Anda di halaman 1dari 54

Daftar Isi

Daftar Isi ......................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................ 1


B. Tujuan ............................................................................ 1
C. Kebijakan ........................................................................ 2
D. Strategi ............................................................................ 3
E. Kegiatan .......................................................................... 3
F. Sasaran ……………………………………………………………….
G. Pengertian ……………………………………………………………
1. Diare ……………………………………………………………….
2. Tifoid
3. Hepatitis A
4. Hepatitis E
5. Penyakit Tangan, Kaki dan Mulut (HFMD)

BAB II KEGIATAN PENGENDALIAN PENYAKIT INFEKSI SALURAN


PENCERNAAN...................................................................... 5

A. Surveilans Epidemiologi ................................................... 5


B. Promosi Kesehatan .......................................................... 25
C. Pencegahan ..................................................................... 26

BAB III TATALAKSANA PENYAKIT INFEKSI SALURAN PENCERNAAN


49

A. Pembagian Diare.............................................................. 49
1. Pembagian Diare
2. Prinsip Tatalaksana
3. Penentuan Diagnosis
4. Pengobatan
5. Perlindungan Spesifik
6. Layanan Rehidrasi Oral Aktif
7. Indikator
8. Pengelolaan Logistik
B. Tifoid................................................................................ 63
1. Pathogenesis dan Patologi
2. Gambaran Klinis
3. Gambaran Laboratorium Tifoid
4. Tatalaksana Klinis
a. Tatalaksana Diagnosis
b. Tatalaksana Pengobatan dan Perawatan
c. Pengobatan dan Perawatan Komplikasi
d. Perawatan Mandiri Rumah
5. Perlindungan Spesifik
- Pemberian Imunisasi

1
6. Rangkuman Prinsip dan Langkah Strategis Tatalaksana
Klinis
7. Standar Tatalaksana Tifoid di Tingkat Fasilitas
Pelayanan Kesehatan
8. Indikator
a. Target Penemuan Penderita
b. Cakupan pelayanan
9. Pengelolaan Logistik
a. Kebutuhan
b. Perhitungan Kebutuhan

C. Hepatitis adan Hepatitis E................................................ 66


1. Pathogenesis dan Patologi
2. Gambaran Klinis
3. Gambaran Laboratorium Tifoid
4. Tatalaksana Klinis
a. Tatalaksana Diagnosis
b. Tatalaksana Pengobatan dan Perawatan
c. Pengobatan dan Perawatan Komplikasi
d. Perawatan Mandiri Rumah
5. Perlindungan Spesifik
- Pemberian Imunisasi
6. Rangkuman Prinsip dan Langkah Strategis Tatalaksana
Klinis
7. Standar Tatalaksana Tifoid di Tingkat Fasilitas
Pelayanan Kesehatan
8. Indikator
a. Target Penemuan Penderita
b. Cakupan pelayanan
9. Pengelolaan Logistik
a. Kebutuhan
b. Perhitungan Kebutuhan

D. Penyakit Tangan, Kaki dan Mulut atau Hand, Foot and


Mouth Disease (HFMD)
1. Pathogenesis dan Patologi
2. Gambaran Klinis
3. Gambaran Laboratorium Tifoid
4. Tatalaksana Klinis
a. Tatalaksana Diagnosis
b. Tatalaksana Pengobatan dan Perawatan
c. Pengobatan dan Perawatan Komplikasi

2
d. Perawatan Mandiri Rumah
5. Perlindungan Spesifik
- Pemberian Imunisasi
6. Rangkuman Prinsip dan Langkah Strategis
Tatalaksana Klinis
7. Standar Tatalaksana Tifoid di Tingkat Fasilitas
Pelayanan Kesehatan
8. Indikator
a. Target Penemuan Penderita
b. Cakupan pelayanan
9. Pengelolaan Logistik
a. Kebutuhan
b. Perhitungan Kebutuhan

E. Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa........ 67

BAB IV PERAN DAN TANGGUNG JAWAB

A. Pusat
B. Provinsi
C. Kabupaten/Kota
D. Puskesmas
E. UPT Pusat (BBTKL, BTKL, BBLK, KKP

BAB V PEMANTAUAN DAN EVALUASI

BAB VI KOORDINASI, JEJARING KERJA, DAN KEMITRAAN

BAB VII SUMBER DAYA

BAB VII PENDANAAN

BAB IX PERAN SERTA MASYARAKAT

BAB X PEMBINAAN DAN PENGAWASAN .......................................... 99

LAMPIRAN

Lampiran 1 : Formulir 2.1 Rekapitulasi Penderita Diare Menurut Golongan


Umur
Lampiran 2 : Formulir 2.2 Imvestigasi Penderita Diare / Kolera

3
Lampiran 3 : Formulir 2.3 Pencatatan Kasus Diare
Lampiran 4 : Formulir 2.4 Pemantauan Pengendalian Program Diare
Lampiran 5 : Formulir 2.5 Pengetahuan Tatalaksana Penderita Diare di
Puskesmas
Lampiran 6 : Formulir 2.6 Indikator dan Target Program Diare
Lampiran 7 : Formulir 2.7 Etiologi Potensial Menimbulkan KLB Diare
Lampiran 8 : Formulir 2.8 Bagan Tatalaksana Penderita Diare

Daftar Pustaka
Tim Penyusun

Daftar Isi

1 Tanpa Balikan

4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan merupakan masalah
kesehatan di dunia
termasuk Indonesia. Menurut WHO dan UNICEF, terjadi sekitar
2 milyar kasus Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan di seluruh dunia
setiap tahun, dan
sekitar 1,9 juta anak balita meninggal karena Penyakit Infeksi
Saluran Pencernaan
setiap tahun, sebagian besar terjadi di negara berkembang. Dari
semua kematian anak balita karena Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan, 78% terjadi
di wilayah Afrika dan Asia Tenggara.

Data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, prevalensi diare


untuk semua kelompok umur sebesar 8 % dan angka prevalensi
untuk balita sebesar 12,3 %. Selain itu, setiap 1-2 kali per tahun,
balita di Indonesia menderita diare. Pernyataan bersama WHO-
UNICEF tahun 2004 merekomendasikan pemberian oralit, tablet zinc,
pemberian ASI dan makanan serta antibiotika selektif merupakan
bagian utama dari manajemen Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan.

Hasil Kajian Masalah Kesehatan berdasarkan siklus kehidupan


2011 yang dilakukan oleh Litbangkes tahun 2011 menunjukkan
penyebab utama kematian bayi usia 29 hari n 11 bulan adalah
Pnemonia (23,3%) dan Diare (17,4%). Dan penyebab utama
kematian anak usia 1-4 tahun adalah Pnemonia (20,5%) dan
Diare (13,3%).

Hasil Indonesia Sample Registration System tahun 2014 yang


dilakukan oleh Balitbangkes Kemenkes RI juga menyatakan bahwa
diare merupakan penyebab kematian utama nomor tiga pada bayi dan
nomor satu pada balita usia 1 – 4 tahun.

Hasil rapid survei diare yang dilakukan oleh oleh Subdit Hepatitis
dan  Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan (PISP) menunjukkan bahwa
angka kesakitan diare semua umur tahun 2015 adalah 270/1.000
penduduk semua umur dan kesakitan diare pada balita adalah
830/1.000 balita.

Diare sangat erat kaitannya dengan terjadinya kasus stunting.


Kejadian diare berulang pada bayi dan balita dapat menyebabkan
stunting. Zat mikro dalam tubuh yang seharusnya untuk
pertumbuhan dan perkembang, habis untuk melawan infeksi

5
berulang termasuk diare. Data dari Riset Kesehatan Dasar pada
tahun 2018, tingkat stunting di Indonesia adalah 30,8%. Diare
merupakan ancaman bagi kualitas hidup anak.

Kajian Analisis Determinan Faktor Penyebab Stunting di


Indonesia (Beal, Tumilowicz, Sutrisna, Izwardy, Neufeld, 2018) satu
studi menunjukkan adanya hubungan yang cukup kuat antara
kejadian diare dalam 7 hari terakhir dengan kejadian stunting
terutama didaerah pedesaan.

Tifoid ditemukan di masyarakat Indonesia, yang tinggal di kota


maupun desa. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kualitas
perilaku hidup bersih dan sehat, sanitasi dan lingkungan yang
kurang baik. Selain masalah diatas ada beberapa masalah lain yang
turut menambah besaran masalah penyakit tifoid di Indonesia
diantaranya adalah angka kemiskinan. Persentase penduduk miskin
pada Maret 2019 sebesar 9,41 persen. Jumlah penduduk miskin pada
Maret 2019 sebesar 25,14 juta orang. Persentase penduduk miskin di
daerah perkotaan sebesar 6,69 persen pada Maret 2019. Sementara
persentase penduduk miskin di daerah perdesaan sebesar 12,85
persen pada Maret 2019 (Berita Resmi Statistik; BPS; Juli 2019). Pada
penduduk miskin bila sakit tidak berobat ke sarana kesehatan, hal ini
dikarenakan masalah biaya, sehingga bila mereka menjadi penjamah
makanan maka mereka akan menjadi sumber penularan penyakit
kepada masyarakat yang menjadi pembeli jajanan tersebut. Risiko
penularan melalui penjamah makanan yang kebersihannya buruk
memperbanyak jumlah kasus tifoid.

Di Indonesia penyakit ini bersifat endemik dan merupakan


masalah kesehatan masyarakat. Data Riskesdas 2007 menunjukkan
angka prevalensi tifoid yang di diagnosa oleh tenaga kesehatan adalah
0,79 %. Angka kesakitan tifoid di Indonesia yang tercatat di buletin
WHO 2008 sebesar 81,7 per 100.000 dibagi menurut golongan umur
0-1 thn (0,0/ 100.000), 2-4 thn (148,7/100.000), 5-15 tahun (180,3/
100.000), >16 tahun 51,2 / 100.000/tahun. Angka ini menunjukkan
bahwa penderita terbanyak pada usia 2-15 tahun. 20-40 % kasus
tifoid harus menjalani perawatan di Rumah sakit. Biaya yang
dikeluarkan negara karena sakit Tifoid diperkirakan mencapai
60.000.000 dolar Amerika pertahun. Penderita tifoid mempunyai
potensi untuk menjadi carrier atau pembawa menahun. Era sebelum
antibiotika digunakan, diperkirakan sedikitnya 5% penderita tifoid
menjadi pembawa menahun. Pada saat terjadi bencana alam, yang
menyebabkan terjadinya pengungsian penduduk harus diwaspadai
terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit tifoid karena masalah
kebersihan diri, sanitasi dan kebersihan lingkungan.

Buku Pedoman Pengendalian Tifoid ini direvisi untuk disesuaikan


dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai hasil

6
penelitian dan data terbaru, serta kebutuhan program. Selama ini
terjadi over diagnosis tifoid yang berdampak tingginya penggunaan
antibiotika yang tidak tepat, hal ini memicu resistensi obat.

Interpretasi hasil pemeriksaan penunjang tifoid tidak mudah.


