Anda di halaman 1dari 19

1

1.1. Kehilangan dan Berduka


A. Definisi
1. Kehilangan
Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu
yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.
Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu
selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan
cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda
(Yosep, 2011 : 173). Menurut Dalami, et all., (2009), kehilangan adalah suatu
kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang berarti
sejak kejadian tersebut, yang terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa
kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau tidak diharapkan/diduga, sebagian
atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali.
Kehilangan (loss) adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat
dialami individu ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik
sebagian atau keseluruhan, atau terjadi perubahan dalam hidup sehingga terjadi
perasaan kehilangan (Hidayat, 2012). Kehilangan merupakan pengalaman yang
pernah dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupannya. Sejak lahir,
individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya
kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda. Setiap individu akan bereaksi
terhadap kehilangan. Respons terakhir terhadap kehilangan sangat dipengaruhi
oleh respon individu terhadap kehilangan sebelumnya.
Seseorang dapat kehilangan citra tubuh, orang terdekat, perasaan sejahtera,
pekerjaan, barang milik pribadi, keyakinan, atau sense of self baik sebagian atau
pun keseluruhan. Peristiwa kehilangan dapat terjadi secara tibatiba atau bertahap
sebagai sebuah pengalaman traumatik. Kehilangan sendiri dianggap sebagai
2
kondisi krisis, baik krisis situasional atau pun krisis perkembangan. Dalam hal
ini persepsi individu, tahap perkembangan, mekanisme koping, dan sistem
pendukungnya sangatlah berpengaruh terhadap respons individu dalam
menghadapi proses kehilangan tersebut. Apabila proses kehilangan tidak
dibarengi dengan koping yang positif atau penanganan yang baik, pada akhirnya
akan berpengaruh pada perkembangan individu atau port of being matur-nya
(Mubarak dan Chayatin, 2007).

3
Menurur Hidayat (2012) terdapat beberapa jenis kehilangan yakni sebagai
berikut.
a. Kehilangan objek eksternal, misalnya kecurian atau kehancuran akibat
bencana alam.
b. Kehilangan lingkungan yang dikenal misalnya berpindah rumah, dirawat di
rumah sakit, atau berpindah pekerjaan.
c. Kehilangan sesuatu atau seseorang yang berarti misalnya pekerjaan, anggota
keluarga, dan teman dekat.
d. Kehilangan suatu aspek diri misalnya anggota tubuh dan fungsi psikologis
atau fisik.
e. Kehilangan hidup misalnya kematian anggota keluarga di rumah dan diri
sendiri.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kehilangan
merupakan suatu keadaan gangguan jiwa yang biasa terjadi pada orang- orang
yang menghadapi suatu keadaan yang berubah dari keadaan semula (keadaan
yang sebelumya ada menjadi tidak ada). Terlepas dari penyebab kehilangan yang
dialami setiap individu akan berespon terhadap situasi kehilangan, respon
terakhir terhadap kehilangan sangat dipengaruhi oleh kehilangan sebelumnya.
2. Berduka
Dalam Hidayat (2012), grieving (berduka) adalah reaksi emosional dari
kehilangan dan terjadi bersamaan dengan kehilangan baik karena perpisahan,
perceraian maupun kematian. Sedangkan istilah bereavement adalah keadaan
berduka yang ditunjukan selama individu melewati rekasi atau masa berkabung
(mourning). Berikut ini beberapa jenis berduka menurut Hidayat (2012) :
a. Berduka normal, terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal
terhadap kehilangan. Misalnya, kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian,
dan menarik diri dari aktivitas untuk sementara.
b. Berduka antisipatif, yaitu proses „melepaskan diri‟ yang muncul sebelum
kehilangan atau kematian yang sesungguhnya terjadi. Misalnya, ketika
menerima diagnosis terminal, seseorang akan memulai proses perpisahan dan
menyelesaikan berbagai urusan di dunia sebelum ajalnya tiba.
c. Berduka yang rumit, dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap
berikutnya, yaitu tahap kedukaan normal. Masa berkabung seolaholah tidak

