Anda di halaman 1dari 67

1

KAJIAN PENINJAUAN KEMBALI INDIKASI LOKASI KAWASAN ANDALAN DI


INDONESIA

A REVIEW STUDY ON SPATIAL PLANNING OF PRIORITY ZONES IN INDONESIA

Paket Pekerjaan

Work Package

DETERMINAN FLUKTUASI NILAI TAMBAH SEKTOR INDUSTRI

(INDUSTRI TEKSTIL DAN PAKAIAN JADI)

DETERMINANTS OF VALUE ADDED FLUCTUATION IN INDUSTRIES (TEXTILE AND CLOTHES


INDUSTRIES)

TAHUN ANGGARAN 2020

BUDGET YEAR 2021

SATUAN KERJA
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
WORK UNIT

DIREKTORAT JENDERAL TATA RUANG


2

Laju Pertumbuhan PDB Industri


Wilayah Manufaktur
2015 2016 2017 2018
Indonesia 4.33 4.26 4.29 4.27

Laju Pertumbuhan PDB Industri


Wilayah Manufaktur
2015 2016 2017 2018
Indonesia 4.33 4.26 4.29 4.27

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


3

Tabel 1.1. Fluktuasi Pendapatan Domestik Bruto Indonesia pada periode


2015 – 2018
sumber : bps.go.id, 2019

Terjadi fluktuasi Pendapatan Domestik Bruto di Indonesia pada kurun waktu


2015 sampai dengan 2018. Titik tertinggi pada 2015 adalah sebesar 4,33 % dan titik
terendah pada 2016 yaitu 4,26 %. Sedangkan pada 2016 – 2017 meningkat 3 % dan
pada 2017 – 2018 mengalami penurunan 0,02 %.
Sebagaimana dikemukakan oleh …. pada…. ( ), menunjukkan bahwa modal
tenaga kerja sebagai salah satu faktor penting dalam pembentukan PDB. Yang
dimaksud sini PDB yang diukur berdasarkan nilai tambah.
Pada tabel di bawah kita dapat mengetahui bahwa penyerapan tenaga kerja di
sektor industri pada tahun 2015 – 2018 terbanyak pada Industri Makanan, Kayu,
diikuti oleh Industri Pakaian Jadi dan Tekstil sebesar masing – masing : 2,89 % – 3,68
% ; 1,22 % – 1,37 % ; 1,89 % - 2,04 % ; dan 1,09 % - 1,11 %.
Dilain pihak, dari sisi nilai jual , keluaran dari industri sebagaimana dilihat
dari tabel 1.3 terkait dengan Indeks Harga Perdagangan Besar pada tahun 2016 - 2018,
terlihat bahwa harga bahan baku, barang konsumsi dan barang modal untuk sektor
industri selalu berada di peringkat ke-2 setelah pertanian dan lebih tinggi dari
pertambangan.
Dengan rincian sebagai berikut : 122,54; 129,36;132,21 untuk bahan baku
pertambangan. Lebih tinggi adalah bahan baku industri sebesar 136,57; 141,66; dan
142,74. Teringgi 138,82; 143,58; 144,78 tercatat dari bahan baku sektor pertanian.
170,78; 170,25;173,91 untuk barang konsumsi pertambangan. Lebih tinggi adalah
barang konsumsi industri sebesar 148,36; 152,81; dan 154,91. Teringgi 523,47; 524,13;
526,19 tercatat dari barang konsumsi sektor pertanian. 93,07; 104,36;106,73 untuk
barang modal pertambangan. Lebih tinggi adalah barang modal industri sebesar 118,93;
123766; dan 1125174. Teringgi 205,91; 179,33; 154,57 tercatat dari barang modal
sektor pertanian.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


4

Proporsi Tenaga Kerja pada Sektor Industri


Jenis Industri Manufaktur (Persen)
2015 2016 2017 2018
Industri Makanan 2.89 3.23 3.63 3.68
Industri Minuman 0.19 0.22 0.28 0.27
Industri Pengolahan Tembakau 0.41 0.29 0.36 0.36
Industri Tekstil 1.09 1.01 1.13 1.11
Industri Pakaian Jadi 1.89 1.89 1.98 2.04
Industri Kulit, barang dari kulit dan alas kaki 0.58 0.66 0.64 0.61

Industri kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furnitur) dan barang anyaman
dari bambu, rotan dan sejenisnya 1.22 1.42 1.34 1.37
Industri kertas dan barang dari kertas 0.21 0.20 0.21 0.23
Industri pencetakan dan reproduksi media rekaman 0.29 0.24 0.29 0.29
Industri produk dari batu bara dan pengilangan minyak bumi 0.04 0.01 0.05 0.05
Industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia 0.28 0.26 0.35 0.34
Industri farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional 0.12 0.08 0.11 0.11
Industri karet, barang dari karet dan plastik 0.49 0.39 0.44 0.45
Industri barang galian bukan logam 1.02 1.04 0.99 0.99
Industri logam dasar 0.20 0.16 0.20 0.18
Industri barang logam, bukan mesin dan peralatannya 0.42 0.43 0.44 0.51
Industri komputer, barang elektronik dan optik 0.17 0.10 0.14 0.14
Industri peralatan listrik 0.15 0.12 0.14 0.14

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


5

Industri mesin dan perlengkapan YTDL 0.10 0.09 0.13 0.14


Industri kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer 0.18 0.17 0.15 0.17
Industri alat angkutan lainnya 0.27 0.16 0.23 0.22
Industri furnitur 0.73 0.62 0.57 0.60
Industri pengolahan lainnya 0.47 0.49 0.54 0.55
Jasa reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan 0.16 0.11 0.17 0.17
INDONESIA 13.53 13.41 14.51 14.72

Tabel 1.2. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri di Indonesia pada periode 2015 – 2018
sumber : bps.go.id, 2019

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


6

[Metode Baru]
Indeks
Provinsi / Kabupaten / Kota Pembangunan
Manusia

2018
ACEH 71.19
SUMATERA UTARA 71.18
SUMATERA BARAT 71.73
RIAU 72.44
JAMBI 70.65
SUMATERA SELATAN 69.39
BENGKULU 70.64
LAMPUNG 69.02
KEP. BANGKA BELITUNG 70.67
KEP. RIAU 74.84
DKI JAKARTA 80.47
JAWA BARAT 71.30
JAWA TENGAH 71.12
DI YOGYAKARTA 79.53
JAWA TIMUR 70.77
BANTEN 71.95
BALI 74.77
NUSA TENGGARA BARAT 67.30
NUSA TENGGARA TIMUR 64.39
KALIMANTAN BARAT 66.98
KALIMANTAN TENGAH 70.42
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
7

KALIMANTAN SELATAN 70.17


KALIMANTAN TIMUR 75.83
KALIMANTAN UTARA 70.56
SULAWESI UTARA 72.20
SULAWESI TENGAH 68.88
SULAWESI SELATAN 70.90
SULAWESI TENGGARA 70.61
GORONTALO 67.71
SULAWESI BARAT 65.10
MALUKU 68.87
MALUKU UTARA 67.76
PAPUA BARAT 63.74
PAPUA 60.06
INDONESIA 71.39

Tabel 1.6. Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia pada tahun 2018


sumber : bps.go.id, 2019

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


8

Lebih lanjut lagi, terkait modal manusia, persebarannya di masing – masing provinsi cukup merata dengan nilai dengan kisaran 60 –
85 %. 12 provinsi IPM nya masih berada di kisaran 61 % - 70 %, yaitu provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.
Sehingga walaupun Pulau Jawa IPMnya di atas 71 %, namun masih ada beberapa provinsi di pulau / kepulauan lainnya yang masih layak
untuk pengembangan nilai tambah.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


9

Sektor/Kelompok Barang IHPB 2017 2018 2019

Desember Desember Oktober

Persentase
dan Andil
Persentase dan Andil Persentase dan Andil
Perubahan
Perubahan Indeks Harga Perubahan Indeks Harga
Indeks Harga
Perdagangan Besar (IHPB) Perdagangan Besar (IHPB)
Perdagangan
Besar (IHPB)

Perubahan Perubahan Perubahan


IHPB IHPB IHPB
Andil Andil Andil
terhadap terhadap terhadap
IHPB IHPB IHPB IHPB IHPB IHPB
IHPB bulan IHPB bulan IHPB bulan
(%) (%) (%)
sebelumnya sebelumnya sebelumnya
(%) (%) (%)

I. Bahan Baku 138.82 0.50 0.50 143.58 0.15 0.15 144.78 0.09 0.09
1.1 Pertanian 284.01 1.28 0.23 285.14 0.48 0.09 288.34 -0.34 -0.06
1.2 Pertambangan dan Penggalian 122.54 -0.01 0.00 129.36 -0.35 -0.02 132.21 0.06 0.00
1.3 Industri 136.57 0.41 0.22 141.66 0.16 0.08 142.74 0.21 0.11
Impor 104.58 0.25 0.05 109.30 0.02 0.00 109.79 0.16 0.04
II. Barang Konsumsi 195.00 0.75 0.75 199.22 0.37 0.37 201.29 0.02 0.02
1.1 Pertanian 523.47 1.28 0.42 524.13 0.56 0.18 526.19 -0.71 -0.23
Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019
10

1.2 Pertambangan dan Penggalian 170.78 0.20 0.00 170.25 0.32 0.00 173.91 0.12 0.00
1.3 Industri 148.36 0.51 0.32 152.81 0.29 0.19 154.91 0.38 0.25
Impor 155.96 0.11 0.01 166.52 0.00 0.00 168.04 0.10 0.00
III. Barang Modal 122.75 0.10 0.10 126.98 0.40 0.40 128.24 0.29 0.29
1.1 Pertanian 205.91 1.08 0.02 179.33 -2.05 -0.03 194.57 0.18 0.01
1.2 Pertambangan dan Penggalian 93.07 -0.24 0.00 104.36 -1.02 -0.01 106.73 0.00 0.00
1.3 Industri 118.93 0.06 0.05 123.76 0.61 0.48 125.14 0.33 0.26
Impor 135.93 0.18 0.03 139.11 -0.22 -0.04 138.92 0.12 0.02
Tabel 1.3. Indeks Harga Perdagangan Besar di Indonesia pada periode 2016 – 2019
sumber : bps.go.id, 2019

Volume (Migas-NonMigas) (Ribu Ton)


Komponen Ekspor
Impor
Impor
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

Migas 36737.4 33348.9 34739.3 35476.5 36006.5 40499.s5 43727.8 44255.0 49053.7 48869.4 48309.1 48325.6 50370.1 49216.1
Non Migas 46927.2 50460.0 55196.3 63187.9 55348.0 70201.5 84493.8 92028.7 92055.9 98865.0 98784.2 103699.7 110379.2 122503.3
Jumlah 83664.5 83808.9 89935.6 98664.3 91354.4 110701.0 128221.6 136283.6 141109.6 147734.4 147093.3 152025.4 160749.3 171719.4

Tabel 1.4. Volume Impor di Indonesia pada periode 2005– 2018


sumber : bps.go.id, 2019

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


11

Volume (Migas-NonMigas) (Ribu Ton)


Komponen
Ekspor
Impor

Ekspor
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

Migas 51927.4 48291.5 45710.9 44800.9 46072.8 55925.1 59053.9 48446.0 44041.9 41743.1 44964.7 43328.8 42505.0 37055.5

Non Migas 206804.1 278880.8 297062.6 310253.1 332926.3 422921.7 523165.9 551690.6 655963.2 507722.4 463862.5 468399.3 503341.6 571852.0
Jumlah 258731.5 327172.3 342773.5 355054.0 378999.1 478846.8 582219.8 600136.6 700005.0 549465.5 508827.2 511728.1 545846.6 608907.5

