Anda di halaman 1dari 31

VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING (VCT)

No. Dokumen Revisi Halaman


1/1

Tanggal terbit: Ditetapkan oleh:


STANDAR Direktur
PROSEDUR
OPERASIONAL

drg.Yandri Saputra,M.Kes
Nip. 19740705 200903 1 005
PENGERTIAN Voluntary Counseling and Testing (VCT) adalah kegiatan
konseling yang bersifat sukarela dan rahasia antara konselor dari
Tim Pelayanan HIV-AIDS RSUD Pasaman Barat dengan orang
yang ingin mengetahui status HIV nya atau orang yang beresiko
tertular HIV.
TUJUAN Sebagai pedoman pelaksanaan pemeriksaan VCT di RSUD
Pasaman Barat
1. Sebagai acuan bagi petugas medis dan non medis di RSUD
Pasaman Barat dalam pelaksanaan VCT.
2. Sebagai acuan bagi orang yang akan menjalani tes HIV.
3. Tujuan Pelaksanaan VCT adalah:
a. Membantu terduga HIV dan atau ODHA untuk melakukan
perubahan perilaku kea rah perilaku lebih sehat dan aman
dengan:
 Memberikan dukungan psikologis bagi pasien dan
keluarga
 Mencegah penularan HIV dengan menyampaikan
informasi tentang cara penularan dan perilaku beresiko
 Membantu mengenbangkan kehalian pribadi yang
diperlukan untuk mendukung perilaku hidup sehat
4. Memastikan pengobatan yang efektif dan sedini mungkin
termasuk alternatif pemecahan berbagai masalah.
KEBIJAKAN 1. Pelaksanaan pelayanan VCT adalah konselor dan Tim
Pelayanan HIV-AIDS.
2. Biaya pelaksanaan VCT adalah sesuai dengan ketentuan
RSUD Pasaman Barat tentang biaya klinik rawat jalan dan
pemeriksaan laboratorium.
PROSEDUR 1. Klien atau pasien yang akan menjalani VCT baik yang datang
sendiri atau diantar oleh petugas medis terlebih dahulu
mendaftar di tempat pendaftaran.
2. Klien atau pasien menjalani konseling.
3. Apabila setuju untuk dilakukan tes HIV, klien atau pasien
menandatangani Informed Consent yang disediakan.
4. Klien atau pasien menjalani tes di laboratorium.
5. Untuk pembukaan hasil tes anti HIV, klien atau pasien
menjalani konseling pasca tes.
6. Bagi klien atau pasien yang belum setuju untuk menjalani tes
pada saat itu, dianjurkan untuk kunjungan ulang pada waktu
yang disepakati.
UNIT TERKAIT 1. SMF Penyakit Dalam
2. SMF Anak
3. SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan
4. SMF Paru
5. Laboratorium
6. Farmasi
7. Klinik Konseling dan Tes HIV
8. Rekam Medis
PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK (PPIA)
No. Dokumen Revisi Halaman
1/1

Tanggal terbit: Ditetapkan oleh:


STANDAR Direktur
PROSEDUR
OPERASIONAL

drg.Yandri Saputra,M.Kes
Nip. 19740705 200903 1 005
PENGERTIAN Pencegahan Penularan HIV Dari Ibu Ke Anak (PPIA) adalah suatu
upaya yang diajukan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke
anak yang dilakukan secara terintegrasi dan komprehensif dengan
program-program lainnya yang berkaitan dengan pengendalian
HIV-AIDS.
TUJUAN Pelayanan ini bertujuan untuk mengendalikan penularan HIV-
AIDS melalui upaya pencegahan penularan dari ibu ke anak,
meningkatkan kualitas hidup ibu dan anak yang terinfeksi HIV,
serta menurunkan tingkat kesakitan dan kematian akibat HIV-
AIDS.
PROSEDUR Dilaksanakan melalui kegiatan komprehensif yang meliputi 4
komponen/Prong meliputi:
1. Prong 1. Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan
usia reproduksi dengan konsep “ABCDE” yaitu : AIDS dan
Kesehatan reproduksi.
2. Prong 2. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada
ibu dengan HIV.
3. Prong 3. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV
positif ke bayi yang dikandungnya.
4. Prong 4. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan
perawatan kepada ibu HIV positif beserta bayi dan keluarganya.
UNIT TERKAIT 1. Penyakit Dalam
2. SMF Anak
3. SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan
4. SMF Paru
5. Laboratorium
6. IGD
7. Farmasi
8. Klinik Konseling dan Tes HIV
9. Rekam Medis
PENANGANAN PASIEN HIV & AIDS DENGAN KELAINAN
NEUROLOGIS
No. Dokumen Revisi Halaman
/2

Tanggal terbit: Ditetapkan oleh:


SOP Direktur
PENGOBATAN
INFEKSI
OPORTUNISTIK
drg.Yandri Saputra,M.Kes
Nip. 19740705 200903 1 005
PENGERTIAN Dengan semakin meningkatnya jumlah pasien HIV, maka
komplikasi neurologis yang timbul pada pasien HIV juga akan
meningkat. Diperkirakan dari sekitar 30-70 persen pasien HIV
akan mendapatkan komplikasi neurologis. Mengingat makin
meningkatnya jumlah pasien, maka tentunya perlu dibuat suatu
pedoman penanganan pasien HIV & AIDS di RSUD Pasaman
Barat.
TUJUAN Memberikan pedoman tatalaksana terapi untuk komplikasi dan
kelainan neurologis pada pasien HIV & AIDS
KEBIJAKAN IRNA Penyakit Dalam dan IRNA Bedah RSUD Pasaman Barat
URAIAN ILMIAH BATASAN
Komplikasi neurologis HIV pada system saraf adalah gejala
neurologis yang timbul pada pasien HIV & AIDS, yang meliputi
kelainan baik pada sistem saraf pusat maupun sistem saraf tepi.
PROSEDUR  PELAKSANAAN PENANGANAN PASIEN HIV & AIDS
Pelaksanaan adalah peserta PPDS I dengan supervisor /
penanggung jawab oleh supervisor konsul/supervisor saraf
tepi.
 PRINSIP-PRINSIP DIAGNOSIS GEJALA NEUROLOGIS
PADA PASIEN HIV & AIDS
 Diagnosis terutama didasarkan anamnesis klinis tentang
deskripsi bagaimana gejala neurologis itu terjadi disertai
pemeriksaan klinis
 Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan :
a. Fungsi Lumbal
b. Kultur Cairan Serebro Spinalis
c. Elektroensefalografi
d. EMG/NCV (Elektromiografi / Nerve Conduction Velocity)
e. CT Scan Kepala/ MRI Kepala
 Peran fungsi lumbal sebagai berikut:
a. Memastikan diagnosis adanya infeksi intracranial
b. Membantu menentukan jenis infeksi
c. Melakukan kultur cairan serebro spinalis apabila
memungkinkan.
 Peran kultur cairan serebro spinalis:
a. Menentukan jenis infeksi
b. Menentukan sensitifitas antibiotika.
 Peran elektroensefalografi:
a. Menambah bobot pada diagnose klinis (EEG tidak
membuktikan atau membuktikan diagnosa epilepsy)
b. Membantu menentukan klasifikasi epilepsi
c. Memperlihatkan kemungkinan adanya lesi struktural di
otak.
 Peran EMG/NCV adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui apakah kelainan pada susunan saraf tepi
PENANGANAN PASIEN HIV & AIDS DENGAN KELAINAN
NEUROLOGIS
No. Dokumen Revisi Halaman
/2
atau susunan saraf pusat
b. Diagnosis banding pada penyakit saraf tepi, disfungsi
transmisi neuromuskuler, atau penyakit otot
c. Menentukan apakah letak lesi pada saraf tepi, akar
saraf, pleksus, atau motor neuron
d. Memastikan penyebab dari disfusi saraf yang timbul,
apakah merupakan gangguan aksonal, demyelinating
atau keduanya.
UNIT TERKAIT
PENANGANAN PASIEN LIMFOMA SISTEM SARAF PUSAT

No. Dokumen Revisi Halaman


1/1

Tanggal terbit: Ditetapkan oleh:


SOP Direktur
PENGOBATAN
INFEKSI
OPORTUNISTIK
drg.Yandri Saputra,M.Kes
Nip. 19740705 200903 1 005
PENGERTIAN Limfoma pada sistem saraf pusat yang merupakan suatu
komplikasi pada pasien HIV & AIDS yang sering terjadi adalah
toksoplasma pada sistem saraf pusat dengan adanya suatu
penatalaksanaan yang baik diharapkan dapat menurunkan angka
kesakitan maupun angka kematian pasien.
TUJUAN Memberikan pedoman tata laksana terapi untuk pasien limfoma
pada sistem saraf pusat pada pasien HIV dan AIDS
KEBIJAKAN IRNA Penyakit Dalam dan IRNA Bedah RSUD Pasaman Barat
URAIAN ILMIAH  Merupakan komplikasi stadium akhir pada penyakit HIV,
CD4<100
 Kelainan diperkirakan didapatkan pada sekitar 2% dari pasien
AIDS
PROSEDUR 1. Pelaksanaan penanganan pasien
Pelaksanaan adalah peserta PPDS 1 dengan
supervisor/penanggung jawab oleh supervisor konsul /
supervisor seksi infeksi
2. Prinsip-prisnsip diagnose Limfoma system saraf pusat
Gejala dan tanda:
1. Gejala yang timbul bersifat subakut
2. Defisit neurologis fokal
3. Adanya gambaran ensefalopati
4. Jarang didapatkan panas, hal ini yang membedakan
dengan toksoplasma
5. Manifestasi limfoma pada system seringkali tidak
didapatkan
Pemeriksaan
1. Punsi lumbal, bila tidak didapatkan kontra-indikasi. Gambaran
analisis cairan lumbal:
a. Pleositosis
b. Protein : normal atau sedikit meningkat
c. Kadar glukosa : normal
d. PCR L Virus Epstein Barr
2. SPECT Thallium : terdapat pengambilan thallium
3. MRI : Gambaran lesi massa yang meningkat (enchancing
mass lesions)
4. Biopsi : diagnose pasti

3. Tatalaksana terapi limfoma Sistema saraf pusat


1. Methotrexate intravena, intrathecal, dan intraventrikuler
2. Radioterapi
3. HAART diberikan segera sesudah diagnose ditegakkan
UNIT TERKAIT

-
PENANGANAN PASIEN HIV & AIDS DAN SEPSIS

No. Dokumen Revisi Halaman


/3

Tanggal terbit: Ditetapkan oleh:


SOP Direktur
PENGOBATAN
INFEKSI
OPORTUNISTIK
drg.Yandri Saputra,M.Kes
Nip. 19740705 200903 1 005
PENGERTIAN Sepsis adalah sindrom radang sistemik akibat infeksi, ditandai
dengan gejala-gejala : demam atau hipotermi, menggigil, takipnea,
takikardi, nadi cepat dan lemah serta gangguan mental yang
disebabkan oleh infeksi mikroorganisme (virus, jamur, protozoa,
bakteri).
TUJUAN 1. Membudayakan penanganan penderita HIV & AIDS yang tetap
sebagai upaya meningkatkan mutu pelayanan, pendidikam dan
penelitian sesuai fungsi RSUD Pasaman Barat sebagai rumah
sakit rujukan kelas A dan rumah sakit Pendidikan. Mengidentifikasi
secara disni setiap penyakit yang berhubungan dengan infeksi
HIV dan pengobatannya.
2. Memberikan petunjuk penanganan sepsis yang berhubungan
dengan HIV
KEBIJAKAN Unit Perawatan Intermediate Penyakit Infeksi RSUD Pasaman
Barat
URAIAN ILMIAH A. Infeksi berat, ditandai oleh 2 atau lebih keadaan sebagai
berikut :
1. Suhu tubuh aksiler >38,2oC atau 36 oC
2. Leukosit > 12000/I atau <4000/I
3. Kultur darah positif terhadap kuman yang pathogen
4. Dugaan adanya sumber infeksi sebagai penyebab
5. Adanya infeksi bernanah
B. Respons sistemik yang ditandai oleh satu dari keadaan
sebagai berikut :
1. Hipotensi yang tidak dapat dijelaskan (sistolik <90 mmHg
atau penurunan >40 mmHg dari tekanan darah semula)
2. Kegagalan faal organ yang multiple, antara lain : hati, ginjal,
gastrointestinal, paru, saraf dan jantung
3. Alkalosis respitarok atau asidosis metabolic
4. Diagnosis sepsis : 2 dari A + 1 dari B
PROSEDUR Prinsip penatalaksanaan sepsis dalam pemberian antibiotika
(sesuai mikroorganisme penyebab), neralisasi toksin, eliminasi
berbagai mediator inflamasi dan suportif.

Kontrol infeksi merupakan pilar utama terapi


Konsep baru optimalisasi pemberian antibiotika dalam upaya
mematikan kuman pathogen, maka antimikroba dibagi 2 golongan
L concentration-dependent killing misalnya aminoglikosida dan
fluorokuinolon; time-dependent killing, misalnya betalaktam,
makrolid, klindamisin, flusitosin.
PENANGANAN PASIEN HIV & AIDS DAN SEPSIS

No. Dokumen Revisi Halaman


/3

I. Panduan pemilihan epiris pada sepsis tergantung situasi


(Munford 2005)
1. Capefim 3x2 gram atau
2. Siprofloksasin 2x400 mg atau
3. Levofloksasin 2x750 mg ditambah vankomisin
15mg/KgBB/12 jam.

II. Suportif Merabolik, hemodinamik dan respiratorik


Obat antimikroba hanya mampu mengeliminasi mikroorganisme
penyebab, sedangkan mediator kimiawi, sitokin yang terlanjur
kelaur perlu diatasi. Karena pada sepsis terjadi hipermetabolik
dan hiperkatabolisme protein, maka dukungan nutrisi TKTP
perlu diberikan termasuk susu protein 3 kali 20 gram sehari.

Respirasi
Oksigen arterial diperiksa dengan pulse oxymetri atau dengan
memeriksa gas darah. Oksigen diberikan melalui pipa nasal, atau
masker untuk mempertahankan saturasi oksigen arteri lebih dari
95%. Bila terjadi gagal nafas dilakukan intubasi dan ventilasi
mekanik.

Support hemodinamik
Penanganan inisial terhadap pasien sepsis yang mengalami
hipotensi harus mencakup pemberian cairan intravena yang
secara tipikal berupa 1 hingga 2 liter larutan normal saline
saelama 1 hingga 2 jam, curah urin harus dijaga diatas 3o ml/jam
dengan pemberian cairan yang kontineu; preparate diuretic seperti
furisemid dapat diberikan bila direkomendasikan.
Khusus ada syok septic, consensus direkomendasi
1. Cairan resusitasi segera diberikan dengan cairan yang ada
2. Cairan koloid lebih dianjurkan untuk resusitasi awal karena
mempunyai efek hemodinamik segera
3. Infuse cairan selanjutnya dapat memakai koloid dan atau
kristaloid
Bila keadaan tidak dapat diatasi dengan pemberian cairan saja,
maka perlu diberi obat vasopressor, golongan sympathomimetic
amine, Norepinephrin biasanya baru dipakai bila pemberian
dopamine dan dobutamin tak berhasil menaikan tekanan darah
sistematik.

Dosis yang dianjurkan:


1. Dopamine : 2-23 µg/kg/menit didalam cairan infus (dextrose
5% atau normal) salin sampai tekanan sistolik lebih dari 90
mmHg dan produksi urine lebih dari 30 ml/jam.
2. Dobutamin 22-25 µg/kg/menit, titrasi sama dengan
dopamine. Berguna pada pasien dengan cardiac output
rendah.
3. Norepinephrine dosisi awal 0,1-0,2 µg/kgBB dan dilihat efek
dalam beberapa menit. Dosis maintenance adalah 0,05
µg/menit.
PENANGANAN PASIEN HIV & AIDS DAN SEPSIS

No. Dokumen Revisi Halaman


/3
Terapi Asidosis dan Koagulan Intravaskuler Diseminata
Biokarbonar kadang diberikan pada sidosis metabolic yang berat
(pH arterial < 7,2); efektivitas terapi ini belum ditetapkan. Jika
dipersulit oleh perdarahan yang hebat, koagulasi intravaskuler
diseminata harus diatasi dengan transufe fresh frozen plasma dan
trombosit. Penanganan yang berhasil terhadap infeksi yang
mendasari sangat penting untuk memulihkan keadaan asidosis
maupun koagulan intravaskuler diseminata.

