Anda di halaman 1dari 20

Ilmu-ilmu Sosial Indonesia A-Historis

Oleh: Arief Budiman


(Dosen Universitas Satya Wacana, Salatiga)
(Prisma No. 6, Juni 1983)

Tanya: Anda sering mengemukakan pendapat bahwa ilmu-ilmu sosial dalam


prakteknya di Indonesia banyak yang bersifat "ahistoris". Bisakah dijelaskan,
apa maksud anda sebenarnya? Bagaimana memberikan penjelasan historis
tentang keadaan ilmu sosial itu?
Jawab: Yang saya maksud historis itu adalah suatu dialektik antara yang
empiris dan ide. Dari sana sebenarnya kita memperoleh ilmu pengetahuan.
Saya tidak mempersoalkan mana yang lebih penting, ide yang a priori itu atau
esensi dari satu fenomena. Tetapi yang jelas suatu pengetahuan selalu
berkaitan dengan suatu peristiwa empiris, terutama dalam ilmu sosial. Kalau
pengetahuan memang muncul dari kasus-kasus tertentu, hendaknya dalam
mencoba mengaplikasikannya lagi harus kita lihat keadaan empiris yang
berubah. Jadi faktor kesejarahannya.
T: Kalau begitu ada dua hal sebetulnya dalam sifat historis pengetahuan.
Pertama, keadaan histaris yang menerangkan munculnya suatu teori,
kemudian keadaan empiris di mana teari itu diterapkan. Yang ingin diketahui
dari anda ialah mengapa misalnya dalam menerapkan teori-teori ilmu sosial,
ilmuwan di sini cenderung kurang memperhatikan keadaan historis? Apa ada
faktor-faktor sosiologis yang mempengaruhinya atau karena kebetulan?
J: Kalau kita lihat ahli-ahli ilmu sosial kita banyak sekali yang dilatih di
Amerika. Itu faktor sosiologis yang menentukan, karena banyaknya bea siswa
yang diberikan dari sana. Sedangkan kalau kita melihat sejarah ilmu
pengetahuan saya kira ilmu-ilmu sosial dengan pendekatan struktural yang
sangat menekankan segi historisnya. Namun di Amerika sendiri, kalau tidak
salah karya-karya semacam itu baru diterjemahkan tahun 1960-an. Bahkan
karya Weber sendiri baru diterjemahkan pada tahun-tahun itu juga. Amerika
ketinggalan dalam hal ini. Pada umumnya mereka berada pada bidang
empirisme yang lain.
Karena Amerika pada waktu itu mengadakan ekspansi ke dunia luar mula-mula
dengan Marshall Plan ke Eropa dan kemudian dengan mencoba meluaskan
pengaruh politik dan ekonominya di dunia ketiga, dengan sendirinya ia
kemudian terbentur kepada masalah-masalah pembangunan di dunia ketiga.
Ternyata teori liberal yang mereka pakai itu mulai goyah. Dan ini mempunyai
feed back dengan munculnya teori-teori baru yang historis di Amerika
sekitar tahun 60-an. Contoh karya yang mungkin memberikan ciri-ciri studi
yang lebih historis dalam ilmu sosial Amerika di dunia ketiga ialah karya
Andre Gunder Frank.
Ahli ilmu sosial Indonesia baru mulai sesudah Perang Dunia II, tadinya di
Belanda, sesudah merdeka ke Amerika Scrikat. Orang-orang yang disebut
teknokrat ekonomi kita itu menyelesaikan studinya kira-kira tahun 60-an.
Persis sebelum meletusnya Gestapu. Mereka itu masuk ke universitas-
universitas dan mempelajari ilmu sosial yang liberal itu. Jadi prinsip-prinsip
pembangunan dipakai dengan resep tadi. Kalau revolusi industri membangun
entrepreneur, kompetisi bebas mereka mau pakai juga resep itu. Kemudian
mereka menjadi policy maker pada tahun 66. Mereka sebenarnya lalu
mengaplikasikan, mereka tidak sempat lagi baca buku-buku yang
mengemukakan teori-teori baru yang baru muncul tahun 67. Sebenarnya
sebelumnya sudah muncul juga sedikit-sedikit tapi baru pada tahun 67 muncul
agak kuat sehingga menjadi satu aliran pemikiran (sekolah). Orang seperti
Widjojo ini lebih banyak mempelajari ilmu-ilmu sosial liberal dan pulang ke
sini untuk mengaplikasikannya.
Faktor sosiologis lain adalah, biasanya yang dikirim ke luar negeri adalah
sarjana teknik; dan kedua, ekonom yang praktis-praktis yang kurang
mendalami segi teori. Dengan demikian di Indonesia dikembangkan teori
liberal yang a-historis. Mereka dikirim bukan untuk mempersoalkan teori
tetapi hanya mempertinggi ketrampilan. Jadi kalau dia seorang ekonom ahli
pajak, maka di sana dia belajar akuntansi, teknik meninggikan pajak sehingga
bisa mengambil porsi yang lebih besar dari modal asing, hukum internasional
dan sebagainya. Tapi ini logis karena mereka dibiayai oleh pemerintah dengan
anggaran terbatas. Batas waktu studinya sangat pendek, schingga banyak
sarjana kita yang dikirim ke luar negeri itu belajar ilmu-ilmu yang ahistoris
itu, yang memang menjadi dominant science atau normal science di Amerika
Serikat dan juga di Indonesia.
Keterbatasan-keterbatasan ini yang membuat elite ilmu sosial kita didominir
oleh dominant science yang ada di AS sendiri -- yaitu ilmu-ilmu liberal.
Mereka mempraktekkan di sini tetapi ternyata tidak jalan, sehingga mereka
mempertanyakan kembali apakah prinsip-prinsip itu benar? Ini datangnya
bukan dari social scientist, tetapi dari orang-orang politik. Di kalangan
sarjana mungkin ada juga yang mempertanyakannya, tetapi setelah tahun '65
mereka tak bersuara lagi. Malah saya kira PKI juga menganut prinsip-prinsip
yang sangat mengimpor dari teori yang lama dengan menekankan kelas buruh,
kelas tani dan sebagainya; masih sangat kurang sensitif terhadap masalah
ketergantungan. Pada PKI tidak ada masalah ketergantungan karena pada
waktu itu memang belum dibahas masalah tersebut. Di Amerika Latin muncul,
tetapi baru sedikit sekali. Kemudian tahun 65--66 itu hilang semua. Yang
muncul adalah kelompok politik liberal, dan juga kelompok sarjana liberal yang
masih antusias dengan mengira bahwa ini akan berhasil.
Ternyata pembangunan ini tidak berhasil dengan model Barat yang
menganggap keterbelakangan itu disebabkan karena kita itu tidak punya
mentalitas yang cocok untuk membangun. Saya masih ingat seminar LIPI
beberapa tahun yang lalu. Waktu itu Koentjaraningrat yang menguasai forum.
Dalam seminar itu mereka berkesimpulan, bahwa mentalitas bangsa Indonesia
tidak cocok untuk pembangunan. Dengan demikian masalah pembangunan
dilihat dari diri kita sendiri. Ukurannya adalah ukuran mental. Aspek
imperialisme tidak ada. Luar negeri selalu dilihat sebagai faktor penambahan
modal dan teknologi, tidak dilihat sebagai faktor eksploitasi. Ini tidak
disadari, sampai ternyata kok tidak jalan pembangunan seperti itu, dan yang
terjadi adalah ketidakpuasan mahasiswa dan kaum intelektual terhadap
teori-teori ilmu sosial yang diterjemahkan ke dalam kebijaksanaan negara.
