuk kekuasaan presiden yang mandiri, lima bentuk kekuasaan
presiden yang dengan persetujuan DPR, dan dua puluh satu bentuk kekuasaan presiden yang
dilakukan melalui mekanisme konsultasi. Masing-masing bentuk kekuasaan dalam setiap
kelompoknya tidak berarti memiliki kesamaan mekanisme sehingga untuk menganalisisnya
diperlukan penguraian tiap-tiap mekanisme pelaksanaan kekuasaan.
Dalam mengajukan rekomendasi mekanisme pelaksanaan kekuasaan presiden di masa
mendatang, kajian ini akan menggunakan konsep-konsep yang telah dipersiapkan dalam Bab
I pada bagian Kerangka Analisis, dengan menyesuaikannya pada masing-masing jenis-jenis
mekanisme pelaksanaan. Rekomendasi diarahkan pada kebutuhan penciptaan mekanisme
check and balance dalam pelaksanaan penyelenggaraan kekuasaan presiden.
A. Kekuasaan Presiden Yang Mandiri
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, yang dimaksud dengan kekuasaan yang mandiri ini
adalah kekuasaan presiden yang tidak diatur mekanisme pelaksanaannya secara jelas,
tertutup atau yang memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada presiden. Analisis
terhadap masing-masing kekuasaan tersebut akan diuraikan di bawah ini.
1. Presiden sebagai penguasa tertinggi atas AD, AL, AU dan Kepolisian Negara RI.
Kekuasaan ini adalah konsekuensi dari kedudukan Presiden RI sebagai kepala negara. Dasar
hukum kekuasaan ini adalah Pasal 10 UUD 1945 dan Pasal 35 ayat (2) sampai (5) UU No.
20/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI. Kekuasaan
ini memiliki kekuasaan turunan yaitu kewenangan untuk menetapkan kebijaksanaan
keamanan negara. Presiden dalam melaksanakan kewenangan ini dibantu oleh Dewan
Pertahanan dan Keamanan Nasional yang diketuai oleh Presiden RI dan anggota-anggotanya
terdiri dari Wakil Presiden RI dan menteri-menteri kabinet yang berkaitan. Fungsi dari Dewan
Hankamnas ini adalah menyelenggarakan penelaahan Ketahanan Nasional aspek Ketahanan
Nasional.
Di masa orde baru, kewenangan ini menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan ideologi
pembangunanisme yang diusung oleh orde baru, yang berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi yang cepat, dianggap memerlukan syarat stabilitas politik dan keamanan yang
mutlak. Pelaksanaan kekuasaan yang terpusat dan tertutup ini dalam perkembangannya
kemudian mengalami banyak permasalahan. Kebijakan keamanan menjadi pendekatan utama
dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul di dalam masyarakat, baik politik,
ekonomi maupun sosial. Penyelesaian masalah dengan pendekatan ini terkadang lebih sering
menimbulkan masalah baru atau hanya menyembunyikan daripada menyelesaikan suatu
masalah. Yang paling memprihatinkan dari pendekatan ini adalah terjadinya sejumlah
pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang menimbulkan banyak kecaman keras baik dari
dalam negeri maupun luar negeri. Beberapa kasus yang dulu tidak nyata, semakin terlihat
setelah turunnya Soeharto dari jabatan presiden, di antaranya adalah kasus DOM di Aceh,
Operasi Militer di Timor-timur, kasus Tanjung Priok, kasus Lampung, kasus Marsinah, kasus
Penculikan Aktivis, dan lain sebagainya.
Untuk menghindari terjadinya penyimpangan kekuasaan (abuse of power) dari kedudukan
sebagai penguasa tertinggi militer ini, dibutuhkan mekanisme yang lebih jelas dalam
penetapan kebijakan pertahanan dan keamanan. Di beberapa negara modern, misalnya
Inggris, kontrol terhadap penetapan kebijakan pertahan dan keamanan dilakukan melalui
mekanisme persetujuan anggaran biaya pemerintahan oleh parlemen. Mekanisme ini di
Indonesia sebenarnya juga telah dimungkinkan melalui mekanisme persetujuan mutlak UU
APBN dan mekanisme pengawasan kegiatan sehari-hari pemerintah oleh DPR, namun dalam
kenyataannya mekanisme ini tidak dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu dibutuhkan
penegasan dalam bentuk UU untuk mengatur mekanisme kekuasaan ini secara jelas dan
operasional.
2. Kekuasaan menyatakan keadaan bahaya.
Kekuasaan ini oleh Ismail Suny digolongkan ke dalam kekuasaan darurat yang dimiliki oleh
Presiden dalam rangka mengatasi keadaan darurat di seluruh atau sebagian wilayah
Indonesia. Dasar hukum kekuasaan ini adalah Pasal 12 UUD 1945, Pasal 1 UU No.
23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya dan Pasal 40 ayat (1) dan (2) UU No. 20/1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI. Undang-undang tersebut tidak
menjelaskan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan kekuasaan ini, sehingga dapat
ditarik kesimpulan bahwa kekuasaan ini dapat saja dilakukan oleh presiden tanpa
menyertakan pihak lain di luar lembaga kepresidenan.
Implikasi negatif yang sama dengan kekuasaan pertama di atas dapat terjadi pada
pelaksanaan kekuasaan ini. UU No. 23/Prp/1959 dibentuk oleh rejim demokrasi terpimpin
untuk menanggulangi pemberontakan-pemberontakan sporadis yang muncul pada masa itu.
Karakteristik rejim demokrasi terpimpin, sebagaimana dinyatakan oleh banyak pakar,
mengandung sistem otoritarian yang kental. Kekuasaan di masa itu terpusat pada diri
Presiden Soekarno, sehingga mekanisme pelaksanaan undang-undang inipun terpusat pada
presiden.
Kebutuhan untuk menghindarkan kesewenang-wenangan pelaksanaan kekuasaan ini sudah
sangat mendesak. Secara teknis, undang-undang keadaan bahaya telah mengatur
pelaksanaan kekuasaan ini dengan cukup jelas. Sayangnya, pelimpahan kekuasaan yang
terlampau besar pada presiden menyebabkan kekuasaan ini menjadi rentan terhadap
penyimpangan kekuasaan.
Untuk itu di masa mendatang, penetapan seluruh atau sebagian wilayah Indonesia dalam
keadaan bahaya tidak dapat lagi diserahkan secara mutlak kepada presiden tanpa dapat
diganggu gugat oleh lembaga negara lain. Penetapan keadaan bahaya harus dilakukan
dengan persetujuan DPR. Penyimpangan dapat terjadi apabila hal tersebut tidak mungkin
dilakukan karena persetujuan DPR dapat memakan waktu yang lama sedangkan keadaan
sudah sangat mendesak. Dalam kasus semacam ini, penetapan keadaaan bahaya tersebut
dapat dilakukan oleh presiden secara langsung. Penetapan secara langsung ini kemudian
harus diajukan secepatnya ke DPR untuk dimintakan persetujuan dan apabila DPR
memutuskan untuk tidak memberikan persetujuan terhadap penetapan tersebut maka secara
otomatis pelaksanaan penetapan keadaan bahaya ini tidak dapat dilanjutkan.
3. Kekuasaan mengangkat duta dan konsul serta menerima duta negara lain.
Kekuasaan ini merupakan salah satu wujud kekuasaan presiden sebagai kepala negara.
Dasar hukum kekuasaan ini adalah Pasal 13 UUD 1945 dan Keppres No. 51/1976 tentang
Pokok-pokok Organisasi Perwakilan RI di Luar Negeri. Duta dan Konsul merupakan pejabat-
pejabat negara yang mewakili negara dan kepala negara di suatu negara tertentu, mereka
bertanggung jawab kepada Presiden RI melalui Menteri Luar Negeri.
Di masa orde baru, pengisian jabatan ini dilakukan secara mandiri dan tertutup oleh presiden.
Padahal, kedudukan yang sangat penting tersebut memerlukan seleksi yang ketat dan terbuka
dengan didasarkan pada kriteria standar yang diatur dengan jelas oleh peraturan perundang-
undangan. Pengangkatan yang mandiri tersebut dalam pelaksanaannya selama masa orde
baru, diduga oleh banyak pihak sarat dengan kepentingan politik dari eksekutif. Jabatan Duta
Besar dan Konsul terkadang diidentikkan dengan "penyingkiran" seorang tokoh politik dalam
pentas politik nasional, karena beberapa kali terjadi tokoh-tokoh politik yang "vokal" dikirim ke
luar negeri untuk dijadikan Duta Besar.
Dengan mengesampingkan dugaan di atas, kajian ini mengusulkan suatu mekanisme
pembukaan kantor diplomatik dan konsuler dan pengangkatan Duta Besar dan Konsul yang
transparan serta dapat dipertanggungjawabkan di masa mendatang. Mekanisme yang
dianggap paling baik adalah dengan mengadakan hearing terlebih dulu di DPR sebelum
dilakukan penetapan pembukaan dan penutupan kantor diplomatik dan konsuler di suatu
negara. Hal yang sama dilakukan juga terhadap pengangkatan pejabat-pejabat yang akan
mengisi jabatan tersebut. Dengan pemberlakuan mekanisme ini, diharapkan penyimpangan
terhadap kekuasaan ini dapat dihindarkan.
4. Kekuasaan pemerintahan menurut UUD
Dasar hukum kekuasaan ini adalah Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Batasan wewenang dan
tanggung jawab kekuasaan ini tidak diatur lebih lanjut dalam UUD dan peraturan perundang-
undangan. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) hanya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
kekuasaan pemerintahan ini adalah kekuasaan eksekutif. Interpretasi atas pasal ini kemudian
menjadi perdebatan panjang para ahli hukum tata negara, sebagaimana telah diuraikan
secara ringkas pada bab sebelum ini.
Sebagian pakar berpendapat bahwa kekuasaan ini tidak sekedar kekuasaan eksekutif,
melainkan mencakup ruang lingkup yang lebih luas dari pada itu, sehingga batasan yang jelas
untuk mengatur tugas, wewenang dan tanggung jawab kekuasaan ini tidak perlu dilakukan.
Kewenangan membentuk Keppres yang mandiri adalah salah satu turunan dari kekuasaan
pemerintahan ini yang juga tidak diatur dengan jelas dalam suatu perundang-undangan,
kecuali disebutkan dalam Tap MPRS No. XX/MPRS/1966.
Sementara, beberapa pakar yang tidak setuju dengan pendapat di atas menganggap bahwa
kekuasaan ini adalah semata-mata kekuasaan eksekutif yang dilakukan berdasarkan sistem
pembagian kekuasaan sebagaimana doktrin Montesquieu. Konsekuensi turunan dari
pendapat ini adalah bahwa kekuasaan memiliki ruang lingkup yang terbatas dan memiliki
tugas, wewenang serta tanggung jawab yang jelas, sehingga DPR sebagai pengawas
pelaksanaan pemerintahan sehari-hari juga memiliki pegangan yang jelas dalam menjalankan
tugasnya tersebut. Dengan begitu, presiden dan juga DPR tidak dapat berbuat sewenang-
wenang dalam menjalankan tugasnya.
Posisi kajian ini adalah sependapat dengan pendapat yang kedua. Untuk itu kajian ini
mengusulkan dibentuknya suatu pengaturan yang rasional dan jelas serta dapat
dipertanggungjawabkan atas kekuasaan pemerintahan ini. Pengaturan kekuasaan
pemerintahan yang definitif dalam suatu negara umumnya diletakkan dalam sebuah konstitusi.
Begitu pula sebaiknya hal itu dilakukan di dalam konstitusi Negara RI. Perubahan konstitusi,
sekurang-kurangnya dengan melakukan amandemen terhadap UUD 1945, harus dilakukan
agar pengaturan kekuasaan pemerintahan yang lebih jelas dapat termasuk di dalamnya.
Selain itu, tetap diperlukan pengaturan lebih lanjut terhadap kekuasaan pemerintahan ini
dengan sebuah undang-undang. Undang-undang ini berisi pengaturan yang sifatnya lebih
operasional dari kekuasaan pemerintahan yang ada dalam konstitusi.
5. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri.
Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri didasarkan pada Pasal 17 ayat
(2) UUD 1945. Sama dengan yang terjadi pada kekuasaan pemerintahan, kekuasaan ini tidak
diatur lebih lanjut dengan suatu peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan kekuasaan
tersebut dalam praktek kenegaraan selama ini diserahkan secara mutlak kepada presiden.
Pengangkatan menteri-menteri dilakukan oleh presiden sejak ia mendapatkan mandat dari
MPR dalam Sidang Umum MPR sampai dengan masa jabatannya selesai. Pemberhentian
menteri-menteri oleh presiden dapat dilakukan di tengah-tengah masa jabatannya tersebut.
Seluruh tindakan tersebut dalam prakteknya dapat dilakukan secara tertutup tanpa perlu
meminta nasehat, mendapatkan usulan dan pertanggungjawaban dari lembaga negara yang
lain, dengan alasan bahwa kekuasaan ini adalah hak prerogatif presiden.
Argumen hak prerogatif presiden tidak cukup kuat untuk membenarkan praktek yang terjadi
selama ini. Alasan bahwa Indonesia menganut sistem presidensial, yang secara otomatis
memberikan kekuasaan mutlak untuk mengangkat menteri-menteri karena mereka adalah
pembantu presiden, telah terbantahkan. Amerika Serikat dan Filipina yang menganut sistem
presidensial, pembentukan departemen-departemen dan pengangkatan menteri-menteri harus
mendapatkan persetujuan majelis atau salah satu organnya (di Amerika Serikat adalah Senat,
di Filipina adalah Komisi Pengangkatan), sehingga pembentukan departemen-departemen
pemerintahan dan pemilihan menteri-menteri oleh presiden harus dapat
dipertanggungjawabkan di hadapan majelis.
Pelaksanaan kekuasaan yang mutlak dalam bidang apapun sangat rentan terhadap
penyimpangan kekuasaan. Untuk mengantisipasi terjadinya hal tersebut, maka di masa
mendatang pembentukan departemen-departemen pemerintahan dan pengangkatan serta
pemberhentian menteri-menteri yang mengepalai departemen tersebut, sudah selayaknya
dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Mekanisme yang dianggap
paling tepat untuk dijalankan dalam hal ini adalah mekanisme hearing di DPR yang
mengharuskan Presiden RI melakukan dengar pendapat lebih dulu untuk mendapatkan
nasehat dan penilaian atas pelaksanaan kekuasaan ini, sebelum mengambil keputusan akhir.