Tabel 1.5. Volume Ekspor di Indonesia pada periode 2005– 2018


sumber : bps.go.id, 2019

Masih dari sumber yang sama, bahwa output juga merupakan faktor penentu besaran nilai tambah, dari data volume ekspor dan
impor non migas pada periode tahun 2005 – 2018, menunjukkan bahwa nilai ekpor selalu lebih besar daripada nilai impor . walaupun
besarannya masih berfkultuasi.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


12

Tabel 1.7. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment di Indonesia pada tahun 2017 dan 2018
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


13

Tabel 1.8. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment berdasarkan sektor di Indonesia pada tahun
2017
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


14

s
Tabel 1.9. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment berdasarkan wilayah di Indonesia pada tahun
2017
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


15

Tabel 1.10. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment berdasarkan klasifikasi sektor di Indonesia
pada periode 2012 - 2017
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


16

Tabel 1.11. Realisasi Foreign Direct Investment dan Domestic Direct Investment berdasarkan sektor penerimadi Indonesia
pada periode 2012 - 2017
sumber : nswi.bkpm.go.id, 2019

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


17

NO PROVINSI NAMA KAWASAN ANDALAN


1. Nanggroe Aceh Darussalam • Kawasan Banda Aceh dsk
• Kawasan Lhokseumawe dsk
2. Sumatera Utara • Kawasan Perkotaan Metropolitan Medan – Binjai – Deli Serdang – Karo
• Kawasan Pematang Siantar dsk
• Kawasan Rantau Prapat – Kisaran
• Kawasan Tapanuli dsk
• Kawasan Nias dsk
3. Sumatera Barat • Kawasan Padang Pariaman dsk
• Kawasan Agam – Bukittinggi
• Kawasan Mentawai dsk
4. Riau • Kawasan Pekanbaru dsk
• Kawasan Duri – Dumai dsk
• Kawasan Rengat – Kuala Enok – Taluk Kuantan – Pangkalan Kerinci
• Kawasan Ujung Batu – Bagan Batu
5. Kepulauan Riau • Kawasan Zona Batam – Tanjung Pinang dsk
6. Jambi • Kawasan Muara Bulian Timur Jambi dsk
7. Sumatera Selatan • Kawasan Muara Enim dsk
• Kawasan Lubuk Lingau dsk

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


18

• Kawasan Palembang dsk


8. Bengkulu • Kawasan Bengkulu dsk
• Kawasan Manna dsk
9. Bangka Belitung • Kawasan Bangka
• Kawasan Belitung
10. Lampung • Kawasan Bandar Lampung – Metro
• Kawasan Mesuji dsk
11. Daerah Khusus Ibukota Jakarta • Kawasan Perkotaan Jakarta
– Jawa Barat - Banten
12. Banten • Kawasan Bojonegaram- Merak - Cilegon
13. Jawa Barat • Kawasan Bogor – Puncak – Cianjur
• Kawasan Purwakarta – Subang – Karawang
• Kawasan Cekungan Bandung
• Kawasan Cirebon – Indramayu – Majalengka – Kuningan
• Kawasan Priangan Timur - Pangandaran
14. Jawa Tengah • Kawasan Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, Klaten
• Kawasan Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Semarang, Purwodadi
• Kawasan Bregas
• Kawasan Juwana, Jepara, Kudus, Pati, Rembang, Blora

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


19

• Kawasan Purwokerto, Kebumen, Cilacap dsk


15. Daerah Istimewa Yogyakarta • Kawasan Yogyakarta dsk
16. Jawa Timur • Kawasan Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan
• Kawasan Malang dsk
• Kawasan Probolinggo – Pasuruan – Lumajang
• Kawasan Tuban – Bojonegoro
• Kawasan Kediri – Tulung Agung – Blitar
• Kawasan Situbondo – Bondowoso – Jember
• Kawasan madiun dsk
• Kawasan Madura dan kepulauan
17. Bali • Kawasan Denpasar – Ubud – Kintamani
18. Nusa Tenggara Barat • Kawasan Lombok dsk
• Kawasan Bima
• Kawasan Sumbawa dsk
19. Nusa Tenggara Timur • Kawasan Kupang dsk
• Kawasan Meumere – Ende
• Kawasan Komodo dsk
20. Kalimantan Barat • Kawasan Pontianak dsk
• Kawasan Singkawang dsk

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


20

• Kawasan Ketapang dsk


21. Kalimantan Tengah • Kawasan Sampit – Pangkalan Bun
22. Kalimantan Selatan • Kawasan Banjarmasin Raya dsk
• Kawasan Batulicin
23. Kalimantan Timur • Kawasan Tanjung Redeb dsk
• Kawasan Sangkuriang, Sangata, dan Muara Wahau
• Kawasaan Tarakan, Tanjung Salas, Nunukan, Pulau Bunyu, dan Malinau dsk
• Kawasan Bontang – Samarinda – Tenggarong, Balikpapan Penajam dsk
24. Sulawesi Utara • Kawasan Manado dsk
25. Sulawesi Tengah • Kawasan Poso dsk
• Kawasan Kolonedale dsk
• Kawasan Palu dsks
26. Sulawesi Selatan • Kawasan Mamminasata dsk
• Kawasan Bulukumba – watampone
• Kawasan Pare pare dsk
27. Sulawesi Barat • Kawasan Mamuju dsk
28. Sulawesi Tenggara • Kawasan Asesolo / Kendari
• Kawasan Mawedong / Kolaka
29. Maluku • Kawasan Kei – Aru – Pulau Wetar – Pulau Tanimbar

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


21

30. Maluku Utara • Kawasan Ternate, Tidore, Sidangoli, Sofifi, Weda dsk
• Kawasan Kepulauan Sula
31. Papua Barat • Kawasan Fak – Fak dsk
• Kawasan Sorong dsk
32. Papua • Kawasan Timika dsk
• Kawasan Biak
• Kawasan Merauke dsk

Tabel 1.12. Indikasi Lokasi Kawasan Andalan Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
sumber : Direktorat Penataan Ruang Wilayah Nasional, 2008

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


22

NO PROVINSI 2010 2011 2012 2013 2014


1. Nanggroe Aceh Darussalam

2. Sumatera Utara

3. Sumatera Barat

4. Riau

5. Kepulauan Riau

6. Jambi Commented [S1]:

7. Sumatera Selatan

8. Bengkulu

9. Bangka Belitung

10. Lampung

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


23

11. Daerah Khusus Ibukota Jakarta – Jawa Barat - Banten

12. Banten

13. Jawa Barat

14. Jawa Tengah

15. Daerah Istimewa Yogyakarta

16. Jawa Timur

17. Bali

18. Nusa Tenggara Barat

19. Nusa Tenggara Timur

20. Kalimantan Barat

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


24

21. Kalimantan Tengah

22. Kalimantan Selatan

23. Kalimantan Timur

24. Sulawesi Utara

25. Sulawesi Tengah

26. Sulawesi Selatan

27. Sulawesi Barat

28. Sulawesi Tenggara

29. Maluku

30. Maluku Utara

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


25

31. Papua Barat

32. Papua

33. Gorontalo

34. Kalimantan Utara

Tabel 1.12. Realisasi Nilai Tambah Sektor Industri Tekstil dan Pakaian Jadi per Provinsi pada periode 2010 - 2014
sumber : Kementerian Perindustrian, 2016

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


26

Berdasarkan Tabel 1.12. Indikasi Lokasi Kawasan Andalan Menurut Rencana


Tata Ruang Wilayah Nasional dan Tabel 1.12. Realisasi Nilai Tambah Sektor Industri
Tekstil dan Pakaian Jadi per Provinsi pada periode 2010 - 2014 menunjukkan bahwa
masih terdapat ketidak sesuaian antara indikasi lokasi kawasan andalan dan realisasi
nilai tambah per provinsi dalam kurun waktu tersebut. Sebanyak 27 dari 32 provinsi
sesuai (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera
Selatan, Bangka Belitung, Lampung, Daerah Ibukota Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Daerah Ibukota Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Barat), dan 5 provinsi lainnya tidak sesuai (Bengkulu, Maluku, Maluku Utara, Papua
Barat, dan Papua). Sedangkan terdapat tambahan 1 provinsi (Gorontalo) yang telah
berkontribusi dalam pengumpulan nilai tambah yang belum diakomodir pada dokumen
RTRWN.
Dilihat lebih detil lagi, kesesuaian dan ketidaksesuaian tersebut erat kaitannya
dengan tingkat survivabilitas pengusaha industri tekstil dan pakaian jadi. Sebagaimana
dapat dicermati dari kedua tabel tersebut, walaupun izin lokasi yang ada di RTRWN
berlaku untuk selama periode 2010 – 2014, masih ada provinsi yang menunjukkan
ketidak adaaan kontribusi di tahun- tahun tertentu dan ada juga yang menambahkan
perluasan industri tekstil saja menjadi industri pakaian jadi. Ketidakstabilan nilai
tambah terdapat di 5 provinsi berikut, yaitu Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Barat. Sedangkan provinsi – provinsi lainnya
menunjukkan kondisi yang stabil.

Lebih lanjut, terkait hilirisasi industri antara industri tekstil dan pakaian jadi,
masih belum terealisasi di semua provinsi yang sesuai peruntukan lokasi kawasan
andalannya. Sebanyak provinsi memiliki keduanya dan sebagian provinsi masih bersifat
linear ( hanya memiliki industri tekstil / pakaian jadi saja. Sebanyak 20 provinsi (Aceh,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Khusus Istimewa
Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


27

Gorontalo) menunjukkan hilirasi industri tekstil dan pakaian jadi dan 7 provinsi lainnya
(Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barart, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat) menunjukkan lineraritas kedua industri
tersebut.

1.2 Definisi Permasalahan


Definisi permasalahan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
• Terjadi fluktuasi Pendapatan Domestik Bruto di Indonesia pada kurun
waktu 2015 sampai dengan 2018.
• Pada tabel di bawah kita dapat mengetahui bahwa penyerapan tenaga kerja
di sektor industri pada tahun 2015 – 2018 terbanyak pada Industri
Makanan, Kayu, diikuti oleh Industri Pakaian Jadi dan Tekstil sebesar
masing – masing : 2,89 % – 3,68 % ; 1,22 % – 1,37 % ; 1,89 % - 2,04 % ;
dan 1,09 % - 1,11 %.
• Dilain pihak, dari sisi nilai jual , keluaran dari industri sebagaimana
dilihat dari tabel 1.3 terkait dengan Indeks Harga Perdagangan Besar pada
tahun 2016 - 2018, terlihat bahwa harga bahan baku, barang konsumsi dan
barang modal untuk sektor industri selalu berada di peringkat ke-2 setelah
pertanian dan lebih tinggi dari pertambangan.
• Lebih lanjut lagi, terkait modal manusia, persebarannya di masing – masing
provinsi cukup merata dengan nilai dengan kisaran 60 – 85 %.
• output juga merupakan faktor penentu besaran nilai tambah, dari data
volume ekspor dan impor non migas pada periode tahun 2005 – 2018,
menunjukkan bahwa nilai ekpor selalu lebih besar daripada nilai impor .
walaupun besarannya masih berfkultuasi.
• Realisasi Nilai Tambah Sektor Industri Tekstil dan Pakaian Jadi per
Provinsi pada periode 2010 - 2014 menunjukkan bahwa masih terdapat
ketidak sesuaian antara indikasi lokasi kawasan andalan dan realisasi nilai
tambah per provinsi dalam kurun waktu tersebut.
• kesesuaian dan ketidaksesuaian tersebut erat kaitannya dengan tingkat
survivabilitas pengusaha industri tekstil dan pakaian jadi.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


28

• hilirisasi industri antara industri tekstil dan pakaian jadi, masih belum
terealisasi di semua provinsi yang sesuai peruntukan lokasi kawasan
andalannya.