Namun ketidakpuasan ini sebenarnya tidak punya dasar -- tidak jelas apa --
pokoknya mereka tentang. Bahkan asumsi oposisi waktu itu, kegagalan
disebabkan karena adanya the wrong man in the wrong place. Kebanyakan
terapinya bersifat personal, penggantian pribadi-pribadi. Coba kalau orang
jujur memerintah, negara ini pasti beres. Ketidakpuasan ini membuat
beberapa orang Indonesia yang ke luar negeri, ke AS juga -- mulai mencoba
mencari sebab-sebabnya. Saya kira saya mungkin salah satu di antaranya.
Saya kecewa. Tetapi saya masih pakai asumsi bahwa ini karena orangnya
salah, orangnya korup. Coba seandainya ada orang yang baik! Tetapi saya tabu
ada sesuatu yang keliru dengan pembangunan ini. Saya mulai mencari di luar
ilmu sosial yang ada. Kemudian saya mulai menyentuh teori-teori yang
menurut saya bisa menjelaskan masalah hambatan-hambatan pembangunan.
Ketika saya pulang saya masih melihat bahwa ternyata gerakan tidak puas di
Indonesia itu masih berdiri pada asumsi liberal. Saya coba memperkenalkan
dasar-dasar teori yang lebih luas, yang lebih historis. Saya katakan babwa
kita tidak hisa meniru resep atau mengulangi cerita sukses dari Eropa atau
pun Jepang, karena kondisi internasional yang berbeda. Kita terlambat dalam
industrialisasi.
Tetapi ternyata elite social science kita tetap didominir oleh yang lama ini.
Pandangan ilmu sosial yang historis menurut saya masih embrio, masih sedang
tumbuh. Pohon besarnya masih ilmu sosial yang lama. Dulu ada semacam
pertentangan paham antara Leknas dan Bappenas. Leknas menganggap
BAPPENAS itu tidak memperhatikan masalah sosial. Ada semacam konflik
antara ilmu sosial dan ekonomi. Ekonom dituduh hanya terus bergerak dengan
asumsi ekonomi kemudian aspek-aspek sosial yang jatuh harus diselesaikan
ilmu-ilmu sosial. Kalau diteliti mereka saling menunjang. Tesisnya sama.
Ekonom mengatakan bahwa kesulitan di Indonesia adalah masalah mentalitas.
Ilmu sosial menekankan lagi masalah mentalitas. Pendidikan adalah terapi.
Ekonomi juga menganggap bahwa kita kurang keterampilan, kurang menguasai
teknologi. Terapinya pendidikan lagi! Pertentangan mereka sangat artifisial.
Asumsi mereka adalah asumsi liberal, yaitu bahwa masalah pembangunan
adalah masalah memperbaiki individu-individu, bukan memperbaiki sistem
sosial.
Sekarang muncul pandangan alternatif. Kalau dulu masalahnya masalah teknis,
sekarang masalah yang lebih mendasar yaitu. masalah sistem. Bahwa sistem
ini tidak membawa kita kepada sukses. Karena itu perlu kita ganti sistemnya.
T: Tapi kemerdekaan kita sebenarnya dimulai dengan pemikiran yang sangat
sistemik. Yaitu, dengan kolonialisme tidak mungkin terjadi kemajuan dan
modernisasi kehidupan rakyat yang lebih baik. Karena itu sistem kolonial
harus diganti dengan sistem yang lain. Jadi pemikiran yang merangsang
perjuangan kemerdekaan adalah pemikiran yang berkerangka sistem. Apa
anda menganggap sekarang kita sudah begitu beralih?
J: Yang disebut sistem kolonial barangkali karena surplus value-nya lari ke
luar negeri. Persoalannya bagaimana memindahkan surplus value. Jadi yang
disebut sistem nasional adalah supaya resources kita, surplus ekonomi kita
itu tidak dilarikan ke luar negeri, tetapi menetap di dalam negeri. Saya kira
itu pandangan orang.
Dalam sistem modernisasi misalnya ada kecenderungan yang mengatakan
(misalnya teori Boeke tentang dual society) bahwa sebenarnya masyarakat
yang terbelakang itu dibagi dua, yaitu suatu pusat, growth centre, di kota
versus desa yang lamban, kurang kuat. Artinya yang harus dilakulan adalah
menyebarkan modernisasi dari kota ke desa. Di desa akan muncul kemudian
sikap mental yang baru.
Ini menarik sekali karena seakan-akan kita harus berterima kasih karena kita
dijajah. Menurut teori ini Belanda itu memberikan kepada kita sikap
modernisasi. Saya kira masih ada yang berpikir begitu, seolah-olah Belanda
memasukkan nilai-nilai yang benar untuk pembangunan, modernisasi dan
sebagainya. Kalau tidak, kita masih kolot sekali. Nasionalisme cuma mengusir
Belanda secara fisik, tetapi tidak ada perubahan sistemik. Saya kira
perjuangan menentang pihak yang kolonial sering kali hanya berarti
perebutan penguasaan sumber ekonomi, tetapi bukannya perubahan sistem
ekonomi itu sendiri. Memang yang terjadi adalah apa yang disebut internal
colonialism. Stratanya sama hanya yang dulu ditempati Belanda, kini diisi oleh
elite group bangsa sendiri.
T: Tapi sekurang-kurangnya bisa disebut dua orang yang sudah
memperhitungkan apa yang disebut internal colonialism itu dan sudah melihat
segi-segi yang lebih struktural yang diakibatkan oleh kolonialisme. Bung
Karno sejak awalnya tidak menginginkan suatu revolusi sosial. Yang dia
mimpikan adalah suatu revolusi psikologis. Bagaimana melepaskan
ketergantungan psikologis sebagai hasil sistem budaya yang sudah dirusak
oleh kolonialisme.
Tahun 30-an juga Hatta sudah mengatakan tentang kemungkinan hidupnya
kembali kolonialisme di antara orang-orang Indonesia sendiri. Oleh karena itu
misalnya dia bicara tentang koperasi. Atau ide-ide tentang demokrasi dengan
sosialisme. Karena itu saya kira pikiran tentang kolonialisme dalam arti yang
begitu lahiriyah mungkin tidak benar. Karena sekurang-kurangnya Bung Karno
bicara tentang psychological dependence ini, sehingga proyek besar
pertamanya adalah nation and character building. Maka kembali ke persoalan
tadi, bukankah perintis kemerdekaan kita tetap berpikir dalam kerangka
sistem yang besar?
J: Menurut saya ide-ide Bung Karno dan Bung Hatta masih dalam kerangka
reformed capitalism. Jadi belum suatu pemikiran tuntas tentang sistem kita.
Yang Bung Karno maksudkan dengan revolusi psikologis adalah perubahan
psikologis bangsa Indonesia supaya tidak bermental kuli, lebih banyak
diarahkan supaya bangsa Indonesia kepada diri sendiri. Tetapi seringkali
secara individual. Supaya setiap individu percaya pada diri sendiri, tidak
rendah diri. Dan itu sama sekali tidak bertentangan dengan sistem
kapitalisme Belanda maupun Indonesia, karena dasarnya hanya orang yang
percaya diri, hanya meningkatkan daya kompetitif dari para pribadi-pribadi
itu. Kemudian terjadi eksploitasi-eksploitasi yang lainnya lagi. Dia hanya
menginginkan supaya orang-orang Indonesia itu lebih berani secara individual,
kompetitif, karena dengan keberanian individu itu dia mengira semua orang
akan memikirkan bangsa. Yang penting menurut dia, tiap orang digairahkan
supaya bisa merebut kesempatan itu.
