Revisi Resiko Terhadap Anak-1
Revisi Resiko Terhadap Anak-1
OLEH :
(KELOMPOK 5)
PROGRAM PASCASARJANA
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa terpanjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Pembelajaran berjudul
”Kebijakan Dan Perlindungan Anak”. Shalawat serta salam disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai Nabi penutup dan Rasul pemungkas serta pemimpin umat sampai
akhir zaman.
Materi yang dimuat dalam menyelesaikan tugas ini diupayakan mengacu kepada
silabus yang telah ditetapkan. Demikian juga, sumber penulis mengacu pada buku dan jurnal
tertulis. Semoga materi ini dapat diterima oleh mahasiswa-mahasiswi, dan bermanfaat
khususnya bagi kita semua.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan
kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Kekerasan Terhadap Anak ini
dapat bermanfaat bagi kita semuanya.
Kelompok 5
BAB I
PENDAHULUAN
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, bahkan anak
dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda
lainnya. Karenanya, anak sebagai amanah Tuhan harus senantiasa dijaga dan dilindungi
karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus
dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat
dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak-
hak anak.
Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang
sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan,
yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan berkelanjutan dan
pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Isu utama
peningkatan kualitas hidup manusia suatu negara adalah bagaimana negara tersebut mampu
melakukan perlindungan anak yaitu, mampu memahami nilai-nilai hak-hak anak, mampu
mengimplementasikannya dalam norma hukum positif agar mengikat, mampu menyediakan
infrastruktur, dan mampu melakukan manajemen agar perlindungan anak di suatu negara
tercapai.
Perlindungan terhadap anak dari tindakan kekerasan fisik sangatlah penting karena
pelanggaran yang dilakukan termasuk dalam bagian dari pelanggaran terhadap hak asasi
manusia. Selain itu, pelanggaran hak anak akan menghambat kelangsungan hidup anak dan
perkembangan anak karena anak yang mengalami kekerasan fisik akan mengalami rasa
trauma, serta resiko terhadap fisik buruk atas tindakan kekerasan fisik yang dialaminya.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengetahuan umum mengartikan bahwa seseorang yang lahir dari hubungan pria dan
wanita, itulah yang dimaksud dengan anak adalah Sedangkan cakupan lebih luasnya dari
juvenale atau biasa disebut anak-anak adalah seseorang yang belum dewasa serta belum
pernah kawin dan masih berada dibawah umur tertentu. Beberapa undang-undang juga
memberikan “definisi anak” (i) Anak Menurut Undang-Undang Perkawinan Undang-undang
Pokok Perkawinan (Undang-undang Tahun 1974 Nomor 1) mengatakan, bahwa seorang laki-
laki hanya dapat diizinkan untuk kawin apabila bagi yang bersangkutan telah mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun dan bagi pihak perempuan telah mencapai usia 16 (enam belas)
tahun. Penyimpangan akan hal tersebut hanya boleh dimintakan dispensasinya kepada
Pengadilan Negeri. (tertulis dalam Pasal 7 ayatnya ke-1).
A. Resiko Terhadap Anak
1. Diskriminasi
Diskriminasi adalah setiap tindakan yang melakukan pembedaan terhadap seseorang
atau sekelompok orang berdasarkan ras, agama, suku, kelompok,golongan, status sosial, kelas
sosial, jenis kelamin, kondisi fisik tubuh, orientasi seksual, pandangan ideologi dan politik,
batas negara, serta kebangsaan seseorang(Elly M. Setiadi dkk, 2006).
Kemudian menurut undang-undang, diskriminasi adalah setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan
manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan,status sosial, status ekonomi,
jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau
penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik,
ekonomi,hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”. (Pasal 1 Ayat (3) UU Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Adapun contoh perilaku diskriminasi di
lingkungan sekolah perbedaan perlakuan pendidik kepada anak yang memiliki wali/orang tua
berdasarkan status sosial.
