Anda di halaman 1dari 23

KEBIJAKAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

OLEH :
(KELOMPOK 5)

Andi Fausia Syam 220030301006


Ima Ismail 220030301020
Alya Misna Lutara 220030301004
Hasri Ainun 220030301015
Andi Bau Asni Syam 220030301005

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa terpanjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Pembelajaran berjudul
”Kebijakan Dan Perlindungan Anak”. Shalawat serta salam disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai Nabi penutup dan Rasul pemungkas serta pemimpin umat sampai
akhir zaman.
Materi yang dimuat dalam menyelesaikan tugas ini diupayakan mengacu kepada
silabus yang telah ditetapkan. Demikian juga, sumber penulis mengacu pada buku dan jurnal
tertulis. Semoga materi ini dapat diterima oleh mahasiswa-mahasiswi, dan bermanfaat
khususnya bagi kita semua.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan
kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Kekerasan Terhadap Anak ini
dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Makassar,20 Maret 2023

Kelompok 5
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, bahkan anak
dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda
lainnya. Karenanya, anak sebagai amanah Tuhan harus senantiasa dijaga dan dilindungi
karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus
dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat
dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak-
hak anak.

Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang
sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan,
yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan berkelanjutan dan
pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Isu utama
peningkatan kualitas hidup manusia suatu negara adalah bagaimana negara tersebut mampu
melakukan perlindungan anak yaitu, mampu memahami nilai-nilai hak-hak anak, mampu
mengimplementasikannya dalam norma hukum positif agar mengikat, mampu menyediakan
infrastruktur, dan mampu melakukan manajemen agar perlindungan anak di suatu negara
tercapai.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah


mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan terhadap
anak. Meskipun demikian, dipandang masih sangat diperlukan suatu Undang-Undang yang
khusus mengatur mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan
kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan Undang-Undang
perlindungan anak harus didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam
segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan Nasional, khususnya dalam
memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kekerasan fisik terhadap anak sangat bertentangan dengan undangundang yang


mengatur perlindungan anak. Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas
undang-undang nomor 23 tahun 2003 yang di dalamnya terdapat pasal 69 tentang
perlindungan anak yang mengatakan bahwa perlindungan bagi anak korban kekerasan fisik
dan psikis sebagaimana dimaksud pasal 59 ayat (2) huruf i dilakukan melalui upaya:
sosialisasi terhadap penyebarluasan ketentuan perundang-undangan yang melindungi anak
dari korban tindak kekerasan dan pemantauan, pelaporan, dan pemberian saksi.

Perlindungan terhadap anak dari tindakan kekerasan fisik sangatlah penting karena
pelanggaran yang dilakukan termasuk dalam bagian dari pelanggaran terhadap hak asasi
manusia. Selain itu, pelanggaran hak anak akan menghambat kelangsungan hidup anak dan
perkembangan anak karena anak yang mengalami kekerasan fisik akan mengalami rasa
trauma, serta resiko terhadap fisik buruk atas tindakan kekerasan fisik yang dialaminya.
BAB II
PEMBAHASAN