Permasalahannya sebagai negara endemis kita masih memiliki angka

morbiditas dan mortalitas tinggi. Penemuan kasus belum optimal


karena adanya kendala pada penunjang diagnosis, adanya variasi
gejala klinis, pemeriksaan penunjang standar baku yang sulit
dilaksanakan sampai ke lini terdepan. Salah satu faktor yang
memberatkan penyakit demam tifoid apabila terjadi komplikasi seperti
perforasi, yang mungkin disebabkan resistensi antibiotika (0,8%).
Berdasarkan alasan di atas, maka penyakit tifoid harus mendapat
perhatian yang serius, dan terpadu dalam pengendaliannya di
masyarakat.

HEPATITIS A DAN E

…………………….

HFMD

…………………….

B. Tujuan

1. Umum

Tersusunnya pedoman pengendalian Penyakit Infeksi Saluran


Pencernaan dan terselenggaranya kegiatan pengendalian Penyakit
Infeksi Saluran Pencernaan dalam rangka menurunkan angka
kesakitan dan angka kematian serta pencegahan dan
pengendalian stunting akibat Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan di Indonesia bersama lintas program dan lintas
sektor terkait.

2. Khusu

a. Tersedianya panduan bagi penentu kebijakan dalam


pelaksanaan dan pengembangan program pengendalian
Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan di Indonesia.

b. Tersedianya panduan dalam pelaksanaan Surveilans


epidemiologi Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan dan upaya
pengendaliannya.

7
c. Tersedianya panduan tatalaksana Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan sesuai standar.

d. Tersedianya panduan dalam meningkatkan pengetahuan


petugas dalam pengendalian Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan.

e. Tersedianya panduan untuk sistem pencatatan, pelaporan,


monitoring dan evaluasi program pengendalian Penyakit
Infeksi Saluran Pencernaan.

f. Tersedianya panduan dalam pengadaan logistik untuk


pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan.

g. Terbentuknya jejaring kerja dalam pengendalian Penyakit


Infeksi Saluran Pencernaan.

C. Kebijakan

Kebijakan program pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan


adalah sebagai berikut :

1. Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan berdasarkan


pada partisipasi dan pemberdayaan masyarakat serta disesuaikan
dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing daerah (local area
spesific).
2. Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan dilaksanakan
melalui pengembangan kemitraan dan jejaring kerja secara multi
disiplin, lintas program dan lintas sektor.
3. Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan dilaksanakan
secara terpadu dan komprehensif dalam upaya preventif, kuratif
dan promotif.
4. Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan dikelola secara
profesional, berkualitas, merata dan terjangkau oleh masyarakat
melalui penguatan seluruh sumber daya.
5. Penguatan sistem Surveilans Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan
sebagai bahan informasi bagi pengambilan kebijakan dan
pelaksana program.
6. Pelaksanaan kegiatan pengendalian Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan harus dilakukan secara efektif dan efisien melalui
pengawasan yang terus ditingkatkan intensitas dan kualitasnya
dengan pemantapan sistem dan prosedur, bimbingan dan
evaluasi.

8
D. Strategi

1. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk


berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) sehingga terhindar
dari Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan.
2. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan potensi dan
peran serta masyarakat untuk penyebar luasan informasi
kepada masyarakat tentang pengendalian Penyakit Infeksi
Saluran Pencernaan.
3. Mengembangkan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) yang efektif
dan efisien terutama bagi masyarakat yang berisiko.
4. Meningkatkan pengetahuan petugas dan menerapkan
pelaksanaan tatalaksana Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan
secara standar di semua fasilitas kesehatan.
5. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan yang berkualitas melalui peningkatan sumber daya
manusia dan penguatan institusi, serta standarisasi pelayanan.
6. Meningkatkan surveilans epidemiologi Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan.
7. Mengembangkan jejaring kemitraan secara multi disiplin
lintas program dan lintas sektor di semua jenjang baik
pemerintah maupun swasta.

B. Kegiatan

1 Advokasi dan sosialisasi kepada pemangku kepentingan.


2 Sosialisasi dan edukasi tentang pengendalian Penyakit Infeksi
Saluran Pencernaan kepada petugas kesehatan terkait.
3 Promosi kesehatan kepada masyarakat melalui media
komunikasi baik cetak maupun elektronik.
4 Penyusunan dan pengembangan pedoman pengendalian
Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan dan tatalaksana penderita
Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan sesuai standar.
5 Penanganan penderita Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan
sesuai tatalaksana standar.
6 Surveilans epidemiologi dan bantuan teknis dalam
penanggulangan KLB Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan.
7 Upaya pencegahan yang melibatkan lintas program, lintas
sektor dan masyarakat.
8 Pengelolaan logistik sebagai sarana penunjang program.
9 Pemantauan dan evaluasi secara berkala dan
berkesinambungan.

3 Depan

9
BAB II
KEGIATAN PENGENDALIAN PENYAKIT INFEKSI
SALURAN PENCERNAAN

A. Surveilans Epidemiologi (DIT SKK)


1. Tujuan

Diketahuinya situasi epidemiologi dan besaran masalah


Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan di masyarakat, sehingga
dapat dibuat perencanaan dalam pencegahan, penanggulangan,
dan pengendaliannya di semua jenjang pelayanan.

2. Pengertian

a. Epidemiologi

Epidemiologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari


tiga kata dasar, yaitu epi yang berarti pada atau tentang,
demos yang berarti penduduk, dan logos yang berarti
ilmu pengetahuan. Jadi Epidemiologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang penduduk. Sedangkan dalam
pengertian modern saat ini Epidemiologi adalah illmu
yang mempelajari tentang frekuensi dan distribusi
(penyebaran) serta determinan masalah kesehatan pada
sekelompok orang/masyarakat serta determinannya
(faktor-faktor yang mempengaruhinya). 1

b. Surveilans Epidemiologi

Surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara


sistematis dan terus-menerus terhadap penyakit atau
masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan
penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut agar
dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif
dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan
dan penyebaran informasi epidemiologi kepada
penyelenggara program kesehatan.2
1. Budiarto. Eko. Pengantar Epidemiologi.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2003
2. Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1116/MENKES/SK/VHI/2003.
Tahun 2004. Jakarta.

4 Depan

10
c. Wabah

Wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit


menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya
meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang
lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat
menimbulkan malapetaka.3

d. Kejadian Luar Biasa (KLB)

Kejadian Luar Biasa (KLB) yaitu timbulnya atau


meningkatnya kejadian kesakitan dan atau kematian
yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah
dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan
yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.4

Kriteria KLB sesuai dengan ketentuan peraturan Peraturan


Menteri Kesehatan Nomor 1501/Menkes/ Per/X/2010
tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat
Menimbulkan Wabah Dan Upaya Penanggulangan.

3. Prosedur Surveilans

a. Cara Pengumpulan Data Penyakit Infeksi Saluran


Pencernaan

Ada tiga cara pengumpulan data Penyakit Infeksi Saluran


Pencernaan, yaitu melalui laporan rutin, laporan KLB, dan
pengumpulan data melalui studi kasus.

1) Laporan Rutin

Dilakukan oleh Puskesmas dan Rumah Sakit melalui


SP2TP (LB), SPRS (RL), STP, dan rekapitulasi penyakit
diare. Oleh karena Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan
termasuk penyakit yang dapat menimbulkan KLB, maka
perlu dibuat laporan mingguan (W2). Untuk dapat
membuat laporan rutin perlu pencatatan setiap hari
(register) penderita Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan
yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan, posyandu
atau kader.

3
Departemen Kesehatan RI. Undang Undang Nomor 4 Tahun 1984. Tahun 1985. Jakarta.
4
Departemen Kesehatan RI. Nomor 1501 /Menkes/Per/X/2010 Tahun 2011. Jakarta.

4 Belakang

11
Data register harian dapat mendeteksi adanyanya
peningkatan jumlah kasus dan tanda-tanda akan
terjadinya KLB sehingga dapat segera dilakukan
tindakan penanggulangan secepatnya. Laporan rutin
ini dikompilasi oleh petugas pencatatan dan pelaporan
Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan di puskesmas
kemudian dilaporkan ke kabupaten/kota melalui
laporan bulanan (LB) dan STP setiap bulan.

Petugas/Pengelola Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan


Kabupaten/Kota membuat rekapitulasi dari masing-
masing puskesmas dan secara rutin (bulanan) dikirim
ke provinsi dengan menggunakan formulir rekapitulasi
Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan. Dari provinsi
direkapitulasi berdasarkan kabupaten/ kota secara
rutin (bulanan) dan dikirim ke pusat (Direktorat
Jenderal PP dan PL cq. Sub Direktorat Pengendalian
Diare dan Infeksi Saluran Pencernaan) dengan
menggunakan Formulir 2.1 (lihat Lampiran 2).

2) Laporan KLB/Wabah

Setiap terjadi KLB/wabah harus dilaporkan dalam


periode 24 jam dengan Format Laporan W1 dan
dilanjutkan dengan laporan khusus yang meliputi :

■ Kronologi terjadinya KLB.


■ Cara penyebaran serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
■ Keadaan umum penderita.
■ Hasil penyelidikan epidemiologi yang telah
dilakukan.
■ Hasil penanggulangan KLB dan rencana tindak
lanjut.

2) Pengumpulan data melalui studi kasus

Pengumpulan data ini dapat dilakukan satu tahun


sekali, misalnya pada pertengahan atau akhir tahun.
Tujuannya untuk mengetahui data dasar (base line
data) sebelum atau setelah program dilaksanakan
dan hasil penilaian tersebut dapat digunakan untuk
perencanaan di tahun yang akan datang.

b. Pengolahan, Analisis, dan Interpretasi

5 Depan

12
Data yang telah dikumpulkan, diolah, dan ditampilkan
dalam bentuk tabel atau grafik, kemudian dianalisis dan
diinterpretasi. Analisis ini sebaiknya dilakukan berjenjang
dari puskesmas hingga pusat sehingga apabila terdapat
permasalahan segera dapat diketahui dan diambil
tindakan pemecahannya.

c. Penyebarluasan Hasil Interpretasi

Hasil analisis dan interpretasi data yang telah


dikumpulkan, diumpanbalikkan kepada pihak yang
berkepentingan, yaitu kepada pimpinan di daerah
(kecamatan hingga dinas kesehatan provinsi) untuk
mendapatkan tanggapan dan dukungan.

4. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD)

a. Pengertian

SKD merupakan kewaspadaan terhadap penyakit


berpotensi KLB beserta faktor-faktor yang
mempengaruhinya dengan menerapkan teknologi
surveilans epidemiologi dan dimanfaatkan untuk
meningkatkan sikap tanggap kesiapsiagaan. upaya-upaya,
dan tindakan penanggulangan kejadian luar biasa yang
cepat dan tepat.6

b. Tujuan

1) Menumbuhkan sikap tanggap terhadap adanya


perubahan dalam masyarakat yang berkaitan dengan
kesakitan dan kematian.

2) Mengarahkan sikap tanggap tersebut terhadap


tindakan penanggulangan secara cepat dan tepat
untuk mengurangi jumlah penderita dan mencegah
kematian.

