305-Article Text-898-4-10-20191221
305-Article Text-898-4-10-20191221
Dani Sunjana
Divisi Penelitian dan Kajian Gumati Foundation
Jalan Raya Garut–Tasik Km 70, Desa Tenjowaringin, Kecamatan Salawu,
Kabupaten Tasikmalaya
E-mail: danisunjana@gmail.com
Naskah diterima:13 Juni 2019 - Revisi terakhir: 31 Oktober 2019
Disetujui terbit: 28 November 2019 - Tersedia secara online: 30 November 2019
Abstract
This research aimed to reconstruct the concept, value, and implication of mount as sa-
cred landscape in Ancient Sunda period. The research used bibliographical method
which combine the information interpretation from secondary philology and epigraph-
ical sources with previously done archaeological researches. The result showed that
mount and mountain in general used as a sacred and holy landscape in Ancient Sunda
period. This conception then represented by the existence of religious sites and scripto-
ria at the mount as a symbol to decrease the spiritual and intelectual distance with the
deities and Supreme Being. Several mounts has been mentioned on written sources and
need further archaeological research as a crosscheck confirmation in the future.
Keywords: Ancient Sunda, mount, religious sites, scriptoria
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi kedudukan gunung dan pegunungan
sebagai lanskap suci dan implikasinya pada masa Sunda Kuno. Jenis penelitian yang
digunakan merupakan penelitian pustaka yang memadukan interpretasi naskah-naskah
dan prasasti kuno dari sumber sekunder dengan hasil-hasil penelitian arkeologi yang
telah dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian tampak bahwa gunung telah digunakan
sebagai simbol yang sakral dan suci pada masa Sunda Kuno. Pandangan ini kemudian
diwujudkan dengan cara membangun situs-situs keagamaan serta skriptoria sebagai
upaya untuk memperdekat jarak rohani dan kesempurnaan pengetahuan dengan dewata
dan kebenaran tertinggi. Gunung-gunung suci dan sakral masa Sunda Kuno beberapa di
antaranya telah disebutkan dalam sumber-sumber tertulis dan perlu dikonfirmasi melalui
penelitian arkeologis pada masa mendatang.
Kata kunci: Sunda Kuno, gunung, bangunan suci keagamaan, skriptoria
97
PURBAWIDYA Vol. 8, No. 2, November 2019: 97 – 111
Fuji (Jepang), merupakan contoh populer hanya gunung yang dijadikan tempat suci,
mengenai hal ini. Menurut Bernbaum tetapi pula bukit-bukit atau lanskap buatan
(2006), kesakralan gunung dalam yang ditinggikan dan dipandang memiliki
berbagai budaya dapat termanifestasi kesejajaran makna sebagai tempat yang
dalam tiga cara. Pertama, puncak tinggi, tempat persemayaman arwah
gunung lazim dimaknai sebagai tempat leluhur (Laksmi & Wahyudi, 2018).
paling suci dan berkaitan dengan mitos,
kepercayaan, dan sejarah agama tertentu Penggunaan gunung sebagai simbol
sehingga kemudian dijadikan sebagai sakral pada masa prasejarah semakin
lokasi ziarah (pilgrimage), meditasi, atau berkembang pada masa Hindu Buddha di
ritus kurban tertentu. Kedua, gunung Indonesia. Pada masa ini, gunung sebagai
sering diasosiasikan dengan tokoh suci/ lanskap suci dikaitkan dengan mitologi
mistis yang termanifestasi dalam bentuk Hindu India, Mahameru. Mahameru
bangunan atau objek sakral, seperti kuil merupakan gunung kosmis, pusat dari
atau objek alami lain, misalnya batu dan air alam semesta, digambarkan terletak pada
terjun. Ketiga, gunung dianggap sebagai pulau yang berada di tengah samudera, dan
lanskap yang mampu membuka kesadaran dikelilingi enam benua konsentris. Pada
dan kebijaksanaan tertinggi manusia. Oleh puncak gunung Mahameru inilah para dewa
karena itulah, gunung kerap dijadikan tinggal dalam arah dan tempat tertentu
tempat untuk bermeditasi dan merenung yang disebut sebagai loka. Brahma tinggal
(Bernbaum, 2006). Hal tersebut berlaku di bagian yang disebut Brahmâloka, Indra
universal, tidak terkecuali di Indonesia. di Indraloka (swarga), Wisnu di Vaikuntha,
Siwa di Kailasa, Kuwera di Mahodaya,
Gunung telah dianggap sebagai dan lain-lain (Williams, 2003). Mitologi
lanskap yang sakral dan disucikan sejak mengenai Mahameru kemudian diadaptasi
masa prasejarah di Indonesia. Fenomena ini ke dalam kebudayaan Jawa. Pada naskah
terutama tampak pada masyarakat dengan Tantu Panggelaran (XVI M), Gunung
pola budaya megalitik yang menganggap Mahameru dikisahkan dipindahkan
gunung sebagai tempat tinggal arwah oleh para dewa dari tempat asalnya di
leluhur (Soejono, 2008). Akibatnya, Jambudwipa (India) ke Pulau Jawa agar
gunung kemudian menjadi orientasi suci Jawa tidak terombang-ambing dan tenang
yang dijadikan kiblat dalam ritual-ritual dari ancaman gelombang samudera.
