Anda di halaman 1dari 13

Kelompok : 1

Anggota : 1.Muhammad Fadli


2.Agha Naufal Rizqullah
3.Sandi Putra
4.Nurfitrah Ulfayani
5.Anisah Aulia
6.Nurnafisah Az Zahra

SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN

Kita telah membahas objek dan pokok bahasan sosiologi.


Namun, apakah sosiologi adalah sebuah ilmu pengetahuan?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita sebaiknya
mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan ilmu
pengetahuan. Kita mulai dengan apa itu pengetahuan.
Pengetahuan muncul karena ada rasa ingin tahu manusia
tentang hal-hal dalam kehidupan yang tidak ia mengerti.
Manusia ingin mengetahui kebenaran tentang hal-hal tersebut.
Setelah manusia memperoleh pengetahuan tentang satu hal, ia
akan mencari pengetahuan tentang hal yang lain
Namun demikian, tidak semua pengetahuan merupakan ilmu.
Hanya pengetahuan yang tersusun secara sistematis dengan
menggunakan kekuatan pemikiran saja dapat disebut ilmu
pengetahuan (science). Sistematis berarti ada urutan-urutan
tertentu yang bisa menggambarkan garis besar apa yang ada
dalam sebuah pengetahuan. Selain sistematis, pengetahuan
tersebut juga harus selalu dapat diperiksa (diselidiki) dengan
kritis oleh setiap orang yang ingin mengetahuinya. Dengan
demikian, setiap ilmu pengetahuan memiliki beberapa unsur
pokok yang tergabung dalam satu kebulatan. Unsur-unsur itu
adalah pengetahuan (knowledge), tersusun secara sistematis,
menggunakan pemikiran, dan dapat diselidiki secara kritis oleh
orang lain atau umum (objektif). Penyelidikan ini harus
berdasarkan metode-metode ilmiah.
Ciri Sosiologi sebagai Ilmu Pengetahuan :
Sosiologi merupakan sebuah ilmu pengetahuan karena
mengandung beberapa unsur di atas tadi. Adapun ciri-ciri
sosiologi sebagai ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut.
1. Sosiologi bersifat empiris. Sosiologi dalam melakukan kajian
tentang masyarakat didasarkan pada hasil observasi, tidak
spekulatif, dan hanya menggunakan akal sehat (commonsense).
2. Sosiologi bersifat teoritis. Sosiologi berusaha
menyusun.abstraksi dari hasil-hasil observasi. Abstraksi adalah
kerangka dari unsur-unsur yang didapat di dalam observasi,
disusun secara logis, serta memiliki tujuan untuk menjelaskan
hubungan sebab akibat.
3. Sosiologi bersifat kumulatif. Teori-teori sosiologi dibentuk
berdasarkan teori-teori yang telah ada sebelumnya dalam arti
memperbaiki, memperluas, dan memperhalus teori-teori lama.
4. Sosiologi bersifat non-etis. Yang dilakukan sosiologi bukan
mencari baik buruknya suatu fakta, tetapi menjelaskan fakta-
fakta tersebut secara analitis. Itulah sebabnya para sosiolog
tidak bertugas untuk berkhotbah dan mempergunjingkan baik
buruknya tingkah laku sosial suatu masyarakat.

Tokoh pertama yang meletakkan sosiologi sebagai sebuah ilmu


adalah Emile Durkheim. Durkheim menyatakan bahwa sosiologi
memiliki objek kajian yang jelas yaitu fakta sosial. Durkheim
mendefinisikan fakta sosial ini sebagai sebuah cara bertindak,
berpikir, dan merasa, yang berada di luar individu dan
mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya.
Contoh, kita harus menggunakan tangan kanan ketika
bersalaman, kita harus menghormati orang yang lebih tua dan
mengucapkan salam ketika bertemu dengan orang lain.