Pengetahuan umum mengartikan bahwa seseorang yang lahir dari hubungan pria dan
wanita, itulah yang dimaksud dengan anak adalah Sedangkan cakupan lebih luasnya dari
juvenale atau biasa disebut anak-anak adalah seseorang yang belum dewasa serta belum
pernah kawin dan masih berada dibawah umur tertentu. Beberapa undang-undang juga
memberikan “definisi anak” (i) Anak Menurut Undang-Undang Perkawinan Undang-undang
Pokok Perkawinan (Undang-undang Tahun 1974 Nomor 1) mengatakan, bahwa seorang laki-
laki hanya dapat diizinkan untuk kawin apabila bagi yang bersangkutan telah mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun dan bagi pihak perempuan telah mencapai usia 16 (enam belas)
tahun. Penyimpangan akan hal tersebut hanya boleh dimintakan dispensasinya kepada
Pengadilan Negeri. (tertulis dalam Pasal 7 ayatnya ke-1).
A. Resiko Terhadap Anak
1. Diskriminasi
Diskriminasi adalah setiap tindakan yang melakukan pembedaan terhadap seseorang
atau sekelompok orang berdasarkan ras, agama, suku, kelompok,golongan, status sosial, kelas
sosial, jenis kelamin, kondisi fisik tubuh, orientasi seksual, pandangan ideologi dan politik,
batas negara, serta kebangsaan seseorang(Elly M. Setiadi dkk, 2006).
Kemudian menurut undang-undang, diskriminasi adalah setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan
manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan,status sosial, status ekonomi,
jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau
penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik,
ekonomi,hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”. (Pasal 1 Ayat (3) UU Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Adapun contoh perilaku diskriminasi di
lingkungan sekolah perbedaan perlakuan pendidik kepada anak yang memiliki wali/orang tua
berdasarkan status sosial.
2. Penelantaran
Penelantaran hak-hak anak adalah merupakan kekerasan sosial pada anak. Dalam usia
yang tidak layak anak harus bekerja membanting tulang, yang tidak saja dapat merugikan
fisiknya namun juga secara psikis anak. Secara fisik, tubuh anak yang belum berkembang
sempurna, tinggi dan berat badan yang belum berkembang optimal, tulangnya yang masih
kecil dan belum mampu mengangkat beban yang berat, pikirannya juga belum dewasa untuk
menerima pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh orang dewasa. Hal ini tentu saja dapat
mempengaruhi tumbuh kembang fisik anak, yang kemungkinan bisa saja karena sering
menerima dan memikul beban berat, tubuh anak berkembang tidak sempurna. Selain itu, anak
yang seharusnya belajar untuk mempersiapkan masa depan yang gemilang, pada akhirnya
tidak mempunyai kesempatan belajar apalagi untuk bermain dan bersosialisasi bersama
teman-temannya. Banyak waktu anak-anaknya akan terkorbankan karena penelantaran yang
dilakukan oleh orangtua (Arif Gosita, 2002: 287). Adapun contoh dari penelantaran terhadap
anak salah satunya penelantaran anak atau pembiaran yang dilakukan orang tua kepada
anaknya dicibubur hasil visum membuktikan tidak adanya bentuk kekerasan terhadap fisik
anak, namun penelantaran/pembiaran tersebut berakibat pada kondisi gizi anak yang buruk
sehingga dapat berdampak pidana bagi orang tua.
3. Eksploitasi
Masalah pekerja anak adalah masalah yang berhubungan dengan kemiskinan dan
keterbelakangan. Sebagian besar anak bekerja karena keluarga mereka miskin. System
kesejahteraan sosial yang ada belum memadai atau belum dapat menjawab tantangan yang
ada. Banyak anak-anak menerjuni bursa kerja karena tidak tersedianya sekolah, jumlahnya
tidak cukup, atau mahal. Kemiskinan, kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan,
dibarengi dengan lemahnya perlindungan hukum serta tidak adanya pelaksanaan undang-
undang yang efektif, menyebabkan permasalahan menjadi semakin berat.2 Dalam pasal 64
undang-undang nomor 39 tahun 1999 bahwa “setiap anak berhak untuk mendapatkan
perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan
dirinya sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan, fisik, moral, kehidupan sosial,
dan mental spiritualnya.” Dan dalam pasal 65 undang-undang nomor 39 tahun 1999
ditentukan pula bahwa “setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan
eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk
penyalahgunaan narkotika,psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Meskipun masih anak-anak,
hukum harus dapat menjamin terwujudnya hak anak yang paling asasi untuk mendapatkan
pekerjaan dan oleh karenanya juga mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Masa depan anak tidak lagi ditentukan oleh kekuatan orang tua, keluarga, masyarakat,
apalagi Negara. Tetapi sebaliknya orang tua, keluarga, masyarakat dan Negara, mempunyai
kewajiban untuk menjamin terwujudnya hak anak yang paling asasi yakni mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Contoh kasus eksploitasi yang
terjadi oknum pendeta Sulawesi Utara cabuli-eksploitasi anak asuh.
Eksploitasi pada tenaga kerja anak dapat menimbulkan berbagai gangguan pada anak
baik fisik maupun mental. Beberapa dampak dari eksploitasi anak terhadap tumbuh
kembangnya adalah:
1) Pertumbuhan fisik termasuk kesehatan secara menyeluruh, kekuatan, penglihatan
dan pendengaran.

2) Pertumbuhan kognitif termasuk melek huruf, melek angka, dan memperoleh


pengetahuan yang diperlukan untuk kehidupan normal

3) Pertumbuhan emosional termasuk harga diri, ikatan kekeluargaan, perasaan


dicintai dan diterima secara memadai

4) Pertumbuhan sosial serta moral termasuk rasa identitas kelompok, kemauan untuk
bekerja sama dengan orang lain dan kemauan membedakan yang benar dan yang
salah.