keagamaan serta lanskap yang lazim Selama pemindahan Mahameru, terdapat
digunakan untuk mendirikan bangunan- bagian-bagian yang jatuh dan menjelma
bangunan suci. Beberapa kawasan gunung menjadi gunung-gunung di sepanjang
di Indonesia yang dikenal sebagai gunung Pulau Jawa. Adapun puncaknya diletakkan
suci pada masa prasejarah misalnya adalah di wilayah Jawa Timur dan menjadi
Gunung Dempo di Sumatra Selatan yang Gunung Pawitra atau Penanggungan,
menjadi orientasi dari situs-situs megalitik gunung yang diidentifikasi sebagai pusat
di Pasemah (Guillaud, 2006), Gunung dan orientasi religius, yaitu pada masa
Sago di Sumatra Barat (Prasetyo & Mataram Kuno, Kadiri, Singasari, hingga
Yuniawati, 2004), dan Gunung Slamet di Majapahit (Munandar, 2016).
Purwokerto, Jawa Tengah (Sulistyarto, Gunung kosmik Mahameru ini
2003). Pada perkembangannya tidak kemudian dijadikan landasan dalam
98
Gunung sebagai Lokasi Situs-Situs Keagamaan .... (Dani Sunjana)
99
PURBAWIDYA Vol. 8, No. 2, November 2019: 97 – 111
100
Gunung sebagai Lokasi Situs-Situs Keagamaan .... (Dani Sunjana)
101
PURBAWIDYA Vol. 8, No. 2, November 2019: 97 – 111
di tengah hutan yang dapat diakses lebih lanjut, mengingat naskah tersebut
ketika melakukan pendakian lewat jalur ditemukan di Situs Ciburuy, Garut.
Cibodas. Hal ini memerlukan penelitian
lebih lanjut di masa yang akan datang. • Gunung Cikuray
Gunung Cikuray terletak di Kabupaten
• Gunung Galunggung Garut. Gunung ini memiliki nama
Gunung Galunggung merupakan kuno Srimanganti atau Srimanganten
gunung yang berlokasi di Kabupaten berdasarkan nama salah satu tempat di
Tasikmalaya. Berdasarkan naskah Amanat lereng barat gunung tersebut, tetapi dalam
Galunggung (Danasasmita, 1981), gunung naskah Bujangga Manik sudah disebut
ini merupakan situs kabuyutan kerajaan sebagai Cikuray. Peran penting Gunung
yang sangat penting dan berharga pada Cikuray sebagai tempat suci antara lain
masa Sunda Kuno. Mengingat pentingnya dibuktikan dengan keberadaan Situs
kabuyutan ini, pada bagian awal naskah Ciburuy yang merupakan kabuyutan
disebutkan bahwa anak dan keturunan serta skriptorium pada masa lampau.
Rakeyan Darmasiksa serta masyarakat Situs Ciburuy secara administratif berada
umum wajib menjaga kabuyutan di Kampung Ciburuy, Desa Pamalayan,
Galunggung agar tidak dikuasai oleh Kecamatan Bayongbong, Kabupaten
musuh atau orang asing. Garut.
Jika dilihat dari sisi arkeologis, pada Situs Ciburuy hingga saat ini masih
tahun 1887 K.F. Holle, seorang peminat menerapkan tradisi lama, dalam kompleks
kajian Sunda, menemukan prasasti situs terdapat bangunan-bangunan
di Kampung Geger Hanjuang, Desa tradisional dari bahan kayu dan bambu.