Sementara untuk metodologi, Durkheim mengemukakan


konsep bebas nilai (value free). Menurut konsep ini, seorang
sosiolog dalam melakukan penelitian terhadap masyarakat
perlu melakukan batasan antara yang diteliti dan yang meneliti.
Dengan demikian, hasil penelitian yang diperoleh dapat bersifat
objektif. Seperti layaknya ilmu alam, Durkheim melihat
masyarakat sebagai sebuah laboratorium raksasa dan para
sosiolog adalah ilmuwan yang mengamati dan bereksperimen
sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat
Metode-Metode Sosiologi :
Mengenai metode ilmiah, sosiologi mengenal dua macam
metode ilmiah, yakni metode kualitatif dan kuantitatif.
1.Metode kualitatif mengutamakan cara kerjanya dengan
mendeskripsikan hasil penelitian berdasarkan penilaian-
penilaian terhadap data yang diperoleh. Metode ini dipakai
apabila data hasil penelitian tidak dapat diukur dengan angka.
2.Metode kuantitatif mengutamakan keterangan berdasarkan
angka-angka atau gejala-gejala yang diukur dengan skala,
indeks, tabel, atau uji statistik.
Mengenai kedua metode ini akan kita pelajari lebih mendalam
di kelas XII.
Sementara itu, langkah-langkah utama dalam sebuah penelitian
sosiologi adalah sebagai berikut.
1. Mengidentifikasi masalah.
Merumuskan masalah dan menentukan ruang lingkup
penelitian. Merumuskan hipotesa yang relevan dengan masalah
yang diajukan.
2. Memilih metode pengumpulan data.
3. Mengumpulkan data.
4. Menafsirkan data.
5. Menarik kesimpulan.
C. SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI
Perkembangan Sosiologi di Eropa
Setelah mengetahui bahwa sosiologi merupakan sebuah ilmu
pengetahuan, Anda mungkin bertanya bagaimana
perkembangan sosiologi hingga mencapai bentuknya seperti
sekarang. Sosiologi awalnya menjadi bagian dari filsafat sosial.
Ilmu ini membahas tentang masyarakat. Namun saat itu,
pembahasan tentang masyarakat hanya berkisar pada hal-hal
yang menarik perhatian umum saja, seperti perang, ketegangan
atau konflik sosial, dan kekuasaan dalam kelas-kelas penguasa.
Dalam perkembangan selanjutnya, pembahasan tentang
masyarakat meningkat pada cakupan yang lebih mendalam
yakni menyangkut susunan kehidupan yang diharapkan dan
norma-norma yang harus ditaati oleh seluruh anggota
masyarakat. Sejak itu, berkembanglah satu kajian baru tentang
masyarakat yang disebut sosiologi.
Menurut Berger dan Berger, sosiologi berkembang menjadi
ilmu yang berdiri sendiri karena adanya ancaman terhadap
tatanan sosial yang selama ini dianggap sudah seharusnya
demikian nyata dan benar (threats to the taken for granted
world). L. Laeyendecker mengidentifikasi ancaman tersebut
meliputi:
1. terjadinya dua revolusi, yakni revolusi industri dan revolusi
Prancis
2. tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad ke-15,
3. perubahan di bidang sosial dan politik
4. perubahan yang terjadi akibat gerakan reformasi yang
dicetuskan Martin Luther
5. meningkatnya individualisme,
6. lahirnya ilmu pengetahuan modern
7. berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri.
Menurut Laeyendecker, ancaman-ancaman tersebut
menyebabkan perubahan-perubahan jangka panjang yang
ketika itu sangat mengguncang masyarakat Eropa dan seakan
membangun- kannya setelah terlena beberapa abad.
Auguste Comte Prancis, melihat perubahan- perubahan
tersebut tidak saja bersifat positif seperti berkembangnya
demokratisasi dalam masyarakat, tetapi juga berdampak
negatif. Salah satu dampak negatif tersebut adalah terjadinya
konflik antarkelas dalam masyarakat. Menurut Comte, konflik-
konflik tersebut terjadi karena hilangnya norma atau pegangan
(normless) bagi masyarakat dalam bertindak. Comte berkaca
dari apa yang terjadi dalam masyarakat Prancis ketika itu (abad
ke-19). Setelah pecahnya Revolusi Prancis, masyarakat Prancis
dilanda konflik antarkelas. Comte melihat hal itu terjadi karena
masyarakat tidak lagi mengetahui bagaimana mengatasi
perubahan akibat revolusi dan hukum-hukum apa saja yang
dapat dipakai untuk mengatur tatanan sosial masyarakat.