B. Resiko Terhadap Anak


1. Kekejaman
Kekejaman adalah kesenangan dalam menimbulkan penderitaan atau kelambanan
terhadap penderitaan orang lain ketika obat yang jelas sudah tersedia. Sadisme juga dapat
dikaitkan dengan bentuk tindakan atau konsep ini. Dari segi psikologis biasanya korban
merasa sangat marah, jengkel, merasa bersalah, malu, dan terhina. Gangguan emosi ini
biasanya menyebabkan terjadinya kesulitan tidur (insomnia), kehilangan nafsu makan,
depresi, stres, dan ketakutan. Bila dampak ini berkepanjangan hingga lebih dari 30 hari dan
diikuti dengan berbagai gejala yang akut seperti mengalami mimpi buruk, ingatan-ingatan
terhadap peristiwa tiba-tiba muncul, berarti korban mengalami Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD) atau dalam bahasa Indonesianya dikenal sebagai stres paska trauma
(Hayati, 2000). Bukan tidak mungkin korban merasa ingin bunuh diri sebagai pelarian dari
masalah yang dihadapinya.
Menurut Freud (dalam Suryabrata, 1995), hal ini terjadi karena manusia memiliki
instinginsting mati. Selain itu kecemasan yang dirasakan oleh korban merupakan kecemasan
yang neurotis sebagai akibat dari kekejaman yang tidak sesuai dengan norma masyarakat.
2. Kekerasan
Kekerasan di dalam Bahasa Inggris diberikan istilah “violence” lalu pengertian secara
etimologis kata violence gabungan dari kata “vis” diartikan kekuatan atau daya serta “latus”
yang berasal dari kata “ferre” yang berarti membawa, sehingga dapat disimpulkan bahwa
violence merupakan suatu persepsi yang membawa kekuatan untuk melakukan suatu
tindakan. Menurut Chawazi kekerasan diartikan perlakuan yang menyimpang serta
mengakibatkan luka dan menyakiti orang lain. Perbuatan yang sengaja dilakukan bertujuan
untuk menimbulkan atau memberikan rasa sakit ataupun luka pada tubuh orang lain
diidentikkan dengan penganiayaan, kekerasan dapat juga menimbulkan penganiayaan.
Dalam hubungan konteks pertanggungjawaban, dan kepercayaan, ataupun kekuasaan
(medical abuse) maka tindakan kekerasan yang dilakukan orang dewasa kepada seorang anak
dapat dikatakan sebagai suatu perlakuan yang benar-benar sangat menyakitkan baik secara
fisik maupun emosional, seksual dan penyalahgunaannya, eksploitasi yang komersial atau
eksploitasi yang lain, dan mengakibatkan cidera/kerugian secara nyata dan potensial yang
berdampak pada kesehatan anak, kelangsungan terhadap kehidupan anak, pertumbuhan,
perkembangan dan martabat hidup anak.
Soeroso memberikan pendapat bahwa kekerasan terhadap anak adalah setiap
perbuatan yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi pada anak yang
berakibat penderitaan bahkan kesengsaraan secara fisik dan psikis. Sedangkan kekerasan
yang merupakan tindakan fisik secara langsung sangat bisa dirasakan akibatnya oleh korban
anak serta dapat juga dilihat oleh siapapun juga, namun, bisa juga dapat berupa perbuatan non
fisik (psikis) yang bisa langsung merasakan hanyalah korban, dikarenakan tindakan tersebut
secara langsung berkaitan dengan menyinggung perasaan anak atau hati nurani seseorang
yang mengalaminya tindakan psikis tersebut.
Kekerasan yang berupa tindak pidana dilakukan terhadap anak karena kekerasan
merupakan suatu obyek dimana anak sebagai tujuan atau sasaran kekejaman dan perilaku
seseorang yang mengakibatkan cacat bahkan mengalami suatu penderitaan baik secara psikis,
fisik, maupun sosial, anak bisa mengalami trauma dan depresi, dan bahkan dapat
menghilangkan nyawa atau kematian bagi anak. Kekerasan dalam bentuk seksual, ataupun
kata-kata yang tidak senonoh atau kasar, penelantaran anak, tenaga anak dieksploitasi untuk
bekerja, juga merupakan bentuk kekerasan pada anak. hal tersebut tidak biasanya dilakukan
oleh orang tua, orang tua asuh dan keluarga, bahkan tetangga di sekitar rumah atau
lingkungan.
Menurut Suharto (Huraerah, 2012) faktor yang mendorong terjadinya tindak
kekerasan pada anak yaitu, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal disebabkan
karena kondisi cacat mental dan fisik pada diri korban. Cacat mental dan fisik dimana kondisi
anak mengalami keterbelakangan mental yang mengakibatkan anak sulit berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya dan anak mengalami masalah perkembangan.
Faktor eksternal disebabkan oleh dorongan situasi diluar korban, (kemiskinan,
budaya, dll). Kemisikinan merupakan penyebab terkuat terjadinya tindak kekerasan terhadap
anak karena faktor ini berhubungan kuat dengan kelangsungan hidup. Desakan ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin hari semakin meningkat, maka pelaku yang
merupakan ibu rumah tangga, yang seharusnya menjaga dan melindungi anak menjadi hilang
akal. Mereka melampiaskan dengan melakukan kekerasan terhadap anak.
Anak yang mendapatkan kekerasan dari anggota keluarga terutama oleh ibu, dapat
menimbulkan dampak yang merugikan terhadap anak. Pasalbessy (2010) menyatakan bahwa
tindak kekerasan akan berdampak pada kurangnya rasa percaya diri, menghambat
kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial, mengganggu kesehatannya,
mengurangi otonomi, baik di bidang ekonomi, politik, sosial budaya serta fisik, kepercayaan
pada diri sendiri dalam pertumbuhan jiwanya akan terganggu dan dapat menghambat proses
perkembangan jiwa dan masa depannya.
Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya
tanda atau luka pada tubuh sang anak. Jika kekerasan terhadap anak di dalam rumah tangga
dilakukan oleh orang tua, maka hal tersebut dapat disebut kekerasan dalam rumah tangga.
Tindak kekerasan anak yang termasuk di dalam tindakan kekerasan rumah tangga adalah
memberikan penderitaan baik secara fisik maupun mental di luar batas-batas tertentu
terhadap anak. Namun, orang tua menyikapi hal tersebut adalah proses mendidik anak,
padahal itu adalah salah satu tindak kekerasan terhadap anak. Bagi orangtua, tindakan anak
yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum.
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan
perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas Perlindungan Anak (dalam
Nataliani, 2004) mencatat, seorang anak yang berumur 9 tahun yang menjadi korban
kekerasan, memiliki keinginan untuk membunuh ibunya. Bayangkan bagaimana seorang
anak menjadi sangat membenci dan tidak bersimpati terhadap dunia sekitarnya, khususnya
pihak yang memberikan perilaku kekerasan padanya. Bila yang melakukan itu adalah kedua
orang tuanya, maka jelas anak tersebut bisa menjadi sosok yang sangat menentang bahkan
melawan orang tuanya.
Lebih lanjut Hoesin (2006) melihat kekerasan anak sebagai bentuk pelanggaran
terhadap hak-hak anak dan dibanyak negara dikategorikan sebagai kejahatan sehingga untuk
mencegahnya dapat dilakukan oleh para petugas hukum. Sedangkan Patilima (2003)
menganggap kekerasan merupakan perlakuan yang salah dari orang tua. Patilima
mendefinisikan perlakuan yang salah pada anak adalah segala perlakuan terhadap anak yang
akibat dari kekerasannya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara
fisik, psikologi sosial maupun mental.
Rasa sakit hati yang disimpan oleh anak ini akan sangat berpengaruh pada kehidupan
psikologisanak. Meski kondisi lingkungan, pendidikan dan pergaulan juga sangat
berpengaruh.