III. Imunoglobulin Intravena


Dosis awal IVIG yang dianjurkan adalah 0,4 g/kg perhari selama
3-5 hari dan dosis rumatan anatara 0,4 g dan 2,0 g/kg bila
diperlukan biasanya antara 2-12 minggu. Kebanyakan pasien
memerlukan pengulangan pemberiam setiap 3-4 minggu.
UNIT TERKAIT
PENANGANAN PASIEN HIV & AIDS DAN DIARE

No. Dokumen Revisi Halaman


/5

Tanggal terbit: Ditetapkan oleh:


SOP Direktur
PENGOBATAN
INFEKSI
OPORTUNISTIK
drg.Yandri Saputra,M.Kes
Nip. 19740705 200903 1 005
PENGERTIAN Diare kronik adalah buang air besar dalam bentuk cair sebanyak 3
kali atau lebih dalam sehari secara terus-menerus atau secara
periode selama lebih dari satu bulan pada pasien infeksi HIV &
AIDS yang simtomatik (Depkes RI, 2001). Sifat diare kronik itu
sendiri keluarnya feses yang terus menerus, berair, tanpa darah
dan lender. Sering disertakan mual, penurunan berat badan, kram
perut dan dehidrasi (FHI, 2006).
TUJUAN 1. Mengindentifikasi secara dini setiap penyakit yang
berhubungan dengan infeksi HIV dan pengobatannya.
2. Memberikan petunjuk penanganan diare kronis yang
berhubungan dengan HIV
KEBIJAKAN Unit Perawatan Penyakit Dalam RSUD Pasaman Barat
URAIAN ILMIAH  Diare kronis merupakan masalah yang sering terjadi pada
penderita HIV di UPIPI, angka kejadian pada infeksi
oportunistik di UPIPI pada tahun 2006 adalah 20%.
 Sifat diare: berair, tanpa darah dan lender
 Sering disertai mual, penurunan berat badan, kram perut dan
dehidrasi.
 Penyebab:
Infeksi bakteri: Campylobacter, Shigella, dan Salmonella
Infeksi protozoa: Cryptoporidium sp. giardia lamblia, Isospora
belli, Entamoeba histolitica, Jenis mikrosporidium
Paparan toksin: E, coli dan Clostridium difficile
Infeksi mikrobakteria: M. tuberculosis, M. avium complex
Infeksi helminthik: Strongyloides stercoralis
Infeksi fungsi: candidal sp. (jarang menjadi penyebab
diarrhea)
 Infeksi oleh Salmonella non Tifoid, yang biasanya hanya
menyebabkan enteritis pada orang sehat, dapat menyebabkan
sepsis pada pasien HIV & AIDS. Gejala yang terjadi umumnya
adalah rasa dingin dan demam tinggi tapa disertai diare
(Hoffmann, 2006). Siprofloksasin dapat digunakan untuk terapi
gastroenteritis Salmonella dan kronis supresif (CDC, 2006)
 Kriptosporodiasis merupakan penyakit saluran pencernaan
yang terutama disebabkan oleh Cryptosporidium parvum.
Gejala penyakit ini adalah diare yang disertai nyeri abdomen,
mual, muntah. Pada pasien AIDS dengan CD4> 50 sel/ul
dapat digunakan Nitazoksanid untuk membunuh helmintes,
bacteria dan protozoa (CDC 2006). Selain itu, spiramisin dan
azitromisin efektis untuk mengurangi gejala dan jumlah parasit
dalam tubuh (Kolter, 1997).
Paromomisin, suata aminoglikosida oral yang tidak diabsorpsi,
efektif untuk terapi diare (CDC, 2006)
PROSEDUR Prosedur terapi kronik pada pasien HIV AIDS menurut Standart
Operating Procedures HIV Clinical Care For Adults and
Adolescents yang diterbitkan Family Health International Juni
PENANGANAN PASIEN HIV & AIDS DAN DIARE

No. Dokumen Revisi Halaman


/5
2006 (EHI, 2006) dibedakan atas kuman yang menjadi penyebab
diare, sebagai berikut:
1. Etiologi: Salmonella
a. Tanda dan gejala
Demam, rasa tidak enak badan, kadang-kadang tapa
gejala-gejala Gl
b. Uji laboratorium dann uji diagnostic lain
 Uji mikroskopi fese
- Sampel konsentrasi fese segar
- Diperlukan multiple sampel feses
 Kultur serologi feses dan darah
c. Temuan diagnostic
 Penemuan umum
 Kuman Salmonella bisa ditemukan dalam kultur feses
atau darah
 Widal yang meningkat dalam 2 minggu
d. Penatalaksanaan dan terapi
 Terapi farmakologis
- Kotrimolsasol 960 g 2 kali/hari atau kloramfenikol 250
mg 4 kali/hari selama 3 minggu
- Terapi lebih pendek : siprofloksasin 500 mg 2
kali/hari atau ofloksasin 400 mg 2 kali/hari atau
seftriakson 2 g IV selama 7-10 hari.
- Jika pengobatan empiris dengan kotrimoksasol tidak
efeksit untuk pasien dengan bacillary dysentery,
fluorokuinolon merupakan pilihan, diikuti eritromisin
jika ada gejala diare berdarah.
 Bila ada tanda-tanda sepsis, perlu pengobatan IV
 Beberapa pasien sering kambuh setelah terapi
sehingga terapi pemeliharaan terkadang diperlukan
 Rehidrasi dan koreksi gangguan elektrolit. Beri terapi
antidiare
 Intake energy dan protein tinggi mengurangi derajat
keparahan

2. Etiologi: Shigella
a. Tanda dan gejala
Demam tinggi, nyeri obdominal, diare berdarah
b. Penatalaksanaan dan terapi
 Uji primer
- Kotromiksasol 960 mg 2 kali/hari selama 5 hari
- Amoksisilin 500 mg 3 kali/hari selama 10 hari
 Jika resistensi
- Siprofloksasin 500 mg 2 kali/hari atau norfloksasin
400 mg selama 5 hari atau
- Asam nalidiksat 1 g 4 kali/hari selama 10
c. Catatan
 Di Negara berkembang, resistensi shigella terhadap
kotrimolsasol mengalami peningkatan
 Jika kontimoksasol digunakan sebagai terapi empiric
tidak efektif untuk pasien dengan bacillary dysentery.
fluoroquinolon merupakan pilihan, diikuti eritromisin jika
gejala diare berdarah.
PENANGANAN PASIEN HIV & AIDS DAN DIARE

No. Dokumen Revisi Halaman


/5

3. Etiologi: Campylobacter
a. Tanda dan gejala
Demam, diare berdarah, nyeri abdominal, kehilangan berat
badan.
b. Uji laboratorium
Kultur reses
c. Temuan diagnostic
Ditemukan kuman campylobacter pada kultur feses
d. Penatalaksanaan dan terapi
 Terapi primer
Eritromisin 500 mg 2 kali/hari selama 5 hari
 Terapi lain
Fluorokuinolon, tetapi resistensinya pada Negara
berkembang dilaporkan antara 30-50%

4. Etiologi: Cryptosporidium
a. Tanda dan gejala:
Diare berat, volume banyak, encer/berair, nyeri abdominal,
suara bising usus meningkat, penurunan berat badan
b. Uji laboratorium dan uji diagnostic lain
Sampel feses dengan pengecatan AFB
c. Temuan diagnostic
 Oosita ditemukan dalam sampel feses
 Tidak ada kenaikan leukosit
d. Penatalaksanaan dan terapi
 Rehidrasi (IV)
 Paromomisin 500 mg 4 kali/hari selama 2-3 minggu,
dosis penjagaan paromomisin 500 mg 2 kali/hari selama
diperlukan
 Codein fosfat 30-60 mg 3 kali/hari atau antidiare lain
seperti loperamid 2-4 mg 3 kali/hari atau 4 kali/hari,
maksimum 32 mg dalam 24 jam
 Terapi ARV dapat melindungi ODHA dari infeksi akibat
cryptosporidium
e. Pencegahan
 Cryptosporidia cepat menyebar dan dapat ditularkan
melalui air, makanan dan kontak antara binatang ke
manusia dan manusia ke manusia
 Pada ODHA dengan CD4 < 200 sl/mm3 perlu perhatian
ekstra

