Draft Jurnal - Value Added - 270821 - Gabung 201221
Draft Jurnal - Value Added - 270821 - Gabung 201221
Paket Pekerjaan
Work Package
SATUAN KERJA
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
WORK UNIT
Industri kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furnitur) dan barang anyaman
dari bambu, rotan dan sejenisnya 1.22 1.42 1.34 1.37
Industri kertas dan barang dari kertas 0.21 0.20 0.21 0.23
Industri pencetakan dan reproduksi media rekaman 0.29 0.24 0.29 0.29
Industri produk dari batu bara dan pengilangan minyak bumi 0.04 0.01 0.05 0.05
Industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia 0.28 0.26 0.35 0.34
Industri farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional 0.12 0.08 0.11 0.11
Industri karet, barang dari karet dan plastik 0.49 0.39 0.44 0.45
Industri barang galian bukan logam 1.02 1.04 0.99 0.99
Industri logam dasar 0.20 0.16 0.20 0.18
Industri barang logam, bukan mesin dan peralatannya 0.42 0.43 0.44 0.51
Industri komputer, barang elektronik dan optik 0.17 0.10 0.14 0.14
Industri peralatan listrik 0.15 0.12 0.14 0.14
Tabel 1.2. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri di Indonesia pada periode 2015 – 2018
sumber : bps.go.id, 2019
[Metode Baru]
Indeks
Provinsi / Kabupaten / Kota Pembangunan
Manusia
2018
ACEH 71.19
SUMATERA UTARA 71.18
SUMATERA BARAT 71.73
RIAU 72.44
JAMBI 70.65
SUMATERA SELATAN 69.39
BENGKULU 70.64
LAMPUNG 69.02
KEP. BANGKA BELITUNG 70.67
KEP. RIAU 74.84
DKI JAKARTA 80.47
JAWA BARAT 71.30
JAWA TENGAH 71.12
DI YOGYAKARTA 79.53
JAWA TIMUR 70.77
BANTEN 71.95
BALI 74.77
NUSA TENGGARA BARAT 67.30
NUSA TENGGARA TIMUR 64.39
KALIMANTAN BARAT 66.98
KALIMANTAN TENGAH 70.42
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
7
Lebih lanjut lagi, terkait modal manusia, persebarannya di masing – masing provinsi cukup merata dengan nilai dengan kisaran 60 –
85 %. 12 provinsi IPM nya masih berada di kisaran 61 % - 70 %, yaitu provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.
Sehingga walaupun Pulau Jawa IPMnya di atas 71 %, namun masih ada beberapa provinsi di pulau / kepulauan lainnya yang masih layak
untuk pengembangan nilai tambah.
Persentase
dan Andil
Persentase dan Andil Persentase dan Andil
Perubahan
Perubahan Indeks Harga Perubahan Indeks Harga
Indeks Harga
Perdagangan Besar (IHPB) Perdagangan Besar (IHPB)
Perdagangan
Besar (IHPB)
I. Bahan Baku 138.82 0.50 0.50 143.58 0.15 0.15 144.78 0.09 0.09
1.1 Pertanian 284.01 1.28 0.23 285.14 0.48 0.09 288.34 -0.34 -0.06
1.2 Pertambangan dan Penggalian 122.54 -0.01 0.00 129.36 -0.35 -0.02 132.21 0.06 0.00
1.3 Industri 136.57 0.41 0.22 141.66 0.16 0.08 142.74 0.21 0.11
Impor 104.58 0.25 0.05 109.30 0.02 0.00 109.79 0.16 0.04
II. Barang Konsumsi 195.00 0.75 0.75 199.22 0.37 0.37 201.29 0.02 0.02
1.1 Pertanian 523.47 1.28 0.42 524.13 0.56 0.18 526.19 -0.71 -0.23
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
10
1.2 Pertambangan dan Penggalian 170.78 0.20 0.00 170.25 0.32 0.00 173.91 0.12 0.00
1.3 Industri 148.36 0.51 0.32 152.81 0.29 0.19 154.91 0.38 0.25
Impor 155.96 0.11 0.01 166.52 0.00 0.00 168.04 0.10 0.00
III. Barang Modal 122.75 0.10 0.10 126.98 0.40 0.40 128.24 0.29 0.29
1.1 Pertanian 205.91 1.08 0.02 179.33 -2.05 -0.03 194.57 0.18 0.01
1.2 Pertambangan dan Penggalian 93.07 -0.24 0.00 104.36 -1.02 -0.01 106.73 0.00 0.00
1.3 Industri 118.93 0.06 0.05 123.76 0.61 0.48 125.14 0.33 0.26
Impor 135.93 0.18 0.03 139.11 -0.22 -0.04 138.92 0.12 0.02
Tabel 1.3. Indeks Harga Perdagangan Besar di Indonesia pada periode 2016 – 2019
sumber : bps.go.id, 2019