Oleh karena itu, Comte menyarankan agar semua penelitian


tentang masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu yang
berdiri sendiri. Comte membayangkan suatu penemuan
hukum-hukum yang dapat mengatur gejala-gejala sosial.
Namun, Comte belum berhasil mengembangkan hukum-hukum
sosial tersebut menjadi sebuah ilmu. Ia hanya memberi istilah
bagi ilmu yang akan lahir itu dengan istilah sosiologi. Sosiologi
baru berkembang menjadi sebuah ilmu setelah Emile Durkheim
mengembangkan metodologi sosiologi melalui bukunya Rules
of Sociological Method. Meskipun demikian, atas jasanya
terhadap lahirnya sosiologi, Auguste Comte tetap disebut
sebagai Bapak Sosiologi.

Meskipun Comte menciptakan istilah sosiologi, Herbert


Spencer-lah yang mempopulerkan istilah tersebut melalui buku
Principles of Sociology. Di dalam buku tersebut, Spencer
mengembangkan sistem penelitian tentang masyarakat. la
menerapkan teori evolusi organik pada masyarakat manusia
dan mengembangkan teori besar tentang evolusi sosial yang
diterima secara luas di masyarakat. Menurut Comte, suatu
organ akan lebih sempurna jika organ itu bertambah kompleks
karena ada diferensiasi (proses pembedaan) di dalam bagian-
bagiannya. Spencer melihat masyarakat sebagai sebuah sistem
yang tersusun atas bagian-bagian yang saling bergantung
sebagaimana pada organisme hidup. Evolusi dan
perkembangan sosial pada dasarnya akan berarti jika ada
peningkatan diferensiasi dan integrasi, peningkatan pembagian
kerja, dan suatu transisi dari homogen ke heterogen dari
kondisi yang sederhana ke yang kompleks. Setelah buku
Spencer tersebut terbit, sosiologi kemudian berkembang
dengan pesat ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Sekilas Tokoh
Auguste Comte lahir di Montpellier, Prancis pada tanggal 17
Januari 1798. Pada tahun 1814-1816, ia masuk pendidikan di
Ecole Polytechnique di Paris dan kemudian masuk sekolah
kedokteran di Montpellier. Pada bulan Agustus 1817 dia
menjadi murid sekaligus sekretaris dari Claude Henri de
Rouvroy, Comte de Saint-Simon, yang kemudian membawa
Comte masuk ke dalam lingkungan intelek. Pada tahun 1824,
Comte meneliti tentang

filosofi positivisme. Rencananya ini kemudian dipublikasikan


dengan nama Plan de Travaux Scientifiques nécessaires pour
réorganiser la société (Rencana Studi Ilmiah untuk Pengaturan
Kembali Masyarakat). Namun, ia gagal mendapatkan posisi
akademis sehingga menghambat penelitiannya. Kehidupan dan
penelitiannya kemudian mulai bergantung pada sponsor dan
bantuan finansial dari beberapa temannya. la kemudian
menikahi Caroline Massin, namun bercerai pada tahun 1942.
Pada tahun itu pula, ia mempublikasikan bukunya yang berjudul
Cours. Pada tahun 1844, Comte menjalin kasih dengan Clotilde
de Vaux. Pada tahun-tahun terakhir masa hidupnya, Comte
mengalami gangguan kejiwaan. Conte wafat di Paris pada
tanggal 5 September 1857 dan dimakamkan di Cimetière du
Père Lachaise.