3) Memperoleh informasi secara cepat, tepat, dan akurat.

5 Belakang

13
c. Tahap Pelaksanaan

Pengamatan SKD KLB mencakup :

1) Jumlah penderita dan faktor risiko

Pengamaan lebih intensif bila :

■ Meningkatnya jumlah penderita Penyakit Infeksi Saluran


Pencernaan berdasarkan tempat, waktu dan orang.

■ Kesehatan Lingkungan

(1) Cakupan penduduk yang akses terhadap jamban


sehat < 80%.
(2) Jumlah desa/kelurahan yang melaksanakan
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
(3) Cakupan penduduk yang akses terhadap air
minum yang layak < 80%.
(4) Cakupan rumah tangga yang mengelola makanan
dengan aman < 80%.
(5) Cakupan tempat pengelolaan makanan (TPM)
yang memenuhi syarat kesehatan < 80%.
(6) Cakupan pengelolaan sampah rumah dan limbah
cair rumah tangga yang memenuhi syarat
kesehatan < 80%.

2) Perilaku Masyarakat

Berpedoman pada 5 pilar STBM. yaitu:

Stop buang air besar sembarangan (SBS).


Cuci tangan pakai sabun (CTPS) dengan air mengalir
di enam waktu penting (sebelum makan, sebelum
mengolah dan menghidangkan makanan, sebelum
menyusui, sebelum member makan bayi/balita,
sesudah buang air besar/kecil, sesudah memegang
hewan/unggas).

Pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga


(PAMM-RT). Tahapan pengelolaan air minum dengan
melakukan pengolahan air baku (pengendapan dan
penyaringan), pengolahan air untuk diminum (filtrasi,
klorinasi, kuagulasi/flokulasi, dan desinfeksi), dan
memperhatikan wadah penyimpanan air minum yang
aman (tertutup, berleher sempit, dan diletakkan di

14
tempat yang bersih dan sulit dijangkau binatang).
Tahapan pengelolaan makanan rumah tangga dengan
menerapkan prinsip hygiene sanitasi makanan, yaitu
pemilihan bahan makanan, penyimpanan bahan
makanan, pengolahan makanan, penyimpanan
makanan matang, pengangkutan makanan, dan
penyajian makanan.

■ Pengamanan sampah rumah tangga, dengan


menerapkan prinsip reduce (mengurangi sampah),
reuse (memanfaatkan kembali), dan recycle (mendaur
ulang kembali).

■ Pengamanan limbah cair rumah tangga, dengan


menerapkan prinsip air limbah kamar mandi dan
dapur tidak boleh tercampur dengan air dari jamban,
tidak boleh menjadi tempat perindukan vector, tidak
boleh menimbulkan bau, dan terhubung dengan
saluran limbah umum/got atau sumur resapan.

3) KLB diare sebelumnya :

a) Frekuensi KLB berdasarkan wilayah


b) Waktu (bulan) terjadinya KLB
c) Lama KLB berlangsung
d) Kelompok umur dan pekerjaan
e) Tindakan penanggulangan KLB
f) Faktor risiko (sumber dan cara penularan)
g) Perubahan kondisi, antara lain iklim (climate change),
pengungsian, bencana alam, perpindahan penduduk,
dan pesta/kenduri.

d. Sumber Informasi

1) Pencatatan dan pelaporan rutin


2) Masyarakat
3) Mass media
4) Instansi/lembaga terkait, misalnya BMG dan LSM
5) Hasil survey/studi kasus

e. Tindak lanjut SKD KLB

a) Di puskesmas, meliputi:

(1) Pengamatan terhadap kasus dan faktor risiko.


(2) Penyegaran dan pelatihan kader/masyarakat.
(3) Menyiapkan logistik (oralit, zinc, obat yang sesuai

6 Belakang

15
dengan program pengendalian Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan).
(4) Perbaikan kualitas sarana air bersih dan sanitasi
melalui desinfeksi, perbaikan konstruksi, dan
pembuatan sarana baru sebagai percontohan.
(5) Perbaikan kualitas air dan lingkungan melalui
inspeksi sanitasi (IS) dan pengambilan sampel.
(6) Penyuluhan kesehatan secara intensif pada kelompok
masyarakat.
(7) Informasi kepada kepala wilayah (camat).
(8) Menyiapkan carry and blair untuk pengambilan
sampel rectal swab (usap dubur) dan segera dikirim
ke laboratorium.

b) Di Kabupaten/Kota, meliputi:

(1) Pelatihan/penyegaran tenaga puskesmas dan


masyarakat (pengusaha dan penjual makanan).
(2) Pemeriksaan bakteriologis terhadap air, makanan,
dan peralatan makanan.
(3) Memberikan masukan kajian data kepada pengambil
keputusan untuk mendapatkan dukungan politis,
dana, produk hukum, dan lain-lain.
(4) Perencanaan logistik (oralit, cairan ringer laktat,
antibiotika, reagensia, media transport).
(5) Produksi media cetak sederhana.
(6) Penyuluhan melalui media massa (cetak dan elektronik).
(7) Diseminasi informasi lintas sektor terkait.
(8) Menyiapkan tim penanggulangan KLB Penyakit Infeksi
Saluran Pencernaan.

c) Di provinsi, meliputi:

(1) Melatih petugas kabupaten/kota.


(2) Membantu pemenuhan kebutuhan logistik (membuat
buffer stok).
(3) Menyusun petunjuk teknis sesuai spesifikasi masing-
masing.
(4) Memberi masukan kajian data kepada pengambil
keputusan.
(5) Memproduksi media penyuluhan elektronik dan cetak
serta menyebarluaskan ke lokasi rawan KLB.
(6) Intensifikasi penyuluhan melalui berbagai media
massa.
(7) Menyusun perencanaan menyeluruh di daerah sesuai
kompetensinya.

16
(8) Menyiapkan tim penanggulangan KLB Penyakit Infeksi
Saluran Pencernaan.

d) Di pusat, meliputi:

(1) Menyusun pedoman, norma, standar, prosedur, dan


kriteria.
(2) Menyusun indikator.
(3) Menyusun perencanaan program (logistik, pengamatan,
pencegahan, penyuluhan).
(4) Melakukan kajian melalui studi khusus.
(5) Monitoring dan evaluasi pelaksanaan SKD.

5. Pengorganisasian

a. Pengorganisasian SKD KLB Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan.

Pengorganisasian SKD KLB Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan


dilakukan mulai dari puskesmas, kabupaten/kota, provinsi,
lintas batas, dan pusat.

Pengorganisasian SKD KLB terdiri dari :

1) Puskesmas

a) Pelaksanaan SKD KLB dikoordinir oleh Kepala


Puskesmas:

(1) Petugas Pengendalian Penyakit, terutama


pengelola program Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan.
(2) Petugas surveilans.
(3) Petugas kesehatan lingkungan.
(4) Petugas pencatatan dan pelaporan (RR).

b) Fungsi dan peranan:

(1) Melakukan analisis terhadap penderita penyakit


diare dari kunjungan puskesmas per minggu.
(2) lingkungan pada lokasi/desa yang cakupannya
rendah.
(3) Melakukan pemicuan STBM.
(4) Melakukan surveilans factor risiko kesehatan
lingkungan melalui klinik sanitasi.
(5) Melakukan pengamatan intensif di desa yang
pada periode sebelumnya (minggu, bulan periode

7 Belakang

17
yang sama tahun lalu) terjadi peningkatan kasus.
(6) Membuat laporan mingguan mengenai keadaan
penderita Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan di
wilayahnya dan
melaporkan kepada kabupaten/kota.

2) Kabupaten/Kota

a) Pelaksanaan dikoordinir oleh Kepala Dinas Kesehatan,


dibantu oleh pengelola program terkait dalam KLB
Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan (surveilans, diare,
Tifoid, Hepatitis A dan E serta HFMD, kesehatan
lingkungan, dan promosi kesehatan) atau disesuaikan
dengan struktur/organisasi setempat.

b) Fungsi dan Peranan :

(1) Melakukan analisis laporan mingguan penyakit


diare.
(2) Melakukan telaah dan kajian terhadap faktor
risiko yang ada dari aspek kualitas kesehatan
lingkungan dan perilaku masyarakat.
(3) Mengembangkan wirausaha sanitasi.
(4) Menyusun rencana tentang logistik dan kegiatan
pencegahan yang ditujukan terhadap faktor risiko
dan tatalaksana penderita serta penyuluhan.
(5) Membuat laporan untuk penanggung jawab
tingkat provinsi dan diseminasi informasi kepada
sektor terkait serta membuat rekomendasi untuk
kepala daerah kabupaten/kota.
(6) Mengembangkan pelatihan petugas dan
masyarakat dengan dana yang bersumber DIPA
kabupaten/kota atau APBD kabupaten/kota.
(7) Menyusun rencana kerjasama lintas program
dan lintas sektor secara berkala.
3) Provinsi

a) Pengelola program terkait antara lain kesehatan


lingkungan, pengendalian Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan, surveilans,
dan promosi kesehatan atau disesuaikan dengan
struktur organisasi kesehatan setempat.

b) Fungsi dan peranan :

(1) Melakukan analisis terhadap daerah rawan KLB

8 Depan

18
dan faktor risikonya serta pemetaan.
(2) Melakukan penyusunan kegiatan untuk bantuan
logistik, pengamatan dan perbaikan kualitas
kesehatan lingkungan.
(3) Mengembangkan metode dan media penyuluhan
yang tepat untuk daerah sasaran.
(4) Mengembangkan pelatihan bagi petugas
kabupaten/kota.
(5) Menyusun petunjuk teknis untuk pengamatan
kasus dan faktor risiko.
(6) Melakukan dan mengirimkan hasil kajian/
pelaporan ke pusat.
(7) Melakukan desiminasi informasi bagi instansi
terkait dan advokasi untuk pimpinan daerah.
(8) Menyusun dan mengembangkan standar dan
kriteria daerah.
(9) Menyusun pertemuan berkala LP/LS di tingkat
provinsi.

4) Pusat

a) Pelaksana, terdiri dari:

(1) Direktorat Pengendalian Penyakit Menular


Langsung cq. Subdit Pengendalian Diare dan
Infeksi Saluran Pencernaan.
(2) Direktorat Penyehatan Lingkungan.
(3) Pusat Promosi Kesehatan.
(4) Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan.

b) Fungsi dan peranan

(1) Melakukan kajian terhadap KLB yang terjadi di


daerah.

(2) Menyusun dan mengembangkan pedoman teknis


untuk SKD-KLB.
(3) Mengembangkan pelatihan bagi petugas provinsi.
(4) Menyusun dan mengembangkan norma, standar,
prosedur, kriteria tatalaksana kasus dan
kesehatan lingkungan.
(5) Melakukan desiminasi informasi bagi pihak dan
instansi terkait.
(6) Melaksanakan studi kasus pengkajian
karakteristik daerah rawan KLB.
(7) Menyusun pertemuan berkala lintas
program/lintas sektor di pusat.

19
b. Lintas Batas

Lintas batas daerah yang mengalami KLB (wilayah


puskesmas, kabupaten/kota, dan provinsi lain) ditunjuk
sebagai penanggung jawab atau koordinator.

1) Menyampaikan hasil kajian kegiatan yang dilakukan


secara berjenjang.
2) Melakukan pertemuan dengan penanggung jawab
dari wilayah yang berbatasan.
3) Menyusun kesepakatan bersama dalam pengamanan
penderita, antisipasi atau kesiapsiagaan di wilayah
masing-masing.
4) Menyusun kesepakatan untuk sistim informasi
tentang kondisi diare di wilayah masing-masing.

Pelayanan kesehatan Kejadian Luar Biasa yang terjadi di


lintas batas yang mencakup Kabupaten/Kota dalam satu
Provinsi merujuk kepada Peraturan Menteri Kesehatan No. 4
tahun 2019 Tentang Standar Teknis Pemenuhan Mutu
Pelayanan Dasar Pada Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan yaitu Standar Pelayanan Minimal Kesehatan
Daerah Provinsi yang mengatur pelayanan kesehatan bagi
penduduk pada kondisi kejadian luar biasa provinsi.

6. Manajemen KLB Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan

Manajemen KLB diare dapat dibagi tiga fase yaitu pra-KLB, saat
KLB dan pasca KLB.

a. Pra-KLB

Persiapan yang perlu diperhatikan pada pra KLB/Wabah


adalah:

1) Kabupaten/kota, provinsi, dan pusat perlu membuat


surat edaran atau instruksi kesiapsiagaan di setiap
tingkat.
2) Meningkatkan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) di wilayah
Puskesmas, terutama di desa rawan KLB.
3) Mempersiapkan tenaga dan logistik yang cukup di
Puskesmas, kabupaten/kota, dan provinsi dengan
membentuk Tim Gerak Cepat (TGC).
4) Meningkatkan upaya promosi kesehatan.
5) Mempersiapkan pemeriksaan laboratorium untuk
mengetahui etiologi/penyebab KLB.

20
6) Meningkatkan kegiatan lintas program dan sektor.

b. Saat KLB

Kegiatan saat KLB :

1) Penyelidikan KLB

a) Tujuan

(1) Memutus rantai penularan.


(2) Menegakkan diagnosa penderita yang dilaporkan.
(3) Mengidentifikasi etiologi Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan.
(4) Memastikan terjadinya KLB Diare.
(5) Mengetahui distribusi penderita menurut waktu,
tempat, dan orang.
(6) Mengidentifikasi sumber dan cara penularan penyakit
diare.
(7) Mengidentifikasi populasi rentan.

b) Tahapan penyelidikan KLB

(1) Mengumpulkan data dengan menggunakan Formulir


2.2 (lihat Lampiran 2), mengolah, dan menganalisis
informasi termasuk faktor risiko yang ditemukan.

(2) Membuat kesimpulan berdasarkan:

(a) Faktor tempat yang digambarkan dalam suatu


peta (spotmap) atau tabel tentang :
■ Kemungkinan faktor risiko yang menjadi
sumber penularan.
■ Keadaan lingkungan biologis (agen, penderita),
fisik dan sosial ekonomi.
■ Cuaca.
■ Ekologi.
■ Adat kebiasaan.
■ Sumber air minum dan sebagainya.
(b) Faktor waktu yang digambarkan dalam kurva
epidemik yang menyatakan hubungan waktu (onset
time) dengan jumlah kasus sehingga dapat
diketahui
masa inkubasi dengan penyebab KLB diare. Setelah
dibuat grafiknya dapat diinterpretasikan:
■ Kemungkinan penyebab KLB.

21
■ Kecenderungan perkembangan KLB.
■ Lamanya KLB.

(c) Faktor orang yang terdiri dari: umur, jenis kelamin,


tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, suku bangsa,
adat istiadat, agama/ kepercayaan dan sosial
ekonomi.

2) Penanggulangan KLB

a) Mengaktifkan Tim Gerak Cepat (TGC)

TGC terdiri dari unsur lintas program dan lintas sektor.

b) Pembentukan Pusat Rehidrasi (Posko KLB Penyakit Diare)

Pusat rehidrasi dibentuk dengan maksud untuk


menampung penderita diare yang memerlukan perawatan
dan pengobatan. Pusat Rehidrasi dipimpin oleh seorang
dokter dan dibantu oleh tenaga kesehatan yang dapat
melakukan tata laksana diare sesuai standar. Tempat
yang dapat dijadikan sebagai pusat rehidrasi adalah
tempat yang terdekat dari lokasi KLB Penyakit Infeksi
Saluran Pencernaan dan terpisah dari pemukiman.

Tugas-tugas di Pusat Rehidrasi (Posko KLB Penyakit


Diare):

■ Memberikan pengobatan penderita diare sesuai dengan


tatalaksana standar serta mencatat perkembangan
penderita.
■ Melakukan pencatatan penderita: nama. umur, jenis
kelamin, alamat lengkap, masa inkubasi, gejala,
diagnosa/klasifikasi dan lain-lain.
■ Mengatur logistik obatnobatan dan lain-lain.
■ Pengambilan sampel usap dubur penderita sebelum
diterapi.
■ Penyuluhan kesehatan kepada penderita dan
keluarganya.
■ Menjaga agar pusat rehidrasi tidak menjadi sumber
penularan (dengan mengawasi pengunjung, isolasi
dan desinfeksi).
■ Memberikan pengobatan secara standar.
■ Membuat laporan harian/mingguan penderita
diare baik rawat jalan maupun rawat inap.

Penemuan penderita diare secara aktif untuk mencegah

22
kematian di masyarakat, dengan kegiatan :

(1) Penyuluhan intensif agar penderita segera mencari


pertolongan.
(2) Mengaktifkan posyandu sebagai Pos Oralit dan Zinc
(3) Melibatkan Kepala Desa/RW/RT atau tokoh
masyarakat dan kader untuk membagikan oralit
kepada warganya yang diare.

Analisis tatalaksana penderita untuk memperoleh


gambaran :

(1) Ratio pengunaan obat (oralit, Zinc, RL, antibiotika


sesuai indikasi tertentu).
(2) Proporsi derajat dehidrasi.
(3) Proporsi penderita yang dirawat di pusat rehidrasi.
(4) Dan lain-lain.

c. Pasca KLB

Setelah KLB dinyatakan berakhir, beberapa kegiatan yang


perlu dilakukan :

1) Pengamatan intensif masih dilakukan selama 2 kali masa


inkubasi terpanjang, untuk melihat kemungkinan
timbulnya kasus baru.
2) Perbaikan sarana lingkungan yang diduga sumber
penularan.
3) Promosi kesehatan tentang Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS).

7. Peranan Diagnostik Laboratorium Mikrobiologik (BBTKLPP)

a. Tujuan

Untuk mengetahui etiologi/penyebab Penyakit Infeksi Saluran


Pencernaan.
b. Bahan

1) Darah (belum ada di pedoman)


2) Rectal swab (usap dubur), sebaiknya diambil sebelum
diberi antibiotika.
3) Sumber air minum yang dicurigai.
4) Makanan, minuman, dan bahan lain (bahan muntahan).

c. Alat

1) Untuk Rectal Swab

23
(a) Kapas lidi steril (lidi yang bagian ujungnya dibalut
dengan kapas yang sudah disterilkan/suci hama).
(b) Medium transport Carry Blair.
(c) Sarung tangan, alat pelindung diri.
(d) Jas laboratorium, tas sampling.
(e) Label identitas penderita.
(f) Spidol, pulpen (alat tulis).
(g) Coolbox (termos es) dan iee pack.

2) Untuk pemeriksaan air

(a) Botol steril mulut lebar dengan kapasitas 500 ce.


(b) Natrium Thiosulfat/Hyposulfit untuk menetralkan
air.
(c) Label identitas untuk botol.
(d) Spidol, pulpen (alat tulis).
(e) Coolbox (termos es) dan Ice pack.

3) Untuk pemeriksaan makanan.

(a) Sarung tangan.


(b) Sendok/garpu.
(c) Alat potong (pisau/gunting).
(d) Kantung plastik steril/botol steril.
(e) Label identitas sample.
(f) Spidol, pulpen (alat tulis).
(g) Coolbox (termos es) dan ice pack.

4) Untuk pemeriksaan bahan lain (muntahan)

(a) Sarung tangan.


(b) Sendok/garpu.
(c) Alat potong (pisau/gunting).
(d) Kantung plastik steril/botol steril.
(e) Label identitas sample.
(f) Spidol, pulpen (alat tulis).
(g) Coolbox (termos es) dan ice pack.

d. Pengambilan, Penyimpanan, Pengemasan, dan Pengiriman


Specimen.

1) Pengambilan Specimen

a) Rectal Swab (usap dubur)

Siapkan peralatan yang dibutuhkan terlebih


dahulu.
Penderita tidur dengan posisi miring, satu kaki

24
yang dibawah dalam posisi lurus dan satu kaki
yang diatas dalam posisi ditekuk 90°.
Petugas yang sudah memakai jas laboratorium
dan sarung tangan.
Kapas lidi steril terlebih dahulu dicelupkan
kedalam agar yang ada dalam tabung Cary &
Blair agar supaya tidak sulit memasukkan dalam
liang dubur/anus.
Kapas lidi dimasukkan perlahan-lahan kedalam
dubur, setelah masuk dubur, lidi ditekan sedikit
lagi sampai memasuki rectum (±1,5 cm). Kalau
kapas lidi masih terlihat dari luar berarti kapas
belum sempurna memasuki liang dubur/anus
apalagi untuk memasuki rectum.
Lidi diputar kekanan (searah putaran jarum jam
sampai satu putaran penuh 360°).
Kapas lidi dicabut kembali sambil diputar
kekanan. Setelah lidi sampai diluar segera
masukkan dalam tabung Cary & Blair, lidi ditekan
sampai ke dasar botol sehingga seluruh bagian
lidi yang terbalut kapas terendam dalam agar.
Jika ada bagian lidi yang terlalu panjang sampai
melewati mulut tabung, potong persis dipinggir
mulut tabung dan tabung segera ditutup.
Pasangi label pada setiap botol specimen.

No.urut / No.kode : ..........................


Tgl pengambilan specimen : ...............................
Nama : ..........................
Umur / Jenis kelamin : .....................................
Alamat :

25
b) Air
(1) Siapkan alat-alat yang dibutuhkan terlebih dahulu.
(2) Cara mengambil sampel air (dari sumber air yang
dicurigai).

■ Sungai dangkal: gunakan botol bersih bermulut


lebar. Arah pengambilan sampel melawan arus
sungai dan 10 cm di bawah permukaan air.
■ Sungai dalam: air diambil pada bagian tengah
sungai, minimal 1,5 m dari kedua tepinya dengan
menggunakan pemberat pada botol sampel air
diambil 30 cm dibawah permukaan. Untuk sungai
yang lebar air diambil dari 3 tempat (bagian
tengah dan kedua tepinya).
■ Air danau: air diambil di bagian tengah, minimal
1,5 m dari tepi dan 50 cm dari permukaan.
■ Air hujan: air diambil dari bak penampungan
air hujan.
■ Air sumur: gunakan botol dengan pemberat dan
air diambil dari bagian dalam sumur.
■ Air pipa: bersihkan pipa dengan
desinfektan/dibakar kemudian buka kran dan
biarkan air mengalir selama 5-10 menit kemudian
tampung dengan botol bermulut lebar, jarak
mulut kran dan mulut botol + 2,5 cm.

(3) Botol segera ditutup dan diberi label :

Asal air : ...........................................


Alamat pengambilan : ................................................
Tanggal : ...........................................
Hari:
Jam : ...........................................

Perlu diperhatikan :

 Bila dilakukan pemeriksaan air disuatu lokasi,


maka semua sumber air harus diperiksa,
misalnya sumur, tanki air, air pipa saluran.

 Apabila air telah dichlorinasi, maka air harus


dinetralkan dulu dengan penambahan
Hyposulphit atau Natrium Thiosulfat segera
setelah pengambilan sampel.

26
■ Botol tidak boleh diisi penuh, bila pada saat
pengambilan botol terisi penuh maka keluarkan
sebagian air.
(4) Makanan

■ Siapkan alat-alat yang dibutuhkan terlebih


dahulu.

■ Petugas yang telah menggunakan sarung tangan


secara aseptis memasukkan sampel ke dalam
botol dengan sendok, garpu yang dilakukan
secara acak.

■ Apabila bentuk sampel terlalu besar maka perlu


dipotong menjadi kecil agar mudah dianalisa di
laboratorium.

■ Apabila sampel berkuah sebaiknya kuahnya juga


diambil.

■ Botol segera ditutup, secara aseptis dan diberi


label.

Nama makanan : ................................


Nama penderita : ................................
Tanggal pengambilan : ......................................
Jam pengambilan : ...........................................
Asal sampel : ................................

(5) Muntahan

 Siapkan alat alat yang dibutuhkan terlebih


dahulu.

 Petugas yang telah memakai sarung tangan


secara aseptis memasukkan sampel kedalam
botol dengan sendok dan garpu secara acak.

 Apabila bentuk sampel terlalu besar maka perlu


dipotong menjadi kecilnkecil dengan
pisau/gunting agar mudah dianalisa di
laboratorium.

27
 Apabila sampel mengandung air, sebaiknya airnya
juga diambil.

 Botol segera ditutup secara aseptis, dan diberi


label.

Nama penderita : ....................................


Tanggal pengambilan : .........................................
Jam pengambilan : ..............................................
Asal sampel : ....................................

2) Penyimpanan Spesimen

a) Rectal Swab (usap dubur)

(1) Masukkan tabung Carry & Blalr kedalam termos es


dan segera kirim ke laboratorium rujukan. Bila
medium transport tidak tersedia, masukkan segera
usap dubur tersebut kedalam tabung kaca atau
kantong plastik baru dan bersih dan ikat supaya
spesimen tidak terkontaminasi, dan jangan lupa
memberikan label identitas penderita yang lengkap.

(2) Untuk spesimen rectal swab, cukup disimpan dalam


ruang sejuk dan terlindung dari sinar matahari,
penyimpanan dalam lemari es lebih baik.

Medium transport Cary & Blair :

■ Medium disimpan dalam lemari pendingin


(4°C -8°C) sampai sebelum dipakai.
■ Perhatikan tanggal kadaluarsa, biasanya dapat
dipakai dalam waktu 1 tahun.
■ Volume agar tidak berkurang.
■ Warna media/agar tidak berubah.
■ Kapas lidi harus tetap steril, bila kemasan rusak
jangan dipakai.
b) Air

Bila memerlukan waktu lebih dari 6 jam, sampel


dimasukkan dalam kotak pendingin (coolbox) dengan
suhu 8°C-10°C.
c) Makanan
Masukkan sampel kedalam coolbox yang telah berisi icepack.

d) Bahan lain (muntahan)

28
Masukkan sampel kedalam coolbox yang telah berisi icepack.

3) Pengemasan Spesimen

(a) Rectal Swab (usap dubur)

Pengemasan ini penting dalam pengirim spesimen


agar supaya tidak terjadi kerusakan/pecahnya tabung
spesimen.

■ Untuk kemasan dalam botol/tabung yang tidak


berbentuk cairan misalnya: Carry & Blair disusun
dalam kotak dengan rapi, antara tabung spesimen
harus diberi sekat begitupun untuk setiap
tingkatan agar tidak saling berbenturan.
■ Posisi spesimen jangan sampai terbalik.
■ Kotak bagian luar harus lebih tebal/keras supaya
benturan dari luar tidak langsung mempengaruhi
botol spesimen.
■ Yang penting sekali adalah memasang label-
label.
Tujuan Pengiriman : ...................................
Alamat Pengiriman : ...................................
Label Peringatan : posisi spesimen bagian atas dan
bawah (dapat berupa tanda
panah/payung)

(b) Air
(c) Makanan
(d) Bahan Muntahan

4) Pengiriman Spesimen

Untuk pengiriman spesimen, pilihlah kargo/jasa angkutan


yang dapat dipercaya baik dari segi keselamatan maupun
dari ketepatan waktu untuk sampai ditempat tujuan maupun
dibawa oleh petugas yang berdinas makin cepat makin baik
berarti spesimen makin segar.

B. Promosi Kesehatan (Dit Promkes)

1. Pengertian

Promosi Kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan


kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh,
untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong

29
dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang
bersumberdaya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat
dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan
kesehatan5 . Strategi Promosi Kesehatan adalah cara atau
langkah yang diperlukan untuk mencapai, memperlancar
atau mempercepat pencapaian tujuan promosi kesehatan.

2. Tujuan

Terwujudnya masyarakat yang mengerti, menghayati dan


melaksanakan hidup sehat melalui komunikasi, informasi
dan edukasi (KIE) sehingga kesakitan dan kematian karena
Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan dapat dicegah.

3. Strategi

Strategi promosi kesehatan9 terdiri dari :

1. Pengembangan kebijakan promosi kesehatan daerah.


2. Peningkatan sumber daya promosi kesehatan.
3. Pengembangan organisasi promosi kesehatan.
4. Intergrasi dan sikronisasi promosi kesehatan.
5. Pendayagunaan data dan pengembangan sistem informasi
promosi kesehatan.
6. Peningkatan kerjasama dan kemitraan.
7. Pengembangan metode, teknik dan media.
8. Fasilitasi peningkatan promosi kesehatan.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1193/Menkes/SK/X/2004 tentang Kebijakan Nasional Promosi


Kesehatan.

C. Pencegahan

1. Tujuan

Tercapainya penurunan angka kesakitan dan kematian


Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan melalui pengendalian faktor
risiko.
2. Kegiatan

Pencegahan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan dilakukan


melalui :

a. Perilaku hidup bersih dan sehat

1) Pemberian ASI

ASI adalah makanan paling baik untuk bayi.

30
Komponen zat makanan tersedia dalam bentuk yang
ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara
optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk
menjaga pertumbuhan sampai umur 6 bulan. Tidak
ada makanan lain yang dibutuhkan selama masa
ini.

ASI bersifat steril, berbeda dengan sumber susu lain


seperti susu formula atau cairan lain yang disiapkan
dengan air atau bahan-bahan yang dapat
terkontaminasi dalam botol yang kotor. Pemberian
ASI saja, tanpa cairan atau makanan lain dan tanpa
menggunakan botol, menghindarkan anak dari
bahaya bakteri dan organisme lain yang akan
menyebabkan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan.
Keadaan seperti ini
disebut disusui secara penuh selama 6 bulan
(memberikan ASI Eksklusif). Setelah 6 bulan,
pemberian ASI harus diteruskan sambil ditambahkan
makanan lain.

ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik


dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang
dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan
terhadap Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan. Pada bayi
yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai
daya lindung 4 kali lebih besar terhadap Penyakit Infeksi
Saluran Pencernaan daripada pemberian ASI yang disertai
dengan susu botol. Flora normal usus bayi yang disusui
mencegah tumbuhnya bakteri penyebab Penyakit Infeksi
Saluran Pencernaan.

Pemberian susu formula merupakan cara lain dari


menyusui. Penggunaan botol untuk susu formula,
berisiko tinggi menyebabkan Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan yang
dapat mengakibatkan terjadinya gizi buruk.

2) Makanan Pendamping ASI

Pemberian makanan pendamping ASI diberikan saat


bayi secara bertahap mulai dibiasakan dengan
makanan orang dewasa. Pada masa tersebut
merupakan masa yang berbahaya bagi bayi sebab
perilaku pemberian makananan pendamping ASI
dapat menyebabkan meningkatnya resiko terjadinya
Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan ataupun penyakit

31
lain yang menyebabkan kematian. Perilaku pemberian
makanan pendamping ASI yang baik meliputi
perhatian terhadap kapan apa dan bagaimana
makanan pendamping ASI diberikan.

Ada beberapa saran untuk meningkatkan pemberian


makanan pendamping ASI, yaitu:

■ Perkenalkan makanan lunak, ketika anak


berumur 6 bulan dan teruskan pemberian ASI.
Tambahkan macam makanan setelah anak
berumur 9 bulan atau lebih. Berikan makanan
lebih sering (4 kali sehari). Setelah anak berumur
1 tahun, berikan semua makanan yang dimasak
dengan baik, 4-6 kali sehari, serta teruskan
pemberian ASI bila mungkin.
■ Tambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam
nasi/bubur dan biji-bijian untuk energi.
Tambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging,
kacang-kacangan, buah-buahan dan sayuran
berwarna hijau ke dalam makanannya.
■ Cuci tangan sebelum meyiapkan makanan dan
meyuapi anak. Suapi anak dengan sendok yang
bersih.
■ Masak makanan dengan benar, simpan sisanya
pada tempat yang dingin dan panaskan dengan
benar sebelum diberikan kepada anak.

3) Menggunakan Air Bersih Yang Cukup

Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare


ditularkan melalui fecal-oral kuman tersebut dapat
ditularkan bila masuk ke dalam mulut melalui
makanan, minuman atau benda yang tercemar
dengan tinja, misalnya jari-jari tangan, makanan
yang wadah atau tempat makan-minum yang dicuci
dengan air tercemar.

Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air


yang benar-benar bersih mempunyai risiko menderita
Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan lebih kecil di banding
dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih.

Masyarakat dapat mengurangi risiko terhadap


serangan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan yaitu
dengan menggunakan air yang bersih dan melindungi air

32
tersebut dari kontaminasi mulai dari sumbernya sampai
penyimpanan di rumah.

Yang harus diperhatikan oleh keluarga :

a) Ambil air dari sumber air yang bersih.


b) Simpan air dalam tempat yang bersih dan
tertutup serta gunakan gayung khusus untuk
mengambil air.
c) Jaga sumber air dari pencemaran oleh binatang
dan untuk mandi anak-anak.
d) Minum air yang sudah matang (dimasak sampai
mendidih).
e) Cuci semua peralatan masak dan peralatan
makan dengan air yang bersih dan cukup.

4) Mencuci Tangan

Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan


perorangan yang penting dalam penularan kuman
diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan
sabun, terutama sesudah buang air kecil, sesudah
buang air besar, sesudah membuang tinja anak,
sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi
makan anak dan sebelum makan, mempunyai
dampak dalam penurunan kejadian Penyakit Infeksi
Saluran Pencernaan.

5) Menggunakan Jamban

Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa


upaya penggunaan jamban mempunyai dampak yang
besar dalam penurunan risiko terhadap penyakit
diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus
membuat jamban dan keluarga harus buang air
besar di jamban.

Syarat Jamban yang saniter :

■ Tersedianya air bersih


■ Adanya sistem pendistribusian air dan
pengelolaan limbah yang berjalan dengan baik

6) Membuang Tinja Bayi Yang Benar

Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi itu tidak


berbahaya. Hal ini tidak benar karena tinja bayi

33
dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak
dan orang tuanya. Tinja bayi harus dibuang secara
benar.

Yang harus diperhatikan oleh keluarga:

a) Kumpulkan segera tinja bayi dan buang di


jamban.
b) Bantu anak buang air besar di tempat yang
bersih dan mudah di jangkau olehnya.
c) Bila tidak ada jamban, pilih tempat untuk
membuang tinja seperti di dalam lubang atau di
kebun kemudian di timbun.
d) Bersihkan dengan benar setelah buang air besar
dan cuci tangan dengan sabun.

7) Pemberian Imunisasi Campak

Pemberian imunisasi campak pada bayi sangat


penting untuk mencegah agar bayi tidak terkena
penyakit campak. Anak yang sakit campak sering di
sertai diare, sehingga pemberian imunisasi campak
juga dapat mencegah Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan. Oleh karena
itu berilah imunisasi campak segera setelah bayi
berumur 9 bulan.

b. Penyehatan Lingkungan (Dit Kesling)

Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun


2013, kondisi sanitasi di Indonesia sebagai berikut:
persentase penduduk yang memiliki akses terhadap air
minum layak sebesar 66,8%, persentase penduduk yang
menggunakan jamban sehat sebesar 59,8%, dan proporsi
pengelolaan sampah di rumah tangga dengan cara dibakar
50,1%, diangkut 24,9%, ditimbun 3,9%, kompos 0,9%,
di kali/parit/laut 10,4%, dan secara sembarangan 9,7%.
Sedangkan terkait kualitas air minum, data PDAM tahun
2013 menunjukkan hanya 74,51% air yang memenuhi
syarat kesehatan. Jumlah desa yang melaksanakan STBM
sampai dengan akhir tahun 2013 sebanyak 16.228 desa.

Strategi baru Pemerintah Indonesia untuk mencapai


target di bidang Sanitasi adalah dengan pendekatan
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang
diluncurkan sejak tahun 2008. Melalui dukungan
pengembangan kapasitas STBM baik dari Pemerintah

34
Pusat maupun dari mitra, maka akan mendorong
permintaan konsumen akan sanitasi yang layak pada
tingkat Propinsi maupun Kab/Kota. Masyarakat akan
melakukan lebih dari sekedar menjadi suatu masyarakat
yang bebas dari buang air besar sembarangan, namun
menjadi masyarakat SANITASI TOTAL dimana setiap
rumah tangga melaksanakan perilaku hygiene dan sanitasi
sebagai kunci untuk menjaga kesehatan, produktivitas
dan kemakmuran rakyat terhadap aktivitas ekonomi
termasuk pariwisata.

Penyelenggaraan STBM bertujuan untuk mewujudkan


perilaku masyarakat yang higienis dan saniter secara
mandiri dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk mencapai
kondisi sanitasi total sebagaimana yang dimaksud,
masyarakat menyelenggarakan STBM dengan berpedoman
pada 5 pilar STBM yaitu:

■ Stop Buang air besar Sembarangan


■ Cuci Tangan Pakai Sabun
■ Pengelolaan Air Minumdan Makanan Rumah Tangga
■ Pengamanan Sampah Rumah Tangga
■ Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga

Pemerintah, Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah


daerah kabupaten / kota dalam mendukung
penyelenggaraan STBM mengacu pada Strategi dan
tahapan dalam penyelenggaraan STBM meliputi:
Penciptaan lingkungan yang kondusif, melalui dukungan
kelembagaan, regulasi, dan kemitraan dari Pemerintah,
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, institusi
pendidikan, institusi keagamaan, dan swasta. Peningkatan
kebutuhan sanitasi masyarakat menuju perubahan
perilaku yang higienis dan saniter.

Peningkatan penyediaan akses sanitasi, dalam upaya


meningkatkan dan mengembangkan percepatan akses
terhadap produk dan layanan sanitasi yang layak dan
terjangkau masyarakat.

c. Penyediaan Air Bersih

Mengingat bahwa ada beberapa penyakit yang dapat


ditularkan melalui air antara lain adalah diare, hepatitis
A dan E. penyakit kulit, penyakit mata dll, maka
penyediaan air bersih baik secara kuantitas dan kualitas

35
mutlak diperlukan dalam memenuhi kebutuhan air
sehari-hari termasuk untuk menjaga kebersihan diri dan
lingkungan. Untuk mencegah terjadinya penyakit tersebut,
penyediaan air bersih yang cukup di setiap rumah tangga
harus tersedia. Di samping itu perilaku hidup bersih
harus tetap dilaksanakan.

d. Pengelolaan Sampah

Sampah merupakan sumber penyakit dan tempat


berkembang biaknya vektor seperti lalat, nyamuk, tikus,
dan kecoa. Selain itu sampah dapat mencemari tanah
dan menimbulkan gangguan kenyamanan dan estetika
seperti bau yang tidak sedap dan pemandangan yang
tidak enak dilihat. Oleh karena itu pengelolaan sampah
sangat penting, untuk mencegah penularan penyakit
tersebut.

Tempat sampah harus, sampah harus dikumpulkan


setiap hari dan di buang ke tempat penampungan
sementara sebelum dibawa ke tempat penampungan
akhir.

e. Sarana Pembuangan Air Limbah

Air limbah baik limbah pabrik atau limbah rumah tangga


harus dikelola sedemikian rupa agar tidak menjadi sumber
penularan penyakit.

D. Pengelolaan Logistik (bab III)

1. Tujuan

Tersusunnya kebutuhan dan terlaksananya sistim pengadaan,


penyimpanan, distribusi dan persediaan logistik pengendalian
Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan.

2. Pengelolaan

Logistik yang dibutuhkan dalam pengendalian Penyakit Infeksi


Saluran Pencernaan
adalah untuk kebutuhan rutin dan saat KLB.

a. Kebutuhan Rutin

(1) Oralit

36
Perhitungan kebutuhan logistik Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan
ditentukan berdasarkan perkiraan jumlah penderita
Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan yang datang ke
fasilitas pelayanan
kesehatan dan kader.

Angka Kesakitan Diare (2012) : 214/1.000 penduduk


Angka Kesakitan Diare Balita (2012): 900/1.000 balita

Target Penemuan Penderita Penyakit Infeksi Saluran


Pencernaan
10% x Angka Kesakitan Diare x Jumlah Penduduk

Kebutuhan Oralit :

37
Contoh Perhitungan Kebutuhan Oralit tahun 2014:

■ Jumlah Penduduk Kabupaten A = 300.000 jiwa


■ Stok sisa oralit diakhir tahun (misal) = 10.000 bks.
■ Target Penemuan Penderita Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan
10 % x 214/1.000 x 300.000 = 6.420 orang

Kebutuhan Oralit :

= (6.420 x 6) + 10 % (6.420 x 6) - 10.000 bungkus


= 38.520 + 3.852 - 10.000 bungkus
= 42.372 bungkus
= 423,7 kotak atau 424 kotak (1 kotak =100 bungkus)

20% x Angka Kesakitan Diare Balita x Jumlah Penduduk Balita

Catatan : Jumlah Penduduk Balita diperkirakan 10% dari


jumlah penduduk. Apabila Provinsi mempunyai data
jumlah balita, agar menggunakan data sendiri.

(2) Obat Zinc

Target Penemuan Penderita Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan Balita x


10 Tablet + Cadangan*) - Stok

*) 10% x (Target Penemuan Penderita Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan Balita x 6 bungkus)

Contoh Perhitungan Kebutuhan Zinc:

■ Penduduk Kabupaten A = 300.000 jiwa


■ Jumlah Penduduk Balita = 10% x 300.000 = 30.000 balita
■ Target Penemuan Penderita Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan
Balita
20% x 900/1000 x 30.000 = 5.400 penderita
■ Stok sisa Zinc diakhir tahun (misalnya) = 20.000 tablet.

Kebutuhan Zinc :

= 5.400 x 10 tablet + 10% (5.400 x 10) - 20.000 tablet


= 59.400 tab - 20.000 tab = 29.400 tablet
= 294 kotak (1 kotak = 100 tablet)

b. Kebutuhan Obat Paket KLB

Formula perhitungan kebutuhan paket Penyakit Infeksi Saluran


Pencernaan saat
KLB :

1) Oralit

38
■ Perkiraan jumlah penderita Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan saat KLB:
Ppenderita.

■ Rata-rata pemberian oralit per penderita: 10 bungkus


oralit 200 ml.

Kebutuhan Oralit = Ppenderita x 10 bungkus

2) Zinc

Tablet zinc diberikan kepada penderita balita, jumlah


penderita balita pada saat KLB diperkirakan 50%.

Kebutuhan Zinc = 50% x Ppenderita x 10 tablet

3) Ringer Laktat (RL)

Penderita Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan yang membutuhkan


RL adalah
penderita Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan dehidrasi berat,
diperkirakan
30% dari perkiraan jumlah penderita Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan saat
KLB, sehingga :

Jumlah Penderita Membutuhkan RL


30% x Ppenderita = Rpenderita

Bila rata-rata pemberian RL = 7 botol setiap penderita,


maka :

Jumlah RL Yang Dibutuhkan


Ppenderita x 7 botol = Sbotol

4) Selang Infus

Jumlah penderita yang membutuhkan infus set adalah


semua penderita yang mendapat RL x 1 set.

5) IV Cateter anak

39
Perkiraan jumlah penderita yang membutuhkan IV kateter
anak adalah 30% dari penderita Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan yang
diberi RL.

Kebutuhan IV Kateter Anak


30% x "Rpenderlta x 1 set = Vset

IV Cateter dewasa

Perkiraan kebutuhan IV cateter dewasa adalah 80% dari


jumlah penderita yang diberi RL.

Kebutuhan IV Kateter Dewasa

80% x Rpenderlta = Yset

6) Obat Tetrasiklin 500 mg

Obat tetrasiklin 500 mg diberikan kepada penderita diare


dewasa dengan suspek kolera dengan dosis 4 kali per
hari selama 3 hari.

3. Pengadaan

Pengadaan oralit dan obat zinc di kementerian kesehatan


dilaksanakan oleh Ditjen Binfar dan Alat Kesehatan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dan dikirim ke Gudang
Farmasi Provinsi. Oralit dan obat Zinc merupakan obat
esensial, pengadaannya oleh daerah sesuai kebutuhan daerah,
sedangkan pusat dapat mengalokasikan obat tersebut untuk
KLB.

4. Penyimpanan

Penyimpanan di tingkat provinsi, kabupaten, puskesmas dan


kader hendaknya dikelola secara baik dan benar yaitu disimpan
pada tempat yang kering diberi alas, disusun sesuai dengan
tanggal kadaluwarsanya sehingga pada saat mengambil
mudah mencarinya. Dibuatkan pencatatan asal obat, jumlah
dan waktu penerimaan serta pengeluaran obat yaitu jumlah,
waktu dan tujuan obat dikirimkan.

5. Distribusi

40
Distribusi obat dari provinsi ke kab/kota dan Puskesmas
sesuai kebijakan masing masing. Apabila terjadi KLB dan
daerah memerlukan tambahan, dapat mengajukan ke
Direktorat Obat Publik (Ditjen Binfar) dengan tembusan ke
Subdit Pengendalian Diare & ISP.

6. Persediaan (Stok)

Persediaan obat dihitung berdasarkan perkiraan kebutuhan


minimal satu bulan.

E. Layanan Rehidrasi Oral Aktif

Layanan rehidrasi oral aktif adalah sarana pemberian oralit dan


observasi atau pengamatan selama 4 jam untuk penderita diare
dehidrasi ringan-sedang serta penyuluhan atau peragaan tentang
cara pemberian oralit.

Layanan rehidrasi oral aktif ini sebagai upaya terobosan untuk


meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat/ibu
rumah tangga, kader, dan petugas kesehatan dalam tata laksana
penderita Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan.

Melalui layanan rehidrasi oral aktif diharapkan dapat meningkatkan


kepercayaan masyarakat dan petugas terhadap tata laksana
penderita Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan, khususnya dengan
pemberian oralit
dan zinc.

1. Fungsi

a. Mempromosikan upaya rehidrasi oral.


b. Memberi pelayanan bagi penderita diare.
c. Memberikan pelatihan kepada ibu/pengasuh dan kader
(Posyandu).

2. Tempat

Penempatan layanan rehidrasi oral aktif di Puskesmas harus


memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Ruangan yang dilengkapi dengan meja, teko (tempat air),


oralit 200 ml, gelas, sendok, lap bersih, sarana cuci
tangan dengan air mengalir dan sabun (wastafel), poster
untuk penyuluhan dan tatalaksana penderita diare.

41
b. Dekat tempat tunggu (ruang tunggu), ruang periksa,
serambi muka yang tidak berdesakan.

c. Dekat dengan toilet atau kamar mandi.

1) Nyaman dan baik ventilasinya.

Layanan rehidrasi oral aktif adalah bagian dari suatu


ruangan di poliklinik dengan (ruang tunggu pasien)
dengan 1-2 meja. Seorang petugas Puskesmas dapat
mempromosi-kan rehidrasi oral pada ibu pengasuh yang
sedang menunggu giliran untuk suatu pemeriksaan. Bagi
penderita diare yang mengalami dehidrasi ringan-sedang
diobservasi di layanan rehidrasi oral aktif selama 4 jam.
Ibu atau keluarganya akan diajarkan bagaimana cara
menyiapkan oralit dan berapa banyak oralit yang harus
diminum oleh penderita.

2) Pengaturan model di layanan rehidrasi oral aktif

a) Sebuah meja untuk mencampur larutan oralit dan


menyiapkan larutan.
b) Kursi atau bangku dengan sandaran, sehingga ibu
dapat duduk dengan nyaman saat memangku
anaknya.
c) Sebuah meja kecil dimana ibu dapat menempatkan
gelas yang berisi larutan oralit.
d) Oralit paling sedikit 1 kotak (100 bungkus).
e) Botol susu/gelas ukur.
f) Gelas.
g) Sendok.
h) Lembar balik yang menerangkan pada ibu bagaimana
mengobati atau merawat anak diare.
i) Leaflet untuk dibawa pulang ke rumah. Media
penyuluhan tentang pengobatan dan pencegahan
diare perlu disampaikan pada ibu selama berada di
sarana rehidrasi oral. Selain itu, sarana rehidrasi
oral sangat bermanfaat bagi ibu untuk belajar tentang
upaya rehidrasi oral serta hal-hal penting lainnya,
seperti pemberian ASI, pemberian makanan
tambahan, penggunaan air bersih, mencuci tangan
dengan air mengalir dan sabun, penggunaan jamban,
serta poster tentang imunisasi.

3. Kegiatan Layanan Rehidrasi Oral Aktif

1. Penyuluhan upaya rehidrasi oral

42
a) Memberikan peragaan tentang bagaimana
mencampur larutan oralit dan bagaimana cara
memberikannya.

b) Menjelaskan cara mengatasi kesulitan dalam


memberikan larutan oralit bila ada muntah.

c) Memberikan dorongan pada ibu untuk memulai


memberikan makanan pada anak atau ASI pada bayi
(Puskesmas perlu memberikan makanan pada anak
yang tinggal sementara di fasilitas pelayanan).

d) Mengajari ibu mengenai bagaimana meneruskan


pengobatan selama anaknya di rumah dan
menentukan indikasi kapan anaknya dibawa kembali
ke Puskesmas.

e) Petugas Kesehatan perlu memberikan penyuluhan


pada pengunjung Puskesmas dengan menjelaskan
tata laksana penderita diare di rumah serta cara
pencegah diare.

2. Pelayanan Penderita

Setelah penderita diperiksa, tentukan diagnosis dan


derajat rehidrasi di ruang pengobatan, tentukan jumlah
cairan yang harus diberikan dalam 4 jam berikutnya dan
bawalah ibu ke Layanan Rehidrasi Oral Aktif untuk
menunggu selama diobservasi serta:

a) Jelaskan manfaat oralit dan ajari ibu membuat


larutan oralit.
b) Perhatikan ibu waktu memberikan oralit.
c) Perhatikan penderita secara periodik dan catat
keadaannya (pada catatan klinik penderita diare
rawat jalan) setiap 1 -2 jam sampai penderita teratasi
rehidrasinya (4 jam).
d) Catat/hitung jumlah oralit yang diberikan.
e) Berikan Zinc dengan dosis sesuai usia anak.
f) Berikan pengobatan terhadap gejala lainnya seperti
penurun panas dan antibiotika untuk mengobati
disentri dan kolera.

43
F. Kegiatan Penanggulangan Diare (KPD)

Kegiatan ini seharusnya dikerjakan di rumah sakit daerah atau


rumah sakit rujukan:

1. Fungsi

KPD didirikan sebagai upaya penanggulangan diare dengan


fungsi:

a. Pusat pengobatan diare, terutama layanan rehidrasi oral


(LRO).

b. Pusat untuk latihan mahasiswa kedokteran dan peserta


latihan lain.

2. Tempat

Lokasi KPD ditempatkan dimana petugas sering lalu lalang


sehingga mereka dapat mengamati kemajuan anak serta:

a. Dekat dengan sumber air.


b. Dekat dengan WC dan tempat cuci tangan.
c. Berventilasi baik.

3. Sarana Pendukung

a. Tenaga pelaksana dokter dan paramadis terlatih.

b. Prasarana :

1) Sebuah meja yang dilengkapi dengan teko (tempat


air), oralit, gelas, sendok, handuk, baskom, tempat
cuci tangan, ember dan poster.

2) Kamar periksa yang dilengkapi dengan sarana


penyuluhan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan atau
kamar periksa yang
sudah ada.

3) Logistik: Oralit, tablet Zinc, cairan RL, Infus set, IV


kateter dan Antibiotika yang diperlukan.

4. Kegiatan

Pelayanan Penderita
Setelah diperiksa, tentukan diagnosis dan derajat
dehidrasi serta tentukan jumlah cairan yang

44
dibutuhkan, kemudian berikan rehidrasi sesuai
derajat dehidrasinya. Apabila penderita dehidrasi
ringan sedang (tidak berat), lakukan observasi 4 jam
sambil memberikan penyuluhan tentang:
1) Manfaat oralit dan cara membuatnya.
2) Perhatikan ibu waktu memberikan oralit.
3) Menjelaskan cara-cara mengatasi kesulitan dalam
memberikan larutan oralit bila muntah.
4) Mengajari ibu mengenai bagaimana meneruskan
pengobatan selama anaknya diare di rumah.
5) Mengajari ibu mengenai cara pemberian dan
kegunaan tablet zinc.

Pelatihan

1) Melaksanakan pelatihan untuk staf RSU yang


bersangkutan.
2) Melatih mahasiswa fakultas kedokteran dan
keperawatan.

■ Penelitian

Beberapa KPD digunakan untuk melaksanakan


penelitian.

G. Pemantauan Dan Evaluasi

1. Pemantauan

a. Tujuan

1) Melihat kinerja petugas kesehatan dan memberikan


bimbingan dalam pengelolaan Program P2 Diare di
wilayah kerja masing-masing.

2) Memberikan umpan balik atau alternatif pemecahan


masalah yang ditemukan pada saat pemantauan.

b. Pengertian

Pemantauan adalah kegiatan mengamati atas hasil


pelaksanaan kegiatan P2 Diare secara berjenjang dan
berkesinambungan (Provinsi, Kabupaten/Kota dan
Puskesmas).

45
c. Kegiatan yang dipantau

1) Tatalaksana Diare

Yang perlu dipantau dengan menggunakan Formulir


2.3 (lihat Lampiran 3) adalah:

a) Klasifikasi/Diagnosis Diare termasuk derajat


dehidrasi
b) Tindakan: Rencana Terapi A, Rencana Terapi B
atau Rencana Terapi C
c) Obat: Oralit, Zinc, RL, Antibiotik sesuai indikasi
tertentu.
d) Kualitas tata laksana standar sebagai simpulan
dari klasifikasi, tindakan dan pemberian obat.
e) Pojok oralit: gelas 200cc, sendok, oralit, teko
berisi air minum atau dispenser, poster, leaflet
dll.
f) Pengetahuan petugas tentang tata laksana diare

2) Surveilans Epidemiologi

Kegiatan Surveilans yang perlu dipantau antara lain:

a) Pelaksanaan SKD: register penderita diare harian


dan mingguan (W2).
b) Laporan bulanan (form rekapitulasi penderita
diare)
c) Penanggulangan KLB

Yang perlu dipantau adalah hasil penyelidikan


Epidemiologi dan rekomendasi hasil penyelidikan.

3) Pelaksanaan Promosi Kesehatan

Yang perlu dipantau adalah kegiatan Advokasi, Bina


suasana, Gerakan pemberdayaan masyarakat dan
ketersediaan media KIE.

4) Pengelolaan Logistik

Yang harus dipantau meliputi Kebutuhan logistik,


pengadaan, penyimpanan, dan distribusi.

c. Alat Pemantauan

46
1) Pemantauan Program Pengendalian Diare, petugas
Provinsi ke Kabupaten/Kota dan petugas Kabupaten/
Kota ke dengan menggunakan Formulir 2.4 (lihat
Lampiran 4).
2) Pemantauan pengetahuan tatalaksana penderita
diare di Puskesmas dengan menggunakan Formulir
2.5 (lihat Lampiran 5).

d. Cara Pemantauan

1) Pemantauan

Pemantauan dilakukan dengan mengamati,


wawancara dengan petugas dan melihat catatan atau
laporan yang ada di setiap jenjang administrasi yaitu
Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota,
Puskesmas, dan Pustu. Bila dalam pemantauan
ditemukan masalah, maka berikan saran pemecahan
atau bimbingan kepada pengelola program diare,
agar kegiatan program diare dapat dilaksanakan
sesuai rencana.

2) Umpan balik

Berikan umpan balik secara tertulis dan berjenjang


kepada Dinas Kesehatan Provinsi dan kabupaten/kota
serta puskesmas, atas hasil pelaksanaan kegiatan
program diare di wilayahnya.

2. Evaluasi

a. Tujuan

Mengetahui hasil kegiatan pengendalian Penyakit Infeksi


Saluran Pencernaan,
permasalahan yang ada dan untuk merencanakan
kegiatan pada tahun yang akan datang.

b. Pengertian

Evaluasi adalah suatu kegiatan penilaian terhadap hasil


pelaksanaan program.

47
a. Indikator (lihat Lampiran 6).

1) Target Penemuan Penderita

a) Semua Umur

 Perkiraan Penderita Diare Semua Umur adalah Angka


Kesakitan x Jumlah Penduduk dalam satu tahun.

Perkiraan Penderita Diare Semua Umur =


Angka Kesakitan Diare Semua Umur x Jumlah Penduduk

 Target Penemuan Penderita Diare Semua Umur


adalah 10 % x Perkiraan Penderita dalam satu tahun.

Target Penemuan Penderita Diare Semua


Umur =
10% x Perkiraan Penderita

Target penemuan penderita Diare di Sarana adalah


90%.

b) Balita

 Ketahui jumlah balita yang didapatkan data dari


Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemenkes RI
 Perkiraan Penderita Diare Balita adalah Angka
kesakitan Diare Balita Diare x Jumlah Balita dalam
satu tahun.
 Angka kesakitan Diare balita (berdasarkan Hasil
Rapid Survei Diare tahun 2015): 843/1.000 balita per
tahun.

Perkiraan Penderita Diare Balita =


843/1.000 x Jumlah Balita

 Perkiraan penderita diare balita yang datang ke


sarana kesehatan berdasarkan Survei Demografi
Kesehatan Indonesia tahun 2017 sebesar 20%.
Target Penemuan Penderita Diare Balita =
20% x Perkiraan Penderita

Bila cakupan penemuan kasus lebih dari 100%,


kemungkinan adalah:
a) Ada KLB sehingga terjadi peningkatan jumlah
penderita diare yang datang ke sarana kesehatan.

48
b) Kinerja petugas baik sehingga laporan lengkap dan
lancar.
c) Banyak orang yang pindah ke wilayah kerja
Saudara, sehingga kunjungan orang yang berobat
meningkat.
d) Target penemuan penderita terlalu kecil.

Bila cakupan penemuan kasus lebih rendah dari 100 %,


kemungkinan adalah :

a) Pelayanan tidak memuaskan sehingga penderita


diare yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan
berkurang.
b) Masyarakat bisa mengobati diare di rumah.
c) Jangkauan sarana kesehatan terlalu luas, sehingga
tidak dapat menjangkau seluruh masyarakat di
wilayah tersebut.
d) Laporan tidak lengkap.
e) Masyarakat lebih banyak yang datang ke fasilitas
pelayanan kesehatan lain (swasta) dan data
kunjungannya tidak terlaporkan ke Puskesmas.

2) Cakupan Pelayanan

a) Semua Umur (SU)

Persentase jumlah penderita diare semua umur yang


dilayani dalam satu tahun dibagi target penemuan
penderita semua umur pada tahun yang sama.

Cakupan Pelayanan Semua Umur =

Jumlah Penderita Diare SU dilayani dalam 1 Tahun


x 100%
Target Penemuan Penderita Diare SU

Contoh perhitungan :
Penduduk Puskesmas A = 30.000 jiwa
Angka kesakitan Diare = 270/1000 penduduk
Perkiraan Penderita diare = 270/1000 x
30.000
= 8100 penderita
Target Penemuan penderita = 10% 8100 x
100%

49
= 810 penderita
Bila :
Jumlah penderita diare SU yang berkunjung ke
Puskesmas = 400 penderita

Maka :
Cakupan pelayanan Penderita Diare SU adalah
400
x 100% = 49,38%
810
b) Balita

Persentase jumlah penderita diare balita yang dilayani


dalam satu tahun sesuai tatalaksana standar dibagi
target penemuan penderita balita pada tahun yang
sama.
Cakupan Pelayanan Balita =

Jumlah Penderita Diare Balita Dilayani Dalam 1


Tahun
Sesuai Tatalaksana Standar

x 100
Penderita Diare Balita yang datang ke Puskesmas

Contoh Perhitungan :
Jumlah Balita = 3000 jiwa
Angka kesakitan diare Balita = 843/1000 penduduk
Perkiraan penderita diare Balita = 843/1000 x 3000
= 2.529 Balita
Target penemuan penderita = 20% x 2.529
= 506 Balita
bila :

- Jumlah penderita diare Balita yang datang ke


Puskesmas = 310 penderita
- Jumlah penderita diare Balita yang dilayani sesuai
tatalaksana standar = 310 penderita.

maka :

Cakupan Pelayanan Penderita Diare Balita :


310 x 100% = 100 %
310

3) Kualitas Pelayanan

50
Untuk mengetahui kualitas pelayanan di suatu sarana
pelayanan kesehatan dapat dilihat pada komponen berikut:

 Proporsi penderita diare balita =

Jumlah Penderita Diare Balita


Dilayani
x 100%
Jumlah Penderita Diare Semua Umur
Dilayani

 Rata-rata penggunaan oralit =

Jumlah Penderita Diare Balita diberi


oralit x
Jumlah Penderita Balita Diare100%
Dilayani

 Proporsi Penderita Diare pada Balita yang diberi Zinc =

Jumlah Penderita Diare Balita Diberi


Zinc
x 100%
Jumlah Penderita Diare Balita
Dilayani

 Proporsi Tatalaksana Standar.

Jumlah Penderita Diare Mendapat Tatalaksana Standar


x 100 %
Jumlah Penderita Diare Dilayani

 Proporsi cakupan pelayanan oleh sarana =

Jumlah Penderita Diare Dilayani Sarkes


x 100 %
Jumlah Penderita Diare Dilayani

 Proporsi penderita diare menurut derajat dehidrasi.

1) Proporsi penderita diare Tanpa Dehidrasi =

Jumlah Penderita Diare Tanpa Dehidrasi


x 100 %
Jumlah Penderita Diare Dilayani

2) Proporsi penderita diare Dehidrasi Ringan-Sedang =

Jumlah Penderita Diare Dehidrasi Ringan - Sedang

51
x
100 %
Jumlah Penderita Diare Dilayani

3) Proporsi penderita diare Dehidrasi Berat =

Jumlah Penderita Diare Dehidrasi Berat


x 100 %
Jumlah Penderita Diare Dilayani

 Proporsi penderita diare mendapatkan infus =

Jumlah Penderita Diare Diinfus


x 100 %
Jumlah Penderita Diare Dilayani

 Proporsi Kematian Pada Saat KLB (Case Fatality


Rate/CFR)=

Jumlah Penderita Diare Meninggal Saat KLB

X100%
Jumlah Penderita Diare Saat KLB

4) Menganalisis Hasil Pemantauan/Supervisi


Untuk mendapatkan gambaran tentang :
a. Tata laksana yang diberikan.
b. Pelaksanaan SKD.
c. Perencanaan kebutuhan logistik.
d. Pengetahuan petugas dalam tata laksana diare.

5) Menganalisis Hasil Survei Khusus.


a) Angka kesakitan diare.
b) Pengetahuan masyarakat tentang cara pencegahan dan
pengobatan di rumah
c) Perilaku masyarakat dalam mencari pengobatan diare.
d) Faktor risiko.

52
BAB III
TATALAKSANA PENYAKIT INFEKSI SALURAN
PENCERNAAN

A. Pembagian Diare

1. Diare Pada Anak

a. Diare Akut

Buang air besar yang frekuensinya lebih sering dari


biasanya (pada umumnya 3 kali atau lebih) perhari
dengan konsistensi cair dan berlangsung kurang dari 7
hari.

1) Btiologi

Secara klinis penyebab diare akut dibagi dalam 4


kelompok yaitu infeksi, malabsorbsi, keracunan
makanan dan diare terkait penggunaan antibiotika.

Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, fungi,


parasit (protozoa, cacing). Dari berbagai penyebab
tersebut, yang sering ditemukan adalah diare yang
disebabkan oleh infeksi virus.

Untuk mengenal penyebab diare akut digambarkan


PENYEBAB PENYAKIT INFEKSI SALURAN PENCERNAAN AKUT

dalam bagan berikut.

53
Pada penelitian yang dilakukan oleh Indonesian Rotavirus
Surveillance NetWork (IRSN) dan Litbangkes pada pasien
anak di 6 Rumah Sakit, penyebab infeksi terutama
disebabkan oleh rotavirus dan adenovirus (70%)
sedangkan infeksi karena bakteri hanya 8,4%. Kerusakan
vili usus karena infeksi virus (rotavirus) mengakibatkan
berkurangnya produksi enzim laktase sehingga
menyebabkan malabsorpsi laktosa.Diare karena
keracunan makanan disebabkan karena kontaminasi
makanan oleh mikroba misalnya: Clostridium botulinum,
S. aureus dll (lihat Lampiran 7).

Diare Terkait Penggunaan Antibiotik (DTA) terjadi karena


penggunaan antibiotika selama 5-7 hari yang
menyebabkan berkurangnya flora normal usus sehingga
ekosistem flora usus didominasi oleh kuman patogen
khususnya Clostridium difficile. Angka kejadian DTA
berkisar 20-25%.

2) Patofisiologi

a) Diare Sekretorik

Disebabkan oleh sekresi air dan elektrolit ke dalam


usus halus yang terjadi akibat gangguan absorpsi
natrium oleh vilus saluran cerna, sedangkan sekresi
klorida tetap berlangsung atau meningkat. Keadaan
ini menyebabkan air dan elektrolit keluar dari tubuh
sebagai tinja cair.

Diare sekretorik ditemukan pada diare yang


disebabkan oleh infeksi bakteri akibat rangsangan
pada mukosa usus oleh toksin, misalnya toksin E.coli
atau V.cholera 01.

b) Diare Osmotik

Mukosa usus halus adalah epitel berpori yang dapat


dilalui oleh air dan elektrolit dengan cepat untuk
mempertahankan tekanan osmotik antara lumen
usus dan cairan intrasel. Oleh karena itu, bila di
lumen usus terdapat bahan yang secara osmotik
aktif dan sulit diserap akan menyebabkan diare.

Anda mungkin juga menyukai