Migas 36737.4 33348.9 34739.3 35476.5 36006.5 40499.s5 43727.8 44255.0 49053.7 48869.4 48309.1 48325.6 50370.1 49216.1
Non Migas 46927.2 50460.0 55196.3 63187.9 55348.0 70201.5 84493.8 92028.7 92055.9 98865.0 98784.2 103699.7 110379.2 122503.3
Jumlah 83664.5 83808.9 89935.6 98664.3 91354.4 110701.0 128221.6 136283.6 141109.6 147734.4 147093.3 152025.4 160749.3 171719.4
Ekspor
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Migas 51927.4 48291.5 45710.9 44800.9 46072.8 55925.1 59053.9 48446.0 44041.9 41743.1 44964.7 43328.8 42505.0 37055.5
Non Migas 206804.1 278880.8 297062.6 310253.1 332926.3 422921.7 523165.9 551690.6 655963.2 507722.4 463862.5 468399.3 503341.6 571852.0
Jumlah 258731.5 327172.3 342773.5 355054.0 378999.1 478846.8 582219.8 600136.6 700005.0 549465.5 508827.2 511728.1 545846.6 608907.5
Masih dari sumber yang sama, bahwa output juga merupakan faktor penentu besaran nilai tambah, dari data volume ekspor dan
impor non migas pada periode tahun 2005 – 2018, menunjukkan bahwa nilai ekpor selalu lebih besar daripada nilai impor . walaupun
besarannya masih berfkultuasi.
Tabel 1.7. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment di Indonesia pada tahun 2017 dan 2018
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019
Tabel 1.8. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment berdasarkan sektor di Indonesia pada tahun
2017
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019
s
Tabel 1.9. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment berdasarkan wilayah di Indonesia pada tahun
2017
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019
Tabel 1.10. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment berdasarkan klasifikasi sektor di Indonesia
pada periode 2012 - 2017
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019
Tabel 1.11. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment berdasarkan sektor penerimadi Indonesia
pada periode 2012 - 2017
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019
30. Maluku Utara • Kawasan Ternate, Tidore, Sidangoli, Sofifi, Weda dsk
• Kawasan Kepulauan Sula
31. Papua Barat • Kawasan Fak – Fak dsk
• Kawasan Sorong dsk
32. Papua • Kawasan Timika dsk
• Kawasan Biak
• Kawasan Merauke dsk
Tabel 1.12. Indikasi Lokasi Kawasan Andalan Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
sumber : Direktorat Penataan Ruang Wilayah Nasional, 2008
2. Sumatera Utara
3. Sumatera Barat
4. Riau
5. Kepulauan Riau
7. Sumatera Selatan
8. Bengkulu
9. Bangka Belitung
10. Lampung
12. Banten
17. Bali
29. Maluku
32. Papua
33. Gorontalo
Tabel 1.12. Realisasi Nilai Tambah Sektor Industri Tekstil dan Pakaian Jadi per Provinsi pada periode 2010 - 2014
sumber : Kementerian Perindustrian, 2016
Lebih lanjut, terkait hilirisasi industri antara industri tekstil dan pakaian jadi,
masih belum terealisasi di semua provinsi yang sesuai peruntukan lokasi kawasan
andalannya. Sebanyak provinsi memiliki keduanya dan sebagian provinsi masih bersifat
linear ( hanya memiliki industri tekstil / pakaian jadi saja. Sebanyak 20 provinsi (Aceh,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Khusus Istimewa
Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan
Gorontalo) menunjukkan hilirasi industri tekstil dan pakaian jadi dan 7 provinsi lainnya
(Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barart, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat) menunjukkan lineraritas kedua industri
tersebut.
• hilirisasi industri antara industri tekstil dan pakaian jadi, masih belum
terealisasi di semua provinsi yang sesuai peruntukan lokasi kawasan
andalannya.
1.4 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menguji dampak biaya investasi, modal, dan keterbukaan pasar dari
fluktuasi nilai tambah (industri tekstil dan pakaian jadi) di Indonesia,
kecuali Kepulauan Maluku dan Pulau Papua.
2. Untuk menemukan faktor-faktor lain (infrastruktur dan kebijakan lokasi
kegiatan industri yang mempunyai dampak terhadap fluktuasi nilai tambah
(industri tekstil dan pakaian jadi) di Indonesia, kecuali Kepulauan Maluku
dan Pulau Papua.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Bagan 2.1 Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Sichei (2012)
Sumber: Global Journal of Management and Business Research, 2012
Tingkat tenaga kerja yang rendah diyakini sebagai salah satu faktor pendorong
investasi asing langsung. Hal ini dapat terjadi karena biaya tenaga kerja yang rendah
dapat mengurangi biaya produksi. Konsekuensi dari biaya produksi yang rendah dapat
meningkatkan laba perusahaan. Dengan demikian, harga produk akan relatif rendah
sehingga permintaanpun akan meningkat (Yogatama, 2011).
permintaan meningkat
Bagan 2.2. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Yogatama
(2011)
Sumber: Asian Economic and Financial Review,2011
Peningkatan UMR
Output
produksi Investasi berkurang
berkurang
Peningkatan
produktivitas pekerja
Bagan 2.3. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Frederica dan
Juwita (2013)
Sumber: J u r n a l M a n a j e m e n T e k n o l o g i, 2013
Biaya tenaga kerja memiliki hubungan dengan biaya produksi suatu perusahaan.
Ketika ada peningkatan biaya tenaga kerja, biaya produksi akan meningkat. Tingkat
biaya tenaga kerja rendah adalah salah satu faktor pendorong foreign direct investment
(FDI) karena jika biaya tenaga kerja lebih rendah, maka akan menjaga biaya produksi
juga lebih rendah. Biaya produksi yang rendah akan diikuti oleh meningkatnya laba
perusahaan. Biaya tenaga kerja yang tinggi menyebabkan harga output yang tinggi dan
persaingan yang buruk. Dalam kondisi lain, biaya tenaga kerja yang rendah
menyebabkan rendahnya harga output dan daya saing tinggi sehingga permintaan akan
meningkat. Oleh karena itu, investor didorong untuk berinvestasi di negara-negara yang
memiliki biaya tenaga kerja rendah (Marcelia, et al.).
Bagan 2.4. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Marcelia
Sumber : analisis penulis
Rekomendasi
investasi
2.2.4 Hasil
Nilai tambah merespon secara negatif dan signifikan terhadap Faktor Produksi
Total (Ilyas,et.al, 2010) dengan nilai signifikansi 5 %.
Tingkat harga Investasi dan Keterbukaan Pasar berpengaruh positif terhadap
nilai tambah (Ilyas, et.al 2010) dengan nilai signifikansi 1 %.
BAB 3
METODOLOGI
Listrik untuk Industri, Jumlah Kawasan Industri, Jumlah Sentra Industri, Jumlah
Lingkungan Industri Kecil, Jumlah perkampunganindustrikecil, Indeks Harga
Konsumen, Produk Domestik Regional Bruto, Keterbukaan Pasar, Ekspor Barang,
Impor Barang, Impor Bahan Bakar, Impor Makanan Minuman Industri, Impor Bahan
Baku Industri, Impor Bahan Bakar dan Pelumas, Impor Suku Cadang dan Peralatan,
Penyerapan Tenaga Kerja, RTR Pulau / Kepulauan. Ada kerangka empiris dan teoretis
yang mendukung menjembatani variabel dependen dan independen. Beberapa orang
mengklaim koneksi antara variabel independen dan dependen.
16) β 2 <0; Impor Barang. Peningkatan impor barang akan mengurangi nilai
tambah, karena jika terjadi peningkatan impor barang akan menambah biaya
variabel yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi
ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus.
17) β 2 <0; Impor Bahan Bakar. Peningkatan impor bahan bakar akan mengurangi
nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan impor bahan bakar akan menambah
biaya variabel yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi
ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus
18) β 2 <0; Impor Makanan Minuman Industri. Peningkatan impor makanan dan
minuman industri akan mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan
impor makanan dan minuman industri akan menambah biaya variabel yang harus
dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana
anggaran di masa depan, ceteris paribus
19) β 2 <0; Impor Bahan Baku Industri. Peningkatan impor bahan baku industri
akan mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan impor bahan baku
industri akan menambah biaya variabel yang harus dikeluarkan oleh perusahaan
sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris
paribus
20) β 2 <0; Impor Bahan Bakar dan Pelumas. Peningkatan impor bahan bakar dan
pelumas akan mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan impor
bahan bakar dan pelumas akan menambah biaya variabel yang harus dikeluarkan
oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa
depan, ceteris paribus
21) β 2 <0; Impor Suku Cadang dan Peralatan. Peningkatan impor suku cadang
dan peralatan akan mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan impor
suku cadang dan peralatan akan menambah biaya variabel yang harus dikeluarkan
oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa
depan, ceteris paribus
22) β 8> 0; Penyerapan Tenaga Kerja. Jumlah tenaga-tenaga kerja yang besar dan
berkualitas akan meningkatkan minat investor karena tidak ada kesulitan mencari
tenaga kerja, dan sebaliknya sejumlah kecil akan mengurangi investasi, ceteris
paribus.
23) β 8> 0; RTR Pulau / Kepulauan. Kebijakan dummy. Jika industri bilangan dan
lokasi telah ditata dalam national spatial planning maka nilai tambah akan
meningkat melalui peningkatan laba pserusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.
BAB 4
ANALISIS DAN HASIL
1. Chow test:
> ---------
sigma_u | 8.661e+09
sigma_e | 2.459e+09
rho | .92540492 (fraction of variance due to u_i)
---------------------------------------------------------------------
> ---------
F test that all u_i=0: F(23, 80) = 18.63 Prob > F
> = 0.0000
Karena P Value < α maka pilihan terbaik adalah menggunakan fixed effect
3. Hausman test:
Dilihat nilai P Value dari hauman test adalah 0.0042 artinya < α, maka H1
diterima dan pilihan terbaik berarti fixed effect.
Pemeriksaan awal terhadap pemilihan model terbaik dilakukan dengan
membandingkan antara model pooled least square (PLS) dengan fixed effect model
(FEM) dengan uji Chow. Jika hasil pengujian diperoleh nilai p-value uji Chow kurang
dari alpha 5% maka FEM adalah model terbaik. Selanjutnya dilakukan pengujian antara
model pooled least square (PLS) dengan random effect model (REM) dengan uji
Breusch Pagan Lagrange multiplier (LM). Bila hasil pengujian diperoleh p-value uji
Breusch Pagan Lagrange multiplier kurang dari alpha 5% maka REM adalah model
yang terbaik. Selanjutnya dilakukan pengujian fixed effect model (FEM) dengan random
effect model (REM) dengan uji Hausman. Namun, bila hasil pengujian diperoleh p-
value uji Hausman kurang dari alpha 5% maka REM adalah model yang terbaik. Dari
hasil pengolahan data menunjukkan bahwa regresi pada model hanya bisa dilakukan
dengan fixed effect model (FEM), sedangkan regresi dengan ke-2 model lainnya tidak
bisa dilakukan.
Antar variabel pajak dengan impor industri, impor bahan baku, impor bahan
bakar, dan impor suku cadang peralatan; biaya bangunan dengan impor bahan bakar;
biaya mesin dengan impor barang; biaya; biaya angkutan dengan impor angkutan,
impor bahan baku, dan impor bahan bakar; dan ihk dengan impor bahan bakar memiliki
nilai multikolinearitas > 0.75 yang artinya menerima H1 atau dengan kata lain
hubungan antar variabel-variabel tersebut memiliki nilai multikolinearitas yang tinggi.
Saat diuji nilai variance inflating factor setelah fe juga menghasilkan nilai mean
VIFnya 182.25 atau > 10, hal ini berarti ada indikasi multikolinearitas yang tinggi,
sesuai dengan tes yang sebelumnya dilakukan.
Note:
Dari hasil diatas beberapa variabel dihapus oleh stata karena masalah kolinearitas pada
pengujian fixed effect, PLS dan random effect. Setelah terpilih yang terbaik yaitu fixed
effect ternyata masih bermasalah pada uji asumsi klasik terindikasi terdapat
multikolinearitas yang tinggi antar variabel dengan alasan tersebut maka disarankan
untuk mencari model yang lebih stabil.