1.3 Peran Penting Penelitian


Peran penting penelitian ini adalah sebagai berikut:
Kesesuaian, survivabilitas, dan hilirasi industri ternyata mempengaruhi fluktuasi
nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi sehinggan industri tekstil dan
pakaian jadi, nilai tambah, penyerapan tenaga kerja dan nilai investasi yang
masuk ke provinsi bersangkutan belum menjadi yang tertinggi selama kurun
waktu 2005 – 2018.

1.4 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menguji dampak biaya investasi, modal, dan keterbukaan pasar dari
fluktuasi nilai tambah (industri tekstil dan pakaian jadi) di Indonesia,
kecuali Kepulauan Maluku dan Pulau Papua.
2. Untuk menemukan faktor-faktor lain (infrastruktur dan kebijakan lokasi
kegiatan industri yang mempunyai dampak terhadap fluktuasi nilai tambah
(industri tekstil dan pakaian jadi) di Indonesia, kecuali Kepulauan Maluku
dan Pulau Papua.

1.5 Kesenjangan Penelitian


Terdapat beberapa kesenjangan penelitian, meliputi:
1. Untuk menguji dampak biaya investasi, modal, dan keterbukaan pasar dari
fluktuasi nilai tambah (industri tekstil dan pakaian jadi) di Indonesia,
kecuali Kepulauan Maluku dan Pulau Papua.
2. Untuk menemukan faktor-faktor lain (infrastruktur dan kebijakan lokasi
kegiatan industri yang mempunyai dampak terhadap fluktuasi nilai tambah
(industri tekstil dan pakaian jadi) di Indonesia, kecuali Kepulauan Maluku
dan Pulau Papua.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


29

3. Kesesuaian, survivabilitas, dan hilirasi industri ternyata mempengaruhi


fluktuasi nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi

1.6 Kontribusi Penelitian


Kontribusi penelitian adalah sebagai berikut:
1. Menyediakan informasi terkait dampak biaya investasi, modal, dan
keterbukaan pasar dari fluktuasi nilai tambah (industri tekstil dan pakaian
jadi) di Indonesia, kecuali Kepulauan Maluku dan Pulau Papua.
4. Berkontribusi memberikan rekomendasi faktor-faktor lain (infrastruktur dan
kebijakan lokasi kegiatan industri yang mempunyai dampak terhadap
fluktuasi nilai tambah (industri tekstil dan pakaian jadi) di Indonesia,
kecuali Kepulauan Maluku dan Pulau Papua.
2. Memberikan rekomendasi lokasi (provinsi) yang sesuai untuk industri
tekstil dan pakaian jadi.
3. Memberikan usulan rekomendasi kebijakan apa saja yang diperlukan untuk
menstimulus laju nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi untuk
provinsi – provinsi yang sesuai tersebut.

1.7 Batasan Studi


Berikut adalah beberapa batasan studi:
1. Cakupan wilayah di penelitian ini meliputi Pulau dan Kepulauan selain
Maluku dan Papua, terkait dengan kontribusi nilai tambah industri tekstil
dan pakaian jadi.
2. Penelitian ini berfokus pada sektor industri tekstil dan pakaian jadi sebagai
sektor terbesar kedua yang berkontribusi pada flutuasi nilai tambah.
3. Periode penelitian ini meliputi tahun 2010 hingga tahun 2014 dengan
mempertimbangkan ketersediaan data terakhir dari semua variabel.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


30

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teori


Menurut Sichei, et al. (2012) hubungan antara biaya tenaga kerja dan foreign
direct investment (FDI) adalah jika biaya tenaga kerja tinggi maka menyiratkan biaya
produksi yang lebih tinggi pula, sehingga dapat membatasi arus masuk FDI. Biaya
tenaga kerja dapat diproksikan berdasarkan tingkat upah.

Biaya produksi Arus masuk


Biaya tenaga kerja tinggi
meningkat FDI terbatas

Bagan 2.1 Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Sichei (2012)
Sumber: Global Journal of Management and Business Research, 2012

Tingkat tenaga kerja yang rendah diyakini sebagai salah satu faktor pendorong
investasi asing langsung. Hal ini dapat terjadi karena biaya tenaga kerja yang rendah
dapat mengurangi biaya produksi. Konsekuensi dari biaya produksi yang rendah dapat
meningkatkan laba perusahaan. Dengan demikian, harga produk akan relatif rendah
sehingga permintaanpun akan meningkat (Yogatama, 2011).

Biaya tenaga kerja Biaya produksi Laba perusahaan


rendah rendah meningkat

permintaan meningkat

Bagan 2.2. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Yogatama
(2011)
Sumber: Asian Economic and Financial Review,2011

Peningkatan upah minimum regional di Indonesia memiliki korelasi dengan


biaya produksi suatu perusahaan. Jika peningkatan upah tidak diikuti oleh peningkatan
produktivitas tenaga kerja, maka produk suatu perusahaan akan berkurang. Akibatnya,
tingkat investasi akan berkurang juga (Frederica dan Juwita, 2013).

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


31

Peningkatan UMR
Output
produksi Investasi berkurang
berkurang

Peningkatan
produktivitas pekerja

Bagan 2.3. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Frederica dan
Juwita (2013)
Sumber: J u r n a l M a n a j e m e n T e k n o l o g i, 2013
Biaya tenaga kerja memiliki hubungan dengan biaya produksi suatu perusahaan.
Ketika ada peningkatan biaya tenaga kerja, biaya produksi akan meningkat. Tingkat
biaya tenaga kerja rendah adalah salah satu faktor pendorong foreign direct investment
(FDI) karena jika biaya tenaga kerja lebih rendah, maka akan menjaga biaya produksi
juga lebih rendah. Biaya produksi yang rendah akan diikuti oleh meningkatnya laba
perusahaan. Biaya tenaga kerja yang tinggi menyebabkan harga output yang tinggi dan
persaingan yang buruk. Dalam kondisi lain, biaya tenaga kerja yang rendah
menyebabkan rendahnya harga output dan daya saing tinggi sehingga permintaan akan
meningkat. Oleh karena itu, investor didorong untuk berinvestasi di negara-negara yang
memiliki biaya tenaga kerja rendah (Marcelia, et al.).

Harga output Tidak ada


Biaya tenaga kerja rekomendasi
tinggi
tinggi Persaingan buruk investasi

Bagan 2.4. Hubungan antara biaya tenaga kerja dan FDI menurut Marcelia
Sumber : analisis penulis

Harga output rendah


Biaya tenaga kerja Permintaan tinggi
rendah Daya saing tinggi

Rekomendasi
investasi

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


32

2.2 Kerangka Empiris


Kerangka Empiris diperlukan sebagai penguat argumentasi dan pemilihan variabel-
variabel, dan metode. Selain juga acuan dalam penyusunan hipotesis penelitian.
2.2.1 Variabel Dependen
Sebagian besar jurnal-jurnal yang ada menggunakan nilai tambah industri
manufaktur sebagai variabel dependen. Mengingat tingkat nilai tambah industri
merupakan salah satu indikator kinerja industri, dimana digunakan juga untuk menguji
seberapa banyak tingkat nilai tambah yang bisa diproduksi apabila industri tumbuh
lebih tinggi di Indonesia. (Ita,et.al,2003).
2.2.2 Variabel Independen
Faktor Produksi total adalah faktor utama yang mempengaruhi nilai tambah.
(Ilyas,et.al, 2010). Variabel lain yang digunakan di jurnal ini adalah Tingkat Harga
Investasi dan Keterbukaan pasar.
2.2.3 Metode
Sebagian besar penelitian terkait nilai tambah menggunakan data panel.
Keuntungan menggunakan metode ini adalah memberikan data yang bersifat informatif,
lebih bervariasi, menambahkan derajat kemerdekaan, lebih efisien, mengurangi
kolinearitas antar variabel, memperkirakan derajat heteroganitas yang lebih besar yang
dapat menjadi ciri khas individu dari waktu ke waktu, memungkinkan analisis masalah
ekonomi yang krusial yang tidak dapat dijawab dengan analisis deret waktu dan
penampang lintang, serta relatif lebih fleksibel saat memodelkan perilaku yang berbeda
dari tiap individu dibandingkan dengan data lintas bagian, serta dapat menjelaskan
penyesuaian dinamis dengan cara yang lebih baik (Asmara, 2013).
Lebih spesifik, data model yang digunakan adalah panel balanced, sedangkan
setiap unit cross section memiliki jumlah observasi deret waktu yang sama (Ruth,
2014). Penelitian lain yang menerapkan panel data dilakukan dengan menggunakan
fixed effect method (FEM) untuk menguji determinannya.
Vektor autoregression model (VAR) diterapkan karena fakta bahwa model
seperti itu umumnya digunakan untuk meramalkan sistem seri waktu yang saling terkait
dan untuk menganalisis dampak dinamis gangguan acak pada sistem variabel. Sebagai
informasi tambahan, dalam vector autoregression model (VAR) beberapa variabel

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


33

diperlakukan sebagai endogen dan beberapa sebagai diperlakukan sebagai eksogenous


atau yang telah ditentukan (exogeneous plus lagged endogeneous) (Mutasen).

2.2.4 Hasil
Nilai tambah merespon secara negatif dan signifikan terhadap Faktor Produksi
Total (Ilyas,et.al, 2010) dengan nilai signifikansi 5 %.
Tingkat harga Investasi dan Keterbukaan Pasar berpengaruh positif terhadap
nilai tambah (Ilyas, et.al 2010) dengan nilai signifikansi 1 %.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


34

BAB 3
METODOLOGI

3.1 Deskripsi Penelitian


Sebagai awalan dari deskripsi penelitian ini, saya mengkaitkan dengan studi
pustaka, yaitu sebagaimana disebutkan di BAB 2, bahwasannya pemilihan variabel dan
metode sesuai dengan hasil studi pustaka. Dalam penelitian ini, saya akan menggunakan
data panel nilai tambah sektor industri tekstil dan pakaian jadi di 24 (dua puluh empat)
provinsi selama periode 2010 hingga 2014. Jumlah observasi adalah 5 x 24 = 120.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan regresi data panel cross
section 24 provinsi dan time series selama 5 tahun terakhir (2010-2014). Dalam hal ini,
regresi data panel akan diterapkan pada data sekunder karena terikat oleh realisasi niloai
tambah sektor industri tekstil dan pakaian jadi dari 24 provinsi, yaitu Aceh, Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung,
Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat,
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Metode yang saya gunakan adalah panel
sehubungan dengan peraturan minimal obsevasi yang berjumlah 30. Ketersediaan data,
deret waktu tidak dapat diterapkan berkenaan dengan periode data tersedia dari 2010-
2014. Periode observasi adalah 5 tahun.

3.2 Variabel Dependen


Variabel dependen adalah Nilai Tambah Industri Tekstil dan Pakaian Jadi. Hal
ini sesuai dengan isu-isu strategis yang relevan dengan penelitian untuk membuktikan
variabel dependen memiliki korelasi dengan latar belakang observasi.

3.3 Variabel Independen


Variabel independen yang berfungsi sebagai variabel kontrol adalah biaya
investasi (modal tetap), keterbukaan pasar (selisih nilai ekspor dan impor) dan biaya (
modal variabel). Dari ketiga kelompok tersebut dapat dirinci ke -24 variabal turunan
sebagai berikut: Pajak Tidak Langsung Industri Besar dan Sedang, Upah Minimum
Regional, Biaya Bangunan, Biaya Mesin, Biaya Angkutan, Panjang Jalan, Distribusi

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


35

Listrik untuk Industri, Jumlah Kawasan Industri, Jumlah Sentra Industri, Jumlah
Lingkungan Industri Kecil, Jumlah perkampunganindustrikecil, Indeks Harga
Konsumen, Produk Domestik Regional Bruto, Keterbukaan Pasar, Ekspor Barang,
Impor Barang, Impor Bahan Bakar, Impor Makanan Minuman Industri, Impor Bahan
Baku Industri, Impor Bahan Bakar dan Pelumas, Impor Suku Cadang dan Peralatan,
Penyerapan Tenaga Kerja, RTR Pulau / Kepulauan. Ada kerangka empiris dan teoretis
yang mendukung menjembatani variabel dependen dan independen. Beberapa orang
mengklaim koneksi antara variabel independen dan dependen.