6. Kekuasaan mengesahkan atau tidak mengesahkan RUU inisiatif DPR
Kekuasaan ini didasarkan pada Pasal 21 ayat (2) UUD 1945 dan diatur lebih lanjut dalam
Pasal 25 ayat (1) Keppres No. 188/1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang. Kekuasaan ini secara normatif sama dengan pelaksanaan hak veto presiden
untuk menolak rancangan undang-undang yang dihasilkan oleh lembaga legislatif, seperti
yang berlaku di Amerika Serikat. Perbedaannya adalah hak veto dilakukan secara terbuka di
depan majelis dengan mengemukakan alasan-alasan yang jelas atas penolakan tersebut.
Veto presiden ini kemudian akan mendapat pengujian dari Kongres, apabila 2/3 anggota
Kongres memberikan penolakan terhadap veto presiden tersebut, maka otomatis ia dianggap
tidak berlaku. Sedangkan dalam praktek di Indonesia, kewenangan tersebut dilakukan dengan
adanya mekanisme penolakan untuk mengesahkan sebuah RUU yang telah disetujui oleh
DPR. Caranya adalah dengan menyampaikan kembali RUU tersebut kepada DPR dengan
Amanat Presiden dan tidak mendapatkan pengujian lagi di DPR.
Pelaksanaan kekuasaan legislatif presiden yang tertutup dan tidak mengharuskan
pertanggungjawaban ini, dapat membuka peluang bagi seorang presiden untuk
menyalahgunakan kekuasaannya tersebut. Sebuah undang-undang yang dihasilkan oleh DPR
sebagai wakil rakyat adalah perwujudan dari kehendak rakyat. Undang-undang itu mungkin
saja tidak baik dan tidak layak untuk diberlakukan di dalam masyarakat. Undang-undang itu
juga mungkin tidak sesuai dengan kebijakan politik presiden sebagai kepala pemerintahan,
karena ia bisa jadi membatasi ruang gerak kekuasaan. Namun sebuah undang-undang tetap
merupakan sebuah bentuk aspirasi wakil rakyat yang melewati rangkaian perdebatan dan
pemikiran yang panjang sebelum ia dapat disepakati sebagai hasil akhir, yang berbentuk
RUU. Apabila bentuk aspirasi ini kemudian ditolak oleh presiden tanpa alasan yang
dipertanggungjawabkan secara terbuka, maka kekuasaan legislatif yang selayaknya seimbang
antara presiden dan DPR tidak dapat tercipta sebagaimana idealnya. Kekuasaan presiden
menjadi jauh lebih besar daripada kekuasaan DPR di bidang legislatif.
Untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan legislatif antara presiden dan DPR, maka salah
satu cara yang terbaik adalah dengan memberikan mekanisme yang transparan dalam
pembentukan undang-undang, sejak penyusunan sampai dengan pemberian persetujuan atau
tidak memberikan persetujuan atas sebuah undang-undang. Mekanisme yang transparan
yang dimaksud adalah pengaturan kewajiban untuk menyatakan persetujuan atau tidak
memberikan persetujuan secara terbuka di dalam sidang majelis yang ditentukan. Dengan
pelaksanaan mekanisme ini, diharapkan tindakan seorang presiden dan para anggota DPR
atas pembentukan suatu undang-undang dapat melewati pertanggungjawaban publik,
sehingga secara moral maupun politis tindakan tersebut dapat dinilai oleh masyarakat dan
institusi-institusi di dalam masyarakat di luar pemerintah, yang juga menjalankan fungsi kontrol
terhadap jalannya pemerintahan.
Berkaitan dengan kekuasaan presiden untuk tidak mengesahkan RUU inisiatif dari DPR,
mekanisme pelaksanaan kekuasaan ini di masa mendatang sebaiknya diartikan secara tegas
sebagai hak veto presiden untuk menolak RUU yang telah disetujui oleh DPR, yang dalam
pelaksanaannya dilakukan secara terbuka di dalam sidang DPR dengan mengemukakan
alasan-alasan penolakan tersebut secara jelas kepada para anggota dewan.
Setelah hal tersebut dilakukan, maka DPR harus mengambil suara untuk memutuskan apakah
akan menerima veto tersebut atau menolaknya. Dengan ketentuan suatu jumlah tertentu yang
diatur oleh undang-undang, veto tersebut dapat kembali dibatalkan oleh DPR, sehingga
secara hukum presiden wajib untuk mengesahkan undang-undang tersebut dan otomatis ia
dapat diberlakukan. Mekanisme ini menciptakan posisi yang seimbang antara kedudukan
presiden dan DPR dalam pembentukan suatu undang-undang.
7. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung RI.
Dasar hukum kekuasaan ini adalah Pasal 19 UU No. 5/1991 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia. Kedudukan Jaksa Agung selama ini berada setingkat dengan menteri-menteri. Ia
juga termasuk bagian dari kabinet yang bertugas membantu presiden dalam menjalankan
roda pemerintahan dan bertanggung jawab secara langsung kepada presiden.
Kejaksaan Agung sebagai bagian dari aparat penegak hukum selayaknya diberi tempat yang
mandiri, lepas dari intervensi kekuasaan lain yang dapat mereduksi kepentingannya dalam
rangka penegakkan hukum. Penempatannya sebagai bagian dari "pembantu" presiden di
pemerintahan sudah layak untuk ditinjau kembali, walaupun di beberapa negara kedudukan
semacam itu tidak mempengaruhinya dalam proses penegakan hukum. Kedudukan yang
mandiri bukan hanya berarti harus dilakukan perombakan secara besar-besaran dari struktur
yang telah ada sekarang. Prinsip yang paling penting dari kedudukan yang mandiri adalah
mendapatkan jaminan undang-undang, tuntutan mekanisme penyelenggaraan yang
transparan, dan adanya kontrol yang kuat dari lembaga-lembaga negara yang lain dalam
proses penyelenggaraan fungsi tersebut sehari-hari. Satu contoh bentuk kemandirian yang
unik yang diberikan kepada sebuah lembaga negara di Indonesia adalah Bank Indonesia Di
masa kepemimpinan pasca Soeharto, Bank Indonesia tidak dimasukkan ke dalam jajaran
kabinet sebagaimana biasanya terjadi di era kepemimpinan Soeharto, dengan alasan untuk
memberikan jaminan independensi yang lebih kuat pada saat penyelenggaraan tugasnya
sehari-hari. Posisi ini tidak memberikan kewajiban mutlak bagi BI untuk patuh pada presiden
karena ia bukan "pembantu" presiden, walaupun secara formil tetap bertanggung jawab
kepada presiden.
Konsep yang sama sebenarnya juga dapat diberlakukan pada institusi Kejaksaan Agung RI.
Secara formil Jaksa Agung tetap bertanggung jawab kepada presiden, namun dalam
pelaksanaan tugasnya sehari-hari Jaksa Agung tidak memiliki kewajiban mutlak untuk patuh
kepada presiden. Struktur semacam ini dapat menjadi salah satu bagian dari konsep-konsep
yang diajukan dalam rangka menghindarkan intervensi kekuasaan lain terhadap
penyelenggaraan tugas Kejaksaan Agung.
Dalam hal kaitannya dengan kekuasaan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung,
konsep yang sama dengan pengangkatan dan pemberhentian menteri-menteri sebaiknya
diberlakukan di masa mendatang. Pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung diharuskan
melewati mekanisme hearing di dalam sidang DPR, sehingga penyimpangan atas kekuasaan
ini oleh presiden, dapat dihindari seoptimal mungkin.
8. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Panglima ABRI, Kastaf AD, AL, AU dan
Kapolri
Kekuasaan ini didasarkan pada Pasal 23 ayat (1) UU No. 20/1988 tentang Prajurit Angkatan
Bersenjata RI. Kekuasaan ini dianggap sebagai turunan dari Pasal 10 UUD 1945 yang
menyatakan bahwa presiden adalah penguasa tertinggi militer dan kepolisian Negara RI.
Dalam perkembangannya di masa orde baru, peranan ABRI sangat dominan dalam
kehidupan sosial-politik dengan dukungan legitimasi konsep Dwi Fungsi ABRI yang
dituangkan dalam Ketetapan-Ketetapan MPR tentang GBHN. Jabatan-jabatan tinggi dalam
bidang militer dan kepolisian merupakan jabatan-jabatan yang sangat penting selama masa
orde baru. Hal ini disebabkan orientasi pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan
mengandalkan stabilitas politik yang "mantap" memerlukan dukungan ABRI yang mutlak.
Dalam rangka stabilitas politik ini, secara sadar orde baru berusaha mengisi jabatan-jabatan
penting tersebut dengan orang-orang yang loyal dengan pemerintah, dalam hal ini presiden,
sehingga mekanisme pelaksanaan pengangkatan dan pemberhentian jabatan-jabatan ini
diserahkan sepenuhnya pada presiden.
Sebagaimana telah disinggung pada bahasan butir satu dan dua di atas, implikasi dari
mekanisme pelaksanaan yang sentralistis dan tertutup ini adalah pengendalian stabilitas
politik dan kemanan yang berlebihan di tangan presiden, bahkan beberapa pengamat militer
menganggap bahwa institusi militer dan kepolisian menjadi "alat" mempertahankan kekuasaan
pemerintah orde baru. Hal ini tentunya masih dapat diperdebatkan.
Terlepas dari pelaksanaannya selama masa orde baru yang banyak menimbulkan masalah,
pengangkatan dan pemberhentian jabatan-jabatan tersebut sudah harus ditegaskan dengan
pembentukan mekanisme yang transparan dan jelas serta dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan berlandaskan alasan tersebut, kajian ini mengusulkan pengangkatan jabatan-jabatan
tinggi di ABRI harus melewati mekanisme hearing di DPR sebelum presiden mengambil
keputusan akhir. Khusus untuk jabatan Panglima ABRI, pelaksanaan pengangkatannya
dilakukan bersamaan dengan pengangkatan menteri-menteri, Gubernur BI dan Jaksa Agung
serta Kepala-Kepala Lembaga Pemerintahan NonDepartemen (LPND).
9. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Kepala LPND.
Kekuasaan ini selama masa orde baru digolongkan sebagai implementasi dari kekuasaan
pemerintahan yang dimiliki oleh presiden. Pembentukan lembaga-lembaga pemerintahan
dalam suatu negara secara normatif berada dalam ruang lingkup kepala eksekutif, sehingga
sebagaimana implementasi kekuasaan pemerintahan lainnya, kekuasaan ini tidak diatur
dengan jelas dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Dasar pemikiran pembentukan lembaga-lembaga pemerintahan non-departemen ini adalah
diperlukannya lembaga-lembaga yang dapat menyelenggarakan fungsi-fungsi tertentu yang
berada di luar lingkup bidang departemen-departemen yang ada atau fungsi-fungsi yang
memerlukan penanganan yang khusus agar dalam pelaksanaannya dapat berjalan dengan
efektif dan efisien. LPND yang dibentuk selama masa orde baru berjumlah dua puluh
lembaga, yang seluruhnya dibentuk dengan Keppres. Di antaranya adalah Badan Urusan
Logistik (BULOG), Biro Pusat Statistik (BPS), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (BAPPENAS), dan lain sebagainya. Lembaga-lembaga ini berkedudukan setingkat
dengan departemen pemerintahan dan dapat mengeluarkan peraturan perundang-undangan
dalam ruang lingkup bidangnya.
Beberapa jabatan Kepala LPND disatukan dengan jabatan menteri departemen atau bahkan
dijabat langsung oleh presiden yang dalam hal penentuannya diserahkan sepenuhnya kepada
presiden. Beberapa LPND di masa orde baru memiliki peranan besar dalam penentuan arah
kebijakan politik, ekonomi dan sosial, seperti BAPPENAS, Dewan HANKAMNAS dan BULOG,
sehingga dalam praktek pemerintahan jabatan ini menjadi sangat penting. Kekuasaan
pembentukan lembaga, pengangkatan dan pemberhentian jabatan kepala LPND yang
terpusat dan tertutup ini menjadikan peran kontrol lembaga-lembaga lain, terutama DPR,
menjadi lemah, karena tidak tersedianya peluang untuk melakukan pengawasan sejak awal.
Kondisi ini tentunya menjadikan kekuasaan ini rentan terhadap penyalahgunaan wewenang.
Kebutuhan untuk menciptakan kontrol yang efektif terhadap jalannya pemerintahan,
memerlukan pengaturan yang jelas dalam mekanisme pelaksanaannya. Oleh karena itu,
untuk mendukung penciptaan kondisi tersebut, pembentukan dan penghapusan lembaga-
lembaga pemerintahan nondepartemen harus dilakukan melalui mekanisme hearing lebih dulu
di DPR. Begitu pula halnya dengan pengangkatan dan pemberhentian kepala-kepala lembaga
tersebut, yang harus melewati "pengujian" terlebih dahulu melalui hearing di DPR.
Pelaksanaan hearing tersebut sebaiknya dilakukan secara bersamaan dengan pengangkatan
menteri-menteri, Jaksa Agung, Gubernur BI dan Panglima ABRI.
B. Kekuasaan Presiden Dengan Persetujuan DPR
Kekuasaan presiden dengan persetujuan DPR adalah kekuasaan-kekuasaan yang dalam
menjalankannya memerlukan persetujuan DPR terlebih dahulu sebelum dilaksanakan.
Kekuasaan-kekuasaan tersebut adalah:
1. Kekuasaan menyatakan perang dan membuat perdamaian.
Dasar hukum kekuasaan ini adalah Pasal 11 UUD 1945 dan Pasal 41 ayat (1) dan (2) UU No.
20/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan RI dan Pasal 33 ayat (2)
huruf e UU No. 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selama masa orde baru,
kekuasaan ini tidak pernah digunakan oleh presiden, namun kekuasaan ini di masa orde lama
pernah digunakan oleh Presiden Soekarno dalam rangka merebut Irian Barat dari penguasaan
Belanda dan pada saat terjadi konfrontasi dengan Malaysia.
Pada dasarnya mekanisme pelaksanaan kekuasaan ini sudah cukup jelas diatur, yaitu dengan
mewajibkan adanya persetujuan dari DPR. Hanya saja dibutuhkan suatu pengaturan yang
lebih rinci dalam suatu undang-undang untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang
dapat saja terjadi dalam suatu keadaan memaksa. Sebagai contoh misalnya, apakah
dimungkinkan pernyataan perang oleh presiden dilakukan tanpa meminta persetujuan lebih