2. Penelantaran
Penelantaran hak-hak anak adalah merupakan kekerasan sosial pada anak. Dalam usia
yang tidak layak anak harus bekerja membanting tulang, yang tidak saja dapat merugikan
fisiknya namun juga secara psikis anak. Secara fisik, tubuh anak yang belum berkembang
sempurna, tinggi dan berat badan yang belum berkembang optimal, tulangnya yang masih
kecil dan belum mampu mengangkat beban yang berat, pikirannya juga belum dewasa untuk
menerima pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh orang dewasa. Hal ini tentu saja dapat
mempengaruhi tumbuh kembang fisik anak, yang kemungkinan bisa saja karena sering
menerima dan memikul beban berat, tubuh anak berkembang tidak sempurna. Selain itu, anak
yang seharusnya belajar untuk mempersiapkan masa depan yang gemilang, pada akhirnya
tidak mempunyai kesempatan belajar apalagi untuk bermain dan bersosialisasi bersama
teman-temannya. Banyak waktu anak-anaknya akan terkorbankan karena penelantaran yang
dilakukan oleh orangtua (Arif Gosita, 2002: 287). Adapun contoh dari penelantaran terhadap
anak salah satunya penelantaran anak atau pembiaran yang dilakukan orang tua kepada
anaknya dicibubur hasil visum membuktikan tidak adanya bentuk kekerasan terhadap fisik
anak, namun penelantaran/pembiaran tersebut berakibat pada kondisi gizi anak yang buruk
sehingga dapat berdampak pidana bagi orang tua.
3. Eksploitasi
Masalah pekerja anak adalah masalah yang berhubungan dengan kemiskinan dan
keterbelakangan. Sebagian besar anak bekerja karena keluarga mereka miskin. System
kesejahteraan sosial yang ada belum memadai atau belum dapat menjawab tantangan yang
ada. Banyak anak-anak menerjuni bursa kerja karena tidak tersedianya sekolah, jumlahnya
tidak cukup, atau mahal. Kemiskinan, kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan,
dibarengi dengan lemahnya perlindungan hukum serta tidak adanya pelaksanaan undang-
undang yang efektif, menyebabkan permasalahan menjadi semakin berat.2 Dalam pasal 64
undang-undang nomor 39 tahun 1999 bahwa “setiap anak berhak untuk mendapatkan
perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan
dirinya sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan, fisik, moral, kehidupan sosial,
dan mental spiritualnya.” Dan dalam pasal 65 undang-undang nomor 39 tahun 1999
ditentukan pula bahwa “setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan
eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk
penyalahgunaan narkotika,psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Meskipun masih anak-anak,
hukum harus dapat menjamin terwujudnya hak anak yang paling asasi untuk mendapatkan
pekerjaan dan oleh karenanya juga mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Masa depan anak tidak lagi ditentukan oleh kekuatan orang tua, keluarga, masyarakat,
apalagi Negara. Tetapi sebaliknya orang tua, keluarga, masyarakat dan Negara, mempunyai
kewajiban untuk menjamin terwujudnya hak anak yang paling asasi yakni mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Contoh kasus eksploitasi yang
terjadi oknum pendeta Sulawesi Utara cabuli-eksploitasi anak asuh.
Eksploitasi pada tenaga kerja anak dapat menimbulkan berbagai gangguan pada anak
baik fisik maupun mental. Beberapa dampak dari eksploitasi anak terhadap tumbuh
kembangnya adalah:
1) Pertumbuhan fisik termasuk kesehatan secara menyeluruh, kekuatan, penglihatan
dan pendengaran.
4) Pertumbuhan sosial serta moral termasuk rasa identitas kelompok, kemauan untuk
bekerja sama dengan orang lain dan kemauan membedakan yang benar dan yang
salah.
Kekerasan terhadap anak terbagi atas kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan
seksual,dan penelantaran. Namun kekerasan yang satu dengan yang lain saling berhubungan.
Jika anak menderita kekerasan fisik, pada saat bersamaan anak juga menderita kekerasan
emosional.Sementara jika anak mengalami kekerasan seksual, selain menderita kekerasan
emosional, anak juga akan mengalami penelantaran.