3.4 Sinkronikasi Variabel Operasional


Sinkronikasi variabel operasional sebagai berikut (Variabel-variabel operasional,
sumber, detil, dan penyesuaian data):
1. Nilai Tambah Industri Tekstil dan Pakaian Jadi: Kementerian Perindustrian,
Nilai Tambah Industri Tekstil dan Pakaian Jadi di 24 provinsi;
2. Pajak Tidak Langsung Industri Besar dan Sedang, Badan Pusat Statistik
(BPS), Pajak Tidak Langsung Industri Besar dan Sedang untuk masing – masing
provinsi di 24 provinsi;
3. Upah Minimum Regional: Badan Pusat Statistik (BPS), Upah Minimum
Regional untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
4. Biaya Bangunan: Badan Pusat Statistik (BPS), Biaya Bangunan untuk masing –
masing provinsi di 24 provinsi;
5. Biaya Mesin: Badan Pusat Statistik (BPS) Biaya Mesin untuk masing – masing
provinsi di 24 provinsi;
6. Biaya Angkutan: Badan Pusat Statistik (BPS), Biaya Angkutan untuk masing –
masing provinsi di 24 provinsi;
7. Panjang Jalan: Badan Pusat Statistik (BPS), Panjang Jalan untuk masing –
masing provinsi di 24 provinsi;
8. Distribusi Listrik untuk Industri: Badan Pusat Statistik (BPS), Distribusi Listrik
untuk Industri untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
9. Jumlah Kawasan Industri: Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah Kawasan
Industri untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
10. Jumlah Sentra Industri: Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah Sentra Industri

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


36

untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;


11. Jumlah Lingkungan Industri Kecil: Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah
Lingkungan Industri Kecil untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
12. Jumlah Perkampungan Industri Kecil: Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah
Perkampungan Industri Kecil untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
13. Indeks Harga Konsumen: Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Harga
Konsumen untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
14. Produk Domestik Regional Bruto: Badan Pusat Statistik (BPS), Produk Domestik
Regional Bruto untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
15. Keterbukaan Pasar : Badan Pusat Statistik (BPS), Keterbukaan Pasar untuk masing
– masing provinsi di 24 provinsi;
16. Ekspor Barang: Badan Pusat Statistik (BPS), Ekspor Barang untuk masing –
masing provinsi di 24 provinsi;
17. Impor Barang: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Barang untuk masing – masing
provinsi di 24 provinsi;
18. Impor Bahan Bakar: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Bahan Bakar untuk masing
– masing provinsi di 24 provinsi;
19. Impor Makanan Minuman Industri: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Makanan
Minuman Industri untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
20. Impor Bahan Baku Industri: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Bahan Baku
Industri untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
21. Impor Bahan Bakar dan Pelumas: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Bahan Bakar
dan Pelumas untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
22. Impor Suku Cadang dan Peralatan: Badan Pusat Statistik (BPS), Impor Suku
Cadang dan Peralatan untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
23. Penyerapan Tenaga Kerja: Badan Pusat Statistik (BPS), Penyerapan Tenaga Kerja
untuk masing – masing provinsi di 24 provinsi;
24. RTR Pulau / Kepulauan: Kementerian Agraria dan Tata Ruang, dummy kebijakan,
sudah atau belumnya ditetapkan RTR Pulau / Kepulauan.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


37

3.5 Area Obeservasi


Area obeservasi dalam penelitian ini adalah semua provinsi di Pulau Sumatera,
Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi. Tidak ada bias pemilihan ommit. Semua data yang
terkait dengan variabel independen dan dependen tersedia.
Menurut Pyndick dan Rubinfield (2008) pada model panel data ini dikenal tiga
jenis pendekatan estimasi yang dikumpulkan, yaitu least square, fixed effect, dan
random effect. Pendekatan least square dengan cara sederhana menggabungkan/
mengumpulkan semua data time series dan cross-section, dan model yang diestimasi
digunakan model ordinary least squares. Di sini konstanta (intersep) akan diasumsikan
untuk time-series atau cross-section. Efek tetap mengimplikasikan perbedaan time-
series atau cross-section. Sedangkan pendekatan efek acak memperbaiki proses efisiensi
least square dengan estimasi eror time-series dan cross-section dan perbedaan intersep.
Menurut Nachrowi (2005) untuk model efek tetap dari model efek acak sebagai
model yang cocok dalam beberapa hal, yaitu: Jika T (nomor data time-series)> N
(jumlah data cross–section) disarankan menggunakan fixed effect model (FEM), Jika N
(data jumlah cross–section) > T (nomor data time-series) disarankan menggunakan
random effect model (REM), Jika efek cross-section memiliki korelasi dengan salah
satu buah lebih banyak variabel X, maka diprediksi FEM adalah tidak bias dan bugar.
Uji hipotesis tidak digunakan untuk keputusan yang lebih meyakinkan dalam hal
memilih model terbaik, yaitu menggunakan Hausman test. Hal ini untuk mengetahui
hubungan fungsional antara realisasi total investasi asing langsung dan dengan upah
minimum regional, indeks harga konsumen, panjang jalan, kapasitas pelabuhan,
kapasitas bandara, ukuran pasar, rasio antara ekspor dan impor. Meskipun tidak
menentukan model terbaik dapat dilihat dari uji antara model pooled least square dan
model fixed effect melalui Chow test. Jika nilai probabilitas Chi square kurang dari
alpha 5% maka model fixed effect dapat ditentukan sebagai model terbaik.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


38

3.6 Persamaan Ekonometri


Persamaan dari variabel dependen dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

VA1314it = β 0 + β 1 pjktdklangsungIBSit + β 2 UMRit + β 3 BiBangit + β 4 PjJlit


+ β 5 DisLisIndit + β 6 JmlhKwsIndit + β 7 JmlhSntrIndit + β 8
JmlhLingIndKclit+ β 9 JmlhLingIndKclit + β 10 JmlhPrkmpngnIndKcilit + β 11
IndksHrgKnsmnit + β 12 PDRBit + β 13 KtrbknPsrit + β 14 EksprBrngit + β 15
ImprBrngit + β 16 ImprBhnBkrit + β 17 ImprMknnMnmnIndit + β 18
ImprBhnBkIndit + β 19 ImprBhnBkrPlmsit + β 20 ImprSkCdngPrltnit + β 21
PnyrpnTngKrjit + β 22 RTRPlKepit + εit

VA1314it : Nilai Tambah Industri Tekstil dan Pakaian Jadi di provinsi


i pada tahun t
pjktdklangsungIBSit : Pajak Tidak Langsung Industri Besar dan Sedang untuk di
provinsi i pada tahun t.
UMRit : Upah Minimum Regional di provinsi i tahun t.
BiBangit : Biaya Bangunan di provinsi i tahun t.
BiMesit : Biaya Mesin di provinsi i tahun t.
BiAngit : Biaya Angkutan di provinsi i tahun t.
PjJlit : Panjang Jalan di provinsi i tahun t.
DisLisIndit : Distribusi Listrik di provinsi i tahun t.
JmlhKwsIndit : Jumlah Kawasan Industri di provinsi i tahun t.
JmlhSntrIndit : Jumlah Sentra Industri di provinsi i tahun t.
JmlhLingIndKclit : Jumlah Lingkungan Industri Kecil di provinsi i tahun t.
JmlhPrkmpngnIndKcilit : Jumlah Perkampungan Industri Kecil di provinsi i tahun t.
IndksHrgKnsmnit : Indeks Harga Konsumen di provinsi i tahun t.
PDRBit : Produk Domestik Regional Bruto di provinsi i tahun t.
KtrbknPsrit : Keterbukaan Pasar di provinsi i tahun t.
EksprBrngit : Ekspor Barang di provinsi i tahun t.
ImprBrngit : Impor Barang di provinsi i tahun t.
ImprBhnBkrit : Impor Bahan Bakar di provinsi i tahun t.
ImprMknnMnmnIndit : Impor Makanan Minuman Industri di provinsi i tahun t.
ImprBhnBkIndit : Impor Bahan Baku Industri di provinsi i tahun t.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


39

ImprBhnBkrPlmsit : Impor Bahan Bakar dan Pelumas di provinsi i tahun t.


ImprSkCdngPrltnit : Impor Suku Cadang dan Peralatan di provinsi i tahun t.
PnyrpnTngKrjit : Penyerapan Tenaga Kerja di provinsi i tahun t.
RTRPlKepit : dummy kebijakan, sudah atau belumnya ditetapkan RTR Pulau /
Kepulauan
β 0: constanta
β 1, β 2, β 3, β 4, β 5, β6, β7, β8: koefisien regresi
εit: istilah kesalahan

3.6.1 Latar Belakang Pemilihan Model


Pemilihan model persamaan tersebut untuk membagi dampak trend biaya
investasi (modal tetap), keterbukaan pasar (selisih nilai ekspor dan impor) dan biaya (
modal variabel) sebagai variabel utama dan variabel lain sebagai variabel kontrol
terhadap fluktuasi total nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi di provinsi – provinsi i
Pulau Sumatera, sPulau Jawa, Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi; Pilihan variabel
non biaya dan keterbukaan pasar mengenai arah tesis adalah ekonomi daerah sehingga
variabel-variabel tersebut telah terbukti menunjukkan dampak yang signifikan dari
beberapa jurnal penelitian, baik di dalam maupun di luar negeri; Pilihan variabel utama
mengenai kutipan satu jurnal yang menunjukkan hubungan antara nilai tambah dan
variabel-variabel tersebut; Pilihan kebijakan dummy RTR Pulau / Kepulauan, mengenai
ada kebijakan nasional sebagai panduan izin untuk perencanaan, jadi kita harus tahu
dampak dari kebijakan ini terhadap nilai tambah, sebelum dan sesudah kebijakan ini
ditetapkan. Sehingga apakah kebijakan tersebut terkai juga dengan pilihan menjadi
Pulau dengan nilai tambah industri vertikal atau horizontal atau sebaliknya.
Setelah memperkirakan model penelitian, kita akan mendapatkan nilai dan tanda
masing-masing parameter dari model tersebut. Entah itu positif atau negatif, selanjutnya
akan digunakan untuk menguji hipotesis penelitian (Raharjo, et al., 2005).