dulu kepada DPR karena keadaan yang sudah mendesak dan persetujuan dari DPR tidak
mungkin dilakukan dalam waktu cepat? Pengaturan mekanisme pelaksanaan kekuasaan ini
mungkin memang belum mendesak, namun tidak ada salahnya untuk memasukkanya ke
dalam bagian suatu undang-undang yang mengatur tentang kekuasaan Presiden RI.
2. Kekuasaan membuat perjanjian dengan negara lain.
Kekuasaan ini diatur dalam yang sama dengan kekuasaan di atas, yaitu Pasal 11 UUD 1945.
Selama masa orde baru, pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kekuasaan ini tidak
pernah dibentuk. Pelaksanaan kekuasaan ini sejak masa demokrasi terpimpin didasarkan
pada Amanat Presiden kepada Ketua DPRS No. 2826/Hk/1960 tanggal 22 Agustus 1960
tentang Pembuatan Perjanjian-perjanjian dengan Negara Lain. Amanat Presiden ini
menyatakan bahwa kata "perjanjian" dalam Pasal 11 UUD 1945 tidaklah diartikan segala atau
semua perjanjian. Karena itu perjanjian yang memerlukan persetujuan DPR hanyalah
perjanjian yang penting-penting saja (treaties), seperti perjanjian yang mengandung soal
politik yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri, perjanjian persekutuan atau
aliansi, perjanjian tentang perubahan atau penetapan tapal batas, soal kewarganegaraan, soal
kehakiman, dan lain-lain. Sedangkan perjanjian teknis lainnya yang bersifat teknis
(agreements), tidak memerlukan persetujuan DPR melainkan cukup dengan Keppres dan
akan disampaikan ke DPR untuk diketahui.
Dengan dikeluarkannya UU No. 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan
DPRD, pengaturan mengenai pembuatan perjanjian-perjanjian internasional mendapatkan
landasan hukum yang kuat. Dalam Pasal 36 dan 37 UU tersebut dinyatakan bahwa perjanjian-
perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak, bangsa,
keamanan, sosial-budaya, ekonomi, maupun keuangan yang dilakukan pemerintah,
memerlukan persetujuan DPR sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian dalam hal kerja sama internasional yang berkaitan dengan kepentingan daerah,
pemerintah wajib memperhatikan sungguh-sungguh suara dari Pemerintah Daerah dan
DPRD.
Sebelum berlakunya UU No. 4/1999, timbul beberapa permasalahan dalam pelaksanaan
kekuasaan ini. Pertama, Amanat Presiden (Ampres) bukanlah merupakan suatu peraturan
perundang-undangan, ia tidak dapat dijadikan dasar hukum suatu penyelenggaraan
pemerintahan, sehingga dibutuhkan pengaturan khusus dalam suatu undang-undang
mengenai pelaksanaan kekuasaan ini. Kedua, pengaturan di atas masih belum
mendefinisikan secara jelas dan rinci, materi-materi mana yang masuk ruang lingkup penting
dan mana yang kurang penting. Dalam kenyataannya, pemilahan materi perjanjian yang
memerlukan persetujuan DPR dan yang tidak, diserahkan kepada presiden. Padahal maksud
dari Pasal 11 UUD 1945 justru sebaliknya, DPR memiliki kekuasaan untuk menyeleksi seluruh
perjanjian yang akan dilakukan oleh pemerintah. Penting atau tidak pentingnya suatu materi
perjanjian diserahkan penentuannya kepada DPR.
Argumen yang mendukung materi Ampres di atas adalah sangat tidak efisien untuk
menyerahkan semua materi perjanjian untuk diseleksi oleh DPR. Selain anggota DPR
memiliki pekerjaan yang sangat banyak, mereka juga memiliki keahlian teknis yang lebih
rendah dibandingkan dengan aparatur pemerintahan, sehingga proses tersebut hanya akan
memakan waktu dan biaya yang tinggi, dan hasil yang sama akan diperoleh apabila proses itu
dikerjakan sendiri oleh pemerintah. Pendapat ini tentunya sulit untuk dibantah, namun secara
prinsipil, mekanisme semacam itu dapat memberikan peluang terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan. Kejadian yang masih segar dalam ingatan kita adalah ditandatanganinya
kesepakatan (letter of intent) antara Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF) oleh
Presiden Soeharto, tanpa melibatkan, apalagi meminta persetujuan, dari DPR. Walaupun
letter of intent tersebut termasuk ke dalam golongan perjanjian yang kurang penting
(agreements), akibat yang ditimbulkan menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap
arah kebijakan ekonomi dan politik Indonesia, terutama dampak langsungnya terhadap
kehidupan perekonomian masyarakat.
Peristiwa perjanjian dengan IMF tersebut membuat kita harus berpikir lebih lanjut, bahwa
apabila pemilahan tersebut tetap akan diberlakukan, maka pengaturan yang lebih rinci dan
jelas sangat diperlukan. Hal ini tentunya tidak mudah dan tetap rentan untuk dilakukan, karena
perkembangan yang sangat pesat di era modernisasi ini menjadikan hal-hal yang tidak
terpikirkan sebelumnya dapat saja terjadi di masa mendatang. Selain itu, yang menentukan
penting atau tidaknya suatu perjanjian seringkali adalah masalah yang sifatnya ideologis,
bukan masalah teknis.
Dengan tetap berpijak pada argumen bahwa kewenangan terbesar untuk menentukan
perjanjian penting atau tidak penting ada pada DPR, maka di masa mendatang, seluruh
perjanjian yang diadakan dengan negara lain harus melalui penyaringan di DPR. Untuk
perjanjian yang oleh DPR dianggap penting, harus mendapatkan persetujuan dari DPR.
Sedangkan untuk perjanjian yang oleh DPR dianggap kurang penting dan secara teknis tidak
efisien apabila harus mendapatkan persetujuan DPR terlebih dulu, dapat dilakukan dengan
keputusan presiden. Hal ini untuk menghindari terulangnya tindakan peminggiran peranan
wakil rakyat dalam peranannya menentukan arah kebijakan politik negara.
3. Kekuasaan membentuk undang-undang
Kekuasaan ini didasarkan pada Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dan secara operasional diatur
dalam Keppres No. 188/1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU. Keppres ini
menggantikan Instruksi Presiden (Inpres) No. 15/1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia.
Inpres 15/1970 merupakan perintah yang berisi petunjuk presiden kepada para menteri dan
kepala LPND mengenai bagaimana prosedur menyusun RUU dan RPP. Perbedaan mendasar
antara Keppres No. 188/1998 dan Inpres 15/1970 adalah dalam hal besarnya wewenang
proses penyusunan suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) dan Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP). Pada Inpres 15/1970 wewenang terbesar penyusunan ada pada
Sekretariat Negara, sedangkan pada Keppres 188/1998 wewenang terbesar diserahkan pada
Panitia Antar Departemen penyusunan RUU dan RPP. Selain itu dalam Keppres 188/1998,
peranan konsultasi juga diberikan secara memadai kepada Departemen Kehakiman dan
Departemen atau Lembaga teknis yang terkait dengan materi muatan RUU dan RPP.
Secara teknis operasional, mekanisme yang diatur dalam Keppres telah memberikan peluang
untuk meningkatkan pemberdayaan departemen-departemen dan lembaga-lembaga
pemerintahan di bawah presiden. Apabila dilihat dari konsep pemerintahan yang sebaiknya
bersifat bottom-up, hal ini merupakan suatu perubahan yang cukup signifikan dibandingkan
dengan pola pemerintahan yang berlangsung di masa Presiden Soeharto.
Keppres ini juga telah memberikan tempat yang lebih baik kepada naskah akademis yang
merupakan salah satu bagian dari bentuk usulan dan pertimbangan dari institusi-institusi yang
ada di dalam masyarakat, terutama perguruan tinggi. Dalam mekanisme yang lama, sebuah
naskah akademis hanya menjadi sebuah usulan dan pertimbangan bagi Panitia Antar
Departemen. Dalam Keppres No. 188/1998, sebuah naskah akademis (dalam Keppres ini
disebut dengan rancangan akademik) dapat dijadikan bahan pembahasan dalam forum
konsultasi yang diadakan untuk memantapkan konsepsi RUU dan RPP yang dikoordinasikan
oleh Menteri Kehakiman.
Salah satu kritik yang dilancarkan pada Keppres ini adalah masih kurangnya pemberian
peluang institusi-institusi di dalam masyarakat untuk berperan serta dalam memberikan usulan
dan masukan dalam penyusunan RUU dan RPP. Pelibatan yang ada masih bersifat tertutup
dan hanya berputar di institusi tertentu saja, misalnya perguruan tinggi dan para ahli.
Sementara peluang partisipasi masyarakat secara luas tampaknya masih belum diberikan. Di
beberapa negara, misalnya Perancis dan Swiss, untuk penyusunan suatu undang-undang
yang akan berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakatnya, terdapat suatu mekanisme
yang melibatkan masyarakat secara luas dengan mekanisme polling (pengumpulan
pendapat). Hasil pelaksanaan polling ini dijadikan salah satu bahan pertimbangan bagi panitia
penyusunan suatu rancangan undang-undang di negara tersebut. Manfaat yang dapat diambil
dari penyelenggaraan mekanisme ini adalah sosialisasi suatu undang-undanga telah
dilakukan sejak awal, sehingga pada saatnya diberlakukan, undang-undang tersebut telah
memasyarakat secara luas dan akan semakin mempermudah aparat pelaksana dalam
melaksanakan undang-undang ini. Konsep yang sama dapat juga diberlakukan terhadap
penyusunan RUU dan RPP di Indonesia.
Dengan tidak meniadakan masih adanya kekurangan dalam Keppres 188/1998, dapat
dinyatakan bahwa Keppres ini telah banyak mengadakan perubahan yang signifikan dalam
penyusunan RUU dan RPP. Namun untuk kebutuhan di masa mendatang, dasar hukum
penyusunan undang-undang sebaiknya diatur secara lengkap dan jelas dalam sebuah
undang-undang yang mengatur tentang pembentukan undang-undang.
4. Kekuasaan Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU).
Kekuasaan presiden untuk menetapkan PERPU, didasarkan pada Pasal 22 ayat (1) UUD
1945. Pengaturan lebih lanjut terhadap pelaksanaan kekuasaan ini hanya didasarkan pada
ketentuan Pasal 134 jo. Pasal 125-129 Peraturan Tata Tertib DPR RI No. 9/DPR-RI/1997-
1998, yang secara yuridis-administratif bukan merupakan bagian dari peraturan perundang-
undangan Indonesia. Dasar pemikiran dari kekuasaan ini adalah adanya kebutuhan yang
mendesak untuk diberlakukannya sebuah undang-undang, sementara kondisi pada saat itu
tidak memungkinkan untuk menunggu persetujuan dari DPR terlebih dulu. Sebuah PERPU
dapat langsung diberlakukan oleh pemerintah sambil secara bersamaan PERPU tersebut
diajukan ke DPR sebagai RUU. Pembahasan RUU tersebut harus dilakukan sesegera
mungkin pada sidang DPR berikutnya. Jika DPR pada saat sidang memutuskan untuk tidak
menyetujui PERPU tersebut maka ia harus segera dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Beberapa mata rantai yang biasa dilakukan dalam proses pembentukkan UU, dalam proses
pembentukan PERPU dipersingkat. Misalnya Panitia Antar Departemen menjadi tidak selalu
perlu dan permintaan tanggapan dan pertimbangan para menteri dan kepala LPND yang
bersangkutan perlu dipercepat.
Mekanisme pembentukan PERPU merupakan mekanisme yang darurat, dengan alasan
tersebut Ismail Suny menggolongkan kekuasaan ini sebagai kekuasaan darurat. Secara
prinsipil tidak ada masalah dalam mekanisme pelaksanaan kekuasaan ini, namun di masa
mendatang kebutuhan untuk dibentuknya pengaturan khusus tentang mekanisme
pelaksanaan kekuasaan ini dalam suatu undang-undang sudah dirasakan mendesak.
Pengaturan tersebut sebaiknya disatukan ke dalam undang-undang tentang pembentukan
undang-undang.
5. Kekuasaan menetapkan APBN.
Dasar hukum kekuasaan menetapkan APBN adalah Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Stb.
1925 No. 448 setelah diubah dengan UU No. 3/1954, sebagaimana diubah dengan UU No.
9/1968 tentang Cara Pengurusan dan Pertanggungjawaban Keuangan RI atau biasa disebut
dengan Indonesische Comptabiliteitswet (ICW).
Kekuasaan menetapkan APBN dilakukan dengan beberapa tahap. Tahap pertama adalah
penyusunan rancangan APBN dan nota keuangan dan tahap kedua adalah penetapan RUU
APBN. Bahan untuk menyusun RAPBN diajukan oleh departemen, LPND, dan lembaga
tertinggi dan lembaga tinggi negara dalam bentuk Daftar Usulan Kegiatan (DUK) bagi
anggaran rutin kepada menteri keuangan c.q. direktur jenderal anggaran dan dalam bentuk
Daftar Usulan Proyek (DUP) bagi anggaran pembangunan kepada menteri keuangan c.q
dirjen anggaran dan ketua BAPPENAS. Dalam tahap kedua, RUU APBN yang diajukan oleh
pemerintah dibahas di DPR dalam empat tingkat pembicaraan sampai dengan pesetujuan
atau tidak persetujuan RUU APBN tersebut. Persetujuan DPR terhadap APBN yang diajukan
oleh pemerintah adalah mutlak, apabila RUU APBN tersebut tidak mendapatkan persetujuan
dari DPR, UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah harus menggunakan APBN tahun lalu.
Mekanisme pelaksanaan kekuasaan presiden ini telah cukup diatur dengan jelas, kekuasaan
presiden telah dibatasi secara tegas dengan kewajiban mutlak untuk mendapatkan
persetujuan dari DPR. Secara normatif ketentuan tersebut telah mengantisipasi kemungkinan
pelaksanaan kekuasaan yang sewenang-wenang dari seorang presiden dalam menetapkan
anggaran pembelanjaan dan keuangan negara. Di masa mendatang, ketentuan tentang
mekanisme pelaksanaan kekuasaan ini sebaiknya disatukan dengan mekanisme pelaksanaan
kekuasaan pembentukan undang-undang, yang diatur dalam suatu undang-undang tentang
pembentukan undang-undang.