Secara umum, anak yang mengalami kekerasan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
● Menunjukan perubahan perilaku dan kemampuan belajar.
● Tidak memperoleh bantuan untuk masalah fisik dan masalah kesehatan yang
seharusnya menjadi perhatian orangtua.
● Memiliki gangguan belajar atau sulit berkonsentrasi.
● Selalu curiga dan siaga terhadap orang lain.
● Kurangnya pengarahan dari orang tua.
● Selalu mengeluh, pasif atau menghindar.
● Datang ke sekolah atau tempat aktivitas lebih awal dan pulang terakhir,
bahkan sering tidak mau pulang ke rumah.
Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Anak
1. Kekerasan Fisik : dianiaya, dipukul, dijambak, ditendang, diinjak, dicubit, dicekik,
dicakar,dijewer, disetrika, disiram air panas, dll.
2. Kekerasan Psikis : dihina, dicaci maki, diejek, dipaksa melakukan sesuatu yang tidak
dikehendaki, dibentak, dimarahi, dihardik, diancam, dipaksa bekerja menjadi
pemulung,dipaksa mengamen, dipaksa menjadi pembantu rumah tangga, dipaksa
mengemis, dll.
3. Kekerasan Seksual : diperkosa, disodomi, diraba-raba alat kelaminnya, diremas-remas
payudaranya, dicolek pantatnya, diraba-raba pahanya, dipaksa melakukan oral sex,
dijual pada mucikari, dipaksa menjadi pelacur, dipaksa bekerja diwarung remang-
remang dan pelecehan seksual lainnya.
4. Penelantaran : Kurang memberikan perhatian dan kasih sayang yang dibutuhkan
anak,tidak memperhatikan kebutuhan makan, bermain, rasa aman, kesehatan,
perlindungan(rumah) dan pendidikan, mengacuhkan anak, tidak mengajak bicara, dll.
Moore (dalam Nataliani, 2004) menyebutkan bahwa efek tindakan dari korban
penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi
negatif dan agresif serta mudah frustasi, ada yang menjadi sangat pasif dan apatis, ada yang
tidak mempunyai kepribadian sendiri, ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain dan
ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu Moore
juga menemukan adanya kerusakan fisik,seperti perkembangan tubuh kurang normal juga
rusaknya sistem saraf.
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan
perilaku menyimpang di kemudian hari. Dampak kekerasan pada anak yang diakibatkan oleh
orang tuanya sendiri atau orang lain sangatlah buruk antara lain:
1. Agresif Sikap ini biasa ditujukan anak kepada pelaku kekerasan. Umumnya
ditujukan saat anak merasa tidak ada orang yang bisa melindungi dirinya. Saat
orang yang dianggap tidak bisa melindunginya itu ada di sekitarnya, anak akan
langsung memukul atau melakukan tindak agresif terhadap si pelaku. Tetapi
tidak semua sikap agresif anak muncul karena telah mengalami tindak
kekerasan.
2. Murung/Depresi Kekerasan mampu membuat anak berubah drastis seperti
menjadi anak yang memiliki gangguan tidur dan makan, bahkan bisa disertai
penurunan berat badan. Ia akan menjadi anak yang pemurung, pendiam, dan
terlihat kurang ekspresif.
3. Memudah menangis Sikap ini ditunjukkan karena anak merasa tidak nyaman
dan aman dengan lingkungan sekitarnya. Karena dia kehilangan figur yang
bisa melindunginya, kemungkinan besar pada saat dia besar, dia tidak akan
mudah percaya pada orang lain.
4. Melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain Dari semua ini anak dapat
melihat bagaimana orang dewasa memperlakukannya dulu. Ia belajar dari
pengalamannya, kemudian bereaksi sesuai dengan apa yang dia alami.