Beberapa hal yang mungkin terjadi :


1. Anak menjadi penakut dan sulit mengambil keputusan.
2. Anak menjauhkan diri dari pergaulan dengan teman sebaya.
3. Anak menjadi agresif.
4. Anak suka mencederai atau menyakiti orang lain.
5. Anak melakukan penyimpangan seksual.
6. Anak menjadi pengguna narkoba.
7. Anak depresi dan bahkan ingin bunuh diri.
Banyak orang tua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka
beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orang
tua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan,
perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang
anaknya. Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di
lingkungan keluarga dan masyarakat.Sudah tentu dalam proses belajar, anak cenderung
melakukan kesalahan. Namun, dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih mengetahui
tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau tidak patut. Namun,
orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah ini dengan kekerasan. Bagi orangtua,
tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum.Kekerasan anak dapat terjadi
dimana saja, dan oleh siapa saja. Di rumah kekerasan biasanya dilakukan oleh orang tua,
kakak, dan pembantu. Sedangkan di lingkungan sekolah kekerasan tersebut dapat dilakukan
oleh guru, teman-teman, dan kakak kelasnya. Dan juga di di lingkungan tempat dia bermain
kekerasan juga dapat terjadi.

Pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya adalah :


1. Kekerasan dalam rumah tangga, yaitu dalam keluarga terjadi kekerasan yang
melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara yang lainnya. Kondisi ini
kemudian menyebabkan kekerasan terjadi juga pada anak. Anak seringkali
menjadi sasaran kemarahan orang tua.
2. Disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana
seharusnya. Adanya Disfungsi peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan
peran ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi.
3. Faktor ekonomi. Tertekannya kondisi keluarga yang disebabkan himpitan
ekonomi adalah faktor yang banyak terjadi.
4. Anak memiliki cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme,
terlalu lugu,memiliki tempramental lemah, ketidak tahuan anak terhadap hak-
haknya, dan terlalu bergantung kepada orang dewasa.
5. Keluarga pecah (broken home) akibat perceraian, ketiadaan ibu atau ayah
dalam jangka panjang.
6. Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidakmampuan mendidik
anak, harapan orang tua yang tidak realistis terhadap anak, anak lahir di luar
nikah.
7. Penyakit gangguan mental pada salah satu orangtua.
8. Orangtua yang dulu sering ditelantarkan atau mendapatkan perlakuan
kekerasan , sering memperlakukan anaknya dengan perlakuan yang sama.

Kekerasan terhadap anak terbagi atas kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan
seksual,dan penelantaran. Namun kekerasan yang satu dengan yang lain saling berhubungan.
Jika anak menderita kekerasan fisik, pada saat bersamaan anak juga menderita kekerasan
emosional.Sementara jika anak mengalami kekerasan seksual, selain menderita kekerasan
emosional, anak juga akan mengalami penelantaran.
Secara umum, anak yang mengalami kekerasan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
● Menunjukan perubahan perilaku dan kemampuan belajar.
● Tidak memperoleh bantuan untuk masalah fisik dan masalah kesehatan yang
seharusnya menjadi perhatian orangtua.
● Memiliki gangguan belajar atau sulit berkonsentrasi.
● Selalu curiga dan siaga terhadap orang lain.
● Kurangnya pengarahan dari orang tua.
● Selalu mengeluh, pasif atau menghindar.
● Datang ke sekolah atau tempat aktivitas lebih awal dan pulang terakhir,
bahkan sering tidak mau pulang ke rumah.
Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Anak
1. Kekerasan Fisik : dianiaya, dipukul, dijambak, ditendang, diinjak, dicubit, dicekik,
dicakar,dijewer, disetrika, disiram air panas, dll.
2. Kekerasan Psikis : dihina, dicaci maki, diejek, dipaksa melakukan sesuatu yang tidak
dikehendaki, dibentak, dimarahi, dihardik, diancam, dipaksa bekerja menjadi
pemulung,dipaksa mengamen, dipaksa menjadi pembantu rumah tangga, dipaksa
mengemis, dll.
3. Kekerasan Seksual : diperkosa, disodomi, diraba-raba alat kelaminnya, diremas-remas
payudaranya, dicolek pantatnya, diraba-raba pahanya, dipaksa melakukan oral sex,
dijual pada mucikari, dipaksa menjadi pelacur, dipaksa bekerja diwarung remang-
remang dan pelecehan seksual lainnya.
4. Penelantaran : Kurang memberikan perhatian dan kasih sayang yang dibutuhkan
anak,tidak memperhatikan kebutuhan makan, bermain, rasa aman, kesehatan,
perlindungan(rumah) dan pendidikan, mengacuhkan anak, tidak mengajak bicara, dll.