Dalam model dummy upah minimum, penyerapan tenaga kerja, kawasan industri, pajak
tidak langsung, pendapatan regional bruto, RTR Pulau / Kepulauan, sentra indutsri,
perkampungan industri, listrik, lingkungan industri, dan keterbukaan pasar memiliki
nilai VIF kurang dari 10, sehingga tidak ditemukan multikol di variabel - variabel
tersebut. Sementara itu, untuk variabel-variabel lainnya memiliki nilai VIF lebih dari
10, sehingga ditemukan multikol di variabel-variabel tersebut.
variabel-variabel lainnya tidak mempengaruhi nilai tambah industri tekstil dan pakaian
jadi.
Sebagaimana dirinci di lampiran Tabel 4.3 terkait dengan Analisis 2 : teori Yogatama Commented [UP4]: Ini apa kok masih kayak gini? Tolong
dikerjain yang bener, yang rapi please. Jangan ada kayak
(2012), bahwa mengacu pada teori bahwa apabila biaya tenaga kerja tinggi, seharusnya gini2 lagi
nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi di provinsi tersebut juga rendah.
Bagan 4.2. Analisis Teori 2 (Yogatama, 2012)
permintaan meningkat
Peningkatan UMR
Output
produksi Investasi berkurang
berkurang
Peningkatan
produktivitas pekerja
975.000
2012 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI
832.271.020
1.015.000
2013 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
1.284.176.397 SESUAI
1.365.087
2014 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
1.464.616.430 SESUAI
1.665.000
4.859.789.937
2013 2.200.000 MENINGKAT 1.159.975.582 BERKURANG, SESUAI
2014 MENINGKAT 7.942.606.038 BERTAMBAH, TIDAK
2.441.000 SESUAI
745.000
2013 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
SESUAI
866.250 9.817.319.142
2014 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI
6.434.342.522
1.000.000
955.300
8.782.646.866
950.000 3.292.034
2012 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI
1.000.000
3.148.543
Bila disetarakan dengan data yang tersedia, teori 3 ini bisa diartikan apabila biaya
tenaga kerja meningkat, seharusnya nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi di
provinsi tersebut juga berkurang. Dari hasil pengolahan data dan analisis dari teori ke-3
itu dapat dirinci sebagai berikut: 1 provinsi menunjukkan tingkat kesesuaian mencapai
100 %, yaitu Jambi. Provinsi Aceh dan Nusa Tenggara Barat menunjukkan tingkat
kesesuaian 75 %, 11 provinsi menunjukkan tingkat kesesuaian 50 % ( Sumatera Selatan,
Lampung, Kepulauan Riau, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Bali, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Sulawesi Barat.
Sumatera Utara, Bangka Belitung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Nusa
Tenggara Timur, dan Kalimantan Timur, 8 provinsi dengan nilai kesesuaian 25 %,
Sedangkan ke-2 provinsi lainnya menunjukkan tingkat kesesuaian 0 % yaitu Sumatera
Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Bila disetarakan dengan data yang tersedia, teori 3 ini bisa diartikan apabila biaya
tenaga kerja meningkat, seharusnya nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi di
provinsi tersebut juga berkurang. Dari hasil pengolahan data dan analisis dari teori ke-3
itu dapat dirinci sebagai berikut: 1 provinsi menunjukkan tingkat kesesuaian mencapai 0
%, yaitu Jambi. Provinsi Aceh dan Nusa Tenggara Barat menunjukkan tingkat
kesesuaian 25 %, 11 provinsi menunjukkan tingkat kesesuaian 50 % ( Sumatera Selatan,
Lampung, Kepulauan Riau, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Bali, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Sulawesi Barat.