Tetapi kalau yang dimasalahkan adalah itu, maka yang terjadi adalah selalu
pelapisan suatu masyarakat menurut hirarki, jadi berkelas. Bung Karno,
menurut saya, tidak memikirkan perubahan sistemik. Dia berhenti pada
masalah: orang Belanda pergi orang Indonesia bergerak maju dan resources
dikuasai oleh bangsa Indonesia. Belum tuntas pemikirannya.
Hatta membicarakan koperasi, tetapi koperasi dalam sistem kapitalis.
Koperasi dalam sistem kapitalis selalu harus menuruti hukum-hukum kapitalis,
lebih kompetitif, lebih profit oriented. Kalau dia mulai kurang profit
oriented, koperasi lama-lama kalah dengan modal yang dikelola oleh satu
orang karena lebih efisien. Karena sasaran sosialisme dan kapitalisme lain
sekali. Yang satu diarahkan kepada efisiensi untuk meningkatkan kapital,
keuntungan, sedangkan sosialisme kepada pemerataan sehingga dengan
demikian efisiensi kurang. Yang saya tidak lihat pada karangan Bung Hatta
adalah misalnya ia tidak pernah secara langsung membicarakan masalah-
masalah hak milik. Karena inti daripada perbedaan sosialisme dan kapitalisme
adalah hak milik. Tiap-tiap individu memililiki apa? Apa sih yang dimaui
masyarakat? Hatta jelas bukan-seorang yang mau merombak masyarakat
Indonesia dari kapitalisme menjadi sosialisme. Mungkin dia mau semacam
ekonomi gabungan. Karena itu dia sebut ekonomi kekeluargaan, kapitalisme
yang dikoreksi oleh koperasi. Jadi diperlunak. Tidak terjadi kemiskinan yang
terlalu jauh. Menurut saya, pikiran Hatta masih berupa cetusan-cetusan,
belum suatu teori tuntas yang kuat. Yang saya maksudkan dengan perubahan
sistem adalah perubahan total dari organisasi masyarakat yang bisa menolong
kita melepaskan diri dari ketergantungan.
T: Tetapi apakah perkembangan ilmu di sini memungkinkan hal itu?
J: Saya kira bisa dijelaskan begini. ilmu sosial yang ahistoris mau diimpor
kemari. Karena ilmu sosial itu sebenamya merupakan satu ideologi
imperialisme ekonomi. Kalau masalah kemiskinan di negeri berkembang
disebabkan oleh orang-orang' lokal, maka terapinya ada" memberikan.
bantuan pendidikan kepada orang-orang lokal, maka terapinya adalah
memberikan bantuan pendidikan kepada orang-orang lokal. Sebutlah teori,
yang populer n-ahievement yang dikemukakan David McClelland yaitu bahwa
di negara berkembang tidak ada semangat mengejar prestasi. Maka yang
diubah adalah cerita-cerita folk lore atau cerita anak-anak. Juga teoritikus
AS Daniel Lerner selalu melihat bahwa masalah kemiskinan itu masalah di
dalam negeri dari bangsa miskin. Terlalu banyak butahuruf, kurang
komunikasi, dunianya kecil, karena itu dunia harus diperlebar dengan
komunikasi misalnya dengan menerbitkan lebih banyak koran dan sebagainya.
Semuanya itu hanya melihat begini: Dunia ini tidak berkembang, Eropa
berkembang. Ditarik unsur apa yang ada di Eropa? Lalu dipindahkan saja
kemari. Lalu berkembang! Logikanya sangat simpel.
Sedangkan ilmu yang historis menganggap itu tidak mungkin. Harus melihat
mengapa tidak berkembang, bagaimana kondisi-kondisi yang ada. Bahwa orang
Indonesia itu malas, mungkin bukan karena dia malas maka tidak ada
pembangunan; tetapi tidak ada pembangunan yang menyebabkan dia malas.
Itu yang menjadi masalah yang harus kita pertanyakan kembali. Tidak ada
kesempatan, itu soalnya. Jadi suatu reaksi yang sangat wajar terhadap satu
struktur yang ada pada saat itu.
Dengan demikian Menurut saya sikap ahistoris dari ilmu sosial ini sebagian
barangkali merupakan suatu kesengajaan, meskipun bukan suatu konspirasi
dalam arti semua orang-orang AS lalu mendidik orang Indonesia untuk
percaya pada ilmu itu. Tetapi kalau kita lihat grant dari Yayasan Ford,
Rockefeler, semuanya menganggap kalau ilmu itu mulai berbau Secialistis
sifatnya maka itu bukan ilmu. Dianggap berpolitik. Misalnya, begitu Mubyarto
membicarakan ekonomi Pancasila, dia tidak dianggap ekonom. Dianggap bukan
ilmuwan lagi. Jadi sistem insentif dan disinsentif itu sangat menentukan, dan
menjadi salah satu cara untuk menjaga dominasi normal science dan normal
scientist.
T: Tetapi tentang struktur sosial, masih ada dua soal. Yang pertoma sifat
historis ilmu sosial ini meminta supaya struktur sosial ini dipahami dan teori
yang mau diterapkan mesti memperhitungkan keadaan itu. Saya kira itu akan
tergantung dari sikap. Pertama, apakah orang ingin merombak struktur sosial
yang ada. Kedua, apakah orang hanya ingin memanfaatkan struktur sosial yang
ada. Dalam hal ini mereka pun berpikir tentang struktur, misalnya dengan
tesis bahwa kita hanya perlu mengubah pemimpin kita dan tak perlu mendidik
banyak orang. Kita hanya perlu mengubah beberapa top leaders dan dengan
begitu seluruh masyarakat berubah. Dia mengerti benar struktur sosial
feodalisme ini dan memanfaatkannya. Saya pikir pengertian struktural itu
sendiri tergantung dariapakah dia mau merombak strukturnya atau
memanfaatkannya dalam pengertian social engineering.
J: Yang kita bicarakan ahli ilmu sosial. Yang Anda bicarakan sekarang seluruh
sistem. Sistem kapitalisme mencoba menggunakan ilmu untuk membuat
ilmuwan tidak menyentuh realitas.
T: Bukan begitu. Yang dimaksud ialah sengaja orang menggunakan ilmu sosial
yang struktural untuk tujuan yang bukan - struktural, karena dia
memanfaatkan pengertiannya tentang struktur itu untuk maksud
mempertahankah status quo yang ada.
J: Saya setuju asal ada master mind yang kuat.
Menuju Perubahan
T: Sering kita baca di koran perlu kita membina pemimpin-pemimpin karena
masyarakat kita masih berorientasi ke atas. Karena kalau pemimpin diubah
masyarakat juga berubah. Tetapi yang tetap menjadi pertanyaan ialah apakah
pemimpin seperti itu mau?
J: Saya kira pasti bisa. Tetapi yang kita bicarakan kan sebenamya mengapa
ilmu sosial itu ahistoris? Ilmu sosial kita ahistoris karena pada dasarnya ahli
ilmu sosial kita -- paling sedikit itu tuduhan saya -- diliputi oleh awan ideologi,
sehingga dia tidak bisa menyentuh realitas. Seandainya pengetahuan yang
diberikan oleh ilmu sosial kita menyentuh realitas, maka matanya akan
terbuka untuk melihat adanya eksploitasi misalnya, sehingga untuk
menghapus kemiskinan harus ada perubahan struktural.