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


40

3.6.2 Hipotesis Penelitian


Hipotesis dari setiap koefisien regresi atau faktor-faktor yang mempengaruhi
fluktuasi nilai tambah di atas adalah:
1) β 1 <0; Pajak Tidak Langsung Industri Besar dan Sedang. Peningkatan pajak
tidak langsung akan mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan pajak
tidak langsung akan menambah biaya variabel yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa
depan, ceteris paribus.
2) β 2 <0; Upah Minimum Regional. Peningkatan upah minimum regional akan
mengurangi nilai tambah karena jika terjadi peningkatan upah akan menambah
biaya tenaga kerja (biaya variabel) yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai
konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus.
3) β 2 <0; Biaya Bangunan. Peningkatan biaya bangunan akan mengurangi
nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan pajak tidak langsung akan menambah
biaya tetap yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi
ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus.
4) β 2 <0; Biaya Mesin. Peningkatan biaya bangunan akan mengurangi nilai tambah,
karena jika terjadi peningkatan pajak tidak langsung akan menambah biaya tetap
yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan
rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus.
5) β 2 <0; Biaya Angkutan. Peningkatan biaya angkutan akan mengurangi nilai
tambah karena jika terjadi peningkatan biaya angkutan akan menambah biaya
variabel yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi
ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus.
6) Β6> 0; Panjang Jalan. Infrastruktur jalan memiliki hubungan positif terhadap
total nilai tambah, pembangunan jalan yang lebih tinggi terutama total aspal jalan
akan mempercepat mobilitas distribusi produk sehingga menurunkan biaya variabel
secara keseluruhan. Kondisi ini akan merangsang terciptanya iklim investasi yang
kondusif dan peningkatan realisasi. investasi realisastion, ceteris paribus .
7) Β7> 0; Distribusi Listrik untuk Industri. Jika kapasitas listrik meningkat maka
nilai tambah juga meningkat melalui jam operasional tambahan perusahaan karena
meningkatkan laba perusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


41

8) β 8> 0; Jumlah Kawasan Industri. Jika jumlah kawasan industri meningkat


maka nilai tambah juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata karena
meningkatkan laba perusahaan melalui perluasan pangsa pasar dan perluasan
wilayah pemasaran, dan sebaliknya, ceteris paribus.
9) β 8> 0; Jumlah Sentra Industri. Jika jumlah sentra industri meningkat maka
nilai tambah juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata karena
meningkatkan laba perusahaan melalui perluasan pangsa pasar dan perluasan
wilayah pemasaran, dan sebaliknya, ceteris paribus.
10) β 8> 0; Jumlah Lingkungan Industri Kecil. Jika jumlah lingkungan industri
kecil meningkat maka nilai tambah juga meningkat melalui peningkatan nilai
tambah nyata karena meningkatkan laba perusahaan melalui perluasan pangsa pasar
dan perluasan wilayah pemasaran, dan sebaliknya, ceteris paribus.
11) β 8> 0; Jumlah Perkampungan Industri Kecil. Jika jumlah perkampungan
industri kecil meningkat maka nilai tambah juga meningkat melalui peningkatan
nilai tambah nyata karena meningkatkan laba perusahaan melalui perluasan pangsa
pasar dan perluasan wilayah pemasaran, dan sebaliknya, ceteris paribus.
12) β 2 <0; Indeks Harga Konsumen. Tingkat inflasi yang tinggi mempengaruhi
total nilai realisasi nilai tambah. Semakin tinggi inflasi akan terjadi kenaikan harga
termasuk harga barang sebagai input produksi. Kondisi ini akan memaksa kenaikan
biaya produksi secara keseluruhan sehingga menurunkan tingkat keuntungan yang
mungkin bisa didapat oleh investor dan pengusaha. Kondisi ini akan mengurangi
faktor dorongan investasi dan pada akhirnya akan menurunkan nilai total nilai
tambah, ceteris paribus.
13) β 8> 0; Produk Domestik Regional Bruto. Jika produk domestik regional bruto
meningkat maka nilai tambah juga meningkat melalui peningkatan nilai tambah
nyata karena meningkatkan laba perusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.
14) β 8> 0; Keterbukaan Pasar . Jika rasio beban dan bongkar meningkat maka nilai
tambah akan meningkat melalui peningkatan laba perusahaan, dan sebaliknya,
ceteris paribus.
15) β 8> 0; Ekspor Barang. Jika ekspor barang meningkat maka nilai tambah juga
meningkat melalui peningkatan nilai tambah nyata karena meningkatkan laba
perusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


42

16) β 2 <0; Impor Barang. Peningkatan impor barang akan mengurangi nilai
tambah, karena jika terjadi peningkatan impor barang akan menambah biaya
variabel yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi
ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus.
17) β 2 <0; Impor Bahan Bakar. Peningkatan impor bahan bakar akan mengurangi
nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan impor bahan bakar akan menambah
biaya variabel yang harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi
ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris paribus
18) β 2 <0; Impor Makanan Minuman Industri. Peningkatan impor makanan dan
minuman industri akan mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan
impor makanan dan minuman industri akan menambah biaya variabel yang harus
dikeluarkan oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana
anggaran di masa depan, ceteris paribus
19) β 2 <0; Impor Bahan Baku Industri. Peningkatan impor bahan baku industri
akan mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan impor bahan baku
industri akan menambah biaya variabel yang harus dikeluarkan oleh perusahaan
sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa depan, ceteris
paribus
20) β 2 <0; Impor Bahan Bakar dan Pelumas. Peningkatan impor bahan bakar dan
pelumas akan mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan impor
bahan bakar dan pelumas akan menambah biaya variabel yang harus dikeluarkan
oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa
depan, ceteris paribus
21) β 2 <0; Impor Suku Cadang dan Peralatan. Peningkatan impor suku cadang
dan peralatan akan mengurangi nilai tambah, karena jika terjadi peningkatan impor
suku cadang dan peralatan akan menambah biaya variabel yang harus dikeluarkan
oleh perusahaan sebagai konsekuensi ketidakmenentuan rencana anggaran di masa
depan, ceteris paribus
22) β 8> 0; Penyerapan Tenaga Kerja. Jumlah tenaga-tenaga kerja yang besar dan
berkualitas akan meningkatkan minat investor karena tidak ada kesulitan mencari
tenaga kerja, dan sebaliknya sejumlah kecil akan mengurangi investasi, ceteris
paribus.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


43

23) β 8> 0; RTR Pulau / Kepulauan. Kebijakan dummy. Jika industri bilangan dan
lokasi telah ditata dalam national spatial planning maka nilai tambah akan
meningkat melalui peningkatan laba pserusahaan, dan sebaliknya, ceteris paribus.

3.7 Analisis Regresi


Analisis regresi data panel: Membuat model penentu penelitian investasi asing
langsung; Melakukan estimasi dengan model pooled least square (PLS); Melakukan
estimasi dengan model fixed effect model (FEM); Melakukan Chow test untuk
menentukan memilih model PLS dan FEM. Jika probabilitas Chi square kurang dari
alpha 5% maka FEM akan dipilih; Melakukan estimasi model random effect model
(REM); Melakukan tes Hausman untuk menentukan model Choosong FEM atau REM.
Jika probabilitas Chi square kurang dari alpha 5% maka FEM akan dipilih.

3.7.1 Uji Asumsi Regresi


Agar uji asumsi regresi menghasilkan model yang robust maka memerlukan
pengujian multikolinier, uji otokorelasi, dan uji heterokedastisitas. Uji multikolinear
akan dilakukan dengan Breusch Pagan LM test of independence.Jika p-value tes
estimasi Chi square kurang dari alpha 5%, maka artinya terjadi fenomena otokorelasi.
Jika heteroskedastisitas p-value uji estimasi Chi square kurang dari alpha 5%, maka
terjadi fenomena heteroskedastisitas.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


44

BAB 4
ANALISIS DAN HASIL

4.1 Pengujian Model Ekonometrik Regresi Biasa


4.1.1 Deskripsi Singkat Model Ekonometrik
Pengujian model ekonometrik faktor yang mempengaruhi nilai tambah di sektor
industri dilakukan dengan pendekatan regresi data panel yang melibatkan data cross
section yang meliputi 24 (dua puluh empat) provinsi dan time series dengan kurun
waktu 5 tahun, yaitu (2010 - 2014). Penelitian ini lebih mengedepankan variabel utama
pajak tidak langsung dan biaya mesin dengan faktor variabel kontrol yaitu, upah
minimum, biaya bangunan, listrik, kawasan industri, sentra industri, lingkungan
industri, perkampungan industri, indeks harga konsumen pendapatan regional bruto,
keterbukaan pasar, penyerapan tenaga kerja, dan rtr pulau / kepulauan.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


45

4.1.2. Pemeriksaan Awal


HASIL ESTIMASI SEMENTARA

. estimates table fe re ols, star stats(N r2 r2_a)

1. Chow test:

> ---------
sigma_u | 8.661e+09
sigma_e | 2.459e+09
rho | .92540492 (fraction of variance due to u_i)
---------------------------------------------------------------------
> ---------
F test that all u_i=0: F(23, 80) = 18.63 Prob > F
> = 0.0000
Karena P Value < α maka pilihan terbaik adalah menggunakan fixed effect

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


46

3. Hausman test:

Tabel 4.2 Hasil Estimasi Model

Dilihat nilai P Value dari hauman test adalah 0.0042 artinya < α, maka H1
diterima dan pilihan terbaik berarti fixed effect.
Pemeriksaan awal terhadap pemilihan model terbaik dilakukan dengan
membandingkan antara model pooled least square (PLS) dengan fixed effect model
(FEM) dengan uji Chow. Jika hasil pengujian diperoleh nilai p-value uji Chow kurang
dari alpha 5% maka FEM adalah model terbaik. Selanjutnya dilakukan pengujian antara
model pooled least square (PLS) dengan random effect model (REM) dengan uji
Breusch Pagan Lagrange multiplier (LM). Bila hasil pengujian diperoleh p-value uji
Breusch Pagan Lagrange multiplier kurang dari alpha 5% maka REM adalah model
yang terbaik. Selanjutnya dilakukan pengujian fixed effect model (FEM) dengan random
effect model (REM) dengan uji Hausman. Namun, bila hasil pengujian diperoleh p-
value uji Hausman kurang dari alpha 5% maka REM adalah model yang terbaik. Dari
hasil pengolahan data menunjukkan bahwa regresi pada model hanya bisa dilakukan
dengan fixed effect model (FEM), sedangkan regresi dengan ke-2 model lainnya tidak
bisa dilakukan.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


47

3. Uji asumsi klasik


3.1 Multikolinearitas
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan asumsi regresi yang terdiri dari uji
multikolinier, uji otokorelasi `dan uji heterokedastisitas. Uji multikolinier dilakukan
dengan analisis korelasi sedangkan uji otokorelasi dilakukan dengan Breusch Pagan LM
test dan uji heterokedastisitas dilaukan dengan modified Wqald test yang dilakukan
dengan perangkat lunak Stata 13.

Tabel 4.1 Hasil Uji Multikolinier

Antar variabel pajak dengan impor industri, impor bahan baku, impor bahan
bakar, dan impor suku cadang peralatan; biaya bangunan dengan impor bahan bakar;
biaya mesin dengan impor barang; biaya; biaya angkutan dengan impor angkutan,
impor bahan baku, dan impor bahan bakar; dan ihk dengan impor bahan bakar memiliki
nilai multikolinearitas > 0.75 yang artinya menerima H1 atau dengan kata lain
hubungan antar variabel-variabel tersebut memiliki nilai multikolinearitas yang tinggi.
Saat diuji nilai variance inflating factor setelah fe juga menghasilkan nilai mean
VIFnya 182.25 atau > 10, hal ini berarti ada indikasi multikolinearitas yang tinggi,
sesuai dengan tes yang sebelumnya dilakukan.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


48

Note:

Dari hasil diatas beberapa variabel dihapus oleh stata karena masalah kolinearitas pada
pengujian fixed effect, PLS dan random effect. Setelah terpilih yang terbaik yaitu fixed
effect ternyata masih bermasalah pada uji asumsi klasik terindikasi terdapat
multikolinearitas yang tinggi antar variabel dengan alasan tersebut maka disarankan
untuk mencari model yang lebih stabil.

Dalam model dummy upah minimum, penyerapan tenaga kerja, kawasan industri, pajak
tidak langsung, pendapatan regional bruto, RTR Pulau / Kepulauan, sentra indutsri,
perkampungan industri, listrik, lingkungan industri, dan keterbukaan pasar memiliki
nilai VIF kurang dari 10, sehingga tidak ditemukan multikol di variabel - variabel
tersebut. Sementara itu, untuk variabel-variabel lainnya memiliki nilai VIF lebih dari
10, sehingga ditemukan multikol di variabel-variabel tersebut.