4
kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan orang yang bersangkutan
dengan orang lain.
Berduka tertutup, yaitu kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui
secara terbuka. Contohnya, kehilangan pasangan karena AIDS, anak yang
mengalami kematian orang tua tiri, atau ibu yang kehilangan anaknya di
kandungan atau ketika bersalin.
B. Tanda dan gejala
Menurut Prabowo (2014 : 117) tanda dan gejala kehilangan diantaranya:
1) Perasaan sedih, menangis
2) Perasaan putus asa, kesepian
3) Mengingkari kehilangan
4) Kesulitan mengekspresikan perasaan
5) Konsentrasi menurun
6) Kemarahan yang berlebihan
7) Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
8) Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
9) Reaksi emosional yang lambat
10) Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas
(Eko prabowo, 2014 : 117).

11) Karakteristik berduka yang berkepanjangan :


a. Mengingkari kenyataan kehilangan dalam waktu yang lama
b. Sedih berkepanjangan
c. Adanya gejala fisik yang berat
d. Keinginan untuk bunuh diri
C. Sifat Kehilangan
1. Tiba-tiba (tidak dapat diramalkan)
Kehilangan secara tiba-tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah pada
pemulihan dukacita yang lambat. Kematian karena tindak kekerasan, bunuh
diri, pembunuhan atau pelalaian diri akan sulit diterima.
2. Berangsur-angsur (dapat Diramalkan)
Penyakit yang sangat menyulitkan, berkepanjangan, dan menyebabkan
yang ditinggalkan mengalami keletihan emosional.

5
D. Tipe Kehilangan
1. Actual Loss
Kehilangan yang dapat dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, sama
dengan individu yang mengalami kehilangan. Contoh : kehilangan anggota
badan, uang, pekerjaan, anggota keluarga.
2. Perceived Loss (Psikologis)
Kehilangan Sesuatu yang dirasakan oleh individu bersangkutan namun
tidak dapat dirasakan/dilihat oleh orang lain. Contoh : Kehilangan masa
remaja, lingkungan yang berharga.
3. Anticipatory Loss
Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi. Individu
memperlihatkan perilaku kehilangan dan berduka untuk suatu kehilangan
yang akan berlangsung. Sering terjadi pada keluarga dengan klien (anggota)
menderita sakit terminal.
E. Lima Kategori Kehilangan
1. Kehilangan objek eksternal
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah
menjadi usang berpinda tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam.
Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang
bergantung pada nilai yang dimiliki orng tersebut terhadap nilai yang
dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut.
2. Kehilangan lingkungan yang telah dikenal
Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang
telah dikenal mencakup lingkungan yang telah dikenal Selama periode
tertentu atau kepindahan secara permanen. Contohnya pindah ke kota baru
atau perawatan diruma sakit.
3. Kehilangan orang terdekat
Orang terdekat mencakup orangtua, pasangan, anak-anak, saudara
sekandung, guru, teman, tetangga, dan rekan kerja. Artis atau atlet terkenal
mumgkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset membuktikan bahwa
banyak orang menganggap hewan peliharaan sebagai orang terdekat.
Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan atau kematian.

6
4. Kehilangan aspek diri
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi
fisiologis, atau psikologis. Orang tersebut tidak hanya mengalami kedukaan
akibat kehilangan tetapi juga dapat mengalami perubahan permanen dalam
citra tubuh dan konsep diri.
5. Kehilangan hidup
Kehilangan dirasakan oleh orang yang menghadapi detik-detik dimana
orang tersebut akan meninggal.
F. Rentang respon
Menurut Kubler-Ross dalam Hidayat (2012), respon berduka seseorang terhadap
kehilangan dapat melalui tahap-tahap seperti pengingkaran, marah, tawar-
menawar, depresi dan penerimaan.
Rentang Respon Kehilangan (Hidayat, 2012)
(Gambar rentang respon individu terhadap kehilangan menurut Kubler-Ross)
Fase Marah Fase Depresi