Sekarang jelas setiap orang, termasuk ahli ilmu sosial, melihat persoalan
menurut posisi kelas masing-masing, yaitu posisi sosial dari orang-orang yang
mendapat informasi ini. Keterangan atau informasi yang mereka peroleh bisa
dipakai untuk menghambat perubahan atau untuk melakukan perubahan.
Biasanya kalau menyangkut masalah kemiskinan, maka golongan yang mau
melaksanakan perubahan jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang tetap
ingin mempertahankan status quo. Lantas perbandingannya biasanya akan
timpang. Tetapi biasanya golongan yang kecil ini yang juga menguasai
informasi bisa menahan perubahan sosial. Karena itu perubahan hanya
dianggap mungkin bila menggunakan metode-metode kekerasan. Itu pula
sebabnya mengapa mereka tidak rela kalau informasi ini jatuh kepada rakyat
banyak. Itu sikap ideologi "yang benar" menurut posisinya.
Di pihak lain, hanya ilmu sosial yang historis yang mampu menyentuh realitas.
Tetapi justeru karena itu pertyebaran ilmu semacam itu dicegah oleh orang
yang anti perubahan karena kalau orang lain tahu, yaitu golongan besar yang
mendambakan perubahan, maka terapinya tidak lain dari perubahan struktur.
Dengan demikian ilmu yang ahistoris sebenamya lebih buat orang yang mau
menggunakan atau mempertahankan status quo. Kalaupun ada kritik dari
dalam, di kalangan ilmu sosial yang tidak historis, maka mereka cenderung
menyalahkan diri sendiri, misalnya sebab adanya keterbelakangan karena
orangnya bodoh, malas, tidak disiplin dan lain-lain. Saya kira ada
kecenderungan bagi orang yang mempertahahkan status quo untuk mencegah
bertambah dan berkembangnya ilmu sosial historis.
T: Pertanyaan sekarang menjadi kongkrit. Kalau begitu misalnya pendekatan
mentalisme, apa itu juga bukan salah satu praktek yang sangat historis?
Hanya kebetulan ideologinya berbeda. Dia sebetulnya melihat bahwa
masyarakat kita sangat dipengaruhi oleh ketergantungan ke atas dan oleh
karena itu moral pemimpin itulah yang sebetulnya harus dibina. Sebetulnya
mereka justeru bersikap historis karena mereka memahami bahwa struktur
sosialnya memang feodal. Kebudayaannya relatif tertutup, individunya relatif
tergantung, moralnya diambil dari atas. Karena itu pembaharuan harus
dimulai dengan menanam suatu sikap moral pada pemimpin .
J: Kalau begitu sekarang kita bicarakan iai ilmu itu sendiri. Apakah ilmu itu
dianggap historis atau tidak. Menurut saya pandangan yang anda ajukan itu
tidak historis, karena kebudayaan feodal itu sebenarnya disebabkan oleh
suatu struktur sosial ekonomi tertentu. Pertama, biasanya kebudayaan feodal
ada pada suatu masyarakat agraris, di mana, tanah menjadi penting. Kedua,
belum terbuka masyarakat perdagangan internasional. Salah satu yang
menghancurkan feodalisme adalah masuknya perdagangan internasional,
terbukanya masyarakat itu. Jadi dalam satu masyarakat agraris yang
tertutup, ditambah ilmu pengetahuan belum maju pada saat itu, maka orang
yang menguasai tanah itu menjadi sangat dominan, sehingga orang-orang
tergantung pada pemilik tanah di sana. Tanah itu sebagai kekayaan tidak bisa
dibawa lari, tidak seperti uang. Di sana ada perbedaan dengan pedagang. Bila
pedagang menghadapi suatu pemerintah yang kejam ia lari dan bisa membawa
lari kekayaannya. Kalau pemilik tanah tidak bisa. Akibatnya hirarki itu kuat
sekali.
Indonesia dalam keadaan sekarang sudah terbuka. Masyarakat terbuka,
perdagangan luar negeri ramai dan sebagainya. Memang ada peralihan sikap-
sikap itu. Substructure berubah, tetapi superstructure-nya tidak langsung
berubah. Jadi mentalitas feodalismenya masih ada. Ini jelas tidak sama
dengan feodalisme zaman dahulu, di mana orang tunduk pada itu.
Kalau masih dikembangkan pendapat bahwa dalam masyarakat yang
menentukan adalah pimpinan, maka akibatnya orang berpolitik selalu hanya ke
atas, bukan kepada pembentukan massa, tetapi kepada pembentukan
pengaruh. Kalau perlu ambil kekuatan di dalam elite. Yang perlu adalah appeal
kepada elite supaya kasih contoh, karena belum kuat betul. Kalau kuat betul,
ia sendiri mau bergeser di atas.
Itu sebenarnya satu distorsi penglihatan masalah. Ini juga yang bisa
menjelaskan mengapa tidak pernah ada kekuatan politik yang sungguh-
sungguh melakukan usaha-usaha pembaharuan. Hanya dilakukan appeal kepada
elite atau sekalian kudeta kalau dia punya kekuatan. Tapi biasanya oposisi tak
cukup kuat, lalu appeal supaya yang di atas memberi contoh. Mengenai hidup
sederhana yang di atas hendaknya memberi contoh; padahal realitasnya
sudah tidak begitu lagi pada saat ini.
Kalau dulu masyarakat Indonesia feodal, maka sekarang belum tentu begitu.
Kita harus analisa dulu, karena feodalisme itu sebagai suatu kultur ditentukan
oleh organisasi sosial tertentu. Bisa kuat pada saat tertentu. Tetapi pada
saat sekarang di mana orang menjadi materialistis, kekayaan tidak pada
tanah lagi tetapi sudah bisa pada uang dan sebagainya. Kesetiaan ke atas
belum tentu ada. Atau paling sedikit semakin kurang.
Kalau konsepsi kita selalu pada analisa antropologi tentang nilai, yaitu bahwa
yang mempengaruhi manusia adalah nilai-nilai budaya, maka akhirnya kita
melihat satu nilai budaya yang tidak berubah menurut perubahan historis.
Kalau dulu Asal Bapak Senang saya setuju, karena ada kondisi struktur sosial
yang tertentu. Kalau sekarang setelah struktur berubah hal itu tidak mungkin
lagi. Di Jakarta tidak ada kepatuhan ke atas. Sedikitnya, sudah berbeda
dengan kepatuhan di bawah, di desa-desa. Sejak semula kita melihat bahwa
nilai itu terkait dengan kondisi tertentu. Kalau kita mau lihat nilai ini masih
ada atau tidak kita harus lihat juga perubahan sejarah perkembangan
masyarakat itu supaya kita tidak salah arah. Tidak salah mengajukan
pertanyaan. Dalam ilmu yang penting bukan jawaban tetapi pertanyaan.
T: Di situ kesulitan memahami strukturalisme sosiologis, karena organisasi
sosial ini sudah berubah tetapi mungkin nilai-nilainya masih feodal. Lalu tesis
pembaharuan dalam strukturalisme bagaimana?
J: Dalam teori psikologi kan ada yang disebut functional autonomy. Contoh
yang paling gampang misalnya, ada orang main biola untuk cari duit, tetapi:
setelah duitnya banyak dan jadi kaya, tetap saja main biola. Jadi meskipun
kondisi kongkritnya telah berubah kebiasaan itu masih ada. Tetapi jelas
kebiasaan itu akan mudah diubahnya kalau kondisi kongkritnya sudah hilang.