C. Kekuasaan Presiden Dengan Konsultasi


Kekuasaan dengan konsultasi adalah kekuasaan yang dalam pelaksanaannya memerlukan
usulan atau nasehat dari institusi-institusi yang berkaitan dengan materi kekuasaan tersebut.
Kekuasaan-kekuasaan tersebut adalah:
1. Kekuasaan memberi grasi.
Dasar hukum kekuasaan ini adalah Pasal 14 UUD 1945 yang diatur lebih lanjut dengan UU
No. 3/1950 tentang Grasi. Kekuasaan memberikan grasi oleh beberapa pakar hukum tata
negara digolongkan ke dalam kekuasaan yudikatif Presiden RI, dengan alasan bahwa
kekuasaan ini berada dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman. Penjelasan UUD 1945
sendiri secara tegas menyatakan bahwa kekuasaan ini adalah kekuasaan presiden sebagai
kepala negara. Apabila materi UU No. 3/1950 diperhatikan lebih lanjut, maka dengan jelas
terlihat bahwa tindakan presiden dalam memberikan grasi bukanlah tindakan yudikatif, karena
ia lebih didasarkan pada alasan-alasan politis daripada alasan-alasan yuridis. Pertimbangan
yuridis dalam hal pemberian grasi dilakukan oleh Departemen Kehakiman, Mahkamah Agung
dan Jaksa Agung, dan pada saat pertimbangan tersebut disampaikan kepada Presiden RI
oleh Menteri Kehakiman, persoalan yuridis telah dianggap selesai.
Mekanisme konsultasi yang ketat dalam hal pemberian grasi telah diatur dengan jelas dalam
UU No. 3/1950, sehingga secara mekanistis pengaturan kekuasaan ini telah berusaha secara
optimal menghindarkan terjadinya penyalahgunaan wewenang.
2. Kekuasaan memberi amnesti dan abolisi.
Kekuasaan presiden ini didasarkan pada Pasal 14 UUD 1945 dan Pasal 1 UU Drt. No.
11/1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Mekanisme pelaksanaan kekuasaan tersebut dilakukan
atas kepentingan negara dan setelah mendapat nasehat tertulis dari MA yang menyampaikan
nasehat itu atas permintaan Menteri Kehakiman.
UU Darurat ini hanya terdiri dari lima pasal dan belum mengatur mekanisme pelaksanaan
kekuasaan secara rinci, walaupun materi pengaturannya telah meletakkan dasar pokok
pembatasan kekuasaan. Di masa mendatang diperlukan suatu undang-undang baru yang
lebih jelas dan rinci mengatur mekanime pelaksanaan kekuasaan ini.
3. Kekuasaan memberi rehabilitasi.
Dasar hukum kekuasaan memberi rehabilitasi ini hanya ada di Pasal 14 UUD 1945. Dalam
pelaksanaannya kekuasaan ini tampaknya dilakukan bersamaan dengan pemberian amnesti
dan abolisi, contuhnya adalah kasus A. M. Fatwa (Keppres No. 127/1998). Untuk kebutuhan
dasar hukum yang lebih jelas di masa mendatang, kekuasaan ini harus diatur lebih lanjut
dengan sebuah undang-undang, dan sebaiknya pengaturannya disatukan dengan pengaturan
mengenai pemberian amnesti dan abolisi.
4. Kekuasaan memberi gelaran.
Kekuasaan presiden untuk memberi gelaran dinyatakan dalam Pasal 15 UUD 1945, namun
tidak dijelaskan lebih lanjut apa saja yang dimaksud dengan gelaran. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, gelar adalah sebutan kehormatan, kebangsawanan, atau keilmuan yang
biasanya ditambahkan pada nama orang. Beberapa gelar yang diinterpretasikan termasuk
dalam gelaran ini adalah, gelar Guru Besar (profesor) dan gelar Pahlawan Nasional. Selama
ini mekanisme pelaksanaan pemberian gelar-gelar tersebut dilakukan oleh presiden tanpa
mekanisme yang jelas, sehingga walaupun kerap kali kekuasaan ini dilakukan melalui
mekanisme konsultasi terlebih dulu dengan lembaga-lembaga yang terkait, kekuatan hukum
konsultasi ini sangatlah lemah, karena ia hanya dilakukan berdasarkan kebiasaan semata.
Misalnya dalam hal pemberian gelar Guru Besar, presiden memberikan gelar Guru Besar
berdasarkan hasil penetapan sidang Senat Guru Besar Universitas, namun sebenarnya tidak
ada kekuatan hukum yang mengikat presiden untuk mendasarkan pelaksanaan
kekuasaannya ini pada hasil sidang Senat tersebut, sehingga penyimpangan kekuasaan
sangat mungkin terjadi. Untuk menghindari terjadinya hal tersebut, maka di masa mendatang
dibutuhkan suatu undang-undang yang jelas untuk mengatur kekuasaan ini, dengan
mendasarkan konsep pelaksanaan kekuasaannya pada mekanisme konsultasi. Konsultasi
yang dimaksud adalah usulan dan pertimbangan yang diberikan oleh komunitas, kelompok,
golongan, atau lembaga-lemabaga lain yang berkaitan dengan gelaran tersebut.
5. Kekuasaan memberi tanda jasa dan tanda kehormatan lainnya.
Dasar hukum kekuasaan ini adalah Pasal 15 UUD 1945 dan diatur lebih lanjut dalam Pasal 1
ayat (1) dan (2), Pasal 8 ayat (1) dan (2), dan Pasal 10 ayat (3) UU Drt No. 4/1959.
Kekuasaan ini dijalankan dengan mekanisme konsultasi. Mekanisme yang dimaksud oleh UU
ini adalah bahwa dalam pelaksanaan kekuasaan ini, presiden diharuskan untuk meminta
pertimbangan dari Dewan Menteri dan Dewan Tanda-Tanda Kehormatan ebih dulu sebelum
memberikan tanda jasa dan tanda kehormatan lainnya. Istilah Dewan Menteri dalam undang-
undang ini ditujukan untuk kabinet pemerintahan yang, pada masa UU ini dibentuk, menganut
sistem pemerintahan parlementer dan secara yuridis masih berdasarkan UUDS 1950.
Apabila diperhatikan lebih lanjut, UU Drt. No. 4/1959 memberikan kewenangan yang besar
kepada Dewan Menteri dan Dewan Tanda-tanda Kehormatan Selama masa orde baru,
pelaksanaan kekuasaan ini sangat tertutup dan terpusat. Pemberian tanda jasa dan tanda
kehormatan lainnya dipahami oleh pemerintah orde baru sebagai hak prerogatif presiden.
Untuk kebutuhan di masa mendatang, sudah selayaknya dibentuk undang-undang yang baru
untuk menggantikan UU Drt No. 4/1959. Mengenai mekanisme pelaksanaannya, presiden
dalam menetapkan pemberian tanda jasa dan tanda kehormatan lainnya harus mendapatkan
usulan atau mendapatkan pertimbangan lebih dulu dari Dewan Tanda-tanda Kehormatan dan
presiden harus memperhatikan pertimbangan atau usulan tersebut dengan sungguh-sungguh.
6. Kekuasaan menetapkan peraturan pemerintah.
Kekuasaan menetapkan peraturan pemerintah didasarkan pada Pasal 5 ayat (2) dan diatur
lebih lanjut dengan Pasal 28 ayat (1) Keppres 188/1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan
RUU. Dalam peraturan ini dinyatakan bahwa seluruh proses penyusunan rancangan
peraturan pelaksanaan UU dilakukan dengan tata cara yang sama dengan penyusunan RUU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai Pasal 18 Keppres 188/1998. Proses yang
dimaksud adalah sejak pembentukan Panitia Antar Departemen sampai laporan terakhir
Mensesneg kepada Presiden tentang rancangan peraturan yang akan disahkan. Dalam
Keppres tersebut juga ditegaskan bahwa penetapan peraturan pelaksanaan UU harus
diselesaikan selambat-lambatnya satu tahun setelah pengundangan Undang-undang yang
bersangkutan.
Permasalahan yang timbul selama masa orde baru yang berkaitan dengan kekuasaan
pembentukan peraturan pemerintah adalah tergantungnya proses pembentukkan PP kepada
pemerintah, baik dalam hal penyusunan materi maupun dalam hal waktu penetapan peraturan
tersebut. Tergantungnya penyusunan materi PP kepada pemerintah menyebabkan materi
tersebut tidak mendapatkan penilaian dan pertimbangan lebih dulu dari DPR sebelum
diberlakukan. Padahal banyak UU di Indonesia yang justru menyerahkan pengaturan turunan
yang sifatnya substansial kepada peraturan di bawahnya, yaitu PP. Akibatnya sering terjadi
suatu ketentuan UU tidak dapat dijalankan dengan alasan belum ada PP atau peraturan
pelaksanaan lainnya yang mengatur lebih lanjut ketentuan tersebut, sehingga secara hukum
dapat dinyatakan bahwa UU tersebut sebenarnya tidak dapat berlaku efektif.
Untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan di atas, Keppres 188/1998 telah
mengantisipasinya dengan memberikan batasan terhadap lama waktu pembentukan PP.
Pengaturan tersebut belum cukup, karena masih memberikan peluang terjadinya
penyimpangan kekuasaan. Pembentukan peraturan pelaksanaan UU, baik PP maupun
peraturan pelaksana lainnya, sebaiknya dijadikan satu paket dengan pembentukan UU. Hal ini
perlu dilakukan agar materi PP juga dapat dibahas dalam sidang-sidang pembahasan di DPR
dan juga menjadikan suatu UU yang telah disetujui oleh DPR dapat langsung diberlakukan
secara efektif tanpa harus menunggu proses penyusunan peraturan pelaksanaannya telebih
dahulu. Sementara mekanisme yang memberikan waktu paling lambat satu tahun untuk
penetapan PP atau peraturan pelaksanaan lainnya, dapat dijadikan mekanisme
penyimpangan dengan syarat-syarat yang ditetapkan dengan UU. Pengaturan mengenai
pembentukan PP dan peraturan pelaksanaan lainnya ini sebaiknya dijadikan satu dengan UU