Fase Pengingkaran Fase Tawar-menawar Fase Menerima

a. Tahap pengingkaran
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak
percaya, mengerti, atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-
benar terjadi, dengan mengatakan “Tidak, saya tidak percaya itu terjadi” atau
“itu tidak mungkin terjadi”. Bagi individu atau keluarga yang didiagnosa
dengan penyakit terminal, akan terus mencari informasi tambahan.. Sebagai
contoh orang atau keluarga dari orang yang menerima diagnosis terminal akan
terus berupaya mencari informasi tambahan (Hidayat, 2009 : 245).
Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah letih, lemah, pucat, mulai, diare,
gangguan pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan sering kali
individu tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berlangsung dalam
beberapa menit hingga beberapa tahun (Hidayat, 2009 : 245).
b. Tahap marah
Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan terjadinya

7
kehilangan. Individu menunjukkan rasa marah yang meningkat yang sering
diproyeksikan kepada orang lain atau pada dirinya sendiri. Tidak jarang ia
menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar, menolak pengobatan,
menuduh dokter-perawat yang tidak becus. Respons fisik yang sering terjadi,
antara lain muka merah, denyut nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan
mengepal, dan seterusnya (Hidayat, 2009 : 245).
c. Tahap tawar –menawar
Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka
ia akan maju ke fase tawar-menawar dengan memohon kemurahan pada
Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata “ kalau saja kejadian
ini bisa ditunda, maka saya akan sering berdoa”. Apabila proses ini oleh
keluarga maka pernyataan yang sering keluar adalah “ kalau saja yang sakit,
bukan anak saya”.
d. Tahap depresi
Pada tahap ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang –kadang
bersikap sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan,rasa
tidak berharga, bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri. Gejala fisik yang
ditunjukkan, antara lain menolak makan, susah tidur, letih, turunnya dorongan
libido, dan lain –lain (Prabowo, 2014 : 115).
e. Tahap penerimaan
Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang
selalu berpusat pada objek yang hilang akan mulai berkurang atau hilang.
Individu telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya dan mulai
memandang ke depan. Gambaran tentang objek atau orang yang hilang akan
mulai dilepaskan secara bertahap. Perhatiannya akan beralih pada objek yang
baru. Fase ini biasanya dinyatakan dengan “saya betul-betulkehilangan baju
saya tapi baju yang ini tampak manis” atau “apa yang dapat saya lakukan agar
cepat sembuh”. Apabila individu dapat memulai tahap tersebut dan menerima
dengan perasaan damai, maka dia dapat mengakhiri proses berduka serta
dapat mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas. Kegagalan masuk ke
tahap penerimaan akan memengaruhi kemampuan individu tersebut dalam
mengatasi perasaan

8
kehilangan selanjutnya (Hidayat, 2009 : 245 -246).
G. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah:
1) Faktor genetik
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan didalam keluarga yang mempunyai
riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi
suatu permasalahan termasuk dalammenghadapi perasaan kehilangan
(Hidayat, 2009 : 246 ).
2) Kesehatan jasmani
Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur, cenderung
mempunyai kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan
dengan individu yang mengalami gangguan fisik (Prabowo, 2014 : 116).
3) Kesehatan mental
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai riwayat
depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya pesimis, selalu dibayangi
oleh masa depan yang suram, biasanya sangat peka dalam menghadapi situasi
kehilangan (Hidayat, 2009 : 246).
4) Pengalaman kehilangan dimasa lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang berarti pada masa kanak-
kanak akan mempengaruhi individu dalam mengatasi perasaan kehilangan
pada masa dewasa (Hidayat, 2009 : 246).
5) Struktur kepribadian
Individu dengan konsep yang negative, perasaan rendah diri akan
menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadap stress
yang dihadapi (Prabowo, 2014 : 116).
H. Faktor presipitasi
Ada beberapa stressor yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan. Kehilangan
kasih sayang secara nyata ataupun imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-
psiko-sosial antaralain meliputi :
1) Kehilangan kesehatan
2) Kehilangan fungsi seksualitas
3) Kehilangan peran dalam keluarga