5. Etiologi: Isospora belli


a. Tanda dan gejala
Enteritis (radang usus disertai memar), diare cair, tidak ada
demam, penurunan berat badan, malabsorbsi, gejala klinis
sama dengan Criptosporadium.
b. Uji laboratorium
Kultur feses : sampel feses basah
c. Temuan diagnostic
PENANGANAN PASIEN HIV & AIDS DAN DIARE

No. Dokumen Revisi Halaman


/5
 Oosita Isospora belli relative besar (2030 mm) dan
dapat dengan mudah dikenali dalam sediaan sampel
feses basah yang tidak ternoda
 Tidak ada kenaikan leukosit
d. Penatalaksanaan dan terapi
 Kontromoksasol 960 mg 2 kali/hari untuk 10 hari, diikuti
Kontrimoksasol 960 mg 1 kali/hari selama 3 minggu
 Pirimetamine dosis tinggi dengan asam folinat untuk
mencegah myclosupresi
 Terapi rumatan jangka panjang perlu untuk mencegah
kekambuhan

6. Etiologi: Entamoeba histolítica


a. Tanda dan gejala
Radang usus besar, berdarah, kram, tanpa gejala
b. Uji laboratorium
Pada sampel feses yang ditemukan telur dari Entamoeba
histolitica
c. Temuan diagnostic
 Tekur dan parasit dalam sampel feses
 Tidak ada kenaikan leukosit
d. Penatalaksanaan dan terapi
 Metronidazol 500-700 mg PO atau IV 3 kali/hari selama
5-10 hari
 Paromomycin 500 mg POP 4 kali/hari selama 7 hari

7. Etiologi: Giardia lambia


a. Tanda dan gejala :
Enternitas (radang usus disertai memar), diare cair,
malabsorbi, edema atau asites, adanya gas dalam perut
(flatulen)
b. Uji laboratorium
Pada sampel feses yang ditemukan telur dari Giardia
lambia
c. Temuan diagnostik
Telur dan parasit dalam sampel feses
d. Penatalaksanaan dan terapi
Metronidazol 250 mg PO 3 kali/hari selama 10 hari
e. Catatan
Umum terjadi pada populasi yang umum, tetapi sering
terjadi kekambuhan yang berat pada pasien HIV.

8. Etiologi : Strongyloides stercoralis


a. Tanda dan gejala
Serpiginous erythematous skin lesion (larva current), diare,
nyeri abdominal, batuk, sindrom hiperinfeksi merupakan
karakteristik dari sepsis karena bakteri gram negatif dengan
sindroma acute respiratory distress, pembekuan darah
intravaskular dan peritronitis sekunder.
b. Uji laboratorium dan diagnostik lain
PENANGANAN PASIEN HIV & AIDS DAN DIARE

No. Dokumen Revisi Halaman


/5
 Pemeriksaan Kultur feses
 Pemeriksaan dahak
 Foto foraks
c. Temuan diagnostik
 Larva filariform pada feses
 Infiltrat difus paru pada pemeriksaan foto torax
 Disseminated strongyloidiasis : larva filarifrom pada
feses, sputum
 cairan bronko-alveolar, cairan pleura, cairan peritonitis
dan cairan luka operasi
d. Penatalaksanaan dan terapi
 Terapi primer: invermectin 12 mg sehari selama 3 hari
(obat pilihan untuk terapi strongyloidiasis sistemik)
 Terapi alternatif : albendazol 400 mg 2 kali /hari selama
5 hari
 Terapi penjagaan : diberikan 1 kali/bulan untuk
menurunkan gejala
 Infeksi (albendazol 400 mg atau invermectin 6 mg tiap
bulan)
e. Catatan
 Pasien imunokopromosi, strongyloids dapat
menyebabkan hiperinfeksi. Komplikasi serius ini disebut
sindroma strongyloides
 hiperinfeksi dengan kasus kematian yang tinggi
 Strongyloides hiferinfeksi secara umum dihubungkan
dengan kondisi lain akibat supresi terhadap imunitas.
 Disseminated strongyloidiasis heavy worm, dapat terjadi
pada pasien HIV tetapi merupakan sindroma
hiperinfeksi yang sangat panjang
 Sindroma hiperinfeksi sering terjadi pada pasien yang
menggunakan steroid dosis tinggi.
UNIT TERKAIT
PENANGANAN PASIEN HIV & AIDS DAN DEMAM

No. Dokumen Revisi Halaman


/3

Tanggal terbit: Ditetapkan oleh:


SOP Direktur
PENGOBATAN
INFEKSI
OPORTUNISTIK
drg.Yandri Saputra,M.Kes
Nip. 19740705 200903 1 005
PENGERTIAN Demam lama adalah panas yang menetap atau berulang
(tempratur > 37,5 °C) selama lebih dari 2 minggu muncul secara
klinis pada pasien HIV.
TUJUAN 1. Mengindentifikasi secara dini setiap penyakit yang berhubungan
dengan infeksi HIV dan pengobatananya.
2. Memberikan petunjuk penanganan demam yang berhubungan
dengan HIV
KEBIJAKAN Unit Perawatan Penyakit Dalam RSUD Pasaman Barat.
URAIAN ILMIAH Demam itu bisa dihubungkan dengan infeksi / peradangan -
infeksi tidak oportunis, seperti:
- Tuberculosis
- Bakterimia
- Meningitis kriptokokus
- Serebral toksoplasmosis
- Meningitis bacterial
- Neurosifilis
- Citomegalovirus
- Limfoma
- Malaria
- Reaksi obat/racun
- Yang lain
PROSEDUR Perhatian gejala berikut :
- Gejala berkaitan dengan paru
- Sakit kepala
- Sindrom meningitis
- Kejang
- Gejala penyakit kulit
- Kesadaran lain
Laboratorium:
- Hapusan malaria
- Darah lengkap
- Biakan darah
- Kultur tinja
- Pewarnaan Gram dan Hapusan dahak
- Kultur dari dahak untuk vakteri patogen, AFB jika ada buruk
yang produktif
- Foto toraks
- Test hati (ALT/AST)
- Serologi-serologi spesifik : B radang hati dan C, sipilis
- Analisa cairan serebro
PENANGANAN PASIEN HIV & AIDS DAN DEMAM

No. Dokumen Revisi Halaman


/3
Penatalaksanaan
a. Terapi Kausal:
- Malaria: (lihat pada protokol malaria)
- Bakteremi/septiasemia:
 Siprofloksasin p.o. 500 mg 2 kali/hari selama 10 hari,
atau
 Norfloksasin p.o. 500 mg 2 kali/hari selama 10 hari,
atau
 Amoksisilin : 200 mg/kg per hart selama 10 hari
- Tuberkulosis
- Meningitis bakterial
- Meningitis kriptokokus
b. Terapi suportif
- Masukan Gizi dan cairan cukup
- Pelihara imbangan elektrolit dengan cairan pareteral
c. Terapi epiris:
Jika tes laboratorium tidak tersedia
- Terapi malaria, bila ada kecurigaan kuat
- Jika gagal terapi malaria, lakukan terapi septisemia
- Jika gagal terapi sepsis, terapi tuberkulosis

Malaria
1. Etiologi: Plasmodium falciparum, P. Vivax
2. Tanda dan gejala
- Demam > 39 °C, disertai
- Kejang
- Koma
- Anamia parah
- Gagal nafas
- Hipoglikemia
3. Laboratorium
- Hapusan malaria
- Kadar haematokrit
- Glukosa darah
4. Penemuan diagnostik
- Hapusan malaria positif
5. Penatalaksanaan
I. Pengobatan serangan malaria akut (pengobatan radikal)
Klorokium: hari ke-1 dan ke-2 masing-masing dosis
tunggal, 600 mg (basa), hari ke-3, 300 mg, ditambah
primakuin dosis tunggal 15 mg/hari pada hari ke-1 s/d 3.
II. Malaria palsiparum yang kebal kloronuin.
a. Sulfadoksin-primetamin (Fansidar, Suldox) dosis
tunggal 3 tablet, ditambah primakuin dosis tunggal
45 mg pada hari ke-1
b. Kina sulfat : 3 kali 400 mg/hari selama 7 hari,
primakuin dosis tunggal 45 mg pada hari ke-1
Kemudian dapat diikuti : Doksisiklin 2 kali 100
mg/hari selama 7 hari atau Klindamisin 900 mg/hari
selama 5 hari.
III. Malaria vivuks ovale dan malariae
Klorokuin : hari ke-l dan ke-2 masing-masing dosis
PENANGANAN PASIEN HIV & AIDS DAN DEMAM

No. Dokumen Revisi Halaman


/3
tunggal 600 mg (basa) hari ke-3, 300 mg. ditambah
primakuin dosis tunggal 15 mg/hari pada hari ke-1 s/d
ke-5.
IV. Malaria dengan penyulit (malaria permisiosa), misalnya
malaria serebralis.
a. Kina dihidrokloria 600 mg dalam 500 ml dextrose 5%
diberikan secara infus intravena selama 4 Jam, dapat
diulang tiap 8 jam. Atau kina hidroklorida 20 mg/kg,
dalam 500 ml dextrose 5% diberikan selama 4 jam
dikuti 100 mg/kg diberikan dalam 2-4 jam dan dapat
di ulang setiap 8 jam (dosis maksimum 1800
mg/hari).
b. Klorokuin sulfat 300 mg dalam 200 ml NaCL 0,9%
diberikan secara infus intravena selama 30 menit.
Dapat diulang tiap 8 jam. Bila penderita sudah sadar,
secepatnya sisa obat diberikan per oral sesuai
dengan pengobatan radikal.

6. Penanganan komplikast
- Panas:
 Parasetamol: 15 mg/kg 4 kali, atau
 Novalgin i.m. atau i.v. 2 kg/hari
- Kejang:
 Diazepam 10 mg i.v. (polan-pelan)
- Anemia (Het <15% atau Hb < 5 g/dl)
 Transfusi darah : 20 mg/ kgBB
- Hipoglikeria:
 Infus: dekstrosa 40%, dilanjutkan Glucoce 10% 14-
21 tetes/menit
 Monitor Glukosa darah selama terpasang infus tiap
3 jam
- Gagal napas :
 Oksigen
 Cek insufisiensi kardiak dan edema paru
- Koma:
 Tempatkan pasien di dalam lateral dekubitus
 Evaluasi secara teratur koma (2 kali/hari)
 Pungsi lumbal
 Regulasi Glukosa darah
 Terapi kejang
- Gagal ginjal:
 Pertimbangan untuk dialisis
UNIT TERKAIT
PENANGANAN PASIEN HIV & AIDS DAN KANDIDIASIS
No. Dokumen Revisi Halaman
/2

Tanggal terbit: Ditetapkan oleh:


SOP Direktur
PENGOBATAN
INFEKSI
OPORTUNISTIK
drg.Yandri Saputra,M.Kes
Nip. 19740705 200903 1 005
PENGERTIAN Infeksi opportunistic HIV di bidang penyakit dalam akibat
“Kandidiasis”
TUJUAN 1. Mengindentifikasi secara dini setiap penyakit yang
berhubungan dengan infeksi HIV dan pengobatannya.
2. Memberikan petunjuk penanganan Kandidiasis yang
berhubungan dengan HIV.
KEBIJAKAN Unit Perawatan Penyakit Dalam RSUD Pasaman Barat
PROSEDUR Diagnosis
Diagnosis definitif kandidiasis adalah ditemukannya candida
dengan pemeriksaan langsung specimen jarring (termasuk
kerokan) dengan larutan KOH, bukan dengan kultur. Identifikasi
spesies dapat dilakukan dengan uji morfologi dan kultur jamur.
Kultur merupakan alat bantu yang baik untuk spesifikasi dan uji
sensitivitas, namun tidak digunakan untuk diagnosis karena
tingginya kolonisasi.

Diagnosis kandidiasis orofaring biasanya gambaran klinis.


Diagnosis presumsif kandidiasis esofagus adalah didapatkan
keluhan nyeri retrosternum dan ditemukannya kandidiasis oral
berdasar gambaran membrane atau plak putih dengan dasar
eritema pada mulut atau ditemukannya filmen jamur pada kerokan
jaringan. Pemeriksaan endoskopi hanya diindikasikan jika tidak
terdapat perbaikan dengan pemberian flukonazol oral. Diagnosis
kandidiasis vulvovagina berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan secret vagina dengan larutan KOH.

Penatalaksanaan
Tabel 1. Terapi kandidiasis mukokutan pada ODHA
Manifestasi Terapi Pilihan Terapi Alternatig
Klinis
Kandidiasis - Nistatin drop 4-5 - Itrakonazol
orofaring kumur 500.000 U suspense 200
sampai lesi hilang mg/hari saat
(10-14) hari) perut kosong
- Flukonazol oral 1 - Amfoterisin B I,v
kali 100 mg 0,3 mg/kgBB
selama 10-14 hari
Kandidiasis - Flukonazol oral - Amfoterisin B I,v
esofagus 200 mg/hari 0,3 mg/kgBB
sampai 800
mg/hari selama
14-21 hari
- Itrakonazol
suspensi 200
PENANGANAN PASIEN HIV & AIDS DAN KANDIDIASIS
No. Dokumen Revisi Halaman
/2
mg/hari selama
14-21 hari
Kandidiasis Intravagina : - Flukonazol oral 1
vulvovagina - Kotrimazol krim kali 150 mg
1% 5 mg/hari tunggal
selama 3 hari, - Itrakonazol oral
atau tablet vagina 1-2 kali 200 mg
1 kali 100 mg selama 3 hari
selama 7-14 hai - Ketokonazol oral
atau 2 kali 100 mg 1 kali 200 mg
selama 3 hari selama 5-7 hari
- Mikonazol krim atau 2 kali 200
2% 5 mg/hari mg selama 3
selama 7 hari hari
- Tiokonazol krim
0,8% 5 mg/hari
selama 3 hari

Efektivitas preparate topical nystatin untuk kandidiasis orofaring


tergantung lamanya kontrak antara suspense dan mukosa yang
terkena. Setelah pemberian obat dianjurkan tidak makan atau
minum selama 20 menit. Respon terapi terlihat dalam 5 hari
pertama. Jika gagal jantung denga preparate tropical, gunakan
flukonazol dosis tinggi (400-800 mg/hari) atau terapi alternatif dan
lakukan tes sesitivitas terhadap anti jamur.

Beberapa kasus kandidiasis orofaring dan esofagus pada ODHA


dilaporkan mengalami kegagalan terapi dengan golongan azol,
terutama pada ODHA dengan CD4 rendah, penggunaan
preparate azol jangka lama, disebabkan isolat non C. albicans.
Kadar hambat dibanding trhadap C. albicans, sehingga dianjurkan
penggunaan flukonazol dengan dosis yang lebih tinggi. Kadar
hambat minimal flukonazol pada C, kuruse sangat tinggi, sehingga
flukonazol tidak dapat digunakan.

Profilaksis
Tidak ada terapi profilaksis untuk kandidiasis yang dianjurkan
pada ODHA. Pada kasus berat atau rekurens, dapat
dipertimbangkan pemberian flukonazol oral 1 kali 100-200 mg
atau itrakonazol oral 1 kali 200 mg, terapi yang terbaik adalah
meningkatkan kekebalan tubuh dengan ARV.
UNIT TERKAIT
PEMERIKSAAN DIAGNOSIS INFEKSI HIV

No. Dokumen Revisi Halaman


/3

Tanggal terbit: Ditetapkan oleh:


SOP Direktur
PENGOBATAN
INFEKSI
OPORTUNISTIK
drg.Yandri Saputra,M.Kes
Nip. 19740705 200903 1 005
PENGERTIAN Diagnosis ditegakan berdasarkan manifestasi klinis dan hasil
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan anti-HIV terutama
digunakan untuk deteksi adanya infeksi HIV. Diagnosis infeksi
penting ditegakan untuk terlaksana penanganan pasien.
TUJUAN Menegakkan diagnosis infeksi HIV
KEBIJAKAN Instalasi Rawat Jalan (IRJ) dan Instalasi awat Inap (IRNA),
Intensive Care Unit (ICU) RSUD Pasaman Barat
PELAKSANA Pelaksana : Teknis laboratorium lulusan sekolah Menengah
DAN Analisis Kesehatan, Akademik Analisis Kesehatan yang sudah
PENANGGUNG terlatih.
JAWAB Penanggung jawab : Dokter Spesialis Patologi Klinik
ALUR Spesimen di kirim ke laboratorium RSUD Pasaman Barat
SPESIMEN
PROSEDUR Persiapan pasien
1. Sudah dilakukan konseling
2. Menandatangani informed concent
3. Pasien sebaiknya puasa 10-12 jam

Jenis Spesimen
1. Darah utuh/lengkap (whole Blood)
2. Serum
3. Plasma (dengan antikogulan)
4. Darah kapiler

Pengambilan Spesimen
1. Darah utuh diambil dengan Teknik flobotomi yang benar
dan secara aseptic (untuk sampel serum atau plasma)
2. Sampel plasma didapat dari darah utuh dimasukkan ke
dalam vacutainer yang berisi antikoagulan EDTA dan
dikocok bolak-balik kurang lebih 10 kali, kemudian tabung
dipusingkan disentrifus dengan kecepatan 3000rpm selama
5-15 menit. Plasma dipisahkan dan dimasukkan kedalam
tabung.
3. Sampel serum didapat dari darah utuh dimasukkan ke
dalam vacutainer tanpa antikoagulan dan ditunggu sampai
terjadi bekuan darah (±15-30 menti), kemudian tabung
dipusingkan disentrifus dengan kecepatan 3000rpm selama
5-15 menit. Serum dipisahkan dan dimasukkan ke dalam
tabung.

Pengiriman dan Penyimpanan


Penyimpanan
a) Serum atau plasma dapat bertahan selama 5 hari pada
suhu 2-8 °C
PEMERIKSAAN DIAGNOSIS INFEKSI HIV

No. Dokumen Revisi Halaman


/3
b) Serum atau plasma disimpan pada suhu -20°C apabila
diperiksa lebih dari 7 hari
c) Darah EDTA dapat bertahan sampai 2 hari pada suhu 2-8
°C dan tidak boleh dibekukan atau disimpan pada suhu -
20°C, sebaiknya segera diperiksa.

Pengiriman
a) Sebaiknya segera dikirim
b) Waktu pengiriman tidak boleh melampaui masa stabilistas
bahan
c) Tidak terkena sinar matahari secara langsung
d) Kemasana memenuhi syarat keamanan kerja laboratorium
termasuk pemberian label yang bertuliskan “Bahan
Pemeriksaan Infeksius”
e) Di dalam kemasan suhu harus memenuhi syarat untuk
pengiriman dengan menggunakan ice box

Metode Pemeriksaan
1. ELISA
2. Rapid test (Immunochromatography, dotblot)

Reagensia
1. Reagensia yang dipakai harus sedah terdaftar pada
Departement Kesehatan Republik Indonesia dan megacu
pada buku, hasil evalusasi reganesia HIV di Indonesia
tahun 2006
2. Regansia yang digunakan harus memiliki sensitivitas >99%
dan spesifikasi >98%
3. Reagensia menggunakan 3 macam reagen untuk diagnosis
(strategi 3) (lihat lampiran) dengan persyaratan reagensia
sebagai berikut :
a. Sensitivitas reagen pertama >99%
b. Spensivitas reagen kedua >98%
c. Spesifisitas reagen kedua >98%
d. Preparasi antigen atau prinsip tes reagen 1,2 dan 3
tidak sama
4. Prosentase hasil kombinasi 2 reagensia pertama yang tidak
sama <5%
PEMANTAPAN 1. Pemeriksaan pekerjaan sesuai prosedur yang dianjurkan
MUTU oleh tiap prosedur reagensia
2. Pada tiap pemeriksaan diceritakan kontrol positif dan
kontrol negatif
3. Hindari penggunaan bahan yang lipemtik, hemolisis, dan
ikterik
4. Reagensia disimpan pada keadaan sesuai petunjuk
produsen
5. Hindari melakukan poolingan bahan-bahan pemeriksaan
6. Viladitas pemeriksaan harus diperiksa dahulu hasil
pemeriksaan dapat dibaca
7. Peralatan yang dipadaku harus dapat berfungsi dengan
baik dan terpantau secara teratur
8. Pipet yang digunakan harus telah terkalibrasi
LAMPIRAN Strategi III menggunakan tiga macam tes ( A1, A2, A3) dan
PEMERIKSAAN DIAGNOSIS INFEKSI HIV

No. Dokumen Revisi Halaman


/3
digunakan untuk diagnosis, bila hasil tibsa tes tersebut (A1, A2,
A3) reaktif, maka hasi harus dikonfirmasi dengan sampel baru.
Bila hanya dua daru tiga hasil tes yang reaktif, maka harus
dilaporkan sebagai indeterminate (meragukan). Pemeriksaan
ulang dapat dilakukan tiga bulan kemudian. Bila hanya satu dari
tiga hasil tes yang reaktif, maka kita harus melihat faktro resiko
orang tersebut. Pada seseorang dengan resiko tinggi, hasil harus
diulang dengan sampel darah baru.
PENGELOLAAN BAYI BARU LAHIR DARI IBU DENGAN HIV

No. Dokumen Revisi Halaman


/2

Tanggal terbit: Ditetapkan oleh:


SOP Direktur
PENGOBATAN
INFEKSI
OPORTUNISTIK
drg.Yandri Saputra,M.Kes
Nip. 19740705 200903 1 005
PENGERTIAN Sebagian besar Bayi Baru Lahir yang terlahir dai ibu yang
bermasalah dalam arti menderita suatu penyakit, tidak
menunjukkan gejala samit pada saat dilahirkan atau beberapa hari
waktu setelah lahir. Bukan berarti bayi baru lahir tersebut aman
dari gangguan akibat dari penyakit diderita ibu. Hal tersebut dapat
menimbulkan akibat yang merugikan bagi Bayi Baru Lahir (BBL)
dan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas bayi. Ibu
bermasalah disini diartikan sebagai ibu yang menderita sakit,
sebelum, selama hamil, atau pada saat menghadapi proses
persalinan.
Dari staste of the world Newborn, Save the children 2001, terdapat
rumus dua pertiga yaitu lebih dari 7 juta bayi meninggal setiap
tahun antara lahir hingga 12 bulan, hampir dua pertiga bayi yang
meninggal terjadi pada bulan pertama, dari yang meninggal
tersebut dua pertiga meninggal pada umur satu minggu, dan dua
pertiga diantaranya meninggal pada dua puluh empat jam pertama
kehidupannya.
Disini sangat jelas bahwa masalah Kesehatan Neonatal tidak
dapat dilepaskan dari masalah kesehatan perinatal dimana proses
kehamilan, dan persalinan memegang faktor amat penting.
TUJUAN Dari program kerja jangka pendek GBHO yang disusun IDAI,
disebutkan bahwa perlu meningkatkan program pencegahan dan
penanggulangan penyakit, terutama penyakit yang sering
ditemukan atau yang menjadi masalah nasional, diantaranya HIV
& AIDS.
Sasaran Kesehatan anak tahun 2010 diantaranya adalah angka
kematian turun dari 45,7 per seribu kelahiran, menjadi 36 per
seribu Kesehatan (SKN), BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah atau
kurang 2500 gr) menurun setinggi-tingginya 7% (SKN). Sasaran
Kesehatan di RSUD Pasaman Barat adalah pencegahan Bayi
Baru Lahir dari Ibu yang terkena HIV. Seingga korban akibat
penularan HIV lewat proses kehamilan dapat ditekan.
KEBIJAKAN Bayi Baru Lahir yang Lahir dari Ibu HIV dan AIDS di ruang
bersalin, Ruang Rawat Perinatologi dan Ruang Intensive Care
(ICU)
PROSEDUR Bayi Baru Lahir dari Ibu yang dikeathui mengidap HIV selama
kehamilannya, ibu sudah diskrining menggunakan pemeriksaan
serologis atau sudah dikonfirmasi dengan pemeriksaan Western
Blit, maka untuk selanjutnya Bayi disebut BIHA (Bayi dari Ibu
dengan HIV&AIDS)
Tidak ada tanda-tanda spesifik HIV yang dapat ditemukan pada
saat lahir. Bila terinfeksi pada saat perpartum, tanda klinis dapat
ditemukan pada umur 2-6 minggu setelah lahir. Tetapi tes
antibody baru dapat dideteksi pada umur 18 bulan untuk
menentukan status HIV bayi.
Bayi dengan HIV mempunyai jumlah virus yang tinggi dan akan
PENGELOLAAN BAYI BARU LAHIR DARI IBU DENGAN HIV