Sosiologi di Indonesia sebenarnya telah berkembang sejak


zaman dahulu. Walaupun tidak mempelajari sosiologi sebagai
ilmu pengetahuan, para pujangga dan tokoh bangsa Indonesia
telah banya memasukkan unsur-unsur sosiologi dalam ajaran-
ajaran mereka. Sri Paduka Mangkunegoro IV, misalnya, telah
memasukkan unsur tata hubungan manusia pada berbagai
golongan yang berbeda (intergroup relation) dalam ajaran
Wulang Reh. Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara yang dikenal
sebagai peletak dasar pendidikan nasional Indonesia banyak
mempraktikkan konsep konsep penting sosiologi seperti
kepemimpinan dan kekeluargaan dalam proses pendidikan di
Taman Siswa yang didirikannya. Hal yang sama dapat juga kita
selidiki dari berbagai karya tentang Indonesia yang ditulis oleh
beberapa orang Belanda seperti Snouck Hurgronje dan Van
Volenhaven sekitar abad 19. Mereka menggunakan unsur-
unsur sosiologi sebagai kerangka berpikir untuk memahami
masyarakat Indonesia. Snouck Hurgronje, misalnya,
menggunakan pendekatan sosiologis untuk memahami
masyarakat Aceh yang hasilnya dipergunakan oleh pemerintah
Belanda untuk menguasai daerah tersebut.

Dari uraian di atas terlihat bahwa sosiologi di Indonesia pada


awalnya, yakni sebelum Perang Dunia II hanya dianggap sebagai
ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan
kata lain, sosiologi belum dianggap cukup penting untuk
dipelajari dan digunakan sebagai ilmu pengetahuan, yang
terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan yang lain.

Secara formal, Sekolah Tinggi Hukum (Rechtsshogeschool) di


Jakarta pada waktu itu menjadi satu-satunya lembaga
perguruan tinggi yang mengajarkan mata kuliah sosiologi di
Indonesia walaupun hanya sebagai pelengkap mata kuliah ilmu
hukum. Namun, seiring perjalanan waktu, mata kuliah tersebut
kemudian ditiadakan dengan alasan bahwa pengetahuan
tentang bentuk dan susunan masyarakat beserta proses-proses
yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran
hukum. Dalam pandangan mereka, yang perlu diketahui
hanyalah perumusan peraturannya dan sistem-sistem untuk
menafsirkannya. Sementara, penyebab terjadinya sebuah
peraturan dan tujuan sebuah peraturan dianggap tidaklah
penting.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, sosiologi di
Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan.
Adalah Soenario Kolopaking yang pertama kali memberikan
kuliah sosiologi dalam bahasa Indonesia pada tahun 1948 di
Akademi Ilmu Politik Yogyakarta (sekarang menjadi Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik UGM). Akibatnya, sosiologi mulai
mendapat tempat dalam insan akademisi di Indonesia apalagi
setelah semakin terbukanya kesempatan bagi masyarakat
Indonesia untuk menuntut ilmu di luar negeri sejak tahun 1950.
Banyak para pelajar Indonesia yang khusus memperdalam
sosiologi di luar negeri, kemudian mengajarkan ilmu itu di
Indonesia.
Buku sosiologi dalam bahasa Indonesia pertama kali diterbitkan
oleh Djody Gondokusumo dengan judul Sosiologi Indonesia
yang memuat beberapa pengertian mendasar dari sosiologi.
Kehadiran buku ini mendapat sambutan baik dari golongan
terpelajar di Indonesia mengingat situasi revolusi yang terjadi
saat itu. Buku ini seakan mengobati kehausan mereka akan ilmu
yang dapat membantu mereka dalam usaha memahami
perubahan-perubahan yang terjadi demikian cepat dalam
masyarakat Indonesia saat itu. Selepas itu, muncul buku
sosiologi yang diterbitkan oleh Bardosono yang merupakan
sebuah diktat kuliah sosiologi yang ditulis oleh seorang
mahasiswa.

Selanjutnya bermunculan buku-buku sosiologi baik yang tulis


oleh orang Indonesia maupun yang merupakan terjemahan dari
bahasa asing. Sebagai contoh, buku Social Changes in
Yogyakarta karya Selo Soemardjan yang terbit pada tahun
1962. Tidak kurang pentingnya, tulisan-tulisan tentang
masalah-masalah sosiologi yang tersebar di berbagai majalah,
koran, dan jurnal. Selain itu, muncul pula fakultas ilmu sosial
dan politik berbagai universitas di Indonesia di mana sosiologi
mulai dipelajari secara lebih mendalam bahkan pada beberapa
universitas, didirikan jurusan sosiologi yang diharapkan dapat
mempercepat dan memperluas perkembangan sosiologi di
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai