Dinamika Islam Kontemporer

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 10

DINAMIKA ISLAM KONTEMPORER

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah: Metodologi Studi Islam
Dosen Pengampu : Andriyansyah, S.Hum., M.Pd.I

Nama Penyusun : Mia Zulmiati Fadilah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM STAI BANI SALEH

PROGRAM STUDI PGMI / PGSDI

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala yang telah
melimpahkan rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini. Shalawat serta salam tak lupa kita panjatkan kepada Nabi Muhammad Sallallahu
‘Alaihi Wassalam yang telah membawa kita semua ke jalan kebenaran yang diridhoi
Allah Subhanahu Wata’ala.

Maksud penulis membuat makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat
Ilmu yang diamanatkan oleh dosen. Makalah ini kami buat berdasarkan buku penunjang
yang dimiliki. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak sekali
kekurangannya baik dalam cara penulisan maupun dalam isi, maka kami memohon
maaf dan kritik serta saran dari dosen pengajar bahkan semua pembaca sangat
diharapkan oleh kami untuk dapat menyempurnakan makalah ini terlebih juga dalam
pengetahuan kita bersama. Harapan ini dapat bermanfaat bagi kita sekalian.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan islam dari masa kemasa sangat berkembang pesat, khususnya
di Indonesia ini banyak sekali pemahaman pemahaman baru tentang islam , dan ini
perlu untuk di pelajari dan di kaji ulang mengingat banyak sekali penyimpangan
penyimpangan yang terjadi, banyak pemahaman baru yang tidak sesuai dengan kaidah
islam yang tertera di Al- qur’an dan Sunnah. Tentu ini menjadi tugas besar bagi kita
sebagi muslim untuk lebih hati hati dengan pemahaman – pemahaman baru yang ada
pada saat ini.
Sejak masa klasik, dinamika pemikiran dan gerakan islam selalu dipengaruhi
oleh konfigurasi politik penguasa. Artinya ada peemikiran dan gerakan
menjadi”mazhab” penguasa dans ebaliknya, ada yang dilarang bahkan dibrangkus
dega menjaga “stabilitas”. Mengamati dinamika pemikiran dan gerakan islam di
Indonesia sangat menarik karena ada sejumlah paradoks dan gesekan yang cukup
tajam terutama pasca reformasi sehingga dengan bergulirya era reformasi
membutuhkan pembacaan ulang terhadap pemikiran dan gerakan islam indonesia,
karena berbagai pemikiran dan gerakan islam yang pada mulanya terbungkam oleh
kekuatan orde baru kembali muncul dan berusaha membangkitkan kembali romantisme
masa lalu. Dari sinilah muncul berbagai kekuatan pemikiran dan gerakan islam, baik
islam politik maupun islam kultural sehingga membentuk farien yang sangat beragam.
Berbagai farian pemikiran dan gerakan keislaman diindonesia sebenarnya bisa
ditelusuri akar-akarnya secara jelas sehingga dapat dipetakkan menjadi dua arus
peikiran yang sangat dominan yakni literalisme dan liberalism
Pemahaman islam literal dan gejala fundamentalisme islam cenderug
menafikkan plruralisme pemahaman keagamaan dan pruralisme agama.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Post Modernisme dan Neomodernisme Islam ?
2. Masalah Islam Liberal ?
3. Pengertian Islam Kultural dan Islam Struktural ?
4. Pengertian Postradisionalisme Islam ?
C. Tujuan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Modernisme dan Neomodernisme
1. Modernisme
Istilah “modern” berasal dari bahasa latin “modo”, yang berarti yang kini
“just now”. Meskipun istilah ini sudah muncul pada akhir abad ke-5, yang
digunakan untuk membedakan keadaan orang Kristen dan orang Romawi dari
masa pagan yang telah lewat. Namun istilah ini kemudian lebih digunakan untuk
menunjuk periode sejarah setelah abad pertengahan, yakni dari tahun 1450
sampai sekarang ini.
Dari istilah – istilah “modern”, sebagaimana yang telah disebutkan diatas
itulah, lahir istilah-istilah lain, seperti : “modernisme”, modernitas dan
modernisasi. Meskipun istilah itu mempunyai arti yang berbeda-beda , karena
berasal dari akar kata yang sama, maka pengertian yang dikandungnya tidak
bisa lepas dari kakar kata yang dimaksud yaitu “modern”.
Istilah “modernism” misalnya, oleh Ahmed, dengan merujuk pada Oxford
English Dictionary, didefinisikan sebagai “pandangan atau metode modern,
khususnya kecenderungan untuk menyesuaikan tradisi, dalam masalah
agama,agar harmonis dengan pemikiran modern. Modernism diartikan sebagai
fase terkini sejarah dunia yang ditandai dengan percaya pada sains,
perencanaan, sekularisme, dan kemajuan. Keinginan untuk simetri dan tertib,
keinginan akan keseimbangan dan otoritas, juga menjadi karakternya. Periode
ini ditandai oleh keyakinannya terhadap masa depan, sebuah keyakinan bahwa
utopia bisa dicapai, bahwa ada sebuah tata dunia yang mungkin. Mesin, proyek
industry besar, besi, baja dan listrik, semuanya dianggap dapat digunakan
manusia untuk mencapai tujuan ini. Gerakan menuju industrialisasi, dan
kepercayaan pada yang fisik, membentuk ideology yang menekankan
materialism sebagai pola hidup. Sementara modernitas dipahami sebagai efek
dari modernisasi.
Di Indonesia, modernisasi direspon positif oleh Norcholis Majid, menurut
dia modernisasi indetik atau hampir identik dengan rasionalisasi. Modernisasi
melibatkan proses pemeriksaan secara seksama pemikiran serta pola aksi lama
yang tidak rasional, dan menggantikannya dengann pemikiran dan pola aksi baru
yang rasional.
2. Post modernisme
Setelah modernism tampil dalam sejarah sebagai kekuatan progresif yang
menjanjikan pembebasan manusia dari belenggu keterbelakangan dan
irrasionalitas. Akan tetapi dalam beberapa decade terakhir ini, “proyek”
modernism yang demikian hebat itu diggugat oleh sebuah gerakan yang
kemudian diikenal dengan “post modernisme” dan dinilai gagal mencapai
sasarannya. Sebagai gerakan cultural-intelektual, postmodernisme sendiri sudah
muncul pada tahun 1960 an, yang bermula dari bidang seni arsitektur dan
kemudian merambah ke dalam bidang-bidang lain, baik itu sastra, ilmu social,
gaya hidup, filsafat, bahkan juga agama. Gerakam Postmodernisme ini lahir di
Eropa dan menjalar ke Amerika, serta keseluruh dunia bagai luapan air yang tak
terbendung.
Post modernism demikian cepat merambah pada semua bidang
kehidupan, termasuk bidang keagamaan. Sesuai watak epistemologis
postmodernisme yang ingin merangkul berbagai macam narasi yang ada, maka
agama dalam perspektik postmodernisme dicoba diangkat, baik sebagai bagian
dari kecenderungan sejarah kontemporer, maupun sebagai bagian dari legitimasi
epistemologis dalam mencari kebenaran setelah sekian lama menjadi kebenaran
yang terlupakan dalam paradigm pemikiran modern sebagai kecenderungan
sejarah, postmodernisme telah melupakan dimensi yang teramat penting dalam
kehidupan manusia, yakni dimensi spiritual. Oleh karena itu untuk keluar dari
lingkaran krisis tersebut, manusia mencoba kembali kepada hikmah spiritual
yang terdapat dalam semua agama yang otentik.
B. Islam liberal
Pengertia mengena islam liberal sebagai arus baru gerakan islam
diindonesia mengacu pada penelitian yang dirumusa oleh nurkhalik ridwan
mengenai islam libera rogresif. Menurut ridwa, islam liberal bisa dirumuskan
dengan dua hal.
1. Klompok pembaru muslim yang memsahkan masalah publiks sebagai
hal yang perlu dimusawarahkan denga komutas bangsa sementara masalah
praktik ritual diserahkan pada masing-masing pihak.
2. Islam liberal progresif yang berporos pada pandangan bahwa syari’ah
masih perlu ditafsir ulang, yang perlu dibedakan islam sebagai din yang univesal
dalam cita-cita etik dan moralnya.
3. Konteks politik, yaitu naiknya neorevivalisme, dan fundamentalisme
dalam kontestansi pemikiran dan politik yang berhasil melepaskan diri dari jerat
marginalisme dan melibatkan diri kedalam pusaran pergulatan politik demokrasi.
4. Konteks kultural yaitu derasnya arus pemikiran lewat berbagai media.
Islam secara lughawi bermakna pasrah, tunduk, kepada Tuhan (Allah)
dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Dalam
hal ini Islam tidak bebas. Tetapi disamping Islam tunduk kepada Allah AWT,
Islam sebenarnya membebaskan manusia atau makhluk lainnya. Bisa
disimpulkan Islam itu “bebas” dan “tidak bebas”.
Kemunculan istilah Islam liberal ini, menurut Luthfi, mulai dipopulerkan
tahun 1950 an. Tapi mulai berkembang pesat terutama di Indonesia tahun 1980
an yaitu oleh tokoh utama dan sumber rujukan “utama” komunitas atau jaringan
Islam liberal, Nur Cholis Majid. Meski Nur Cholis sendiri menyatakan tidak
pernah menggunakan istilah Islam liberal untuk menegmbangkan gagasan
pemikiran Islamnya.
Karena itu Islam liberal sebenarnya tidak beda dengan gagasan-gagasan
Islam yang dikembangkan oleh Nur Cholis Majid an kelompoknya yaitu kelompok
islam yang tidak setuju dengan pemberlakuan syariat Islam (secara formal oleh
negara). Kelompok yang getol perjuangan sekularisasi, emansipasi wanita,
menyamarkan agama Islam dengan agama lain (pluralism theologis),
memperjuangkan demokrasi Barat dan sejenisnya.
Selanjuttnya Luthfi menjelaskan tentang agenda-agenda Islam liberal “
saya melihat paling tidak ada empat agenda utama yang menjadi paying bagi
persoalan-persoalan yang dibahas oleh para pembaharu dan intelektual islam
selama ini. Yakni agenda politik, agenda toleransi agama, agenda emansipasi
wanita dan agenda kebebasan berekspresi. Kaum muslimin dituntut melihat
keemat agenda ini dari perspektif mereka sendiri, dan bukan dari perspektif
masa silam yang lebih banyak memunculkan kontradiksi ketimbang
penyelesaian yang lebih baik.
Islam liberal juga “mendewakan modernitas” jika terjadi konflik antara
ajaran Islam dan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan menurut
mereka bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran
tersebut. Disinilah inti dari sikap dan doktrin “ Islam Liberal” kata Luthfi.
C. Islam Kultural dan Islam Struktural
1. Islam Kultural
Kata kultural yang berada dibelakang kata islam berasal dari bahasa
ingris, culture yang berarti kesopanan, kebudayaan dan pemeliharaan. Teori lain
mengtakan bahwa kata culture ini berasal dari bahasa latin cultura yang artinya
memelihara atau megerjakan, mengolah.
Dari beberapa teori definisi kebudayaan tersebut diatas, dapat diketahui
bahwa kebudayaan adalah sega bentuk hasil kreativitas manusia dengan
menggunakan segala daya dan kemampuan yang dimilikinya dalam rangka
mewujudkan kehidupannya yang sejahtera.
Dengan diketahui bersama, bahwa dalam agama islam antara agama dan
kebudayaan sungguhpun sumbernya berbeda, tapi saling mempengaruhi. Al-
Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada nabi dengan perantara
malaikat jibril untuk menjadi pedoman bagi manusia dalam mencapai
kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan ukhuwawi. Sedangkan kebudayaan
ialah semua produk aktivitas intelektual manusia untuk memperoleh
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup duniawi.
Munculnya Islam cultural agak mudah dimengerti apabila kita
memperhatikan ruang lingkup ajaran Islam yang tidak hanya mencakup masalah
keagamaan seperti teologi, ibadah dan akhlak, melainkan jugga mencakup
masalah keduniaan seperti masalah perekonomian, pertahanan keamanan dan
lain-lain. Jika pada aspek keagamaan peran Allah dan Rasul lah yang dominan.
Pada aspek keduniaan peran manusialah yang paling dominan.
Dalam pengalamannya di lapangan, Islam cultural mengalami
pengembangan pengertian dari apa yang dikemukakan di atas. Islam cultural
selanjutnya muncul dalam bentuk sikap yang lebih menunjukkan inklusissivitas.
Yaitu sikap yang tidak mempermasalahkan bentuk atau symbol dari suatu
pengamalan agama, tetapi yang lebih penting tujuan dan missi dari pengamalan
teersebut. Dalam hubungannya ini kita menjumpai ajaran tentang dzikir ini
terkadang mewujud dalam menyebut nama Allah sekian ratus kali dengan
menggunakan alat semacam tasbih, ada yang menggunakan batu, ada yang
dengan memasang tulisan kaligarafi pada dinding rumah dan sebagainya.
2. Islam Struktural
Struktur adalah sebuah gambaran yang mendasar dan kadang tidak
berwujud, yang mencakup pengenalan, observasi, sifat dasar, dan stabilitas dari
pola-pola dan hubungan antar banyak satuan terkecil di dalamnya
Dari istilah – istilah “struktural”, sebagaimana yang telah disebutkandiatas
itulah, lahir istilah lain, seperti : strukturalisme.
Strukturalisme adalah faham atau pandangan yang menyatakan bahwa
semua masyarakat dan kebudyaan memiliki suatu struktur yang sama dan tetap
strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai
pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu
struktur yang sama dan tetap.
Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual
obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak
terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur
sistem tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan
melukiskan struktur inti dari suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara
unsur-unsur pada setiap tingkat) (Bagus, 1996: 1040)
Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu
dalam memajukan studi interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam
mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi
introduksi metode struktural dalam bermacam bidang pengetahuan menimbulkan
upaya yang sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada status sistem filosofis.
(Bagus, 1996: 1040).
D. Post tradisionalisme
Sebenarnya sulit untuk merumuskan definisi yang bisa menjelaskan
seluruh kompleksitas post tradisionalisme. Marzuki Wahid mendefinisikan post
tradisionalisme adalah suatu gerakan melompat tradisi yang tidak lain adalah
upaya pembaharuan tradisi yang tidak lain adalah upaya pembaharuan tradisi
secara terus-menerus dalam rangka berdialog dengan modernitas sehingga
menghasilkan tradisi baru (new tradition) yang sama sekali berbeda dengan
tradisi sebelumnya.
Sebagai gerakan yang berhasrat untuk melahirkan tradisi baru post
tradisionalisme merupakan gerakan yang lahir dengan poroses yang panjang
dan berakar pada pemikir-pemikir pencerahan tempo dulu.
Dari geneologi intelektual inilah, post tradisionalisme islam melewati fase-
fase awal pembentukan hingga perumusan metodologi dan praksis sosisl politik.
Fase pertama merupakan fase pembentukan dan pengkayaan ide baik dalam
pemikiran maupun aksi politik. Pada fase ini muncul beberapa perdebatan
gagasan seperti nasionalisme, pribumisasi, sekularisas, feminisme dan hak asasi
manusia (al-huquq al-insaniyah al-asasiyah), dan sebagainya.