Upaya perlindungan yang dapat dilakukan berkaitan dengan kekerasan anak ini dapat
dilakukan dengan pendekatan kesehatan pada masyarakat, yaitu melalui usaha promotif,
preventif, diagnosis,kuratif, dan rehabilitatif. Dua usaha yang pertama ditujukan kepada anak
yang belum menjadi korban kekerasan, melalui kegiatan pendidikan masyarakat dengan
tujuan menyadarkan masyarakat bahwa kekerasan pada anak merupakan penyakit masyarakat
yang akan menghambat tumbuhkembang anak secara optimal, oleh karena itu harus di
hapuskan. Sedangkan dua usaha yang terakhir tujukan bagi anak yang sudah menjadi korban
kekerasan, dengan tujuan memberikan pengobatan baik secara fisik dan psikologis anak,
dengan tujuan meng-reintegrasi korban ke dalam lingkungan semula. Upaya menurunkan
tingkat kekerasan terhadap anak di Indonesia dapat dilakukan oleh orangtua, guru sebagai
pendidik, masyarakat dan pemerintah.
Pertama, orangtua.
Para orang tua seharusnya lebih memperhatikan kehidupan anaknya. Orang Tua
Dituntut untuk mendidik dan menyayangi anak-anaknya. Jangan membiarkan anak hidup
dalam kekangan mental maupun fisik. Sikap memarah-marahi anak habis-habisan, apalagi
melakukan tindakan kekerasan bukanlah tindakan yang bijaksana sebagai orangtua, karena
hal itu hanya membuat anak merasa tidak diperhatikan dan tidak di sayangi. Akhirnya anak
merasa trauma, dan bahkan putus asa. Sangat penting untuk disadari bahwa anak di lahirkan
ke dunia ini memiliki hak untuk mendapatkan pengasuhan yang baik, kasih sayang, dan
perhatian. Anak juga memiliki hak mendapatkan pendidikan yang baik di keluarga maupun di
sekolah, juga mendapatkan nafkah.Bagaimanapun juga, tidak wajib seorang anak menafkahi
dirinya sendiri, sehingga ia harus kehilangan hak-haknya sebagai anak, karena harus
membanting untuk menghidupi diri atau bahkan untuk keluarganya. Dalam kasus kekerasan
terhadap anak ini, siklus kekerasan dapat berkembang dalam keluarga. Individu yang
mengalami kekerasan orang tuanya, akan melakukan hal yang sama pada anaknya kelak.
Oleh karena itu penting untuk disadari bahwa perilaku mereka merupakan hal yang dapat
ditiru oleh anak-anak mereka, sehingga mereka mampu menghindari perilaku yang kurang
baik.Kedua, guru. Peran seorang guru dituntut untuk menyadari bahwa pendidikan bukan saja
membuat anak menjadi pintar, tetapi juga harus melatih sikap, dan mental anak didiknya.
Peran guru dalam memahami siswanya sangat penting. Sikap arif, bijaksana dan toleransi
sangat diperlukan,sehingga ia dapat bertindak dan bersikap bijaksana dalam menghadapi
anak didiknya.Ketiga, masyarakat. Anak-anak kita ini selain berhadapan dengan orangtua dan
guru, mereka tidak lepas dari kehidupan bermasyarakat. Untuk itu diperlukan kesadaran dan
kerjasama dari berbagai elemen dalam masyarakat untuk turut memberikan nuansa
pendidikan yang positif bagi anak-anak.Salah satu elemen tersebut adalah stasiun TV., karena
pengaruh media terhadap perilaku anak cukup besar. Berbagai tayangan kriminal di TV ,
tanpa kita sadari telah menampilkan potret-potret kekerasan yang dapat mempengaruhi
mental dan kepribadian anak. Penyelenggara TV bertanggung jawab untuk memberikan
tayangan yang mengandung edukasi yang positif.Keempat, pemerintah. Pemerintah adalah
pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap permasalahan rakyatnya, termasuk untuk
menjamin masa depan bagi anak-anak kita sebagai generasi penerus.
3. Penganiayaan
Penganiayaan diartikan sebagai perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan
seseorang kepada orang lain dalam bentuk penyiksaan, penindasan, dan sebagainya.
Mengenai penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP, R. Soesilo dalam buku yang sama (hal.