Saya kira teori yang lebih baru mengatakan bahwa superstructure tidak bisa
dirombak, tanpa lebih dulu merombak substructure. Nilainya tidak bisa
diubah kalau masih ada dukungan kongkrit dari sendi-sendi masyarakatnya.
Kalau kita mau merombak, yang penting adalah kita rubah dulu sendi-sendi
masyarakatnya. Baru kemudian dengan pengaruh ideologi, pendidikan dan
sebagainya, nilai-nilai bisa diubah.
Kalau mau diubah nilai-nilai ini maka haruslah struktur sosial yang mendukung
nilai-nilai itu dirombak lebih dahulu. Tetapi nilai-nilai masih akan terus ada,
dan ini baru bisa dikikis melalui pendidikan. Kalau masyarakat itu dirombak
menjadi masyarakat sosialis tentu masih ada banyak orang yang berpikir:
saya senang dulu, ambil kekayaan dulu. Tetapi itu lebih mudah diubah
daripada sebelumnya.
Anda bertanya bagaimana dalam satu masyarakat kapitalis ada kesadaran
yang tidak kapitalistis. Dari mana munculnya suatu kesadaran baru yang lain
sama sekali kalau kita berpegang pada teori struktural yang mengatakan
bahwa manusia adalah agent saja dari struktur? Kalau masyarakat kapitalis
ya kesadaran kapitalis.
Kalau saya mau memecahkan problem ini maka saya ingin pinjam teori
eksistensialisme. Menurut saya, ada dua cara bereksistensi, Ada orang-orang
yang memang bisa mentransendir realitas, strukturnya. Kebanyakan orang
tidak bisa. Jadi orang-orang yang dalam istilah Heidegger disebut das Man.
Yang lain adalah eksistensi otentik yaitu dari orang-orang tertentu yang
selalu bisa mengatasi, mentransendir struktur. Dalam struktur apa pun juga
ada orang-orang yang bisa mentransendir. Misalnya Marx seorang borjuis,
tetapi punya kesadaran sosialis. Dia termasuk orang yang bukan das Man.
Saya sendiri tidak tahu, apa yang menyebabkan orang itu bisa mentransendir.
Pendidikan mungkin salah satu faktor. Tetapi tidak mutlak. Banyak orang
terdidik, sebenarnya cuma das Man saja, dalam bentuk yang. lain.
Jadi saya pecahkan ketergantungan pada struktur dan nilai ini dengan adanya
manusia-manusia di dalam struktur yang bisa menjadi manusia super normal.
Tetapi itu tidak struktural sama sekali. Perubahan muncul dari orang-orang
supernormal ini, yang bisa mentransendir struktur yang ada dan bisa
memproyeksikan struktur ke luar. Kepentingan kelasnya bisa dikalahkan
olehnya. Itu satu sumber perubahan dan orangnya menciptakan struktur dan
menciptakan kesadaran baru, dengan merombak struktur yang ada.
Orang-orang yang normal, kebanyakan das Man atau orang-orang yang hanya
bisa berubah kesadarannya apabila ada perubahan struktur. Kedua,
masyarakat kan tidak ada yang semata-mata kapitalis; itu teori social
formation. Jadi masyarakat yang kapitalis murni sosialis murni tidak ada.
Selalu ada sistem dominan dan sistem-sistem lain yang tunduk. Dalam
masyarakat kapitalis yang paling murni pun, ada sistem sosialis yang berperan
secara diam-diam dan tidak menentukan, dan dicaplok oleh sistem dominan.
Selalu struktur itu terdiri dari elemen-elemen yang tidak masif. Dengan ini
saya mengerti mengapa Sartre mengatakan bahwa eksistensi manusia adalah
eksistensi fur sich sedangkan benda an sick. Saya melihat keadaan fur sich
itu sebagai kenyataan bahwa manusia itu kesadarannya retak, tidak masif.
Bahkah beberapa kombinasi dari beberapa dengan satu yang dominan.
Dominasinya itu juga berubah-ubah. Di Amerika Serikat misalnya dominasi
kapitalisme besar sekali, sosialisme lebih sedikit. Di Indonesia ada kombinasi
lain di mana kapitalisme menurut saya dominan, tetapi feodalisme masih kuat.
Sosialisme sedikit. Jadi ada kombinasi modes of production dalam suatu
social formation itulah yang menentukan kirakteristik masyarakat, yang
berkembang dalam waktu dan tempat. Di Malaysia persoalannya berbeda,
sehingga orang Indonesia yang masih feodal, perception of time-nya berbeda.
Menurut saya itu bukan kepribadian yang ditentukan oleh sistem nilai manusia
Indonesia, melainkan ditentukan oleh satu struktur Indonesia dalam
kombinasi dari pada modes ofproduction.
Jadi begitulah saya menjelaskan teori perubahan dalam teori struktural.
Sementara itu strukturnya juga harus historis juga, jadi seperti yang ada
dalam kenyataan dan bukannya yang abstrak dan kompak sekali.
T: Anda bilang struktur sosial dirombak dahulu baru ideologinya dimasukkan
belokangan. Saya menganggap perombakan struktur itu kurang lebih berarti
pemaksaan fisik, dan saya kira pemaksaan ideologis selalu lebih efektif
daripada pemaksaan fisik. Berarti kalau orang bisa diyakinkan melalui ideologi
maka Partisapasinya menjadi lebih efektif. Padahal Anda tadi bilang bahwa
perombakan struktur lebih baik mendahului perubahan ideologis.
J: Saya bedakan antara dua hal. Pertama, untuk orang-orang kebanyakan.
Bagi mereka, pemaksaan ideologi tidak bisa terjadi kecuali dengan perubahan
struktural. Karena memang kesadaran dia adalah refleksi daripada struktur
sosialnya. Kedua, pada orang yang menurut Anda istilahnya supernormal
(istilah yang tidak begitu saya sukai). Mereka ini bereksistensi secara
otentik. Yang penting padanya adalah keyakinan ideologi. Untuk mereka
pemaksanaan fisik tidak mempan. Dia selalu bisa mentransendir situasi. Ia
bereksistensi pada tingkat ide, kepercayaan. Yang jelas ia tidak tergantung
pada kondisi sosial yang ada.
Tetapi bagaimana saya membicarakan kesadaran sosial untuk orang-orang
kebanyakan. Tak mungkin termakan oleh dia. Sama sekali tidak termakan
karena kesadarannya hanya merefleksikan apa yang ada pada struktur sosial.
Cara lain adalah kesadaran sosial (sosialisme) itu diciptakan melalui kantong-
kantong. Saya berikan contoh Chili. Misalnya bagaimana mengelola suatu
perusahaan bersama, perusahaan komune, di mana tidak ada direktur, tidak
ada manajer dan perusahaan jadi milik bersama. Mereka masuk lalu
keuntungan dibagi. Pembukuan terbuka. Lama-lama mereka sadar sekali kalau
mereka malas-malasan, tidak masuk, bahwa perbuatan mereka itu merugikan.
Kalau ada rapat politik misalnya, produksi menurun lantas mereka gantikan
dengan sendirinya, tidak usah disuruh lagi. Absenteeism habis pada saat itu
juga. Dulu kaum kapitalis menghadapi problema, waktu absenteeism tinggi
sekali. Tetapi dengan dikelola secara demikian tiba-tiba ada kesadaran baru.