Sedangkan perumusan metodologi post tradisionalisme Islam
menghasilkan paradigm baru pemikiran Islam yang dirumuskan sebagai kritik
nalar (naqd al-aql) maupun telaah kontemporer (qira’ah muashirah) terhadap
tradisi.Muhammad Abid Al-Jabiri, Muhammad Arkoun, dan Nashir Hamid Abu
Zaid merupakan sederet nama yang berusaha melakukan rekontruksi
metodologis bagi post tradisionalisme.
Sebagai gerakan, post tradisionalisme Islam di Indonesia kemudian
menjadi kontruksi intelektualisme yang berpijak dari dinamika budaya likal
Indonesia dan bukan tekanan dari luar yang berinteraksi secara terbuka dengan
berbagai jenis kelompok masyarakat seperti buruh, petani, LSM, dan gerakan
feminism yang kemudian membawa gerakan ini tidak hanya bersinggungan
dengan tradisi Islam, tetapi juga pemikiran-pemikiran kontemporer baik dari
tradisi liberal, radikal, sosialis Marxia, Post Strukturalis, dan Post Modernis juga
gerakan feminism dan civil society (Ahmad Baso 2001).
Post tradisionalisme Islam berpandangan bahwa sesungguhnya tidak
mungkin melakukan rekontruksi pemikiran dan kebudayaan dari ruang sejarah
yang kosong, artinya betapapun kita teramat bersemangat untuk melampaui
Zaman yang sering disebut sebagai kemunduran umat Islam, kita mesti
mengaku bahwa khazanah pemikiran dan kebudayaan yang kita miliki adalah
kekayaan yang sangat berharga untuk dikembangkan sebagai entry point
merumuskan tradisi baru.
Perlu diketahui, pengertian post tradisionalisme Islam tentang tradisi
berbeda dengan pemahaman kaum Neomodernisme Islam yang membaca
tradisi melalui optic Al-qur’an dan Hadits yang diadakan transenden, turun dari
langit, lengkap dan mencakup segala hal. Singkatnya bukan sebagai bagian dari
dinamika sejarah yang berubah-ubah. Dalam pengertian inilah kita diperkenalkan
dengan kenyataan tradisi Islam yang historis yang sifatnya membumi.
Berkaitan dengan upaya merekontruksi tradisi sebagai mana ditunjukkan
Zuhairi Miswari (2001) post tradisionalisme Islam terbagi kedalam tiga sayap
(aliran). Pertama, sayap eklektis (al-qiraah al-intiqaiyah). Sayap ini menghendaki
adanya kolaborasi antara orisinalitas (al-ashalah) dan modernitas (al-
mu’asharah) dalam rangka membangun “teori analisis tradisi” juga menyingkap
rasionalitas dan irrasionalitas dalam tradisi.
Kedua, sayap revolusioner (al-qira’ah at-tatswiriyah), sayap ini
berkehendak untuk mengajukan proyek pemikiran baru yang mencerminkan
revolusi dan liberalisasi pemikiran keagamaan. Sayap kedua ini sebagaimana
diwakili Hasan Hanafi mengusulkan tiga cara dalam tradisi dan pembaharuan
yaitu menganalisi pembentukan dan latar belakang tradisi dan mencermati
bagaimana tradisi tersebut berlawanan dengan kemaslahatan umum.
Adapun sayap ketiga adalah sayap dekontruktif (al-qiraah al-tafkiyah).
Sayap ini berusaha membongkar tradisi secara komperehensif sehingga
menyentuh ranah metodologis. Sayap ini mengkaji tradisi berdasarkan
epistemology modern seperti post struktualisme dan post modernism.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa dengan berjalannya
waktu dan perkembangnya zaman, islampun mengalami perkembangan dengan
munculnya gerakan – gerakan seperti Post Modernisme dan Neo Modernisme
Islam, Islam Liberal, Islam Kultural, Post Tradionalisme Islam, menunjukkan adanya
perkembangan keberagaman dalam pemikiran para cendekiawan muslim baik yang
tradisonal maupun modern/ kontemporer. Inilah dinamika dalam Islam yang harus
disikapi dengan inklusif dan bijaksana.

Anda mungkin juga menyukai