tentang pembentukan UU yang direkomendasikan di atas.
7. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan hakim-hakim.
Kekuasaan presiden untuk mengangkat dan memberhentikan hakim-hakim didasarkan pada
Pasal 30 dan 31 UU No. 14/1970. Ketentuan ini menyatakan bahwa hakim diangkat dan
diberhentikan oleh Kepala Negara, mengenai syarat-syarat dan tata caranya diatur dengan
UU. Ketentuan undang-undang yang dimaksud adalah Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (1)
UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum, Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (1) UU No.
5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 15 ayat (1), Pasal 18 ayat (2) dan Pasal
21 ayat (1) UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama, serta Pasal 21 UU No. 31/1997 tentang
Peradilan Militer.
Ketentuan-ketentuan tersebut mensyaratkan kepada presiden untuk terlebih dulu menerima
usulan dari Departemen Kehakiman (untuk hakim Peradilan Umum dan PTUN) atau
Departemen Agama (untuk Peradilan Agama) atau Panglima ABRI (untuk Peradilan Militer)
yang telah mendapat persetujuan dari Mahkamah Agung.
Ketentuan ini menyebabkan pelaksanaan kekuasaan kehakiman, khususnya hakim Peradilan
Umum dan hakim PTUN, menjadi tergantung secara administratif kepada eksekutif. Hal
ditengarai menjadi salah satu sebab dari ketidakmandirian kekuasaan kehakiman selama
masa orde baru. Di masa mendatang dibutuhkan suatu undang-undang baru yang
menggantikan UU di atas yang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan demokratisasi.
Pengaturan mekanisme pelaksanaan pengangkatan dan pemberhentian dan seluruh hal-hal
yang berkaitan dengan proses adminsitratif hakim-hakim terutama hakim Peradilan Umum
dan hakim PTUN tidak lagi dicampuri oleh lembaga eksekutif. Semua hal tersebut diserahkan
sepenuhnya kepada Mahkamah Agung sebagai Lembaga Tertinggi pelaksana Kekuasaan
Kehakiman, sedangkan presiden sebagai kepala negara hanya berfungsi meresmikan
keputusan yang telah diambil oleh Mahkamah Agung.
8. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Hakim Agung, Ketua, Wakil Ketua,
Ketua Muda dan Hakim Anggota MA.
Dasar hukum kekuasaan ini adalah Pasal 8 ayat (1) sampai (5), Pasal 11 ayat (1), Pasal 12
ayat (1) dan (2), serta Pasal 13 ayat (1) UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung.
Ketentuan-ketentuan tersebut memberikan kekuasaan presiden sebagai kepala negara untuk
mengangkat hakim-hakim agung dari daftar calon yang diusulkan oleh DPR setelah
mendengar pendapat MA dan Pemerintah. Selanjutnya Kepala Negara mengangkat Ketua MA
dan Wakil Ketua MA dari daftar calon hakim agung tersebut. Dalam hal pengangkatan Ketua
Muda MA, Kepala Negara mengangkat dari hakim agung yang diusulkan oleh MA. Sedangkan
dalam hal pemberhentian Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota MA, Kepala
Negara melakukannya atas usul MA.
Kekuasaan yang besar berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian hakim-hakim
agung oleh presiden di negara-negara demokrasi modern bukanlah hal yang jamak terjadi.
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang berusaha sejauh mungkin dicampuri oleh
kekuasaan lembaga negara lain. Dalam hal pengangkatan dan pemberhentian hakim-hakim
agung, lembaga yang diserahkan kewenangan untuk memilih dan mengangkatnya adalah
lembaga perwakilan rakyat, karena lembaga ini diharapkan dapat mengadakan pemilihan dan
pengangkatan secara terbuka dan representatif. Alternatif lainnya adalah pemilihan dan
pengangkatan yang dilakukan oleh komisi independen khusus yang diserahi kewenangan ini.
Untuk menghindarkan terjadinya intervensi terhadap kekuasaan kekuasaan kehakiman seperti
yang terjadi di masa lampau, maka salah satu upaya yang harus ditempuh adalah membuat
pengaturan pengangkatan dan pemberhentian hakim-hakim agung yang lebih baik. Pemilihan
dan pengangkatan hakim-hakim agung tidak lagi dilakukan oleh presiden namun diserahkan
kepada DPR yang melakukan pemilihan berdasarkan daftar calon yang diusulkan oleh Komisi
Independen Pengangkatan Hakim Agung. Setelah pemilihan dilakukan oleh DPR, Presiden
sebagai Kepala Negara meresmikan hasil keputusan tersebut secara adminsitratif.
Pemberhentian hakim agung hanya dapat dilakukan dengan dasar tuntutan berat
(impeachment) dalam sidang DPR dan atas hasil sidang tersebut Kepala Negara secara
administratif menetapkannya dengan Keppres. Sedangkan untuk pengangkatan Ketua, Wakil
Ketua, dan Ketua Muda MA dilakukan sendiri oleh hakim-hakim agung MA dalam sebuah
sidang khusus untuk itu. Hasil sidang ini kemudian diserahkan kepada Kepala Negara untuk
ditetapkan secara administratif.
9. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Ketua ,Wakil Ketua dan anggota DPA.
Kekuasaan ini didasarkan pada Pasal 5 dan 7 ayat (1) UU No. 3/1967 setelah diubah dan
ditambah dengan UU No. 4/1978 tentang Dewan Pertimbangan Agung. DPA dalam struktur
kenegaraan RI didudukkan sebagai salah satu lembaga tinggi negara. Ia berkedudukkan
sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya, yaitu MA, Presiden, dan BPK. Fungsi dari DPA
adalah berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul
dan berkewajiban mengajukan pertimbangan kepada presiden.
Anggota-anggota DPA meliputi unsur-unsur; tokoh-tokoh politik, tokoh-tokoh karya, tokoh-
tokoh daerah dan tokoh-tokoh nasional. Pengangkatan dan pemberhentian anggota-anggota
DPA dilakukan dengan Keppres. Dalam prakteknya di lapangan, kekuasaan mengangkat dan
memberhentikan anggota-anggota DPA dilakukan oleh presiden dengan mendengarkan lebih
dulu saran-saran dan pertimbangan dari MPR, DPR, pimpinan partai politik serta organisasi
kemasyarakatan lainnya. Walaupun demikian, kekuasaan terbesar untuk menentukan
anggota-anggota DPA yang akan diangkat adalah di tangan presiden. Kenyataan ini
menyebabkan lembaga DPA yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga penasehat yang
obyektif dan mandiri tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan.
Untuk itu, sejalan dengan kebutuhan lembaga kontrol yang efektif dan berorientasi pada
terciptanya check and balance dalam kehidupan pemerintahan di masa mendatang, maka
mekanisme pelaksanaan pengangkatan dan pemberhentian anggota-anggota DPA sudah
saatnya mengalami perubahan. Pengisian keanggotaan DPA di masa mendatang sebaiknya
diusulkan dan dipilih oleh anggota-anggota DPR dalam sidang yang khusus diadakan untuk
itu. Begitu pula dalam hal mekanisme pemberhentian di tengah masa jabatan keanggotaan
DPA. Dalam hal pemilihan Ketua dan Wakil Ketua DPA, anggota-anggota DPA bersidang
sendiri untuk menentukan siapa-siapa saja yang akan memimpin DPA. Kesemua hasil
persidangan tersebut, baik dalam hal pengangkatan anggota maupun pengangkatan Ketua
dan Wakil Ketua DPA, diserahkan kepada Kepala Negara untuk ditetapkan secara
administrasi dengan Keppres.
10. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota BPK.
Kekuasaan presiden ini didasarkan pada Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), dan Pasal 10 UU No. 5
tahun 1973 tentang BPK. Dalam ketentuan pengangkatan anggota BPK dinyatakan bahwa
Ketua, Wakil Ketua dan Anggota BPK diangkat oleh Presiden atas usul DPR. Untuk setiap
lowongan keanggotaan BPK, diusulkan tiga orang calon oleh DPR. Dalam hal pemberhentian
anggota BPK, pelaksanaannya dilakukan oleh presiden, namun untuk pemberhentian dengan
alasan tertentu (pelanggaran sumpah dan janji anggota DPA) presiden harus berkonsultasi
dulu dengan DPR dan MA.
Kekuasaan besar yang dimiliki oleh presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Ketua,
Wakil Ketua dan Anggota BPK, diduga menjadi salah satu sebab dari ketidakefektifan
lembaga eksaminatif ini. Di masa mendatang, seiring dengan kebutuhan pengawasan
pelaksanaan kekuasaan pemerintahan yang efektif, maka dalam hal pengangkatan dan
pemberhentian anggota-anggota BPK, presiden tidak lagi diposisikan sebagai penentu utama
kewenangan ini. Sebagaimana halnya pengangkatan anggota-anggota DPA di masa
mendatang , pengisian keanggotaan BPK diusulkan oleh anggota-anggota DPR dan dipilih
serta ditetapkan dalam sidang terbuka yang diadakan khusus untuk itu. Sedangkan dalam hal
pengisian jabatan Ketua dan Wakil Ketua BPK, para anggota-anggota BPK bersidang di awal
masa jabatannya untuk mengadakan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua BPK dan kemudian
menyerahkan hasil keputusan sidang tersebut untuk ditetapkan oleh presiden secara
administrasi dengan Keppres.

11. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung
Muda.
Kekuasaan ini didasarkan pada Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (1) UU No. 5/1991
tentang Kejaksaan RI. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa presiden mengangkat dan
memberhentikan Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda atas usul Jaksa Agung.
Ketentuan ini pada prinsipnya telah memberikan kewenangan yang terbatas pada presiden.
Hanya saja perlu ditegaskan dalam pengaturan mekanisme pelaksanaan kekuasaan ini di
masa mendatang bahwa presiden harus secara sungguh-sungguh memperhatikan usulan dari
Jaksa Agung, sehingga usulan tersebut menjadi prioritas utama bagi presiden dalam
menentukan pilihannya.
12. Kekuasaan mengesahkan penetapan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah.
Kekuasaan ini didasarkan pada Pasal 33-Pasal 42, Pasal 46, Pasal 49-Pasal 54 dan Pasal 56
UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini merupakan undang-undang
yang menggantikan UU No. 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, yang
selama masa Orde Baru merupakan pegangan utama pemerintah pusat dan daerah dalam
penyelenggaraan kehidupan pemerintahan dan kenegeraan. Hubungan kekuasaan pusat dan
daerah dalam UU No. 5/1974 diimplementasikan dalam pola hubungan yang sentralistis dan
top-down, sehingga dalam banyak hal menjadikan proses demokratisasi selama masa orde
baru menjadi sangat terhambat.
Pengangkatan dan pemberhentian Kepala dan Wakil Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Tk. I serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tk. II dalam UU No. 5/1974
bersifat sentralistis, tertutup dan tidak membuka peluang bagi tuntutan pertanggungjawaban
publik. Akibat dari mekanisme pelaksanaan tersebut, aspirasi masyarakat lokal direduksi oleh
kepentingan pemerintah pusat. Demokrasi di tingkat lokalpun menjadi terhambat. Kepala
Daerah lebih merasa harus bertanggung jawab kepada pusat daripada kepada masyarakat
daerahnya sendiri, sehingga kepentingan pemerintah pusat dalam pengelolaan pemerintahan
daerah lebih dominan daripada kepentingan daerah itu sendiri.
UU Pemerintahan Daerah yang baru saja terbentuk di tahun 1999, mengandung perubahan
yang cukup signifikan dari UU No. 5/1974, khususnya mengenai pola hubungan kekuasaan
antara pusat dan daerah. Peluang cukup besar telah diberikan kepada daerah untuk mengatur
penyelenggaraan pemerintahan sendiri dan pengembangan potensi sumber daya daerahnya.
Berkaitan dengan kekuasaan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah, terdapat
perubahan yang mendasar dalam pengaturan UU No. 22/1999 mengenai mekanisme
pelaksanaan kekuasaan tersebut. Pengangkatan Kepala Daerah tidak lagi bersifat top down,
sebagaimana sebelumnya, namun lebih memberikan kekuasaan yang besar kepada daerah
untuk menentukan Kepala Daerahnya sendiri. Kekuasaan pengangkatan yang dahulu
dipegang oleh Presiden, dalam UU ini diserahkan sebagian besar kepada DPRD. Mekanisme
pelaksanaan kekuasaan tersebut dari sejak pencalonan sampai dengan pemilihan dan
pengangkatan dilakukan sepenuhnya oleh anggota-anggota DPRD yang bersangkutan.
Peranan Presiden dalam proses ini diwujudkan dalam mekanisme konsultasi dan pengesahan
seremonial serta pelantikan.
Mekanisme konsultasi yang dimaksud adalah bagian dari tahapan yang harus dilakukan oleh
DPRD dalam proses pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur. Mekanisme konsultasi
dilakukan pada saat calon Gubernur dan Wakil Gubernur telah ditetapkan oleh DPRD, yang
terdiri dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang calon. Calon-calon tersebut sebelum dipilih
dalam Rapat Paripurna DPRD, dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Presiden. Hal yang
menjadi sedikit masalah dalam ketentuan UU ini adalah tidak adanya ketentuan yang jelas
apabila hasil dari konsultasi tersebut adalah ketidaksetujuan Presiden terhadap calon-calon
yang telah ditetapkan oleh DPRD yang bersangkutan. Apakah DPRD memiliki hak untuk
mengabaikan ketidaksetujuan Presiden tersebut atau tidak? Apabila tidak, mekanisme apa
yang harus dilakukan oleh DPRD atas konsekuensi tersebut?
Kekuasaan Presiden lainnya yang berkaitan dengan pengisian jabatan Kepala Daerah adalah
mengesahkan penetapan DPRD tentang Kepala daerah yang terpilih dan pelantikan Kepala
Daerah yang terpilih. Dari ketentuan ini jelas terlihat bahwa kekuasaan Presiden RI dalam hal
pengisian jabatan Kepala Daerah tidak lagi lebih dominan dibandingkan kekuasaan DPRD.
Dalam hal pemberhentian Kepala Daerah, kekuasaan Presiden RI juga tidak lagi menempati
posisi yang dominan. Kekuasaan untuk memberhentikan Kepala Daerah diserahkan
sepenuhnya kepada DPRD. Presiden RI dalam proses tersebut hanya berfungsi
mengesahkan penetapan DPRD tentang pemberhentian Kepala Daerah tersebut. Keputusan
DPRD, mengenai pemberhentian Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah harus dihadiri
oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan
persetujuan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota yang hadir.
Penyimpangan ketentuan mengenai pemberhentian Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah
adalah apabila terbukti melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman
lima tahun atau lebih, atau diancam dengan hukuman mati sebagaimana yang diatur dalam
KUHP. Pemberhentian tersebut dilakukan oleh Presiden tanpa melalui Keputusan DPRD.
Selain itu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diduga melakukan makar dan/atau
perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan RI diberhentikan untuk
sementara dari jabatannya oleh Presiden tanpa melalui Keputusan DPRD. Kepala Daerah
atau Wakil Kepala Daerah yang terbukti melakukan makar dan perbuatan yang dapat
memecah belah Negara Kesatuan RI yang dinyatakan dengan keputusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden
tanpa persetujuan DPRD. Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah yang setelah melalui
proses peradilan ternyata tidak terbukti melakukan makar dan perbuatan yang dapat
memecah Negara Kesatuan RI, diaktifkan kembali dan direhabilitasi selaku Kepala Daerah
sampai akhir masa jabatannya.
13. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Panitera dan Wakil Panitera MA.
Kekuasaan ini didasarkan pada Pasal 21 UU No. 14/1985. Ketentuan pasal tersebut
menyatakan bahwa Panitera dan Wakil Panitera MA diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
atas usul Ketua MA. Fungsi dan kedudukan Panitera dan Wakil Panitera MA dalam
penyelenggaraan kegiatan di MA sangatlah penting. Panitera memegang fungsi
penyelenggaraan seluruh proses administrasi perkara di Mahkamah Agung RI, sehingga ia
juga menempati posisi penting dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang secara
normatif harus terlepas dari kekuasaan lain dalam negara.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka membutuhkan kondisi yang seoptimal mungkin terlepas
dari campur tangan lembaga negara lain, terutama eksekutif. Untuk mencapai tujuan tersebut
secara maksimal, mekanisme pelaksanaan pengangkatan dan pemberhentian Panitera dan
Wakil Panitera MA sudah waktunya untuk ditinjau kembali. Pengangkatan Panitera dan Wakil
Panitera MA, tidak lagi diserahkan kepada Presiden, namun diserahkan kepada Hakim-hakim
Agung MA, sejak dari proses pencalonan sampai dengan penetapan calon yang terpilih. Hasil
dari pemilihan tersebut kemudian diserahkan kepada Presiden sebagai Kepala Negara untuk
ditetapkan secara administrasi dengan Keppres. Sedangkan dalam hal pemberhentian
Panitera dan Wakil Panitera MA, mekanisme pelaksanaannya dilakukan oleh Ketua MA
dengan kewajiban untuk mendapatkan persetujuan terlebih dulu dalam sidang Hakim-Hakim
Agung yang khusus diadakan untuk itu. Mekanisme seperti ini diharapkan akan membantu
semakin terwujudnya Mahkamah Agung yang mandiri, bersih dan berwibawa.

14. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Sekjen, Irjen dan Dirjen Departemen.
Dasar hukum kekusaan ini adalah Pasal 29 ayat (1) Keppres No.44/1974. Ketentuan itu
menyatakan bahwa Sekjen, Irjen, Dirjen dan Pimpinan Unit Organisasi lainnya yang setingkat
dengan Dirjen diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pernyataan Pasal 29 ayat (1) di atas
sebenarnya menempatkan kekuasaan presiden ini dalam kategori kekuasaan Presiden yang
mandiri, namun karena dalam prakteknya kekuasaan ini dilakukan dengan berkonsultasi
terlebih dulu dengan Menteri yang bersangkutan.
Ketentuan ini secara normatif menempatkan kedudukan menteri departemen cenderung
lemah, dalam kaitannya dengan pengangkatan dan pemberhentian pejabat-pejabat di
bawahnya. Padahal Penjelasan UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa menteri-menteri
adalah pemimpin negara, yang dalam pelaksanaan pemerintahan sehari-hari merupakan
orang yang paling mengerti kebutuhan departemen yang dipimpinnya.
Dalam rangka pemberdayaan institusi-institusi pemerintahan di tingkat pusat, maka
dibutuhkan mekanisme yang memberikan kewenangan yang optimal kepada institusi-institusi
tersebut dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari dengan konsekuensi logis tanggung jawab
yang semakin besar akan diemban oleh institusi-institusi tersebut. Mekanisme pelaksanaan
pengangkatan dan pemberhentian Sekjen, Irjen, Dirjen dan Pimpinan Unit Organisasi lainnya
yang setingkat dengan Dirjen, di masa mendatang sebaiknya dilakukan dengan usul dari
Menteri Departemen yang bersangkutan, dan pada saat pengangkatannya presiden harus
memperhatikan dengan sungguh-sungguh usulan tersebut.
15. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Sekretaris Jenderal DPA.
Kekuasaan ini didasarkan pada Pasal 12 ayat (2) UU No. 3/1967 setelah diubah dan ditambah
dengan UU No. 4/1978 tentang Dewan Pertimbangan Agung. Dalam ketentuan pasal tersebut
dinyatakan bahwa Sekjen DPA diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Fungsi pokok dari
Sekretariat Jenderal DPA adalah membantu pelaksanaan kinerja DPA di bidang teknis
administratif. Dari ketentuan Pasal 12 ayat (2) tersebut, secara normatif kekuasaan presiden
ini termasuk kategori kekuasaan presiden yang mandiri, namun karena dalam praktek
pelaksanaan kekuasaannya selama ini Presiden berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPA,
maka kekuasaan ini digolongkan ke dalam kategori kekuasaan presiden dengan konsultasi.
Walaupun begitu, kekuasaan yang terbesar dalam tetap dipegang oleh presiden.
DPA sebagai supra struktur politik negara yang berfungsi sebagai lembaga konsultatif negara,
seyogyanya memiliki kewenangan yang mandiri dalam hal proses rekrutmen di lingkungan
kekuasaannya sendiri. Hal ini akan menjaga kredibilitas dan kualitas pelakasanaan tugas DPA
sebagai salah satu lembaga negara yang melaksanakan fungsi check and balance di dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam kaitannya dengan pengangkatan Sekjen DPA,
mekanisme pelaksanaan yang relevan di masa mendatang adalah menyerahkan sepenuhnya
pelaksanaan kewenangan itu kepada DPA, sejak proses pencalonan sampai dengan
penetapan calon yang terpilih. Presiden sebagai Kepala Negara berperan dalam hal
menetapkan secara adminsitrasi hasil ketetapan DPA tersebut. Sedangkan dalam hal
pemberhentian Sekjen DPA, kewenangan tersebut diserahkan kepada Ketua DPA dengan
keharusan mendapatkan persetujuan dari para Anggota DPA dalam suatu sidang yang
diadakan khusus untuk itu.
16. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Sekjen BPK
Dasar hukum dari kekuasaan ini adalah Pasal 16 ayat (2) UU No. 5/1973 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan. Ketentuan pasal ini menyatakan bahwa Sekjen BPK diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden atas usul BPK.
Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga tinggi negara yang dalam pelaksanaan
tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah. Lembaga ini bertugas untuk
memeriksa tanggung jawab pemerintah tentang keuangan negara dan memeriksa semua
pelaksanaan APBN.
Untuk menjamin kemandirian BPK dalam pelaksanaan tugasnya, terutama peranannya dalam
mengontrol pelaksanaan kekuasaan pemerintahan di bidang keuangan, pola rekrutmen dalam
lembaga ini harus lepas dari campur tangan lembaga lain terutama lembaga yang
dikontrolnya, yakni eksekutif. Mekanisme ini akan mengurangi kendala psikologis, administratif
dan politis bagi pengisi jabatan dalam menjalankan tugasnya.
Pengangkatan dan pemberhentian Sekjen BPK yang dilakukan oleh presiden dengan
menerima usul dari BPK sudah saatnya untuk diubah. Kebutuhan di masa mendatang adalah
menempatkan BPK sebagai lembaga yang mandiri dalam melaksanakan segala proses
adminsitrasi, rekrutmen dan pengambilan keputusan. Mekanisme dalam mengangkat dan
memberhentikan Sekjen BPK harus diserahkan sepenuhnya kepada para anggota BPK.
Peranan Presiden dalam hal pengangkatan adalah meresmikan hasil keputusan tersebut atau,
dengan kata lain, menetapkan secara administrasi hasil keputusan BPK tentang
pengangkatan Sekjen BPK sebagai Kepala Negara.
Dalam hal pemberhentian Sekjen BPK, Ketua BPK dapat memberhentikan Sekjen BPK
dengan persetujuan Anggota-anggota BPK dalam sidang yang khusus diadakan untuk itu.
17. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Anggota-anggota MPR yang diangkat
Kekuasaan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan anggota-anggota MPR telah
mengalami perubahan yang sangat signifikan pada masa setelah turunnya Presiden Soeharto
dari jabatan presiden. Dalam UU No. 2/1985 tentang Susunan Kedudukan Anggota MPR,
DPR dan DPRD dinyatakan bahwa pengangkatan dan pemberhentian anggota-anggota MPR
yang diangkat adalah hak Presiden, baik melalui usulan Panglima ABRI (untuk utusan
golongan karya ABRI) dan usulan organisasi golongan-golongan, maupun atas prakarsa
Presiden. Sedangkan dalam UU No. 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan
DPRD, kekuasaan presiden dalam hal pengangkatan anggota-anggota MPR yang diangkat,
hanya dalam hal penetapan secara administasi semata sebagai konsekuensi kedudukannya
sebagai Kepala Negara. Utusan Daerah di MPR dipilih oleh DPRD I yang bersangkutan dan
tata cara pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD I tersebut. Dalam hal
pengangkatan Utusan Golongan di MPR, DPR menetapkan jenis dan jumlah wakil dari
masing-masing golongan. Pengusulan Utusan Golongan dilakukan oleh golongannya masing-
masing dan diajukan kepada DPR untuk ditetapkan, tata cara penetapan anggota MPR utusan
golongan ini diatur dalam Peraturan Tata tertib DPR-RI. Berkaitan dengan pemberhentian
anggota-anggota MPR, UU No. 4/1999 menyatakan bahwa kekuasan presiden dalam hal ini
hanyalah meresmikan secara administrasi pemberhentian anggota-anggota MPR tersebut
dengan Keputusan Presiden sebagai Kepala Negara.
Perubahan mekanisme ini menyebabkan kekuasaan Presiden dalam hal pengangkatan
anggota-anggota MPR sudah tidak lagi sebesar dahulu. Namun kebutuhan demokratisasi di
masa mendatang menuntut tidak ada lagi anggota-anggota MPR yang diangkat baik oleh
Presiden, Panglima ABRI maupun oleh DPR. Semua anggota-anggota MPR di masa
mendatang adalah para wakil rakyat yang dihasilkan melalui pemilihan umum yang memang
diadakan khusus untuk itu, sehingga dalam kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara,
MPR dan DPR benar-benar merupakan wujud dari representasi rakyat Indonesia
18. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Anggota-anggota DPR yang diangkat.
Berbeda dengan kekuasaan mengangkat dan memberhentikan anggota-anggota MPR yang
mengalami perubahan mekanisme yang signifikan dengan adanya UU No. 4/1999 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, mekanisme pelaksanan kekuasaan ini tidak
mengalami perubahan yang berarti. UU No. 2/1985 tentang Susunan Kedudukan Anggota
MPR, DPR dan DPRD mengatur bahwa anggota DPR yang diangkat adalah anggota yang
diambil dari golongan karya ABRI dan pengangkatannya ditetapkan oleh Presiden atas usul
Panglima ABRI, begitu pula dalam hal pemberhentiannya.
Dalam Pasal 11 ayat (1) UU No. 4/1999 dinyatakan bahwa pengisian anggota DPR dilakukan
berdasarkan hasil pemilihan umum dan pengangkatan. Dalam ayat berikutnya dinyatakan
bahwa anggota DPR yang diangkat adalah anggota ABRI yang berjumlah 38 orang. UU ini
tidak mengemukakan secara jelas apakah pengangkatan anggota-anggota DPR yang
diangkat tersebut dilakukan oleh Presiden atau oleh Panglima ABRI.
Bila dilihat dari susunan ketatanegaraan RI, maka kedudukan Presiden sebagai Panglima
Tertinggi ABRI memberikan kewenangan besar kepada Presiden RI dalam hal pengangkatan
ini. Namun Pasal 12 ayat (2) UU No. 4/1999 menyatakan bahwa kekuasaan Presiden dalam
hal pengisian keanggotaan DPR hanyalah dalam hal meresmikan secara administrasi
keanggotan DPR dengan Keppres sebagai Kepala Negara. Apabila dilihat lebih lanjut, pasal-
pasal yang mengatur pemberhentian anggota-anggota DPR yang diangkat menampakkan
peran Panglima ABRI yang sangat besar, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam hal
pengangkatan anggota-anggota DPR yang diangkat, peranan Panglima ABRI juga sangat
besar.
Di masa mendatang diharapkan tidak ada lagi anggota-anggota DPR yang diangkat. Hanya
orang-orang yang dipilih melalui pemilihan umum yang dapat mengisi keanggotan di DPR.
Dengan begitu, mekanisme pengangkatan dan pemberhentian anggota-anggota DPR yang
diangkat tidak perlu ada dan diatur lebih lanjut dengan suatu peraturan perundang-undangan.
19. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Gubernur dan Direksi Bank Sentral.
Kekuasaan ini didasarkan pada Pasal 15 ayat (3) huruf b dan Pasal 17 ayat (1) UU No.
13/1968 tentang Bank Sentral. Dalam pasal-pasal tersebut dinyatakan bahwa Gubernur dan
Direktur diangkat oleh Presiden atas usul Dewan Moneter dan Presiden dapat
memberhentikan Gubernur dan Direktur meskipun jabatan yang bersangkutan belum berakhir.
Ketentuan ini memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden RI dalam
menentukan pengisian jabatan Gubernur dan Direktur Bank Sentral.
Fungsi Bank Sentral dalam penyelenggaraan perekonomian negara, khususnya di bidang
perbankan dan moneter, sangatlah penting. Kedudukan Gubernur BI selama masa orde baru
sejajar dengan menteri-menteri dalam kabinet. Kekuasaan Presiden RI yang sangat besar dan
tertutup dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Gubernur dan Direksi BI membuka
peluang suatu pelaksanaan kekuasaan yang sewenang-wenang.
Untuk menghindari terjadinya hal itu, dengan argumen yang sama dengan yang diberikan
untuk mekanisme pengangkatan dan menteri-menteri kabinet, di masa mendatang kekuasaan
Presiden yang sangat besar berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur
dan Direksi Bank Sentral sudah selayaknya diatur dengan mekanisme pelaksanaan yang lebih
mencerminkan adanya kontrol dari lembaga lain, agar suatu kekuasaan dilakukan secara
transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Mekanisme yang paling tepat untuk dijalankan
adalah mekanisme hearing di DPR, yang menuntut Presiden RI melakukan dengar pendapat
lebih dulu untuk mendapatkan nasehat dan penilaian sebelum mengangkat dan
memberhentikan Gubernur dan Direksi Bank Sentral.
20. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Rektor.
Dasar hukum pelaksanaan kekuasaan ini adalah Pasal 50 ayat (1) dan (2) PP No. 5/1980
tentang Pokok-pokok Organisasi Universitas/Institut Negeri. Ketentuan tersebut menyatakan
bahwa Rektor Universitas/Institut Negeri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Indonesia
atas usul Mendikbud. Sebelum mengajukan usul dan pengangkatan atau pemberhentian
sebagaimana dimaksud, Mendikbud meminta pertimbangan Senat Guru Besar melalui Rektor.
Perguruan Tinggi merupakan sebuah institusi yang dituntut untuk memiliki kemandirian dalam
hal pelaksanaan fungsinya sebagai lembaga pendidikan dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Insitusi ini diharapkan terlepas dari kepentingan-kepentingan politik dan ideologi
tertentu yang dapat menghalangi institusi ini dalam menjalankan fungsinya. Dengan peranan
dan tanggung jawab tersebut, perguruan tinggi kerap kali menjadi lembaga yang aktif dalam
mengontrol dan memberi masukan kepada jalannya pemerintahan, sehingga dapat dikatakan
lembaga ini juga merupakan bagian dari lembaga kontrol yang ada dalam suatu negara.
Agar pelaksanaan fungsi tersebut dapat tetap berjalan dengan baik, maka otonomi perguruan
tinggi dalam penyelenggaraan fungsinya harus diberikan secara optimal. Pengangkatan rektor
sebagai pimpinan dari suatu perguruan tinggi harus diserahkan sepenuhnya kepada
perguruan tinggi tersebut. Pemilihan rektor universitas/institut negeri dilakukan oleh Senat
Guru Besar dalam sidang yang khusus dilakukan untuk itu. Hasil pemilihan tersebut kemudian
diserahkan kepada Presiden melalui Mendikbud untuk diresmikan secara administrasi dengan
Keputusan Presiden.
21. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Deputi-deputi atau jabatan yang
setingkat dengan Deputi LPND.
Kekuasaan ini didasarkan pada beberapa Keppres yang mengatur mengenai pembentukan
Lembaga-Lembaga Pemerintahan Non-Departemen. Ketentuan-ketentuan tersebut
menyatakan bahwa mekanisme pelaksanaan kekuasaan Presiden ini dilakukan atas usul
Kepala LPND. Mekanisme pelaksanaan kekuasaan ini sudah cukup akomodatif dengan
tuntutan demokrastisasi yang mendasarkan kebijakan pemerintahan pada prinsip bottom-up
dan memberikan tanggung jawab yang cukup besar kepada kepala suatu institusi
pemerintahan untuk menghasilkan suatu keputusan yang penting.
Demikianlah, dalam bab ini telah dideskripsikan, dianalisis dan diajukan rekomendasi
terhadap hasil-hasil temuan penelitian mengenai mekanisme pelaksanaan kekuasaan
Presiden RI. Kekuasaan Presiden RI yang selama ini lebih bersifat sentralistis, tertutup dan
tidak akuntabel (unaccountable), diajukan untuk diubah dengan mekanisme-mekanisme yang
sesuai dengan prinsip-prinsip check and balance dalam penyelenggaraan kehidupan
kenegaraan.
[ Bab 1 ] [ Bab 2 ] [ Bab 3 ] [ Bab 4 ]
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 menganut paham negara demokrasi
modern berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat, yang menempatkan rakyat sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara. Pelaksanaan kedaulatan tersebut
diserahkan kepada lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi negara yang diterapkan
melalui sistem pembagian kekuasaan negara dengan menekankan pelaksanaan
kekuasaan pada mekanisme check and balance antara lembaga-lembaga negara
tersebut.
2. Sistem pemerintahan negara yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistem pemerintahan
presidensial yang mendudukkan lembaga kepresiden sebagai salah satu pelaksana
kekuasaan dalam negara yang menjalankan kekuasaan utama sebagai eksekutif dan
bertanggung jawab kepada rakyat melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam
pelaksanaan kekuasaan eksekutif tersebut sehari-harinya, presiden diawasi oleh
Dewan Perwakilan Rakyat.
3. Kekuasaan Presiden RI terdiri dari kekuasaan sebagai kepala negara, kekuasaan
sebagai kepala pemerintahan dan kekuasaan legislatif. Kekuasaan-kekuasaan
tersebut dilaksanakan dengan dengan tetap berdasarkan pada konstitusi dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kekuasaan ini didasarkan pada prinsip
negara modern yang mendasarkan pelakasanaan kekuasaan pada prinsip yang
rasional, terbatas dan dapat dipertanggungjawabkan.
4. Hak prerogatif presiden merupakan hak yang memberikan kekuasaan mutlak kepada
seorang presiden dalam menjalankan kekuasan tertentu tanpa dapat digugat atau
dimintakan pertanggungjawaban oleh lembaga lain. Hak ini tidak pernah disebutkan
dalam UUD 1945 ataupun peraturan perundang-undangan yang berlaku selama ini,
namun dalam praktek, pelaksanaan hak ini seringkali terjadi. Kesalahpahaman ini
sudah saatnya untuk dijernihkan, sehingga dalam pelaksanaan kekuasaan presiden di
masa mendatang konsep hak prerogatif ini tidak diterapkan lagi dalam praktek
ketatanegaraan RI di masa mendatang.
5. Pelaksanaan kekuasaan Presiden RI di masa mendatang memerlukan suatu
mekanisme yang memberikan peluang kepada suprastruktur politik, infrastruktur
politik, dan masyarakat umum untuk melakukan pengawasan dalam pelaksanaan
kekuasaan tersebut. Mekanisme tersebut harus didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang jelas dan operasional serta dilakukan secara transparan.
6. Mekanisme pelaksanaan kekuasaan presiden di masa mendatang dapat
dikelompokkan ke dalam beberapa kategori, yaitu kekuasaan presiden dengan
persetujuan DPR, kekuasaan Presiden dengan konsultasi, dan kekuasaan presiden
secara adminitratif (penetapan seremonial). Sedangkan kekuasaan presiden yang
mandiri, di masa mendatang sudah tidak lagi mempunyai tempat dalam praktek
ketatanegaraan, karena tidak sesuai lagi dengan kebutuhan demokrastisasi di
Indonesia.