No. Dokumen Revisi Halaman


/2
menurun seiring dengan meningkatnya imunologinya. Tetapi pada
satu tahun pertama untuk anak yang dicurigai HIV, diharapkan
tumbuh imunologi secara normal, karena bila terapi menunggu
umur lebih dari satu tahun berdasarkan jumlah CD4 dan Load
Virus maka hasil ini dikatakan kurang spesifik. Pengobatan harus
dimulai pada bayi yang menunjukkan gejala simtomatis atau yang
menunjukkan jumlah sel CD4 yang rendah, tanpa melihat umur.
Tanpa pemerian Antiretovirus 25% bayi dengan ibu IHV positif
akan tertular sebelum dilahirkan atau pada waktu lahir dan 15%
tertular melalui ASI.
 Tentukan apakah ibu sedang mendapat pengobatan
Antiretrovirus untuk HIV, atau mendapat pengobatan
antiretroviral untuk mencegah transmisi dari ibu ke bayinya.
Tujuan pemberian Antiretro Viral terapi adalah utuk
menekan HIV viral load sampai tidak terdeteksi dan
mempertahankan jumlah CD4 sel sampai mencapai lebih
dari 25% (Cloherty)
 Kelola bayi dan ibu sesuai dengan protocol dan kebijakan
yang ada tujuannya untuk profilaksis.

Diagnose berdasarkan
Terminology BIHA dipakai sebagai tanda pengenal dan kode bagi
semua petugas administrasi, medis, padamedis, pekarya, diberi
tanda stiker merah pada catatan medik, alat suntik, obat dan
sebagainya yang ada hubungannya dengan penderita. Tim BIHA
adalah tim yang ditunjuk kepala bagian Anak untuk membuat dan
merancang petunjuk pelaksanaan hal yang berhubungan dengan
BIHA.

Tes diagnostrik untuk infeksi HIV pada bayi:


 HIV Antibodi pada anak umur >18 bulan dilakukan dengan
metode ELISA IgG anti HIVah, dapat dotransfer melalui
plasenta pada trimester III. Bila hasil pos sebelum umur 18
bulan, mungkin antibody dari ibunya.
 VIRUS : HIV PCR DNA dari darah perifer pada waktu lahir,
dan umur 4 bulan. Bila umur 4 bulan hasil negative bayi
bebas HIV
 Diagnosa HIV ditegakan apabila pemeriksaan PCR
DNA/RNA HIV POSITIF dua kali berturut selang satu bulan,
bila keadaan demikian ditemukan, mulai diberikan
pengobatan Antiretro Virus (lihat table 1). Kondisi petugas
Kesehatan Rumah Sakit dengan petugas setempat, karena
bayi-bayi tersebut rawan untuk terjadinya infeksi.
 CD4 Count rendah (normal 2500-3500/ml pada anak,
dewasa 700-1000/ml) P24 Antigen tes sudah kurang
dipakai untuk diagnostic, karena dipandang kurang
sensitive terutama untuk bayi (Richard Polin dan Cloherty).

Manajemen umum
 Bayi yang dilahirkan ibu dengan HIV positif maka:
- Hormati kerahasiaan ibu dan keluarganya dan lakukan
konseling pada keluarga.
- Rawat bayi seperti bayi yang lain dan perhatian
PENGELOLAAN BAYI BARU LAHIR DARI IBU DENGAN HIV

No. Dokumen Revisi Halaman


/2
khususnya pada pencegahan infeksi
- Bayi tetap diberi imunisasi rutin
- Bila terdapat tanda klinis defisiensi imun yang berat,
jangan diberi vaksin hidup (BCG, OPV, Campak,
MMR). Pada waktu puang, periks DL, hitung Lymposit
T, serologi anti HIV, PCR DNA/RNA HIV.
 Beri dukungan mental pada orangtuanya
 Anjurkan suaminya memakai kondom untuk pencegahan
penularan infeksi

Manajemen Khusus
Profilasis:
- Bila ibu sdah mendapat ARV (Antiretrovirus) atau
Zidovudine (AZT) 4 minggu sebelum melahirkan, maka
setelah lahir bayi diberi AZT 2 mg/kg berat badan per oral
tiap 6 jam selama 6 minggu, dimulai sejak bayi umur 12
jam. Hal ini dapat mengurani resiko terjadinya HIV dari 25%
menjadi 8%.
- Bla ibu sudah mendapat Nevirapine (NVP) dosis tunggan
selama proses persalinan dan bayi masih berumur kurang
dari 3 hari, segera beri bayi Nevirapine dalam suspense 2
mg.kg BB secara oral masa usia 48-72 jam sebaiknya pada
umur 12 jam. Dosis tuggal.
- Untuk mencegah PCP, berikan TMP 2,5 mg/kg BB 2x
sehari, pemberian 3x seminggu, diberikan sejak bayi umur
6 minggu sampai diagnosis HIV dapat disangkal (Polin),
karena peak onset PCP adalah pada umur 3-9 bulan (lihat
tatalaksana setelah bayi pulang pada umur 6 bulan).
- Jadwalkan pemeriksaan tindak lanjut dalam 3 minggu untuk
menilai masalah pemberian minum dan pertumbuhan bayi
(lihat pemeriksaan tindak lanjut).

Pemberian Minum:
 Lakukan konseling pada ibu tentang pilihan pemeberian
minum kepada bayinya, hargai dan dukunglah apapun
pilihan ibu, ijinkan ibu untuk membuat pernyataan sendiri
tentang pilihan yang terbaik untuk bayinya.
 Terangkan kepada ibu bahwa menyusui data beresiko
menularkan infeksi HIV. Meskipun demikian, pemerbian
susu formula dapat meningkatkan resiko kesakitan dan
kematian, khususnya bila pemberian susu formula tidak
diberikan secara aman akrena keterbatasan fasilitas air
untuk mempersiapkan atau karena tidak terjamin
ketersediaanya oleh keluarga.
 Terangkan pada ibu tentang untung dan rugi pilihan cara
pemberian minum
 Susu formula dapat diberikan bila mudah didapat, dapat
dijaga kebersihannya dan seleu dapat tersedia
 ASI Ekslusif dapat segera dihentikan bila susu formula
sudah dapat disediakan. Hentikan ASI pada saat
memberikan susu formula
 Semua bayi yang mendapat susu formula, perlu dilakukan
tindak lanjut dan beri dukungan kepada ibu cara
menyediaan susu formula dengan benar
PENGELOLAAN BAYI BARU LAHIR DARI IBU DENGAN HIV

No. Dokumen Revisi Halaman


/2
 Jangan memberikan minuman kombinasi (missal selang-
seling antara bubur buatan, susu formula, disamping
pemberian ASI) karena resiko terjadinya infeksi lebih tinggi
dari pada bayi yang mendapatkan ASI ekslusif saja atau
susu formula saja.