Bagi orang-orang seperti ini tidak usah didiskusikan tentang konsep
sosialisme. Hal itu muncul sebagai refleksi dari keadaan. Mereka lebih
pereaya dibandingkan dengan sang intelektual.
Ilmu dan Ideologi
T: Timbul pertanyaan apa kita masih berbicara tentang ilmu sosial. Artinya
bagaimanapun juga kita tetap teijebak dalam dilema klasik yang persis sama,
yaitu to interprete or to change . Di sini masih hidup pikiran seperti itu.
Mengikuti pembicaraan kita dari tadi, sebenarnya kita juga sedang
memperbincangkan ideologi, bukan ilmu.
J: Tapi apa sih sebenarnya ilmu? Ilmu pada dasarnya ada untuk memajukan
manusia. Langkah pertama daripada ilmu yang punya kapasitas untuk
merombak adalah ilmu yang menganalisa kenyataan secara mengena. Touch
reality! Sekarang kita bicara tentang dua macam ilmu yang ahistoris dan
historis. Yang ahistoris menurut saya adalah ilmu yang tidak mengena pada
realitas. Ia diliputi oleh suatu ideologi tertentu meskipun diklaim tidak
ideologis. Dengan demikian ia merupakan ilmu yang harus kita tinggalkan,
dengan satu metodologi yang bisa menyentuh realitas. Tadi kita bicarakan
lebih teknis. Yaitu isi ilmu itu, hubungan antara realitas dan sebagainya dalam
rangka melihat mengapa ilmu yang struktural, yang menganalisa struktur
masyarakat, yang historis, bisa lebih menyentuh realitas.
T: Pikiran yang banyak dianut di kalangan social scientist di sini ialah bahwa
tugas ilmu semata-mata mencari, menemukan fakta, melaporkan, dan
menjelaskan. Sedangkan usaha-usaha untuk merombak struktur, merombak
mentalitas dan sebagainya itu urusan policy maker. Ini pendapat yang hidup di
kalangan penjaga-penjaga ilmu sosial di sini .
J: Ilmu itu tidak hidup karena selalu dilihat dalam jarak yaitu dalam arti
tidak mau masuk dalam bidang yang dianggap bidang orang lain, jarak dalam
arti tidak mau bertanggungjawab.
T: Kesulitannya karena argumen estimologisnya sama kuat . Kaum penganut
liberal science ini akan bilang bahwa pengertian obyektif akan ada kalau kita
mempunyai sikap yang tidak berpihak. Sedangkan orang-orang seperti anda
mongatakan bahwa keterlibatan menjadi syarat untuk menyentuh realitas.
Bagaimana Anda bisa melegitimasikan pendapat Anda?
J: Pertama-tama, saya percaya kepada satu sejarah yang teleologis. Pertama
analisa sejarah dulu. Saya percaya sejarah itu bergerak ke titik tertentu,
misalnya dari A ke Z. Mungkin dari A itu berbelok-belok (berzigzag) ke mana-
mana. Gerak menuju tujuan itu bisa dihindarkan, bisa ditunda, bisa
dipermainkan, tetapi akhirnya mesti ke sana. Maka titik itu satu titik
progres, bukan siklis -- jadi progres ke arah sesuatu yang lebih baik.
Dengan begitu tugas ilmu membantu proses sejarah itu. Dengan demikian
berarti pemihakan. Tentunya yang diperdebatkan adalah apakah analisanya
betul? Ilmu yang tidak berpihak, tanpa melihat progres sejarah itu, suatu
ilmu yang kurang dekat dengan realitas dan karena itu tidak punya visi ke
mana masyarakat ini mau diarahkan. Saya tidak setuju pada netralitas ilmu
karena ilmu seperti itu tidak punya visi. Tidak tahu arahnya ke mana.
Akibatnya ia hanya menjadi permainan orang-orang yang punya vested
interest.
T: Tapi di pihak lain ada yang mengatahan bahwa justeru harena sejarah itu
dianggap bergerak menuju satu titik tujuannya, maka orang cenderung
mengurbankan banyak hal untuk itu. Temasuk risiko pengurbanan yang
bersifat totaliter. Mungkin anda dapat menjawab itu?
J: Pencegahan proses sejarah ke arah titik itu hanya menambah kurban yang
lebih besar lagi. Hanya menunda proses saja. Sebenarnya yang harus diserang
bukan prosesnya, tetapi tujuannya itu. Itu bisa memberikan pembenaran
(justifikasi). Perdebatan kita harus pada tujuan akhir itu yang akan
memberikan justifikasi pada proses. Kalau tujuan akhir itu salah maka tidak
ada justifikasi. Kalau anda setuju pada tujuan itu, bahwa tujuan itu logis,
tetapi metodenya tetap begini-begini saja, sebenarnya itu suatu kesalahan.
T: Tujuan sejarah itu kan bukan lagi soal ilmiah melainkan persoalan
kepercayaan bahkan persoalan keagamaan .
J: Sebenarnya tiap-tiap ilmu punya filsafat tertentu, asumsi tertentu. Kalau
saya mau mempelajari sesuatu maka saya mau mengadakan perbaikan, bukan
demi kepuasan mental semata-mata. Kalau saya tahu suatu kenyataan lalu
saya berbuat sesuatu atau tidak, ini lain soal. Saya tahu tetapi saya tidak
punya kapasitas untuk mengubahnya. Saya penakut. Itu faktor-faktor
pribadi. Lain lagi soalnya. Tetapi saya mengetahui ilmu itu adalah upaya untuk
melakukan perubahan menuju sesuatu yang lebih baik. Kalau filsafat ilmu
begitu, maka ilmu adalah action.
T: Dengan menganggap sejarah itu teleologis, sejarah sudah tertutup juga.
Karena perubahan yang anda maksudkan hanya berarti gerak menuju tujuan
sejarah yang sudah ditetapkan sebelumnya.
J: Kesimpulan bahwa sejarah itu teleologis didasarkan pada satu analisis yang
kuat juga. Kalau sejarah saya anggap menuju kepada masyarakat yang
sosialistis, itu bukan suatu lompatan, tetapi saya melihat berdasarkan analisis
sekarang bahwa kalau masyarakat ini tidak dikontrol maka suatu saat ketika
energy resources makin sedikit, pemakaian tidak akan seimbang. Ada orang
yang memakai terlalu banyak, sebagian orang tidak punya sama sekali, dan
akibatnya bencana akan tiba lebih cepat dari ramalan. Tetapi bila energi itu
dibagi-bagi, mungkin kita lebih makmur. Kalau melihat begini akhimya nanti
semua orang menyadari akan keterbatasan resources. Kesadaran akan
keterbatasan reseources ini menimbulkan tekanan kepada perusahaan swasta
ke arah penggunaan sumber-sumber alam dan sebagainya yang lebih sosial.
Karena resources itu lebih sedikit jumlahnya maka akibatnya mesti ada suatu
proses menuju kontrol bersama. Milik pribadi akan hilang. Bukan karena
gerakan apa-apa, tetapi pada suatu saat mesti hilang karena survival manusia
dipertarungkan di sana.
T: Di dalam keadaan krisis setiap orang akan menjadi egoistis, justeru karena
masalah survival tadi. Apa yang disebut sebagai survival hanya terbatas pada
survival dia dan kelompoknya. Saya pikir itu Psikologi yang elementer sekali.