4.1.3 Hasil Pengujian Ekonometrik


Berdasarkan hasil di atas, variabel pajak tidak langsung dan perkampungan
industri berpengaruh positif dan negatif signifikan pada alfa 1% terhadap nilai tambah
industri tekstil dan pakaian jadi. Sementara variabel biaya mesin dan sentra industri
kecil berpengaruh positif signifikan pada alfa 5 % terhadap nilai tambah industri tekstil
dan pakaian jadi. Sedangkan secara positif dan signifikan pada alfa 10 %, nilai tambah
industri tekstil dan pakaian jadi tersebut dipengaruhi oleh listrik. Sementara itu,

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


49

variabel-variabel lainnya tidak mempengaruhi nilai tambah industri tekstil dan pakaian
jadi.

4.2. Analisis Terkait Teori


Pembahasan Hasil Analisis terkait teori memuat statistik deskriptif untuk masing –
masing provinsi sesuai dengan variabel yang ada di teori (teori) sebelumnya yang
sesuai dan tidak sesuai dengan penelitian ini Commented [T2]: Jawaban dari pertanyaan bu Ashin :
argumentasi hasil analisis teori
Pembahasan Hasil Analisis terkait teori memuat statistik deskriptif untuk masing –
masing provinsi sesuai dengan variabel yang ada di teori (teori) sebelumnya yang
sesuai dan tidak sesuai dengan penelitian ini Commented [T3]: Jawaban dari pertanyaan bu Ashin :
argumentasi hasil analisis teori

Biaya produksi Arus masuk


Biaya tenaga kerja tinggi
meningkat FDI terbatas

Bagan 4.1. Analisis 1 : teori Sinchei (2012)


NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL
1. Aceh 2010 1.300.000 TINGGI RENDAH, SESUAI
7.399.040
Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.350.000 6.407.616
2012 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.400.000 3.410.552
2013 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.550.000 5.316.186
2014 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.750.000 4.752.411

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


2. Sumatera Utara 2010 TINGGI RENDAH, SESUAI
965.000 82.262.551
Kesesuaian = 100 %s 2011 1.035.500 TINGGI 163.869.526 RENDAH, SESUAI
2012 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.200.000 110.398.452
2013 TINGGI 177.184.752 RENDAH, SESUAI
1.375.000
2014 1.505.850 TINGGI 241.224.219 RENDAH, SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


3. Sumatera Barat 2010 TINGGI 15.097.499 RENDAH, SESUAI
940.000
Kesesuaian = 100% 2011 1.055.000 TINGGI 15.909.720 RENDAH, SESUAI
2012 1.150.000 TINGGI 18.687.223 RENDAH, SESUAI
2013 TINGGI 35.469.997 RENDAH, SESUAI
1.350.000
2014 TINGGI 43.211.747 RENDAH, SESUAI
1.490.000

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


50

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


4. Jambi 2010 TINGGI RENDAH, SESUAI
900.000 5.190.874
Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.028.000 2.862.856

2012 TINGGI RENDAH, SESUAI


1.142.500 1.449.870
2013 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.300.000 1.048.034
2014 TINGGI 2.994.076 RENDAH, SESUAI
1.502.300

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


5. Sumatera Selatan 2010 927.825 TINGGI 9.792.294 RENDAH, SESUAI

Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI 11.072.391 RENDAH, SESUAI


1.048.440

2012 TINGGI RENDAH, SESUAI


1.195.220 43.065.324
2013 TINGGI 7.737.890 RENDAH, SESUAI
1.630.000
2014 1.825.000 TINGGI RENDAH, SESUAI
46.924.165

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


6. Lampung 2010 TINGGI RENDAH, SESUAI
767.500 8.060.702

Kesesuaian = 100 % 2011 855.000 TINGGI 11.824.682 RENDAH, SESUAI

2012 TINGGI 27.547.607 RENDAH, SESUAI


975.000
2013 1.150.000 TINGGI 11.256.544 RENDAH, SESUAI
2014 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.399.03 10.792.021 S

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


7. Kepulauan Bangka Belitung 2010 910.000 TINGGI 970.426 RENDAH, SESUAI

Kesesuaian= 100 % 2011 TINGGI 852.425 RENDAH, SESUAI


1.024.000

2012 TINGGI RENDAH, SESUAI


1.110.000 949.290
2013 TINGGI 1.178.425 RENDAH, SESUAI
1.265.000
2014 TINGGI 1.753.267 RENDAH, SESUAI
1.640.000

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


8. Kepulauan Riau 2010 925.000 TINGGI RENDAH, SESUAI
991.268.773
Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI RENDAH, SESUAI
975.000 944.061.495

2012 TINGGI RENDAH, SESUAI


1.015.000 832.271.020
2013 TINGGI .284.176.397 RENDAH, SESUAI
1.365.087
2014 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.665.000 1.464.616.430

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


51

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


9. Daerah Khusus Ibukota Jakarta 2010 1.118.009 TINGGI 5.018.454.098 RENDAH, SESUAI
Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI 5.265.528.713 RENDAH, SESUAI
1.290.000
2012 1.529.150 TINGGI 4.859.789.937 RENDAH, SESUAI
2013 2.200.000 TINGGI 1.159.975.582 RENDAH, SESUAI
2014 TINGGI 7.942.606.038 RENDAH, SESUAI
2.441.000

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


10. Jawa Barat 2010 TINGGI TINGGI, TIDAK SESUAI
671.500 36.576.471.833
Kesesuaian = 60 % 2011 TINGGI TINGGI, TIDAK SESUAI
732.000 45.295.340.271

2012 RENDAH TINGGI, SESUAI


780.000
45.703.426.022
2013 RENDAH TINGGI, SESUAI
850.000
63.299.178.601
2014 RENDAH TINGGI, SESUAI
1.000.000 77.362.628.315

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


11. Jawa Tengah 2010 660.000 RENDAH 4.745.229.129 RENDAH, TIDAK SESUAI
Kesesuaian = 20 % 2011 675.000 RENDAH 15.731.300.230 RENDAH, TIDAK SESUAI
2012 RENDAH RENDAH, TIDAK SESUAI
765.000 20.475.791.820
2013 RENDAH TINGGI, SESUAI
830.000 36.960.701.423
2014 RENDAH RENDAH, TIDAK SESUAI
910.000 28.628.820.774

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


12. Daerah Istimewa Yogyakarta 2010 745.694 TINGGI 749.351.764 RENDAH, SESUAI
Kesesuaian = 60 % 2011 TINGGI RENDAH, SESUAI
808.000 872.097.537
2012 892.660 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.026.397.874
2013 RENDAH RENDAH, TIDAK SESUAI
947.114 1.365.693.054
2014 RENDAH RENDAH, TIDAK SESUAI
988.500 2.325.994.997

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


13. Jawa Timur 2010 RENDAH RENDAH, TIDAK SESUAI
630.000
3.444.671.166
Kesesuaian = 20 % 2011 TINGGI 3.814.104.719 RENDAH, SESUAI
705.000
2012 745.000 RENDAH RENDAH, TIDAK SESUAI
8.222.591.823
2013 866.250 RENDAH 9.817.319.142 RENDAH, TIDAK SESUAI
2014 1.000.000 RENDAH RENDAH, TIDAK SESUAI
6.434.342.522

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


52

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


14. Banten 2010 955.300 TINGGI RENDAH, SESUAI
8.782.646.866
Kesesuaian = 100 % 2011 1.000.000 TINGGI 7.066.832.746 RENDAH, SESUAI

2012 1.042.000 TINGGI RENDAH, SESUAI


7.839.156.369

2013 1.170.000 TINGGI RENDAH, SESUAI


10.522.012.966
2014 1.325.000 TINGGI 12.725.152.087 RENDAH, SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


15. Bali 2010 TINGGI RENDAH, SESUAI
829.316 254.802.954
Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI RENDAH, SESUAI
890.000 246.004.686

2012 967.500 TINGGI 2.576.610.152 RENDAH, SESUAI


2013 1.181.000 TINGGI RENDAH, SESUAI
196.961.887
2014 1.542.600 TINGGI RENDAH, SESUAI
685.167.839

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


16. Nusa Tenggara Barat 2010 TINGGI 4.611.582 RENDAH SESUAI
890.775
Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI RENDAH, SESUAI
950.000 3.292.034

2012 TINGGI RENDAH, SESUAI


1.000.000 3.148.543
2013 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.100.000 10.674.835
2014 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.210.000 8.651.984

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


17. Nusa Tenggara Timur 2010 TINGGI RENDAH, SESUAI
800.000 380.916
Kesesuaian = 80 % 2011 850.000 TINGGI 1.982.356 RENDAH, SESUAI
2012 TINGGI 9.481.880 RENDAH, SESUAI
925.000

2013 1.010.000 TINGGI 726.513 RENDAH, SESUAI


2014 RENDAH 2.257.886 RENDAH, TIDAK
1.150.000 SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


18. Kalimantan Selatan 2010 1.024.500 TINGGI 2.547.095 RENDAH, SESUAI

Kesesuaian = 100 % 2011 1.126.000 TINGGI 4.780.097 RENDAH, SESUAI


2012 1.225.000 TINGGI 2.987.965 RENDAH, SESUAI
2013 1.337.500 TINGGI 2.785.882 RENDAH, SESUAI
2014 TINGGI 32.412.961 RENDAH, SESUAI
1.620.000

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


53

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


19. Kalimantan Timur 2010 1.002.000 TINGGI 15.958.389 RENDAH, SESUAI

Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI 12.335.614 RENDAH, SESUAI


1.084.000
2012 TINGGI 22.853.737 RENDAH, SESUAI
1.177.000
2013 TINGGI 40.367.687 RENDAH, SESUAI
1.752.073
2014 1.886.315 TINGGI 72.630.908 RENDAH, SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


20. Sulawesi Tengah 2010 TINGGI RENDAH, SESUAI
777.500 1.104.560

Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI RENDAH, SESUAI


58.800
827.500
2012 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.232.658
885.000
2013 RENDAH RENDAH, SESUAI
995.000 1.104.560
2014 TINGGI RENDAH, SESUAI
1.250.000 1.487.360

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


21. Sulawesi Selatan 2010 TINGGI 16.612.435 RENDAH, SESUAI
1.000.000
Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI 24.352.875 RENDAH, SESUAI
1.100.000

2012 1.200.000 TINGGI 16.612.435 RENDAH, SESUAI

2013 1.440.000 TINGGI 16.612.435 RENDAH, SESUAI

2014 TINGGI 115.512.942 RENDAH, SESUAI


1.800.000

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


22. Sulawesi Tenggara 2010 860.000 TINGGI 1.011.614 RENDAH, SESUAI
Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI 3.967.651 RENDAH, SESUAI
930.000
2012 1.032.300 TINGGI 3.903.388 RENDAH, SESUAI

2013 TINGGI 3.952.443 RENDAH, SESUAI


1.125.207
2014 TINGGI 3.924.951 S RENDAH, SESUAI
1.400.000

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


23. Gorontalo 2010 710.000 TINGGI 1.237.993 RENDAH, SESUAI

Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI 805.289 RENDAH, SESUAI


762.500

2012 TINGGI RENDAH, SESUAI


837.500 2.344.478

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


54

2013 1.175.000 TINGGI RENDAH, SESUAI


1.764.417
2014 1.325.000 TINGGI 6.904.065 RENDAH, SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


24. Sulawesi Barat 2010 944.200 TINGGI 977.400 RENDAH, SESUAI

Kesesuaian = 100 % 2011 TINGGI 2.885.600 RENDAH, SESUAI


1.006.000

2012 TINGGI 379.212 RENDAH, SESUAI


1.127.000
2013 TINGGI 2.931.474 RENDAH, SESUAI
1.165.000
2014 TINGGIS 1.980.593 RENDAH, SESUAI
1.400.000

Sebagaimana dirinci di lampiran Tabel 4.3 terkait dengan Analisis 2 : teori Yogatama Commented [UP4]: Ini apa kok masih kayak gini? Tolong
dikerjain yang bener, yang rapi please. Jangan ada kayak
(2012), bahwa mengacu pada teori bahwa apabila biaya tenaga kerja tinggi, seharusnya gini2 lagi

nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi di provinsi tersebut juga rendah.
Bagan 4.2. Analisis Teori 2 (Yogatama, 2012)

Biaya tenaga kerja Biaya produksi Laba perusahaan


rendah rendah meningkat

permintaan meningkat

4.2.5. Analisis Teori 2 (Yogatama, 2012)


Bila disetarakan dengan data yang tersedia, teori 2 ini bisa diartikan apabila biaya
tenaga kerja rendah, seharusnya nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi di provinsi
tersebut juga tinggi. Dari hasil pengolahan data dan analisis dari ke-2 teori itu dapat
dirinci sebagai berikut: 19 provinsi menunjukkan tingkat kesesuaian mencapai 100 %,
yaitu meliputi provinsi – provinsi sebagai berikut : Aceh, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Bangka Belitung, Riau, Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, kalimantan
Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi tenggara, Gorontalo, dan Sulawesi
Barat. Sedangkan ke-5 provinsi lainnya menunjukkan tingkat kesesuaian masing –
masing 80 % (Nusa Tenggara Timur); 60 % (Jawa Barat dan Daerah Istimewa
Yogyakarta) dan 20 % (Jawa Tengah dan Jawa Timur).