C. Dampak Kekerasan Anak

Moore (dalam Nataliani, 2004) menyebutkan bahwa efek tindakan dari korban
penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi
negatif dan agresif serta mudah frustasi, ada yang menjadi sangat pasif dan apatis, ada yang
tidak mempunyai kepribadian sendiri, ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain dan
ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu Moore
juga menemukan adanya kerusakan fisik,seperti perkembangan tubuh kurang normal juga
rusaknya sistem saraf.
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan
perilaku menyimpang di kemudian hari. Dampak kekerasan pada anak yang diakibatkan oleh
orang tuanya sendiri atau orang lain sangatlah buruk antara lain:

1. Agresif Sikap ini biasa ditujukan anak kepada pelaku kekerasan. Umumnya
ditujukan saat anak merasa tidak ada orang yang bisa melindungi dirinya. Saat
orang yang dianggap tidak bisa melindunginya itu ada di sekitarnya, anak akan
langsung memukul atau melakukan tindak agresif terhadap si pelaku. Tetapi
tidak semua sikap agresif anak muncul karena telah mengalami tindak
kekerasan.
2. Murung/Depresi Kekerasan mampu membuat anak berubah drastis seperti
menjadi anak yang memiliki gangguan tidur dan makan, bahkan bisa disertai
penurunan berat badan. Ia akan menjadi anak yang pemurung, pendiam, dan
terlihat kurang ekspresif.
3. Memudah menangis Sikap ini ditunjukkan karena anak merasa tidak nyaman
dan aman dengan lingkungan sekitarnya. Karena dia kehilangan figur yang
bisa melindunginya, kemungkinan besar pada saat dia besar, dia tidak akan
mudah percaya pada orang lain.
4. Melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain Dari semua ini anak dapat
melihat bagaimana orang dewasa memperlakukannya dulu. Ia belajar dari
pengalamannya, kemudian bereaksi sesuai dengan apa yang dia alami.

Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan berdasarkan masing-masing


bentuk kekerasan terhadap anak, antara lain :
1) Dampak kekerasan fisik , anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang
tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan
berlaku kejam kepada anak-anaknya.Orang tua agresif melahirkan anak-anak
yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi
agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis
gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima
manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-
ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap
anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban
meninggal dunia.
2) Dampak kekerasan psikis . Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering
dimarahi orangtuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru
perilaku buruk, seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali),
penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk),kecanduan alkohol dan
obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia
(1991),kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak
meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini
meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam
beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina
persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan
obat dan alkohol,ataupun kecenderungan bunuh diri.
3) Dampak kekerasan seksual . Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara
korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa
rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah
dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan Eksploitasi seksual yang dialami
semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan
dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil
pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak
ngompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur,
kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau
adanya masalah kulit, dll (dalam Nadia, 1991).
4) Dampak penelantaran anak . Pengaruh yang paling terlihat jika anak
mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua
terhadap anak, Hurlock (1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari
orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman,
gagalmengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami
masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.

D. Upaya Mengatasi Masalah Kekerasan Terhadap Anak


Jika kekerasan terhadap anak terus di terapkan, maka anak-anak akan terbiasa dengan
pola hidup kekerasan, mereka akan menerapkan tindakan kekerasan dalam masyarakat,
sehingga bisa jadi makin banyak terjadinya kerusuhan, keributan, dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan kekerasan. Oleh sebab itu harus ada upaya untuk menghapuskan pola
kekerasan ini.

Upaya perlindungan yang dapat dilakukan berkaitan dengan kekerasan anak ini dapat
dilakukan dengan pendekatan kesehatan pada masyarakat, yaitu melalui usaha promotif,
preventif, diagnosis,kuratif, dan rehabilitatif. Dua usaha yang pertama ditujukan kepada anak
yang belum menjadi korban kekerasan, melalui kegiatan pendidikan masyarakat dengan
tujuan menyadarkan masyarakat bahwa kekerasan pada anak merupakan penyakit masyarakat
yang akan menghambat tumbuhkembang anak secara optimal, oleh karena itu harus di
hapuskan. Sedangkan dua usaha yang terakhir tujukan bagi anak yang sudah menjadi korban
kekerasan, dengan tujuan memberikan pengobatan baik secara fisik dan psikologis anak,
dengan tujuan meng-reintegrasi korban ke dalam lingkungan semula. Upaya menurunkan
tingkat kekerasan terhadap anak di Indonesia dapat dilakukan oleh orangtua, guru sebagai
pendidik, masyarakat dan pemerintah.
Pertama, orangtua.

Para orang tua seharusnya lebih memperhatikan kehidupan anaknya. Orang Tua
Dituntut untuk mendidik dan menyayangi anak-anaknya. Jangan membiarkan anak hidup
dalam kekangan mental maupun fisik. Sikap memarah-marahi anak habis-habisan, apalagi
melakukan tindakan kekerasan bukanlah tindakan yang bijaksana sebagai orangtua, karena
hal itu hanya membuat anak merasa tidak diperhatikan dan tidak di sayangi. Akhirnya anak
merasa trauma, dan bahkan putus asa. Sangat penting untuk disadari bahwa anak di lahirkan
ke dunia ini memiliki hak untuk mendapatkan pengasuhan yang baik, kasih sayang, dan
perhatian. Anak juga memiliki hak mendapatkan pendidikan yang baik di keluarga maupun di
sekolah, juga mendapatkan nafkah.Bagaimanapun juga, tidak wajib seorang anak menafkahi
dirinya sendiri, sehingga ia harus kehilangan hak-haknya sebagai anak, karena harus
membanting untuk menghidupi diri atau bahkan untuk keluarganya. Dalam kasus kekerasan
terhadap anak ini, siklus kekerasan dapat berkembang dalam keluarga. Individu yang
mengalami kekerasan orang tuanya, akan melakukan hal yang sama pada anaknya kelak.
Oleh karena itu penting untuk disadari bahwa perilaku mereka merupakan hal yang dapat
ditiru oleh anak-anak mereka, sehingga mereka mampu menghindari perilaku yang kurang
baik.Kedua, guru. Peran seorang guru dituntut untuk menyadari bahwa pendidikan bukan saja
membuat anak menjadi pintar, tetapi juga harus melatih sikap, dan mental anak didiknya.
Peran guru dalam memahami siswanya sangat penting. Sikap arif, bijaksana dan toleransi
sangat diperlukan,sehingga ia dapat bertindak dan bersikap bijaksana dalam menghadapi
anak didiknya.Ketiga, masyarakat. Anak-anak kita ini selain berhadapan dengan orangtua dan
guru, mereka tidak lepas dari kehidupan bermasyarakat. Untuk itu diperlukan kesadaran dan
kerjasama dari berbagai elemen dalam masyarakat untuk turut memberikan nuansa
pendidikan yang positif bagi anak-anak.Salah satu elemen tersebut adalah stasiun TV., karena
pengaruh media terhadap perilaku anak cukup besar. Berbagai tayangan kriminal di TV ,
tanpa kita sadari telah menampilkan potret-potret kekerasan yang dapat mempengaruhi
mental dan kepribadian anak. Penyelenggara TV bertanggung jawab untuk memberikan
tayangan yang mengandung edukasi yang positif.Keempat, pemerintah. Pemerintah adalah
pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap permasalahan rakyatnya, termasuk untuk
menjamin masa depan bagi anak-anak kita sebagai generasi penerus.