9
4) Kehilangan posisi dimasyarakat
5) Kehilangan harta benda atau orang yang dicintai
6) Kehilangan kewarganegaraan (Prabowo, 2014 : 117).
I. Mekanisme koping
Koping yang sering dipakai individu dengan kehilangan respon antara lain :
Denial, Represi, Intelektualisasi, Regresi, Disosiasi, Supresi dan proyeksi yang
digunakan untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat
menyakitkan. Regresi dan disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi yang
dalam. Dalam keadaan patologis mekanisme koping tersebut sering dipakai
secara berlebihan dan tidak tepat (Prabowo, 2014 : 117 –118).
a. Denail
Dalam psikologi, terma “denail” artinya penyangkalan dikenakan pada
seseorang yang dengan kuat menyangkal dan menolak serta tak mau melihat
fakta-fakta yang menyakitkan atau tak sejalan dengan keyakinan,
pengharapan, dan pandangan-pandangannya. Denialisme membuat seorang
hidup dalam dunia ilusifnya sendiri, terpangkas dari kehidupan dan nyaris
tidak mampu keluar dari cengkeramannya.Ketika seseorang hidup dalam
denial “backfire effect” atau “efek bumerang” sangat mungkin terjadi pada
dirinya. Orang yang hidup dalam denial tentu saja sangat ridak berbahagia.
Dirinya sendiri tidak berbahagia, dan juga membuat banyak orang lain tidak
berbahagia (Prabowo, 2014 : 118).
b. Represi
Represi merupakan bentuk paling dasar diantara mekanisme lainnya.Suatu
cara pertahanan untuk menyingkirkan dari kesadaran pikiran dan perasaan
yang mengancam. Represi adalah mekanisme yang dipakai untuk
menyembuhkan hal-hal yang kurang baik pada diri kita kea lam bawah sadar
kita. Dengan mekanisme ini kita akan terhindar dari situasi tanpakehilangan
wibawa kita (Prabowo, 2014 : 118).
c. Intelektualisasi
Intelektualisasi adalah pengguna logika dan alasan yang berlebihan untuk
menghindari pengalaman yang menganggu perasaannya. Dengan
intelektualisasi, manusia dapat mengurangi hal-hal yang pengaruhnya tidak

1
0
menyenangkan, dan memberikan kesempatan untuk meninjau permasalahan
secara objektif (Prabowo, 2014 : 118).
d. Regresi
Yaitu menghadapi stress dengan perilaku, perasaan dan cara berfikir mundur
kembali ke ciri tahap perkembangan sebelumnya (Prabowo, 2014: 118).
e. Disosiasi
Beban emosi dalam suatu keadaan yang menyakitkan diputus atau diubah.
Mekanisme dimana suatu kumpulan proses-proses mental dipisahkan atau
diasingkan dari kesadaran dengan bekerja secara merdeka atauotomatis, afek
dan emosi terpisah, dan terlepas dari ide, situasi, objek, misalnya pada selektif
amnesia(Prabowo, 2014 : 118).
f. Supresi
Suatu proses yang digolongkan sebagai mekanisme pertahanan tetapi
sebenarnya merupakan analog dari represi yang disadari. Perbedaan supresi
dengan represi yaitu pada supresi seseorang secara sadar menolak
pikirannya keluar alam sadarnya dan memikirkan yang lain. Dengan demikian
supresi tidak begitu berbahaya terhadap kesehatan jiwa, Karena terjadinya
dengan sengaja, sehingga ia mengetahui apa yang dibuatnya (Prabowo, 2014
: 118).
g. Proyeksi
Proyeksi merupakan usaha untuk menyalahkan orang lain mengenai
kegagalannya, kesulitannya atau keinginan yang tidak baik. Dolah dan
Holladay (1967) berpendapat bahwa proyeksi adalah contoh dari carauntuk
memungkiri tanggung jawab kita terhadap impuls-impuls dan pikiran- pikiran
dengan melimpahkan kepada orang lain dan tidak pada kepribadian diri sendiri
(Prabowo, 2014 : 118).
J. Sumber Koping
Cara individu mengatasi proses kehilangan amat bergantung pada sumber
yang tersedia. Sumber koping tersebut dapat berupa kemampuan dan bakat
mengatasi kedukaan, teknik pertahanan, dukungan sosial, dan motivasi. Sumber
koping lainnya adalah dukungan spiritual, keyakinan positif, pemecahan masalah,

1
1
kemampuan sosial, kesehatan fisik, sumber materi
dan sosial, keluarga, kerabat dekat, dan perawat.