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


55

4.2.10. Analisis Teori 3 (Frederica dan Juwita , 2013)

Peningkatan UMR
Output
produksi Investasi berkurang
berkurang

Peningkatan
produktivitas pekerja

Bagan 4.3. Analisis Teori 3 (Frederica dan Juwita (2013)


NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL
1. Aceh 2010 1.300.000
7.399.040
Kesesuaian = 75 % 2011 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI
1.350.000 6.407.616
2012 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI
1.400.000 3.410.552
2013 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
1.550.000 5.316.186 SESUAI
2014 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI
1.750.000 4.752.411

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


2. Sumatera Utara 2010
965.000 82.262.551
Kesesuaian = 25 % 2011 MENINGKAT 163.869.526 BERTAMBAH, TIDAK
1.035.500 SESUAI
2012 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI
1.200.000 110.398.452

2013 1.375.000 MENINGKAT 177.184.752 BERTAMBAH, TIDAK


SESUAI
2014 1.505.850 MEBNINGKAT 241.224.219 BERTAMBAH ,TIDAK
SESUAIS

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


3. Sumatera Barat 2010 940.000 15.097.499

Kesesuaian = 0 % 2011 1.055.000 MENINGKAT 15.909.720 BERTAMBAH, TIDAK


SESUAI

2012 1.150.000 MENINGKAT 18.687.223 BERTAMBAH, TIDAK


SESUAI
2013 1.350.000 MENINGKAT 35.469.997 BERTAMBAH, TIDAK
SESUAI
2014 MENINGKAT 43.211.747 BERTAMBAH, TIDAK
1.490.000 SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


4. Jambi 2010
900.000 5.190.874
Kesesuaian = 100 % 2011 MENINGKAT BERKURANG,SESUAI
1.028.000 2.862.856

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


56

2012 MENINGKAT BERKURANG SESUAI


1.142.500 1.449.870
NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL
5. Sumatera Selatan 2010 927.825 9.792.294

Kesesuaian = 50 % 2011 1.048.440 MENINGKAT 11.072.391 BERTAMBAH, TIDAK


SESUAI

2012 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI


1.195.220 43.065.324
2013 MENINGKAT 7.737.890 BERKURANG, SESUAI
1.630.000
2014 1.825.000 MENINGKAT 46.924.165 BERTAMBAH, TIDAK
SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


6. Lampung 2010
767.500 8.060.702

Kesesuaian = 50 % 2011 855.000 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK


11.824.682 SESUAI

2012 MENINGKAT 27.547.607 BERTAMBAH, TIDAK


975.000 SESUAI
2013 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI
11.256.544
1.150.000
2014 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI
1.399.03 10.792.021 S

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


7. Kepulauan Bangka Belitung 2010 910.000
970.426

Kesesuaian = 25 % 2011 MENINGKAT BERKURANG SESUAI


1.024.000
852.425
2012 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
949.290 SESUAI
1.110.000
2013 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
1.265.000 SESUAI
1.178.425
2014 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
1.640.000 SESUAI
1.753.267

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


8. Kepulauan Riau 2010
991.268.773
925.000
Kesesuaian = 50 % 2011 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI
944.061.495

975.000
2012 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI
832.271.020
1.015.000
2013 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
1.284.176.397 SESUAI

1.365.087
2014 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
1.464.616.430 SESUAI

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


57

1.665.000

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


9. Daerah Khusus Ibukota Jakarta 2010 1.118.009 5.018.454.098

Kesesuaian = 50 % 2011 MENINGKAT 5.265.528.713 BERTAMBAH, TIDAK


SESUAI
1.290.000
2012 1.529.150 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI

4.859.789.937
2013 2.200.000 MENINGKAT 1.159.975.582 BERKURANG, SESUAI
2014 MENINGKAT 7.942.606.038 BERTAMBAH, TIDAK
2.441.000 SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


10. Jawa Barat 2010
671.500 36.576.471.833
Kesesuaian = 25 % 2011 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
732.000 45.295.340.271 SESUAI

2012 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK


780.000 SESUAI
45.703.426.022
2013 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI
850.000
63.299.178.601
2014 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
1.000.000 77.362.628.315 SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


11. Jawa Tengah 2010
14.745.229.129
660.000
Kesesuaian = 25 % 2011 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
SESUAI
675.000 15.731.300.230
2012 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
765.000 20.475.791.820 SESUAI
2013 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
830.000 36.960.701.423 SESUAI
2014 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI
910.000 28.628.820.774

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


12. Daerah Istimewa Yogyakarta 2010 745.694 749.351.764

Kesesuaian = 0 % 2011 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK


808.000 872.097.537 SESUAI
2012 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
1.026.397.874 SESUAI
892.660
2013 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
947.114 1.365.693.054 SESUAI
2014 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
988.500 2.325.994.997 SESUAI

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


58

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


13. Jawa Timur 2010
630.000
3.444.671.166
Kesesuaian = 25 % 2011 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
SESUAI
705.000 3.814.104.719
2012 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
8.222.591.823 SESUAI

745.000
2013 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
SESUAI
866.250 9.817.319.142
2014 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI
6.434.342.522
1.000.000

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


14. Banten 2010

955.300
8.782.646.866

Kesesuaian = 25 % 2011 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI


1.000.000
7.066.832.746
2012 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
7.839.156.369 SESUAI
1.042.000
2013 1.170.000 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
10.522.012.966 SESUAI
2014 1.325.000 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
12.725.152.087 SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI TAMBAH HASIL


15. Bali 2010
829.316 254.802.954
Kesesuaian = 50 % 2011 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI
890.000 246.004.686

2012 967.500 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK


SESUAI
2.576.610.152
2013 1.181.000 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI
196.961.887
2014 1.542.600 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
685.167.839 SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
16. Nusa Tenggara Barat 2010
890.775 4.611.582
Kesesuaian = 75 % 2011 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI

950.000 3.292.034
2012 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI
1.000.000

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


59

3.148.543

2013 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK


1.100.000 10.674.835 SESUAI
2014 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI
1.210.000
8.651.984

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
17. Nusa Tenggara Timur 2010
800.000 380.916
Kesesuaian = 25 % 2011 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
SESUAI
850.000
1.982.356
2012 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
SESUAI
925.000 9.481.880
2013 MENINGKAT 726.513 BERKURANG, SESUAI
1.010.000
2014 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
1.150.000 2.257.886 SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
18. Kalimantan Selatan 2010 1.024.500 MENINGKAT 2.547.095
Kesesuaian = 50 % 2011 MENINGKAT 4.780.097 BERTAMBAH, TIDAK
1.126.000 SESUAI

2012 MENINGKAT 2.987.965 BERKURANG, SESUAI


1.225.000
2013 1.337.500 MENINGKAT 2.785.882 BERKURANG, SESUAI
2014 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
1.620.000 32.412.961 SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
19. Kalimantan Timur 2010 1.002.000 MENINGKAT 15.958.389

Kesesuaian = 25 % 2011 MENINGKAT 12.335.614 BERKURANG, SESUAI


1.084.000

2012 MENINGKAT 22.853.737 BERTAMBAH, TIDAK


1.177.000 SESUAI
2013 MENINGKAT 40.367.687 BERTAMBAH, TIDAK
1.752.073 SESUAI
2014 1.886.315 MENINGKAT 72.630.908 BERTAMBAH, TIDAK
SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
20. Sulawesi Tengah 2010 MENINGKAT
777.500 1.104.560
Kesesuaian = 50 % 2011 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI
58.800
827.500

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


60

2012 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK


1.232.658 SESUAI
885.000
2013 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI
995.000 1.104.560
2014 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
1.250.000 1.487.360 SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
21. Sulawesi Selatan 2010 1.000.000 MENINGKAT 16.612.435

Kesesuaian = 50 % 2011 MENINGKAT 24.352.875 BERTAMBAH, TIDAK


1.100.000 SESUAI
2012 MENINGKAT 16.612.435 BERKURANG, SESUAI
1.200.000
2013 MENINGKAT TETAP, SITUASI
NORMAL
1.440.000 16.612.435
2014 MENINGKAT 115.512.942 BERTAMBAH, TIDAK
1.800.000 SESUAI

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
22. Sulawesi Tenggara 2010 860.000 MENINGKAT 1.011.614

Kesesuaian = 50 % 2011 MENINGKAT 3.967.651 BERTAMBAH, TIDAK


930.000 SESUAI

2012 MENINGKAT BERKURANG, SESUAI


1.032.300 3.903.388
2013 MENINGKAT 3.952.443 BERTAMBAH, TIDAK
1.125.207 SESUAI
2014 MENINGKAT 3.924.951 S BERKURANG, SESUAI
1.400.000

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
23. Gorontalo 2010 710.000 MENINGKAT 1.237.993

Kesesuaian = 50 % 2011 MENINGKAT 805.289 BERKURANG, SESUAI


762.500
2012 837.500 MENINGKAT 2.344.478 BERTAMBAH, TIDAK
SESUAI
2013 1.175.000 MENINGKAT 1.764.417 BERKURANG, SESUAI
2014 MENINGKAT BERTAMBAH, TIDAK
SESUAI
1.325.000 6.904.065

NO PROVINSI TAHUN UMR KATEGORI NILAI HASIL


TAMBAH
24. Sulawesi Barat 2010 944.200 MENINGKAT 977.400

Kesesuaian = 50 % 2011 MENINGKAT 2.885.600 BERTAMBAH, TIDAK


1.006.000 SESUAI

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


61

2012 1.127.000 MENINGKAT 379.212 BERKURANG, SESUAI

2013 1.165.000 MENINGKAT 2.931.474 BERTAMBAH, TIDAK


SESUAI
2014 MENINGKAT 1.980.593 BERKURANG, SESUAI
1.400.000

Bila disetarakan dengan data yang tersedia, teori 3 ini bisa diartikan apabila biaya
tenaga kerja meningkat, seharusnya nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi di
provinsi tersebut juga berkurang. Dari hasil pengolahan data dan analisis dari teori ke-3
itu dapat dirinci sebagai berikut: 1 provinsi menunjukkan tingkat kesesuaian mencapai
100 %, yaitu Jambi. Provinsi Aceh dan Nusa Tenggara Barat menunjukkan tingkat
kesesuaian 75 %, 11 provinsi menunjukkan tingkat kesesuaian 50 % ( Sumatera Selatan,
Lampung, Kepulauan Riau, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Bali, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Sulawesi Barat.
Sumatera Utara, Bangka Belitung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Nusa
Tenggara Timur, dan Kalimantan Timur, 8 provinsi dengan nilai kesesuaian 25 %,
Sedangkan ke-2 provinsi lainnya menunjukkan tingkat kesesuaian 0 % yaitu Sumatera
Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