245), berpendapat bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan
dengan penganiayaan itu. Menurut yurisprudensi, penganiayaan adalah sengaja menyebabkan
perasaan tidak enak/penderitaan, rasa sakit, atau luka.
Tindak pidana penganiayaan dapat terjadi secara sengaja dan terkadang karena kesalahan.
Penganiayaan yang disengaja mengindikasikan kesengajaan yang dilakukan oleh pelaku
dengan sikap permusuhan. Ada enam jenis-jenis bentuk tindak pidana penganiayaan, yaitu:
1. Penganiayaan biasa
Penganiayaan biasa tertuang di dalam Pasal 351 KUHP, yaitu hakikatnya semua
penganiayaan yang bukan penganiayaan berat dan bukan penganiayaan ringan. Dalam
penganiayaan biasa terbagi ke dalam beberapa jenis, yaitu:
1) Penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka berat maupun kematian dan
dihukum dengan hukuman penajara selama 2 tahun 8 bulan atau denda empat ribu
lima ratus rupiah.
2) Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya lima tahun.
3) Penganiayaan mengakibatkan kematian dan di hukum dengan hukuman penjara dan
selama-lamanya 7 tahun.
4) Penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan.
2. Penganiayaan ringan
Penganiayaan ringan diatur dalam Pasal 352 KUHP, penganiayaan ringan berupa
bukan penganiayaan berencana, bukan penganiayaan yang dilakukan terhadap
ibu/bapak/anak/istri, pegawai yang bertugas, memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa, serta
tidak menimbulkan penyakit maupun halangan untuk menjalankan pekerjaan, dan
pencaharian.
Penganiayaan ringan diancam maksimum hukuman penjara tiga bulan atau denda tiga
ratus rupiah apabila tidak masuk dalam rumusan Pasal 353 dan Pasal 356 KUHP, dan tidak
menyebabkan sakit atau halangan untuk menajalankan pekerjaan.
3. Penganiayaan berencana
Ada tiga macam penganiayaan berencana yang tertuang di dalam Pasal 353 KUHP,
yaitu penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian dan dihukum
penjara paling lama 4 tahun, lalu penganiayaan berencana yang berakibat luka berat dan
dihukum penjara selama-lamanya 4 tahun, serta penganiayaan berencana yang berakibat
kematian yang dapat dihukum penjara selama-lamanya 9 tahun. Seseorang yang melakukan
penganiayaan berencana melakukannya dengan kehendak dan suasana batin yang tenang.
4. Penganiayaan berat
Penganiayaan berat diatur dalam Pasal 354 KUHP yaitu barang siapa sengaja melukai
berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara
paling lama 8 tahun. Jika perbuatan tersebut mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 tahun. Perbuatan penganiayaan berat dilakukan dengan
sengaja oleh orang yang melakukannya.
Penganiayaan berat berencana tertuang dalam gabungan Pasal 354 ayat 1 KUHP
tentang penganiayaan berat dan Pasal 353 ayat 2 KUHP tentang penganiayaan berencana.
Dalam pidana ini harus memenuhi unsur penganiayaan berat maupun penganiayaan
berencana.
Pidana ini ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355 dan dapat ditambah dengan
sepertiga:
1. Bagi yang melakukan kejahatan itu kepada ibunya, bapaknya yang sah atau istri atau
anaknya.
2. Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan
tugasnya yang sah.
Jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa
atau kesehatan untuk dimakan atau diminum. Meningkatkan tingkat kejahatan di masyarakat
untuk menggelakkan kejahatan, yang merupakan salah satu hal yang terjadi secara teratur dan
hidup oleh masyarakat adalah kejahatan kekerasan atau penindasan. Tindakan hukuman tidak
hanya tentang bahaya tetapi juga menyakiti orang lain dan komunitas yang lebih luas.
Kejahatan kekerasan atau penangkapan selalu menjadi masalah yang membara di masyarakat.