II. PROSES TERJADINYA MASALAH (PSIKODINAMIKA)

Kehilangan meliputi fase akut dan jangka Panjang

1) Fase akut Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang terdiri
atas tiga proses, yaitu syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, serta
restitusi.
a. Syok dan tidak percaya
Respons awal berupa penyangkalan, secara emosional tidak dapat
menerima pedihnya kehilangan. Akan tetapi, proses ini sesungguhnya
memang dibutuhkan untuk menoleransi ketidakmampuan menghadapi
kepedihan dan secara perlahan untuk menerima kenyataan kematian.
b. Perkembangan kesadaran
Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan orang
lain, perasaan bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai
cara, dan menangis untuk menurunkan tekanan dalam perasaan yang
dalam.
c. Restitusi

Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan


keluarga membantu menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan
kehilangan.
2) Fase jangka Panjang
a. Berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih lama.
b. Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit yang
tersembunyi dan termanifestasi dalam berbagai gejala fisik. Pada beberapa
individu berkembang menjadi keinginan bunuh diri, sedangkan yang
lainnya mengabaikan diri dengan menolak makan dan menggunakan
alkohol
III. KEMUNGKINAN DATA FOKUS PENGKAJIAN
1. Faktor Predisposisi

a. Genetik : Seorang individu yang memiliki anggota keluarga ataudibesarkan


dalam keluarga yang mempunyai riwayat depresi akanmengalami kesulitan
dalam bersikap optimis dan menghadapi kehilangan.
12
b. Kesehatan fisik : Individu dengan kesehatan fisik prima dan hidup dengan
teratur mempunyai kemampuan dalam menghadapi stres dengan lebih baik
dibandingkan dengan individu yang mengalami gangguan fisik.
c. Kesehatan mental : Individu dengan riwayat gangguan kesehatan mental
memiliki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap suatu kehilangan dan
berisiko untuk kambuh kembali.

d. Pengalaman kehilangan sebelumnya : Kehilangan dan perpisahan dengan


orang berarti di masa kanak-kanak akan memengaruhi kemampuan individu
dalam menghadapi kehilangan di masa dewasa.
2. Faktor Presipitasi
Faktor pencetus kehilangan adalah perasaan stres nyata atau imajinasi
individu dan kehilangan yang bersifat bio-psiko-sosial, seperti kondisi sakit,
kehilangan fungsi seksual, kehilangan harga diri, kehilangan pekerjaan,
kehilangan peran, dan kehilangan posisi di masyarakat.
3. Perilaku
a. Menangis atau tidak mampu menangis
b. Marah.
c. Putus asa.
d. Kadang berusaha bunuh diri atau membunuh orang lain.
4. Mekanisme Koping
a. Denial
b. Regresi
c. Intelektualisasi/rasionalisasi
d. Supresi
e. Proyeksi
IV. MASALAH KEPERAWATAN

a. Kehilangan atau berduka

b. Isolasi sosial

c. Ansietas

d. Ketidakberdayaan

e. Harga diri rendah

13
V. ANALISA DATA

No. Data Masalah


1. Data Subyektif : Kehilangan/berduka
1. Klien mengatakan merasa sedih
2. Klien mengatakan merasa putus asa
dan kesepian
3. Klien kesulitan mengekspresikan
perasaan
4. Klien mengatakan sulit
berkonsentrasi
Data Obyektif :
1. Klien tampak menangis
2. Klien tampak mengingkari
kehilangan
3. Klien tampak tidak berminat dalam
berinteraksi dengan orang lain
4. Klien tampak merenung perasaan
bersalah yang berlebihan