Pemberian Susu Formula:


 Ajari ibu cara mempersiapkan dan memberikan susu
formula dengan menggunakan salah satu alternative cara
pemberian minum
 Anjurkan ibu untuk memberi susu formula 8 kali sehari, dan
beri lagi apabila bayi mengininkan
 Beri ibu petunjuk secara tertulis cara mempersiapkan susu
formula
 Jelaskan mengenai resiko memberi susu formula dan cara
menghindarinya.
Bayi akan diare apabila tangan ibu, air atau alat-alat yang
digunakan tidak bersih dan steril, atau bila susu yang disediakan
terlalu lama tidak diminumkan
 Bayi tidak akan tumbuh baik apabila:
- Jumlah tiap kali minum terlalu sedikit
- Frekuensi pemberiannya terlalu sedikit
- Susu formula terlalu encer
- Bayi mengalami diare
 Nasihati ibu untuk mengamati apakah terdapat tanda
bahaya pada bayinya seperti :
- Minum kurang dari 6 kali dalam sehari atau minum
hanya sedikit
- Diare
- Berat badan sulit naik
 Nasihati ibu untuk melakukan kunjungan tindak lanjut:
- Kunjungan rutin untuk memonitor pertumbuhan
- Memberi dukungan cara-cara menyimpan formula
yang aman
- Nasihati ibu untuk memawa bayinya bila sewaktu-
waktu ditemukan tanda bahaya (lihat atas).

Tindak lanjut setelah pulang:


Pemeriksaan darah PCR DNA/RNA dilakukan pada umur 1,2,4,6
dan 18 bulan. Diagnosis HIV ditegakan apabila pemeriksaan PCR
DNA/RNA HIV POSITI dua kali berturut selang satu bulan,bila
keadaan demikian ditemukan, mulai diberikan pengobatan
Antiretro Virus. Koordinasi petugas Kesehatan RS dengan
petugas setempat, karena bayi-bayi tersebut rawan untuk
terjadinya infeksi.
Tabel 1. Obat anti retrivirus untuk neonatas (bayi 30 hari) dengan
HIV
ZDV (AZT) Minggu 1-4 mg/KgBB/x
(Zidovudine, Retrovir) diberikan 1x/hari
Minggu II dan selanjutnya : 4
mg/KgBB/c diberikan 2x/hari
Sediaan : capsul 100mg dan
250 mg
PENGELOLAAN BAYI BARU LAHIR DARI IBU DENGAN HIV

No. Dokumen Revisi Halaman


/2
Tablet 300mg
3TC 2 mg/KgBB diberikan 2x/hari
(Lamivudine, Viracept) Sediaan : syrup 10 mg/ml
Tablet 150 mg
Minggu 1 : 5mg/Kg/BB/x atau
120 mg/m2 diberikan 1x/hari
NVP Minggu II dan selanjutnya : 5
(Nevirapine, Viramune) mg/KgBB/x atau 120 mg//m2
diberikan 2x/hari
Sediaan : syrup 10 mg/ml
Tablet 200mg
Obat tersebut diatas diberikan bersamaan
NB: Profilaksis: lihat halaman depan

Tatalaksana di Ruang Perawatan dan Setelah Pulang


I. Setelah lahir hari I
a. Tidak diberi ASI, berikan susu formula biasa
b. Pengobatan profilaksis
1) Bila ibu mendapat pengobatan antiretrovirus (ARV)
semasa hamil dan intrapartum, AZT diberikan untuk
bayi mulai usia 12 jam selama 6 minggu setiap 6 jam
dengan dosisi 2 mg/kg.
2) Bila ibu mendapat pengobatan ARV intrapartum
saja, atau tidak mendapat ARV, selain AZT untuk
bayi diberi juga nevirapine (NVP) dosisi tunggal
dalam masa usia 48-72 jam dengan dosis 2mg/kg
3) Lapor tim BIHA IKA
II. Sebelum bayi dipulangkan
1. Pemeriksaan laboratorium darah tepi lengkap (Hb,
Leukosit, Trombosit, hitung jenis leukosit)
2. Imunisasi rutin kecuali BCG, bila terdapat tanda klinis
defisiensi imum berat tidak diberikan vaksin hidup (BCG,
Polio, Campak, Mumps, Measles Rubella)
III. Usia ≥ 4 minggu
1. Pemeriksaan laboratorium
a. enzim fungsi hati : SGOT / SPTR
b. PCR DNA/RNA HIV pertama, bila hasil positif langsung
konfirmasi dengan PCR RNA
2. Profilaksis AZT dihentikan setelah pemberian 6 minggu bila
hasil PCR DNA/RNA HIV negative
3. Bila PCR RNA positif berarti infeksi HIV diberi terapi ZDV,
3TC dan NVP
4. Pengobatan Pneumocytis carinii dengan kontrimoksazol
diberikan setelah usia 6 minggu sampai dinyatakan infeksi
HIV (-), dosisi TMP 2,5 mg/KgBB 2x sehari diberikan 3 kali
seminggu sampai dengan HIV negative
5. Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat
tidak diberi vaksin hidup dan pasien dirujuk ke tim BIHA
IV. Usia 2-4 bulan
1. Pemeriksaan fisik 1x perbulan
a. Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ
PENGELOLAAN BAYI BARU LAHIR DARI IBU DENGAN HIV

No. Dokumen Revisi Halaman


/2
sistemik, tumbuh kembang
b. Bila ada kelainan klinis infeksi HIV seperti pada table
1 , rujuk ke tim BIHA
c. Pemeriksaan laboratorium sesuai klinis
2. Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat
tidak diberi vaksin hidup dan pasien dirujuk ke tim BIHA.
V. usia ≥ 4 bulan
1. Pemeriksaan laboratorium
2. PCR DNA kedua nila sebelumnya PCR DNA negative.
Bila negative berarti tidak terinfeksi HIV, bila positif,
langsung dikonfirmasi dengan PCR DNA, diberikan
terapi AZT, 3TC dan NVP. Pemeriksaan lain sesuai
indikasi
3. Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat
tidak diberi vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke tim
BIHA.
VI. Usia 6 bulan
1. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ
sistemik, tumbuh kembang
b. Bila ada kelainan klinis seperti pada table 1, rujuk ke
tim BIHA
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis
leukosit
b. Faal hati : SGOT / SGPT
c. PCR RNA HIV untuk konfirmasi bila pemeriksaan
PCR RNA sebelumnya negative
3. Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat
tidak diberi vaksin hidup dan pasien dirujuk ke tim BIHA.
4. Bila sebelumnya tidak dilakukan pemeriksaan PCR RNA,
periksa serologi HIV dengan 3 reagen yang berbeda
5. Bila hasil serologi HIV positif, diulang 1 bulan kemudian
untuk konfirmasi. Bila keduanya negative maka tidak
terinfeksi HIV
6. Profilaksis kontrimoksasol dihentikan bila 2 kali
pemeriksaan PCR negative, bila salah satu hasil PCR
positif, profilaksi diberikan sampai usia 12 bulan
VII. Usia 12 bulan
1. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ
sistemik, tumbuh kembang
b. Bila ada kelainan klinis, rujuk ke tim BIHA/PMTCT
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah tepi : Hb, Leukosit,Hitungan jenis leukosit
b. Serologi antiHIV
3. Bila serologi HIV (-) dan klinis baik : dapat dianggap bukan
infeksi HIV. Rencana pemeriksaan serologi anti HIV umur
18 bulan untuk konfirmasi
4. Bila serologi HIV (+) dan klinis baik, ulangi serologi pada
usia 18 bulan
5. Bila serologi HIV (+) dan terdapat kelainan klinis, lihat pada
table 1 rujuk ke Tim BIHA untuk evaluasi
6. Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat
tidak diberi vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim
PENGELOLAAN BAYI BARU LAHIR DARI IBU DENGAN HIV

No. Dokumen Revisi Halaman


/2
BIHA
VIII. Usia 18 bulan
1. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum, tanda ital, pemeriksaan organ
sistematik, tumbuh kembang
b. Bila ada kelainan klinis lihat pada table 1, rujuk ke
tim BIHA
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis
leukosit
b. Serologi ant HIV
3. Serologi antiHIV (-) : konfirmasi bukan infeksi HIV
4. Serologi antiHIV (+) : dianggap infeksi HIV, rujuk ke tim
BIHA untuk pengobatan ARV
5. Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat
tidak diberi vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke tim
BIHA.
UNIT TERKAIT

Anda mungkin juga menyukai