Linggamulya, Kecamatan Leuwisari, yang Bangunan-bangunan tersebut antara
merupakan salah satu desa di lereng Gunung lain adalah patemon (balai pertemuan
Galunggung. Prasasti tersebut selanjutnya dan musyawarah), leuit (lumbung padi),
disebut prasasti Geger Hanjuang dan berisi saunglisung (bangunan tempat menumbuk
informasi mengenai pembangunan parit padi), padaleman (bangunan beruang
oleh Bhatari Hyang. Agus Aris Munandar tiga, tempat belajar dan mengajar yang
(2017) berpendapat bahwa Bhatari Hyang disesuaikan dengan tingkat pengetahuan),
kemungkinan besar adalah seorang serta panyarangan (tempat penyimpanan
mahabhiksuni/rsi perempuan yang naskah dan wadah naskah sementara).
melakukan praktik pertapa (wanaprastha) Beberapa data arkeologi berupa artefak
hingga meninggal. Dengan demikian, lepas disimpan di dalam bangunan patemon
Bhatari Hyang merupakan seorang rsi dalam peti yang berisi beberapa lembaran
(pertapa) yang tinggal dan memiliki peran naskah berbahan saeh dan beraksara pegon
besar di kabuyutan Galunggung pada masa serta benda-benda pusaka berupa sebatang
tersebut, selain sebagai tempat suci, gunung rotan berukuran empat puluh sentimeter
ini kemungkinan besar juga merupakan yang dibungkus kain warna merah-putih,
skriptorium apabila merujuk pada dua bilah golok panjang, beberapa bilah
keberadaan naskah Amanat Galunggung, keris, cambuk, rantai logam keemasan,
yang harusnya disusun di Galunggung. alat kecantikan, bokor tembaga, dan
Akan tetapi, tentu hal ini harus diteliti gamelan. Data yang sangat penting
102
Gunung sebagai Lokasi Situs-Situs Keagamaan .... (Dani Sunjana)
berupa tiga peti kayu yang masing-masing belulang. Arca bermahkota dengan bentuk
berisi kropak dan bundelan naskah yang mirip meriam dan guci juga ditemukan
berbahan lontar dan nipah beserta benda di dekat mata air Citarum di Situ Cisanti.
pusaka yang berupa kujang, trisula, genta, Sumber lain yang juga menyebutkan
dan artefak logam lainnya yang disimpan adanya data arkeologis di Gunung Wayang
dalam bangunan padaleman (Darsa, adalah catatan Marie Gray, seorang dokter
2010). Selain itu, dalam kompleks Situs asal Selandia Baru pada tahun 1960-an
Ciburuy juga terdapat beberapa susunan yang dibukukan dengan judul Tāmu:
batu megalit yang masih dikeramatkan. a New Zealand family in Java (1988).
Marie Gray, pada salah satu bagian buku
• Kompleks Gunung Malabar tersebut, menceritakan pengalamannya
mendaki Gunung Wayang dan menemukan
Gunung Malabar merupakan gunung
enam arca tipe Polinesia. Pada pendakian
api purba yang terletak di Pangalengan,
tersebut, Gray ditemani juru kunci yang
Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Gunung
memberitahukannya nama arca-arca
ini memiliki empat puncak tertinggi, yaitu
tersebut sehingga ia dapat menggambar
Gunung Wayang, Gunung Haruman,
sketsa situs lengkap bersama nama-nama
Gunung Batu, serta Gunung Puntang.
arcanya (Widjajadi, 2018).
Gunung Malabar, Gunung Wayang,
dan Gunung Puntang disebutkan dalam
naskah Perjalanan Bujangga Manik.
Menarik untuk diperhatikan bahwa setelah
melakukan pendakian Gunung Wayang,
Bujangga Manik tiba di mandala yang
disebut sebagai Mandala Beutung. Begitu
pula setelah ia mendaki Gunung Patuha, ia
tiba di Mandala Ranca Gonda dan tinggal
sebagai pertapa selama satu tahun, sebelum
kemudian ia pergi ke Gunung Ratu, di kaki
Gunung Patuha, dan mendirikan bangunan
suci dan tempat tinggal (Setiawan, 2019).
Keterangan dari naskah ini memberikan
informasi bahwa pada masa lalu, kompleks
Gunung Malabar adalah gunung yang
keramat dan disucikan.