4.2.15. Analisis Channeling 4 (Marcelia)

Harga output tinggi Tidak ada


Biaya tenaga kerja tinggi
Rekomendasi investasi
Persaingan buruk

Bagan 4.4. Analisis Teori 4 (Marcelia)

Bila disetarakan dengan data yang tersedia, teori 3 ini bisa diartikan apabila biaya
tenaga kerja meningkat, seharusnya nilai tambah industri tekstil dan pakaian jadi di
provinsi tersebut juga berkurang. Dari hasil pengolahan data dan analisis dari teori ke-3
itu dapat dirinci sebagai berikut: 1 provinsi menunjukkan tingkat kesesuaian mencapai 0
%, yaitu Jambi. Provinsi Aceh dan Nusa Tenggara Barat menunjukkan tingkat
kesesuaian 25 %, 11 provinsi menunjukkan tingkat kesesuaian 50 % ( Sumatera Selatan,
Lampung, Kepulauan Riau, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Bali, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Sulawesi Barat.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


62

Sumatera Utara, Bangka Belitung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Nusa
Tenggara Timur, dan Kalimantan Timur, 8 provinsi dengan nilai kesesuaian 75 %,
Sedangkan ke-2 provinsi lainnya menunjukkan tingkat kesesuaian 100 % yaitu
Sumatera Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


63

BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

5.1 Kesimpulan
Keterkaitan Hasil Statistik Deskriptif dengan Kerangka Teori
Sebagaimana hasil analisis teori di Bab 4 menunjukkan bahwa perubahan nilai tambah
dipengaruhi oleh Penetapan Upah Minimum Regional, Pendapatan Domestik Regional
Bruto dan Pembangunan Infrastruktur. Penetapan Upah Minimum Regional di atas atau
di bawah rata – rata Upah Minimum Regional di masing – masing Provinsi
mempengaruhi rendah atau tingginya nilai tambah sektor industri tekstil dan pakaian
jadi di 24 provinsi (sesuai dengan teori Sichei (2012) dan Marcelia . Sedangkan
kenaikan Upah Minimum Regional di masing – masing Provinsi tersebut
mempengaruhi berkurangnya penyerapan tenaga kerja di sektor industri tekstil dan
pakaian jadi dan menyebabkan berkurangnya nilai tambah industri tekstil dan pakaian
jadi. Kenaikan / Penurunan Pendapatan Domestik Regional Bruto juga dipengaruhi
oleh rendah atau tingginya Upah Minimum Regional. Hal yang serupa ditunjukkan juga
dari pembangunan infrastruktur, dimana dengan adanya pembangunan infrastruktur
memberikan pengaruh positif terhadap kenaikan nilai tambah sektor industri tekstil dan
pakaian jadi di 24 provinsi.
Untuk provinsi-provinsi, dengan keterkaitan UMR rendah dan nilai tambah tinggi dan
UMR tinggi dengan nilai tambah rendah sudah sesuai 100 %, diperbolehkan adanya
kenaikan UMR, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan,
Lampung, Bangka Belitung, Riau, DKI Jakarta, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Sedangkan Provinsi – provinsi lainnya, yaitu
Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur
disarankan mengurangi UMR sampai berada di bawah UMR rata-rata per provinsi.

5.1.1. Terkait Hasil Regresi dan Kerangka Empiris


Ada beberapa variabel, yaitu: variabel pajak tidak langsung dan biaya mesin,
sebagai variabel kontrol dipengaruhi oleh nilai tambah.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


64

Berbeda halnya dengan variabel listrik, perkampungan industri, perkampungan


industri dan sentra industri kecil yang signifikan mempengaruhi aliran nilai tambah
industri tekstil dan pakaian jadi di 24 provinsi. Sedangkan variabel lainnya, yaitu jalan
IHK, dan RTR Pulau/kepulauan tidak signifikan mempengaruhi nilai tambah di 24
provinsi.

5.2. Rekomendasi Kebijakan


Dalam merumuskan kebijakan perizinan dan pendanaan, pemerintah pusat dan
pemerintah daerah perlu mendahulukan urutan sesuai signifikansi variabel–variabel
yang mempengaruhi nilaitambah dan juga harus mengutamakan untuk peningkatan
jumlah distribusi listrik ke industri, pengurangan harga mesin dan pengurangan pajak
tidak langsung untuk mendorong aliran nilai tambah, peningkatan upah minimum dan
pembatasan luas ruang kawasan industri untuk mengendalikan aliran nilai tambah
sektor industri tekstil dan pakaian jadi di ke-24 provinsi tersebut.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


65

DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, Muhammad. 2010. Determinant of Manufacturing Value Added in Pakistan : an


Application of Bounds Testing Approach to Cointegration.

Minimum Wages and Labour Productivity.

Raising the Standard : Minimum Wages and Firm Productivity.

Ita,et.al.2003. Effect of Credit Financing to the Value Added of Manufacture Industry in


Indonesia.

Hasbullah. 2012. Growth Analysis of Investment and Value Added of Agricultural


Sector in Indonesia.

Mochammad Aravano Siregar. 2013. Determinant of Value Added in Cacao Industry.

de la Croix, D. (2015). Economic Growth. In International Encyclopedia of the Social &


Behavioral Sciences: Second Edition. https://doi.org/10.1016/B978-0-08-
097086-8.71057-9

Pujiati, A. (2009). Analisis Kawasan Andalan in Central Java. 11(2), 117–128.

Robiani, B. (2005). Analisis Pengaruh Industrialisasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di


Sumatera Selatan. Jurnal Ekonomi Dan Pembangunan Indonesia, Vol. 6, p. 93.
https://doi.org/10.21002/jepi.v6i1.153

Amaro, et.al (2006). Racing to the Bottom for FDI? The Changing Role of Labor Costs
and Infrastructure. The Journal of Developing Areas. 1-13.

Asmara, Alla, et.al (2013). Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Investasi


pada Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia. Jurnal Manajemen
Teknologi. Vol. 1 (2).

Atmaja(2017). Pengaruh Infrastruktur Jalan Tol Semarang–Solo terhadap Pertumbuhan


Sektoral Wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Tesis.Universitas Gadjah Mada.

Bovoiyour, Jamal (2007). The Determining Factors of Foreign Direct Investment in


Morocco. Giordano Dell-Amore Foundation. Vol. 31. 91 – 106.

Calhoun, Koben, et.al (2008). The Effect of Wage Rate on Foreign Direct Investment
Flows to Individual Developing Countries. Puget Sound eJournal of
Economics.

Cushman, David (1987). The Effects of Real Wages and Labor Productivity on Foreign
Direct Investment. Southern Economic Journal, Vol. 54 (1). 174 – 185.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


66

Danciu, Aniela Raluca (2015). Labor Force-Main Determinant of The Foreign Direct
Investments Located in Romania. Romanian Statistical Review.

Emi Syarif (2015). Pengaruh Kebijakan Kenaikan Upah Minimum terhadap


Perkembangan Investasi pada Industri Manufaktur (studi kasus enam propinsi
di pulau Jawa). Tesis. Universitas Indonesia.

Erdal, et.al (2008). Determinants of Foreign Direct investment Flows to Developing


Countries : A cross sectional Analysis.Prague Economic Papers.356-369.

Feestra, Robert, et.al (1995). Foreign Investment, Outsourcing, and Relative Wages.
NBER Working Papers Series. 5121.

Garretsen, Harry, et.al (2007). FDI and the Relevance of Spatial Linkages: do Third
Country Effects Matter for Dutch FDI? Rev World Econ.Vol. 145.

Huyen, Le Hoang Ba (2015). Determinant of the factors affecting Foreign Direct


Investment (FDI) flow to Thanh Hoa province in Vietnam. Procedia Social
and Behavioral Sciences,.

Iskandar, Yudi, et.al (2016). Determinan FDI Industri Hulu Migas di Indonesia serta
Dampaknya periode Tahun 2003 – 2013. Jurnal Aplikasi Bisnis dan
Manajemen. Vol.2.

Kahouli, Bassem,et.al (2015). The Determinants of FDI and the Impact Of the
Economic Crisis On the Implementation of RTAs: A Static and Dynamic
Gravity Model. International Business. Vol.24 (3). 518 – 529.

Lakesha, B.K (2012). Determinants of Foreign Direct Investment: A Macro Perspective.


Indian Journal of Industrial Relations. Vol. 47.459 – 469.

Liu, et. al (2012). Regional Determinants of Foreign Direct Investment in


Manufacturing Industry. International Journal of Economics and Finance. Vol.
4 (12).

Mankiw, Gregory(2006). Macroeconomics. 6th edition 2007. New Jersey : Worth


Publishers.

Mutascu, Mihai Loan, et.al (2010) A VAR Analysis of FDI and Wages: The Romania’s
Case. International Journal of Economic Sciences and Applied Research.
Vol.3(2). 41-56.

Mughal, Muhammad Muazzam,et.al (2011). Does market size affect FDI? The Case of
Pakistan. Interdisciplilnary Journal of Contemporary Research in Business.
Vol. 2 (9).

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019


67

Onwuka, Kevin Odulukwe(2011). Wage Rate, Regional Trade Bloc, and Location of
Foreign Direct Investment Decision. Asian Economic and Financial Review.
134 – 146.
Raharjo, et.al. (2005). The effect of Manufacture Industry Export and FDI to the GDP
(study chase Vietnam, Thailand, Malaysia, and Indonesia).

Randelovic,et.al (2017). Market Size as a Determinant of The Foreign Direct


Investment Inflows in the Western Balkans Countries. Economics and
Organization. Vol. 14 (2). 93 – 104.
Rashid, Intan Maizura Abdul (2016). Determinants of Foreign Direct Investment (FDI)
In Agriculture Sector Based on Selected Highincome Developing Economies
in OIC Countries: an Empirical Study on The Provincial Panel Data By Using
Stata, 2003-2012. Procedia Economics and Finance . 26-33.

Ruth, Astrid Mutiara,et. al (2014). Faktor Penentu Foreign Direct Investment di Asean –
7; Analisis Data Panel, 2000 – 2012. Media Ekonomi. Vol. 22 (1).

Saidi, Samir (2016). Impact of Road Transport on Foreign Direct Investment and
Economic Growth : Empirical Evidence from Simultaneous Equation Model.
Journal of Bussiness Management and Economics.Vol. 7 (2). 64-71.

Sharma, Kishor (2012). Determinants of Foreign Direct Investment in Malaysia: New


Evidence From Cointegration and Error Correction Model. The Journal of
developing Areas.Vol. 46. 71-89.

Sichei, Moses Muse,et.al (2012). Determinants of Foreign Direct Investment in Africa:


A Panel Data Analysis. Global Journal of Management and Business
Research. Vol.12.

Singh, D. Ramjee,et.al (2008). The Determinants of FDI in Small Developing Nation


States: an Exploratory Study. Social and Economic Studies,. Vol. 57. 79 – 104.

Wafure, Obida Gobna (2010). Determinants of Foreign Direct Investment in Nigeria:


An Empirical Analysis. Global Journal of Human Social Science. Vol. 10. 26 –
34.

Williams, Kevin (2015). Foreign Direct Investment in Latin America and The
Caribbean: an Empirical Analysis. Latin American Journal of Economics. Vol.
52 (1). 57 – 77.

www.bkpm.go.id. Foreign Direct Investment.


www.republika.co.id. Industri Manufaktur Unggulkan Tekstil dan Aneka pada 2015.

Direktorat Perencanaan Tata Ruang.2019

Anda mungkin juga menyukai