J: Kalau begitu ummat manusia akan hancur. Kalau sejarah itu tidak akan
bergerak kepada ini, maka manusia akan hancur. Maka dari itu orang-orang
sekarang perlu mentransendir situasi, mencoba mempengaruhi atau
menngarahkan sejarah itu demi survival. Jadi kalau kita tidak bergerak ke
masyarakat sosialistis, kalau ini tidak tercapai, negara bisa hancur. Dia
hancur atau dia maju ke sana. Usaha ilmu pengetahuan adalah mencegah
terhalangnya proses yang natural ini. Saya percaya bahwa satu kontrol
bersama terhadap sumber-sumber alam kita itu satu keniscayaan; bukan
suatu kepercayaan belaka tetapi hasil suatu analisis.
T: Kita bicara tentang ilmu sosial seolah-olah pengaruhnya sangat
menentukan. Ilmu sosial bekerja dan berproses dalam kalangan ilmuwan,
lembaga yang pada gilirannja adalah salah satu bagian yang sangat kecil
dalam suatu masyarahat. Apakah ilmu sosial punya hemampuan untuk
mengarahkan perubahan sosial menurut keyakinan itu?
J: Kita sekarang berada di bidang ilmu. Satu aspek ilmu adalah ideologi dan
juga pengetahuan yang benar tentang realitas. Dengan menyerang ilmu yang
menurut saya tidak menyentuh realitas itu, kita sebenarnya mencoba
mempengaruhi kalangan ilmuwan. Mencoba mengganti dominant science kita
menjadi historical science. Kalau itu menjadi dominant science, mungkin akan
meningkat kepada cara berpikir orang. Itu hanya bisa terjadi pada level
intelektual. Kalau kita tahu misalnya sistem kapitalisme buruk dan harus kita
rombak, lalu kita hanya sampai pada taraf diskusi, mungkin hanya kalangan
intelektual yang bisa yakin, itu pun tidak 100 persen barangkali. Tetapi
karena strukturnya masih kapitalistis, maka tingkah laku orang selalu akan
menunjukkan kesadaran kapitalistis itu. Misalnya kita sampai sikarang tidak
percaya ada orang yang mau bekerja tanpa imbalan uang. Kalau kita
membayangkan masyarakat sosialis lalu bagaimana? Masakan seorang sarjana
dibayar sama dengan tukang sapu? Tidak mungkin sarjana mau kerja, karena
realitas yang kita hadapi adalah bahwa seorang sarjana harus lebih
terhormat dari tukang sapu, dibayar lebih mahal dan mempunyai status yang
lebih tinggi. Kita tidak bisa menerima penyamarataan seperti itu, sehingga
kita tidak bisa membayangkan masyarakat sosialis yang menyangkut masalah
material. Hidup kita terus menerus dibayangi dengan kacamata material.
Dengan mengubah dominant science saya kira mungkin akan tercapai jenis
kesadaran untuk orang-orang yang kreatif.
Tetapi di pihak lain yang dimaksud dengan das Man itu bukan rakyat jelata
yang miskin juga, tetapi juga kaum intelektual yang juga tidak bisa dirombak.
Pemikiran ini harus dilanjutkan dengan action. Bagi orang-orang dengan sikap
das Man perlu dibentuk suatu kelompok kehidupan yang tidak egois. Dengan
begitu kaum intelektual dan orang-orang das Man ini dipengaruhi. Untuk
mencapai itu jelas harus ada beach head. Kalau dominant science dikuasai
oleh historical science, maka orang akan melepaskan pemikiran seperti
sekarang.
T: Memang sukar sekali merencanakan suatu perubahan pemikiran dalam
pengertian scientific revolution seperti yang dimaksudkan Thomas Kuhn.
Karena dia juga merigatakan bahwa pendidikan ilmiah dan pendidikan ilmuwan
itu ada dalam tradisi normal science. Hampir tidak ada orang yang dididik
khusus untuk memunculkan satu paradigma. Bagaimana sih sebetulnya faktor-
faktor sosiologis yang memungkinkan timbulnya fase itu?
J: Sebenarnya pembicaraan tentang kapitalisme dan sosialisme bukan satu
paradigma baru. Itu hanya mengangkat dari historical science menjadi normal
science. Lain sekali dengan satu paradigma baru.
T: Untuk kebanyakan para ilmuwan sosial di sini perubahan kerangka itu
betul-betul paradigmatik sifatnya.
J: Kalau normal science tidak bisa menjelaskan realitas yang ada, atau macet,
maka segala macam cara normal science selalu menemui jalan buntu. Pada
saat itu sudah perlu adanya new science. Seandainya ilmu sosial historis ini
kita jelaskan pada tahun 1966/67, itu tidak termakan sama sekali. Bukan
karena kita baru keluar dari trauma 1965, tetapi karena pada saat itu orang
belum ketemu jalan buntu.
Baru tahun 1972, 74, 78, ternyata masalah kemiskinan, meskipun dicoba,
tidak bisa diselesaikan. Pemerintah sekarang itu bukan tidak mau
memecahkan masalah kemiskinan. Mau sekali, dalam kerangka kapitalisme.
Tetapi dalam sistem ini tidak bisa. Dan dia tidak bisa merombak sistem
kapitalisme. Sudah menjadi semacam oktopus sehingga dia tidak bisa
bertindak secara sendirian untuk merombak sistem ini.
Kementokan-kementokan ini membuat orang butuh suatu alternatif. Kenapa
tahun 1980, '81, '82 yang disebut new science ini mulai laku dan mendapat
pasar? Kalau tidak ada model Rusia, Cina, Eropa Timur, barangkali yang
disebut paradigma sosialis itu akan sangat laku sekali. Tetapi semua contoh
itu jelek. Ada diktator politik di sana. Meskipun harus diakui, Rusia zaman
Tsar dan zaman Lenin itu berbeda sekali. Tetapi orang melihat cacat dari
demokrasi politik yang terhambat di sana. Ini menjadi masalah teoritis yang
kuat dari sosialisme. Paradigma sosialis ini mendapat hambatan karena model-
model historisnya tidak terlalu menggembirakan. Tetapi yang jelas sekarang
sudah jauh lebih merata penerimaan pernyataan bahwa kapitalisme di
Indonesia mengalami jalan buntu. Pada tahun 1967 sama sekali tidak mungkin
dirasakan. Dengan demikian ada juga momen-momen historis yang membuat
ilmu itu bisa diterima apa tidak.
Nalar Pembangunan
T: Ada sedikit pertanyaan teknis. Kalau kita andaikan bahwa ilmu sosial
sekarang ini berorientasi liberal, apa bisa Anda sebutkan beberapa
indikatornya pada tingkat teori, metodologi dan seterusnya?
J: Pertama, pada asumsi dasar tentang pembangunan. Motor dari
pembangunan kita adalah entrepreneur. Memupuk wiraswasta. Kelompok
wiraswasta mendapat subsidi dari pemerintah dengan memperoleh
kemudahan-kemudahan. Dan ini bprdasarkan asumsi ekonomi liberal yang
sebenarnya merupakan refleksi pengalaman Inggeris, Jepang, dan lain-lain.
Kedua, industrialisasi merupakan titik sentral dalam pembangunan. Untuk
mengejar tingkat pertumbuhan industri menjadi anak emas. Kita lihat harga
komoditi industri sama sekali tidak pernah diganggu gugat. Pertanian itu
selalu dipatokkan, ada harga pagunya. Akibatnya nilai tukar petani selalu
turun. Petani yang saya temui di desa bilang: ini tidak adil. Kalau harga baju
selalu naik menurut pasaran, tetapi beras seliter terus sama. Akhimya baju
yang tahun lalu bisa dibeli dengan satu liter beras, sekarang menjadi satu
setengah liter beras. Harga baju mengikuti inflasi. Kebetulan saja sekarang
karena over produksi maka harganya turun.