B. Rekomendasi
Rekomendasi secara rinci mengenai pelaksanaan masing-masing kekuasaan presiden yang
dianalisis dalam penelitian ini telah dijabarkan dalam bab III dan juga dituangkan ke dalam
matriks tersendiri yang merupakan bagian dari laporan penelitian ini. Sebagai penutup laporan
penelitian ini, terdapat beberapa rekomendasi yang bersifat umum terhadap pelaksanaan
kekuasaan presiden.
1. Pelaksanaan kekuasaan Presiden selama ini masih belum diatur secara jelas dan
rinci. Sebagian dari kekuasaan presiden tersebut bahkan belum diatur oleh suatu
peraturan perundang-undangan manapun. Kebutuhan di masa mendatang menuntut
suatu peraturan perundang-undangan yang jelas dan rinci mengenai kekuasaan
Presiden RI, batasan-batasan kewenangannya, mekanisme pelaksanaan kekuasaan
tersebut, dan mekanisme pertanggungjawaban masing-masing kekuasaan tersebut.
Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian ini merekomendasikan dibentuknya suatu
undang-undang khusus yang mengatur tentang kekuasaan presiden serta mekanisme
pelaksanaannya secara jelas dan operasional, yaitu Undang-Undang tentang
Lembaga Kepresidenan RI.
2. Kebutuhan pembentukan undang-undang yang jelas mengenai lembaga
kepresidenan RI menuntut pula dilakukannya perubahan atas UUD 1945. UUD 1945
tidak lagi dapat menampung tuntutan dan perkembangan kehidupan politik,
ketatanegaraan serta pemerintahan Indonesia saat ini. Kebutuhan untuk dibentuknya
suatu konstitusi yang lebih lengkap dan jelas sudah sangat mendesak agar
pelaksanaan kekuasaan dalam negara, khususnya kekuasaan presiden, tidak lagi
dilakukan dengan menginterpretasi ketentuan-ketentuan dalam konstitusi sesuai
dengan kepentingan politik tertentu. Sudah saatnya untuk menjadikan konstitusi
kembali kepada gagasan awalnya, yaitu sebagai dasar acuan pelaksanaan
kekuasaan dalam negara, bukan lagi sebagai alat legitimasi dalam mempertahankan
kekuasaan.
[ Bab 1 ] [ Bab 2 ] [ Bab 3 ] [ Bab 4 ]
 
 
 
 
 
 
Foto Awal Sungai Citarum, Jawa Barat

Tujuan seminar adalah mempertemukan dosen, mahasiswa serta peneliti dalam


bidang Lingkungan. Dengan demikian tukar pikiran dan saling mengenal akan
kegiatan yang ada di setiap lembaga dapat tercapai.

Topik penelitian dalam seminar ini adalah segala hal yang berhubungan dengan
bidang kerja yang ditangani oleh ahli Lingkungan. Secara garis besar bidang
penelitian ini dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
a. Air Minum
b. Air Buangan
c. Bioteknologi Lingkungan
d. Higiene Industri
e. Kesehatan Lingkungan.
f. Kualitas Udara
g. Persampahan dan Bahan Buangan Berbahaya
h. Sumberdaya dan Kualitas Air
i. Pengelolaan Lingkungan dan Ekologi
j. Komputasi dan Pengembangan Perangkat Lunak
k. Perundang-undangan dan sosial ekonomi dalam kaitannya dengan sumberdaya air
dan pelestarian lingkungan.
l. Berbagai kajian teknis dan perencanaan dalam perencanaan infrastruktur
pengelolaan lingkungan.

Peserta adalah mahasiswa strata satu maupun pasca sarjana dan peserta program
doktor baik yang sudah menyelesaikan studi ataupun yang sedang dalam tahap
penyelesaian. Penelitian ini harus atas bimbingan staf pengajar diperguruan tinggi
baik pada jurusan Teknik Lingkungan maupun jurusan lain. Tidak tertutup pula bagi
peneliti di lembaga penelitian dan instansi pemerintah maupun swasta turut serta
dalam seminar ini.

Seminar : 1 dan 2 Agustus 2005


Bertempat di Departemen Teknik Lingkungan ITB, Gedung Labtek IXc Lantai
5, Jalan Ganesha 10, Bandung

Departemen Teknik Lingkungan ITB


Jl. Ganesha Bandung 40132
Tel. 022- 2534166; 2502647
Fax. 022- 2534166; 2530704
Email: seminartl05@yahoo.com
Homepage : www.tlitb.org/seminar
Catatan: Komunikasi akan dilakukan melalui Email.

Biaya administrasi pendaftaran seminar, rehat, makan siang, dan sertifikat adalah
Rp 50.000,- untuk setiap peserta. Biaya ini dibayarkan pada saat pendaftaran. 

Pelindung
Ketua IATPI
Ketua Jurusan Teknik Lingkungan ITB
Ketua IATPI Jawa Barat
Pelaksana
Ketua: Dr.Priana Sudjono (ITB)
Anggota :
Dr. Barti Setiani (ITB)
Deni Rusmaya, ST (UNPAS)
Farhan Supangkat, ST (UNPAS)
DrIng. Marisa Handajani, ST.,MT (ITB)
Mayrina Firdayati, Ssi., MT (ITB)
Iwan Juwana, ST., MEM (ITENAS)
Ir. Tardan Setiawan (IATPI Jabar)
Ir. Taufik Kamil, MM (UNWIM)
Ir. Teddy Tedjakusuma, MT (ITB)
Dr. Yonik Meilawati, ST., MT (UNPAS)
Komite Ilmiah
Ir.Aboejoewono Aboeprajitno (IATPI)
Ir Achmad Setjadipradja, MM., MBA (IATPI)
Prof.Dr.Ir.Asis H. Djajadiningrat (ITB)
Prof.Dr.Ir.Enri Damanhuri (ITB)
Ir Nana Terangna, Dipl EST (PUSAIR)
Dr. F.Lucia Nugroho (UNPAS)
Prof.Dr.Ir.Harun Sukarmadidjaja (ITB)
Prof.Dr. J. Soemirat (ITENAS)
Ir.Ratnaningsih, MS (TRISAKTI)
Dr.Ir.Setyo Sarwanto Moersidik (UI)
Ir. Moch. Sulton Sahara, MEng. (IATPI Jabar)
Prof.Dr.Ir.Soepangat Soemarto (ITB)
Prof.Dr.Ir.Wahyono Hadi (ITS)
Dr.Ir.Widradjat Noesan CES (UNWIM)
Prof.Dr.Ir.Wisjnuprapto (ITB)

Pada saat seminar kumpulan  makalah akan dibagikan kepada peserta. Adapun
kumpulan makalah dalam bentuk prosiding akan didistribusikan pada awal
September. Biaya penggantian pencetakan sebanding dengan jumlah halaman dan
dibayarkan pada panitia saat pendaftaran (registrasi).

Ramah tamah akan dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 1 Agustus 2005 jam
19.00 WIB.
Biaya perorang Rp 50.000,- dibayar pada saat pendaftaran.

Panjang makalah hasil penelitian harus 8 halaman yang ditulis sesuai dengan format
yang telah ditentukan panitia (download Instruksi Penulisan Makalah dalam Ms
Word).
Poster selembar A1 diperuntukkan perencanaan infrastruktur pengendalian
lingkungan seperti halnya Bangunan Pengolahan Air Minum, Bangunan Air Buangan,
Perencanaan Tempat Pembuangan Akhir Sampah dll. Cetakan poster pada selembar
kertas berukuran A4 diperlukan panitia karena akan dimuat dalam prosiding. Format
poster bebas tetapi harus jelas dan mudah dimengerti.

Makalah harus dipresentasikan oleh pemakalah, mahasiswa atau dosen pembimbing


dalam waktu 7 menit dan 3 menit Tanya-jawab. Alat peraga yang disediakan panitia
adalah OHP (Over Head Proyektor) dan LCD panel. Presenter yang  akan
mempergunakan LCD panel harus menyerahkan file presentasi dengan nama file
NAMAPRESENTER-presentasi pada saat pendaftaran (registrasi).  
Seminar diadakan di Departemen Teknik Lingkungan ITB, Gedung Labtek IXc
Lantai 5, Jalan Ganesha 10,  Bandung.

Download dalam format Ms Word dan PDF:


 Leaflet (PDF File)
 Instruksi untuk Penulisan Makalah (Ms Word)
 Form Kesediaan Mengikuti Seminar (Ms. Word)
 List Acara Seminar (PDF file)
 
 

Anda mungkin juga menyukai