Indikasi adanya bangunan suci di
Gambar 2 Rekonstruksi Arca-Arca Tipe Polinesia
Gunung Wayang terdapat dalam laporan
di Gunung Wayang dalam Buku Tāmu: a New
kepurbakalaan N.J. Krom, Rapporten Zealand Family in Java (1988) oleh Marie Gray
Oudeheidkundige Dienst, pada tahun 1914. (Sumber: Widjajadi, 2018)
Dalam laporannya, N.J. Krom menjelaskan
bahwa di puncak Gunung Wayang Adapun Mandala Ranca Gonda di
ditemukan empat puluh arca dan kuburan Patuha barangkali dapat dilacak di sekitar
kuno yang di dalamnya ditemukan pula Patenggang atau kawah-kawah mati yang
pecahan tembikar, kapak batu, dan tulang- membentuk ranca di sekitar Kawah Putih.
103
PURBAWIDYA Vol. 8, No. 2, November 2019: 97 – 111
104
Gunung sebagai Lokasi Situs-Situs Keagamaan .... (Dani Sunjana)
Mahameru. Pada bagian ini hidup manusia alam nyata di dunia tempat kehidupan
pada umumnya serta berbagai jenis makhluk yang memiliki jasmani (raga)
hewan. Dengan demikian, pada bagian dan rohani (jiwa). Makhluk demikian
ini mahluk yang hidup masih terikat oleh adalah yang disebut manusia, hewan,
hasrat dan kebutuhan duniawi. Bagian tumbuhan, dan benda lain yang dapat
selanjutnya disebut sebagai bhuwarloka, dilihat, baik yang bergerak maupun yang
disimbolkan sebagai bagian lereng tengah tidak bergerak. Buana niskala adalah alam
gunung dan merupakan tempat hidup gaib sebagai tempat tinggal makhluk gaib
kaum pertapa, para rsi, dan orang-orang yang wujudnya hanya tergambar dalam
suci yang telah menindas hasrat duniawi. imajinasi manusia, seperti dewa-dewi,
Bagian paling atas disebut swarloka dan bidadara-bidadari, dan apsara-apsari.
disimbolkan sebagai puncak gunung Jumlah dan ragam makhluk tersebut
yang merupakan tempat persemayaman banyak dan dapat bergabung satu dengan
para dewa (Munandar, 2017). Agama lainnya serta berkedudukan lebih tinggi
Buddha memiliki konsep kosmologi daripada manusia. Buana niskala yang
yang membagi dunia dalam tiga bagian disebut juga kahyangan terdiri atas surga
juga, yaitu kamadhatu, rupadhatu, dan neraka. Naskah Jatiraga (Kropak 422)
dan arupadhatu. Ketiga dhatu ini juga menyebutkan Pwah Batari Sri, Pwah
disimbolkan sebagai Mahameru, tetapi Lengkawati, Pwah Wirumananggay, dan
agak berbeda dengan konsep triloka Hindu. Dayang Trusnawati sebagai penghuni
Kamadhatu merupakan dunia tempat buana niskala. Di samping itu, penghuni
hidup bermacam hewan dan manusia buana niskala lainnya di antaranya adalah
yang masih dipenuhi oleh segala hasrat sembilan dewi, seperti Dewi Tunyjung
dan hawa nafsu dan disimbolkan sebagai Herang, Dewi Sri Tunyjung Lenggang,
bagian kaki Mahameru. Rupadhatu Dewi Sari Banawati, dan 45 bidadari yang
yang disimbolkan sebagai bagian tengah disebutkan namanya, antara lain Bidadari
lereng Mahameru merupakan tempat Tunyjung Maba, Bidadari Naga Nagini,
tinggal mahluk suci yang telah berhasil Bidadari Endah Patala, dan Bidadari
melepaskan hasrat dan nafsu, tetapi Sedajati. Buana jatiniskala adalah alam
masih terperangkap dalam rupa (hidup). kemahagaiban sejati sebagai tempat
Arupadhatu adalah bagian paling atas dan tertinggi di jagat raya. Penghuninya adalah
disimbolkan dengan puncak Mahameru zat Maha Tunggal yang disebut Sang
dan merupakan nirwana yang kosong Hyang Manon, zat Maha Pencipta yang
(sunyata), terbebas dari wujud ataupun disebut Si Ijunajati Nistemen. Zat inilah
rasa. Pada tataran arupadhatu, seorang yang tingkat kegaiban dan kekuasaannya
mahluk sudah bebas dari reinkarnasi dan paling tinggi. Dialah pencipta batas, tetapi
bersatu dengan kesunyataan (Munandar, tak terkena batas. Dengan demikian,
2016). tiap-tiap alam mempunyai penghuninya
masing-masing yang wujud, sifat, tingkat,
Masyarakat Sunda Kuno pada masa dan tugas/kewenangannya berbeda
lalu juga mengenal pembagian dunia (Ekadjati, 2005).
dalam tiga tingkatan alam yang disebut
sebagai bumi sakala, buana niskala, dan Kosmologi Sunda ini sesungguhnya
buana jatiniskala. Bumi sakala adalah dapat disejajarkan dengan konsep
105
PURBAWIDYA Vol. 8, No. 2, November 2019: 97 – 111
106
Gunung sebagai Lokasi Situs-Situs Keagamaan .... (Dani Sunjana)
Pada mandala/kedewaguruan
inilah ajaran-ajaran serta pemikiran
keagamaan diproduksi dan ditulis oleh
para kaum agamawan pujangga/kawi
dalam naskah-naskah lontar, seperti
tutur. Karena ketinggian ilmu keagamaan b
di kalangan pemuka-pemuka mandala,
tidak jarang raja beserta keluarga serta Gambar 3 (a) Foto situs bangunan keagamaan
orang-orang yang ingin memperdalam sunda kuno yang berupa punden berundak dengan
ilmu agama datang ke tempat tersebut menhir dan arca yang dipotret akhir 1863/1864
oleh Isidore van Kinsbergen di Megamendung,
atau bahkan para raja dan tokoh penting Bogor, (b) Situs Jamipacing, Cibalay, Kabupaten
pun lazim melakukan pengunduran diri Bogor; berdasarkan keterangan naskah-naskah
dan menetap pada kompleks tersebut kuno, seperti Perjalanan Bujangga Manik,
(Santiko, 2005). Naskah Sumanasantaka, bangunan-bangunan keagamaan seperti inilah yang
sebagai contoh, menyebutkan kisah dipergunakan pada masa Sunda Kuno (Sumber:
geheugenvannederland.nl dan Dachlan [2018],
Pangeran Aja yang singgah pada suatu dimodifikasi oleh Dani Sunjana)
pertapaan—yang sangat mungkin sekelas
mandala—kemudian bertemu dengan Kepandaian dan ketinggian ilmu dari
kepala pertapaan yang merupakan para pemuka suatu mandala atau pertapaan
mantan wiku haji di keraton serta sangat sebagai bhujangga pada masa Jawa Kuno
pandai dalam menggubah kakawin. Raja terwujud dalam naskah-naskah keagamaan,
Raghu, ayah Pangeran Aja pun, dikatakan seperti teks tutur dan mantra (Setyawati,
mengundurkan diri ke hutan untuk 2006). Tidak menutup kemungkinan, pada
memperdalam dan melakukan praktik- situs-situs mandala/pertapaan diproduksi
praktik keagamaan dalam suatu kompleks pula teks-teks sastra, seperti kakawin
pertapaan (Zoetmulder, 1983). dan kidung, misalnya yang dituturkan
107
PURBAWIDYA Vol. 8, No. 2, November 2019: 97 – 111
108
Gunung sebagai Lokasi Situs-Situs Keagamaan .... (Dani Sunjana)
109
PURBAWIDYA Vol. 8, No. 2, November 2019: 97 – 111
DAFTAR PUSTAKA
Bernbaum, E. (2006). Sacred Mountains: Themes and Teachings. Mountain Research and
Development, 26(4), 304–309.
Danasasmita, A.S. (1981). Sanghyang Siksa Kandang Karesian; Naskah Sunda Kuno Tahun 1518
Masehi. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Darsa, U. (2010, February 9). Sakola Sunda Kuno. Pikiran Rakyat, p. 14.
Degroot, V. (2009). Candi Space and Landscape: A Study on the Distribution, Orientation and
Spatial Organization of Central Javanese Temple Remains. Leiden University.
Ekadjati, E. (2005, June 2). Menguak Konsep Kosmologi Sunda Kuna. Pikiran Rakyat.
Guillaud, D. (2006). Menyelusuri Sungai, Merunut Waktu: Penelitian Arkeologi di Sumatra
Selatan. Jakarta: Puslitbang Arkenas, IRD, dan EFEO.
Gunawan, A. (2011). Membaca Teks Sunda Kuna Sanghyang Sasana Maha Guru. Retrieved from
www.academia.edu/aditiagunawan
Laneri, N. (2015). Defining The Sacred. London: Oxbow Press.