Sumatera Utara, Bangka Belitung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Nusa
Tenggara Timur, dan Kalimantan Timur, 8 provinsi dengan nilai kesesuaian 75 %,
Sedangkan ke-2 provinsi lainnya menunjukkan tingkat kesesuaian 100 % yaitu
Sumatera Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
5.1 Kesimpulan
Keterkaitan Hasil Statistik Deskriptif dengan Kerangka Teori
Sebagaimana hasil analisis teori di Bab 4 menunjukkan bahwa perubahan nilai tambah
dipengaruhi oleh Penetapan Upah Minimum Regional, Pendapatan Domestik Regional
Bruto dan Pembangunan Infrastruktur. Penetapan Upah Minimum Regional di atas atau
di bawah rata – rata Upah Minimum Regional di masing – masing Provinsi
mempengaruhi rendah atau tingginya nilai tambah sektor industri tekstil dan pakaian
jadi di 24 provinsi (sesuai dengan teori Sichei (2012) dan Marcelia . Sedangkan
kenaikan Upah Minimum Regional di masing – masing Provinsi tersebut
mempengaruhi berkurangnya penyerapan tenaga kerja di sektor industri tekstil dan
pakaian jadi dan menyebabkan berkurangnya nilai tambah industri tekstil dan pakaian
jadi. Kenaikan / Penurunan Pendapatan Domestik Regional Bruto juga dipengaruhi
oleh rendah atau tingginya Upah Minimum Regional. Hal yang serupa ditunjukkan juga
dari pembangunan infrastruktur, dimana dengan adanya pembangunan infrastruktur
memberikan pengaruh positif terhadap kenaikan nilai tambah sektor industri tekstil dan
pakaian jadi di 24 provinsi.
Untuk provinsi-provinsi, dengan keterkaitan UMR rendah dan nilai tambah tinggi dan
UMR tinggi dengan nilai tambah rendah sudah sesuai 100 %, diperbolehkan adanya
kenaikan UMR, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan,
Lampung, Bangka Belitung, Riau, DKI Jakarta, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Sedangkan Provinsi – provinsi lainnya, yaitu
Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur
disarankan mengurangi UMR sampai berada di bawah UMR rata-rata per provinsi.
DAFTAR PUSTAKA
Amaro, et.al (2006). Racing to the Bottom for FDI? The Changing Role of Labor Costs
and Infrastructure. The Journal of Developing Areas. 1-13.
Calhoun, Koben, et.al (2008). The Effect of Wage Rate on Foreign Direct Investment
Flows to Individual Developing Countries. Puget Sound eJournal of
Economics.
Cushman, David (1987). The Effects of Real Wages and Labor Productivity on Foreign
Direct Investment. Southern Economic Journal, Vol. 54 (1). 174 – 185.
Danciu, Aniela Raluca (2015). Labor Force-Main Determinant of The Foreign Direct
Investments Located in Romania. Romanian Statistical Review.
Feestra, Robert, et.al (1995). Foreign Investment, Outsourcing, and Relative Wages.
NBER Working Papers Series. 5121.
Garretsen, Harry, et.al (2007). FDI and the Relevance of Spatial Linkages: do Third
Country Effects Matter for Dutch FDI? Rev World Econ.Vol. 145.
Iskandar, Yudi, et.al (2016). Determinan FDI Industri Hulu Migas di Indonesia serta
Dampaknya periode Tahun 2003 – 2013. Jurnal Aplikasi Bisnis dan
Manajemen. Vol.2.
Kahouli, Bassem,et.al (2015). The Determinants of FDI and the Impact Of the
Economic Crisis On the Implementation of RTAs: A Static and Dynamic
Gravity Model. International Business. Vol.24 (3). 518 – 529.
Mutascu, Mihai Loan, et.al (2010) A VAR Analysis of FDI and Wages: The Romania’s
Case. International Journal of Economic Sciences and Applied Research.
Vol.3(2). 41-56.
Mughal, Muhammad Muazzam,et.al (2011). Does market size affect FDI? The Case of
Pakistan. Interdisciplilnary Journal of Contemporary Research in Business.
Vol. 2 (9).
Onwuka, Kevin Odulukwe(2011). Wage Rate, Regional Trade Bloc, and Location of
Foreign Direct Investment Decision. Asian Economic and Financial Review.
134 – 146.
Raharjo, et.al. (2005). The effect of Manufacture Industry Export and FDI to the GDP
(study chase Vietnam, Thailand, Malaysia, and Indonesia).
Ruth, Astrid Mutiara,et. al (2014). Faktor Penentu Foreign Direct Investment di Asean –
7; Analisis Data Panel, 2000 – 2012. Media Ekonomi. Vol. 22 (1).
Saidi, Samir (2016). Impact of Road Transport on Foreign Direct Investment and
Economic Growth : Empirical Evidence from Simultaneous Equation Model.
Journal of Bussiness Management and Economics.Vol. 7 (2). 64-71.
Williams, Kevin (2015). Foreign Direct Investment in Latin America and The
Caribbean: an Empirical Analysis. Latin American Journal of Economics. Vol.
52 (1). 57 – 77.