VI. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Kehilangan atau berduka

14
VII. INTERVENSI

NO DX PERENCANAAN
TUJUAN KRITERIA EVALUASI INTERVENSI
1 2 3 4 5
1 Kehilangan atau Pasien mampu: Setelah…..pertemuan klien mampu: SP
berduka 1. Klien dapat 1. Klien dapat membina hubungan saling percaya 1. Bina hubungan saling percaya dengan klien
berinteraksi dengan dengan perawat 2. Berikan motivasi klien untuk mendiskusikan
orang lain 2. Klien mampu mengontrol tingkah laku dan pikiran dan perasaannya.
2. Klien merasa harga menunjukkan perbaikan komunikasi dengan 3. Jelaskan penyebab dari harga diri yang
dirinya naik orang lain. rendah.
3. Klien menggunakan 3. Membantu klien menerima perasaan dan 4. Dengarkan klien dengan penuh empati, beri
koping yang adaptif pikirannya. respon dan tidak menghakimi.
4. Klien dapat 4. Membantu klien menjelaskan konsep dirinya 5. Berikan motivasi klien untuk menyadari
mengontrol dan hubungannya dengan orang lain melalui aspek positif dan negatif dari dirinya.
perasaannya keterbukaan. 6. Beri dukungan, Support dan pujian setelah
5. Berespon secara empati dan menekankan klien mampu melakukan aktivitasnya.
bahwa kekuatan untuk berubah ada pada 7. Masukan ke jadwal kegiatan harian pasien.
SP
klien.
1. Mengevaluasi pada pertemuan pertama
2. Membantu klien menerima perasaan dan
pikirannya
3. Membantu klien menjelaskan konsep dirinya
dan hubungannya dengan orang lain melalui

15
keterbukaan
4. Berespon secara empati dan meekankan
bahwa kekuatan untuk berubah ada pada klien
5. Membantu klien mengkonseptualisasikan
tujuan yang realistic
6. Membantu klien mengurangi rasa bersalah
Masukan ke jadwal harian kegiatan pasien
SP
1. Mengevaluasi kembali pertemuan pertamadan
kedua
2. Membantu klien untuk melakukan tindakan
yang penting untuk merubah responmaladaptif
dan mempertahankan respon koping yang
adaptif
3. Mengobservasi tingkat depresi
4. Masukan ke jadwal harian kegiatan pasien
SP
1. Mengevaluasi pertemuan pertama, kedua dan
ketiga
2. Menghargai perasaan pasien
3. Mengidentifikasi dukungan yang positif
dengan mengaitkan terhadap kenyataan
4. Memberikan kesempatan untuk menangis

16
dan mengungkapkan perasaannya
5. Bersama klien membahas pikiran yang selalu
timbul

VIII. IMPLEMENTASI

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke
status kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Hidayat, 2021).

IX. EVALUASI

Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau
tidak. Evaluasi keperawatan dibagi menjadi (Hidayat, 2021) :
e. Evaluasi Formatif : Hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon segera pada saat dan setelah dilakukan tindakan keperawatan.
f. Evaluasi Sumatif : Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status kesehatan sesuai waktu pada tujuan ditulis pada catatan perkembangan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Dalami, E., Suliswati, Farida P. Rochman, Banon E. 2009. Asuhan KeperawatanJiwa


dengan Masalah Psikososial. Jakarta : CV. Trans Info Medika.
Dermawan, Deden. 2012. Buku Ajar Keperawatan Komunitas. Yogyakarta : Gosyen
Direja, Ade H.S. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha
Hidayat, A, Aziz Alimul. 2012. Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan
Proses Keperawatan jilid 1. Jakarta : Salemba Medika.
Hidayat, A.A. 2014. Catatan Ilmu Kedokteran jiwa. Surabaya : Airlanga University
Pers

Hidayat, Aziz Alimul (2021) Proses Keperawatan; Pendekatan NANDA, NIC, NOC
dan SDKI - Google Books. Surabaya: Health Books Publishing.

Keliat, B.A., Helena, N. Farida, P. 2011. Manajemen Keperawatan Psikososial


danKader Kesehatan Jiwa CMHN (Intermediate Course). Jakarta : EGC.
Mubarak dan Chayatin. 2007. Kebutuhan Dasar Manusia : Teori dan Aplikasi Dalam
Praktik. Jakarta : EGC

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI). Edisi 1. Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI).
Edisi 1. Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI).
Edisi 1. Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia
Yosep, Iyus. 2011. Keperawatan Jiwa. Bandung : PT. Refika
Yusuf, A., Fitryasari R., Nihayati N., 2015, Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa,
Salemba Medika, Jakarta

16
16

Anda mungkin juga menyukai