Tetapi mekanisme pasar itu betul. Itu menunjukkan bahwa pemenintah biased
pada industrialisasi. Ini juga akibat daripada satu ilmu yang ahistoris. Ada
tulisan yang sangat menarik yang membahas pembangunan di dunia ketiga.
Temyata di Inggeris ketika mereka mula-mula mengadakan industrialisasi,
ada dua cirinya. Ini menjadi masalah untuk memberi ilustrasi saja bahwa
paradigma Indonesia yang ahistoris. Waktu industri pertama kali dimulai di
Inggeris itu modalnya kecil, karena teknologi masih sederhana, cukup ada
mesin uap, untuk memproduksi tekstil. Dengan demikian surplus yang diterima
oleh pedagang-pedagang waktu itu, hisa dialihkan pada industri. Jadi
investasi ke industri kecil, sehingga individu-individu bisa melakukannya.
Kedua, pasarannya masih terbuka sehingga dia bisa jual ke Perancis, Jerman
dan sebagainya. Lalu mereka bikin pabrik dengan model individu. Negara tidak
campur. Justeru negara mencoba tidak ikut serta.
Kemudian Jerman dan Perancis melihat bahwa Inggeris berhasil. Dia mau ikut
juga. Ketika dia bikin industri, Inggeris sudah maju teknologinya sehingga
mungkin Jerman sudah sulit dengan modal kecil bikin pabrik tekstil. Tidak
bisa lagi. Sebagai the late industrial states Jerman harus mengadakan
pooling modal yang lebih besar. Artinya tidak bisa secara individu. Hartawan-
hartawan pribadi tidak bisa bikin industri tekstil. Tetapi dia harus
mengadakan satu pooling modal. Itu dikelola oleh negara sehingga industri
Jerman membutuhkan bank. Industri Inggeris tidak perlu bank. Perancis juga
berbuat sama.
Satu lagi perbedaannya adalah: tekstil Inggeris masuk ke Jerman, sehingga
terjadi kompetisi. Dengan demikian dia mengadakan proteksi. Negara sudah
mulai campur tangan lagi. Semua ini termasuk dalam kelompok negara industri
kelompok pertama.
Kemudian Italia masuk sebagai the late late industrial state. Italia lebih sulit
lagi. Dia sebenarnya sudah untung kalau impor dari Inggeris. Inggeris sudah
mulai industri pabrik saja. Italia mengadakan pooling modal lebih besar lagi.
Ternyata dari sejarah, buat industri yang terlambat itu masalahnya adalah
modal, campur tangan negara, dan masalah proteksi. Pasar makin lama makin
jenuh, makin lama makin sukar. Inggeris membuat industri besi baja untuk
menghasilkan mesin. Lantas segera jenuh pasarannya. Dijual di Inggeris habis.
Sekarang dia mau coba ekspor ke Jerman, tapi Jerman tidak mau, dia bikin
sendiri karena besi bajanya ada. Rugi sekali bikin industri besi baja itu.
Apalagi kalau semua bikin industri baja pula. Dia berusaha supaya negara lain
jangan bikin industri hulu itu. Akibatnya Inggeris kesulitan untuk menjual.
Buat Italia, kalau dia mau bikin industri besi baja untuk memproduksi mesin
tekstil, itu lebih parah lagi. Modalnya lebih besar dan jelas tidak ada
pasamya. Ada stagnasi.
Kemudian industri besi baja Inggeris mendapat out let. Mereka tidak bikin
mesin pabrik tetapi bikin kereta api, jalan kereta api. Jerman juga masih
kebagian. Jadi ekspansi bikin jalan kereta api, di Amerika, di Jerman.
Kemudian industri besi bajanya mendapat penyaluran lagi. Besi bajanya
banyak. Praktis Itali tidak bisa mengadakan industrialisasi. Lebih untung dia
impor mesin daripada bikin industri mesin. Untung pada waktu itu ada suatu
outlet baru ketika diketemukannya mobil. Kereta api memang sejenis public
goods, tetapi bukan durable consumer goods yang massal. Diketemukannya
mobil itu satu breakthrough buat industri-industri besi. Dengan
diketemukannya mobil, maka Inggeris, Italia, Jepang masih kebagian pasar.
Jepang tertolong oleh industri hulu karena adanya mobil.
Indonesia kini mau ikut pasaran mobil yang sudah jenuh sama sekali. Tidak
ada breakthrough buat industri hulu. Indonesia tidak mungkin mendirikan
industri baja. Kondisi-kondisi seperti ini dilihat dan langkah-langkah dan
kondisi internasional yang terus berubah. Mau bikin pabrik tekstil, oke, atau
mesin tekstil atau mesin apa. Tetapi dalam waktu satu tahun sudah habis
daya dan kapasitas produksinya. Kalau nggak mengadakan ekspansi keluar, ia
tidak bisa tertolong. Meskipun begitu Indonesia masih berpikir untuk
mengadakan industrialisasi.
Itu akibat kesalahan ilmu yang ahistoris itu. Karena Inggeris berhasil dengan
kapitalisme moderen, Indonesia mau melakukan lagi di sini. Teori yang
mengatakan bahwa pembangunan Indonesia bisa dicapai dengan free
capitalism dan industrialisasi itu masih dianut oleh ekonom kita. Kalau
pemikiran kita lebih historis kita bisa mengoreksi itu, dengan melihat realitas
yang ada. Dan itu didukung oleh perkembangan teori-teori terakhir seperti
teori dependencia atau international division of labour oleh Wallerstein.
T: Lebih spesifik bagaimana asumsi besar itu tercermin di dalam penerimaon
dan penerapan teori-teori ilmu sosial non ekonomi?
J: Dalam ilmu-ilmu sosial non ekonomi yang menjadi titik sentral sebenamya
adalah manusia. Bukan sistem sosial. Manusia itu tidak diletakkan dalam
situasi. Yang penting seakan-akan meningkatkan kapasitas manusia. Misalnya
kalau mereka membahas problem kemiskinan, maka pendidikan lalu diajukan
sebagai pemecahannya. Padahal kita tahu bahwa pendidikan tidak
memecahkan masalah kemiskinan. Dikira dengan meningkatkan keterampilan
pasti seorang bisa menciptakan lapangan kerja. Tidak mungkin lapangan kerja
tercipta kalau tidak ada ekspansi ekonomi yang terarah ke sana.
Jadi, asumsi dasar bahwa manusia adalah sentral dari segala sesuatu tanpa
memperhatikan sistem di mana manusia itu berada, menunjukkan suatu bias
yang salah. Asumsi salah dan metodologi salah.
Salah satu tokohnya adalah Koentjaraningrat. Saya menghormati dia sebagai
ilmuwan yang paling rajin dan paling produktif. Tetapi lihat asumsinya.
Penelitian-nya selalu diarahkan kepada persepsi manusia tentang waktu. Dia
tidak sensitif kepada sesuatu yang historis. Jadi penelitiannya selalu tentang
mentalitas manusia, suatu varian daripada kebudayaan. Pengetahuan semacam
itu bukan tidak penting, tetapi terlalu menekankan prioritas penelitian pada
nilai-nilai individual.

Anda mungkin juga menyukai