Masalah-masalah ini muncul dan berkembang, dengan konsekuensi bagi diri mereka sendiri,
bagi pelaku dan bahkan lebih buruk bagi korban, mungkin mengarah pada bentuk teorema
fisik yang masih ada. Dalam berbagai referensi hukum Penganiayaan adalah istilah yang
digunakan oleh KUHP untuk merujuk pada pelanggaran terhadap tubuh.
Salah satu contoh penganiayaan yakni pelecehan. Pelecehan didefinisikan sebagai
tindakan yang dilakukan oleh individu terhadap orang lain yang mengakibatkan kerugian
fisik dan/atau mental. Pelecehan anak tidak hanya menyebabkan kerugian fisik dan mental,
tetapi juga menyebabkan masalah sosial.
Masalah Hak Asasi Manusia pada hakikatnya merupakan masalah manusia dan
kemanusiaan yang harus dihormati oleh setiap orang maupun lembaga. Permasalahan HAM
akan mencuat menjadi suatu masalah apabila dalam kehidupan bermasyarakat manusia ada
terjadi pelanggaran HAM. Gangguan terhadap hak seseorang bila tidak mendapatkan
penyelesaian akan menjadi konflik. Untuk itulah terdapat lembaga yang mempunyai tugas
dan wewenang untuk menyelesaikan konflik tersebut, salah satunya adalah lembaga
pengadilan, inilah yang disebut sebagai benteng terakhir orang mencari dan mendapatkan
keadilan.
UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM menyebutkan adanya beberapa hal yang
berkaitan dengan hak untuk mendapatkan keadilan. Hak- hak tersebut tentunya harus
dilaksanakan oleh setiap orang yang terkait, terlebih lagi para aparat penegak hukum.
Demikian juga halnya dengan lembaga hukum atau pengadilan yang menangani
permasalahan bila terjadi konflik, mengingat permasalahan HAM juga merupakan
permasalahan internasional.
Dalam pengertian tersebut diatas dapat diartikan bahwa pelaku pelanggaran HAM
mungkin dilakukan oleh orang perorang atau kelompok orang. Demikian juga dengan korban,
dan umumnya pada kasus pelanggaran HAM korban kesulitan untuk mendapatkan keadilan.
Pasal 7 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa: ”Setiap orang berhak untuk
menggunakan semua upaya hukum Nasional dan forum Internasional atas semua pelanggaran
HAM yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum Internasional mengenai hak asasi
manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia”.
2. Pasal 18 UU No 39 tahun 1999 menjelaskan: ”(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan,
dan dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah,
sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan
segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan
peraturn perundang- undangan; (2) Setiap orang tidak boleh dituntut, kecuali berdasarkan
suatu peraturan perundang- undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukan;
(3) Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang- undangan, maka berlaku ketentuan
yang paling menguntungkan bagi tersangka; (4) Setiap orang berhak mendapatkan bantuan
hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap; (5) Setiap orang tidak dapat dituntut untuk keduakalinya dalam
perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.
3. Hal – hal yang berkaitan dengan hukum keperdataan tercantum dalam pasal 19 UU No 39
tahun 1999: ”(1) Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman
berupa perampasan seluruh harta kekayaan milik yang bersalah; (2) Tidak seorangpun atas
putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidak-
mampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.
Dalam proses peradilan pidana, perlindungan terhadap hak- hak yang dimiliki
tersangka / terdakwa/ terpidana, tertuang dalam UU No 8 tahun 1981 tentang KUHAP yang
meliputi, (1)Perlakuan yang sama dimuka hukum tanpa diskriminasi apapun; (2)Praduga tak
bersalah; (3)Hak untuk memperoleh kompensasi (gati rugi) dan rehabilitasi; (4)hak untuk
memperoleh bantuan hukum; (5)Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan; (6)Peradilan
yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana; (7)Peradilan yang terbuka dan umum;
(8) Pelanggaran atas hak – hak terdakwa; (9)Penggeledahan dan penyitaan harus didasarkan
pada undang- undang dan dilakukan dengan surat perintah tertulis; (10)Hak seorang
PENUTUP