3. Penganiayaan
Penganiayaan diartikan sebagai perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan
seseorang kepada orang lain dalam bentuk penyiksaan, penindasan, dan sebagainya.
Mengenai penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP, R. Soesilo dalam buku yang sama (hal.
245), berpendapat bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan
dengan penganiayaan itu. Menurut yurisprudensi, penganiayaan adalah sengaja menyebabkan
perasaan tidak enak/penderitaan, rasa sakit, atau luka.
Tindak pidana penganiayaan dapat terjadi secara sengaja dan terkadang karena kesalahan.
Penganiayaan yang disengaja mengindikasikan kesengajaan yang dilakukan oleh pelaku
dengan sikap permusuhan. Ada enam jenis-jenis bentuk tindak pidana penganiayaan, yaitu:
1. Penganiayaan biasa
Penganiayaan biasa tertuang di dalam Pasal 351 KUHP, yaitu hakikatnya semua
penganiayaan yang bukan penganiayaan berat dan bukan penganiayaan ringan. Dalam
penganiayaan biasa terbagi ke dalam beberapa jenis, yaitu:

1) Penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka berat maupun kematian dan
dihukum dengan hukuman penajara selama 2 tahun 8 bulan atau denda empat ribu
lima ratus rupiah.
2) Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya lima tahun.
3) Penganiayaan mengakibatkan kematian dan di hukum dengan hukuman penjara dan
selama-lamanya 7 tahun.
4) Penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan.

2. Penganiayaan ringan
Penganiayaan ringan diatur dalam Pasal 352 KUHP, penganiayaan ringan berupa
bukan penganiayaan berencana, bukan penganiayaan yang dilakukan terhadap
ibu/bapak/anak/istri, pegawai yang bertugas, memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa, serta
tidak menimbulkan penyakit maupun halangan untuk menjalankan pekerjaan, dan
pencaharian.

Penganiayaan ringan diancam maksimum hukuman penjara tiga bulan atau denda tiga
ratus rupiah apabila tidak masuk dalam rumusan Pasal 353 dan Pasal 356 KUHP, dan tidak
menyebabkan sakit atau halangan untuk menajalankan pekerjaan.

3. Penganiayaan berencana

Ada tiga macam penganiayaan berencana yang tertuang di dalam Pasal 353 KUHP,
yaitu penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian dan dihukum
penjara paling lama 4 tahun, lalu penganiayaan berencana yang berakibat luka berat dan
dihukum penjara selama-lamanya 4 tahun, serta penganiayaan berencana yang berakibat
kematian yang dapat dihukum penjara selama-lamanya 9 tahun. Seseorang yang melakukan
penganiayaan berencana melakukannya dengan kehendak dan suasana batin yang tenang.

4. Penganiayaan berat

Penganiayaan berat diatur dalam Pasal 354 KUHP yaitu barang siapa sengaja melukai
berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara
paling lama 8 tahun. Jika perbuatan tersebut mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 tahun. Perbuatan penganiayaan berat dilakukan dengan
sengaja oleh orang yang melakukannya.

5. Penganiayaan berat berencana

Penganiayaan berat berencana tertuang dalam gabungan Pasal 354 ayat 1 KUHP
tentang penganiayaan berat dan Pasal 353 ayat 2 KUHP tentang penganiayaan berencana.
Dalam pidana ini harus memenuhi unsur penganiayaan berat maupun penganiayaan
berencana.

6. Penganiayaan terhadap orang

Pidana ini ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355 dan dapat ditambah dengan
sepertiga:

1. Bagi yang melakukan kejahatan itu kepada ibunya, bapaknya yang sah atau istri atau
anaknya.
2. Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan
tugasnya yang sah.

Jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa
atau kesehatan untuk dimakan atau diminum. Meningkatkan tingkat kejahatan di masyarakat
untuk menggelakkan kejahatan, yang merupakan salah satu hal yang terjadi secara teratur dan
hidup oleh masyarakat adalah kejahatan kekerasan atau penindasan. Tindakan hukuman tidak
hanya tentang bahaya tetapi juga menyakiti orang lain dan komunitas yang lebih luas.
Kejahatan kekerasan atau penangkapan selalu menjadi masalah yang membara di masyarakat.
Masalah-masalah ini muncul dan berkembang, dengan konsekuensi bagi diri mereka sendiri,
bagi pelaku dan bahkan lebih buruk bagi korban, mungkin mengarah pada bentuk teorema
fisik yang masih ada. Dalam berbagai referensi hukum Penganiayaan adalah istilah yang
digunakan oleh KUHP untuk merujuk pada pelanggaran terhadap tubuh.
Salah satu contoh penganiayaan yakni pelecehan. Pelecehan didefinisikan sebagai
tindakan yang dilakukan oleh individu terhadap orang lain yang mengakibatkan kerugian
fisik dan/atau mental. Pelecehan anak tidak hanya menyebabkan kerugian fisik dan mental,
tetapi juga menyebabkan masalah sosial.

2. Pengaturan Sanksi Pidana Terhadap orang tua yang melakukan penganiayaan


terhadap anaknya
Akibatnya, banyak insiden kekerasan dan perilaku kriminal terhadap anak menjadi
sorotan hangat berbagai gender. Hal ini dilihat sebagai tanda lemahnya perangkat hukum dan
perlindungan anak. Tetapi juga memberikan prosedur peradilan (hukum/acara resmi),
kompensasi, seleksi, dan perlindungan diri korban yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia seperti KUHP.

3. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Mendapat Penganiayaan


Berdasarkan filosofi metodologi hukum tertulis, ada dua masalah utama dalam kajian
filosofis hukum. Dua isu utama yang dianalisis adalah: isu sejarah, yaitu perjuangan ideologis
dalam aliran filsafat hukum yang berkaitan dengan hukum sepanjang peradaban manusia;
masalah tematik, yaitu kajian tentang perbedaan pandangan terhadap topik-topik pokok
masalah pokok filsafat hukum. (Atmadja et al., 2019). Perlindungan dari hukum yang
menindas. Perlindungan hukum represif merupakan upaya terakhir dalam bentuk sanksi
seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan jika terjadi perselisihan atau
pelanggaran. (Muchsin, 2018).
4. Sanksi Hukum Terhadap Orang Tua Yang Melakukan Penganiayaan terhadap anaknya
menurut UU Perlindungan anak
Gisulti Ni Philipus M. Hadjon, ingon niini: Upaya hukum. Dalam upaya pembelaan
hukum yang hati-hati ini, badan hukum diberi kesempatan untuk memprotes atau menyatakan
pendapat sebelum keputusan pemerintah tersebut final. Tujuannya untuk menghindari
konflik. Perlindungan hukum preventif penting bagi tindakan pemerintah berdasarkan
kebebasan bertindak, karena merupakan perlindungan hukum preventif. Indonesia tidak
memiliki ketentuan khusus tentang perlindungan preventif (Hadjon, 1987). Sarana
perlindungan terhadap hukum represif. Melindungi hukum represi untuk menyelesaikan
perselisihan. Sikap terhadap perlindungan hukum oleh peradilan umum dan peradilan tata
usaha negara di Indonesia termasuk dalam kategori perlindungan hukum ini. Asas
perlindungan hukum terhadap tindakan-tindakan pemerintah didasarkan dan bersumber dari
konsep pengakuan hak asasi manusia dan hak asasi manusia, karena dalam sejarah Barat,
hak-hak visioner terjalin dengan hak-hak visioner. Penerapan hak publik. Ikatan bahasa. Asas
kedua, yang menjadi dasar perlindungan hukum administrasi publik, adalah supremasi
hukum. Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia Posisi sentral pengakuan dan
perlindungan hak asasi manusia dan tujuan negara hokum (Hadjon, 1987). Ada dasar hukum
bagi perlindungan anak nasional. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 merupakan dasar konstitusi, dan KUHP memuat ketentuan-ketentuan yang menjamin
hak atas perlindungan anak. Pemerintah Indonesia juga telah memberlakukan berbagai
peraturan perundang-undangan mengenai upaya korban untuk melindungi anak. Hukum
tersebut antara lain: Hukum. Bersama dengan UU No. 13 Tahun 2006. Undang-Undang
Nomor 31 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Tahun 2014. Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dengan dihapuskannya KDRT, UU No.
23 Tahun 2004, UU HAM Tahun 1999, No. 39 dan UU yang secara khusus mengatur tentang
perlindungan hukum terhadap anak, khususnya UU No. 35 Tahun 2014, 2002 UU No. 23 .
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Setidaknya ada dua aspek dalam kegiatan perlindungan anak. Kebijakan perlindungan
anak menyatakan aspek pertama mengacu pada peraturan perundang-undangan ug. Aspek
kedua berkaitan dengan implementasi kebijakan dan peraturan tersebut. Perbedaan antara
kisi-kisi tersebut adalah yang pertama adalah adanya ketentuan hukum yang mengatur
tentang perlindungan anak, dan yang kedua adalah pelaksanaan undang-undang tersebut.
(Nashriana, 2019).

4. Perlakuan tidak adil

Masalah Hak Asasi Manusia pada hakikatnya merupakan masalah manusia dan
kemanusiaan yang harus dihormati oleh setiap orang maupun lembaga. Permasalahan HAM
akan mencuat menjadi suatu masalah apabila dalam kehidupan bermasyarakat manusia ada
terjadi pelanggaran HAM. Gangguan terhadap hak seseorang bila tidak mendapatkan
penyelesaian akan menjadi konflik. Untuk itulah terdapat lembaga yang mempunyai tugas
dan wewenang untuk menyelesaikan konflik tersebut, salah satunya adalah lembaga
pengadilan, inilah yang disebut sebagai benteng terakhir orang mencari dan mendapatkan
keadilan.

UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM menyebutkan adanya beberapa hal yang
berkaitan dengan hak untuk mendapatkan keadilan. Hak- hak tersebut tentunya harus
dilaksanakan oleh setiap orang yang terkait, terlebih lagi para aparat penegak hukum.
Demikian juga halnya dengan lembaga hukum atau pengadilan yang menangani
permasalahan bila terjadi konflik, mengingat permasalahan HAM juga merupakan
permasalahan internasional.

Pasal 1 angka 6 UU No 39 tahun 1999, menyebutkan bahwa: ”Pelanggaran HAM


adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau sekelompok
orang yang dijamin oleh undang- undang ini, dan tidak mendapatkan penyelesaian hukum
yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.

Dalam pengertian tersebut diatas dapat diartikan bahwa pelaku pelanggaran HAM
mungkin dilakukan oleh orang perorang atau kelompok orang. Demikian juga dengan korban,
dan umumnya pada kasus pelanggaran HAM korban kesulitan untuk mendapatkan keadilan.
Pasal 7 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa: ”Setiap orang berhak untuk
menggunakan semua upaya hukum Nasional dan forum Internasional atas semua pelanggaran
HAM yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum Internasional mengenai hak asasi
manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia”.

Berakaitan dengan hak asasi manusia,


1. Pasal 17 UU No 39 tahun 1999 menjelaskan: ”Setiap orang tanpa diskriminasi berhak
untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik
dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan
yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan
yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan
benar”.

2. Pasal 18 UU No 39 tahun 1999 menjelaskan: ”(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan,
dan dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah,
sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan
segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan
peraturn perundang- undangan; (2) Setiap orang tidak boleh dituntut, kecuali berdasarkan
suatu peraturan perundang- undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukan;
(3) Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang- undangan, maka berlaku ketentuan
yang paling menguntungkan bagi tersangka; (4) Setiap orang berhak mendapatkan bantuan
hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap; (5) Setiap orang tidak dapat dituntut untuk keduakalinya dalam
perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.

3. Hal – hal yang berkaitan dengan hukum keperdataan tercantum dalam pasal 19 UU No 39
tahun 1999: ”(1) Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman
berupa perampasan seluruh harta kekayaan milik yang bersalah; (2) Tidak seorangpun atas
putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidak-
mampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.
Dalam proses peradilan pidana, perlindungan terhadap hak- hak yang dimiliki
tersangka / terdakwa/ terpidana, tertuang dalam UU No 8 tahun 1981 tentang KUHAP yang
meliputi, (1)Perlakuan yang sama dimuka hukum tanpa diskriminasi apapun; (2)Praduga tak
bersalah; (3)Hak untuk memperoleh kompensasi (gati rugi) dan rehabilitasi; (4)hak untuk
memperoleh bantuan hukum; (5)Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan; (6)Peradilan
yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana; (7)Peradilan yang terbuka dan umum;
(8) Pelanggaran atas hak – hak terdakwa; (9)Penggeledahan dan penyitaan harus didasarkan
pada undang- undang dan dilakukan dengan surat perintah tertulis; (10)Hak seorang
PENUTUP

Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari keluarga, masyarakat maupun


pemerintah. Dalam penyelenggaraan perlindungan anak yang tercantum dalam UU No. 23
Tahun 2002 maka semua pihak mempunyai kewajiban untuk melindungi anak dan
mempertahankan hak-hak anak. Pemberlakuan Undang-undang ini juga di sempurnakan
dengan adanya pemberian tindak pidana bagi setiap orang yang sengaja maupun tidak sengaja
melakukan tindakan yang melanggar hak anak. Dalam undang-undang ini juga dijelaskan
bahwa semua anak mendapat perlakuan yang sama dan jaminan perlindungan yang sama
pula, dalam hal ini tidak ada diskriminasi ras, etnis, agama, suku, dsb.
Anak yang menderita cacat baik fisik maupun mental juga memiliki hak yang sama
dan wajib dilindungi seperti hak memperoleh pendidikan, kesehatan, dsb. Undang-undang
No.23 tahun 2002 juga menjelaskan mengenai hak asuh anak yang terkait dengan pengalihan
hak asuh anak, perwalian yang diperlukan karena ketidakmampuan orang tua berhubungan
dengan hukum, pengangkatan anak yang sangat memperhatikan kepentingan anak, serta
penyelenggaraan perlindungan dalam hal agama, kesehatan, pendidikan, sosial dan
perlindungan khusus.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Huraerah. 2006. Kekerasan Terhadap Anak. Jakarta : Nuansa


Arief, Barda Nawawi, (1998) Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan
Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Emmy Soekresno S. Pd. 2007. Mengenali Dan Mencegah Terjadinya Tindak Kekerasan
Terhadap Anak. Jakarta
Iswantoro Dwi Yuwono. 2015. Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual
Terhadap Anak. Yogyakarta:Pustaka Yustisia
Setiadi, Elly M. 2006. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Wadong, Maulana Hassan, (2000) Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak,
Jakarta: PT. Gramedia Indonesia
Rianawati, Perlindungan Hukum Terhadap Kekerasan Pada Anak, Volume 2 No. 1,
RAHEEMA : Jurnal Studi Gender dan Anak, Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Pontianak, 2015, hal. 4
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
Kekerasan Terhadap Anak – Wikipedia Bahasa Indonesia

Anda mungkin juga menyukai