Moleong, L. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Munandar, A. A. (2016). Arkeologi Pawitra (1st ed.). Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Munandar, A.A. (2017). Siliwangi, Sejarah, dan Budaya Sunda Kuna (1st ed.). Jakarta: Wedatama
Widya Sastra.
Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, & Wahyudi, W. R. (2018). Tracing religious life in the
ancient Bali period: An Epigraphical Study. In M. Budianta, M. Budiman,
A. Kusno, & M. Moriyama (Eds.), Cultural Dynamics In a Globalized
World (I, pp. 553–558). Retrieved from https://scholar.google.co.id/
citations?user=GEnSivwAAAAJ&hl=en#d=gs_md_cita-d&u=%2Fcitations%3Fview_
op%3Dview_citation%26hl%3Den%26user%3DGEnSivwAAAAJ%26citation_for_
view%3DGEnSivwAAAAJ%3AzYLM7Y9cAGgC%26tzom%3D420
Noorduyn, J. (1982). Bujangga Manik ’ S Journeys Through Java : Topographical Data.
138(1982), 413–442.
Prasetyo, B., & Yuniawati, D. Y. (2004). Religi pada Masyarakat Prasejarah di Indonesia (1st
ed.). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.
Santiko, H. (2005). Hari-Hara: Kumpulan Tulisan tentang Agama Veda dan Hindu di Indonesia
abad IV–XVI M (1st ed.). Depok: Universitas Indonesia.
Saringedyanti, E. (1996). Penempatan Situs Upacara Masa Hindu-Buda: Kajian Lingkungan
Fisik Kabuyutan di Jawa Barat. Universitas Indonesia.
Septiani, S. (2010). Aktivitas Keagamaan Masyarakat Kerajaan Sunda Abad ke-14 hingga
Awal Abad ke-16 Masehi berdasarkan Data Tertulis dan Tinggalan Arkeologis: Suatu
Penelitian Awal. Universitas Indonesia.
Setiawan, H. (2019). Bujangga Manik dan Studi Sunda. Tidak diterbitkan.
Setyawati, K. (2006). Mantra pada Koleksi Naskah Merapi-Merbabu. Humaniora, 18(1), 63–
71.
110
Gunung sebagai Lokasi Situs-Situs Keagamaan .... (Dani Sunjana)
Soejono, R. (2008). Sistem-Sistem Penguburan pada Akhir Masa Prasejarah di Bali. Jakarta:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.
Sulistyarto, P. H. (2003). Pola Sebaran Situs Megalitik di Gunung Slamet. Yogyakarta.
Susanti, N. (2018). ’Variety of Distinct Style Scripts in Inscriptions Found in Mandalas of the
Late Majapahit Era: An Overview of the Paleography to Mark Religious Dynamics. In
M. Budianta, M. Budiman, A. Kusno, & M. Moriyama (Eds.), Cultural Dynamics in a
Globalized World (1st ed., pp. 585–592). Retrieved from https://scholar.google.co.id/
citations?user=GEnSivwAAAAJ&hl=en#d=gs_md_cita-d&u=%2Fcitations%3Fview_
op%3Dview_citation%26hl%3Den%26user%3DGEnSivwAAAAJ%26citation_for_
view%3DGEnSivwAAAAJ%3AzYLM7Y9cAGgC%26tzom%3D420
Tim Penulis Sejarah Nasional Indonesia. (2009). Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno
(6th ed.; M. D. Poesponegoro & N. Notosusanto, Eds.). Jakarta: Balai Pustaka.
Widjajadi, A. W. (2018). Arca-arca yang Hilang di Gunung Wayang. Retrieved March 21, 2019,
from Komunitas Aleut website: https://komunitasaleut.com/2018/02/13/arca-arca-yang-
hilang-di-gunung-wayang/
Williams, G. M. (2003). Handbook of Hindu Mythology (1st ed.). California: ABC-CLIO.
Yondri, L. (2018). Jejak Aktivitas Penguburan Masyarakat Megalitik di Kaki Gunung Ciremai,
Jawa Barat. Retrieved from www.academia.edu/lutfiyondri
Zoetmulder, P. J. (1983). Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (2nd ed.). Jakarta:
Djambatan.
Zoetmulder, P. J., & Robson, S. (2006). Kamus Jawa Kuno-Indonesia. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
111
PURBAWIDYA Vol. 8, No. 2, November 2019
112